Buku Wedatama Full PDF
Buku Wedatama Full PDF
i
KAJIAN SERAT WEDATAMA
Karya KGPAA Mangkunagara IV
ii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI v
TRANSLITERASI ARAB LATIN viii
TRANSLITERASI JAWA LATIN ix
BAGIAN PERTAMA: RIWAYAT SINGKAT KGPAA
MANGKUNAGARA IV 1
BAGIAN KEDUA: KAJIAN SERAT WEDATAMA 5
viii
Transliterasi Arab ke Latin
=يy
ix
Transliterasi Jawa ke Latin
x
xi
Kajian Serat Wedatama
BAGIAN PERTAMA
1
Kajian Serat Wedatama
3
Kajian Serat Wedatama
4
Kajian Serat Wedatama
BAGIAN KEDUA
5
Kajian Serat Wedatama
PUPUH PERTAMA
PANGKUR
6
Kajian Serat Wedatama
7
Kajian Serat Wedatama
9
Kajian Serat Wedatama
10
Kajian Serat Wedatama
11
Kajian Serat Wedatama
12
Kajian Serat Wedatama
13
Kajian Serat Wedatama
14
Kajian Serat Wedatama
(logis, lazim), saya elok (makin bicara hal yang mengagumkan) alangka
(tidak ada) longkangipun (selanya). Melantur kemana-mana, bicaranya
tidak lazim, makin aneh tidak ada selanya.
Si bodoh semakin lama semakin panjang bicaranya, angan-angannya yang
tinggi semakin tumpah, mengatakan yang serba wah. Bicaranya tidak
lazim, yang sebenarnya lawan bicaranya pun mengetahui, namun dia tetap
nekad bicara melantur. Semakin bicara tentang hal yang mengagumkan
dan makin intens, tidak ada jeda, bicara terus. Dalam bahasa jawa disebut
ngethuprus.
Si wasis (si pintar, maksudnya lawan bicara si bodoh tadi) waskhita
(memahami, memaklumi) ngalah (mengalah), ngalingi (menutupi)
marang (terhadap) si pingging (si pengung, si bodoh). Si pintar
memahami dan mengalah, menutupi (kelakuan) si bodoh.
Gatra ini menggambarkan sikap orang pintar yang berhadapan dengan
orang bodoh cerewet tadi. Si pintar tidak lantas mendebat -karena juga tak
ada gunanya-, tidak hanya ngemong dengan sikap ramah tetapi juga
sebisa-bisanya menutupi aib lawan bicaranya. Jika mungkin membelokkan
bicara agar si bodoh tidak semakin menjadi-jadi bualannya, sehingga
mempermalukan dirinya sendiri. Si pintar tidak ikut terpancing pameran
ilmu, sebuah tindakan yang justru mendegradasi kepintarannya.
Inilah watak yang utama dari orang-orang yang sudah pintar dalam ilmu
rasa, jika mendapati seseorang bicara melantur harus menutupi dengan
berbagai upaya, tidak malah menyebarkan kebodohan orang lain atau
justru menviralkan di medsos.
15
Kajian Serat Wedatama
16
Kajian Serat Wedatama
17
Kajian Serat Wedatama
18
Kajian Serat Wedatama
Hidup orang bodoh yang tak menguasai ilmu rasa akan rusak berantakan.
Akal budi tidak berkembang, tidak punya akidah yang membuatnya bisa
berpikir benar. Akalnya bagai tercabik-cabik, tercerai berai. Frasa ting
saluwir adalah keadaan seperti daun pisang yang sudah tuwa yang tertiup
angin sehingga tercabik-cabik, tercerai berai jika angin datang. Begitulah
jalan pemikiran orang-orang bodoh yang tak mengerti ilmu rasa tadi.
Kadi ta (seperti) guwa (goa) kang (yang) sirung (dalam, ceruk), sinerang
(terkena hembusan) ing (oleh) maruta (angin), gumrenggeng anggereng
(berderu-deru), anggung (selalu) gumrunggung (berdengung-dengung).
Ibarat goa gelap menyeramkan, terserang angin, suaranya selalu
berdengung-dengung.
Keadaan hati orang bodoh adalah laksana goa yang dalam ceruknya.
Apabila tertiup angin menimbulkan suara deru, jika besar anginnya
semakin berdengung-dengung. Suara-suara itu yang tak beraturan dan
berirama. Ini adalah kiasan bagi orang yang bicaranya tak ada maknanya,
hanya mirip deru angin saja.
Pindha (seperti) padhane (sama keadaannya) si mudha (dengan anak
mudha, bodoh), prandene (namun demikian) paksa (memaksa) kumaki
(sombong). Demikian gambaran anak mudha (yang masih bodoh), namun
demikian sombongnya minta ampun.
Keadaan orang bodoh juga mirip keadaan anak muda yang belum dewasa.
Oleh karena itu dalam bahasa Jawa lama kata mudha juga berarti bodoh.
Gatra ini mengingatkan kepada frasa senajan tuwa pikun pada bait ke-2,
yakni orang yang sudah tua seharusnya memahami ilmu rasa, tidak
berkelakuan seperti anak muda, yang memaksakan diri bertingkah
sombong.
Bait ini menggambarkan isi hati orang bodoh. Nalarnya tidak berkembang,
tercerai berai karena tak punya akidah yang mantap. Isi hatinya penuh
dengan gejolak, berbolak-balik, penuh berbagai bisikan-bisikan liar,
berdengung-dengung tak karuan. Ini jelas bukan pencapaian yang
diharapkan bagi orang yang sudah lanjut usia. Bahkan, perilakunya juga
masih seperti anak muda yang labil, bersikap sangat sombong.
19
Kajian Serat Wedatama
20
Kajian Serat Wedatama
orang tuanya, walaupun seharusnya dia sudah hidup mandiri karena sudah
dewasa.
Lha iya (itukan) ingkang rama (ayahnya), balik (sedangkan) sira (kamu)
sasrawungan (mengenal) bae (saja) durung (belum). Itu kan ayahnya,
sedangkan kamu belum lagi mengenal.
Gatra ini mempertanyakan, itukan ayahmu, lha kamu? Sedangkan kamu
mengenal saja belum. Kenal apa? Jawabannya di gatra selanjutnya.
Mring (terhadap) atining (intisari) tatakrama (sopan santun), nggon
(tempat) anggon (pakaian) agama suci. Dengan intisari sopan santun,
yang merupakan ajaran agama suci.
Anggon di sini berarti makna kiasan untuk sifat yang melekat pada
seseorang, terhadap intisari sopan santun, pakaian yang seharusnya dipakai
oleh orang yang beragama.
Bait ini cukup jelas menerangkan sifat orang yang terlambat dewasa.
Tekadnya lemah sekali. Jika ada masalah lari ke orang tuanya,
mengandalkan kedudukan, pangkat dan jabatannya. Lha itu kan ayahnya?
Sedangkan dia sendiri seharusnya juga mengerti sopan santun, adab yang
berlaku dalam masyarakat. Itulah pakaian (sifat-sifat) yang seharusnya
dipakai oleh orang beragama.
21
Kajian Serat Wedatama
22
Kajian Serat Wedatama
Lumuh (tak mau) asor (kalah) kudu (harus) unggul (menang), semengah
(sombong) sesongaran (membanggakan diri di depan orang banyak). Tak
mau kalah harus menang, sombong dan membanggakan diri.
Di sini digambarkan sifat orang yang tak mau kalah, selalu harus menang.
Senantiasa menyombongkan diri di depan orang banyak. Orang ini
menganggap bahwa mengalahkan orang lain itu penting, sehingga harus
selalu menang. Orang berwatak seperti ini suka memamerkan kelebihan
diri agar eksis dalam pergaulan luas. Baginya penting untuk selalu tampil
lebih baik daripada orang lain.
Yen (kalau) mangkono (demikian itu) kena (bisa) ingaranan (disebut)
katungkul (terlena), karem (sangat suka, tergila-gila) ing (pada) reh
(segala hal) kaprawiran (tentang keperwiraan). Nora (tidak) enak
(nyaman, tak baik) iku (itu) kaki (nak). Yang demikian itu bisa disebut
terlena,tergila-gila pada kehebatan (diri). Tidak baik itu nak!
Gatra terakhir ini menggambarkan orang yang terlena dengan keperwiraan,
kemenangan dan kehebatan diri. Padahal seharusnya dia sudah harus mulai
ngudi kasampurnaning urip, mencari kesempurnaan hidup. Kata
katungkul menandakan bahwa hal-hal yang dilakukan itu sudah melebihi
porsi yang seharusnya. Yang demikian itu tidak baik nak!
Bait ini memberi petuah bahwa kepribadian kita akan terpancar dalam
tutur kata kita sehari-hari. Seharusnya semakin bertambah usia tutur kata
semakin santun dan sabar, perilaku juga harus mulai tampak lebih
bijaksana. Jika masih suka bertengkar dan tak mau kalah, masih
mengunggul-unggulkan kehebatan diri, berlaku sombong dan berbangga
diri, pertanda bahwa yang bersangkutan terlena dalam mencari
keperwiraan. Yang demikian itu adalah sifat yang tidak terpuji, tanda
bahwa pribadinya belum dewasa. Itu tidak baik!
23
Kajian Serat Wedatama
24
Kajian Serat Wedatama
25
Kajian Serat Wedatama
26
Kajian Serat Wedatama
Puruhita (berguru) kang (yang) patut (pantas), lan (dan) traping (sesuai)
angganira (keadaanmu). Berguru secara pantas,dan sepadan dengan
kemampuan diri.
Agar hati kita terjaga dari penyakit maka kita harus berguru menuntut ilmu
rasa. Maka penting di sini untuk mencari guru yang pantas digurui agar
kita dapat belajar darinya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Ana (ada) uga (juga) angger (aturan) ugering (pedoman) kaprabun
(kerajaan) , abon-aboning (perlengkapan) panembah (beribadah), kang
(yang) kambah (disentuh, lebih tepat diartikan: diamalkan) ing (di) siyang
(siang) ratri (malam).
Selain harus belajar juga harus mengikuti aturan dan pedoman bernegara
dan hidup bermasyarakat. Hal ini berkaitan dengan sikap kita yang harus
bergaul dengan baik dengan orang lain, hablumminannaas. Yang tak
kalah penting adalah mengamalkan tatacara atau rukun (perlengkapan)
beribadah kepada Sang Pencipta, yang harus dilakukan siang malam,
hablumminallah.
Tanpa kedua hal ini niscaya sulit dicapai keadaan hati yang bebas dari
penyakit. Keadaan harmonis secara horinzontal dengan sesama manusia
dan lingkungan, dan harmonis secara vertikal dengan Sang Pencipta
adalah prasarat tercapainya hati yang selamat, tyas basuki tadi.
27
Kajian Serat Wedatama
28
Kajian Serat Wedatama
29
Kajian Serat Wedatama
30
Kajian Serat Wedatama
31
Kajian Serat Wedatama
Antara yang lahir dan yang batin sebenarnya adalah satu wujud, hanya
beda penampakan laksana dua sisi mata uang. Siang dan malam adalah
satu putaran waktu, keduanya tak beda. Pria dan wanita adalah sama-sama
manifestasi nama-nama ilahi dalam kadar yang parsial, pernikahan
menyatukan keduanya. Demikianlah dualisme dalam ciptaan, yang
sebenarnya adalah satu. Namun karena diri kita parsial maka terlihat
sebagai dualisme. Jika kita telah menjadi manusia paripurna (insan kamil)
atau univers maka dualisme lenyap dan tampak jelas kesatuan wujud.
Inilah yang disebut tauhid sejati.
Yang diciptakan adalah manifestasi dari Yang Menciptakan, jadi hanya
ada satu wujud sejati. Ini adalah konsep Satunggaling Kawula-Gusti.
Saya cukupkan dulu, karena pokok bahasan kita bukan tentang ini.
32
Kajian Serat Wedatama
33
Kajian Serat Wedatama
Kata pamor berasal dari amor yang artinya mengumpul atau menyatu.
Pamor artinya sebuah keadaan penyatuan. Kata pamor juga mengingatkan
kita pada pamor keris, yakni motif yang timbul pada bilah keris akibat
metode tempa logam. Motif pamor ini akan semakin terlihat jelas jika
keris sudah berusia lama, dan disebut pecah pamore, artinya keindahan
keris makin tampak jelas. Pamor pada keris membuat keris kelihatan indah
laksana mengeluarkan sinar. Oleh karena itu pamor juga sering diartikan
sebagai pancaran keindahan.
Kata pamor juga dipakai pada kalimat: bocan wadon kuwi sudah pecah
pamore (anak gadis itu sudah bersinar pamornya). Kalimat ini dipakai
untuk menggambarkan gadis yang sudah melewati usia akil baligh, sudah
nampak pesona kecantikannya.
Suksma di sini sesuai konteks bisa diartikan Suksma (pakai S besar),
artinya ruh atau Citra Ilahi. Disebut citra karena sesungguhnya yang
menyatu bukanlah Dzat Allah, melainkan kesadaran ilahiyah yang bangkit
dari dalam hati. Sebenarnya di dalam diri manusia telah ditiupkan Citra
Ilahiyah tersebut dalam bentuk ruh, yang menyertai manusia sejak lahir.
Namun dalam kehidupan ruh ini tersembunyi jauh di dasar wujud manusia.
Melalui penggalian yang keras (di dalam diri), akhirnya ditemukan.
Laksana seorang penambang permata yang menemukan sebongkah
permata di dasar palung diri manusia.
Sedangkan winahya berarti kawedhar, atau tampak atau sudah muncul,
sudah didapatkan. Sehingga gatra tersebut dapat diartikan, tak ada
keraguan menyatunya citra Ilahi, meresapnya dalam hati didapatkan
ketika sepi.
Secara sederhana bisa dikatakan bahwa seringkali kita menyepi, sengaja
mengasingkan diri agar mendapat petunjuk atas masalah yang kita hadapi
atau untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Misalnya pada saat-saat
malam ketika sepi dengan shalat malam, bermuhasabah, mengadu kepada
Allah, berkhalwat dengan Allah. Di waktu-waktu tersebut kadang kita
mendapat pencerahan sehingga mendapatkan kesadaran baru. Kita sebut
pencerahan karena tiba-tiba kita menjadi cerah, seperti kena sinar yang
memancar (pamor).
Sinimpen (tersimpan) telenging (pusat, di dalam) kalbu (hati),
pambukaning (sebagai pembuka) warana (tirai). Tersimpan di dalam hati,
sebagai pembuka tirai.
34
Kajian Serat Wedatama
35
Kajian Serat Wedatama
anugerah Yang Maha Benar. Jika tidak kita pun akan sulit mencapai
hakekat hidup di dunia ini. Tugas kita sebagai manusia hanya menyiapkan
diri, adapun turunnya anugrah adalah sepenuhnya kehendak Allah.
Bali (kembali) alaming (ke alam) ngasuwung (kosong, maksudnya
kosong dari hawa nafsu), tan (tidak) karem (sangat suka, mabuk)
karameyan (keramaian, kiasan untuk alam dunia). Kembali ke alam
kosong (keakhiratan), tidak mabuk keramaian (keduniawian).
Karena anugrah Yang Maha Benar kita dapat kembali ke alam kosong.
Kosong di sini adalah kosong dari hawa nafsu. Ini adalah merujuk pada
hati yang kosong dari keinginan terhadap dunia, jiwa kemudian condong
kepada alam keakhiratan. Tan karem karameyan, adalah tidak suka lagi
dengan ramainya dunia, alam materi yang banyak warna-warni dengan
segala permasalahannya ini.
Ingkang (yang) sipat (bersifat) wisesa (kuasa) winisesa (menguasa) wus
(sudah), mulih (pulang) mula (asal) mulanira (mula, muasal). Yang
bersifat kuasa menguasai, kembali ke asal mula.
Kalau kita perhatika bahwa kehidupan duniawi didominasi nafsu meraih
kepentingan diri atau egoisme. Ada yang sangat ingin meraih kekayaan
materi sehingga tamak akan harta. Mencari harta-benda dengan cara yang
tidak halal.
Ada yang syahwat politiknya overdosis sehingga senantiasa menjadi motif
dari setiap tindakan. Ada yang kemudian membungkusnya dengan pura-
pura memihak kaum lemah. Ada yang membungkus dengan tampilan
religius demi menarik simpati ummat.
Yang demikian itulah kehidupan duniawi, dengan segala riuh-riak di
dalamnya. Maka bait ini mengingatkan agar kembali ke asal mula, yakni
makhluk Allah yang muasalnya bukan dari dunia ini tapi dari alam lain
yang kelak kita semua akan kembali (mulih).
Mulane (oleh karena itu) wong (wahai orang) anom (muda) sami
(sekalian, semua). Oleh karena itu wahai anak muda.
Gatra ke-7 ini bisa disebut sasmita kepada lanjutan Pupuh berikutnya
yakni Pupuh Sinom, maka memakai isyarat kata anom. Selain itu menjadi
isyarat bahwa bait-bait berikutnya ajaran piwulang ini, nasehat ini, lebih
ditujukan untuk anak muda.
37
Kajian Serat Wedatama
38
Kajian Serat Wedatama
PUPUH KEDUA
SINOM
39
Kajian Serat Wedatama
41
Kajian Serat Wedatama
dalam agar tidak keluar. Caranya dengan menutup rangsangan hawa agar
tidak masuk melalu sembilan lubang, dua mata, dua lubang hidung, dua
lubang telinga, satu lubang mulut, satu lubang kelamin dan satu lubang
dubur. Yang dimaksud menutup di sini adalah membatasi rangsangan yang
masuk lewat lubang-lubang tersebut, misalnya dengan tidak memandang
hal-hal yang membangkitkan nafsu, tidak sengaja mencium aroma yang
mengundang selera, tidak mendengar percakapan yang tidak pantas, dll.
