MYELODYSPLASTIC SYNDROM
KONSEP MEDIS
A. Pengertian Myelodisplastic Syndrome
Myelodisplastic syndrome (MDS), adalah kelompok penyakit clonal
hematopoietic stem cell yang terdapat adanya keabnormalan differensiasi dan
maturasi dari sumsum tulang, yang membawa pada kegagalan sumsum tulang
dengan sitopenia, disfungsi elemen darah, dan kemungkinan terjadi
komplikasi leukemia. Kegagalan sumsum tulang biasanya hiperselular dan
normoselular, walaupun begitu MDS dapat ditemukan dengan hiposelular.
Penting untuk membedakan MDS hiposelular dengan anemia aplastik untuk
menentukan manajemen dan prognosisnya. Yang membedakan MDS
hiposelular adalah adanya abnormalitas clonal cytogenetic yaitu adanya
abnormalitas pada tangan kromosom. Pada MDS juga mungkin ditemukan
adanya cincin sideroblas (akumulasi besi pada mitokondria), (Lestari and
Sutirta, 2014).
MDS hampir sama dengan anemia aplastic, perbedaannya, pada MDS sel
darah yang belum dewasa tidak dapat bertahan lama dan lebih cepat mati pada
saat masih berada di sumsum tulang belakang. Seseorang dengan penyakit ini
lebih mudah merasa lelah, lebih mudah terkena infeksi, mengalami
pendarahan, dan lebih mudah mengalami luka memar. MDS juga dapat
berkontribusi menyebabkan acute myelogenous leukemia (AML), sehingga
sering juga disebut dengan penyakit pre-leukemia.
C. Klasifikasi
D. Manifestasi klinis
Ciri umum yang bisa ditemukan pada MDS ini adalah turunya kadar HB atau
trombosit atau bahkan leukosit serta eritrosit yang terkadang jauh melampaui
jumlah normalnya. Namun untuk lebih memastikan seseorang terkena MDS
atau bukan haruslah melalui pemeriksaan sumsum tulang belakang (BMP),
dimana pada pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan kelainan bentuk sel
serta perubahan perubahan pada eritrosit dan neutrophil.
B. Patofisiologi
MDS berkembang ketika mutasi klonal mendominasi disumsum tulang,
menekan sel induk sehat. Mutasi klonal dapat terjadi akibat predisposisi
genetik atau dari kerusakan sel induk hematopoietik yang disebabkan oleh
paparan terhadap salah satu dari berikut ini: kemoterapi sitotoksik, radiasi,
infeksi virus, bahan kimia genotoksik (misalnya benzena). MDS dapat
diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder terhadap penanganan kanker
lain yang agresif, dengan paparan radiasi, agen alkilasi, atau inhibitor
topoisomerase II; Hal ini juga terjadi pada pasien dengan transplantasi
sumsum tulang autologous. Pada tahap awal MDS, penyebab utama sitopeni
adalah peningkatan apoptosis (kematian sel terprogram). Seiring
perkembangan penyakit dan berubah menjadi leukemia, mutasi gen lebih
lanjut terjadi, dan proliferasi sel leukemia menguasai sumsum sehat.
C. Pemeriksaan Penunjang
Diperkenalkan pada tahun 1997, IPSS diciptakan untuk menerjemahkan risiko
pengembangan penyakit pasien dari deskripsi yang luas ke dalam standar
objektif. IPSS mengidentifikasi tiga faktor penyakit pasien berikut:
1. The percentage of marrow leukemic blast cells (blasts).
2. The type of chromosomal changes, if any, in the marrow cells
(cytogenetics).
3. The presence of one or more cytopenias (decrease in the number of cells
circulating in the blood)
Diagnosis Diferensial yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
differensial adalah penyakit lain yang memiliki gejala pansitopenia. Penyakit
yang memiliki gejala pansitopenia adalah fanconi’s anemia, paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria (PNH), myelodysplastic syndrome (MDS),
myelofibrosis, aleukemic leukemia, dan pure red cell aplasia. Pemeriksaan
sumsum tulang belakang (BMP) dilakukan untuk mendiagnosa suatu penyakit
yang berhubugan dengan kelaian sumsum tulang.
D. Penatalaksanaan
Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab.
