Anda di halaman 1dari 34

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan konsumsi komoditas hortikultura, terutama sayuran mengalami


peningkatan tiap tahunnya. Peningkatan ini diiringi dengan peningkatan
pendapatan dan jumlah penduduk di Indonesia. Tabel 1 berikut adalah data
konsumsi sayuran per kapita di Indonesia.

Tabel 1. Konsumsi Sayuran Per Kapita di Indonesia


Kg/Tahun
Komoditi Pertumbuhan (%)
2007 2008 2009 2010 2011
Bawang Merah 3,014 2,743 2,524 2,529 2,361 -5,84
Bawang Putih 1,517 1,716 1,351 1,356 1,351 -2,05
Buncis 0,886 0,939 0,834 0,834 0,886 0,26
Bayam 4,484 4,015 3,754 3,963 3,806 -3,84
Kacang Panjang 3,806 3,806 3,494 3,650 3,441 -2,36
Kentang 2,086 2,034 1,721 1,825 1,564 -6,53
Kubis 1,877 1,929 1,564 1,616 1,825 0,02
Kangkung 4,954 4,797 4,432 4,589 4,328 -3,23
Mentimun 2,086 2,086 1,825 1,721 1,773 -3,80
Sawi Putih 0,730 0,886 0,678 0,574 0,886 9,26
Sawi Hijau 1,199 1,460 1,408 1,147 1,251 2,19
Tomat 2,091 2,232 1,971 1,935 2,091 0,32
Terong 3,494 2,920 2,451 2,555 2,555 -7,06
Jamur 0,073 0,057 0,037 0,042 0,057 -1,50
Wortel 1,147 1,147 0,991 0,939 1,043 -1,95
Sumber: Pusdatin Kementan (2012)

Kebutuhan sayuran yang besar membuka peluang pasar terhadap


peningkatan produksi sayuran, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pada
kenyataannya, peningkatan produksi sayuran dihadapkan pada masalah semakin
sempitnya lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa. Oleh karena itu, kebutuhan
pasar terhadap komoditas sayuran berkualitas tinggi belum dapat terpenuhi dari
sistem pertanian konvensional.
Kendala pada sistem pertanian konvensional di Indonesia terjadi karena
Indonesia merupakan negara tropis dengan kondisi lingkungan yang kurang
menunjang seperti curah hujan yang tinggi. Kondisi tersebut dapat mengurangi
keefektifan penggunaan pupuk kimia di lapangan karena pencucian hara tanah,
sehingga menyebabkan pemborosan dan mengakibatkan tingkat kesuburan tanah
yang rendah dengan produksi yang rendah secara kuantitas maupun kualitas.
Salah satu cara untuk menghasilkan produk sayuran yang berkualitas tinggi secara
kontinyu dengan kuantitas yang tinggi adalah budidaya dengan sistem hidroponik.
Selain hal-hal tersebut, masalah utama dalam pengembangan pasar sayuran
adalah kurang berkembangnya agroindustri. Hal tersebut menyebabkan terlalu
banyaknya produk yang dipasarkan dalam bentuk segar melalui pasar tradisional.
Sebagian besar pelaku agribisnis bertumpuk pada subsistem produksi primer (on
farm) dengan berbagai permasalahan, yaitu lemah modal, teknologi rendah, dan
sedikitnya infromasi. Kondisi kelembagaan pemasaran komoditas sayuran
nasional saat ini memiliki beberapa ciri khusus, yakni kuatnya peranan
pedaganag/bandar lokal, didasarkan pada norma kebiasaan dan hubungan pribadi,
pilihan terbatas, pembayaran mundur (setelah komoditas terjual), hubungan
pinjaman uang/modal, tidak mudah masuk ke dalam jaringan. (Budi 2010)
Diperlukan suatu pengelolaan yang terstruktur dalam kegiatan agribisnis
untuk mengatasi permasalahan di atas, salah satunya dengan konsep pengelolaan
rantai pasok atau biasa disebut Manajemen Rantai Pasok (MRP). Perhatian
terhadap MRP timbul sebagai akibat dari adanya berbagai perubahan dalam
lingkungan operasional sektor agribisnis. Pendorong utama perhatian terhadap
MRP adalah adanya persaingan dalam menyerap pengeluaran konsumen. Semakin
berkembangnya sektor eceran, tingginya diferensiasi produk, perbaikan kualitas
produk, dan keefektifan transportasi, telah memberikan penawaran rangkaian
alternatif pilihan produk yang lebih beragam bagi konsumen. Hal tersebut
berdampak pada meningkatnya kesadaran konsumen terhadap aspek kualitas,
keamanan, kesehatan dan nutrisi produk makanan, bahkan termasuk hal-hal yang
sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan nilai produk makanan, misalnya
masalah lingkungan. Konsumen merespon dengan kemampuannya untuk memilih
yang mengindikasikan bahwa konsumen mempunyai pengaruh besar terhadap
sistem produksi pangan dan pemasaran. Hal tersebutlah yang meyakinkan para
pemasok pangan bahwa keberhasilan pasar akan sangat bergantung pada
kemampuan dalam merespon permintaan konsumen.
MRP dapat memberikan suatu cara atau metode mengkonseptualisasikan
pengelolaan dari perubahan-perubahan yang dibutuhkan di dalam suatu sistem
untuk merespon kebutuhan konsumen secara efektif. Konsep ini didasarkan pada
integrasi dari koordinasi upaya semua unit bisnis yang terlibat dalam proses-
proses produksi dan penyampaian produk.