Jadi gatra ini lebih tepat kalau dimaknai sebagai: berlatih dengan sungguh
agar mencapai kondisi berkurangnya hawa dan nafsu. Jika nafsu tidak
dituruti maka akan melemah, sehingga tidak bergejolak. Inilah kondisi
yang ideal bagi manusia. Lalu bagaimana cara agar mencapai keadaan itu?
Bait berikut menjelaskannya.
Pinesu (dipaksa, diusahakan dengan keras) tapa brata (bertapa, tirakat).
Dengan jalan laku tirakat.
Berkurangnya hawa dan nafsu tadi dapat dicapai dengan bertapa. Di sini
bertapa berarti tirakat, laku prihatin, mencegah atau berpantang dari
sesuatu agar mendapat pencerahan. Yang umum dilakukan oleh orang
jawa tempo dulu adalah mengurangi makan dan tidur (cegah dhahar lan
guling), sambil berdzikir. Juga biasa dilakukan dengan berkhalwat,
menyendiri (mahas ing asepi). Arti gatra ini yang sesuai: memaksa diri
menjalani laku prihatin atau tirakat.
Tanapi (sambil) ing (di) siyang (siang) ratri (malam), amamangun
(mematut diri) karyenak (membuat enak) tyasing (hati) sasama (sesama,
orang lain). Sambil di siang malam, berbuat menyenangkan hati sesama.
Karena Panembahan Senopati adalah seorang raja yang terkenal suka laku
tirakat, maka sangat mungkin yang dimaksud dengan gatra ini adalah:
sambil berlatih terus untuk mengekang hawa dan nafsu beliau juga
berusaha di siang dan malam, membuat kebijakan, memerintah,
mengarahkan (itu semua disebut amamangun) agar rakyat merasa nyaman
hidupnya dan (enak hati) tanpa rasa takut dan khawatir.
Bagi orang Jawa contohlah tauladan dari orang besar di Mataram,
Panembahan Senopati. Yang sangat keras berusaha mengurangi hawa dan
nafsu dengan memaksa diri menjalai laku prihatin. Sambil di siang dan
malam, berbuat kebijakan agar rakyatnya hidup nyaman tanpa rasa takut.
Apa yang dilakukan Panembahan Senopati adalah pengabdian dua
dimensi, dimensi vertikal dengan beribadah mendekatkan diri kepada
42
Kajian Serat Wedatama
43
Kajian Serat Wedatama
dalam setiap pertemuan. Bergaul dengan siapa saja sikap beliau selalu
menyenangkan, tidak menyakiti hati orang lain sehingga membuat orang
lain betah.
Sinambi (sambil) ing (di) saben (setiap) mangsa (waktu), kala (di kala)
kalaning ( ada waktu) asepi (luang, sepi pekerjaan), lelana (mengembara)
teki-teki (teteki, bertapa). Sambil di setiap waktu, di kala ada waktu luang,
mengembara untuk menyendiri, mengembara untuk bertapa.
Walaupun sang Raja sangat sibuk, manakala ada waktu luang di sela-sela
kesibukan, maka beliau menyempatkan melakukan hal-hal selain urusan
pemerintahan. Yakni melakukan tapa, berkhalwat dengan sang Khalik,
mendekatkan diri dengan Sang Pencipta.
Walau seorang raja Senopati tidak melalaikan tugas kenegaraan, tetapi
hatinya selalu tidak sabar menanti waktu luang untuk bertapa. Dia
melakukan itu karena memang menyukai laku prihatin, tidak suka foya-
foya. Karena memang ada yang dituju dalam hidupnya selain kekuasaan.
Nggayuh (menggapai) geyonganing (kecenderungan) kayun (hati).
Menggapai kecenderungan hati.
Jadi bertapanya bukan untuk meraih kekuasaan, toh hal itu sudah
didapatkan, melainkan karena memang kecenderungan hati. Cita-cita
beliau adalah hidup prihatin untuk mencapai kesejatian, kesempurnaan
hidup.
Kayungyun (terpesona) heninging (ketenangan) tyas (hati). Terpesona
ketenangan, keheningan hati.
Karena beliau sangat terpesona dengan ketenangan hati. Tenang dalam
arti dekat dengan Yang Maha Kuasa, bukan tenang dalam artian
mengasingkan diri dari dunia. Toh beliau tetap bekerja sebagai raja pada
setiap harinya.
Sanityasa (senantiasa) pinrihatin (melakukan hidup prihatin). Senatiasa
melakukan hidup prihatin.
Beliau senantiasa hidup dengan cara yang sederhana dengan laku prihatin.
Bukan karena keterpaksaan, tetapi karena tingkat pengendalian diri yang
sudah paripurna. Tidak gampang kapiluyu (tergoda) oleh kemewahan
dunia, meski seorang raja besar yang berkuasa.
45
Kajian Serat Wedatama
46
Kajian Serat Wedatama
47
Kajian Serat Wedatama
Setiap keluar dari istana, sang raja selalu berkelana ke tempat yang sunyi.
Gatra ini mengesankan sang raja “tak betah” untuk berada di istana. Setiap
ada kesempatan selalu bersegera menyepi, seolah-olah hatinya sudah
terpesona dengan kesepian, dengan laku tirakat.
Ngingsep (menghisap) sepuhing (apuh, tuntas, sesuatu yang dihisap
sampai tak tersisa saripatinya) supana (ilmu yang baik). Mempelajari ilmu
yang baik sampai tuntas.
Sang raja ke tempat sepi selain hendak tirakat juga sering berguru kepada
para ahli ma’rifat. Ada banyak cerita bahwa Panembahan Senopati kerap
ditemui oleh sunan Kalijaga ketika sedang menyepi, untuk diberi
wejangan ilmu. Seperti kita ketahui bahwa Sunan Kajiga adalah waliyullah
yang berumur sangat panjang, dan masih sugeng ketika Mataram berdiri.
Sunan Kalijaga adalah wali yang sangat peduli atas nasib para penguasa di
tanah Jawa. Sejak berdirinya kerajaan Demak, dilanjutkan Pajang sampai
akhirnya Mataram muncul, sunan Kalijaga selalu njangkungi, memantau
para raja-raja tersebut. Oleh karena itu Sunan Kalijaga juga sering
dipanggil sebagai Syaikh Jangkung.
Mrih (agar) pana (mengetahui) pranaweng ( pranawa ing, terang, jelas)
kapti (kehendak). Agar mengetahui dengan jelas yang dikehendaki (hati).
Bahwa seseorang itu terdinding dengan hatinya. Apa keinginan hatinya
sendiri seringkali tidak disadari. Oleh karena itu perlu terus mengasah akal
budi agar nalar kita peka terhadap kehendak hati.
Tis tising (yang dituju, maksud) tyas (hati) marsudi (berusaha sungguh),
mardawaning (kelembutan) budya (budi, pikiran) tulus (tulus). Maksud
hati mengupayakan, kelembutan budi yang tulus.
Jika kita bersungguh-sungguh melatih diri dengan berguru dan menjalani
berbagai laku maka akan tercapai kelembutan hati, setulus-tulusnya.
Sehingga apa yang tersembunyi dari kehendak hati menjadi terang.
Mesu (berusaha keras, memaksa diri agar mampu) reh (segala hal)
kasudarman (tentang kebajikan). Darma adalah perbuatan yang dilakukan
untuk orang lain atau disebut kebajikan, kasudarman bermakna segala
sesuatu tentang kebajikan. Berusaha keras untuk mempelajari ilmu tentang
kebajikan.
Karena kebajikan bukan teori semata-mata, maka memperlajari ilmu
kebajikan adalah sebuah tindakan praktik, atau disebut laku. Di awal-awal
48
Kajian Serat Wedatama
telah saya singgung tentang suluk. Nanti akan bertemu tentang bait bahwa
ilmu adalah laku.
Neng (di) tepining (tepinya) jalanidhi (samudra). Di tepi samudra.
Ini adalah tempat yang sering dipakai oleh Panembahan Senopati untuk
menyepi. Di tempat inilah Sunan Kalijaga pernah hadir memberi wejangan
kepada Senopati bagaimana harus menjadi raja yang baik.
Sruning (karena kerasnya) brata (bertapa) kataman (mendapat) wahyu
(anugrah) dyatmika (halus, kerohanian, Ilahiah). Karena kerasnya bertapa
sehingga mendapat anugrah Ilahi.
Wahyu dalam konsep budaya jawa adalah anugrah Ilahi yang berupa
pencerahan atau penyingkapan sehingga yang menerima wahyu menjadi
naik derajat spiritualnya. Dalam kisah klasik semisal pewayangan wahyu
dipersonakan sebagai senjata yang ampuh sehingga dapat dipakai untuk
mencapai tujuan tertentu, misal menjadi raja. Tentu saja ini hanya kiasan
saja agar penonton lebih mudah dalam memahami.
49
Kajian Serat Wedatama
50
Kajian Serat Wedatama
karena sudah berkeliling sampai tuntas, tak ada sejengkal pun yang
terlewati. Sekeliling samudera sudah dijelajahi.
Kinemat (dirasakan sungguh-sungguh) kamot (dimuat ) ing (di dalam)
driya (hati). Sudah dikuasai isinya, dimasukkan dalam hati.
Ini berkaitan dengan potensi lautan tersebut. Hal apa saja yang dapat
dilakukan di lautan tersebut. Apakah dibudidayakan potensi penghasil
ikannya, atau dikembangkan potensi lainnya.
Rinegan (dinilai, dikerta aji) sagegem (satu genggaman) dadi (muat),
dumadya (jadilah) angratoni (menjadi ratu/raja). Ditaksir muat dalam
genggaman, jadilah laut itu dengan segala isinya dapat dikuasai.
Setelah dinilai, disurvey dengan berkeliling tadi, maka digenggamlah,
artinya siap dieksplorasi. Sudah disiapkan rencana eksekusi untuk
menggali potensi kelautan tersebut.
Angratoni berarti menjadi raja di laut itu. Dalam bahasa jawa ratu bisa
bersinonim dengan kata raja, tidak terkait dengan gender. Contohnya pada
paribasan, adoh ratu cedhak watu, yang bermakna jauh dari raja dekat
dengan batu, kiasan untuk orang di pedalaman yang tidak mengenal etika
kenegaraan.
Nenggih (tersebutlah) kanjeng (yang berdiri) ratu kidul (sebagai ratu di
selatan), ndedel (melesat) nggayuh (mencapai) nggegana (mengangkasa,
mengudara). Tersebutlah yang berdiri sebagai ratu di selatan (Ratu
Kidul), melesat menggapai angkasa.
Ini merujuk ke tokoh ghaib yang dipercaya menguasai laut selatan dan
sering dipanggil sebagai Ratu Kidul. Tersebutlah ratu Kidul, yang berada
di dalam laut selatan, Samudera Indonesia. Dari tempatnya di dalam
lautan, melesat menggapai angkasa di atas permukaan laut, setelah melihat
sepak terjang Panembahan Senopati tersebut.
Umara (datang) marak (menghadap) maripih (dengan hormat). Datang
menghadap dengan sikap hormat.
Maripih adalah sikap hormat, gestur menghormati, sebagai pertanda
bahwa yang dihadapi adalah orang besar yang berwibawa. Jadi gatra ini
menunjukkan bahwa Ratu Kidul datang menghormati Panembahan
Senopati.
51
Kajian Serat Wedatama
Sor (lebih rendah) prabawa (wibawa) lan (dengan) wong (orang) agung
(besar) Ngeksiganda (Mataram). Kalah wibawa dengan orang besar dari
Mataram.
Mengapa Ratu Kidul mendatangi? Karena memang kalah wibawa, merasa
dirinya lebih rendah derajatnya dibanding orang besar dari Mataram itu.
Bait ke-18 ini meluruskan mitos yang selama ini beredar bahwa
Panembahan Senopati bertapa di pinggir Samudera adalah untuk minta
restu pada Ratu Kidul agar didukung menjadi raja. Yang benar menurut
bait di atas adalah memang Ratu Kidul yang datang karena kewibawaan
Senopati yang derajat spiritualnya sudah melampaui Ratu Kidul sendiri.
Catatan tambahan:
Bahwa cerita tentang Ratu Kidul ini sudah beredar di kalangan masyarakat
sampai ke lapisan bawah. Sebagian orang memang menganggap Ratu
Kidul sedemikian berkuasa sehingga mampu mengubah nasib seseorang.
Sebagian lagi menganggap Ratu Kidul adalah mitos yang sengaja
dihembuskan agar Panembahan Senopati mendapat legitimasi spiritual
untuk menjadi raja Mataram.
Pendapat yang masuk akal adalah pendapat terakhir, dari seorang pakar
filsafat asal Jogja. Bahwa cerita tentang Ratu Kidul adalah simbolisme
menyatunya Raja Mataram dengan alam. Kelak ada cerita bahwa raja-raja
Mataram harus menikahi Ratu Kidul. Ini juga simbolisme bahwa
penguasaan Mataram terhadap alam khususnya bumi tidak boleh
eksploitatif, tetapi relasinya harus mirip orang menikah, mengasihi (alam)
dan memberdayakan(nya).
Saya cukupkan tambahan keterangan ini, kelak semoga dapat mengkaji
lebih jauh. Karena pokok bahasan kita kali ini hanya soal makna
gramatikal Werat Wedatama, tak bijak jika melebar ke mana-mana.
52
Kajian Serat Wedatama
53
Kajian Serat Wedatama
(sepi). Di alam tak kasat mata, alam ghaib, dalam pengembaraan di alam
sepi.
Yakni, sebagai penghuni yang berkuasa di alam ghaib, dikala mengembara
di alam sepi. Maksud dari gatra ini adalah apabila Panembahan Senopati
berkelana di alam sepi, maka sudah ada pengikutnya yang akan setia
menemani, yakni Ratu Kidul.
Sumanggen (bersedia) anyanggemi (menyanggupkan diri). Ing (pada)
karsa (kehendak) kang (yang) wus (sudah) tinamtu (ditentukan).
Bersedia, menyanggupkan diri menerima perintah, pada kehendak (sang
raja) yang telah ditentukan.
Ratu Kidul bersedia, menyanggupkan diri pada semua kehendak dan
perintah sang raja yang telah ditentukan baginya. Dia takkan membantah
atau mengabaikan perintah itu.
Pamrihe (Yang diharapkan) amung (hanya) aminta (meminta), supangate
(restu, perkenan) teki teki (bertapa). Yang diharapkan hanya diijinkan
meminta, restu dalam bertapa.
Adapun alasan dari Ratu Kidul dalam menyanggupi tersebut adalah agar
dia dijadikan sebagai pengikut dan direstui dalam bertapa. Sudah umum
menjadi kepercayaan masyarakat Jawa bahwa Ratu Kidul adalah seorang
bidadari yang tidak diterima naik ke kahyangan akibat telah berbuat salah.
Oleh karena itu dia kemudian bertapa di laut selatan. Ketika melihat cara
bertapa Panembahan Senopati, tampaknya dia terpesona dengan cara
beliau bertapa. Demi agar pertapaannya berhasil Ratu Kidul hendak
berguru atau mencontoh pertapaan sang raja. Inilah alasan dari ketundukan
Ratu Kidul pada raja Mataram itu.
Nora ketang (walau) teken (bertongkat) janggut (dagu) suku (kaki) jaja
(dada). Walau bertongkat dagu berkaki dada.
Ini adalah peribahasa Jawa, ateken janggut asuku jaja. Arti tekstualnya,
memakai dagu sebagai tongkat dan memakai dada sebagai kaki dalam
berjalan, merangkak atau ngesot. Maksudnya adalah usaha yang keras dan
bersusah payah sampai batas kemampuan. Di sini Ratu Kidul menyatakan
kesanggupan untuk menerima perintah dari raja Mataram agar mendapat
restu dalam bertapa. Ratu Kidul hendak meneladani pertapaan raja
Mataram itu, walau pertapaannya itu nanti akan sangat sulit baginya. Dia
(Ratu Kidul) bertekad melaksanakannya walau dengan susah payah, ibarat
bertongkat dagu berkaki dada.
54
Kajian Serat Wedatama
55
Kajian Serat Wedatama
56
Kajian Serat Wedatama
57
Kajian Serat Wedatama
58
Kajian Serat Wedatama
59
Kajian Serat Wedatama
60
Kajian Serat Wedatama
61
Kajian Serat Wedatama
62
Kajian Serat Wedatama
64
Kajian Serat Wedatama
65
Kajian Serat Wedatama
66
Kajian Serat Wedatama
rahmat dari Allah SWT. Namun harus dilakukan secara gradual karena
meniru sesuatu yang agung tidaklah mudah. Walau demikian bila dalam
melakukan amal perbuatan sehari-hari dilakukan dengan tekad yang kuat,
sebenarnya akan mendapat rahmat dari Allah. Sehingga tidak harus sama
persis dengan apa yang dilakukan oleh Nabi. Demikianlah pendapat
penggubah serat Wedatama ini.
68
Kajian Serat Wedatama
Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa meniru Nabi menjadi sangat
sulit, karena kita masih disibukkan perkara mencari nafkah. Sedangkan
nabi sudah sampai pada maqom tidak memikirkan nafkah lagi, melainkan
hanya menerima rejeki hari itu untuk hari itu juga. Pemahaman kita
tentang hidup belumlah setinggi itu. Kita masih orang yang lemah dalam
berkeyakinan dan secara ekonomi juga masih sulit.
Apata (bisa berupa) suwiteng (mengabdi) nata (raja, menjadi pegawai
negeri), tani (bertani) tanapi (ataupun) agrami (berdagang). Bisa
mengabdi pada raja, bertani atau berdagang.
