ON M A Y 1 1 , 2 0 1 6
Jika kita anggap EBI adalah sistem ejaan baru, EBI adalah sistem ejaan keempat yang
pernah digunakan di Indonesia. Tahun 1947 kita pernah menggunakan Ejaan Republik
atau Ejaan Soewandi. Tahun 1959 kita pernah gunakan Ejaan Melindo, meskipun gagal
diterapkan karena konflik politik Indonesia-Malaysia. Baru pada 1972-lah diterbitkan
EYD yang berlaku hingga 25 November 2015.
Bangsa kita pernah menggunakan Ejaan Van Opheisjen sejak 1901. Tetapi karena itu
berlaku jauh hari sebelum ada Indonesia, saya tidak masukkan dalam hitungan.
Secara yuridis, kini sistem ejaan yang resmi (diakui negara) adalah Ejaan Bahasa
Indonesia yang terlampir dalam Permendikbud 50 Tahun 2015.
Meskipun namanya ganti, tidak ada perbedaan mendasar antara EYD dengan EBI.
Hanya ada tiga perbedaan yang dapat saya temukan.
Pertama, penambahan huruf vokal diftong. Di EYD, huruf diftong hanya tiga yaitu ai, au,
ao. Di EBI, huruf diftong ditambah satu yaitu ei (misalnya pada kata geiser dan survei).
Kedua, penggunaan huruf kapital. Pada EYD tidak diatur bahwa huruf kapital digunakan
untuk menulis unsur julukan. Dalam EBI, unsur julukan tidak diatur ditulis dengan awal
huruf kapital.
Ketiga, penggunaan huruf tebal. Dalam EYD, fungsi huruf tebal ada tiga, yaitu
menuliskan judul buku, bab, dan semacamnya, mengkhususkan huruf, dan menulis
lema atau sublema dalam kamus. Dalam EBI, fungsi ke tiga dihapus.
Bagi saya, tiga perbedaan itu merupakan hal kecil, belum cukup menggambrakn “niat
baik” penggagas perubahan yang disebutkan dalam konsederan.
BERITA TERKAIT+
Berbagai Keuntungan Menguasai Banyak Bahasa
Wah, Ratusan Siswa Semangat Lestarikan Bahasa Daerah
Korea Jadi Salah Satu Bahasa Asing yang Sulit Dipelajari
Huruf diftong yang ditambahkan ke PUEBI adalah ‘ei’. Penambahan ini, menurut
Kepala Bidang Pemasyarakatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Indonesia, Drs Mustakim, M.Hum, terjadi karena bahasa Indonesia banyak menyerap
istilah dari bahasa asing, sehingga kini ada empat diftong dalam bahasa Indonesia
yakni ai, au, ei, dan oi.
"Diftong ‘ei’ ditambahkan karena bahasa Indonesia menyerap kosakata dari berbagai
bahasa asing dan banyak istilah asing tersebut yang pakai ‘ei’, seperti pada kata
‘survei’. Jadi, sudah seharusnya diftong ini diserap," ujarnya.
Selain diftong, perubahan juga terjadi pada penggunaan huruf tebal. Penggunaan huruf
tebal ini belum diatur pada ejaan bahasa Indonesia sebelumnya. Pada PUEBI, huruf
tebal ini dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang ditulis miring serta untuk
menegaskan bagian-bagian karangan, seperti judul buku, bab, atau subbab.
"Dulu belum diatur penggunaan huruf tebal. Sekarang di PUEBI sudah diatur.
Digunakan untuk dua hal. Untuk judul atau sub-sub pada sebuah teks dan digunakan
untuk menegaskan pada sebuah tulisan atau istilah yang telah dimiringkan," jelas
Mustakim.
Perbedaan PUEBI dengan EYD yang terakhir terletak pada huruf kapital. Pada ejaan
bahasa Indonesia sebelumnya tidak diatur bahwa unsur julukan ditulis dengan awal
huruf kapital. Kini, aturan tersebut terdapat pada PUEBI.
Sekadar diketahui, perubahan sistem ejaan bahasa Indonesia sudah terjadi beberapa
kali. Pada 1947, bahasa Indonesia menggunakan sistem Ejaan Soewandi, kemudian
sistem Ejaan Melindo pada 1959, dan EYD (Ejaan yang Disempurnakan) pada 1972
hingga 2015. (ira)
(rfa)
Apa pendapat anda mengenai arti
Buku PUEBI dapat ditemukan di berbagai toko buku dengan harga di bawah
Rp50.000,00. Apa yang membuat berbeda PUEBI dengan EYD? Berikut perbedaan-
perbedaan yang penulis temukan disajikan dalam bentuk tabel untuk mempermudah
membandingkannya.
Penggunaan Bilangan
Bilangan yang digunakan sebagai unsur nama g
dengan huruf, misalnya:
a. Rajaampat
Tidak diatur
b. Kelapadua
c. Simpanglima
Tidak ada ketentuan yang mengatur kedua hal di samping. a. BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan d
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia)
b. LP3I (Lembaga Pendidikan dan Pengemb
Indonesia)
c. P3K (pertolongan pertama pada kecelaka