Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) ASBESTOSIS DAN

SILIKOSIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan sekitar 70.000 jenis bahan berupa
logam, kimia, pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang digunakan secara umum dalam
kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan kemudahan bagi penduduk di seluruh dunia.
Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit.
Cedera akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya.
Penyakit-penyakit akibat pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati,
saraf, alat reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas.
Ratusan juta tenaga kerja di seluruh dunia saat ini bekerja pada kondisi yang tidak aman dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan. Menurut International Labor Organization(ILO), setiap hari terjadi
1.1 juta kematian yang disebakan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan. Dari
data ILO tahun 1999, penyebab kematian yang berhubungan dengan pekerjaan paling banyak
disebabkan oleh kanker 34%. Sisanya terdapat kecelakaan sebanyak 25 %, penyakit saluran
pernapasaan 21%, dan penyakit kardiovaskuler 15%. Dari data-data tersebut dapat diketahui bahwa
penyakit saluran pernapasaan menempati peringkat ketiga.
Sebagai tenaga kesehatan, termasuk perawat harus melakukan pengkajian terhadap pasien dan apakah
ada hubungan antara penyakit yang diderita pasien dengan pekerjaan mereka. Sehingga dapat
ditentukan perencanaan serta intervensi yang tepat untuk pasien agar hasil yang diperoleh dapat
maksimal dan benar-benar bermanfaat untuk pasien.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Apa definisi silicosis dan asbestosis?
1.2.2. Bagaimanakah etiologi silicosis dan asbestosis?
1.2.3. Apa saja manifestasi klinis seseorang hingga dikatakan menderita silicosis dan asbestosis?
1.2.4. Bagaimana patofisiologi silicosis dan asbestosis?
1.2.5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada silikosis dan asbestosis?
1.2.6. Bagaimana penatalaksanaan untuk silikosis dan asbestosis?
1.2.7. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan silikosis dan asbestosis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan silikosis dan asbestosis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui patofisiologi silikosis dan asbestosis.

2. Mengetahui mekanisme klinis silikosis dan asbestosis.

3. Mengetahui pemeriksaan dignostik pada silikosis dan asbestosis.

4. Mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan silikosis dan asbestosis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Silikosis
2.1.1 Definisi
Pada saat orang menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup ke dalam paru-paru.
Ukuran partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau
pengendapan partikel tersebut.
- Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran nafas bagian atas,
- Partikel berukuran 3 sampai 5 mikron akan tertahan pada saluran pernapasan bagian tengah.
- Partikel yang berukuran lebih kecil yaitu 1 sampai 3 mikron, akan masuk ke dalam kantung udara
paru-paru kemudian menempel pada alveoli.
- Partikel yang lebih kecil lagi yaitu kurang dari 1 mikron, akan ikut keluar saat nafas dihembuskan.
Silikosis adalah suatu penyakit saluran pernafasan akibat menghirup debu silika, yang menyebabkan
peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru. Debu silika yang masuk ke dalam paru-
paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau
gejala penyakit silikosis akan segera tampak, apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan terhisap
ke paru-paru dalam jumlah banyak. (RS Persahabatan,2002)
Terdapat 3 jenis silikosis menurut RS Persahabatan, 2002 :
1. Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam jangka panjang
(lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-
paru dan kelenjar getah bening dada.
3. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak selama waktu
yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi
lebih cepat.
4. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam waktu
yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga timbul sesak nafas yang
hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosif masif progresif. Fibrosis ini terjadi akibat
pembentukan jaringan parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur paru yang normal.

2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyakit Silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas, berupa SiO 2, yang terhisap masuk ke
dalam paru-paru dan kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan
baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir, menggerinda, dll). Selain
dari itu, debu silika juga banyak terdapat di tempat di tempat penampang bijih besi, timah putih dan
tambang batubara. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika
bebas SiO2. Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama–sama dengan
partikel lainnya, seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.
Silika merupakan unsur utama dari pasir, sehingga pemaparan biasanya terjadi pada:
1. buruh tambang logam
2. pekerja pemotong batu dan granit
3. pekerja pengecoran logam
4. pembuat tembikar.
5. keluarga pekerja asbes akibat terpaparnya debu dari baju pekerja

2.1.3 Manifestasi Klinis


Penyakit silikosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk-batuk. Batuk ini seringkali tidak
disertai dengan dahak. Pada silikosis tingkah sedang, gejala sesak nafas yang disertai terlihat dan pada
pemeriksaan fototoraks kelainan paru-parunya mudah sekali diamati. Bila penyakit silikosis sudah berat
maka sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan
yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung.
Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis akut:
1. demam
2. batuk
3. penurunan berat badan
4. gangguan pernafasan yang berat.
Komplikasi :
1. Bronkitis
2. Emphysenic(kembang paru-paru)
3. Kegagalan jantung berfungsi
2.1.4 Patofisiologi
Partikel-partikel silika yang berukuran 0.5-5 µm bila terhirup akan tertahan di alveolus dan sel pembersih
(makrofag) akan mencernanya. Banyak dari partikel ini dibuang bersama sputum sedangkan yang lain
masuk ke dalam aliran limfatik paru-paru, kemudian mereka ke kelenjar limfatik. Enzim yang dihasilkan
oleh sel pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada kelenjar, makrofag
itu kemudian berintregasi, meninggalkan partikel silika yang akan menyebabkan dampak lebih luas.
Kelenjar itu menstimulasi pembentukan bundel-bundel nodular dari jaringan parut dengan ukuran
mikroskopik, semakin lama semakin banyak pula nodul yang terbentuk, mereka kemudian bergabung
menjadi nodul yang lebih besar yang kemudian akan merusak jalur normal cairan limfatik melalui kelenjar
limfe.
Ketika ini terjadi, jalan lintasan yang lebih jauh dari sel yang telah tercemar oleh silika akan masuk ke
jaringan limfe paru-paru. Sekarang, antibodi baru di dalam pembuluh limfatik bertindak sebagai gudang
untuk sel-sel yang telah tercemar oleh debu, dan parut nodular terbentuk terbentuk pada lokasi ini
juga. Kemudian, nodul-nodul ini akan semakin menyebar dalam paru-paru.
Gabungan dari nodul-nodul itu kemudian secara berangsur-angsur menghasilkan bentuk yang mirip
dengan masa besar tumor. Sepertinya, silika juga menyebabkan menyempitnya saluran bronchial yang
merupakan sebab utama dari dyspnea. Jika penderita silikosis terpapar oleh organisme penyebab
tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk
menderita tuberkulosis.
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi pada peledakan pasir, pembuatan
terowogan dan pembuatan alat pengampelas sabun, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi,
gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun.
2.1.5 Pemeriksaan
Biasanya akan ditanyakan secara terperinci mengenai jenis pekerjaan, hobi dan aktivitas lainnya yang
kemungkinan besar merupakan sumber pemaparan silika. Pemeriksaan yang dilakukan:
1. Rontgen dada (terlihat gambaran pola nodul dan jaringan parut)
Foto toraks berguna dalam mendeteksi dan memantau respon paru untuk debu mineral, logam tertentu,
dan debu organik mampu mendorong pneumonitis hipersensitivitas. Organisasi Perburuhan Internasional
(ILO) International Klasifikasi Radiografi dari Pneumoconioses mengklasifikasikan radiografi dada sesuai
dengan sifat dan ukuran dan kekeruhan melihat sejauh mana keterlibatan parenkim tersebut. Secara
umum, kekeruhan linier terlihat di asbestosis. (Harrison , 2008)