Bekerja dengan menjadi pegawe negeri, yang berarti akan sangat sempit
waktu untuk beribadah. Atau bekerja menjadi petani maupun berdagang,
akan lebih-lebih sempit lagi waktu untuk beribadah sesuai teladan Nabi.
Mangkono (begitulah, yang demikian) mungguh (menurut) mami
(pendapat saya), padune (itu karena) wong (orang) dhahat (sangat)
cubluk (bodoh), purung (belum) weruh (melihat, mengerti) cara (tatacara
kehidupan) Arab (orang Arab). Begitulah menurut pendapat saya. Itu
karena saya orang sangat bodoh, yang belum mengerti tatacara
kehidupan orang di Arab sana.
Demikian itulah pendapat saya (sang penggubah serat ini). Mencontoh
kehidupan Nabi hendaklah dilakukan semampunya, agar keduanya (ibadah
dan bekerja) sama-sama mendapat perhatian. Pendapatku tadi tidaklah
mutlak benar, karena saya adalah orang yang bodoh, tidak mengerti
tentang tatacara perikehidupan orang Arab.
Ini adalah pernyataan penulis kitab Wedatama yang rendah hati. Walau
beliau mempunyai pendapat tentang bagaimana seharusnya mencontoh
kehidupan nabi, namun pendapatnya tidak diklaim sebagai kebenaran
mutlak. Malah beliau menyatakan kurangnya pengetahuan tentang hal itu.
Jawaku wae (sedangkan jawaku saja) tan (tidak) ngenting (memadai),
parandene (namun) paripaksa (memaksakan diri) mulang (mendidik)
putra (anak-cucu). Sedangkan pengetahuanku tentang tatacara Jawa saja
tak memadai, tetapi memaksakan diri mendidik anak.
Sedangkan terhadap pengetahuan tatacara yang baik menurut budaya Jawa
saja pengetahuanku tak memadai. Namun memaksakan diri mendidik anak
cucu, lewat penulisan kitab ini.
70
Kajian Serat Wedatama
71
Kajian Serat Wedatama
73
Kajian Serat Wedatama
Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa tugas anak-cucu raja sangat
banyak, maka sangat sulit bagi mereka untuk membagi waktu. Termasuk
urusan sembahyangpun tidak dapat dilakukan dengan leluasa, waktu yang
tersedia sangat sedikit. Mereka telah sibuk luar biasa sejak kecil.
Menurut riwayat sejak kecil Mangkunegara IV yang nama kecilnya adalah
Sudira, telah mempelajari ilmu agama Islam dari kakeknya,
Mangkunegara II. Ayah beliau Hadiwijaya adalah seorang mujahid yang
syahid dalam pertempuran melawan Belanda di Kaliabu, oleh kerena itu
biasa disebut Hadiwijaya Seda Kaliabu.
Menjadi bocah yatim Sudira diasuh oleh kakeknya dan dididik dalam
ilmu-ilmu agama. Setelah berumur 10 tahun oleh kakeknya kemudian
diserahkan kepada Pangeran Rio, yang kelak menjadi Mangkunegara III.
Oleh Pangeran Rio Sudira dididik dalam ilmu kenegaraan, kasusatraan dan
ketrampilan lainnya selayaknya seorang pangeran.
Kelak setelah dewasa Sudira diambil menantu oleh Mangkunegara III dan
dijadikan pembantu untuk tugas-tugas beliau. Hal ini menjadikan Sudira
seorang yang cakap dan trampil karena telah mengenal pekerjaan seorang
raja sejak muda. Maka ketika ia diserahi tahta ia tak kerepotan lagi. Modal
kecakapan yang dimiliki tak sia-sia. Ia menjadi seorang raja yang bijak
dan cerdik. Di bawah tekanan pemerintah kolonial ia mampu membawa
Mangkunegaran meraih zaman keemasan, atau yang disebut sebagai kala
sumbaga.
Sri Mangkunegara IV yang sebenarnya sangat bersemangat mengkaji
ilmu-ilmu agama harus rela meninggalkan minatnya tersebut demi
pengabdian kepada negara. Namun di sela-sela tugasnya beliau mampu
menyisihkan waktu untuk menggubah serat Wedatama sebagai pesan
moral atau piwulang untuk generasi yang akan datang.
74
Kajian Serat Wedatama
75
Kajian Serat Wedatama
77
Kajian Serat Wedatama
80
Kajian Serat Wedatama
81
Kajian Serat Wedatama
82
Kajian Serat Wedatama
Kalimat aji godhong jati aking ini kemudian populer sebagai peribahasa
dalam bahasa Jawa, artinya orang yang sudah tidak berguna sama sekali
akibat tidak mempunyai kemampuan apa-apa.
Temah (akhirnya) papa (menderita) papariman (meminta-minta)
ngulandara (bergelandangan). Akhirnya menderita menjadi peminta-
minta hidup bergelandangan.
Orang yang tak memiliki bekal hidup dari tiga hal tersebut akan selalu
menderita karena tak mampu menjawab permasalahan yang ada. Hidupnya
takkan mandiri, selalu bergantung kepada orang lain, bergelandangan,
merepotkan saja.
Walau nasehat ini sudah ratusan tahun, tampaknya masih relevan dengan
jaman kini, maka hendaklah kaum muda yang akan memasuki kehidupan
bermasyarakat memperhatikan hal tersebut.
83
Kajian Serat Wedatama
84
Kajian Serat Wedatama
85
Kajian Serat Wedatama
86
Kajian Serat Wedatama
87
Kajian Serat Wedatama
88
Kajian Serat Wedatama
89
Kajian Serat Wedatama
Yeku (itulah) aran (yang disebut) wong (orang) barek (baik) berag
(bergembira, semangat) agama (beragama). Itulah orang yang disebut
baik dan bersemangat dalam beragama.
Inilah yang disebut orang yang sudah mampu menghayati dan
mengamalkan agamanya. Karena buah terbaik dari pengamalan agama
adalah akhlak yang mulia, maka sikap kita terhadap sesama dan respon
mereka terhadap diri kita adalah tolok ukurnya.
Kita jangan berkilah bahwa orang-orang jahat pasti tak suka dengan orang
beragama karena kepentingannya terganggu. Yang demikian tidak benar.
Karena seperti yang terjadi pada Nabi Muhammad, orang-orang walau
membenci dakwah Nabi tetapi tidak membenci akhlak Nabi. Mereka para
kaum kafir rela Nabi menjadi raja, jika mau menghentikan dakwahnya.
Jadi yang mereka benci bukan akhlak Nabi, melainkan gerakan
dakwahnya yang mengganggu kepentingan mereka. Ini harus dibedakan.
90
Kajian Serat Wedatama
91
Kajian Serat Wedatama
93
Kajian Serat Wedatama
PUPUH KETIGA
PUCUNG
94
Kajian Serat Wedatama
95
Kajian Serat Wedatama
Laku yang arti harfiahnya adalah berjalan, adalah proses mengingat itu.
Dalam laku ada tatacara yeng harus ditempuh agar rasa kita terasah.
Tatacara yang utama adalah syariat agama, yang kedua menahan hawa
nafsu dan yang terakhir adalah menyepi. Tujuan menyepi adalah
kontemplasi agar sang diri dikenali.
Pengenalan diri menghasilkan apa yang disebut sebagai budya (budi). Ia
adalah pikiran yang sadar diri. Pikiran yang berhasil melakukan
sinkronisasi dengan hati yang berzikir. Oleh karena itu budi kadang
diartikan sebagai pikiran, seperti pada kata akal budi, budidaya, . Dan di
lain tempat diartikan sebagai hati, seperti pada kata budi luhur, berbudi,
budi mulia, budiman. Seorang yang berbudi adalah seorang yang sudah
paham akan sangkan paraning dumadi. Dalam bahasa filsafat modern
budi disebut sebagai intelek, dalam bahasa Arab disebut fuad.
Lekase (dimulainya) lawan (dengan) kas (kemauan). Dimulai dengan
kemauan.
Laku tadi adalah sesuatu yang berat dilaksanakan, maka diperlukan
kemauan yang keras dalam memulainya. Tanpa kemauan jalan yang akan
dilalui untuk laku tidak akan tampak. Ibarat orang yang memegang obor di
kegelapan. Seratus langkah ke depan adalah gelap semata, jika dia
berkemauan untuk melangkah satu langkah, maka satu langkah ke depan
akan terang. Begitu seterusnya sampai seratus langkah lagi, maka yang
tadinya gelap akan kelihatan.
Tegese (maknanya) kas (kemauan) nyantosani (membuat sentosa).
Kemauan inilah yang membuat sentosa.
Kemauan akan membuat seseorang kuat dalam menjalani laku. Karena
selangkah demi selangkah jalan di depan akan terang dan terbuka untuk
dilewati. Jika kemauan terpelihara sepanjang jalan maka proses laku akan
mencapai titik akhir pada saatnya. Seperti kata pepatah, perjalanan seribu
langkah selalu diawali dengan langkah pertama.
Setya (setia) budya (budi) pangekesing (penghancur) dur (keburukan)
angkara (angkara). Budi yang setia itu penghancur nafsu angkara.
Sesudah akal budi terbentuk, aktual, mewujud dalam diri, maka akan
mudah untuk menumpas nafsu angkara. Inilah puncak kekuatan manusia
yang sebenarnya, mengalahkan dur angkara dalam dirinya. Seperti sabda
Nabi, orang yang paling kuat adalah orang yang dapat mengalahkan hawa
nafsunya.
96
Kajian Serat Wedatama
97
Kajian Serat Wedatama
Konsep triloka sudah ada dalam budaya Jawa sejak dulu kala. Karena
istilah itu pun ada dalam agama-agama sebelum Islam masuk. Tapi kita
akan membatasi pengertian triloka menurut pengertian ketika serat
Wedatam ini ditulis. Triloka adalah sebutan tiga dunia yang meliputi: alam
material, alam mental dan alam ruh.
Alam material adalah dunia seisinya ini. Dunia yang sebenarnya ada
dalam tingkat paling rendah dalam gradasi wujud. Ada yang menyebut
bahwa sesungguhnya dunia inilah alam maya, mayaloka. Sedangkan
tingkat di atasnya justru adalah alam nyata, yang sekarang tak kasat mata.
Alam mental, atau angan-angan atau imajinal atau alam psikis. Alam ini
tempat jiwa tumbuh dan mencapai kedewasaan. Sering juga oleh para
filosof muslim alam ini disebut sebagai barzakh, karena sifatnya ditengah-
tengah, sebagai antara (barzakh) antara alam dunia dan akhirat. Segala
sesuatu di alam ini adalah campuran antara yang maya dan Yang Nyata.
Alam ruh, atau alam spirit. Ini adalah alam tertinggi tempat ruh yang
dahulu ditiupkan oleh Allah berada. Alam tempat segala penyaksian akan
kebenaran ditempatkan. Alam tempat seruan-seruan kebenaran bergema.
Penghuni alam ini adalah antara lain hati nurani.
Manusia hidup dalam ketiga alam tersebut secara pararel. Dengan masing-
masing tingkat wujud yang juga dianugerahkan kepada manusia. Manusia
punya badan wadag untuk hidup di dunia materi, punya jiwa untuk hidup
di alam mental dan punya ruh bawaan Tuhan untuk hidup di alam spirit.
Walau manusia mempunyai tiga komponen untuk hidup di tiga alam itu,
namun segala corak kehidupan manusia di dunia ini, bahagia dan sengsara,
akan ditentukan oleh bagaimana ia hidup dengan ketiga alam itu. Yang
lebih menghidupkan alam materi jelas akan terjebak dalam kefanaan
abadi. Karena materi bersifat rusak, tak sempurna dan sementara, ia akan
senantiasa merasa kurang dan selalu ingin menggapai yang lebih tinggi
lagi.
Sebaliknya orang yang lebih hidup dalam alam mental akan selalu diliputi
was-was dan penyesalan diri berkepanjangan. Was-was dalam arti
khawatir akan kehidupannya kelak, penyesalan dalam arti merasa belum
berusaha maksimal dalam menjalani hidup. Dua perasaan itu sangat
bernuansa material. Namun seringkali di alam ini juga muncul
pengharapan dan semangat, dua perasaan yang bernuansa spiritual. Yah
namanya juga alam campuran, jadi perasaannya juga campur-campur deh!
98
Kajian Serat Wedatama
99
Kajian Serat Wedatama
101
Kajian Serat Wedatama
102
Kajian Serat Wedatama
Karama (karena, oleh sebab) karoban (terkena, tertutupi) ing sih (cinta
kasih). Sebab dikuasai cinta kasih.
Hati yang sudah siap menuju terang akan dibanjiri (karoban) oleh cinta
kasih Ilahi. Barang siapa yang bersedia dan bersiap-siap untuk melakukan
perjalanan menuju Tuhan, maka Dia akan menyambut dengan Kasih.
Secara perlahan akan dibuka jalan-jalan menuju padaNya, selangkah-
selangkah jalan-jalan akan dibuat terang.
Sihing (cinta kasih) Sukma (Ruh) ngrebda (berkembang) saardi
(segunung) gengira (besarnya). Cinta kasih sukma berkembang menjadi
segunung besarnya.
Sukma di sini berati ruh, karena yang mempunyai cinta kasih hanyalah
Allah semata, kata sukma dalam gatra ini lebih dekat dengan makna
Sukma, atau Ruh Ilahi. Ini sesuai dengan pengertian pada gatra ini bahwa
jika kita telah mempunyai hati yang condong pada kebaikan maka rahmat
ilahi akan turun ke hati, meliputinya, menenggelamkannya. Jika demikian
maka cinta kasih Ilahi akan membanjiri hati kita dan menumbuhkan cinta
kasih di hati.
Lama-lama cinta di hati kita akan membesar menjadi laksana gunung
(saardi gengira). Maka jadilah kita tanganNya dalam menebar cinta kasih
di bumi ini. Berbuat baik kepada sesama, dan mengajak kepada kebaikan,
dengan dasar limpahan kasih Ilahi yang telah kita terima tadi.
103
Kajian Serat Wedatama
104
Kajian Serat Wedatama
yang dimaksud tidak semua orang begitu, tetapi kebanyakan yang terjadi
adalah demikian.
Keh (banyak) pra (para) mudha (anak mudha) mundhi (mengagungkan)
dhiri (diri) rapal (lafal) makna (arti). Banyak anak mudha mengagungkan
diri dengan arti lafal.
Pada jaman sekarang banyak anak muda yang menyombongkan diri,
bersikap ujub, membanggakan amalah-amalannya dan membanggakan
makna lafal (rapal makna). Rapal makna di sini sesuai konteks kalimat
pada bait sesudahnya nanti yang akan kami uraikan pada postingan
mendatang adalah teks-teks keagamaan, baik yang diambil dari Al Quran,
hadits maupun kitab-kitab lainnya.
Kata rapal menunjuk pada teks-teks keagamaan, sedangkan kata makna
menunjuk pada tafsir atau terjemah, sebab pada waktu itu bahasa Arab
belum banyak dipahami oleh orang Indonesia, sehigga teks-teks yang dia
pakai untuk pamer ilmu, menyombongkan diri adalah teks-teks terjemahan
saja.
Bait ini sebenarnya mempunyai satu pengertian dengan bait sesudahnya,
tetapi karena kita konsisten mengkaji per bait, maka harus kita akhiri
sampai di sini. Pada kajian selanjutnya makna bait ini akan kami rujuk lagi
sebagai kesatuan pengertian.
105
Kajian Serat Wedatama
106
Kajian Serat Wedatama
sana, yakni Universitas Al Azhar yang sudah berdiri sejak tahun 900an
Masehi.
Jadi arti gatra di atas sesuai konteks dalam kalimat, adalah: menerangkan
dalil-dalil keagamaan seolah-olah, bergaya seperti, orang pintar (ulama)
dari Mesir.
Pendhak-pendhak (seringkali) angendhak (meremehkan) gunaning
(ilmunya) jamna (orang lain, sesama manusia). Seringkali meremehkan
kepandaian orang lain.
Seringkali, si anak muda yang baru belajar tadi, meremehkan ilmunya
orang lain. Orang lain dianggap bodoh tidak mengerti ajaran agama seperti
dirinya.
Dari kajian terhadap bait 37 dan 38, diperoleh makna keseluruhan sebagai
berikut.:
Janganlah seperti orang jaman sekarang. Para anak muda yang
menyombongkan diri dengan dalil-dalil. Padahal mereka sebenarnya
belum ahli di bidang itu, tetapi tidak sabar untuk berlagak pintar dalam
menerangkan dalil-dalil. Seolah-olah mereka ulama lulusan Mesir yang
sudah terkenal kedalaman ilmunya. Seringkali mereka meremehkan ilmu
orang lain.
Sekali lagi ini adalah fenomena pengamalan keagamaan pada jaman serat
Wedatama digubah. Apakah kondisi seperti itu masih ditemui di jaman
sekarang? Semoga saja tidak. Walau begitu kita tetap harus waspada agar
hal yang sama tidak terjadi lagi.
107
Kajian Serat Wedatama
108
Kajian Serat Wedatama
109
Kajian Serat Wedatama
Juga tidak bisa bekerja di sawah karena kondisi tanah becek dan
berlumpur. Bayangkan seorang membajak sawah pakai ghamis, warna
putih lagi. Pasti sepulangnya dari sawah sudah tak karuan bentuknya.
Nah dalam hal inilah beberapa adat kebiasaan di Arab sana mesthi
disesuaikan dengan konteks kejawaan. Meski demikian agama selalu
membawa nilai-nilai universal yang ada pada setiap manusia, untuk yang
ini kita memang harus tunduk, sami’na wa atho’na.
