Anda di halaman 1dari 35

Iman kepada Allah Ta'ala maksudnya meyakini dengan pasti tentang

eksistensi Allah, rububiyah, uluhiyah, nama-nama dan sifat-Nya.

Iman kepada Allah Ta'ala mencakup 4 (empat) hal, siapa yang mengimani
empat hal ini, maka ia telah beriman dengan sesungguhnya.

Pertama: Mengimani akan eksistensi-Nya (keberadaan-Nya).

Eksistensi (keberadaan) Allah Ta'ala ini dapat dibuktikan dengan dalil fitrah,
akal, apalagi dalil syar'inya yang banyak sekali.

Dalil Fitrah. Setiap manusia secara fitrah telah mengimani keberadaan


penciptanya, tanpa didahului proses berpikir atau belajar. Dan tidak berpaling
dari kenyataan ini kecuali orang yang di dalam hatinya ada penyakit.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

َ ‫ فَأَبَ َواهُ يُه َِودَانِ ِه أَ ْو يُنَ ِص َرانِ ِه أ َ ْو يُ َم ِج‬،‫َلى ا ْل ِف ْط َر ِة‬


‫سانِ ِه‬ َ ‫َما ِم ْن َم ْولُ ْو ٍد ِإالَّ يُ ْولَ ُد ع‬
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah
yang menjadikan ia yahudi, nasrani atau majusi." (HR; Bukhari, no: 1358 dan
Muslim, no: 2658).

Dalil Akal. Setiap manusia baik yang sudah ada maupun yang akan ada,
pastilah ada pencipta yang menciptakannya. Karena tidak mungkin sesuatu itu
mengadakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula ia ada secara tiba-tiba
(spontan). Mereka tidak diciptakan tanpa ada asalnya, dan mereka tidak
menciptakan dirinya sendiri. Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala :

َ‫ش ْيءٍ أَ ْم ُه ُم ا ْل َخا ِلقُون‬ َ ‫أ َ ْم ُخ ِلقُوا ِم ْن‬


َ ‫غي ِْر‬

"Apakah mereka ini diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang


menciptakan (diri mereka sendiri)." (Q.S; Ath Thur : 35).

Yakni, mereka tidak diciptakan tanpa pencipta. Tidak pula mereka menciptakan
diri sendiri. Maka dari itu tertetapkan bahwa pencipta mereka adalah Allah.

Oleh karena itu pada saat Jubair bin Muth'im mendengar Nabi shallallahu
alaihi wa sallam membaca surat Ath-Thur hingga ayat 37, ia berkata (waktu itu
ia masih dalam keadaan kafir, "Seolah-olah hatiku terbang (meninggalkan
jasad), dan itulah asal mula menetapnya iman di hati ini. HR. Bukhari.

Kita ambilkan contoh untuk memperjelas persoalan ini.

Jika ada seseorang yang bercerita kepadamu mengenai istana yang megah,
yang dikelilingi oleh kebun-kebun indah dan mengalir di bawahnya sungai-
sungai. Ruangannya dipenuhi oleh dipan dan permadani serta diperindah
dengan segala warna penyempurna. Lalu ia berkata, "Istana ini dan segala
isinya adalah ada dengan sendirinya, atau ada dengan spontan tanpa ada yang
menciptakannya. Maka serta merta anda mengingkarinya dan mendustakan
ucapannya.
Jika demikian, bagaimana mungkin alam semesta yang luas, yang meliputi
bumi, langit, bintang-bintang dan ciptaan yang agung, sarat dengan
keteraturan, ia ada dengan sendirinya atau terjadi secara tiba-tiba tanpa ada
pencipta-Nya?

Dalil akal ini dapat dipahami oleh orang Arab badui yang hidupnya di
pedalaman, ia ungkapkan dengan bahasanya yang sederhana saat ia ditanya,
"Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu?."

Ia menjawab, "Adanya kotoran yang menandakan adanya unta, dengan bekas


tapak kaki yang menunjukan adanya kafilah yang telah mengadakan
perjalanan, langit yang menjulang tinggi, bumi yang terhampar luas, lautan
yang berombak. Bukankah itu semua menjadi bukti adanya Dzat yang Maha
Mendengar dan Maha Melihat?.

Kedua; mengimani rububiyah Allah Ta'ala.

Maksudnya meyakini bahwa hanya Allah Ta'ala saja sebagai Rabb, tidak ada
sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang membantu-Nya (tauhid rububiyah).

Rabb artinya: Pencipta, Raja, dan Pengatur (pemelihara). Tiada pencipta, raja
dan pengatur urusan makhluk selain Allah. Allah Ta'ala berfirman:

ُ ‫أَالَ لَهُ ا ْل َخ ْل‬


‫ق َو ْاْل َ ْم ُر‬

"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah." (Q.S; Al A’raf :


54).

Juga firman-Nya,

ِ ‫ج ا ْل َميِتَ ِمنَ ا ْلحَي‬ ِ ِ‫ي ِمنَ ا ْل َمي‬


ُ ‫ت َويُ ْخ ِر‬ َّ ‫ج ا ْل َح‬
ُ ‫َار َو َم ْن يُ ْخ ِر‬ َّ ‫ض أ َ َّم ْن يَ ْم ِلكُ ال‬
َ ‫س ْم َع َو ْاْل َ ْبص‬ ِ ‫اء َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫قُ ْل َم ْن يَ ْر ُزقُ ُك ْم ِمنَ ال‬
ِ ‫س َم‬
َ‫َّللاُ َفقُ ْل أَفَ ََل تَتَّقُون‬
َّ َ‫سيَقُولُون‬ َ َ‫( َو َم ْن يُد َِب ُر ْاْل َ ْم َر ف‬31)

"Katakanlah, "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi,
atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan
yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka
mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak
bertakwa kepada-Nya)?." (QS. Yunus: 31).

"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-
Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu." (QS. As-Sajdah: 5).

"Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam


malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan
menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Allah Tuhanmu,
kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah)
selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari." (QS. Fathir:
13).
Renungkanlah, terdapat dalam surat al Fatihah ayat yang ke-empat, "Maaliki
yaumid din" (Yang menguasai hari pembalasan), dan tertera dalam qira'at
mutawatir (Maliki yaumid din", kata "Malik" dibaca dengan pendek.

Apabila kita padukan antara "Maaliki dengan Maliki", keduanya mengandung


makna yang mengadakan. "Malik", lebih dalam maknanya daripada "Maalik"
dalam kekuasaan dan kerajaan-Nya. Karena raja (di dunia) terkadang hanya
"label" saja tanpa ada kekuasaan untuk berbuat yang dia kehendaki. Artinya
dia tak memiliki kekuatan apapun untuk mengatur urusan apapun. Maka pada
saat itu ia menjadi raja, tetapi bukanlah raja yang sesungguhnya. Maka jika
Allah adalah "Maalik" dan "Malik", maka sempurnalah Dia sebagai Penguasa,
dan Pengatur urusan (makhluk-Nya).

Ketiga; mengimani uluhiyah Allah.

Maksudnya Dia adalah sesembahan yang haq, tiada sekutu bagi-Nya.

Ilah artinya; Dzat yang pantas disembah dengan penuh kecintaan dan
pengagungan. Allah Ta'ala berfirman :

َّ ‫اح ٌد الَ إِلَهَ إِ َّال ه َُو‬


َّ ُ‫الرحْ َمن‬
‫الر ِحي ُم‬ ِ ‫َوإِلَ ُه ُك ْم إِلَهٌ َو‬

"Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, dan tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkani Dia, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang."
(Q.S; Al Baqarah :163).

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali
Imran: 18).

Setiap tuhan yang disembah selain Allah, maka penyembahannya adalah


bathil. Allah berfirman,

ُ ِ‫ي ا ْل َكب‬
‫ير‬ َ َّ َّ‫اط ُل َوأَن‬
ُّ ‫َّللا ه َُو ا ْلعَ ِل‬ ُ ‫ق َوأَنَّ َما يَ ْد‬
ِ َ‫عونَ ِم ْن دُونِ ِه ه َُو ا ْلب‬ َ َّ َّ‫( ذَ ِلكَ بِأَن‬62)
ُّ ‫َّللا ه َُو ا ْل َح‬

"(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah
(Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari
Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi
Maha Besar." (QS. Al Hajj: 62).

Sesembahan selain Allah disebut dengan 'alihah' tidak memberikan hak


kepadanya untuk diibadahi. Allah berfirman terkait dengan "Latta" dan "Uzza"
(yang disembah oleh masyarakat Quraisy), "Itu tidak lain hanyalah nama-nama
yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan
suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka
dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka."
(QS. An Najm: 23).
Allah Ta'ala mengisahkan Nabi Yusuf alaihis salam yang sewaktu di penjara
berkata kepada temannya, "Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali
hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-
buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama
itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar
kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf: 40).

Tiada sesuatupun yang berhak untuk diesakan dan disembah selain Allah. Dan
tak satupun yang bersekutu dengan Allah dalam kepantasan mendapatkan hak
untuk diibadahi. Baik itu malaikat yang dekat dengan Allah, tidak pula Nabi
yang diutus. Untuk itu dakwah para Rasul dari yang pertama sampai yang
terakhir, seluruhnya mengajak umatnya untuk merealisasikan 'laa ilaaha
illallah'.

Allah Ta'ala berfirman,

ِ ‫وحي إِلَ ْي ِه أَنَّهُ َال إِلَهَ إِ َّال أَنَا فَا ْعبُد‬


‫ُون‬ َ ‫( َو َما أ َ ْر‬25)
ُ ‫س ْلنَا ِم ْن قَ ْب ِلكَ ِم ْن َر‬
ِ ُ‫سو ٍل إِ َّال ن‬

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan
Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS. Al Anbiya': 25).
ُ‫علَ ْي ِه الض َََّللَة‬ َّ ‫غوتَ َف ِم ْن ُه ْم َم ْن َهدَى‬
َ ْ‫َّللاُ َو ِم ْن ُه ْم َم ْن َحقَّت‬ َ َّ ‫وال أ َ ِن ا ْعبُدُوا‬
ُ ‫َّللا َواجْ ت َ ِنبُوا ال َّطا‬ ‫س ا‬ُ ‫َولَقَ ْد َب َعثْنَا ِفي ك ُِل أ ُ َّم ٍة َر‬
ْ ُ
َ‫ْف كَانَ عَاقِبَة ال ُمك َِذبِين‬ َ ‫ض فانظ ُروا َكي‬ُ ْ َ َ ْ
ِ ‫يروا فِي اْل ْر‬ ُ ‫س‬ َ
ِ ‫( ف‬36)

"Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula
di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." (QS. An Nahl: 36).

Akan tetapi orang-orang musyrik enggan dan menolak ajakan dan dakwah ini,
bahkan mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah. Mereka menyembah
sekutu-sekutu Allah tersebut, mereka minta pertolongan dan bantuan
kepadanya.

Keempat; mengimani nama-nama dan sifat Allah.