1. Tes fungsi paru


Banyak debu mineral menghasilkan perubahan karakteristik dalam mekanisme pernapasan dan volume
paru-paru yang secara jelas menunjukkan pola restriktif. Demikian pula, pemaparan debu organik atau
bahan kimia dapat menyebabkan asma kerja atau PPOK. Pengukuran perubahan volume ekspirasi paksa
(FEV1) sebelum dan setelah shift kerja dapat digunakan untuk mendeteksi
respon bronchoconstrictiveatau peradangan akut. (Harrison, 2008)

2.1.6 Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit, sangat
penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk,
bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik. Tindakan preventif lebih penting
dan berarti dibandingkan dengan tindakan pengobatannya. Penyakit silikosis akan lebih buruk kalau
penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, astma broonchiale dan
penyakit saluran pernapasan lainnya. Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi
pekerja akan sangat membantu pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat kerja. Data
kesehatan pekerja sebelum masuk kerja, selama bekerja dan sesudah bekerja perlu dicatat untuk
pemantauan riwayat penyakit pekerja kalau sewaktu – waktu diperlukan.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:
1. Membatasi pemaparan terhadap silika
2. Berhenti merokok
3. Menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.
Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita tuberkulosis (TBC), sehingga dianjurkan untuk
menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. . Silika diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC.

2.1.7 Pencegahan
Pengawasan terhadap di lingkungan kerja dapat membantu mencegah terjadinya silikosis. Penekanan
debu dengan pengendalian teknis( pembasahan sebelumnya,pengeboran basah) perlu dilaksanakan
dengan ketat dan debu residu hendaknya dikontrol dengan ventilasi yang sesuai. Kadar debu dan
kandungan silika dalam debu yang masuk pernapasan hendaknya dipantau secara teratur. Jika
menggunakan bahan peledak,para pekerja seharusnya dicegah masuk ke daerah berdebu sampai debu
dibersihkan melalui ventilasi. Debu hendaknya disaring dari dari udara yang dikeluarkan .
Pekerja harus memakai masker dan tutup kepala bertekanan. Selama kerusakan alat-alat pengendalian
debu teknis atau pada keadaan darurat. Kabin dengan pengatur udara (ber-AC) hendaknya disediakan
untuk para pengemudi truk dan operator alat berat pada operasi terbuka di cuaca panas di mana
penyemprotan dengan air tidak dimungkinkan.
Pekerja yang terpapar silika, harus menjalani foto rontgen dada secara rutin. Untuk pekerja peledak pasir
setiap 6 bulan dan untuk pekerja lainnya setiap 2-5 tahun, sehingga penyakit ini dapat diketahui secara
dini.
Jika foto rontgen menunjukkan silikosis, dianjurkan untuk menghindari pemaparan terhadap silika.

2.2 Asbestosis
2.2.1 Definisi
Asbestosis merupakan penyakit kronis progesif, Penyakit ini disebabkan oleh udara yang mengandung
debu asbes. Umumnya debu masuk kedalam paru-paru pada saat kita menarik nafas. Hal ini tergantung
pada ukuran debu yang terhirup. Semakin kecil ukuran debu yang masuk melalui saluran pernapasan,
maka semakin besar pula resiko terjadinya penimbunan debu dalam paru-paru. Debu dikelompokan
menjadi tiga yaitu debu organik seperti debu kapas, debu daun-daunan, tembakau dll, debu mineral yaitu
debu yang merupakan senyawa komplek seperti SiO2, SiO3, dan arangbatu, dan debu metal yaitu debu
yang mengandung unsur logam. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada
saluran pernapasan. Debu dengan ukuran 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan atas, 3-5
mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah, 1-3 mikron akan sampai di permukaan
alveoli, 0,5-1 mikron hinggap di permukaan alveoli/selaput lender sehingga menyebabkan fibrosis paru,
sedangkan 0,1-0,5 mikron melayang dipermukaan alveoli.(RS Harapan, 2002)
Asbestosis disebabkan oleh debu asbes dengan masa latennya 10-20 tahun. Asbes adalah campuran
berbagai silikat yang terpenting adalah campuran magnesium. Jika terhisap, serat asbes mengendap di
dalam dalam paru-paru, mempengaruhi parenkim jaringan dari paru-paru, menjadi jaringan parut.
Menghirup asbes juga dapat menyebabkan penebalan pleura. It occurs after long-term, heavy exposure
to asbestos , eg in mining , and is therefore regarded as an occupational lung disease . Ini terjadi setelah
jangka panjang, paparan berat asbes, misalnya di pertambangan. Asbestos terdiri dari serat silikat
mineral dengan komposisi kimiawi yang berbeda. Asbestos is a mineral that can be woven like wool.
Asbes adalah mineral yang dapat dijalin seperti wol dan merupakan produk alam mineral yang diketahui
tahan terhadap panas dan korosi, tidak meneruskan arus listrik, tahan terhadap asam kuat, serta
merupakan serat yang kuat dan fleksibel, mudah dijalin bersama-sama dan digunakan secara luas di
dalam bangunan dan pabrik-pabrik industri. Some of its more common uses were in pipe and duct
insulation, fire-retardant materials, brake and clutch linings, cement, and some vinyl floor tiles.
Terdapat beberapa jenis kristal debu asbestosis :