110
Kajian Serat Wedatama
Selain itu dalam apek spritual shalat adalah sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Dalam shalat seolah kita mengadu jika ada masalah, seolah
minta pertolongan jika butuh bantuan, seolah kita berterima kasih jika
mendapat anugerah dan menjadi sarana untuk bermuhasabah jika kita
hendak mulat sarira hangrasa wani, menilai tentang diri sendiri. Adapun
inti dari shalat itu sendiri adalah amar ma’ruf nahi munkar terhadap diri
sendiri. Orang yang shalat pastilah takkan berbuat keji dan buruk,
sebaliknya akan selalu berbuat baik.
Dalam segala ritual lain, ada inti dari rasa yang diharapkan hasilnya
(rosing rasa kang rinuruh). Inilah yang mesthi diupayakan, jangan hanya
puas pada sekedar aspek lahiriahnya saja.
Rosing rasa yang dicari tadi sebenarnya melekat pada badan (lumeketing
angga), pada jauh di kedalaman nurani. Maka hasil dari capaian diri mesti
dilihat di sana. Suatu ritual ibadah akan disebut berhasil jika hati nurani
semakin terang memancarkan gambaran Ilahiyat dan moralitas menjadi
meningkat dengan akhlak yang mulia. Percuma saja rajin beribadah tetapi
justru hati menjadi kotor oleh kedengkian dan merendahkan sesama. Lebih
buruk lagi jika tak membekas dalam akhlak perilaku sehari-hari.
Anggere (asalkan) padha (sama-sama) marsudi (berusaha keras), kana (di
sana) kene (atau di sini) kaanane (keadaannya, hasilnya) nora (tidak)
beda (berbeda). Asal sama-sama mau berusaha, di sana atau di sini
keadaannya tidak berbeda.
Asalkan dipraktekkan dengan sungguh-sungguh, sama-sama berusaha
keras mengamalkan ritual ibadah dalam aspek lahir dan batinnya, maka
hasilnya di sana atau di sini akan takkan berbeda. Baik shalat yang
dilakukan di Arab atau di Jawa, asal dilakukan dengan tulus sebagai
ibadah semata, hasilnya tidak akan berbeda. Sehingga apa yang dilakukan
di sini tidak harus persis dengan yang disana.
Kita kembali mengingat sebentar uraian bait ke-39, bahwa iklim dan
lingkungan bisa memengaruhi cara hidup dan corak kebiasaan masyarakat.
Denikian juga dalam hal ibadah. Sepanjang syarat dan rukun dipenuhi
maka ibadah akan sah. Soal keutamaan tambahan, atau apa yang disebur
sunnat maka disesuaikan dengan kondisi setempat.
Misalnya di Arab jika berbuka disunatkan makan kurma, namun jika di
Jawa makan kurma saat berbuka bisa menjadi makruh jika tak ada uang
untuk membeli. Buah kurma itu mahal sekali, akan memberatkan bagi
112
Kajian Serat Wedatama
mereka yang tidak cukup uang. Tentu lebih baik jika diganti makanan lain
yang kandungannya sama dan tersedia di Jawa. Maka mesti dicari rosing
(inti) dari sunnat nabi menganjurkan kurma itu maksudnya apa? Misalnya
agar energi yang hilang selama puasa cepat terganti agar tubuh tidak
lemas, maka dicarilah buah lain yang dimaksud, pepaya misalnya.
Jika kita bisa mencari rosing dari segala amalan-amalan agama, maka
walau berbeda bentuk pelaksanaannya baik di sana (Arab) atau di sini
(tempat lain), hasilnya akan sama saja. Karena tujuan pengamalan agama
bukan pada bentuk amalannya, tetapi pada efeknya terhadap jiwa manusia.
113
Kajian Serat Wedatama
agar hati senantiasa dilimpahi kasih sayang Ilahi maka tak mustahil akan
sampai pada derajat tertinggi yang mungkin dicapai oleh manusia tersebut.
Jika ini tercapai maka jadilah ia manusia paripurna yang menjadi prajurit
Allah, menjadi tanganNya dalam merawat bumi ini.
Kaya (seperti) kang (yang) wus (sudah) winahya (diisyaratkan) sekar
(tembang) srinata (sinom). Seperti yang diisyaratkan dalam tembang
Sinom.
Hal-hal seperti yang sudah diuraikan dalam pupuh sinom pada awal serat
Wedatama akan tercapai. Silakan lihat lagi pupun Sinom, pada bagian
Wignya Met Tyasing Sasami.
115
Kajian Serat Wedatama
116
Kajian Serat Wedatama
Terlebih-lebih ilmu rasa yang pusatnya ada di dalam hati manusia, harus
melalui berbagai praktik, laku, ujian dan tantangan agar ilmu sumusup ing
jiwangga, merasuk dalam jiwa, terbenam dalam hati.
Yen (kalau) satria (ksatria) tanah Jawi (tanah Jawa), kuna kuna (kuna
makuna, dahulu kala) kang (yang) ginulut (dipegang, menjadi pegangan)
triprakara (tiga hal). Bagi satria tanah Jawa, dahulu kala yang menjadi
pegangan tiga hal.
Bagi ksatria Tanah Jawa jaman dahulu ada tiga hal yang dipegang dalam
menghadapi ujian hidup. Apakah itu? Kita akan melanjutkan ke bait
berikutnya karena masih merupakah satu kesatuan makna dengan bait ini.
117
Kajian Serat Wedatama
118
Kajian Serat Wedatama
119
Kajian Serat Wedatama
120
Kajian Serat Wedatama
121
Kajian Serat Wedatama
angan-angannya sendiri. ini jauh dari sifat orang muda yang belum gaduk
(sampai) ilmunya.
Nora (tidak) kaya (seperti) si mudha (si muda) mudhar (menuruti,
mengumbar) angkara (angkara). Tidak seperti si muda yang mengumbar
angkara.
Amatlah jauh, sangat berkebalikan, dengan perbuatan seorang muda yang
baru menapak ilmu kehidupan. Masih sering tergelincir mengumbar nafsu
angkara. Menuruti angan-angan tanpa ilmu, bertindak atas dasar duga-
duga tanpa klarifikasi, menyebar kabar hoax tanpa verifikasi. Asal
komentar tanpa berpikir soal kepantasan, nyinyir asal njeplak tanpa
proporsi, suka-dan benci atas dasar nafsu semata, dll. Yang begini pun
sering kita temui di dunia maya, lebih-lebih lewat medsos. Jangan ditiru,
nak! Jangan!..........
122
Kajian Serat Wedatama
123
Kajian Serat Wedatama
124
Kajian Serat Wedatama
125
Kajian Serat Wedatama
Lumuh (tak mau) ala (jelek) ardane (angkara) ginawa (dipakai) gada
(senjata gada, memukul). Tak mau disebut jelek, angkaranya dipakai
memukul.
Tak mau kelihatan kurang, tak mau disebut jelek, jika ada yang
menyebutnya seperti itu tindak angkaranya keluar untuk membungkan
dengan kekerasan.
Bait ini menggambarkan watak orang berjiwa kerdil, berpikiran sempit.
Tandanya adalah selalu menyembunyikan kesalahan diri, tak mau
dikoreksi, harus selalu tampil benar. Orang ini mengira dengan memberi
alasan untuk menutupi kesalahan, orang lain tak mampu melihat
kelemahannya. Padahal alasan yang dibuat-buat akan tampak terang
benderang kebohongannya.
Dan jikalau ada yang menunjuk kelemahan alasannya dia tidak mau
mengalah. Ogah terlihat jelek, tak mau terlihat salah. Senjata terakhirnya
jikalau semua alasannya dipatahkan adalah memukul. Penthuuuung.....!!!
126
Kajian Serat Wedatama
127
Kajian Serat Wedatama
128
Kajian Serat Wedatama
PUPUH KEEMPAT
GAMBUH
129
Kajian Serat Wedatama
130
Kajian Serat Wedatama
keempatnya mesti sinkron agar tercipta harmoni dalam diri. Agar tidak
terpecah kepribadian manusia atau split personality.
Dhihin (yang awal) raga (raga, badan), cipta (cipta, pikiran), jiwa (jiwa),
rasa (hati), kaki (nak). Pertama, raga, cipta, jiwa, rasa, nak!
Yang pertama adalah sembah raga, tubuh, anggota badan. Sembahnya
tubuh adalah gerakan fisik, seperti orang yang sedang melakukan shalat
ada ketentuan tatacara gerakan-gerakan tersebut yang sudah baku.
Yang kedua adalah sembah cipta, yakni pikiran. Dalam melakukan
sembah raga harus disertai sembah cipta, yakni pemusatan pikiran kepada
Yang Disembah (Allah). Pikiran tunduk kepada keagungan dan ketuhanan
Allah semata-mata.
Yang ketiga adalah sembah jiwa, jiwa adalah produsen angan-angan,
maka dalam sembah jiwa harus menyertakan konsentrasi segala angan-
angan hanya kepada Allah semata. Tidak elok jika sedang shalat
mengingat-ingat bakul nasi di dapur, misalnya.
Keempat adalah sembah rasa, inilah puncak tertinggi dari penyembahan.
Segala rasa bersumber dari hati, maka sembah rasa adalah upaya untuk
mensucikan hati. Membiasakan agar hati menjadi tenang, tuma’ninah,
madhep mantep menghadap Yang Maha Melihat. Dalam bahasa agama
disebut ihsan.
Itulah empat macam sembah yang harus selalu dilakukan simultan,
serentak bersamaan dalam satu rangkaian gerakan. Hal-hal itulah yang
harus engkau ketahui, wahai anak muda!
Ing (di) kono (situ) lamun (kalau) tinemu (ditemukan, tercapai), tandha
(pertanda) nugrahaning (mendapat anugrah) Manon (Yang Maha
Melihat). Di situ bila tercapai, itulah anugrah dari Yang Maha Melihat.
Dalam rangkaian sembah itu, jika dapat dilakukan akan bertemu dengan
rosing panembah, yakni tunduknya badan, pikiran, jiwa dan rasa ke
haribaan Ilahi. Yang demikian itu, manusia hanya dapat berusaha untuk
mencapainya melalui serangkaian laku yang sudah ditentukan. Adapun
sampainya pada tujuan semata-mata adalah anugrah dari Yang Maha
Melihat.
Keempat sembah tersebut di atas akan diuraikan panjang lebar dalam bait-
bait selanjutnya pada Pupuh Gambuh dari serat Wedatama. Kita akan
membahasnya secara rinci pada bait-bait mendatang.
131
Kajian Serat Wedatama
itu. Karena sembah raga ini adalah bentuk dari pengakuan kita akan
kebesaran Allah. Pengakuan itu diwujudkan dalam ritual sujud dan ruku’,
merendahkan diri kita serendah-rendahnya di hadapanNya. Sembah raga
adalah ibadahnya tubuh.
Mengapa sembah raga disebut sebagai awal dari perjalanan? Karena
sesungguhnya hakekat manusia bukanlah tubuhnya, tubuh hanya sarana
untuk hidup di dunia. Kelak ruh kita yang akan abadi menghadap Allah di
alam baqa. Tetapi pengenalan ruh tak dapat dilakukan serta-merta.
Kemampuan kita dalam mengenali hakekat diri takkan berhasil jika tidak
melalui tubuh. Tubuhlah sarana kita mengenali alam sekitar, baru
kemudian mengenali tanda-tandaNya yang tak tampak di dunia. Tubuhlah
yang paling awal menemani ruh di dunia materi ini. Maka ibadah atau
sembah apapun yang dilakukan tubuh adalah awal dari sembah-sembah
yang lain.
Sesucine (bersucinya) asarana (memakai sarana) saking (dari) warih
(air). Bersucinya memakai sarana dari air.
Syarat-syarat untuk melakukan ibadah shalat adalah bersuci dengan air. Ini
sesuai watak dari tubuh yang bersifat materi, yang hanya dapat dibersihkan
dengan materi juga.
Kang (yang) wus lumrah (sudah umum, wajib) limang (lima) wektu
(waktu). Yang wajib adalah lima waktu.
Sembah raga yang wajib adalah lima waktu, yakni shalat wajib yang harus
dilakukan oleh setiap orang. Di luar kewajiban lima waktu ada banyak
shalat sunat yang dianjurkan kepada seorang muslim sesuai dengan
kesanggupan dan keadaan masing-masing. Bersifat tidak wajib dan
opsional, sesuai dengan situasai, kondisi dan kelonggaran masing-masing
orang.
Wantu (berkala) wataking (bersifat) weweton (aturan, rukun). Bersifat
menuruti aturan waktu dan rukun.
Shalat wajib yang lima waktu tadi tidak bisa dikerjakan secara
sembarangan karena ada batasan waktu dan rukun-rukun, serta syarat-
syarat untuk melakukannya. Waktunya harus sudah masuk sesuai waktu
masing-masing, yakni shalat Subuh selepas fajar, shalat Dhuhur selepas
tergelincir matahari, Shalat Ashar menjelang matahari turun, shalat Magrib
sesudah terbenam matahari dan shalat Isya’ menjelang malam.
133
Kajian Serat Wedatama
Juga ada rukun-rukun tertentu yang harus dipatuhi, dari takbiratul ikram
sampai salam. Serta harus memenehi syarat-syarat tertentu. Untuk lebih
detailnya dapat dilihat di buku-buku fikih, karena akan panjang jika
diuraikan di sini.
Selain sebagai salah satu penyembahan, shalat juga dimaksudkan untuk
mendisiplinkan manusia berkenaan dengan hubungan antara tubuh dan
ruh. Juga ada konsekuensi logis dari pelaksanaan shalat pada tataran tubuh
fisik. Contohnya seseorang yang shalat dengan tertib dan ajeg, pasti akan
tampak berseri raut mukanya, karena paling tidak dalam sehari lima kali
dia harus membasuh muka. Masih ada banyak manfaat sampingan dari
shalat ini, bait-bait selanjutkan serat Wedatama akan menguraikannya
untuk kita pelajari bersama.
134
Kajian Serat Wedatama
135
Kajian Serat Wedatama
Hal ini sangat mungkin merujuk pada kondisi waktu serat ini digubah. Ada
semangat untuk mempelajari hal-hal spiritual pada sebagian kalangan anak
muda. Namun karena belum ada piwulang yang dapat dipakai sebagai
pedoman maka banyak yang masih menduga-duga, hanya berangan-angan
saja (anggit).
Mintokken (memperlihatkan) kawignyanipun (kemampuannya),
sarengate (tatacara, aturan) elok-elok (aneh-aneh). Memeperlihatkan
kemampuannya dengan tata cara (syariat) yang aneh-aneh.
Orang-orang yang bersemangat tadi tidak ragu-ragu memperlihatkan
kemampuannya dalam mengamalkan laku spritual, namun karena
sesungguhnya mereka adalah para pemula yang belum berpengalaman.
Banyak dari mereka yang justru memperlihatkan keanehan-keanehan. Ini
tampak pada tatacara ibadah mereka yang mungkin tak biasa bagi orang
awam.
Frasa sarengate elok-elok di atas menujukkan praktik tatacara ibadah yang
tak lazim. Kata elok dalam bahasa Jawa berarti ajaib, atau di luar nalar
yang sudah dipahami secara umum, membuat orang keheranan.
Apa saja praktik ibadah yang aneh itu? Bait berikutnya akan sedikit
mengungkap satu contoh yang ada di jaman itu. Akan lebih baik dari segi
keruntutan pengertian apabila kajian bait ini disatukan dengan bait
berikutnya. Namun karena kita konsisten untuk mengkaji per bait, maka
kita cukupkan dulu sampai di sini. Jangan ketinggalan pada kajian bait
selanjutnya.
136
Kajian Serat Wedatama
pasisir (pantai). Kalau tak salah seperti santri dari daerah selatan, di
sepanjang pinggir pantai Pacitan.
Gatra ini menunjukkan bahwa si Dul sudah pulang kampung dan
membuka pelajaran ilmu batin di wilayah asalnya, yakni di sepanjang
pinggir pantai wilayah Pacitan.
Ewon (ribuan) wong (orang) kang (yang) padha (yang) nggugu
(menuruti). Ribuan orang yang menuruti.
Tampaknya santri Dul ini cukup populer di wilayah tersebut, banyak orang
menuruti ajarannya. Pengikutnya banyak dari kalangan orang awam, ini
bisa dilihat dari kondisi jaman ketika itu (saat serat Wedatama ini digubah)
daerah Pacitan pinggir pantai adalah wilayah pelosok yang jauh dari
kotaraja. Daerah itu kurang produktif dan terpinggirkan. Sangat masuk
akal kalau santri Dul mendapat banyak pengikut di situ karena tingkat
pemahaman masyarakat setempat masih rendah.
Anggere (aturan) padha (yang) nyalemong (asal ucap). Aturannya yang
asal diucapkan
Nyalemong berarti nyeletuk, asal ucap, tidak berdasar. Itulah tatacara yang
diajarkan si Dul tadi. Karena memang belajarnya belum tuntas, tetapi
sudah mengajarkan kepada orang lain maka yang terjadi adalah praktek
tatacara ibadah yang asal-asalan, tidak sesuai dengan ajaran para ulama
yang telah mengerti benar.
138
Kajian Serat Wedatama
Baru mengetahui ilmu yang sedikit, dan juga baru mengamalkan yang
sedikit sudah tak sabar hendak mengetahui Cahaya Tuhan. Mengira sudah
sampai di tujuan, padahal jalannya pun baru saja ditapaki. Masih banyak
stasiun pemberhentian yang mesti disinggahi dalam perjalanan menuju
Tuhan itu.
Dia baru saja melihat secercah cahaya penerang jalan, tetapi sudah
mengira itu sebagai Cahaya Suci Yang Maha Agung. Fenomena inilah
yang disebut terhijab cahaya atau silau. Mendekat ke sumber cahaya tetapi
justru pandangannya kabur karena terlalu banyak cahaya masuk ke mata.