Maksudnya; Menetapkan nama-nama Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya,


sebagaimana yang telah ditetapkan Allah untuk-Nya dalam kitab-Nya, atau
melalui lisan Nabi-Nya dalam hadits-haditsnya, dengan tanpa mengubah
makna, meniadakan, menanyakan bagaimana hakikatnya dan
menyerupakannya. Allah Ta'ala berfirman :

‫سنَى فَا ْدعُو ُه ِبهَا‬ ْ َ ‫ّلِل اْل‬


ْ ‫س َما ُء ا ْل ُح‬ ِ َّ ِ ‫َو‬

"Hanya milik Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan


menyebut asma'ul husna itu." (QS; Al A'raf : 180).

Ini merupakan dalil yang menunjukan adanya nama-nama bagi Allah.


Sedangkan firman-Nya,

‫يز ا ْل َح ِكي ُم‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬


ُ ‫ض َوه َُو ا ْلعَ ِز‬ ِ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬ َ ُ‫ق ث ُ َّم يُ ِعي ُدهُ َوه َُو أ َ ْه َون‬
َّ ‫علَ ْي ِه َولَهُ ا ْل َمث َ ُل ْاْل َ ْعلَى فِي ال‬ َ ‫( َوه َُو الَّذِي يَ ْب َدأ ُ ا ْل َخ ْل‬27)

"Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian


mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu
adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya-lah sifat yang Maha Tinggi di
langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS.
Ar Rum: 27).

Ayat ini menunjukan sifat-sifat Allah Ta'ala yang Maha Sempurna. Hal yang
demikian itu karena "al matsalul a'la" adalah sifat yang sempurna.

Kedua ayat di atas, secara umum menunjukan nama-nama dan sifat-sifat Allah,
sedangkan secara rinci, tersebut dalam banyak ayat dan hadits Nabi
shallallahu alaihi wa sallam.

Nama-nama dan sifat Allah merupakan bagian dari salah satu pintu ilmu.
Maksudnya, bab nama-nama dan sifat Allah merupakan perkara yang paling
banyak diperselisihkan oleh umat Islam, di mana umat ini berbeda pendapat
dalam masalah ini dengan perbedaan yang cukup luas.

Dan sikap kita terhadap perbedaan ini adalah kembali kepada perintah Allah
Ta'ala, yakni merujuk kepada al Qur'an dan Sunnah, "Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa': 59).

Berdasarkan ayat di atas, bahwa setiap perselisihan dan perbedaan pendapat


kita kembalikan kepada Allah (al Qur'an) dan kepada Sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, dengan berpedoman pada pemahaman salafus
shalih, dari para sahabat dan tabi'in terkait dengan ayat-ayat di atas (nama-
nama dan sifat Allah). Karena mereka adalah generasi umat ini yang paling
mengetahui maksud kalam Allah dan sabda Nabi mereka.

Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Abdullah bin Mas'ud radhiallahu
anhu menggambarkan tentang para sahabat, "Jika kalian ingin mengikuti
Sunnah, maka ikutilah Sunnah orang yang telah wafat. Karena yang masih
hidup belum aman dari sapaan fitnah, mereka itulah para sahabat Muhammad,
yang paling bersih hatinya, dalam ilmunya, paling sedikit kelemahannya. Suatu
kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya,
menyertai Nabi-Nya. Oleh karena itu, kenalilah hak-hak mereka, berpegang
teguhlah dengan petunjuk mereka. Karena mereka senantiasa berada dalam
petunjuk dan jalan yang lurus."

Barangsiapa yang menyelisihi manhaj salaf dalam masalah asma dan sifat
Allah, maka ia telah keliru dan tersesat jalannya serta telah mengikuti jalan
yang tidak dilalui oleh orang-orang mukmin dan ia berhak mendapatkan
ancaman Allah Ta'ala:
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS.
An Nisa: 115).

Dalam ayat yang lain, Allah mensyaratkan petunjuk-Nya bagi orag-orang yang
beriman seperti imannya para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
"Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah
akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui." (QS. Al Baqarah: 137).

Siapa yang menentang dan menjauhi manhaj salaf, maka berarti ia telah
menjauhi hidayah Allah untuknya sebatas ia menjauhi manhaj salaf dalam bab
nama-nama dan sifat Allah ini.

Untuk itu, wajib bagi kita dalam bab asma' dan sifat Allah; menetapkan bagi
Allah nama-nama dan sifat yang telah ditetapkan untuk Diri-Nya atau yang
telah ditetapkan oleh Rasul-Nya, dan memahami nash Kitab dan Sunnah
(dalam masalah ini) secara tekstual, mengimaninya seperti yang diimani oleh
para sahabat Nabi, mereka adalah umat yang terbaik dan paling memahami
ilmunya.

Yang perlu kita waspadai adalah, ada empat larangan yang apabila kita
terjatuh pada salah satunya, maka tidak akan terwujud makna iman kepada
nama-nama dan sifat Allah. Yakni; merubah nakna, mengingkarinya,
menyerupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya dan menanyakan bagaimana
hakikatnya.

1.At Tahrif (merubah maknanya).

Maksudnya merubah makna nash dari al Qur'an dan Sunnah dari makna yang
sebenarnya (nama-nama dan sifat Allah) kepada makna lain, yang tidak Allah
dan Rasul-Nya kehendaki.

Misalnya, merubah makna "Tangan" dalam banyak nash, dan artinya dirubah
menjadi "nikmat" dan "kekuatan".

2.At Ta'thil (meniadakan atau mengingkari).

Maksudnya meniadakan nama-nama dan sifat Allah seluruhnya atau


mengingkari sebagiannya.

Setiap orang yang menafikan nama-nama dan sifat Allah yang tersebut
dalamal Qur'an dan Sunnah, maka berarti ia tidak mengimani nama-nama dan
sifat Allah secara benar.

3.At Tamtsil (menyerupakan).


Maksudnya menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Seperti
memaknai tangan Allah seperti tangan makhluk-Nya. Atau Allah mendengar
seperti cara mendengarnya makhluk. Atau Allah bersemayam di atas Arsy
seperti bersemayamnya makhluk di atas kursi dan seterusnya.

Tidak diragukan lagi, bahwa menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-
Nya adalah munkar dan bathil. Allah Ta'ala berfirman:

ُ ‫س ِمي ُع ا ْلبَ ِص‬


‫ير‬ َ ‫ْس ك َِمثْ ِل ِه‬
َّ ‫ش ْي ٌء َوه َُو ال‬ َ ‫( لَي‬11)

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat." (QS; Asy Syura : 11).

4.At Takyif (menanyakan bagaiman hakikatnya).

Yakni menetapkan bagaimana sifat-sifat Allah dan hakikatnya, di mana


seseorang berusaha dengan hati dan lisannya menggambarkan seperti apa
sifat Allah dan hakikatnya.

Ini merupakan sesuatu yang bathil secara mutlak, di mana mustahil manusia
mengetahui hal tersebut, sedangkan Allah telah berfirman:

"Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (QS. Thaha: 110).

Barang siapa yang mampu menghindari empat larangan dalam masalah nama-
nama dan sifat Allah, maka ia telah menyempurnakan imannya kepada Allah
Ta'ala.

Kita memohon kepada Allah, agar Dia meneguhkan iman kita hingga kita
menghadap-Nya di atas iman tersebut. Wallahu a'lam bishawab.

Iman Kepada Allah SWT


Allah adalah nama Dzat Maha Agung, pemilik tunggal semua sifat kesempurnaan dan
sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa Arab kata “Allah” itu tidak
pernah dipakai untuk benda atau Dzat lain apa pun. Tiada bahasa lain memiliki nama
tertentu atau khusus untuk Dzat Yang Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat
dalam bahasa-bahasa lain, semuanya nama-penunjuk-sifat atau nama pemberian
(pelukisan) dan seringkali dipakai dalam bentuk jamak; akan tetapi, kata “Allah” tidak
pernah dipakai dalm bentuk jamak. Kata “Allah” dipergunakan di seluruh terjemahan
ayat-ayat Al-Qur’an. Pandangan ini didukung oleh para alim bahasa Arab terkemuka.
Menurut pendapat yang paling tepat, kata “Allah” itu, nama wujud bagi Dzat yang wajib
adanya menurut Dzatnya sendiri, memiliki segala sifat kesempurnaan, dan
huruf al adalah tidak terpisahkan dari kata itu. (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Alquran
Dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, 1997, hal. 5)
Wujud Allah Taala amatlah tersembunyi dan jauh dari jangkauan, teramat rahasia dan
tidak akan bisa ditemukan melalui penalaran manusia semata dan tidak ada
argumentasi yang dapat membuktikan eksistensi-Nya secara konklusif. Masalahnya
karena logika hanya bisa mengantar manusia sampai kepada tahapan perasaan
bahwa kemungkinan ada yang namanya sosok Pencipta. Hanya saja perasaan
‘mungkin’ tidak sama dengan kepastian bahwa memang eksis.’

Mengingat jalannya logika manusia itu tidak sempurna, tidak lengkap dan diragukan
maka seorang ahli filosofi tidak akan dapat menemukan Tuhan semata-mata hanya
melalui penalaran. Kebanyakan manusia yang berusaha menemukan eksistensi
Tuhan melalui logika pada akhirnya akan menjadi ateis. Perenungan atas penciptaan
langit dan bumi saja tidak akan memberikan manfaat banyak sehingga pada akhirnya
mereka kemudian mencemoohkan dan menertawakan orang-orang yang menyembah
Tuhan.

Salah satu argumentasi adalah karena mereka berpendapat ada beribu-ribu hal di
dunia ini yang tidak ada gunanya dan adanya hal tersebut tidak menjadi indikasi
adanya sesosok perancang. Hal-hal tersebut ada di dunia hanya semata-mata
sebagai barang yang mubazir dan tidak berguna. Orang-orang seperti ini tidak
menyadari bahwa kurangnya pengetahuan mereka mengenai sesuatu tidak harus
menjadikan hal itu sebagai hal yang tidak berguna.