1. Chrysotile

2. Crocidolite

3. Anthrophylite
4. Tremolite

5. Actinolite

Yang paling banyak digunakan adalah asbestos golongan chrysotile, karena seratnya panjang dan paling
kuat. Pada kelompok amphibole serat lebih pendek namun lebih stabil secara kimiawi dan lebih tahan
terhadap asam. Bersifat fibrogenik terhadap paru lebih kuat dibanding silika, karsinogenik.
Di dalam paru banyak terdapat “asbestos bodies” yaitu serat asbestos yang dilapisi bahan protein. Sering
serat asbestos harus dipisahkan dengan tangan, sehingga terjadi papel kecil-kecil pada jari-jari tangan
seperti duri, disebut duri asbestos. Terjadi juga fibrosis interstisialis, penebalan dan perlekatan pleura,
fibrosis peritoneal. Paru menjadi kaku karena terdapat klasifikasi pada pleura dan dapat pula dijumpai
keganasan Ca bronkogenik dan mesothelioma. Mesothelioma adalah tipe kanker pleura yang jarang.
Peningkatan insidensi mesotelioma dihubungkan dengan inhalasi serat asbestos di lingkungan kerja.
Walaupun gejala awalnya sedikit, mesotelioma dapat disembuhkan jika berhasil terdiagnosis. Waktu
antara paparan asbestos pertama dan kemunculan tanda-tanda tumor beragam mulai dari 20 sampai 50
tahun, khusus mesotelioma. Kenaikan angka insidensi mesotelioma juga tampak pada penduduk yang
walaupun tidak terpapar secara okupasional, tinggalnya serumah dengan pekerja asbestos atau tinggal di
sekitar sumber emisi asbestos. Walaupun asbestos tidak lagi dipakai sebagai penyekat, zat ini masih
menjadi sorotan karena adanya bahaya yang berasal dari bangunan yang sekatnya menggunakan
asbestos
2.2.2 Etiologi
Asbestosis disebabkan oleh terhirupnya serat asbes (panjang 50 mikron atau lebih dan diameter 0,5
mikron atau kurang), oleh serat asbes, dimana serat asbes sukar untuk dihancurkan, bahkan oleh
makrofag. Ketika makrofag mencoba untuk mencernakan serat asbes, sering mengalami kegagalan sebab
seratnya terlalu kuat dan ikatan rantainya sangat kuat untuk diuraikan.
Faktor resiko terjadinya asbestosis adalah:

1. Orang-orang yang bekerja di industri pengelolaan, pertambangan, penenunan, pemintalan asbes


dan reparasi tekstil dengan produk-produk yang mengandung asbes.

2. Pemaparan pada keluarga pekerja asbes terjadi dari partikel yang terbawa ke rumah di dalam
pakaian pekerja

3. Perokok tembakau lebih cenderung menderita penyakit yang berhubungan dengan asbes
dibandingkan non-perokok. Life expectancy is also shorter among smokers than non-smokers.
Asbestos workers who stop smoking, can within 5-10 years reduce their risk of dying with lung
cancer by about one half to one third that of their colleagues who continue to smoke. Harapan
hidup perokok lebih pendek dibandingkan non-perokok. Asbestos pekerja yang berhenti merokok,
dalam 5-10 tahun dapat mengurangi risiko kematian kanker paru-paru oleh sekitar satu setengah
sampai satu sepertiga dari rekan-rekan mereka yang terus merokok.