Ini bisa berbahaya karena mengira diri sudah sampai, padahal baru mulai
jalan.
Sesungguhnya bagi seorang pejalan (salik), tujuan akhir tempat segala
kenikmatan spiritual berada, akan sukar dicapai. Akan panjang jalannya,
banyak rintangannya dan takkan selalu mudah dijalani. Maka hendaklah
setiap salik menguji diri, apakah sudah melalui rintangan yang berat, jalan
terjal dan berliku? Karena kalau belum mengalami itu semua, dipastikan
bahwa kenikmatan apapun yang diraih adalah capaian semu. Karena
kesempurnaan sejati takkan mudah didapat begitu saja.
Ngarep (mengharap) arep (harap) urub (cahaya) arsa (hendak) den (di)
kurebi (telungkupi, dipeluk). Mengharap-harap cahaya hendak dipeluk.
Dapat dimaklumi apabila seseorang yang telah bertekad untuk menempuh
perjalanan pastilah sangat merindukan sampainya pada tujuan, untuk
bertemu Dzat Agung yang kepadanya kita semua menuju. Kerinduan ini
memuncak laksana seorang kekasih yang merindukan pujaan hatinya,
selalu terpikirkan siang dan malam. Ketika di jalan melihat sosok yang
mirip kekasihnya dikiranya ialah orangnya, dan hendak dipeluklah segera.
Orang-orang yang mencari Tuhan (salik) dengan menempuh perjalanan
(suluk) jika terlalu dikuasai hasrat bisa jadi akan mengalami hal yang
seperti itu. Ketika melihat tanda-tanda kekuasaanNya maka dia mengira
sudah sampai padaNya, dan bersegera memeluknya (den kurepi,
ditelungkupi). Yang demikian itu karena belum berpengalaman dan tak
sabaran, sehingga hilanglah kewaspadaan.
Tan (tak) wruh (tahu, melihat) kang (yang) mangkono (demikian) iku
(itu). Tidak tahu yang begitu itu (karena belum mengenali Tuhan Yang
Sejati).
140
Kajian Serat Wedatama
141
Kajian Serat Wedatama
142
Kajian Serat Wedatama
Hanya karena tekad yang kuat untuk menebus jalan salah yang telah ia
tempuhlah yang membuat Lokajaya mampu menjalani bimbingan Sunan
Bonang. Maka hasilnya Lokajaya menjadi seorang yang sangat mumpuni
dalam bidang ilmu batin sekaligus sangat paham budaya Jawa, yakni
Sunan Kalijaga. Tatacara yang demikian jelas tak dapat dipakai untuk
sembarang orang. Maka diperlukan kearifan bagi seorang guru bagaimana
ia harus membagi ilmu kepada para muridnya. Inilah yang tidak
diperhatikan guru-guru amatir macam santri Dul tadi.
Amalan lahir diberlakukan untuk umum, karena amalan lahir sifatnya
wajib bagi siapapun. Di situ ada tingkat kewajiban dari yang wajib sampai
yang dilarang. Semua itu dipelajari dalam ilmu fikih.
Untuk ilmu batin hendaknya disesuaikan dengan si pencari ilmu.
Kesanggupan apa yang telah ia penuhi sehingga mampu menerima
pelajaran lebih lanjut. Tentu saja bimbingan guru sangat diperlukan agar
tidak salah arah. Mereka harus mengikuti petunjuk sang guru dari awal
sampai akhir dengan pengawasan yang ketat.
Bangsa (bagian, jenis) srengat (syari’at) tan (tidak) winor (dicampur) lan
(dengan) laku (metode, laku) batin (batin). Bagian syariat tidak dicampur
dengan ulah batin.
Dengan pengaturan yang demikian tidak akan terjadi kesalahan. Mereka
yang baru bisa mengamalkan syariat secara lahir atau sembah raga tetap
pada jalurnya sendiri, tidak teganggu dengan berbagai laku aneh.
Sebaliknya bagi yang telah mampu mengamalkan ilmu batin dengan
bimbingan guru juga bisa berkonsentrasi pada laku yang harus dijalani.
Dalam amalan-amalan lahir sehari-hari keduanya tetap melakukan dalam
bentuk yang sama, secara bersama-sama. Karena dengan adanya amalan
batin tidak menghapus kewajiban amalan lahir, justru semakin
memantapkannya.
Dadi (sehingga) nora (tidak) gawe (membuat) bingung (bingung).
Sehingga tidak membingungkan.
Pemisahan dalam memberikan bimbingan tersebut membuat para murid
dan masyarakat tidak kebingungan. Hal itu karena amalan-amalan agama
dikerjakan sesuai dengan kemampuan dan kesiapan masing-masing.
Kang (bagi) padha (yang) nembah (menyembah, ibadah) Hyang (Tuhan)
Manon (Yang Maha Melihat). Bagi yang menyembah Tuhan Yang Maha
Melihat.
143
Kajian Serat Wedatama
144
Kajian Serat Wedatama
145
Kajian Serat Wedatama
Apakah hanya itu manfaat shalat? Tentu tidak, tetapi di sini kita hanya
membatasi dalam ranah sembah raga, yakni ibadah ditinjau dari gerak
tubuh semata. Adapun manfaat lain akan diuraikan dalam sembah batin
(ada 3 tingkatan) yang akan diuraikan nanti. Jangan mengira bahwa empat
sembah itu adalah kegiatan yang terpisah. Sama sekali tidak, melainkan
tingkatan penghayatan pada setiap tingkatan wujud kita. Untuk lebih
jelasnya kita akan kaji lebih jauh dalam sembah cipta, dst.
Satu contoh lagi adalah soal makanan. Orang yang melaksanakan syari’at
pasti tidak akan makan sembarang makanan. Dipastikan kehalalannya
terlebih dulu. Jadi pastilah minuman khamar, narkoba dan sejenisnya juga
takkan disentuh. Seorang yang melaksanakan syari’at dalam hal makanan
setidaknya sudah terhindar dari mengkonsumsi zat yang berbahaya.
Manfaatnya jelas badan lebih sehat. Selain itu, juga ada kriteria thoyyiban,
makan yang baik-baik saja. Ttidak semua yang halal lantas dimakan begitu
saja, jika ada yang lebih baik pilihlah yang lebih baik itu.
Ketentuan syari’at secara keseluruhan memang membuat tubuh manusia
lebih sehat, dalam aspek muamalah juga menjamin tegaknya keadilan.
Individu yang melaksanakan syari’at akan bermartabat, masyarakat yang
melaksanakan syari’at akan makmur berkeadilan.
Dhingin (pertama) ajeg (tetap, kontinyu) kapindhone (kedua kali) ataberi
(tekun). Pertama dilakukan dengan tetap (kontinyu), kedua harus tekun.
Dalam melaksanakan syari’at yang pertama harus kontinye, ajeg. Tidak
boleh lalai dan alpa karena memang sudah menjadi kewajiban kita sejak
akil baligh sampai akhir hayat. Yang kedua harus tekun (taberi), yakni
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Tidak boleh asal-asalan hanya agar
kewajibannya gugur. Juga tidak boleh dilakukan sekehendak hati karena
sudah ada syarat dan rukun yang mesti dipenuhi.
Pakolehe (hasilnya) putraningsung (anakku), nyeyeger (menyegarkan)
badan (badan) mrih (agar) kaot (sehat, bugar). Hasilnya anakku,
menyegarkan badan agar bugar.
Hasil dari melaksanakan syari’at pada tataran fisik adalah tubuh yang
bugar. Ini karena syariat dalam agama Islam tidak saja mengatur soal
moralitas, tetapi juga mengatur semua hal, semua tataran hidup manusia,
dari fisik sampai batin. Namun seperti kita sampaikan di atas bahwa
bahasan kita kali ini hanyalah soal sembah raga, yakni ibadahnya tubuh
saja sehingga soal lain tidak dikaji di sini.
146
Kajian Serat Wedatama
Seperti yang disebutkan pada bait pertama, serat Wedatama ini memang
ditujukan untuk anak muda. Maka sebagian besar nasehatnya juga
diperuntukkan bagi mereka, agar kelak tidak salah langkah dalam
mengambil tindakan. Senantiasa berpedoman pada unggah-ungguh dan
pekerti luhur warisan nenek moyang di tanah Jawa.
147
Kajian Serat Wedatama
149
Kajian Serat Wedatama
Qadla dan Qadar adalah rahasia Allah SWT. Kita manusia tak mampu
menjangkau hal tersebut, yang dapat kita lakukan adalah ikhtiyari,
mencari dan memilih tindakan apa yang terbaik untuk kita. Soal mana
yang terbaik tersebut tentu bagi setiap orang juga berbeda-beda. Boleh jadi
satu amalan kebaikan cocok untuk orang tertentu, namun justru
memberatkan bagi orang lain.
Sayektine (sebenarnya) nora (tidak) jumbuh (cocok), tekad (tekad) kang
(yang) padha (sama-sama) linakon (dijalani). Sebenarnya tidak cocok,
tekad yang dijalani.
Oleh karena hal di atas, sebenarnya (apa yang saya ajarkan-penulis
wedatama) tidak cocok untuk setiap keadaan. Mengingat keadaan setiap
orang berbeda-beda, tak sama persis antara satu dengan yang lain. Maka
ambillah sekedar sebagai penggugah semangat saja, agar kalian bertekad
untuk sama-sama melakukan kebaikan.
Di gatra ini penggubah Wedatama menyadari bahwa ajaran yang beliau
sampaikan tak dapat ditiru secara persis. Pada Pupuh Pangkur yang lalu,
berulang kali beliau tegaskan bahwa meneladani seseorang juga tak
mungkin menirunya persis. Tirulah tekad atau semangat yang mendasari
perbuatan para leluhur, adapun bentuk pengamalannya disesuaikan dengan
kondisi masing-masing.
151
Kajian Serat Wedatama
dengan pangkat atau maqom tertentu. Keprabon juga sering dipakai untuk
menyebut peninggalan leluhur yang berharga, misal pada kata: anak
lanang sing bakal nglungsur keprabon (anak lelaki yang mewarisi posisi
orang tuanya).
Dari uraian di atas dapat dimaknai arti gatra terakhir sebagai anugrah yang
biasa diberikan kepada orang-orang pilihan.
154
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Samengko (sekarang) sembah (sembah, ibadah) kalbu (kalbu, hati).
Sekarang tentang sembah kalbu.
Sembah kalbu atau menurut bait ke-48 disebut sebagai sembah cipta
adalah ibadah yang tidak memakai tubuh sebagai pelaksana. Ini berarti
sembah kalbu ini tidak berdiri sendiri sebagai bentuk ibadah, tetapi selalu
terkait dengan amalan lahiriah. Bisa saja sembah kalbu ini dilakukan
bersamaan dengan sembah raga, atau pun dengan praktik ibadah yang lain.
Titik tekan pada sembah kalbu ini adalah hati (kalbu) atau pikiran (cipta).
Oleh karena penggubah Wedatama ini menggunakan dua istilah untuk
menyebut sembah ini, maka sebaiknya kita definisikan dahulu maknanya
agar tidak rancu dengan sembah-sembah yang lain.
Yang pertama apakah ada kaitan antara cipta dan kalbu? Cipta adalah
gagasan yang ada dalam angan-angan, sedangkan kalbu adalah sumber
dari angan-angan itu. Kalbu berasal dari bahasa Arab qalb, yang artinya
berbolak-balik. Maka ada doa yang berbunyi: tsabit qalbi ‘ala diinika,
tetapkan hatiku dalam agamamu. Doa ini meminta agar hati kita, qalb kita
tidak ragu-ragu lagi menjalankan perintah agama.
155
Kajian Serat Wedatama
156
Kajian Serat Wedatama
157
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Sucining (bersihnya) tanpa (tanpa memakai) banyu (air). Bersihnya tanpa
memakai air.
Lazimnya manusia bersuci untuk menghilangkan najis dan hadats. Alat
bersucinya adalah dengan air. Tata caranya adalah berwudlu atau mandi.
Yang demikian itu untuk mensucikan badan. Namun untuk mensucikan
kalbu pirantinya tidak memakai air, karena kalbu adalah organ halus non
materi yang tidak terikat hukum-hukum material. Maka caranya adalah
berikut ini.
Mung (hanya) nyunyuda (mengurangi) mring (terhadap) hardaning
(keinginan) kalbu (hati). Hanya dengan mengurangi hasrat di hati.
Harda adalah hasrat, yakni keinginan yang sudah memuncak, sangat-
sangat ingin, tak bisa ditunda lagi. Kata harda sering dipakai dalam
ungkapan hardaning kanepson, nafsu yang sudah memuncak untuk segera
terlampiaskan. Maka kata hardaning kalbu lebih tepat jika diterjemahkan
dengan hasrat di hati, yang berarti keinginan hati yang sangat, kalau
dalam bahasa Jawa padanan kata yang tepat adalah kemecer, sangat ingin.
Nah yang demikian ini harus dikurangi karena kadang keinginan yang
sangat hanya timbul dari nafsu semata-mata, bukan karena kebutuhan.
158
Kajian Serat Wedatama
159
Kajian Serat Wedatama
160
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Mring (kepada) jatining (sejatinya) pandulu (pandangan). Pada
pandangan yang sebenarnya.
Orang yang berhasil dalam sembah kalbu akan terbuka kepada pandangan
yang sebenarnya, tentang hakekat kehidupan. Itu terjadi karena sembah
kalbu membuat seseorang mampu berpikir jernih akibat tidak
terkontaminasi hawa nafsu. Karena sudah dibiasakan untuk sekedar
memenuhi kebutuhan saja, tanpa mengumbar keinginan yang tak perlu.
Sering terjadi dan acapkali kita lihat bahwa meskipun seseorang terdidik
dan pandai tetapi sering blawur (rabun) dalam melihat kenyataan. Boleh
jadi hal tersebut karena yang bersangkutan menyimpan pamrih dalam hati.
Cobalah perhatikan hari-hari ketika menjelang pilkada, pasti ada satu-dua
orang pintar yang berpendapat minor, tak masuk akal, dan kadang terlalu
vulgar sikap ngawurnya, hanya karena dia mendukung salah satu cakada.
Dalam kazanah budaya Jawa ada ungkapan melik nggendhong lali,
artinya ketika seseorang menyimpan hasrat memiliki (entah apapun) dalam
hatinya, pikirannya menjadi khilaf. Oleh karena itu amat sangat penting
membersihkan diri dari hasrat-hasrat dalam hati.
161
Kajian Serat Wedatama
162
Kajian Serat Wedatama
membahas triloka pada bait ke-34, yang berjudul Aywa Kongsi Mbabar
Angkara.
163
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Yen (Bila) wis (sudah) kambah (mencapai) kadyeku (keadaan itu), sarat
(syarat) sareh (sabar) saniskareng (saniskara ing, segala) laku (tindak-
tanduk). Bila sudah mencapai keadaan itu, saratnya sabar segala tindak
tanduk.
Bila sudah mencapai keadaan itu, yakni terbukanya alam lain yang lebih
tinggi (bait ke-60), maka harus dijaga agar keadaan itu secara terus
menerus hadir dalam kalbu.
Apapun pencapaian spiritual manusia apabila tak dijaga bisa hilang
sewaktu-waktu, maka harus selalu dipertahankan agar tidak kembali
melorot derajatnya. Dalam sembah kalbu yang selalu harus dijaga adalah
sabar dalam segala tindak-tanduk, sehari-hari, selama-lamanya.
Kalakone (terlaksananya) saka (dengan cara) eneng (tenang) ening
(syahdu) eling (ingat). Terlaksananya dengan cara tenang syahdu ingat.
Terlaksananya kontinuitas sembah kalbu adalah dengan cara eneng, ening
dan eling. Eneng adalah keadaan diam, yang dimaksud adalah diamnya
pikiran dari segala gerak-gerik keinginan. Dalam eneng pikiran-pikiran
164
Kajian Serat Wedatama
165
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Gagare (gagalnya) ngunggar (membiarkan) kayun (hati, kehendak).
Gagalnya membiarkan kehendak hati.
Melihat konteks kalimat di atas lebih tepat jika diartikan sebagai: gagalnya
mewujudkan potensi hati, gagalnya meraih potensi maksimalnya. Hati kita
sebenarnya dapat berpotensi untuk meraih hal-hal yang telah disebutkan
dalam bait sebelumnya, tetapi hal tersebut dapat gagal karena berbagai
sebab. Jadi membiarkan hati dalam gatra ini lebih tepat diartikan sebagai
membiarkan hati meraih potensi terbaiknya.
Tan (tidak) kayungyun (tertarik, terpesona) mring (pada) ayuning
(kindahan) kayun (hati).
Antara lain sebab gagalnya adalah; hati tidak tertarik pada keindahan
bentuk sempurnanya. Hal ini merujuk pada kisah Panembahan senopati
pada bait ke-16 yang kayungyun eningingtyas, terpesona kaheningan hati
sehingga beliau terpacu semangatnya untuk menyepi. Apa hubungan ening
dan ayu? Keduanya sama-sama bentuk puncak dari potensi hati yang
diasah melalui pertapaan, atau mengurangi hawa nafsu. Jadi kurang lebih
keduanya serupa. Jika seseorang sudah tidak tertarik pada keindahan hati,
maka dipastikan usaha untuk meraihnya pun mengendur.
166
Kajian Serat Wedatama
167
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Samengko (sekarang) kang (yang) tinutur (dibicarakan), sembah
(sembah, ibadah) katri (yang ketiga) kang (yang) sayekti (sebenarnya)
katur (diperuntukkan), mring (kepada) Hyang (Yang) Sukma (Ruh,
Ghaib), sukmanen (hayatilah, jiwailah) saari-ari (sehari-hari) Sekarang
yang dibicarakan, sembah ke tiga yang sebenarnya diperuntukkan, bagi
Yang Ghaib, maka jalankan sehari-hari.