Ada berjuta-juta manusia di dunia ini yang merasa dirinya sebagai seorang filosof
yang amat bijak dan menyangkal eksistensi daripada Tuhan. Sebenarnya jika mereka
memang bisa menemukan dasar pemikiran yang kuat yang mendasari eksistensi
Tuhan, pasti mereka juga tidak akan menyangkal Wujud tersebut. Kalau saja mereka
berhasil menemukan argumentasi yang konklusif yang mendukung keberadaan
Tuhan, mereka juga pasti tidak akan menolaknya mentah-mentah. Dengan demikian
jelas bahwa mereka yang mengikuti jejak langkah masuk dalam bahtera para filosof
semata, tidak akan memperoleh pencerahan dari badai keraguan dengan akibat
mereka akan tenggelam dan mereka tidak akan sempat menyaksikan mukjizat
Ketauhidan. (Mirza Ghulam Ahmad, Inti Pokok Ajaran Islam, Jld.1)

Allah Ta’ala menerangkan dalam Al-Qur’an tentang kewajiban beriman kepadaNya:


Artinya: ”Allah memberi kesaksian bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Dia dan
demikian pula malaikat-malaikat dan orang-orang berilmu, yang berpegang teguh
pada keadilan; tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. (QS
Ali-Imran [3]: 19)
Dalam kaitannya dengan bagian dari rukun Iman, Rasulullah saw bersabda dalam suatu
kesempatan:

Artinya: Dari ‘Umar bin Khaththâb r.a, ia berkata: ‘Kami sedang duduk-duduk di
sisi Rasulullah saw lalu datanglah seorang laki-laki yang bajunya sangat putih,
rambutnya sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan, dan tidak
ada seorangpun dari kami yang mengenalnya. Hingga dia mendatangi Nabi s.a.w, lalu
menyandarkan lututnya pada lutut beliau dan meletakan kedua telapak tangannya
pada paha beliau, kemudian dia bertanya: ‘Apa iman? Rasulullah saw menjawab:
‘Kamu beriman kepada Allah dan malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-
Nya, dan hari akhir, dan takdir baik dan buruk.” (HR. Tirmizi, Kitab Iman, bab Jibril
menggambarkan tentang Iman dan Islam kepada Rasulullah saw)
Tuhan kita adalah Maha Esa dalam Wujud-Nya dan dalam Sifat-sifat-Nya. Tidak ada
wujud lainnya yang bersifat abadi dan tegak dengan sendirinya seperti Wujud-Nya.
Begitu juga sifat-sifat dari wujud lain yang menyamai Sifat-sifat-Nya. Pengetahuan
seseorang membutuhkan seorang guru dan itu pun tetap terbatas. Pengetahuan
Tuhan tidak memerlukan guru dan tanpa batas. Kemampuan pendengaran seseorang
tergantung kepada udara dan bersifat terbatas, tetapi sifat mendengar yang dimiliki
Allah Ta’ala bersifat inheren dan tanpa batas. Kemampuan penglihatan manusia
tergantung kepada adanya sinar matahari atau sumber sinar lainnya serta bersifat
terbatas, sedangkan penglihatan Tuhan adalah berasal dari Nur yang inheren dalam
Wujud-Nya dan tanpa batasan. Kemampuan manusia untuk mencipta tergantung
pada sarana dan waktu serta bersifat terbatas. Kemampuan Allah mencipta tidak
bergantung pada apa pun, tidak juga pada waktu dan bersifat tanpa batas. Semua
sifat-sifat-Nya tanpa banding dan tidak ada apa pun yang sepadan dengan Wujud-
Nya atau pun sifat-sifat-Nya. Jika ada sifat-Nya yang dianggap cacat maka
keseluruhan sifat-Nya juga pasti akan cacat dan karena itu ke-Esaan-Nya tidak bisa
ditegakkan sepanjang belum menyadari bahwa Dia itu tidak ada yang menyamai
dalam Wujud-Nya. Dia bukan putra siapa pun dan tidak ada siapa pun yang menjadi
putra-Nya. Dia itu tegak dengan sendiri-Nya dan tidak membutuhkan ayah ataupun
anak. Inilah Ketauhidan yang diajarkan Al-Qur’an dan menjadi dasar dari agama kita.
(Khutbah Lahore, Lahore, Rifahi Aam Steam Press, 1904; sekarang dicetak
dalam Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 152-155, London, 1984).
Allah Taala sendiri telah berfirman mengenai bukti-bukti DzatNya Yang Maha Kuat
dan mengeni WujudNya Yang Maha Kuasa: “Afillāhi syakkun fāṭiris samāwāti wal arḍi”
(QS. Ibrahim [14]: 11). Yakni, apakah masih bisa ragu mengenai Wujud Alah yang
merupakan Pencipta langit dan bumi?

Lihat, ini adalah suatu hal yang sangat jelas dan sederhana, yakni dengan
menyaksikan suatu ciptaan maka mau tidak mau harus diakui keberadaan
penciptanya. Dengan melihat sebuah sepatu yang bagus atau sebuah kotak, maka
beriringan dengan itu terpaksa diakui perlunya keberadaan si pembuat barang itu.
Lalu, sangat mengherankan, bagaimana mungkin bisa ada dalih untuk mengingkari
Wujud Allah Taala? Bagaimana mungkin dapat timbul pengingkaran terhadap wujud
Pencipta seperti itu, yaitu pencipta yang dengan ribuan keajaiban-Nya bumi serta
langit ini dipenuhi?

Oleh karena itu, pahamilah dengan seyakin-yakinnya bahwa walau setelah


menyaksikan keajaiban-keajaiban dan ciptaan-ciptaan qudrat ini yang sedikit pun
tidak mengandung campur tangan kekuatan manusia dan kekuatan akal pikiran
manusia jika ada orang bodoh yang meragukan Dzat dan wujud Allah, maka berarti
manusia malang itu terbelenggu di dalam cengkeraman setan, dan dia harus istighfar.
Pengingkaran terjadap Wujud Allah tidak berlandaskan pada dalil dan kesaksian.
Justru, mengingkari Wujud Allah Yang Maha Mulia itu dalam kondisi dimana manusia
menyaksikan qudrat-qudrat-Nya dan ciptaan-ciptaan-Nya adalah suatu kebutuhan
yang sangat besar. (Malfuzhat, Add.Nazir Isyaat, London, 1984, jld.1,h.52-53)
Ketauhidan Menurut Ajaran Al-Qur’an
Kitab Suci Al-Qur’an terdiri dari petunjuk-petunjuk yang mengarah kepada kasih
Allah swt Firman-firman itu menggambarkan keindahan Wujud-Nya dan mengingatkan
akan kerahiman-Nya, dimana kecintaan kepada Tuhan tercipta melalui penghayatan
keindahan itu atau karena menyadari kerahiman tersebut. Al-Qur’an mengajarkan
bahwa dengan memperhatikan segala kemuliaan-Nya maka disimpulkan kalau Tuhan
itu Maha Esa tanpa sekutu. Dia tidak memiliki cacat apa pun. Dia merangkum segala
sifat yang baik dan memanifestasikan semua kekuatan suci-Nya. Dia adalah sumber
dari segala ciptaan dan mata air dari berkat. Dia adalah pemilik dari semua ganjaran
dan segala-galanya akan kembali kepada-Nya. Dia itu dekat tetapi juga jauh, Dia itu
jauh tetapi juga dekat. Dia berada di atas segalanya, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa
ada seseorang di bawah-Nya. Dia itu lebih tersembunyi dari segalanya tetapi tidak
bisa dikatakan bahwa ada yang lebih mewujud dari sosok-Nya. Dia itu ada dengan
sendiri-Nya dan segalanya hidup karena-Nya. Dia itu eksis dengan sendiri-Nya dan
semuanya eksis melalui-Nya. Dia itu tegak dengan sendiri-Nya dan tak ada satu pun
yang menopang-Nya. Tidak ada apa pun yang mewujud atas dirinya sendiri atau bisa
hidup sendiri tanpa Dia. Dia meliputi keseluruhan tetapi tidak bisa dikatakan apakah
sifat peliputan itu. Dia adalah Nur bagi semua yang ada di langit dan di bumi, setiap
sinar memancar keluar dari tangan-Nya dan menjadi refleksi daripada Wujud-Nya. Dia
adalah yang menghidupi alam semesta. Tidak ada jiwa yang tidak dihidupi oleh-Nya
dan eksis dengan sendirinya. Tidak ada jiwa yang memiliki kekuatan bukan dari
Wujud-Nya dan yang eksis dari dirinya sendiri. (Mirza Ghulam Ahmad, Inti Pokok
Ajaran Islam, jilid 1)

Jadi, ingatlah selalu, bahwa dengan memisahkan diri dari Allah Ta’ala, seberapa
besar pendakwaan yang dilakukan seseorang hanya atas dasar ilmu dan pengalaman
dirinya, maka sebesar itu pulalah dia akan mengalami kekalahan. Orang-orang Islam
memiliki kebanggaan akan Tauhid. Yang dimaksud dengan Tauhid tidak hanya
mengikrarkan Tauhid melalui lidah saja. Melainkan yang sebenarnya adalah,
berikanlah bukti secara hakikat dalam bentuk amalan pada perbuatan-perbuatan
kalian bahwa kalian itu benar-benar menjunjung Tauhid dan hanya Tauhid-lah prinsip
kalian.

Merupakan keimanan orang-orang Islam bahwa segala perkara berasal dari Allah
Ta’ala. Oleh karena itu pada waktu gembira orang-orang Islam
mengucapkan alḥamdulillāh dan pada waktu sedih serta berduka
mengucapkan innālillāhi wa innā ilaihi rōji‘ūn. Dengan itu orang Islam membuktikan
bahwa benar-benar sumber segala pekerjaan mereka hanyalah Allah.

Orang-orang yang memisahkan diri dari Allah lalu ingin mengambil suatu kenikmatan
hidup, maka mereka hendaknya ingat bahwa kehidupan mereka itu sangatlah tidak
nikmat. Sebab, ketenangan dan ketenteraman hakiki sama sekali tidak dapat diraih
tanpa meleburkan diri ke dalam Allah dan tanpa menjadikan-Nya sebagai sumber
serta tempat kembali setiap hal. Kehidupan orang-orang seperti itu merupakan
kehidupan binatang, dan tidak dapat berupa kehidupan yang memperoleh
ketenteraman. Ketenangan dan ketenteraman hakiki diberikan hanya kepada orang-
orang yang tidak memisahkan diri dari Allah, dan setiap saat mereka memanjatkan
doa-doa dari dalam kalbu mereka kepada Allah Taala.

Kebenaran suatu agama terdapat dalam hal ini, yakni bagaimana seorang manusia
tidak memisahkan diri dari Allah Taala dalam kondisi apa pun. Apalah artinya agama
itu, dan apalah artinya kehidupan itu, tatkala sepanjang hidup tetapi tidak pernah
disebutkan nama Allah Taala? Sebenarnya, seluruh kepincangan ini timbul hanya
akibat gaya hidup yang tidak ingin dikekang dan yang menginginkan kebebasan tanpa
kendali. Dan kebebasan tanpa kendali ini jugalah yang mengakibatkan sebagian
besar umat manusia menyukai gaya hidup seperti itu. (Malfuzhat, Add.Nazir Isyaat,
London, 1984, jld.10, h.345-346)