2.2.3 Manifestasi Klinis


Gejala asbestosis muncul secara bertahap dan baru muncul setelah terbentuknya jaringan parut dalam
jumlah banyak dan paru-paru kehilangan elastisitasnya. Gejala pertama adalah sesak nafas ringan dan
berkurangnya kemampuan untuk melakukan gerak badan juga ditandai dengan batuk kering. Sekitar
15% penderita, akan mengalami sesak nafas yang berat dan mengalami kegagalan pernafasan.
Berlangsung sebagai penyakit paru- paru dan kerusakan meningkat, sesak nafas terjadi walaupun pada
pasien istirahat.
Perokok berat dengan bronkitis kronis dan asbestosis, akan menderita batuk-batuk dan sesak napas.
Menghirup serat asbes kadang-kadang dapat menyebabkan terkumpulnya cairan pada ruang antara
kedua selaput yang melapisi paru-paru.
Keluhan dan gejala timbulnya sangat lambat, membutuhkan waktu 7-10 tahun. Terutama sesak nafas
bila melakukan aktifitas. Batuk non produktif, lebih sering dan lebih hebat dibanding silikosis. Bila terjadi
batuk darah biasanya sudah ada neoplasma paru. Nyeri dada retrosternal, berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik pada fase dini biasanya belum dijumpai kelainan selain adanya benda asbestos
didalam dahak pekerja (2 bulan). Pada fase lanjut didapatkan sianosis dan jari tabuh. Jari tabuh
umumnya dihubungkan dengan penyakit yang lanjut. Bila ada pada pekerja dengan kelainan fibrosis
interstisialis yang ringan maka lebih banyak dihubungkan dengan kanker paru.
Gerak pernafasan menurun, simetris, tanda-tanda fibrosis hebat. Sianosis akan bertambah hebat
apabila melakukan kegiatan fisik, bisa juga didapatkan suara mengi. Dapat terdengar ronkhi (pada akhir
inspirasi atau selama inspirasi) dibasal paru, terjadi pada > 60% penderita dengan asbestosis. Ronkhi ini
tergantung pada dosis paparan dan dapat terjadi pada x-foto toraks normal. Pada asbestosis risiko
terjadinya tuberculosis paru tidak didapatkan, tetapi disini didapatkan risiko kanker paru lebih besar.
Risiko terjadinya mesothelioma atau penebalan pleura sangat besar. Kelainan kuku atau clubbing of
fingers (bentuk jari-jari tangan yang menyerupai tabuh genderang) juga dapat terjadi.
As the adverse health effect of asbestos is irreversible and only the smoking habit can alter the
consequence to a certain extent, it has been decided to rate the health effect into the following t
2.2.4 Patofisiologi
Asbestosis disebabkan oleh inhalasi jangka panjang dari serat asbes. People with occupational exposure
to the mining, manufacturing, handling or removal of asbestos are at risk of developing asbestosis. There
is an increased risk of lung cancer and mesothelioma associated with asbestosis.Terdapat peningkatan
risiko kanker paru-paru dan mesothelioma terkait dengan asbestosis. The risk is related to the total dose
of asbestos received and the duration of asbestos exposure. Biasanya mikroorganisme, debu, dan partikel
asing lainnya yang ada di udara saat kita bernafas akan disaring oleh rambut-rambut hidung, sehingga
menimbulkan reflek batuk. Sedangkan partikel asbes (amphiboles) panjang, sangat tipis, ringan, dan
mikroskopis yang masuk ke hidung, tidak dapat disaring oleh rambut-rambut hidung, menyebabkan
partikel asbes dapat masuk ke saluran pernapasan Occupational exposure is the most common cause of
asbestosis, but the condition also Ketika memasuki saluran pernapasan, partikel ini masuk ke dalam paru-
paru kesalah satu alveoli dari 300 juta gas yang ada dan melakukan pertukaran gas.
Setiap alveolus memiliki banyak sel-sel pembersih yang disebut macrophages menelan partikel apapun
yang dibuat ke bawah alveoli. Alveoli have very thin, elastic walls that allow an exchange of gases vital to
your health - oxygen flows from the alveoli into your bloodstream to nourish your body, and carbon
dioxide waste flows from your bloodstream into the alveoli and on into your bronchi to be expelled.Alveoli
yang sangat tipis dan elastis yang memungkinkan pertukaran gas yang penting untuk kesehatan. Oksigen
mengalir dari alveoli ke dalam darah untuk memelihara tubuh, dan karbon dioksida mengalir dari darah
ke alveoli dan ke bronchi untuk dibuang. Asbestos fibers can easily flake off and are small enough to be
inhaled deep into the lungs.Serat asbes dapat dengan mudah mengelupas dan cukup kecil untuk terhirup
masuk ke dalam paru-paru. When they are inhaled into the lungs, the lungs’ defense cells try to destroy
the asbestos fibers, but the body's defense mechanisms cannot break down asbestos.Apabila mereka
terhirup ke dalam paru-paru, dan serat tersebut mencapai alveoli (kantung udara) dalam paru-paru, di
mana oksigen dipindahkan ke dalam darah, benda asing (asbes serat) menyebabkan aktivasi dari paru-
paru.
Sel pertahanan paru-paru mencoba merusak serat asbes, tetapi mekanisme pertahanan tubuh tidak
dapat menghancurkan asbes, bahkan untuk macrophage. Macrophage berusaha untuk menelan sebuah
serat asbes, ia sering gagal karena serat yang terlalu panjang. Dalam prose macrophage tersebut
mengeluarkan zat untuk menghancurkan benda asing, tetapi juga dapat membahayakan alveoli. Hal ini
menyebabkan terjadinya perlukaan di alveoli dan membentuk jaringan parut disebut sebagai proses
fibrosis. Kemudian serat asbes yang tidk dapat tersaring tetap berada di dalam dan menyebabkan radang
paru-paru dan jaringan parut.
Jaringan paru menyebabkan dinding alveolar menebal dapat mengurangi elastisitas dan kemampuan
mereka untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Sehingga, terjadi penurunan kapasitas paru-paru,
pertukaran oksigen berkurang, dan akan terasa semakin kekurangan nafas. Lebih dari 50% orang yang
terkea dengan mengembangkan asbestosis plak di pleura parietal, di dalam ruang antara dinding dada
dan paru-paru. Pasien datang dengan inspirasi kering crackles, clubbing finger, dan pola fibrotik
menyebar di bagian bawah lobus paru-paru yang merupakan tempat paling sering terserang asbestosis.

2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik


a. Radiologis
Penderita dapat mengalami sesak nafas tanpa adanya kelainan radiologis. Didapatkan infiltrat halus
tersebar difus, lokasi kelainan pada umumnya didaerah lateral dan basal. Pada lapangan paru bawah
bilateral terdapat bercak-bercak nodular. Pada fase lanjut infiltrat makin banyak dan luas. Bila penyakit
bertambah berat batas infiltrat makin tidak jelas dan jantung membesar. Bila ada penyulit maka akan
didapatkan gambaran tumor paru, pelebaran pleura, ektasis dengan gambaran sarang lebah, cairan
dalam rongga pleura. Pemeriksaan CT-scan meningkatkan diagnostik dengan mendeteksi perubahan
pada pleura dan parenkim yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiologis biasa.

1. Tes fungsi paru dengan

1. Oximetry

Evaluasi oksigenasi penting sebab hypoxemia yang belum dikoreksi akan menyebabkan hipertensi yang
berkenaan dengan paru-paru dan dapat mendorong kearah kor pulmonal . terutama oximetry dilakukan
pada saat istirahat dan selama latihan (misalnya, 6-menit tes berjalan).

1. Spirometri

Gambaran spirometri yang khas adalah penurunan kavasitas vital dan kapasitas paru total,volume residu
biasanya normal atau sedikit menurun serta penurunan kapasitas difusi.Dalam mendeteksi kelainan ini
secara dini maka kita harus mengamati adanya penurunan kapasitas vital dan kapasitas difusi

1. Bilas Bronkoalveolar
Merupakan indikator aktivitas penyakit (alveolitis). Cairan bilas bronkoalveolar normal mengandung 90%
macrophage,10% limfosit dan sesekali neutrofil.

1. Pemeriksaan darah

Gas darah arteri (ABG) digunakan untuk mendeteksi penurunan oksigen dalam darah yang berhubungan
dengan perubahan pernapasan yang terkait dengan penyakit yang berhubungan dengan asbes. Nilai
normal BGA (Blood Gas Analysa) adalah PCO2 :35-45mmHg, PO2 : 80 – 100 mmHg, pH : 7,35 – 7,45.
Pada klien dengan asbestosis analisis gas darah arteri menunjukkan ❑ Partial pressure of arterial oxygen
— decrtekanan parsial oksigen arteri menurun dan ❑ Partial pressure of arterial carbon dioxide — low
due to hyperventilationtekanan parsial karbon dioksida arteri rendah karena hiperventilasi.

