Jalur pantai utara Jawa Tengah di Kabupaten Brebes menjadi saksi perjuangan para
perempuan pemetik dan pembersih bawang merah. Di pinggiran jalan itu, tepatnya di
depan Pasar Bawang Merah Pesantunan, Kecamatan Wanasari, hampir setiap pagi ratusan
perempuan buruh berjejer menanti pedagang atau pengelola lapak pengeringan bawang
merah yang membutuhkan tenaga mereka .
Para perempuan itu merupakan buruh yang bekerja membersihkan, menyortir, dan
mengikat bawang merah yang siap dijual ke pasaran. Mereka dikenal dengan sebutan
”mbutik”. Setiap hari, mereka mengadu keberuntungan. Biasanya, mereka tiba di tepi jalan
sekitar pukul 07.00 dan siap menunggu mobil bak terbuka yang akan membawa mereka ke
sawah atau lapak-lapak penjemuran bawang merah.
Biasanya, para mbutik berangkat rombongan, sekitar 15 orang atau 20 orang dalam satu
mobil, tergantung dari banyak sedikitnya kebutuhan tenaga kerja dari pedagang. Seperti
yang dilakukan Teah (35), warga Desa Pesantunan, Kecamatan Wanasari, bersama
sejumlah perempuan lainnya pada akhir Januari lalu.
Ibu lima anak ini setiap hari berjalan kaki sekitar 30 menit dari rumahnya menuju Pasar
Bawang Merah Pesantunan. Selama 15 tahun terakhir ini, Teah mencari keberuntungan
dengan menjadi mbutik bawang merah. Bersama ratusan hingga ribuan mbutik lainnya, dia
bekerja dari pagi hingga sekitar pukul 18.00 dengan upah Rp 35.000-Rp 50.000.
Selain di Brebes, para mbutik juga bekerja hingga Pemalang, Weleri, Kendal, dan
Majalengka, Jawa Barat. ”Kalau di Majalengka, kami menginap. Anak dititipkan ke
neneknya,” kata Sumiyati (39), mbutik asal Desa Pebatan, Kecamatan Wanasari.
Para mbutik menuturkan, jika produksi bawang merah melimpah, mereka menjadi
rebutan pedagang atau pengelola lapak pengeringan bawang. ”Pukul 07.30 saja, biasanya
pasar sudah sepi mbutik karena semua sudah laku tenaganya,” tutur Sumiyati.
Sebaliknya jika produksi bawang merah sedikit, para mbutik harus menelan kekecewaan
tidak mendapatkan pekerjaan dan upah pada hari itu. Mereka juga harus merelakan ongkos
angkutan yang dikeluarkan dari rumah menuju pasar bawang hilang.
Meskipun tidak setiap hari mendapatkan pekerjaan, profesi mbutik menjadi andalan para
perempuan Brebes. Beberapa mbutik yang bersuami nelayan menjadi tulang punggung
keluarga saat suami tak melaut.
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Brebes memperkirakan, tiap satu masa
tanam (dua bulan) dibutuhkan 560 tenaga per hektar (ha). Wakil Ketua HKTI Kabupaten
Brebes Mashadi menilai, jumlah itu belum termasuk petani pemilik sawah. Dinas Pertanian,
Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kabupaten Brebes mencatat rata-rata kepemilikan lahan
petani bawang di Brebes 0,2 ha. Dengan demikian, jumlah petani pemilik tanah sekitar
150.000 orang.
Jika luas panen bawang merah di Brebes sekitar 30.000 ha, jumlah tenaga kerja yang
mengandalkan hidup dari bawang merah kira-kira 1,68 juta jiwa. Angka itu sama dengan
88,4 persen dari total penduduk Brebes 1,9 juta orang.
Setiap hari, puluhan bahkan ratusan perempuan duduk di antara tumpukan bawang
merah membersihkan bawang merah dari akar dan kulit atau menyortir bawang merah yang
rusak dan membusuk dari kumpulan bawang merah lainnya.
Kendati tangannya memegang dan memotong akar bawang merah, tidak ada satu pun di
antara perempuan tersebut yang meneteskan air mata. Aroma pedas bawang merah sama
sekali tidak mengganggu konsentrasi mereka. Tangan para perempuan tersebut begitu
cekatan membersihkan bawang merah supaya cepat dimasukkan ke karung untuk kemudian
dikirim ke pedagang bawang merah di luar Brebes.
”Saya nanti lembur sampai malam, soalnya ada pesanan 300 karung yang akan diambil
nanti malam,” ujar Ipah (32), salah seorang mbutik, sambil menjelaskan, pemesan bawang
merah itu adalah salah satu perusahaan mi instan terbesar di Tanah Air.
Bagi petani bawang merah, bawang merah sudah menjadi bagian kehidupan mereka.
Darmono (63), petani bawang merah di Desa Sidamulya, Kecamatan Wanasari, mengaku
menanam bawang merah sejak sekitar 35 tahun silam di lahannya seluas 1.800 meter
persegi. Hasilnya jauh lebih besar ketimbang menanam jagung. Selain punya sawah dan
rumah, dia juga mampu menyekolahkan ketiga anaknya hingga lulus SMA dan membeli
sepeda motor. ”Sebelum menanam bawang merah tidak bahagia, setiap hari makan jagung
terus,” tuturnya.
Pedagang dan petani punya kenangan manis dengan bawang merah. Sri Haryati (48),
pedagang di Pasar Bawang Klampok, misalnya, sudah 30 tahun berdagang bawang merah.
Hasilnya, empat anaknya jadi sarjana. Dia dan suaminya sudah dua kali menunaikan ibadah
haji.
Tiap dua hari sekali, Sri memasok 16 ton bawang merah ke perusahaan mi instan di
Jawa Timur (Jatim). Untuk proses pembersihan dan pengepakan bawang merah, dia
mempekerjakan sekitar 20 tenaga, dengan upah Rp 50.000 per hari per orang. Sedangkan
untuk 1 ha lahan, dengan hasil panen 10 ton, Sri butuh pemanen 50 orang.
Sebagaimana Sri, walaupun panen bawang kali ini rugi hingga Rp 15-an juta, Darmono
bertekad tetap menanam bawang merah pada musim tanam berikutnya. Bagi Darmono,
bawang merah telah memberikan kebahagiaan bagi keluarganya.
Pertanyaan :
1. Konsep Sosiologi Apa saja yang dapat dipakai untuk menganalisis bacaan “ Mengadu
Nasib Melalui Mbutik”? sebutkan dan jelaskan !
2. Uraian bacaan tersebut, menurut kelompok Anda dapat dikaji dalam konteks
Sosiologi Agribisnis dan atau Ekonomi? Jelaskan !