Allah s.w.t. memiliki empat sifat utama yang dapat dianggap sebagai induk dari semua
sifat-sifat lainnya. Setiap jenisnya merupakan kewajiban untuk dipahami bagi sifat
kemanusiaan kita. Keempat sifat itu
adalah Robubiyat, Rahmaniyat, Rahimiyat dan Malikiyat dari Hari Penghisaban.
Sifat Rabubiyat untuk manifestasinya memerlukan ketiadaan atau keadaan yang
mendekati ketiadaan sama sekali. Semua bentuk ciptaan, baik yang bernyawa mau
pun benda mati, mewujud melalui sifat tersebut. Sifat Rahmaniyat untuk
manifestasinya menuntut ketiadaan eksistensi dan pelaksanaan fungsinya hanya
berkait dengan mahluk hidup dan tidak dengan benda mati. Sifat Rahimiyat bagi
manifestasinya mempersyaratkan ketiadaan dan tidak eksisnya sifat ini dari bagian
penciptaan yang memiliki daya nalar dan karena itu hanya berkaitan dengan manusia
saja. Adapun sifat Malikiyat dari Hari Penghisaban mensyaratkan permohonan dan
kesujudan dengan merendahkan diri agar sifat ini bermanifestasi. Karena itu sifat ini
berkaitan dengan kelompok manusia yang menjatuhkan diri sebagai pengemis di
hadirat yang Maha Esa dengan mengembangkan jubah ketulusan mereka agar dapat
menampung rahmat Ilahi karena mereka menyadari kekosongan tangan mereka dan
hanya mengharapkan Malikiyat Ilahi. Keempat sifat ini beroperasi sepanjang masa.
Sifat Rahimiyat membawa manusia kepada persujudan. Adapun
sifat Malikiyat menyebabkan manusia merasa diselimuti api ketakutan dan keperihan
luar biasa yang melahirkan rasa rendah hati yang haqiqi karena sifat ini menegaskan
bahwa Allah s.w.t. adalah Tuhan dari pengganjaran dimana tidak ada seorang pun
mempunyai hak untuk menuntut apa pun. Pengampunan dan keselamatan bisa
diperoleh hanya karena karunia rahmat. (Ayyamus Sulh, Qadian, Ziaul Islam Press,
1899; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 14, hal. 242-243, London, 1984).
Beriman Kepada Allah Melalui Rasulullah saw
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. bersabda: Adalah pendapat yang salah sama sekali
mengharapkan bisa beriman kepada Ke-Esaan Allah s.w.t. tanpa melalui bimbingan
Yang Mulia Rasulullah saw dan juga tak akan mungkin memperoleh keselamatan tanpa
hal tersebut. Bagaimana mungkin bisa muncul keimanan kepada Ketauhidan Ilahi jika
tidak yakin sepenuhnya akan eksistensi-Nya? Percaya dan yakinlah bahwa keimanan
kepada Ketauhidan Ilahi hanya dapat dicapai melalui seorang Nabi sebagaimana Nabi
Suci Rasulullah s.a.w. telah meyakinkan para ateis dan umat pagan di Arabia mengenai
eksistensi Allah yang Maha Kuasa dengan memperlihatkan kepada mereka beribu-
ribu tanda-tanda samawi. Sampai dengan hari ini, para pengikut yang benar dan sejati
dari Hazrat Rasulullah s.a.w.bisa memperlihatkan tanda-tanda itu kepada para ateis.”
(Haqiqatul Wahyi, Qadian, Magazine Press, 1907; Sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, London, 1984, Vol. 222, hlm. 120-121)
‫‪Hadits-Hadits Yang Menjelaskan Tentang‬‬
‫‪Kenikmatan Iman‬‬
‫‪Khutbah Pertama:‬‬

‫ب ِإلَ ْي ِه ‪َ ،‬ونَعُ ْوذُ‬ ‫ست َ ْغ ِف ُر ُه َونَت ُ ْو ُ‬


‫ست َ ِع ْينُهُ َونَ ْ‬
‫ِإ َّن ال َح ْم َد ِ َّّلِلِ نَ ْح َم ُد ُه َونَ ْ‬
‫ت أ َ ْع َما ِلنَا ‪َ ،‬م ْن يَ ْه ِد ِه هللاُ فَ ََل‬ ‫س ِيئَا ِ‬‫سنَا َو َ‬ ‫ِباهللِ ِم ْن ش ُُر ْو ِر أ َ ْنفُ ِ‬
‫ش َه ُد أ َ ْن ََل ِإلَهَ ِإ ََّل هللاُ َو ْح َدهُ‬ ‫ِي لَهُ ‪َ ،‬وأ َ ْ‬ ‫ض ِل ْل فَ ََل َهاد َ‬ ‫ُم ِض َّل لَهُ َو َم ْن يُ ْ‬
‫صلَّى هللاُ‬ ‫س ْولُهُ ؛ َ‬ ‫ع ْب ُد ُه َو َر ُ‬‫ش َه ُد أ َ َّن ُم َح َّمدا ً َ‬
‫ََل ش َِر ْي َك لَهُ ‪َ ،‬وأ َ ْ‬
‫ص ْحبِ ِه أ َ ْج َم ِع ْي َن ‪ ،‬أ َ َّما بَ ْع ُد‬
‫علَى آ ِل ِه َو َ‬ ‫سلَّ َمعَلَ ْي ِه َو َ‬ ‫‪َ :‬و َ‬

‫أَيُّ َها ال ُم ْؤ ِمنُ ْو َن ِعبَا َد هللاِ ‪ :‬اِتَّقُ ْوا هللاَ تَعَالَى ؛ فَ ِإ َّن َم ِن اتَّقَى هللاَ َوقَا ُه‬
‫‪َ .‬وأ َ ْر َ‬
‫ش َدهُ إِلَى َخ ْي ٍر أ ُ ُم ْو ٍر ِد ْينِ ِه َو ُد ْنيَاهُ‬
‫‪Ayyuhal mukminun ibadallah,‬‬

‫‪Sesungguhnya nikmat Allah Jalla wa ‘Ala sangat banyak tak terhingga.‬‬


‫‪Sebagaimana firman-Nya,‬‬
َّ َ‫َوإِ ْن تَعُدُّوا نِ ْع َمة‬
ُ ‫َّللاِ ََل ت ُ ْح‬
‫صو َها‬
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya.” (QS. Ibrahim: 34).

Dan nikmat Allah Jalla wa ‘Ala yang paling utama dan paling istimewa yang Dia
berikan untuk hamba-hamba-Nya adalah nikmat iman. Inilah nikmat yang paling
agung yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Jalla wa
‘Ala berfirman,

‫ان َو َزيَّنَهُ فِي قُلُوبِ ُك ْم َوك ََّر َه إِلَ ْي ُك ُم‬


َ ‫اْلي َم‬ ِ ْ ‫ب إِلَ ْي ُك ُم‬ َّ ‫َولَ ِك َّن‬
َ َّ‫َّللاَ َحب‬
‫ض ًَل ِم َن‬ ْ َ‫) ف‬7( ‫ُون‬ َ ‫شد‬ َّ ‫ان أُولَئِ َك ُه ُم‬
ِ ‫الرا‬ َ َ ‫صي‬ْ ‫وق َوا ْل ِع‬ َ ‫س‬ ُ ُ‫ا ْل ُك ْف َر َوا ْلف‬
‫ع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬ َّ ‫َّللاِ َو ِن ْع َمةً َو‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ
“Tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan
keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang
mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hujurat: 7-8).

Ibadallah,

Dengan keimanan, akan didapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan


keimanan akan digapai ketenangan, syahdu, dan kemantapan hati dan jiwa.
Dengan keimanan juga diperoleh kenikmatan kehidupan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala berfirman,
ً‫صا ِل ًحا ِم ْن ذَك ٍَر أ َ ْو أ ُ ْنثَى َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن فَلَنُ ْحيِيَنَّهُ َحيَاة‬ َ ‫َم ْن ع َِم َل‬
َ ُ‫س ِن َما كَانُوا يَ ْع َمل‬
‫ون‬ َ ‫َط ِيبَةً َولَنَ ْج ِزيَنَّ ُه ْم أ َ ْج َر ُه ْم ِبأ َ ْح‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-
Nahl: 97).

Dengan keimanan, surga dan kenikmatan serta anugerah yang begitu banyak di
dalamnya dapat diraih. Dengan keimanan akan diperoleh keselamatan dari
neraka dan dari adzab yang pedih di dalamnya.

Dengan keimanan, seorang mukmin akan berjumpa dan memandang wajah


Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabb Yang Mahamulia. Dan ini adalah kenikmatan
tersbesar yang diperoleh oleh ahlul iman. Allah berfirman,

ٌ‫اظ َرة‬
ِ َ‫) إِلَى َر ِب َها ن‬22( ٌ‫اض َرة‬
ِ َ‫ُو ُجوهٌ يَ ْو َمئِ ٍذ ن‬
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang ditujukan kepada ahlul


iman,

‫ون فِي ُر ْؤيَتِ ِه‬ َ ُ ‫ست َ َر ْو َن َربَّ ُك ْم َك َما ت َ َر ْو َن َهذَا ا ْلقَ َم َر ََل ت‬
َ ‫ضا ُم‬ َ ‫ِإنَّ ُك ْم‬
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rab kalian, sebagaimana kalian melihat
bulan purnama ini. Kalian tidak berdesak-desakan dalam memandangnya.”
Nikmat keimanan dan buah darinya tidak terhitung dan tidak terbilang. Bahkan
setiap kenikmatan yang kita peroleh, baik di dunia maupun di akhirat merupakan
buah dari keimanan kita. Demikian juga setiap kali kita terhindar dari kejelekan
dan musibah baik di dunia maupun akhirat itu juga merupakan buah dari
keimanan.

Wajib bagi seorang mukmin yang Allah anugerahkan keimanan dan hidayah
dengan agama ini untuk menjadi orang yang paling kuat berpegang teguh
dengan keimanan, menjaga, dan memperhatikannya, serta memohon kepada
Allah Jalla wa ‘Ala agar terus memantapkan keimanannya hingga kematian
menjemputnya. Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫ِين آ َ َمنُوا ِبا ْلقَ ْو ِل الثَّا ِب‬


‫ت فِي ا ْل َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َوفِي‬ َّ ُ‫يُث َ ِبت‬
َ ‫َّللاُ الَّذ‬
َّ ‫ين َويَ ْفعَ ُل‬
‫َّللاُ َما يَشَا ُء‬ َّ ‫ْاْلَ ِخ َر ِة َويُ ِض ُّل‬
َ ‫َّللاُ ال َّظا ِل ِم‬
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-
orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27).

Ibdallah,

Penjelasan tentang keimanan ini terdapat dalam Kitabullah dan sunnah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang ingin mempelajarinya,
maka hendaklah ia menelaah Kitabullah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dari bimbingan cahaya keduanyalah iman itu diketahui.
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada Rasul-Nya,
ُ َ ‫َو َكذَ ِل َك أ َ ْو َح ْينَا إِلَ ْي َك ُرو ًحا ِم ْن أ َ ْم ِرنَا َما ُك ْنتَ تَد ِْري َما ا ْل ِكت‬
‫اب َو ََل‬
‫ورا نَ ْهدِي بِ ِه َم ْن نَشَا ُء ِم ْن ِعبَا ِدنَا‬ ً ُ‫ان َولَ ِك ْن َجعَ ْلنَاهُ ن‬ ُ ‫اْلي َم‬ ِْ
ْ ‫َو ِإنَّ َك لَت َ ْهدِي ِإلَى ِص َراطٍ ُم‬
‫ست َ ِق ٍيم‬
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Alquran) dengan perintah
Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (Alquran) dan
tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Alquran itu
cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52).