2.2.6 Penatalaksanaan
Tidak ada obat yang tersedia. Menghentikan paparan asbes lebih lanjut ditunjukkan. Maka dilakukan
perawatan yang bertujuan untuk membantu pasien dapat bernapas dengan mudah, mencegah infeksi
pernapasan, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Pengguanaan antibiotik dimaksudkan untuk
menyerang infeksi. Aspirin atau Acetominophen (Tylenol) dapat membebaskan ketidaknyaman dan
bronchodilators oral atau inhalasi dan melebarkan saluran napas.Dapat diberikan obat semprot untuk
mengencerkan lendir. Pengobatan suportif untuk mengatasi gejala yang timbul adalah membuang lendir
atau dahak dari paru-paru melalui prosedur postural drainase. Bila asbestosis sudah memasuki stadium
mesotelioma maka belum ada terapi yang berhasil meningkatkan kesembuhan.

2.2.7 Pencegahan
Asbestosis dapat dicegah dengan mengurangi kadar serat dan debu asbes dilingkungan kerja.
Penggunaan kontrol debu dapat mengurangi penderita asbestosis, tetapi mesotelioma masih terjadi pada
orang yang pernah terpapar 40 tahun yang lalu, ventilasi udara yang cukup di ruang kerja, penggunaan
masker bagi pekerja yang beresiko tinggi dapat mengurangi pemaparan, Untuk mengurangi resiko
terjadinya kanker paru-paru dianjurkan pekerja pabrik untuk berhenti merokok. Perawatan medis untuk
infeksi saluran pernapasan, dengan sering menggunakan antibiotik ketika diperlukan. Mereka juga harus
berpartisipasi dalam terapi pernapasan seperti bronkial drainase atau penggunaan humidifier kabut
ultrasonik yang membantu dalam pembersihan lendir dari paru-paru. Pasien harus menghindari situasi
yang mungkin mengekspos mereka untuk infeksi saluran pernapasan seperti banyak orang

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi lanjutan pada asbestosis antara lain:

1. Efusi pleura
2. Mesothelioma, meskipun jarang, asbes juga bisa menyebabkan tumor pada pleura yang disebut
mesotelioma atau pada selaput perut yang disebut mesotelioma peritoneal. Mesotelioma yang
disebabkan oleh asbes bersifat ganas dan tidak dapat disembuhkan. Mesotelioma umumnya
muncul setelah terpapar krokidolit, satu dari 4 jenis asbes. Amosit, jenis yang lainnya, juga
menyebabkan mesotelioma. Krisotil mungkin tidak menyebabkan mesotelioma tetapi kadang
tercemar oleh tremolit yang dapat menyebabkan mesotelioma. Mesotelioma biasanya terjadi
setelah pemaparan selama 30-40 tahun.

3. Cor pulmonale

4. Fibrosis Pulmoner idiopatik

5. Pneumoconeosis

6. Kanker bronkus

2.2.9 WOC (Web of Caution)


DOWNLOAD : WOC ASKEP ASBESTOSIS
DOWNLOAD : WOC ASKEP SILIKOSIS
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Asbestosis
3.1 Pengkajian
Meliputi:

1. Identitas pasien

Meliputi nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.


Asbestosis lebih sering diderita oleh kalangan pekerja bangunan atau pekerjaan yang sering
berhubungan dengan asbes yang sebagian besar dilakukan oleh pria sehingga lebih sering menyerang
pria dibanding wanita.

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Klien sesak saat bernafas, batuk disertai dahak, mengeluh nyeri dada, peningkatan frekuensi nadi,
lemas, nyeri kepala.

1. Keluhan utama

Pada klien dengan silikosis akan mengeluh sesak, batuk, demam.

1. Riwayat Penyakit dahulu


Perlu ditanyakan apakah klien pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dengan gejala
luka tenggorok, bersin demam ringan sebelumnya.

1. Riwayat penyakit keluarga

Pauda mumnya klien dengan silikosis tidak memiliki penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit ini.

1. Riwayat Psikososial

Perawat mengkaji tentang perasaan, status emosional, dan perilaku klien. Misalnya, klien sering merasa
cemas akibat nyeri yang kronis dan mengisolasi diri karena penyakit yang diderita.

1. Pemeriksaan Fisik:

1. B1 (Breath) : sesak, nyeri saat bernafas akibat adanya jaringan parut di alveoli, RR
menurun, adanya penggunaan otot bantu pernafasan saat inspirasi, hipoksia

2. B2 (Blood) : cyanosis, hipoksia, denyut jantung meningkat, TD meningkat, tachycardi

3. B3 (Brain) : dizziness, cemas, penurunan kesadaran

4. B4 (Bladder) : -

5. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun, Pasien lemah

6. B6 (Bone): malaise

7. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya didapatkan leukosit 15.000-40.000/mm³,


biakan sputum, darah, bila perlu cairan efusi pleura

2. Pemeriksaan radiologis, sebaiknya gunakan foto thoraks posterior-anterior dan


lateral. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular.

Hasil diagnosa asbestosis dibangun atas 3 tahap :

1. Riwayat ekspose.
2. Bukti fibrosis dari radiografi (misalnya, HRCT), dan ditemukannya gangguan fungsi paru-paru
dengan atau tanpa bukti histologi (serat asbes di dalam bronchoalveolar, cairan atau fibrosis
pada biopsi jaringan paru-paru).

3. Tidak adanya penyebab lain yang menyebabkan fibrosis interstitial.

3.2 Analisa Data

Data Etiologi Masalah


DS: Klien mengeluh sesak Adanya jaringan parut di alveoli Gangguan Pertukaran gas
DO: RR menurun, pola nafas tidak
teratur, pucat, ketidaknormalan
frekuensi, irama dan kedalaman
nafas, hipoksia, tachycardia,
tekanan O2 dan CO2 menurun.
Pada lapang paru bawah bilateral
terdapat bercak-bercak nodular
DS : Demam Peningkatan laju metabolisme Hipertermi
DO : Suhu tubuh lebih dari 37 ° C sekunder dari reaksi sistemis
asbes
DS : Klien merasa lemah, tidak Kelemahan fisik dan peningkatan Intoleransi Aktivitas
nyaman metabolisme umum sekunder dari
DO: Denyut jantung meningkat, kerusakan pertukaran gas
TD meningkat.
DS : Klien merasa lemas Intake makanan kurang dari Perubahan nutrisi kurang dari
DO :kurus, BB menurun, albumin kebutuhan kebutuhan tubuh
<< 3,2 , Hb << 11g/dl , rambut
terlihat memerah pada anak-anak,
lapisan subkutan tipis.