Tujuan

Secara umum tujuan praktik lapang adalah sebagai berikut.


a. Tujuan Instruksional
1. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan mahasiswa melalui
latihan kerja dan aplikasi ilmu yang telah diperoleh sesuai dengan bidang
keahliannya.
2. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi,
merumuskan, dan memecahkan permasalahan sesuai dengan bidang
keahliannya di lapangan secara sistematis dan interdisiplin.
b. Tujuan Institusional
Memperkenalkan dan mendekatkan IPB, khususnya Fakultas Teknologi
Pertanian dengan masyarakat dan mendapatkan masukan bagi penyusunan
kurikulum dan peningkatan kualitas pendidikan yang sesuai dengan kemajuan
IPTEK dan kebutuhan masyarakat pengguna.
Adapun tujuan khusus dari kegiatan praktik lapang ini adalah:
1. Mempelajari manajemen rantai pasok sayuran hidroponik di PT. Parung Farm.
2. Mengobservasi, menganalisis serta memberikan solusi atas permasalahan yang
ada berdasarkan disiplin ilmu yang dipelajari.
3. Memperoleh keterampilan dan pengalaman kerja, serta mengaplikasikan ilmu
yang diperoleh dari perkuliahan, khususnya pada topik yang berkaitan dengan
rantai pasok.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Kegiatan praktik lapang ini dilaksanakan selama 2 bulan dengan 40 hari


kerja efektif antara tanggal 17 Nopember 2014 sampai dengan 17 Januari 2015.
Pelaksanaan dilakukan di PT. Parung Farm, Kecamatan Parung, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat.

Metodologi

Dalam pelaksanaan praktik lapang, digunakan metode yang relevan untuk


mendapatkan data dan analisa yang tepat, antara lain:
1. Penjelasan Singkat
Penjelasan singkat dari pembimbing lapang atau wakil dari perusahaan. Hal ini
bertujuan untuk memberikan wacana awal serta peraturan yang berlaku terkait
dengan pelaksanaan praktik lapang di industri yang bersangkutan.
2. Pengamatan di Lapangan
Dilakukan dengan mengamati secara langsung untuk mengetahui
perkembangan industri yang bersangkutan. Pengamatan langsung seputar
mekanisme penerimaan bahan baku, proses aliran barang, aliran informasi,
aliran uang, teknis penggudangan, dan semua aspek yang berkaitan dengan
sistem manajemen rantai pasok.
3. Wawancara dan Diskusi dengan Pihak Terkait
Dilakukan untuk mengklasifikasikan permasalahan-permasalahan yang terjadi
di lapangan dan menanyakan langsung kepada pihak yang terkait. Sumber
informasi utama berasal dari pembimbing lapang.
4. Kerja Mandiri dan Kerja Terbimbing
Dilakukan untuk memperoleh pengalaman di dunia kerja dan mempelajari
kesesuaian antara teori dengan praktik di lapangan yang berkenaan dengan
topik manajemen rantai pasok.
5. Studi Pustaka
Dilakukan dengan mencari referensi dan literatur yang berkaitan dengan
kegiatan yang dilakukan. Dalam hal ini yaitu mempelajari sistem manajemen
rantai pasok.
6. Perumusan dan Penulisan Laporan
Tahap akhir ini dilakukan setelah menganalisis data dan mengkaji rantai
pasokan sehingga diperoleh informasi yang nantinya akan digunakan untuk
perumusan laporan tertulis yang jelas dan sistematis.
KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