Dengan bimbingan al-Kitab dan as-sunnah seorang mukmin akan mengetahui


tentang hakikat iman. Betapa kita sangat membutuhkan untuk mengkaji tentang
keimanan, membahas poin-poin dan keadaan iman berdasarkan bimbingan
Kitabullah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berikut ini
beberapa hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamyang menjelaskan tentang
keimanan:

Pertama, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab radhiallahu
‘anhu tentang kisah datangnya Jibril ‘alaihissalam menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dalam hadits tersebut Jibril bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,

َّ ‫ان ؟ قَا َل أ َ ْن ت ُ ْؤ ِم َن ِب‬


ُ ‫اّلِلِ َو َم ََلئِ َكتِ ِه َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر‬
‫س ِل ِه‬ ِ ‫اْلي َم‬ ِ ْ ‫أ َ ْخ ِب ْرنِي ع َْن‬
‫َوا ْليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر َوت ُ ْؤ ِم َن ِبا ْلقَد َِر َخ ْي ِر ِه َوش َِر ِه‬
“Kabarkanlah kepadaku tentang iman!” Rasulullah menjawab, “Engkau beriman
kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.”

Hadits ini menunjukkan bahwa iman adalah ajaran inti yang agung dan pondasi
yang kuat. Dan ia memiliki enam unsur asasi: (1) iman kepada Allah Tabaraka
wa Ta’ala, (2) iman kepada malaikat-malaikat, (3) iman kepada kitab-kitab, (4)
iman kepada rasul-rasul, (5) iman kepada hari akhir, dan (6) iman kepada takdir
yang baik maupun takdir yang buruk. Penjelasan terperinci mengenai enam
rukun iman ini dapat dijumpai di buku-buku permasalahan akidah.

Kedua, sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiallahu
‘anhumabahwasanya ada beberapa orang utusan dari bani Abdul Qois
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata,

‫ش ْه ِر ا ْل َح َر ِام َوبَ ْينَنَا‬َّ ‫يك ِإ ََّل فِي ال‬ َ ِ‫ست َ ِطي ُع أ َ ْن نَأْت‬
ْ َ‫َّللاِ ِإنَّا ََل ن‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫يَا َر‬
‫ص ٍل نُ ْخ ِب ْر ِب ِه َم ْن‬ ْ َ‫ض َر فَ ُم ْرنَا ِبأ َ ْم ٍر ف‬
َ ‫َوبَ ْينَ َك َهذَا ا ْل َح ُّي ِم ْن ُكفَّ ِار ُم‬
، ‫َو َرا َءنَا َونَ ْد ُخ ْل ِب ِه ا ْل َجنَّةَ ؟ فَأ َ َم َر ُه ْم ِبأ َ ْربَ ٍع َونَ َها ُه ْم ع َْن أ َ ْربَ ٍع‬
‫اّلِلِ َو ْح َد ُه ؟‬َّ ‫اْلي َما ُن ِب‬ِ ْ ‫ون َما‬ َ ‫اّلِلِ َو ْح َد ُه قَا َل أَتَد ُْر‬
َّ ‫ان ِب‬ ِ ْ ‫أ َ َم َر ُه ْم ِب‬
ِ ‫اْلي َم‬
‫َّللاُ َوأ َ َّن‬
َّ ‫ش َها َدةُ أ َ ْن ََل ِإلَهَ ِإ ََّل‬َ ‫ قَا َل‬، ‫سولُهُ أ َ ْعلَ ُم‬ َّ ‫قَالُوا‬
ُ ‫َّللاُ َو َر‬
َ ‫ض‬
‫ان‬ َ ‫الزكَا ِة َو ِصيَا ُم َر َم‬ َّ ‫ص ََل ِة َوإِيتَا ُء‬ َّ ‫َّللاِ َوإِقَا ُم ال‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ُم َح َّمدًا َر‬
‫س‬َ ‫طوا ِم ْن ا ْل َم ْغنَ ِم ا ْل ُخ ُم‬ ُ ‫َوأ َ ْن ت ُ ْع‬
“Wahai Rasulullah, kami tidak bisa datang menemui Anda kecuali hanya di bulan
haram. Karena antara tempat tinggal kami dan tempat tinggal Anda terdapat
suatu perkampungan kafir dari bani Mudhar. Ajarkanlah kami amalan yang
ringkas yang kami bisa ajarkan kepada orang-orang di kampung kami, dan kami
bisa masuk surga karena mengamalkannya?” Maka Nabi memerintahkan mereka
dengan empat perkara dan melarang mereka dari empat perkara. Beliau
memerintahkan mereka agar beriman kepada Allah semata. Beliau bertanya,
“Tahukah kalian apa itu beriman hanya kepada Allah?” Mereka menjawab, “Allah
dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah menjelaskan, “(yaitu)
Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad
adalah rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan, dan memberikan seperlima dari ghanimah.”

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan keimanan


dengan amalan yang tampak (bukan amalan hati). Sedangkan dalam hadits Jibril
Nabi menafsirkan keimanan dengan keyakinan batin. Kedua hadits ini
menunjukkan bahwa iman itu dibangun dari apa yang ada di hati berupa
keimanan dan keyakinan yang benar dan juga dibangun dengan amalan-amalan
anggota badan berupa ketaatan kepada Allah.

Yang paling utama dari keimanan adalah dua kalimat syahadat, kemudian
menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke
Baitullah. Jadi shalat adalah bentuk keimanan, puasa adalah bentuk keimanan,
membayar zakat adalah bentuk keimanan, dan haji adalah bentuk keimanan.
Bahkan kelima perkara ini adalah bangunan Islam sebagaimana dalam hadits
dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫َّللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا‬


َّ ‫ش َها َد ِة أ َ ْن ََل ِإلَهَ ِإ ََّل‬
َ : ‫علَى َخ ْم ٍس‬ َ ‫س ََل ُم‬ ِ ْ ‫بُ ِن َي‬
ْ ‫اْل‬
‫ص ْو ِم‬
َ ‫ت َو‬ ِ ‫الزكَا ِة َو َحجِ ا ْلبَ ْي‬ َّ ‫اء‬ َّ ‫َّللاِ َوإِقَ ِام ال‬
ِ َ ‫ص ََل ِة َوإِيت‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َر‬
َ ‫ض‬
‫ان‬ َ ‫َر َم‬
“Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan
(syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji,
dan puasa Ramadhan”. (HR. Bukari).

Di antara bentuk keimanan yang wajib adalah mencintai Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallamlebih dari mencintai diri sendiri, orang tua, anak, dan atau orang-
orang selain beliau. Dari Anas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ ‫ُون أ َ َح‬
‫ب إِلَ ْي ِه ِم ْن َوا ِل ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالنَّا ِس‬ َ ‫ََل يُ ْؤ ِم ُن أ َ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَك‬
َ ‫أ َ ْج َم ِع‬
‫ين‬
“Tidak (sempurna) keimanan salah seorang di antara kalian sampai aku lebih dia
cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan
Muslim).

Umar bin Khattab pernah mengatakan,

‫ فَقَا َل‬، ‫ب ِإلَ َّي ِم ْن ك ُِل ش َْيءٍ ِإ ََّل ِم ْن نَ ْفسِي‬ ُّ ‫َّللاِ ََل َ ْنتَ أ َ َح‬
َّ ‫سو َل‬
ُ ‫يَا َر‬
َ ‫ ََل َوالَّذِي نَ ْفسِي بِيَ ِد ِه َحتَّى أَك‬: ‫النَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم‬
‫ُون‬
‫ب‬ُّ ‫َّللاِ ََل َ ْنتَ أ َ َح‬
َّ ‫ع َم ُر فَ ِإنَّهُ ْاْل َن َو‬
ُ ُ‫ فَقَا َل لَه‬، ‫ب إِلَ ْي َك ِم ْن نَ ْفس َِك‬َّ ‫أ َ َح‬
ُ ‫ِإلَ َّي ِم ْن نَ ْفسِي فَقَا َل النَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم ْاْل َن يَا‬
‫ع َم ُر‬
“Wahai Rasulullah, sungguh Anda adalah seorang yang paling aku cintai
daripada segala sesuatu kecuali dari diriku.” Maka, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak (demikian), demi Yang jiwaku berada di
tangan-Nya, sehingga aku lebih kamu cintai dibandingkan dirimu.” Lalu Umar
berkata kepada beliau, “Sesungguhnya sekarang, demi Allah, Anda adalah orang
yang paling aku cintai (bahkan) dari diriku”, lalu Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekarang, wahai Umar”.

Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sebuah kalimat


pengakuan lisan semata, akan tetapi cinta itu terwujud dalam ketaatan terhadap
apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, membenarkan apa
yang beliau kabarkan, menjauhi apa yang beliau larang. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam firman-Nya,

َّ ‫َّللاَ فَاتَّبِعُونِي يُ ْح ِب ْب ُك ُم‬


‫َّللاُ َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم‬ َّ ‫ون‬َ ُّ‫قُ ْل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحب‬
ٌ ُ ‫غف‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ َّ ‫ذُنُوبَ ُك ْم َو‬
َ ُ‫َّللا‬
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Ali Imran: 31).

Bentuk keimanan yang lainnya adalah seseorang mencintai atau suka jika
saudaranya seiman mendapatkan sesuatu yang ia suka juga kalau hal itu ia
dapatkan. Oleh karena itu, hasad merupakan sesuatu yang mengurangi
keimanan. Wajib bagi seorang muslim untuk menanamkan di hatinya rasa suka
dan cinta apabila saudaranya dari kalangan orang-orang yang beriman
mendapatkan kebaikan. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُّ ‫ب َِل َ ِخي ِه َما يُ ِح‬


ِ ‫ب ِلنَ ْف‬
‫س ِه‬ َّ ‫ََل يُ ْؤ ِم ُن أ َ َح ُد ُك ْم َحتَّى يُ ِح‬
“Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sampai dia mencintai
(kebaikan) untuk saudaranya sesuatu yang dia cintai untuk dirinya”. (HR. Bukhari
dan Muslim).

Bentuk keimanan lainnya adalah menjaga amanah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

ُ‫ان ِل َم ْن ََل أ َ َمانَةَ لَه‬


َ ‫ََل إِي َم‬
“Tidak keimanan bagi mereka yang tidak memiliki amanah.”

Amanah meliputi menjaga agama dengan ketaatan kepada Rabbul ‘alamin,


mengerjakan apa yang Dia perintahkan dan menjauhkan diri dari yang Dia
larang. Termasuk juga bentuk amanah adalah menjaga hak-hak dan menunaikan
tugas, menjauhkan diri dari khianat, berbuat curang, dan bentuk-bentuk interaksi
buruk lainnya.