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli

2. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis silika
Intervensi Rasional
Observasi

 Monitor bunyi paru; frekuensi  Berguna dalam evaluasi derajat


napas, kedalaman, dan usaha distress pernafasan atau 3. Intoleransi
dan produksi sputum sesuai kronisnya proses penyakit. aktivitas b.d
dengan indikator dari kelemahan fisik
penggunaan alat penunjang dan peningkatan
yang efektif. metabolisme
umum sekunder
 Auskultasi bunyi napas, catat
dari kerusakan
area penurunan aliran udara  Bunyi napas mungkin redup
pertukaran gas
atau bunyi tambahan karena penurunan aliran udara
atau konsolidasi
 Awasi tingkat kesadaran atau
3.4 Intervensi dan
status mental. Selidiki adanya  Gelisah dan ansietas adalah
Rasional
perubahan. manifestasi umum pada
hipoksia. Nilai AGD memburuk
1. Gangguan
disertai bingung/somnolen
pertukaran gas b.d
menunjukkan disfungsi
adanya jaringan
serebral yang berhubungan
parut di alveoli
dengan hipoksemia.

Tujuan : Pertukaran gas


Mandiri tidak terganggu
Kriteria hasil : status
 Jelaskan prosedur  Menurunkan kecemasan klien
respiratoris dalam rentang
pengobatan kepada klien terhadap prosedur tindakan
yang diharapkan; dispnea
yang dilakukan.
saat istirahat; gelisah,

 Takikardi, disritmia, dan sianosis, dan keletihan

 Awasi tanda vital dan irama perubahan tekanan darah tidak ada; PaO2, PaCO2,

jantung dapat menunjukkan efek dan pH arteri, dan saturasi

hipoksemia sistemik pada O2 dalam batas normal.

fungsi jantung Nilai normal BGA (Blood


Gas Analysa) adalah
PCO2 :35-45mmHg, PO2 :
Kolaborasi 80 – 100 mmHg, pH : 7,35
 Dapat memperbaiki atau – 7,45.
 Konsultasikan dengan dokter mencegah memburuknya
tentang kebutuhan akan hipoksia.
pemeriksaan analisa gas
darah (AGD) dan penggunaan
alat bantu yang dianjurkan.

 Siapkan klien untuk ventilasi


atau oksigenasi mekanis bila  Terjadinya atau kegagalan

perlu. nafas yang akan datang


memerlukan upaya tindakan
1. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis asbes

Tujuan : pasien mempertahankan suhu tubuh


Kriteria Hasil: suhu tubuh normal (36-37°C).
Intervensi Rasional
Observasi:

 Pantau tanda vital tiap tiga jam atau lebih  Perubahan frekuensi jantung atau tekanan
sering darah menunjukkan bahwa pasien
mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain
untuk perubahan tanda vital telah terlihat

 Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan

Mandiri penguapan cairan tubuh meningkat,


sehingga perlu diimbangi dengan intake
 Berikan kebutuhan cairan ekstra cairan yang banyak

 Pakaian yang tipis akan membantu


mengurangi penguapan tubuh

 Konduksi suhu membantu menurunkan


suhu tubuh
 Anjurkan klien untuk memakai

pakaian yang minimal


 Antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh
 Berikan kompres dingin

Kolaborasi  Agar pasien dapat mempertahankan


asupan cairan tubuhnya
 Berikan antipiretik

Health Edukasi

 Ajarkan pentingnya mempertahankan


asupan cairan yang adekuat
1. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari
kerusakan pertukaran gas

Tujuan : pasien menunjukkan penghematan energi untuk aktivitas


Kriteria Hasil: menyadari keterbatasan energi, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat, tingkat daya
tahan adekuat untuk beraktivitas.
Intervensi Rasional
Observasi

 Monitor respon emosi, sosial, dan  Menetapkan kemampuan,


spiritual terhadap aktivitas kebutuhan dan
memudahkan pilihan
intervensi pasien

 Asupan nutrisi yang cukup


 Pantau asupan nutrisi dapat menjaga
keadekuatan energi.

 Dengan istirahat yang


cukup dan teratur dapat
 Pantau/dokumentasikan pola
membantu untuk
istirahat pasien dan lamanya
menyiapkan energi yang
waktu tidur
cukup bagi klien

Mandiri  Aktivitas di periode


istirahat dapat
 Hindari menjalankan aktivitas
menyebabkan pasien
perawatan selama periode istirahat
kekurangan tenaga
sehingg pasien lemas.

 Dengan aktivitas yang


teratur menyebabkan
 Bantu dengan aktivitas fisik teratur
tubuh terbiasa sehingga
klien bisa lebih kuat
melakukan aktivitas

 Dengan membatasi
rangsangan dapat
 Batasi rangsangan lingkungan mengurangi tingkat
distress klien yang
membutuhkan tenaga

Kolaborasi  merencanakan dan


memantau program
 Kolaborasikan dengan ahli terapi aktivitas
okupasi, fisik dan atau rekreasi
 mendapatkan pelayanan
 Rujuk pada pelayanan kesehatan tentang bantuan
rumah perawatan di rumah sesuai
dengan kebutuhan

 meningkatkan asupan
makanan yang tinggi
energi
 Rujuk pada ahli gizi untuk
merencanakan makanan

 mencegah kelelahan
Health Edukasi

 Ajarkan tentang pengaturan


aktivitas dan teknik manajemen
waktu.  tirah baring dipertahankan
selama fase akut untuk
 Jelaskan pentingnya istirahat menurunkan kebutuhan
dalam rencana pengobatan dan metabolik, menghemat
perlunya keseimbangan aktivitas energi untuk
dan istirahat penyembuhan.
Pembatasan aktivitas
ditentukan dengan respon
individual pasien terhadap
aktivitas dan perbaikan
kegagalan pernafasan

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan

kurang dari kebutuhan


Tujuan : status gizi baik
Kriteria Hasil :
ü Antropometri : BB tidak turun (stabil), Tinggi badan, lingkar lengan
ü Biokimia : Albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dL, Hb Normal anak 11-13 g/dL
ü Klinis : Tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah.
ü Diet : Klien menghabiskan porsi makan dan nafsu makan bertambah
Intervensi Rasional
Observasi

 Pastikan pola diet biasa pasien, yang  Untuk mendukung peningkatan nafsu
disukai atau tidak disukai. makan pasien

 Pantau masukan dan pengeluaran dan  Mengetahui keseimbangan intake dan


berat badan secara pariodik. pengeluaran asuapan makanan

 Monitor turgor kulit pasien  Sebagai data penunjang adanya perubahan


nutrisi yang kurang dari kebutuhan

 Untuk dapat mengetahui tingkat


kekurangan kandungan Hb, albumin, dan
 Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, glukosa dalam darah
albumin, dan kadar glukosa darah

Mandiri  Menjaga pola makan pasien sehingga


pasien makan secara teratur
 Buat perencanaan makan dengan pasien
untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.