Setelah membicarakan tentang sembah kalbu dalam bait-bait terdahulu,
sekarang tibalah saatnya membicarakan sembah selanjutnya. Sembah yang
ketiga ini diperuntukkan bagi Yang Ghaib, maka jiwailah, hayatilah setiap
saat, sehari-hari.
Sukma adalah padanan (sinonim) dari kata ruh, maka sembah yang ketiga
ini diperuntukkan bagi Yang Maha Ghaib, Pemilik alam Ruh. Ruh adalah
dzat yang membuat kita hidup. Tanpa ruh kita adalah bukan manusia lagi,
maka frasa sukmanen saari-ari yang secara tekstual berarti ruhilah
sehari-hari, bermakna hayatilah dalam kehidupan sehari-hari.
Arahen (arahkan) dipun (agar) kacakup (tercakup), sembahing
(sembahnya) jiwa (jiwa) sutengong (suta ingong, anakku). Arahkan
168
Kajian Serat Wedatama
segala sembah terdahulu agar mencakup sembah yang ini, yakni sembah
jiwa, anakku.
Sembah yang ketiga inilah sembah jiwa. Dalam budaya Jawa jiwa bisa
berarti hidup, menghayati, maka sembah Jiwa berarti menghayati sembah
sebagai sifat yang merasuk (sukmanen, merasuklah) ke dalam dzat
manusia itu sendiri. Sehingga tidak perlu mengusahakan hadirnya dalam
kalbu sebagaimana sembah kalbu, tetapi senantiasa menetap dalam diri
manusia. Dalam redaksi yang lebih mudah dipahami sembah jiwa adalah
menyembah Allah secara menjiwai, mendarah-daging, terpatri dalam sifat
dan dzat manusia yang melakukan sembah itu.
Orang yang telah berhasil dalam sembah jiwa akan tetap menyembah
dalam diam dan gerakan. Dalam shalat dan diluar shalat. Dalam berbagai
kegiatan yang bahkan terlihat sebagai kegiatan duniawi. Dirinya sudah
ikhlas dalam segala hal. Dirinya sudah fana dalam diri-nya sendiri, hingga
hanya menyisakan Dia Yang Ada. Inilah ibadahnya jiwa.
Kami cukupkan sekian dulu tentang sembah jiwa ini, dalam bait-bait
berikunya akan diuraikan agar semakin jelas maknanya. Jangan sampai
ketinggalan!
169
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Sayekti (sebenarnya) luwih (lebih) perlu (penting), ingaranan (disebut)
pepuntoning (penghabisannya) laku (tindakan). Sebenarnya lebih penting,
disebut penghabisannya tindakan.
Sebenarnya sembah jiwa ini adalah akhir dari perjalanan (laku). Mengapa
disebut demikian? Karena dari fakultas manusia yang dipakai untuk
melakukan sembah sejak mulai dari raga, cipta (kalbu) sampai jiwa,
kesemuanya itu mempunyai sifat yang tidak sempurna. Raga jelas tidak
sempurna karena bisa luka, menderita sakit dan mati. Cipta (kalbu) juga
tidak sempurna karena seringkali berpikir liar, tidak fokus, berbolak-balik
(qalb), sering tidak fokus dalam tujuannya. Jiwa juga tidak sempurna
karena kemantapannya sangat tergantung pengendalian diri dari nafsu-
nafsu. Jiwa mudah diseret hawa nafsu menuju ke tempat hina. Karena
harus selalu diawasi dengan waspada dan berhati-hati.
Terhadap segala ketaksempurnaan itulah segala latihan dan tirakat
ditujukan. Agar semua fakultas tersebut menjadi disiplin dan terkendali
sehingga cemerlang dan menjadi penerang dalam mencapai tujuan. Ini
berbeda dengan sembah rasa yang akan kita bahas nanti.
170
Kajian Serat Wedatama
171
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Ruktine (merawatnya) ngangkah (menjangkau) ngukut (mengemasi,
menguasai), ngiket (mengikat) ngruket (memeluk) triloka (tiga jagad)
kakukut (dikemas, dikuasai). Merawatnya dengan berusaha menguasai,
mengikat, merangkul, tiga jagad dikuasai.
Sembah Jiwa adalah perjalanan terakhir (pepuntoning laku), maka
hendaklah benar-benar dirawat pencapaian ini dengan tuntas. Cara
merawatnya dengan menjangkau sampai betul-betul dikuasai tiga jagad
(triloka), yakni alam material, alam mental dan alam ruh.
Tiga alam tersebut dikemas dan diikat dalam sanubari dengan cara yang
sudah kami sampaikan dalam bait terdahulu. Alam material dikuasai
dengan mengerjakan syari’at secara lahir, alam mental dikuasai dengan
menahan hawa nafsu dan alam ruh dikuasai dengan selalu awas dan ingat
(dzikir).
Apabila semua itu telah dilakukan menurut laku masing-masing, yakni
sembah raga, sembah kalbu dan sembah jiwa, maka tiga alam tadi (triloka)
sudah diikat dan dikemas dalam genggaman. Jika sudah demikian maka
diri menguasai segala sesuatu.
172
Kajian Serat Wedatama
173
Kajian Serat Wedatama
174
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Keleme (tenggelamnya) mawi (oleh, dengan) limut (gelap). Tenggelam
oleh suasana gelap.
Orang yang sudah masuk dalam jagad alit akan tenggelam dalam suasana
gelap, hening dan sangat pribadi. Meski dia berada di keramaian, hal itu
takkan mengganggu kesendiriannya bersama Tuhan. Saluran komunikasi
telah terbuka, khusus antara hamba dan Gusti Allah. Tak perlu melibatkan
siapa-siapa dalam hal ini.
Segala aturan di alam fisik tak lagi menjadi kriteria di sini. Karena
seorangpun jika sudah menghadap Tuhan maka dia harus meninggalkan
segala urusan. Menjadikan hubungan personalnya dengan Gusti Allah
sebagai prioritas, mengalahkan yang lain. Ini bukan berarti kemudian
melahirkan sikap abai terhadap dunia, justru kini dia lebih peduli dengan
keselamatan dunia seisinya. Karena dirinya telah menjadi pelayan Tuhan
di dalam memayu hayuning bawana.
Kalamatan (mendapat alamat, firasat) jroning (dalam) alam (alam)
kanyut (yang menghanyutkan). Mendapat firasat di dalam alam yang
menghanyutkan itu.
175
Kajian Serat Wedatama
Itulah alam kanyut, alam yang menghanyutkan. Batas antara alam fisik
dan ruh. Sayup-sayup terdengar bisikan dari alam sana, namun di satu sisi
masih terkait dengan alam sini. Kesadaran seolah-olah hanyut ke dalam
alam itu, seolah seperti mimpi. Kenyataan menjadi terang benderang
dalam sekejap, sebelum kemudian menghilang. Itulah yang disebut
ngalamat, atau pesan kebenaran yang sesaat datang sebelum terjadinya
sebuah kenyataan. Ngalamat ini dapat muncul karena di batas dua alam
tersebut jiwa menjadi hening, mengendap sari-patinya, maka munculah
sinar terangnya. Pada saat ini pandangan mata batin menjadi sangat tajam.
Analogi dari kejadian ini dapat kita temui pada waktu kita masuk dalam
ruang gelap, (betul-betul gelap secara fisik, bukan kiasan). Saat pertama
masuk ke dalam kegelapan mendadak mata kita tak mampu melihat
sesuatu pun. Lambat laun mata mulai menyesuaikan. Sedikit demi sedikit
mata dapat menangkap cahaya remang-remang, sampai puncaknya mata
kita menjadi peka dalam membedakan gradasi kehitaman. Secara samar-
samar kita mulai dapat mengenali benda-benda sekitar walau hanya ada
sedikit cahaya. Mata kita menjadi sangat peka.
Kira-kira seperti itulah kerja mata batin kita dalam kegelapan realitas.
Namun awas dalam gelap mata batin bisa menjadi awas dan peka, tetapi
rasa kantuk sering lebih dahulu menyerang. Maka janganlah kita sampai
hanyut (kanyut).
Sanyatane (sebenarnya) iku (itu) kanyatan (kenyataan) kaki (nak).
Sebenarnya itu kenyataan, anakku.
Sebenarnya ngalamat yang datang secara sporadis dan sekejap tadi adalah
kenyataan yang sebenarnya. Namun karena mata batin kita rabun oleh
pekatnya nafsu, kenyataan menjadi tampak samar-samar, bahkan gelap.
Maka hendaklah kita mengasah ketajaman hati melalui sembah jiwa agar
mata batin kita awas.
Sejatine (sebenarnya) yen (kalau) tan (tidak) emut (ingat), sayekti (benar-
benar) tan (tak) bisa (bisa) amor (bercampur). Sebenarnya kalau tidak
ingat, benar-benar tak bisa bercampur (ke alam itu).
Kita kembali ke konsep dzikir sebagai cara untuk masuk (amor) ke alam
ruh. Dzikir adalah mengingat kembali persaksian primordial kita di alam
pra-kreasi. Dzikir adalah mengingat fitrah kita sebagai makhluk yang
tunduk dan patuh terhadap Sang Pencipta. Maka jika kita tak mampu
176
Kajian Serat Wedatama
untuk melakukan dzikir tersebut kita takkan mampu berbaur dengan ritme
kehidupan di alam itu.
Hasil dari dzikir adalah emut (ingat) tentang siapa diri kita sebenarnya.
Emut adalah kesadaran paripurna dari sembah jiwa.
177
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Pamete (sarananya) saka (dari) luyut (batas lahir dan batin). Sarananya
dari luyut (batas lahir dan batin).
Sembah jiwa membuat kita mampu menjangkau sampai batas kesadaran di
alam ruh. Kita hampir menapak ke alam sana, sementara kita masih tetap
berada di alam sini. Di tapal batas dua alam ini kita mengalami resonansi
kenyataan yang disebut ngalamat. Ngalamat memberi kita potongan-
potongan kebenaran dari alam sana yang sebenarnya walau tersembunyi
adalah kenyataan yang sejati.
Sarwa (serba) sareh (sabar) saliring (semua hal) panganyut (yang
menghanyutkan). Serba sabar dalam mengikuti alam yang
menghanyutkan.
Hendaknya kita sabar dalam mengikuti alam kanyut tersebut. Karena di
sanalah kebenaran sejati, kenyataan yang sebenarnya, berada. Semakin
sering kita berdzikir kita akan mencapai keadaan emut, yakni terbukanya
kenyataan primordial atau fitrah kita sebagai hamba Allah.
178
Kajian Serat Wedatama
179
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Ning (tetapi) aywa (jangan) salah surup (salah terima), kono (di situ) ana
(ada) sajatinig (sejatinya) urub (cahaya). Tetapi jangan salah terima, di
situ ada cahaya sejati.
Pembahasan bait ini masih tentang alam kanyut, yang sebenarnya adalah
alam tempat bertemunya dua alam, alam materi dan alam ruh. Filosof
muslim Ibnu ‘Arabi secara metafora menyebut alam ini sebagai alam
imajinal atau barzakh atau alam antara. Sebagaimana alam barzakh yang
sering kita dengar adalah alam antara dunia dan akhirat, barzakh yang
dimaksud Ibnu Arabi adalah alam antara materi dan ruh. Sifat alam
imajinal ini merupakan campuran keduanya, kadang masih bercampur sifat
materinya, kadang bersifat ruhaniah.
Walau demikian kedudukan alam ini adalah lebih tinggi dari alam
material, hanya saja perlu sebuah upaya yang sungguh-sungguh agar tidak
terpeleset ketika masuk ke wilayah ini. Yakni harus selalu menjaga agar
tetap dalam keadaan emut, ingat akan posisi kita di dalam konstelasi
wujud sebagai hamba Allah. Sebuah pengakuan yang dahulu pernah kita
ucapkan dalam alam pra-kreasi.
180
Kajian Serat Wedatama
Jika keadaan emut tersebut tak tercapai atau kadang hilang kita bisa
tergelincir karena alam ini sangat mudah menghanyutkan, oleh karena
disebut alam kanyut. Contoh ketergelinciran adalah apa yang dilakukan Al
Hallaj dan Syeikh Siti Jenar, dalam riwayat-riwayat yang sudah sering kita
dengar.
Maka keadaan emut tadi harus senantiasa kita upayakan dengan sungguh-
sungguh, agar kita tidak hanyut dan kemudian meracau tak karuan seperti
para mistikus yang trance yang mengira cahaya diri sebagai sifat
ketuhanan, sehingga terlontar ucapan: “Ana Al Haqq!”
Yeku (yaitu) urub (cahaya) pangarep (pemimpin, penuntun) uriping
(hidupnya) budi (sanubari, akal budi). Ialah cahaya yang memimpin
hidupnya sanubari.
Pangarep berarti yang didepan, ini berarti cahaya yang kita lihat
seharusnya kita sikapi sebagai pertolongan Allah yang membuat jalan
menjadi terang. Hendaknya kita selalu emut dengan posisi kita tadi
sebagai hamba Allah, maka cahaya apapun yang kita lihat dapat menjadi
pangarep, penuntun dalam melangkah ke depan.
Sumirat (bercahaya) sirat (memancar) narawung (benderang), kadya
(bagaikan) kartika (bintang) katonton (nampaknya, terlihat). Bercahaya
memancar benderang, bagaikan bintang nampaknya.
Urub (cahaya) tadi apabila kita mampu menempatkan dengan benar akan
menjadi penerang hidup kita, membawa kita dari kegelapan menuju
terang, sehingga laku kita menjadi semakin mudah, tujuan kita menjadi
jelas karena jalan yang ditempuh menjadi terang benderang.
Sumirat-sirat berarti cahaya yang memancar-mancar, sebagai pertanda
keadaan terang benderang. Secara metafora ini adalah keadaan ketika
manusia tidak lagi bingung dalam membedakan antara yang haq dan batil.
Sehingga menjadi jelas, tanpa perlu bujukan, perintah dan ancaman lagi,
ke mana kaki harus melangkah.
Ini adalah rahasia terdalam dari pengamalan syariat. Ketika di tingkat
syariat kita memerlukan motivasi dalam berbuat,yang berupa pahala surga
dan daya dorong yang berupa ancaman siksa neraka. Namun ketika kita
sudah mengenali yang haq secara hakiki segala pahala dan siksa
kehilangan makna. Yang tersisa adalah ketertundukan yang sukarela,
ikhlas dan tanpa pamrih.
181
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Yeku (yaitu) wenganing (terbukanya) kalbu (hati). Itulah terbukanya hati.
Apabila di dalam luyut, yakni batas antara lahir dan batin yang juga
disebut sebagai alam kanyut tadi, kita sudah mampu melihat cahaya
memancar (sumirat) sebagai petunjuk jalan, maka artinya sudah terbuka
hati kita untuk menerima kebenaran sejati.
Terbukanya hati memunculkan kesadaran baru bahwa antara hanya ada
SATU WUJUD di alam semesta ini, ialah Wujud Tuhan Sang Pencipta. Ini
bukan sebuah kemenyatuan atau manunggaling kawula-Gusti, tetapi
sebuah kenyataan bahwa wujud kita berasal dari-Nya, bukan dari sesuatu
yang lain. Kita adalah manifestasinya di alam materi ini.
Hendaklah berhati-hati dalam memahami persoalan ini. Banyak orang
terjebak pada doktrin pantheisme akibat salah paham tentang kesatuan
wujud Tuhan-manusia. Pada saatnya nanti kami akan menjelaskan ini
secara lebih detail.
Kabukane (terbukanya) kang (yang) wengku (kuasa) winengku (yang
dikuasai). Terbukanya yang kuasa dan dikuasai.
182
Kajian Serat Wedatama
183
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Samengko (sekarang) ingsun (saya) tutur (berbicara), gantya (beralih)
sembah (sembah) ingkang (yang) kaping (ke-) catur (empat). Sekarang
saya berbicara, beralih kepada sembah nomer empat.
Sampailah sekarang pada sembah yang terakhir, sembah rasa. Apakah rasa
itu? Ada banyak padanan kata dari rasa ini: rahsa, rahasa, rahasya, sir,
raswa, driya, dll. Kesemua kata itu merujuk pada inti terdalam dari
manusia yang tersembunyi.
Disebut sir yang berarti kecenderungan yang halus atau lembut (dari
bahasa Arab sirr), seperti pada kata: atiku sir karo bocah wadon kae,
hatiku mempunyai kecenderungan suka pada anak perempuan (gadis) itu.
Rasa disebut juga rahsa, rahasa, rahasya, raswa yang artinya rahasia
terdalam. Yang menarik kata rahsa ini juga dipakai untuk menyebut wiji
manusia manikem, alias air mani. Manikem sering kali juga disebut
sebagai intisari dari seorang lelaki.
Disebut driya yang artinya perasa, ini bisa berarti fisik atau non fisik.
Secara fisik rasa adalah apa yang terjadi pada lidah jika bersentuhan
dengan sesuatu: amla (kecut), kayasa (sepet), kathuka (pedhes), sarkara
184
Kajian Serat Wedatama
(legi) lan tikta (pahit). Instrumen dari rasa dalam arti fisik adalah lidah.
Secara non-fisik rasa sering dipakai untuk menyebut hal-hal yang terjadi
pada hati: senang, gembira, sedih, haru, dll.
Jadi kata rasa bisa mempunyai banyak arti, tetapi kesemua arti itu selalu
merujuk kepada intisari dari manusia. Rasa mempunyai makna yang
berbeda dengan kalbu meski kadang dua kata ini dapat dipertukarkan
untuk menggambarkan keadaan pada diri manusia. Rasa bersifat lebih
halus, lebih dalam, lebih lembut daripada kalbu yang sering berbolak-
balik.