Termasuk keimanan juga adalah meninggalkan sesuatu yang haram dan


menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ب ا ْل َخ ْم َر‬ُ ‫ َو ََل يَش َْر‬، ‫ين يَ ْزنِي َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن‬ َ ‫الزانِي ِح‬ َّ ‫ََل يَ ْزنِي‬
َ ‫ق ِح‬
‫ين‬ ُ ‫س ِار‬َّ ‫ق ال‬ُ ‫س ِر‬ْ َ‫ َو ََل ي‬، ‫ين يَش َْربُ َها َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن‬ َ ‫ش َِاربُ َها ِح‬
‫اس ِإلَ ْي ِه فِي َها‬ ُ َّ‫ب نُ ْهبَةً يَ ْرفَ ُع الن‬ ُ ‫ َو ََل يَ ْنت َ ِه‬، ‫ق َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن‬
ُ ‫س ِر‬
ْ َ‫ي‬
‫ين يَ ْنت َ ِهبُ َها َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن‬
َ ‫ار ُه ْم ِح‬ َ ‫أ َ ْب‬
َ ‫ص‬
“Tidaklah seseorang berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang
meminum minuman keras ketika meminumnya dalam keadaan beriman, tidaklah
seseorang melakukan pencuria dalam keadaan beriman dan tidaklah seseorang
merampas sebuah barang rampasan di mana orang-orang melihatnya, ketika
melakukannya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa jatuh ke dalam kemaksiatan dan melakukan dosa
besar termasuk perbuatan yang mengurangi kesempurnaan iman. Meninggalkan
zina, tidak meminum khamr, tidak merampas hak orang lain, dan tidak mencuri,
semua itu adalah bentuk keimanan yang Allah Tabaraka wa Ta’ala wajibkan
kepada para hamba-Nya. Barangsiapa yang mengerjakan salah satu dari hal-hal
di atas, maka berkuranglah keimanannya sesuai kadar dosa dan kemaksiatan
yang ia lakukan.

Bentuk keimanan yang lainnya adalah taubat kepada Allah dan kembali kepada-
Nya. Taubat adalah amalan yang sangat dicintai Allah Jalla wa ‘Ala. Allah
senantiasa membuka pintu taubat bagi hamba-hamab-Nya. Dia berfirman,

َّ ‫طوا ِم ْن َر ْح َم ِة‬
ِ‫َّللا‬ ُ َ‫علَى أ َ ْنفُس ِِه ْم ََل ت َ ْقن‬
َ ‫س َرفُوا‬ ْ َ ‫ِين أ‬ َ ‫قُ ْل يَا ِعبَاد‬
َ ‫ِي الَّذ‬
‫الر ِحي ُم‬َّ ‫ور‬ ُ ُ‫وب َج ِميعًا إِنَّهُ ُه َو ا ْلغَف‬ َ ُ‫َّللاَ يَ ْغ ِف ُر الذُّن‬
َّ ‫إِ َّن‬
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).

Ibadallah,

Wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh menjaga keimanan ini. Karena inilah
perhiasan yang hakiki dan keindahan yang sejati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajarkan sebuah doa:
َ ‫اجعَ ْلنَا ُهدَاةً ُم ْهتَد‬
‫ِين‬ ْ ‫ان َو‬ ِ ْ ‫اللَّ ُه َّم َزيِنَّا بِ ِزينَ ِة‬
ِ ‫اْلي َم‬
“Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan keimanan. Dan jadikanlah kami
sebagai orang yang mendapakan petunjuk dan memberi petunjuk (kepada orang
lain).”

‫س ِل ِم ْي َن ِم ْن‬ َ ‫ست َ ْغ ِف ُر هللاَ ِلي َولَ ُك ْم َو ِل‬


ْ ‫سائِ ِر ال ُم‬ ْ َ ‫أَقُ ْو ُل َهذَا القَ ْو ِل َوأ‬
ْ ‫ب فَا‬
َ ‫ست َ ْغ ِف ُر ْو ُه يَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ِإنَّهُ ُه َو الغَفُ ْو ُر‬
‫الر ِح ْي ُم‬ ٍ ‫ك ُِل ذَ ْن‬.
Khutbah Kedua:

, ‫ان‬ِ َ‫ض ِل َوال ُج ْو ِد َوا َِل ْمتِن‬ْ َ‫س ِع الف‬ ِ ‫ان َوا‬ ِ ‫س‬ َ ‫اْل ْح‬ ِ ‫ا َ ْل َح ْم ُد ِ َّّلِلِ ع َِظ ْي ِم‬
ً ‫ش َه ُد أ َ َّن محمدا‬ ْ َ ‫ َوأ‬, ُ‫ش َه ُد أ َ ْن ََل ِإلَهَ إِ ََّل هللاُ َو ْح َد ُه ََل ش َِر ْي َك لَه‬ ْ َ ‫َوأ‬
ْ َ ‫علَى آ ِل ِه َوأ‬
‫ص َحابِ ِه‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َو‬ َ ‫س ْولُهُ ؛‬ ُ ‫ع ْب ُدهُ َو َر‬ َ
‫س ِل ْيما ً َكثِ ْي ًرا‬ َ ‫أ َ ْج َم ِع ْي َن َو‬
ْ َ ‫سلَّ َم ت‬
‫ اِتَّقُ ْوا هللاَ تَعَالَى‬:‫ أَيُّ َها ال ُم ْؤ ِمنُ ْو َن‬،ُ‫أ َ َّما بَ ْعد‬
Ketiga, hadits agung lainnya yang termasuk bangunan keimanan adalah hadits
tentang cabang-cabang keimanan. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

،ُ‫َّللا‬ َ ‫ أَعَْل َها‬،ً‫ش ْعبَة‬


َّ ‫ش َها َدةُ أ َ ْن َل إِلَهَ إَِل‬ ُ ‫ون‬َ ُ‫س ْبع‬ ْ ِ‫ان ب‬
َ ‫ض ٌع َو‬ ُ ‫اْلي َم‬ ِ
‫ان‬ ِ ‫ش ْعبَةٌ ِم َن‬
ِ ‫اْلي َم‬ ُ ‫ َوا ْل َحيَا ُء‬، ‫يق‬ِ ‫َوأ َ ْدنَا َها ِإ َما َطةُ اَلَذَى ع َِن ال َّط ِر‬
“Iman itu ada 60 lebih (atau 70 sekian) cabang. Iman yang paling utama adalah
[ucapan] laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan, sedangkan malu termasuk cabang dari iman.” (HR. Bukhari
dan Muslim).

Hadits menunjukkan bahwa iman itu harus terdapat di hati, di lisan, dan di
anggota badan.

Iman di lisan: Derajat keimanan yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaaha
illallah: diucapkan di hati dalam bentuk keyakinan, dilafadzkan secara lisan
dengan memahami maknanya, konsekuensi, dan maksudnya. Inilah derajat
keimanan yang paling tinggi.

Iman di anggota badan: Dari hadits tersebut juga disimpulkan membuang atau
menyingkirkan gangguan dari jalan adalah bentuk keimanan. Ini adalah bentuk
keimanan dengan anggota badan. Perbuatan ini dicintai oleh Allah Jalla wa ‘Ala.
Orang yang melakukannya, ia akan mendapatkan pahala. Terlebih lagi jika saat
melakukan itu di dalam hatinya terdapat rasa cinta terhadap saudaranya kaum
mukminin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َّللاِ ََلُنَ ِحيَ َّن َهذَا‬


َّ ‫يق فَقَا َل َو‬
ٍ ‫علَى َظ ْه ِر َط ِر‬ َ ‫ش َج َر ٍة‬
َ ‫ص ِن‬ ْ ُ‫َم َّر َر ُج ٌل ِبغ‬
َ‫ِيه ْم فَأُد ِْخ َل ا ْل َجنَّة‬
ِ ‫ين ََل يُ ْؤذ‬ ْ ‫ع َْن ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ِم‬
“Seseorang melewati sebuah dahan suatu pohon yang menjulur ke jalan. Lalu ia
berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku akan menyingkirkan dahan ini dari jalan kaum
muslimin agar mereka tidak terganggu’. Maka dia dimasukkan ke dalam surga.”
(HR. Muslim).

Iman di hati: Kemudian hadits ini menjelaskan bahwa keimanan juga terdapat di
dalam hati. Contohnya adalah memiliki rasa malu. Dalam sabdanya tadi
dikatakan, “sedangkan malu termasuk cabang dari iman”. Bentuk malu yang
paling utama adalah seseorang malu kepada Rabbul ‘alamin yang senantiasa
melihatnya, tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang tersembunyi dari-
Nya.

Malu kepada Allah adalah dalam bentuk menjaga kepala dan segala indra yang
ada padanya, menjaga perut serta apa yang ada di dalamnya, dan mengingat
kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Rasa malu yang demikian akan
menjadikan seorang hamba menjaga ketaatan kepada Allah dan menjauhi
segala yang dilarang-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

‫ستَحِ فَا ْفعَ ْل‬ ُ َّ‫إِ َّن ِم َّما أَد َْر َك الن‬
ْ َ ‫اس ِم ْن ك َََل ِم النُّبُ َّو ِة ْاَلُولَى إِذَا لَ ْم ت‬
َ‫شئْت‬ ِ ‫َما‬
Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-
nabi terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’.” (HR.
Bukhari).

Dengan demikian, jika ada rasa malu, maka kebaikan itu akan ada pula. Apabila
rasa malu itu hilang, maka hilang pula kebaikan, ‘iyadzan billah.

Oleh karena itu, renungkanlah wahai hamba Allah, hadits-hadits tentang


keimanan yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersungguh-
sungguhlah dalam memahaminya dan mengamalkannya.

Dan saya memohon kepada Allah Jalla wa ‘Ala dengan nama-nama dan sifat-
sifat-Nya agar mengokohkan keimanan saya dan Anda sekalian, agar Allah
menghiasi diri kita dengan keimanan, dan menjadikan kita semua hamba-hamba-
Nya bertakwa. Kita juga memohon agar Allah memperbaiki keagamaan kita yang
merupakan sesuatu yang paling penting yang kita miliki, memperbaiki dunnia kita
‫‪dimana kita hidup di dalamnya, dan memperbaiki akhirat kita yang nanti menjadi‬‬
‫‪tempat kembali kita. Kita juga memohon agar Allah menjadikan kehidupan kita ini‬‬
‫‪sebagai penambah bekal kebaikan dan menjadikan kematian sebagai‬‬
‫‪peristirahatan dari segala keburukan.‬‬

‫ع ْب ِد هللاِ َك َما أ َ َم َر ُك ُم‬


‫علَى ُم َح َّم ِد ا ْب ِن َ‬ ‫صلُّ ْوا َو َ‬
‫س ِل ُم ْوا َرعَا ُك ُم هللاُ َ‬ ‫َو َ‬
‫علَى النَّبِي ِ ‪: ‬هللاُ ِبذَ ِل َك فِي ِكتَابِ ِه فَقَا َل‬ ‫ون َ‬ ‫صلُّ َ‬ ‫َّللاَ َو َم ََل ِئ َكتَهُ يُ َ‬
‫إِ َّن َّ‬
‫س ِليما ً‬
‫س ِل ُموا ت َ ْ‬ ‫علَ ْي ِه َو َ‬‫صلُّوا َ‬ ‫ِين آ َمنُوا َ‬ ‫‪‬يَا أَيُّ َها الَّذ َ‬
‫علَ َّي‬‫صلَّى َ‬ ‫سلَّ َم ‪َ (( :‬م ْن َ‬ ‫علَ ْي ِه َو َ‬ ‫صلَّى هللاُ َ‬ ‫[اَلحزاب‪َ ، ]56:‬وقَا َل َ‬
‫عش ًْرا‬ ‫علَ ْي ِه َ‬ ‫صلَّى َّ‬
‫َّللاُ َ‬ ‫اح َدةً َ‬ ‫‪َ (( .‬و ِ‬