 Dukung anggota keluarga untuk membawa  Pasien merasa nyaman dengan makanan
yang dibawa dari rumah dan dapat
makanan kesukaan pasien dari rumah. meningkatkan nafsu makan pasien.

 Dengan pemberian porsi yang besar dapat


menjaga keadekuatan nutrisi yang masuk.
 Tawarkan makanan porsi besar disiang hari
ketika nafsu makan tinggi

 Tinggi karbohidrat, protein, dan kalori


Kolaborasi diperlukan atau dibutuhkan selama
perawatan.
 Patikan diet memenuhi kebutuhan
pernafasan sesuai indikasi.

 Klien terbiasa makan dengan terencana


dan teratur.
Health Edukasi
 Menjaga keadekuatan asupan nutrisi yang
 Ajarkan metode untuk perencanaan makan dibutuhkan.

 Ajarkan pasien dan keluarga tentang


makanan yang bergizi dan tidak mahal

Silikosis
3.1 Pengkajian
Meliputi:

1. Identitas pasien

Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan. Silikosis lebih sering diderita oleh
kalangan pekerja bangunan atau yang sering berhubungan dengan asbes yang sebagian besar dilakukan
oleh pria sehingga lebih sering menyerang pria dibanding wanita.

1. Riwayat Penyakit Sekarang


Klien sesak saat bernafas, batuk, keluhan nyeri dada, peningkatan frekuensi peningkatan, lemas, nyeri
kepala.

1. Keluhan utama

Pada klien dengan asbestosis akan mengeluh sesak, batuk, demam

1. Riwayat Penyakit dahulu

Perlu ditanyakan apakah klien pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dengan gejala
luka tenggorok, bersin demam ringan.

1. Riwayat penyakit keluarga

Umumnya klien dengan silikosis tidak memiliki penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit ini

1. Riwayat Psikososial

Perawat perlu memperoleh persepsi yang jelas mengenai perasaan, status emosi, dan perilaku klien.
klien sering merasa cemas akibat nyeri yang kronis dan mengisolasi diri karena penyaklit yang diderita.

1. Pemeriksaan Fisik:

1. B1 (Breath) : sesak napas, Nyeri saat bernafas akibat adanya jaringan parut di alveoli,
RR menurun, adanya penggunaan otot bantu pernafasan inspirasi, hipoksia

2. B2 (Blood) : cyanosis, hypoxia, denyut jantung meningkat, TD meningkat, tachycardi

3. B3 (Brain) : dizziness, cemas, penurunan kesadaran

4. B4 (Bladder) : -

5. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun, Pasien lemah

6. B6 (Bone): malaise

7. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya didapatkan leukosit 15.000-40.000/mm³,
biakan sputum, darah, bila perlu cairan efusi pleura.

2. Pemeriksaan radiologis, sebaiknya gunakan foto thoraks posterior-anterior dan


lateral. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular.

Hasil diagnosa asbestosis dibangun atas 3 tahap :

1. Riwayat ekspose.

2. Bukti fibrosis dari radiografi (misalnya, HRCT), dan ditemukannya gangguan fungsi paru-paru
dengan atau tanpa bukti histologi (serat asbes di dalam bronchoalveolar, cairan atau fibrosis
pada biopsi jaringan paru-paru).

3. Tidak adanya penyebab lain yang menyebabkan fibrosis interstitial.

3.2 Analisa Data

Data Etiologi Masalah


DS: Klien mengeluh sesak Adanya jaringan parut di alveoli Gangguan Pertukaran gas
DO: RR menurun, pola nafas tidak
teratur, pucat, ketidaknormalan
frekuensi, irama dan kedalaman
nafas, hipoksia, tachycardia,
tekanan O2 dan CO2 menurun.
Pada lapangan paru bawah
bilateral terdapat bercak-bercak
nodular
DS : Demam Peningkatan laju metabolisme Hipertermi
DO : Suhu tubuh lebih dari 37 ° C sekunder dari reaksi sistemis silika
DS : Klien merasa lemah, tidak Kelemahan fisik dan peningkatan Intoleransi Aktivitas
nyaman metabolisme umum sekunder dari
DO: denyut jantung meningkat, kerusakan pertukaran gas
TD meningkat.
DS : Klien merasa lemas Intake makanan kurang dari Perubahan nutrisi kurang dari
DO: kurus, BB menurun, albumin kebutuhan kebutuhan tubuh
<< 3,2 , Hb << 11g/dl , rambut
terlihat memerah pada anak-anak,
lapisan subkutan tipis.

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli

2. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis silika

3. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari
kerusakan pertukaran gas

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan kurang dari kebutuhan

3.4 Intervensi dan Rasional

1. Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli

Tujuan : Pertukaran gas tidak terganggu


Kriteria hasil : status neurologis dalam rentang yang diharapkan; dispnea saat istirahat dan aktivitas tidak
ada; gelisah, sianosis, dan keletihan tidak ada; PaO2, PaCO2, dan pH arteri, dan saturasi O2 dalam batas
normal
Intervensi Rasional
Observasi

 Monitor bunyi paru; frekuensi napas,  Berguna dalam evaluasi derajat distress
kedalaman, dan usaha dan produksi pernafasan atau kronisnya proses
sputum sesuai dengan indikator dari penyakit.
penggunaan alat penunjang yang
efektif.

 Auskultasi bunyi napas, catat area


penurunan aliran udara atau bunyi
tambahan  Bunyi napas mungkin redup karena
penurunan aliran udara atau konsolidasi
 Awasi tingkat kesadaran atau status
mental. Selidiki adanya perubahan.  Gelisah dan ansietas adalah manifestasi
umum pada hipoksia. AGD memburuk
disertai bingung/somnolen
menunjukkan disfungsi serebral yang
berhubungan dengan hipoksemia.