Rasa juga berbeda dengan jiwa, dan letaknya lebih dalam pada struktur
wujud manusia. Ia berkaitan dengan sejatinya manusia, pusat terdalam
yang menjadi inti dari manusia itu, maka seringkali disebut dengan kata
majemuk: rasa sejati. Dalam bahasa lain rasa ini dekat dengan kata intelek
(Inggris), atau juga dekat dengan kata ulul albaab (Arab). Disebut intelek
karena mampu menangkap bukan saja fenomena tetapi juga noumena.
Orang yang mempunyai intelek disebut ulul albaab, karena mampu
menangkap ayat-ayat.
Sembah rasa (sembah rasa) karasa (terasalah) wosing (inti, hakekat)
dumadi (kehidupan). Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan ini.
Sembah rasa dengan demikian berati menyembah dengan intisari (wosing)
atau hakekat terdalam dari kehidupan manusia. Wosing adalah inti atau
bisa diartikan makna diciptakannya (dumadine) manusia. Rasa adalah
puncak atau pencapaian akhir dari: raga yang tunduk, kalbu yang mantep
(artinya sudah tetap, tidak berbolak-balik lagi, sudah tsabit) dan jiwa yang
telah awas, eling dan emut.
Dadine (terwujudnya) wis (sudah) tanpa (tanpa) tuduh (pituduh,
petunjuk), mung (hanya) kalawan (dengan) kasing (kesentausaan) batos
(batin). Terwujudnya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan batin.
Sembah rasa ini merupakan buah dari laku yang dijalani raga, kalbu dan
jiwa. Jika ketiga sembah terdahulu terpenuhi maka sembah rasa akan
mewujud dengan sendirinya, tanpa petunjuk lagi. Ini bisa disebut buah dari
kesentausaan batin (kasing batos).
Namun demikian sembah rasa juga mengandung jebakan betmen yang
perlu diwaspadai. Agar kita tak salah mengenali seperti yang bisa terjadi
pada sembah jiwa, atau yang disebut salah surup. Dua bait berikutnya
akan menerangkan hal tersebut, jangan lewatkan kajian berikutnya.
185
Kajian Serat Wedatama
186
Kajian Serat Wedatama
187
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Meloke (terlihatnya) ujar (yang dibicarakan) iku (itu), yen (bila) wus
(sudah) ilang (hilang) sumelanging (kekhawatiran) kalbu (hati).
Terlihatnya yang dibicarakan itu (maksudnya sembah rasa), bila sudah
hilang keragu-raguan hati.
Orang yang sudah mengetahui rahasia penciptaan, rahasia posisi dan
kedudukan sebagai hamba Allah, takkan menyisakan keragu-raguan dalam
hati. Tidak ada kekhawatiran, tidak pula ada rasa sedih di hati karena
memikirkan hari esok, la tahinu wala tahzan.
Amung (hanya) kandel (percaya) kumandel (dengan sebenarnya) marang
(kepada) ing takdir (takdir). Hanya percaya dengan sebenarnya kepada
takdir.
Kandel di sini dari kata andel, andal. Orang jawa sering mengatakan
senjata dengan kata sipat kandel, artinya kalau sudah memegang senjata
kepercayaan diri meningkat karena keselamatannya lebih terjamin. Jadi
kandel kumandel di sini bermakna percaya dengan sangat terhadap
ketentuan (takdir) Allah. Inilah sifat seorang yan sudah berhasil dalam
sembah rasa.
188
Kajian Serat Wedatama
Iku (itu) den (yang) awas (awas) den (yang) emut (ingat), den (yang)
memet (cermat, teliti) yen (jika) arsa (ingin) momot (memuat, menguasai).
Itu harap awas dan ingat, yang cermat apabila ingin menguasai
seluruhnya.
Kedua hal itu, hilangnya rasa khawatir (sumelang) dan percaya
sepenuhnya (kandel kumandel) terhadap takdir, hendaknya selalu diawasi
dengan cermat apakah sudah ada dalam diri kita. Apabila belum berarti
sembah rasa yang kita lakukan belum sempurna, belum berhasil, maka
harus diupayakan lagi. Apabila sudah ada rasa itu maka silakan membuat
pengakuan atas penguasaannya, silakan melakukan klaim. Meski langkah
terakhir juga sebenarnya tidaklah seyogyanya dilakukan, karena muara
akhir dari rangkaian sembah yang dilakukan manusia tidak berhenti di sini.
Ada tugas lain yang menanti apabila sudah paripurna dalam melakukan
semua sembah itu.
Sampai di sini perjalanan menuju Tuhan sudah selesai. Catur sembah
merupakan fungsi manusia dalam kedudukan sebagai hamba Allah.
Sekarang ada dharma lain yang masih harus disandang, ialah memasuh
malaning bumi (membersihkan penyakit di bumi) dan memayu hayuning
bawana, memperidah keindahan semesta, dua tugas terakhir adalah tugas
manusia sebagai fungsi khalifah (pengganti) Allah di bumi.
Bait ke-72 ini merupakan bait terakhir dalam naskah baku serat
Wedatama. Hal ini karena pada naskah asli tertulis kata TITI yang berarti
tamat. Para pakar berpendapat bahwa sisa bait dalam Wedatama dari bait
ke-73 sampai bait ke-100 adalah naskah tambahan. Terdapat silang
pendapat berkaitan dengan siapa penulis bait tambahan ini. Namun kami
tidak akan masuk ke pembahasan tersebut. Sesuai niat awal kajian ini
hanya mengkaji dari sisi gramatikalnya saja, dengan tujuan agar mudah
dipahami.
Untuk membedakan dan sebagai tanda, pupuh selanjutnya yang masih
berupa tembang Gambuh kami beri nama Pupuh Gambuh Lanjutan.
189
Kajian Serat Wedatama
PUPUH KELIMA
GAMBUH
(Lanjutan)
190
Kajian Serat Wedatama
.
Kajian per kata:
Kita lanjutkan kembali kajian serat Wedatama bait ke-73. Kajian kali ini
sampai pada bab lanjutan, Pupuh Gambuh. Disebut lanjutan karena
sebelumnya serat Wedatama telah dinyatakan tamat (titi). Namun kembali
disambung dengan 38 bait lagi.
Terdapat kontroversi mengenai apakah bait-bait lanjutan ini masih
merupakan karya Sri Mangkunegara IV. Tetapi seperti yang kami
nyatakan pada bahasan yang lalu kita tidak akan mempermasalahkan hal
itu. Selain karena isi dari bait lanjutan ini masih relevan dengan bait-bait
sebelumnya, secara bahasa bait ini pun bergaya mirip dengan bagian inti.
Kami mengambil kesimpulan bahwa bait lanjutan ini juga karya Sri
Mangkunegara IV.
Pamotaning (penguasaan) ujar (petuah) iku (itu), kudu (harus) santosa
(sentausa) ing (dalam) budi (budi) teguh (teguh). Penguasaan atas petuah
itu, haruslah disertai dengan sentausa dan teguhnya akal budi.
Pada bait sebelumnya telah dinyatakan, jika hendak menguasai sembah
rasa harus dilakukan dengan cermat, den memet (cermat) yen arsa momot.
Kali ini ada syarat tambahan yakni harus mempersiapkan diri agar
sentausa dan teguh dalam akal budi. Dengan ungkapan yang sederhana
191
Kajian Serat Wedatama
persiapan mentalnya harus kuat. Jika tidak akan terjadi ketakjuban sesaat
yang berujung ketidaksadaran, alias sulap dengan kenyataan yang ditemui.
Sulap adalah kondisi tidak bisa melihat kebenaran justru ketika sangat
dekat dengan kebenaran itu sendiri. Seperti halnya kita tak dapat melihat
matahari karena saking (terlalu) terangnya matahari itu.
Sarta (serta) sabar (sabar) tawekal (tawakal) legaweng (ikhlas di) ati
(hati). Serta harus sabar, tawakal dan ikhlas di hati.
Sabar karena laku yang ditempuh sangat berat, sejak awal sampai akhir
depenuhi dengan keadaan serba mengekang hawa nafsu, meper (menahan)
keingingan dan meminimalkan kebutuhan. Tawakal karena hasilnya bukan
kita yang menentukan, tergantung pada kehendakNya untuk memberi
pencerahan atau tidak. Ikhlas karena terlebih dahulu harus menyingkirkan
motif rendah dan artifisial, dan menggantinya dengan hati yang kosong
dari keinginan.
Trima (menerima) lila (rela) ambeg (watak, sifat) sadu (utama, hati yg
suci). Menerima, rela dan berwatak adiutama.
Trima adalah sikap tidak protes terhadap apapun yang diberikan padanya.
Lila bersikap senang hati atas apa yang diterima, atau terhadap yang tidak
diterimanya. Ambeg sadu adalah watak orang yang telah mencapai derajat
di atas keutamaan (adiutama). Hatinya mendekati hati orang-orang yang
suci, terbebas dari pamrih apapun.
Weruh (memahami) wekasing (akhir) dumados (penciptaan). Memahami
akhir dari setiap penciptaan.
Orang yang telah memahami akhir dari segala penciptaan, paraning
dumadi, maka tidak akan banyak keresahan, kegalauan, ketakutan,
kekhawatiran di hatinya. Sikapnya penuh dengan kerelaan, lila-legawa,
rela dan legawa. Legawa adalah sikap bersenang hati atas apa yang
terjadi, ini pencapaian yang lebih tinggi dari lila.
Begitulah watak dari para priyagung luhur yang telah mencapai
kesempurnaan sembah rasa. Sepintas lalu uraian sifat-sifat di atas terlalu
teoritis tetapi marilah kita mohon kekuatan agar diri kita mampu mencapai
tahap itu. Berharaplah dengan pantas terhadap kehidupan. Dan
bermohonlah kepada Yang Memberi Hidup.
192
Kajian Serat Wedatama
sekadarnya ini. Yang jelas sikap sekdarnya lahir dari sebuah perenungan
tentang sikap yang harus diambil secara tepat. Dalam hal ini kematangan
rasa memegang peranan penting, dan rasa yang matang hanya diperoleh
melalui sembah rasa yang berhasil.
Den (memberi) ngaksama (maaf) kasisipaning (kelalaian) sesami (sesama
manusia). Suka memberi maaf kepada kelalaian sesama manusia.
Memberi maaf adalah kualitas agung dari jiwa manusia. Hanya orang-
orang pilihan yang mampu melakukan. Namun ada yang lebih tinggi dari
itu, adalah memaafkan kekhilafan orang lain, sebelum mereka menyadari
kesalahan sendiri. Tidak perlu memaksa-maksa orang lain untuk meminta
maaf, tetapi telah memaafkan dengan sendirinya.
Sifat pemaaf adalah pakaian orang-orang suci yang telah mengosongkan
hatinya dari egoisme. Telah mampu membuang hasrat mengalahkan, dan
telah menyingkirkan keinginan menampilkan kebesaran diri. Hanya orang-
orang yang telah mencapai derajat sadu ing budi yang mampu
melakukannya.
Sumimpanga (menghindarlah) ing (dari) laku (perbuatan) dur (tercela),
hardaning (hasrat angkara) budi (budi) kang (yang) ngrondhon
(membesar). Menghindarlah dari perbuatan tercela, yang timbul dari
hasrat angkara yang membesar.
Menghindari adalah perbuatan preventif, artinya sengaja menjauhkan diri
dari kondisi yang akan membuat diri menjadi terjebak dalam perbuatan
tercela, atau menjauh dari tempat di mana ada potensi-potensi untuk
munculnya hasrat-hasrat tercela.
Rondhon adalah rembuyung, yakni tumbuhnya tunas baru pada batang
pohon secara cepat. Demikian juga hasrat-hasrat buruk bisa tumbuh cepat,
ngrondhon di hati manakala mendapati lingkungan yang subur. Hal inilah
yang harus dihindari.
194
Kajian Serat Wedatama
195
Kajian Serat Wedatama
196
Kajian Serat Wedatama
197
Kajian Serat Wedatama
diterima dari wujud Allah. Selanjutnya istilah wujud pantulan akan kita
sebut dengan wujud (pakai w kecil), untuk membedakan dengan Wujud
Allah (pakai W besar).
Ketika sesorang mendekat kepada Allah dengan cara menjalani perintah
dan menjauhi larangannya (taqwa), maka posisinya mendekat dan wujud
dalam dirinya menguat. Semakin bertaqwa seseorang derajat wujudnya
semakin tinggi, yang berarti posisinya dengan Wujud juga menjadi
semakin dekat. Dan sifat-sifat wujud akan menguat dalam dirinya, yang
dimaksud di sini adalah sifat-sifat kebaikan yang adalah sifat-sifat
ketuhanan, seperti kasih, sayang, pengampun, pendidik, dll.
Wujudullah (Wujud Allah) sumrambah (yang meliputi) ngalam (alam)
sakalir (semuanya, seisinya). Wujud Allah yang meliputi alam seisinya.
Tidak ada tempat di manapun yang tidak ada pancaran Wujud Allah
kecuali apa yang disebut ketiadaan. Jadi selama masih ada entitas, maka
wujud pasti ada di situ. Yang membedakan adalah intensitas wujudnya.
Ada yang letaknya sangat jauh sehingga wujudnya hanya samar-samar.
Orang-orang jahat yang suka berbuat maksiat pun mempunyai wujud,
namun mereka semakin jauh dari Wujud Allah, sehingga wujudnya
tinggal samar-samar.
Lir (seperti) manis (manis) kalawan (dengan) madu (madu), endi
(manakah) arane (namanya) ing (di) kono (situ). Seperti berbaurnya
manis dengan madu, manakah yang namanya (salah satunya disebut)
pasti ada disitu.
Wujud Allah yang sumrambah di alam sakalir tadi menyatu dan menjadi
daya hidup bagi semua makhluk, seperti menyatunya manis dengan madu.
Di mana ada kehidupan maka wujud ada di situ. Oleh karena itu apapun
yang ada di dunia ini adalah manifestasi dari Wujud Allah semata-mata.
Orang-orang pandai yang sudah pana ing pamawas (sangat tajam
penglihatnnya), akan paham tentang kenyataan ini. Bagi mereka semua
kehidupan adalah tanda-tanda kebesaran Allah Yang Maha Tinggi.
Subhanallah! Alhamdulillah! Allahu Akbar!
198
Kajian Serat Wedatama
200
Kajian Serat Wedatama
202
Kajian Serat Wedatama
203
Kajian Serat Wedatama
204
Kajian Serat Wedatama
205
Kajian Serat Wedatama
206
Kajian Serat Wedatama
207
Kajian Serat Wedatama
Walau dilihat sepintas seperti tak masuk akal, hukum-hukum sejarah juga
berlaku atas umat manusia. Pergantian peran dan posisi senantiasa
mewarnai pergerakan politik, ekonomi dan sosial. Telah banyak bangsa-
bangsa kuat menjadi runtuh dan digantikan oleh kekuatan yang muncul
tiba-tiba. Majapahit jatuh digantikan Demak yang tadinya belum ada.
Demak surut diganti Pajang yang semula wilayah bawahan. Ketika Pajang
telah menemui masa-nya, Mataram yang tadinya hanyalah tanah hadiah
menyeruak ke panggung kekuasaan.
Rasakna (rasakan) kang (yang) tuwajuh (seksama, sungguh-sungguh), aja
(jangan) kongsi (sampai) kobasturon (alpa, lalai). Rasakan dengan
seksama, jangan sampai lalai.
Itulah sunatullah, hukum alam yang berlaku tetap sepanjang masa. Bagi
orang-orang yang telah mengetahui wekasing dumados, hal tersebut tidak
menjadi sebab dari kelalaian atas hukum-hukum Tuhan yang berlaku di
alam. Malah dengan pengamatan yang seksama mereka dapat
menyesuaikan diri dan mengambil sikap yang tepat, tidak kentir ing
obyaking swasana.
Kita cukupkan kajian bait ini. Kelak apa yang telah kita pelajari selama ini
akan kita pakai untuk bekal berbuat yang lebih bagi kemanusiaan, atau
memayu hayuning bawana.
208
Kajian Serat Wedatama
209
Kajian Serat Wedatama
di alam laksana orang yang gabug (kosong) amalnya. Kelak di akhirat dia
akan mendapati semua jerih payahnya sia-sia.
Sama halnya dengan orang-orang yang mengingkari ayat Allah yang
berupa wahyu (al Quran) akan menjadi kafir dan tertolak amalnya, orang
yang lalai dari ayat Allah di alam akan mendapati dirinya dalam kerugian
karena amalnya kosong.
Dadi (menjadi) wong (orang) ina (hina) tan (tak) weruh (tahu). Menjadi
orang hina yang tak tahu.
Dia menjadi orang yang tak tahu apa-apa, bingung dengan apa yang
dilihat. Bertanya-tanya mengapa menjadi begini? Mengapa menjadi
begitu? Dia menjadi asing karena apa yang diyakininya dahulu tenyata
berbeda dengan kenyataan yang dihadapi kini.
Dheweke (dirinya) den (di) anggep (anggap) dhayoh (tamu). Dirinya
dianggap tamu.
Karena terasing dengan alam akhirat itulah, dia merasa menjadi seperti
tamu. Kematian yang seharusnya berarti pulang ke rumah sejati yang
dirindukannya, tempat dia akan merasa damai selamanya, tempat yang
selalu diimpikan selama pengembaraannya di dunia ini, tetapi yang
didapati adalah tempat yang asing. Sungguh dia telah berada dalam
kerugian yang nyata. Wallahu a’lam.
Bait ini adalah akhir dari Pupuh Gambuh Lanjutan, selanjutnya akan
masuk ke Pupuh Kinanthi yang merupakan pupuh terakhir dari serat
Wedatama.