‫علَى ِإ ْب َرا ِه ْي َم‬ ‫صلَ ْيتَ َ‬


‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد َك َما َ‬ ‫علَى ُم َح َّم ٍد َو َ‬ ‫ص ِل َ‬ ‫اَللَّ ُه َّم َ‬
‫علَى ُم َح َّم ٍد‬‫علَى آ ِل ِإ ْب َرا ِه ْي َم ِإنَّ َك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد ‪َ ،‬وبَ ِار ْك َ‬ ‫َو َ‬
‫علَى آ ِل إِ ْب َرا ِه ْي َم‬‫علَى إِ ْب َرا ِه ْي َم َو َ‬
‫ار ْكتَ َ‬ ‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد َك َما بَ َ‬ ‫َو َ‬
‫ِإنَّ َك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد‬

‫ش ِد ْي َن اَلَئِ َّم ِة ال َم ْه ِد ِي ْي َن أَبِ ْي بَ ْك ِر‬ ‫الرا ِ‬‫اء َّ‬ ‫ض اللَّ ُه َّم ع َِن ال ُخلَفَ ِ‬ ‫ار َ‬ ‫َو ْ‬
‫ِي النُ ْو َر ْي ِن‪َ ،‬وأَبِي‬ ‫ان ذ ْ‬ ‫عثْ َم َ‬ ‫ق ‪َ ،‬و ُ‬ ‫ع َم َر الفَ ُ‬
‫ار ْو ِ‬ ‫ق ‪َ ،‬و ُ‬ ‫الص ِد ْي ِ‬ ‫ِ‬
‫ص َحابَ ِة أ َ ْج َم ِع ْي َن‪َ ،‬وع َِن‬ ‫ض اللَّ ُه َّم ع َِن ال َّ‬ ‫ار َ‬ ‫ع ِلي‪َ ،‬و ْ‬ ‫سنَ ْي ِن َ‬
‫ال َح َ‬
‫عنَّا َمعَ ُه ْم‬ ‫الد ْي ِن‪َ ،‬و َ‬ ‫ان إِلَى يَ ْو ِم ِ‬ ‫س ٍ‬ ‫التَا ِب ِع ْي َن َو َم ْن تَبِعَ ُه ْم ِب ِإ ْح َ‬
‫سانِ َك يَا أ َ ْك َر َم اَل َ ْك َر ِم ْي َن‬ ‫‪ِ .‬ب َمنِ َك َوك ََر ِم َك َو ِإ ْح َ‬

‫س ِل ِم ْي َن ‪َ ،‬وأ َ ِذ َّل الش ِْر َك َوال ُمش ِْر ِك ْي َن ‪،‬‬


‫س ََل َم َوا ْل ُم ْ‬ ‫اَللَّ ُه َّم أ َ ِع َّز ِ‬
‫اْل ْ‬
‫ب العَالَ ِم ْي َن ‪ .‬اَللَّ ُه َّم‬ ‫اح ِم َح ْو َزةَ ِ‬
‫الد ْي َن يَا َر َّ‬ ‫الد ْي َن َو ْ‬‫َود َِم ْر أ َ ْعدَا َء ِ‬
‫اجعَ ْل ُو ََليَتَنَا‬ ‫ص ِلحْ أَئِ َّمتَنَا َو ُو ََل ِة أ ُ ُم ْو ِرنَا َو ْ‬ ‫آمنَّا فِي أ َ ْو َطانِنَا َوأ َ ْ‬ ‫ِ‬
‫ب العَالَ ِم ْي َن ‪.‬‬ ‫اك يَا َر َّ‬ ‫ض َ‬‫اك َواتَّبَ َع ِر َ‬ ‫فِ ْي َم ْن َخافَ َك َواتَّقَ َ‬
‫علَى ا ْل ِب ِر‬‫ضاهُ َوأ َ ِع ْنهُ َ‬ ‫اَللَّ ُه َّم َوفِقْ َو ِل َي أ َ ْم ِرنَا ِل َما ت ُ ِحبُّهُ َوت َ ْر َ‬
‫س ِد ْد ُه ِفي أ َ ْق َوا ِل ِه َوأ َ ْع َما ِل ِه يَا ذَا ا ْل َج ََل ِل َو ِ‬
‫اْل ْك َر ِام ‪.‬‬ ‫َوالت َ ْق َوى ‪َ ،‬و َ‬
‫س ِل ِم ْي َن ِل ْلعَ َم ِل بِ ِكتَابِ َك‬‫اَللَّ ُه َّم َوفِقْ َج ِم ْي َع ُو ََلةَ أ َ ْم ِر ال ُم ْ‬
‫سنَّ ِة نَ ِبيِ َك محمد صلى هللا عليه وسلم‬ ‫‪َ .‬واتِبَاعِ ُ‬

‫سنَا ت َ ْق َوا َها َز ِك َها أ َ ْنتَ َخ ْي َر‬ ‫ت نُفُ ْو َ‬ ‫اَللَّ ُه َّم يَا ذَا ا ْل َج ََل ِل َو ِ‬
‫اْل ْك َر ِام آ ِ‬
‫سأَلُ َك‬
‫َم ْن َزكَّا َها أ َ ْنتَ َو ِليُّ َها َو َم ْو ََل َها‪ .‬اَللَّ ُه َّم‪ .‬ا َللَّ ُه َّم إِنَّا نَ ْ‬
‫ال ُهدَى َوالتُّقَى َوالعَفَةَ َوال ِغنَى‪ . .‬اَللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر لَنَا ذُنُبَنَا ُكلَّهُ ِدقَّهُ‬
‫علَنَهُ ‪ .‬اَللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر لَنَا َو ِل َوا ِل َد ْينَا‬ ‫س َّرهُ َو َ‬ ‫آخ َرهُ ‪ِ ،‬‬ ‫َو ِجلَّهُ ؛ أ َ َّولَهُ َو ِ‬
‫اء ِم ْن ُه ْم‬ ‫ت ا َ َْل َ ْحيَ ِ‬‫ت َوا ْل ُم ْؤ ِمنِ ْي َن َوال ُم ْؤ ِمنَا ِ‬ ‫س ِل ِم ْي َن َوال ُم ْ‬
‫س ِل َما ِ‬ ‫َو ِل ْل ُم ْ‬
‫علَى‬
‫س ِل ِم ْي َن َوت ُ ْب َ‬ ‫ب ال ُم ْذنِ ِب ْي َن ِم َن ال ُم ْ‬ ‫ت ‪ .‬اَللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ذُنُ ْو َ‬‫َو ْاَل َ ْم َوا ِ‬
‫س ِل ِم ْي َن ‪.‬‬ ‫س ََل َمةَ ِلعُ ُم ْو ِم ال ُم ْ‬ ‫الص َّحةَ َوالعَا ِفيَةَ َوال َّ‬ ‫التَّا ِئ ِب ْي َن َوا ْكت ُ ْب ِ‬
‫اب النَّ ِار‬ ‫عذَ َ‬ ‫سنَةً َوقِنَا َ‬ ‫اْلخ َر ِة َح َ‬ ‫سنَةً َوفِي ِ‬ ‫َربَّنَا آتِنَا فِي ال ُّد ْنيَا َح َ‬
‫‪.‬‬

‫علَى نِعَ ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم‬ ‫َولَ ِذ ْك ُر ‪ِ ‬عبَا َد هللاِ أ ُ ْذك ُُر ْوا هللاَ يَ ْذك ُْر ُك ْم َوا ْ‬
‫شك ُُر ْوهُ َ‬
‫صنَعُ َ‬
‫ون‬ ‫َّللاِ أ َ ْكبَ ُر َو َّ‬
‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم َما ت َ ْ‬ ‫‪َّ  .‬‬
‫‪Diterjemahkan dari khotbah Jumat Syaikh Abrurrazzaq bin Abdul Muhsin al-‬‬
‫‪Abbad‬‬
Dalil Iman Kepada Allah swt
Posted by: sari on: 12 Mei 2009
 Di: akidah | dalil

 11 Comments
Iman kepada Allah Subhanhu wa ta’alaa adalah satu kalimat yang sudah tidak asing lagi di telinga
kita. Namun demikian, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan iman kepada Allah Subhanahu
wa ta’alaa tersebut? Beriman kepada Allah subhanhu wa ta’alaa adalah membenarkan dengan
yakin akan adanya Allah subhanhu wa ta’alaa, membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya,
baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima
ibadat segenap makhluk-Nya, kemudian juga membenarkan dengan yakin, bahwa Allah swt
memiliki sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala
yang baru (makhluk). Sebuah pembenaran yang terealisir dalam hati, lisan, dan amal perbuatan.
Beriman kepada Allah subhanahu wa ta’alaa berarti meninggalkan segala bentuk penghambaan,
bersandar, dan menyembah kepada selain Allah subhanahu wa ta’alaa. Segala bentuk aktivitas
kehidupan, baik yang bersifat lahir maupun bathin, jasmaniah maupun ruhaniah, semuanya hanya
ditujukan untuk beribadah kepada Allah subhanhu wa ta’alaa, untuk mendapatkan ridho dan
rahmat Allah subhanhu wa ta’alaa.
Adapun dalil-dalil yangberkenaan dengan iman kepada Allah subhanhu wa ta’alaa adalah sebagai
berikut:
Firman Allah subhanahu wa ta’alaa:
“Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam ), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan
sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-
rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat.” (QS. An Nisaa’
(4): 136
“Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha
Penyayang.” (QS. Al Baqarah (2): 163.)
“Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya,
tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di
bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan
seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka,
sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-
Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-
Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah (2): 255.)
“Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang
tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak
tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha
Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu
yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang
memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku
kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Hasyr
(59): 22-24 )
“Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala
makhluk dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak
diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia.” (QS. Al Ikhlash
(112): 1-4)
“Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha (20): 14)
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku Tuhan
kalian, maka bartakwalah kepada-Ku.” (QS. Al Mukminun (23): 52)
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua agama yang satu dan Aku Tuhan
kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiya (21): 92)
“Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-Tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah rusak,
binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai Arasy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al
Anbiya’ (21): 22)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, Malaikat, Kitab-Kitab,
Nabi-Nabi…” (QS. Al Baqarah (59): 177)
Sabda RasululIah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
Di antara sejumlah hadits-hadits tersebut, terdapat sebuah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari hadits ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa
Malaikat Jibril pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Iman,
maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-
Rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta beriman kepada qadar yang baik maupun buruk.”
“Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): ‘Saya telah
beriman akan Allah’, kemudian berlaku luruslah kamu.” (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).
“Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang
mengucapkan kalimat La ilaha illallah.” (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).
“Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan
barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka.” (HR.
Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12)
Demikian, semoga bermanfaat.