Tetapi sering sulit untuk mengetahui penyebab karena etiologinya yang tidak
jelas atau idiopatik.
Terapi suportif diberikan sesuai gejala yaitu: (1) anemia, (2) neutropenia, dan
(3) trombositopenia.
1. Pada anemia. Pada anemia berikan tranfusi packed red cell jika
hemoglobin kurang dari 7g/dl, berikan sampai hb 9-10 g/dl1. Pada pasien
yang lebih muda mempunyai toleransi kadar hemogoblin sampai 7-8g/dl;
untuk pasien yang lebih tua kadar hemoglobin dijaga diatas 8g/dl4.
2. Pada neutropenia. Pada neutropenia jauhi buah-buahan segar dan sayur,
fokus dalam menjaga perawatan higienis mulut dan gigi, cuci tangan yang
sering. Jika terjadi infeksi maka identifikasi sumbernya, serta berikan
antibiotik spektrum luas sebelum mendapatkan kultur untuk mengetahui
bakteri gram positif atau negatif. Tranfusi granulosit diberikan pada
keadaan sepsis berat kuman gram negatif, dengan netropenia berat yang
tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
3. Pada trombositopenia. Pada trombositopenia berikan tranfusi trombosit
jika terdapat pendarahan aktif atau trombosit kurang dari <20.000/mm.
Terapi jangka panjang terdiri dari: (1) Terapi imunosupresif, dan (2) terapi
transplantasi sumsum tulang.
1. Terapi transplantasi sumsum tulang lebih direkomendasikan sebagai terapi
pertama, dengan donor keluarga yang sesuai. Maka karena itu, terapi
imunosupresif direkomendasikan pada pasien: (a) lebih tua dari 40 tahun,
walaupun rekomendasi berdasarkan dokter dan faktor pasiennya, (b) tidak
mampu mentoleransi transplantasi sumsum tulang karena masalah
penyakit atau usia tua, (c) tidak mempunyai donor yang sesuai, (d) akan
diterapi tranplantasi sumsum tulang, tetapi sedang menunggu untuk donor
yang sesuai, dan (e) memilih terapi imunosupresif setelah menimbang
faktor resiko dan manfaat dari semua pilihan terapi.
2. Terapi imunosupresif adalah dengan pemberian anti lymphocyte globuline
(ALG) atau anti thymocyteglobulin (ATG), kortikosteroid, siklosporin
yang bertujuan untuk menekan proses imunologik. ALG dapat bekerja
meningkatkan pelepasan haemopoetic growth factor. Sekitar 40%70% dari
kasus memberi respon terhadap pemberian ALG. Terapi ATG dapat
menyebabkan reaksi alergi, dengan pasien mengalami demam, athralgia,
dan skin rash sehingga sering diberikan bersamaan dengan kortikosteroid.
Siklosporin menghambat produksi interleukin-2 oleh sel-T serta
menghambat ploriferasi sel-T dari respon oleh interleukin-2. Pasien yang
diterapi dengan siklosporin membutuhkan perawatan khusus karena obat
dapat menyebabkan disfungsi ginjal dan hipertensi serta perlu diawasi
hubungan interaksi dengan obat lainnya.
Myelodisplastic
syndrome (MDS)
Komposisi darah
jauh dibawah
normal
G. Intervensi keperawatan
5. Kolaborasi dengan
pemberian produk darah.
Indikator Awal Tujuan
Tidak ada 6. Identifikasi penyebab
hematuri dan perdarahan.
hematemesis 7. Monitor intake dan
Kehilangan darah output cairan
yang terlihat 8. Lakukan manual
Haemoglobin dan pressure (tekan) pada
hematokrit dalam area perdarahan.
batas normal
9. batasi aktifitas pasien.
Plasma,
trombosit dalam
batas normal
Jane Bain, Barbara. (2014). Hematologi: Kurikulum inti. Barbara Jane Bain; Alih
Bahasa, Anggraini Iriani, dkk. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC
Thaha,Wiradewi, L.AA,Sutirta, Y. (2014). Diagnosis, Diagnosis Differensial dan
Penatalaksanaan Immunosupresif dan Terapi Sumsum Tulang pada Pasien
Anemia Aplastik. Sanglah Denpasar: Fakultas Kedokteran, Universitas
Udayana.