Mandiri

 Jelaskan prosedur pengobatan kepada  Menurunkan kece masan klien terhadap

klien prosedur tindakan yang dilakukan.

 Takikardi, disritmia, dan perubahan


tekanan darah dapat menunjukkan efek
 Awasi tanda vital dan irama jantung hipoksemia sistemik pada fungsi
jantung

Kolaborasi
 Dapat memperbaiki atau mencegah
 Konsultasikan dengan dokter tentang memburuknya hipoksia.
kebutuhan akan pemeriksaan gas darah
arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu
yang dianjurkan.

 Siapkan klien untuk ventilasi atau  Terjadinya atau kegagalan nafas yang

oksigenasi mekanis bila perlu. akan datang memerlukan upaya


tindakan penyelamatan hidup

Health edukasi

 Jelaskan penggunaan alat bantu  Memberikan informasi kepada pasien

pernafasan. tentang tata cara menggunakan alat


bantu.
Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis asbes

Tujuan : pasien mempertahankan suhu tubuh


Kriteria Hasil: suhu tubuh normal (36-37°C).
Intervensi Rasional
Observasi:

 Pantau tanda vital tiap tiga jam atau lebih  Perubahan frekuensi jantung atau tekanan
sering darah menunjukkan bahwa pasien
mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain
untuk perubahan tanda vital telah terlihat.

 Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan

Mandiri penguapan cairan tubuh meningkat,


sehingga perlu diimbangi dengan intake
 Berikan kebutuhan cairan ekstra cairan yang banyak

 Pakaian yang tipis akan membantu


mengurangi penguapan tubuh

 Konduksi suhu membantu menurunkan


suhu tubuh
 Anjurkan klien untuk memakai

pakaian yang minimal


 Antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh
 Berikan kompres dingin

Kolaborasi  Agar pasien dapat mempertahankan


asupan cairan tubuhnya
 Berikan antipiretik

Health Edukasi

 Ajarkan pentingnya mempertahankan


asupan cairan yang adekuat

1. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari
kerusakan pertukaran gas

Tujuan : pasien menunjukkan penghematan energi untuk aktivitas


Kriteria Hasil: menyadari keterbatasan energi, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat, tingkat daya
tahan adekuat untuk beraktivitas.
Intervensi Rasional
Observasi

 Monitor respon emosi, sosial, dan spiritual  Menetapkan kemampuan, kebutuhan dan
terhadap aktivitas memudahkan pilihan intervensi pasien

 Asupan nutrisi yang cukup dapat menjaga


keadekuatan energi.

 Pantau asupan nutrisi  Dengan istirahat yang cukup dan teratur


dapat membantu untuk menyiapkan energi
yang cukup bagi klien

 Pantau/dokumentasikan pola istirahat


pasien dan lamanya waktu tidur  Aktivitas di periode istirahat dapat
menyebabkan pasien kekurangan tenaga
sehingg pasien lemas.

Mandiri  Dengan aktivitas yang teratur


menyebabkan tubuh terbiasa sehingga
 Hindari menjalankan aktivitas perawatan klien bisa lebih kuat melakukan aktivitas
selama periode istirahat
 Dengan membatasi rangsangan dapat
mengurangi tingkat distress klien yang
membutuhkan tenaga
 Bantu dengan aktivitas fisik teratur

 merencanakan dan memantau program


aktivitas

 mendapatkan pelayanan tentang bantuan


perawatan di rumah sesuai dengan
 Batasi rangsangan lingkungan kebutuhan

 meningkatkan asupan makanan yang tinggi


energi

Kolaborasi  mencegah kelelahan

 Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi,


fisik dan atau rekreasi

 Rujuk pada pelayanan kesehatan rumah  tirah baring dipertahankan selama fase
akut untuk menurunkan kebutuhan
metabolik, menghemat energi untuk
penyembuhan. Pembatasan aktivitas
ditentukan dengan respon individual pasien
terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan
 Rujuk pada ahli gizi untuk merencanakan pernafasan
makanan

Health Edukasi

 Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan


teknik manajemen waktu.

 Jelaskan pentingnya istirahat dalam


rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan kurang dari kebutuhan

Tujuan : status gizi baik


Kriteria Hasil :
ü Antropometri : BB tidak turun (stabil), Tinggi badan, lingkar lengan
ü Biokimia : Albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dL, Hb Normal anak 11-13 g/dL
ü Klinis : Tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah.
ü Diet : Klien menghabiskan porsi makan dan nafsu makan bertambah
Intervensi Rasional
Observasi

 Pastikan pola diet biasa pasien, yang  Untuk mendukung peningkatan nafsu
disukai atau tidak disukai. makan pasien

 Pantau masukan dan pengeluaran dan  Mengetahui keseimbangan intake dan


berat badan secara pariodik. pengeluaran asuapan makanan

 Monitor turgor kulit pasien  Sebagai data penunjang adanya perubahan


nutrisi yang kurang dari kebutuhan

 Untuk dapat mengetahui tingkat


kekurangan kandungan Hb, albumin, dan
 Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, glukosa dalam darah
albumin, dan kadar glukosa darah

Mandiri  Menjaga pola makan pasien sehingga


pasien makan secara teratur
 Buat perencanaan makan dengan pasien
untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.

 Dukung anggota keluarga untuk membawa  Pasien merasa nyaman dengan makanan
makanan kesukaan pasien dari rumah. yang dibawa dari rumah dan dapat
meningkatkan nafsu makan pasien.

 Dengan pemberian porsi yang besar dapat


 Tawarkan makanan porsi besar disiang hari
ketika nafsu makan tinggi menjaga keadekuatan nutrisi yang masuk.

Kolaborasi
 Tinggi karbohidrat, protein, dan kalori
 Patikan diet memenuhi kebutuhan diperlukan atau dibutuhkan selama
pernafasan sesuai indikasi. perawatan.

Health Edukasi  Klien terbiasa makan dengan terencana


dan teratur.
 Ajarkan metode untuk perencanaan makan
 Menjaga keadekuatan asupan nutrisi yang
dibutuhkan.

 Ajarkan pasien dan keluarga tentang


makanan yang bergizi dan tidak mahal

Anda mungkin juga menyukai