DZAT, SIFAT, AFAL, DAN ASMA ALLAH


Tauhid merupakan dasar umat Islam. Kepercayaan bahwa Allah adalah Tuhan yang
satu dan merupakan satu-satunya diakui oleh semua mukmin tanpa ada pertentangan akan
hal itu. Namun semua itu perlu pengenalan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah.
Dalam memasuki pintu keTuhanan menjadi hal yang mendalam yaitu mengenal zat,
sifat, af’al dan asma’ ALLah Taala. Perlu diingat juga bahwa segala perbuatan apapun yang
terjadi dan berlaku di dalam alam ini pada hakikatnya adalah Af’al (Perbuatan) Allah ta’ala.
A. DZAT
"Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali "Aku", maka, sembahlah "Aku" ( Qs At
Thoha : 14)
ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau dzat Allah, kalimat….sembahlah "Aku"…
Dzat Allah merupakan perwujudan dari adanya Allah. Sama halnya manusia ada,
karena Allah dan dzat-Nya ada. Allah SWT merupakan zat pribadi dimana zat pribadi
merupakan satu perwujudan yang berdiri sendiri tanpa adanya ketergantungan pada dzat
yang lain. Sangat berbeda dengan manusia yang membutuhkan Allah untuk bisa hidup.
Adanya alam, malaikat, jin, dan manusia itu tercipta karena adanya akibat dari
adanya dzat Allah. Semua ada karena dzat yang maha qadim.
Dzat Allah SWT memiliki sifat-sifat yaitu sifat yang wajib, sifat yang mustahil bagi
allah, dan sifat yang ada pada dzat Allah.
B. SIFAT
Sebagai Sang Khalik, Allah swt memiliki sifat-sifat yang tentunya tidak sama dengan
sifat yang dimiliki oleh manusia ataupun makhluk lainnya. Mengenal sifat-sifat Allah dapat
meningkatkan keimanan kita. Seseorang yang mengaku mengenal dan meyakini Allah itu ada
namun ia tidak mengenal sifat Allah, maka ia perlu lebih mendekatkan diri kepada Allah
swt. Sifat-sifat Allah yang wajib kita imani ada 20.

1. Wujud
Sifat Allah yang pertama yaitu Wujud. Wujud artinya ada. Keimanan seseorang akan
membuatnya dapat berpikir dengan akal sehat bahwa alam semesta beserta isinya ada
karena Allah yang menciptakannya.

“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan
cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk
kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci
Allah, Rabb semesta alam.“ (QS. Al-A’raf: 54)

2. Qidam
Qidam berarti dahulu atau awal. Sifat Allah ini menandakan bahwa Allah swt sebagai
Pencipta lebih dulu ada daripada semesta alam dan isinya yang Ia ciptakan.

“Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu. “ (QS. Al-Hadid: 3)

3. Baqa’
Sifat Allah Baqa’ yaitu kekal. Manusia, hewan ,tumbuhan, dan makhluk lainnya selain
Allah akan mati dan hancur. Kita akan kembali kepadaNya dan itu pasti. Hanya Allah lah
yang kekal.

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabb-mu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan. “ (QS. Ar-Rahman: 26-27)

4. Mukhalafatu lil hawadits


Sifat Allah ini artinya adalah Allah berbeda dengan ciptaanNya. Itulah keistimewaan dan
Keagungan Allah swt.

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. “ (QS. Asy-Syura: 11)

5. Qiyamuhu binafsihi
Sifat Allah selanjutnya yaitu Qiyamuhu binafsihi, yang artinya Allah berdiri sendiri. Allah
menciptakan alam semesta, membuat takdir, menghadirkan surga dan neraka, dan lain
sebagainya, tanpa bantuan makhluk apapun.
“ALLAH, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus
menerus mengurus makhluk-Nya. “ (QS. Ali-Imran: 2)

6. Wahdaniyyah
Sifat Allah Wahdaniyyah yaitu esa atau tunggal. Hal ini sesuai dengan kalimat
syahadat, Asyhadu alaa ilaa ha illallah, Tiada Tuhan selain Allah.

“Sekiranya ada di langit dan di bumi ilah-ilah selain ALLAH, tentulah keduanya itu sudah rusak binasa.
Maka Maha Suci ALLAH yang mempunyai Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. “ (QS. Al-Anbiya:
22)

7. Qudrat
Qudrat adalah berkuasa. Sifat Allah ini berarti Allah berkuasa atas segala yang ada atau
yang telah Ia ciptakan. Kekuasaan Allah sangat berbeda dengan kekuasaan manusia di dunia.
Allah memiliki kuasa terhadap hidup dan mati segala makhluk. Kekuasaan Allah itu sungguh
besar dan tidak terbatas, sedangkan kekuasaan manusia di dunia dapat hilang atas kuasa
Allah swt.

“Sesungguhnya ALLAH berkuasa atas segala sesuatu. “ (QS. Al-Baqarah: 20)

8. Iradat
Iradat berarti berkehendak. Sifat Allah ini menandakan bahwa Allah swt memiliki
kehendak atas semua ciptaanNya. Bila Allah telah berkehendak terhadap takdir atau nasib
seseorang, maka ia takkan dapat mengelak atau menolaknya. Manusia hanya dapat berusaha
dan berdoa, namun Allah lah yang menentukan. Kehendak Allah ini juga atas kemauan Allah
tanpa ada campur tangan dari manusia atau makhluk lainnya.

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hud: 107).

9. Ilmu
Ilmu artinya mengetahui. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, meskipun pada hal yang
tidak terlihat. Tiada yang luput dari penglihatan Allah.

“Katakanlah (kepada mereka): Apakah kamu akan memberitahukan kepada ALLAH tentang
agamamu (keyakinanmu), padahal ALLAH mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi, dan ALLAH Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hujurât: 16)

10. Hayat
Sifat Allah Hayat atau Hidup. Namun hidupnya Allah tidak seperti manusia, karena Allah
yang menghidupkan manusia. Manusia bisa mati, Allah tidak mati, Ia akan hidup terus
selama-lamanya.

“Allah tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia yang Hidup kekal lagi terus menerus
mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS. Al-Baqarah: 255)

11. Sam’un
Sifat Allah Sam’un atau mendengar. Allah selalu mendengar semua hal yang diucapkan
manusia, meskipun ia berbicara dengan halusnya atau tidak terdengar sama sekali.
Pendengaran Allah tidak terbatas dan tidak akan pernah sirna.
“Dan Allah-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “ (QS. Al-Maidah: 76)

12. Basar
Basar artinya melihat. Penglihatan Allah juga tidak terbatas. Ia dapat melihat semua
yang kita lakukan meskipun kita melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Allah
mampu melihat, naik yang besar maupun yang kecil, yang nyata maupun kasat mata. Sifat
Allah ini menandakan bahwa Allah Maha Sempurna.

“Sesungguhnya ALLAH mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi. Dan Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan. “ (QS. Al-Hujurat: 18)

13. Kalam
Kalam artinya berfirman. Sifat Allah ini dapat kita lihat dengan adanya Al Quran sebagai
petunjuk yang benar bagi manusia di dunia. Al Quran merupakan firman Allah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. “ (QS. An-Nisa: 164)

14. Qadirun
Sifat Allah ini berarti Allah adalah Dzat yang Maha Berkuasa. Allah tidak lemah, Ia
berkuasa penuh atas seluruh makhluk dan ciptaanNya.

“Sesungguhnya Alllah berkuasa atas segala sesuatu. “ (QS. Al Baqarah: 20).

15. Muridun
Allah memiliki sifat Muridun, yaitu sebagai Dzat Yang Maha Berkehendak. Ia berkehendak
atas nasib dan takdir manusia.

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Melaksanakan apa yang Dia kehendaki. “ (QS.Hud: 107).

16. ‘Alimun
Sifat Allah ‘Alimun, yaitu Dzat Yang Maha Mengetahui. Allah mengetahui segala hal yang
telah terjadi maupun yang belum terjadi. Allah pun dapat mengetahui isi hati dan pikiran
manusia.

“Dan Alllah Maha Mengetahui sesuatu. “ (QS. An Nisa’: 176).

17. Hayyun
Allah adalah Dzat Yang Hidup. Allah tidak akan pernah mati, tidak akan pernah tidur
ataupun lengah.

“Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup kekal dan yang tidak mati. “ (QS. Al Furqon: 58).

18. Sami’un
Allah adalah Dzat Yang Maha Mendengar. Allah selalu mendengar pembicaraan manusia,
permintaan atau doa hambaNya.

“Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. “ (QS. Al Baqoroh: 256).

19. Basirun
Allah adalah Dzat Yang Maha Melihat. Sifat Allah ini tidak terbatas seperti halnya
penglihatan manusia. Allah selalu melihat gerak-gerik kita. Oleh karena itu, hendaknya kita
selalu berbuat baik.

“Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. “ (QS. Al Hujurat: 18).

20. Mutakallimun
Sifat Allah ini berarti Yang Berbicara. Allah tidak bisu, Ia berbicara atau berfirman
melalui ayat-ayat Al Quran. Bila Al Quran menjadi pedoman hidup kita, maka kita telah
patuh dan tunduk terhadap Allah swt.
`Sifat yang dimiliki oleh Allah merupakan zat pribadi-Nya. Tempat titik tujuannya adalah sifat manusia.
Contohnya manusia melihat maka sifat Allah adalah melihat, manusia mendengar maka sifat Allah adalah
melihat, manusia berkata-kata maka sifat Allah berkata-kata, manusia mempunyai daya maka sifat Allah
Berkuasa, manusia hidup maka sifat Allah adalah hidup namun sifat Allah lebih segalanya dan tidak bisa
dibandingkan dengan manusia.

“barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya”

C. AF’AL

Af’al Allah adalah perbuatan Allah. Bahwa segala yang ada di dunia ini termasuk manusia adalah Af’al
(perbuatan) Allah SWT. Adanya bumi, langit, manusia, malaikat, jin, surga, neraka dan yang lainnya merupakan
Af’al Allah yang disediakan oleh Allah untuk manusia.

Cara musyahadah (menyaksikan) tauhid af’al yaitu :

Melakukan syuhud (memandang/menyaksikan) dan menanamkan keyakinan dalam hati bahwa segala
perbuatan yang menurut kita baik dan jahat itu semua dari Allah.

“Allah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (Q.S ash shoffat : 96)

Perbuatan yang terjadi digolongkan pada:

1. Baik pada bentuk (rupa) dan isi (hakekatnya) seperti iman dan taat

2. Buruk pada bentuk (rupa) namun baik pada pengertian isi (hakekat) seperti kufur dan maksiat.

Namun perlu digaris bawahi bahwa tidak akan ada perbuatan buruk pada diri manusia jika manusianya
sendiri tidak melakukan hal yang buruk pada dirinya sendiri.

D. ASMA

Firman Allah SWT dalam surat Al-Araf ayat 180 :

"Allah mempunyai asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka
akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan".

Asmaaulhusna secara harfiah ialah nama-nama, sebutan, gelarAllah yang baik dan
agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-namaAllah yang agung dan mulia itu merupakan
suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah. Ia berkait dengan
sifat dan af’al. dimana secara umum kita mengenal 99 nama Allah.
Bahwa manusia hanya mampu dan hanya boleh mengenal sifat, af’al, dan Asma Allah
saja. Dzat Allah tidak akan pernah mampu dicapai oleh pemikiran manusia terpintar
sekalipun.
“Fikirkanlah olehmu sifat ALLah dan jangan kamu memikirkan akan zatNya”.
Allah meliputi segala sesuatu (Al fushilat 54) adalah kesempurnaan .. dzat , sifat, asma,
dan af'al

Anda mungkin juga menyukai