210
Kajian Serat Wedatama
PUPUH KEENAM
KINANTHI
211
Kajian Serat Wedatama
212
Kajian Serat Wedatama
213
Kajian Serat Wedatama
215
Kajian Serat Wedatama
Apabila sudah terlihat hasil dari latihan menajamkan budi tersebut maka
akan terlihat bagian tajamnya mingis-mingis. Mingis-mingis adalah kata
yang sering dipakai untuk menyebut keadaan mata pisau atau pedang yang
selesai diasah, terlihat putih berkilat-kilat. Kesan tajamnya sudah terlihat
dari pandangan sekilas. Seperti itulah perumpamaan akal budi yang diasah
menjadi tajam sekali, mingis-mingis.
Pasah (dapat memotong) wukir (gunung) reksamuka (penghalang), kekes
(lenyap) srabedaning (semua penghalang) budi (budi). Dapat memotong
gunung reksamuka, maka lenyaplah semua penghalang.
Pasah artinya tedhas, mampu memangkas, mampu memotong, tidak
tumpul atau patah ketika dipakai untuk memotong, dapat diandalkan.
Reksamuka adalah nama gunung dalam pewayangan yang medannya
penuh rintangan. Srabeda, kabeh rubeda, semua rintangan.
Ini kiasan bahwa tajamnya akal budi yang sudah diasah tadi bahkan
mampu memotong rintangan sebesar gunung. Maka lenyapnyah, hancurlah
segala penghalang kehidupan.
217
Kajian Serat Wedatama
218
Kajian Serat Wedatama
secata bertahap hingga dapat melihat kebenaran abadi, Al Haq, mulai dari
‘ilmul yaqin, ainul yaqin sampai haqqul yakin.
Tahap-tahap pendakian wujud itu telah disediakan oleh Yang Maha Tahu,
dengan mengutus para utusan (Rasul) dan memberi contoh melalui hidup
para Nabi dengan syariat yang bertahap pula. Mulai dari syariat yang
sederhama sejak Kanjeng Nabi Adam sampai syariat yang sempurna di
jaman Kanjeng Nabi Muhammad. Agar manusia dapat belajar sedikit demi
sedikit pula, hingga tidak kemlekeren, gumoh dan akhirnya malah gagal
total.
Siapapun yang telah menempuh jalan pendakian wujud ini dengan
pandangan yang awas, teliti dan selalu ingat watak-wantunya sendiri, akan
dapat menangkap rahasia di balik tabir, bahwa sang dalang dari setiap
kejadian adalah Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi semata-mata.
Kang (yang) atunggil (selalu bersatu) rina (siang) wengi (malam), kang
(yang) mukitan (meluluskan) ing sakarsa (segala kehendak),
gumelar(terhampar) ngalam (alam) sakalir (seisinya). Yang selalu bersatu
di siang dan malam, dan yang meluluskan segala kehendak seluruh alam
seisinya.
Dialah Allah yang selalu mengurus makhluknya di siang dan malam, tak
sedetikpun meninggalkannya. Dia senantiasa menangani segala urusan.
Meluluskan segala pengharapan, menampung segala kehendak,
mengabulkan segala doa, menggenapkan segala kekurangan, mengarahkan
yang terbaik untuk makhluknya. Dia berada di dekat kita semua, lebih
dekat dari urat leher kita sendiri. Dia senantiasa dalam keadaan peduli,
menjaga, memberi petunjuk, dan menerangi jalan kemuliaan. Namun Dia
tidak memaksakan segala sesuatu disebabkan karena kehendak bebas yang
telah Dia janjikan kepada manusia, sebagai batu ujiaan bagi manusia
apakah sebentuk ketaatan manusia padaNya merupakan sebuah tindakan
sukarela atau terpaksa.
Bagi yang menurut kehendak dan titahNya dengan sukarela akan diberikan
ganjaran yang agung berupa surga. Bagi yang menurut dengan terpaksa
akan diberikan hukuman dengan dibuka tabir rahasia, sehingga mereka
akan menyesal dan berkata, “Lhoh kok ngono!” Penyesalan itu
dipersonifikasi dalam bentuk neraka, tempat manusia durjana akan
tercebur di dalamnya.
219
Kajian Serat Wedatama
220
Kajian Serat Wedatama
221
Kajian Serat Wedatama
222
Kajian Serat Wedatama
sudah menuju ke arah yang benar. Karena seperti yang sudah kita ketahui
bersama akal budi yang terasah tajam akan membuat hati kita bening
laksana cermin, sehingga kebenaran pun terpantul di sana dengan jelas,
tiada keraguan lagi.
Jika kita sudah bisa melaksanakan ini, itulah jalan keselamatan yang sejati.
Kata kasidan bersinonim dengan lestantun, lestari, artinya keselamatan
yang terus-menerus, atau abadi. Orang Jawa sering menyebut mati sebagai
murud ing kasidan jati, mundur ke alam keselamatan sejati. Tentu saja
bila yang bersangkutan baik amalnya selama di dunia.
Sinuda (dikurangi) saka (dari) sethithik (sedikit), pamothahing
(keinginan) nafsu hawa (hawa nafsu). Linalantih (dibiasakan) mamarih
(agar) titih (unggul, sempurna). Dikurangi dari sedikit, keinginan hawa
nafsu. Dibiasakan agar (diri) menjadi unggul.
Cara agar kita dapat menghilangkan keragu-raguan hati tersebut adalah
dengan mengurangi sedikit demi sedikit keinginan hawa nafsu. Karena
sesungguhnya manusia dalam keadaan yang lemah tentang diri sendiri.
Belajar berjalan, hidup mandiri pun sulit bagi manusia.
Tidak seperti anak ayam, atau kambing yang sudah bisa berjalan di hari
pertama kelahirannya, manusia memerlukan waktu yang lama untuk itu.
Apalagi untuk mengasah akal budi agar tajam dan mampu menangkap
kebenaran, diperlukan waktu yang panjang dan kehendak yang kuat. Hal
ini hendaknya dibiasakan sejak dini, agar kelak diri kita menjadi manusia
yang unggul (titih), yang menang dari godaan hawa nafsu.
223
Kajian Serat Wedatama
224
Kajian Serat Wedatama
225
Kajian Serat Wedatama
226
Kajian Serat Wedatama
227
Kajian Serat Wedatama
228
Kajian Serat Wedatama
lecet. Ada juga peribahasa lain, beboreh sawise benjut, berbedak setelah
benjol. Tampaknya sikap abai terhadap bahaya ini sudah menjadi watak
yang muncul sejak dahulu. Yang demikian harus dihindari. Mulai sekarang
bersiap-siaplah untuk menyambut potensi bahaya yang bisa datang
sewaktu-waktu, tetapi harus tetap tawakal, tidak boleh berwaham atau
was-was.
Duweya (walau punya) kawruh (pengetahuan) sabodhag (bakul, tenggok
besar), yen (kalau) tan (tidak) martani (menyejukkan) ing kapti
(kehendak, hati). Walau mempunyai ilmu sebakul besar kalau sikapnya
tidak menyejukkan hati.
Gatra ini menyoroti watak lain dari manusia yang jauh dari harapan, tetapi
juga masih menjadi kelaziman, yakni tentang seseorang yang mempunyai
banyak ilmu. Sabodhag artinya sebakul besar, atau tenggok besar.
Tenggok adalah bakul dari anyaman bambu yang sering dipakai untuk
membawa sesuatu. Bodhag adalah tenggok besar. Biasanya jarang yang
punya karena ukurannya yang besar tidak akan kuat diangkat satu orang
apabila diisi beras misalnya.
Walaupun punya ilmu yang banyak tetapi kalau sikapnya tidak
menyejukkan, bahkan membuat resah dengan ilmunya itu, hal demikian
juga tidak baik. Jika mempunyai ilmu di bidang agama, bukan mengajari
agar orang bertambah baik, malah menakut-takuti dengan neraka. Sedikit-
sedikit bicaranya ini dosa, itu dosa, ini salah, itu salah. Hal yang demikian
sangat tidak bijak. Akan lebih bermanfaat apabila ilmunya dipakai untuk
pengarahan tentang yang baik dan buruk, dengan tetap mengingat
kemampuan belajar orang banyak. Ada yang mampu menyerap banyak
ilmu, ada yang cuma sedikit. Nah, disesuaikan saja sebatas kemampuan
mereka. Terhadap hal-hal yang kurang sempurna, apabila tidak sangat
urgen semoga Allah memaafkan. Ini lebih baik daripada hamtam krama ini
salah, itu salah, yang malah berujung antipati.
Dadi (sehingga) kawruhe (pengetahuannya) kinarya (hanya dipakai),
ngupaya (mencari) kasil (harta) lan (dan) melik (pamrih). Sehingga
pengetahuannya hanya dipakai untuk mencari harta dan meraih pamrih
(kepentingan).
Semestinya hal-hal di atas yang harus dilakukan oleh orang berilmu. Kalau
ada orang berilmu justru membuat resah itu pantas dicurigai, jangan-
jangan ketinggian ilmunya hanya untuk mencari sesuatu kepentingan
pribadi. Misalnya mengancam-ngancam orang berharta yang tidak segera
229
Kajian Serat Wedatama
230
Kajian Serat Wedatama
231
Kajian Serat Wedatama
234
Kajian Serat Wedatama
yang didengar. Panasten adalah suka nyinyir kepada orang lain, memanas-
manasi, memprovokasi. Jail (jahil) adalah sifat suka mengganggu orang
lain
Tan (tidak) njurungi (mendorong) ing (pada) kadurakan (tindak
kejahatan), amung (hanya) eneng (diam) amrih (agar) ening (bening).
Tidak mendorong pada tindak kejahatan, hanya diam agar (hati) menjadi
bening.
Sesungguhnya jiwa manusia ibarat bejana yang penuh air lumpur.
Kecenderungan, hasrat angkara, seharusnya mengendap di dasar bejana.
Namun adakalanya hasrat tersebut mubal, bergejolak sehingga muncul
dalam perbuatan buruk. Maka hati menjadi kotor oleh aneka perbuatan
jahat yang dituruti. Jika sudah demikian hidup serasa tak berguna, lebih
berharga selembar daun jati kering rasanya.
Maka orang-orang yang sudah terdidik dan berlatih mengamalkan ilmu
sejati tahu apa yang harus dilakukan. Mereka mencegah perbuatan jahat
muncul dalam diri, seperti mencegahnya lumpur bergolak dalam bejana.
Jika hati tidak terdorong oleh hasrat angkara, atau tidak mendorong orang
lain dalam keangkaraan, maka perlahan kotoran hati akan mengendap dan
hati menjadi besih.
Ini mirip dengan air di bejana tadi, apabila kita tenang dan tidak bergerak-
gerak, lumpur akan mengendap dan air menjadi bening. Sungguh ini
adalah perumpamaan yang sangat tepat dalam menggambarkan keadaan
dan sifat-sifat hati.
236
Kajian Serat Wedatama
238
Kajian Serat Wedatama
239
Kajian Serat Wedatama
demikian itu orang yang berilmu dan berbudi luhur tak perlu kaget atau
reaktif, tapi malah harus bersikap ramah dan disambut baik. Atau istilah
keren yang sering dipakai sekarang: welcome.
Nanging (tetapi) laire (perlihatkan sikap) angalah (mengalah), katingala
(agar terlihat) angemori (menyetujui), mung (hanya) ngenaki (membuat
nyaman) tyasing (hati) liyan (orang lain). Tetapi perlihatkan sikap
mengalah, agar terlihat menyetujui, hanya agar membuat nyaman hati
orang lain.
Yang dimaksud dalam gatra ini adalah bersikap bijak, pertama tidak perlu
berbantah adu ilmu, toh juga perdebatan yang demikian tidak akan
membuat salah satunya sadar. Yang ada justru merasa terpojokkan dan
menyimpan dendam. Yang kedua bersikap ramah dan angemori,
menyetujui atau berbaur mencari kesamaan-kesamaan terlebih dahulu alih-
alih meruncingkan perbedaan. Yang ketiga, membuat nyaman hati orang
tersebut. Jika sudah demikian keduanya dapat bertukar pikiran dengan hati
yang lega karena sudah merasa satu kubu, satu front. Inilah sikap yang
perlu dikedepankan oleh orang-orang berilmu yang berbudi luhur.
Aywa (jangan) esak (dendam) aywa (jangan) serik (sakit hati). Jangan
mendendam dan jangan sakit hati (terhadap perlakuan mereka).
Jika dapat bersikap seperti di atas akan tercipta kesejukan dalam
masyarakat. Kondisi ini akan kondusif untuk melakukan dakwah lebih
lanjut. Tetapi memang sikap demikian sungguh sulit dilakukan, kecuali
oleh orang-orang yang sudah mencapai derajat tinggi dalam ilmu dan
amal, ngelmu lan laku.
Yang sering terjadi adalah sikap dendam dan sakit hati apabila dibantah,
dihujat atau ditantang. Yang demikian itu hendaklah dihindari karena
medan jihad menyebarkan kebaikan memang sulit, jadi halangannya pun
banyak, rintangannya pun bejibun, ujiannya pun sulit.
Oleh karena itu perlu bagi seseorang yang berilmu yang ingin mencapai
budi luhur untuk selalu menjaga hati agar selalu penuh prasangka baik,
toleran terhadap kekurangan orang lain serta kuatkan hati dan mental.
Jangan mudah mendendam, jangan mudah sakit hati.
240
Kajian Serat Wedatama
keniscayaan, sebagai buah dari ilmu dan amal. Mereka takkan berbuat
kotor seperti kita juga takkan pernah minum air comberan karena merasa
jijik, perumpamaannya seperti itu. Dan bagi siapapun yang melakukan
kebaikan akan mendapat pahala. Itulah yang sudah dituliskan Yang Maha
Suci dalam sabdaNya, Al Quran.
Cinancang (diikat) pucuking (diujung) cipta (cipta), nora(takkan) ucul
ucul (pernah lepas) kaki (anakku). Diikat diujung cipta (pikiran), takkan
pernah lepas lagi.
Yang dimaksud cinancang pucuking cipta dalam kalimat di atas adalah
akidah. Akidah adalah pokok-pokok kepercayaan yang diikat dalam
pikiran, dalam suatu pandangan dunia tertentu. Akidah yang sudah kuat,
hasil dari pemikiran dan pengkajian yang mendalam takkan mudah goyah
dan telepas, walau oleh bujukan, rayuan, paksaan, intimidasi, agitasi, dan
aneka perlakuan tak ilmiah lainnya. Akidah yang kuat melahirkan
ketetapan hati (keimanan), dan keimanan yang kuat akan berbuah
perbuatan terpuji.
242
Kajian Serat Wedatama
ilmunya hanya sedikit) akan naik dan terpacu untuk berbuat baik. Ini
adalah sikap bijak, bisa mengemong orang yang banyak omong. Luar
biasa jika mampu melakukan itu. Maka belajarlah agar engkau dapat
melakukan yang demikian, anakku!
Pakoleh (keuntunganya) lair (lahir) batinnya (batibn), iyeku (yaitu) budi
(budi) premati (tersimpan rapi). Keuntungannya lahir dan batin, yaitu
tersimpan rapinya kebaikan kita.
Keuntungan lahir dari sikap mengalah ini adalah menghindarkan
pertengkaran yang tidak perlu, sedangkan keuntungan batin adalah
kebaikan hati kita tetap tersimpan rapi sebagai rahasia. Ini menghindarkan
kita dari sikap riya’, ujub atau takabur, juga sifat sombong. Dalam
masyarakat tak perlulah kita merasa atau harus paling baik, atau paling
pintar, atau paling hebat. Kedudukan yang setara lebih membuat nyaman
sesama manusia.
244
Kajian Serat Wedatama
apalagi jika dia tak puas dan mengejar keutamaan, akan jauh lebih sulit
lagi. Hal demikian karena urusan moral tidak bisa mengambil bentuk baku
yang sama antar jaman dan antar tempat, semua bersifat kontekstual.
Dalam hal ini kebijaksanaan amat berperan dalam menentukan sebuah
tindakan. Hal-hal yang demikian ini akan lebih mudah dilakukan jika kita
belajar langsung dari para guru, atau para orang-orang zaman dahulu.
Utama (utama) kembanging (adalah bunganya) mulya (kemuliaan),
kamulyaning (kemuliaannya) jiwa (jiwa) dhiri (sendiri). Perbuatan utama
adalah bunga dari kemuliaan, kemuliaannya jiwa sendiri.
Dalam sejarah telah lahir banyak orang-orang yang menapak jalan
kemuliaan, menjaga diri dari tindak angkara, teliti dan wara’ dalam
memenuhi kebutuhan hidup, berhati-hati dalam keinginan dan tidak
menonjolkan kedirian. Inilah jalan kemuliaan yang melahirkan keutamaan.
Utama disebut sebagai bunganya kemuliaan karena memang hanya dapat
lahir dari jiwa yang mulia, seperti halnya padi hanya dapat berbuah dari
pohon padi, tidak dari ilalang.
Ora ta (tidak usah) yen (kalau) ngeplekana (sama persis), lir (seperti)
leluhur (para leluhur) nguni-uni (di jaman dulu). Tak usah kalau sama
persis seperti yang dilakukan para leluhur di jaman dahulu.
Kepada orang-orang yang telah berhasil meraih keutamaan tadi, hendaklah
kita mencontoh dan mengikuti perbuatan mereka, laku dan amalan mereka.
Tidak harus sama persis dengan para leluhur di zaman dahulu, yang
penting sudah berusaha keras untuk itu. Karena para leluhur telah
melakukan hal-hal yang luar biasa, sehingga meneladani mereka pun sulit,
walau demikian kita seharusnya bersyukur mendapat teladan yang bagus.
Oleh karena itu dengan sekuat tenaga hendaknya mengikuti jalan mereka.
246
Kajian Serat Wedatama
248