Sejarah dan Perkembangan Perusahaan

PT. Kebun Sayur Segar dengan brand Parung Farm didirikan pada tahun
1998 oleh Bapak Soebagyo Karsono dan Bapak Soedibyo Karsono yang
merupakan dua bersaudara. Pada mulanya, PT. Kebun Sayur Segar didirikan
dengan nama Kebun Hidroponik Sayur Segar yang hanya bergerak di bidang
hidroponik sayuran. Pada tahun 2000, PT. Kebun Sayur Segar mengembangkan
usahanya di bidang tanaman hias, dan akhirnya pada tahun 2001 PT. Kebun Sayur
Segar berubah nama menjadi PT. Parung Farm.
PT. Parung Farm mulanya bergerak di bidang pelatihan dan produksi
tanaman sayuran, hidroponik buah, hidroponik hortikultura, aeroponik, dan kultur
jaringan untuk budidaya anggrek. Usaha ini dimulai dari penelitian dan uji coba
penanaman tanaman secara hidroponik yang cocok dikembangkan di daerah
Parung. Penanamannya dilakukan di dalam greenhouse seluas 400 m2 yang
ditanami 750 tanaman meliputi 150 tanaman mentimun varietas spring swallow,
150 tanaman melon varietas eagle, 150 tanaman paprika varietas Spartacus dan
300 tanaman tomat varietas recent. Oleh karena suhu yang kurang mendukung,
produksi tanaman tersebut dilakukan di daerah Sukabumi, sedangkan tanaman
yang diproduksi di Parung meliputi tanaman selada, bayam hijau, bayam merah,
kangkung, pakchoi hijau, pakchoi putih, petsai dan caisim. PT. Parung Farm
memiliki kebun seluas 9.8 ha yang terdiri dari tiga kebun, yaitu Kebun Parung
seluas 3.8 ha, Kebun Sukabumi seluas 4 ha, dan Kebun Cianjur seluas 2 ha.
Kebun di Sukabumi dan Cianjur melakukan pembudidayaan tanaman secara
hidroponik dan organik, sedangkan kebun di Parung secara hidroponik.
Pada tahun 2010, PT. Parung Farm mendapakan sertifikat organik dari PT.
Mutu Agung Lestari sebagai salah satu lembaga akreditasi yang telah diakui dan
disahkan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). PT. Parung Farm merupakan
produsen sayuran berdaun (leafy vegetables) pertama di Indonesia yang
memperoleh sertifikat organik tersebut.
PT. Parung Farm melakukan pelatihan budidaya tanaman hidroponik setiap
hari sabtu dan minggu. Pelatihan ini ditujukan bagi karyawan swasta, pegawai
negeri dan pelajar dengan tema yang berbeda di tiap minggunya. Selain itu, PT.
Parung Farm juga membuka jasa konsultasi di bidang pertanian. Oleh karena
minat masyarakat yang begitu tinggi akan budidaya hidroponik sayuran dan
budidaya anggrek, maka kedua bidang tersebutlah yang akhirnya lebih
dikembangkan oleh PT. Parung Farm. Budidaya anggrek dimulai pada bulan
Januari tahun 2000 dan sampai saat ini jenis anggrek yang dibudidayakan di
Parung Farm antara lain adalah Dendrobium sp, Phaleonopsis sp, Oncidium sp,
Vanda sp dan anggrek silangan lainnya.
PT. Parung Farm didirikan dengan tujuan memperkenalkan teknik budidaya
hidroponik. Oleh karena itu, perusahaan ini mengadakan penelitian sederhana
terhadap teknologi yang tepat guna dan pelatihan praktek kerja di lapangan.
Teknologi yang digunakan di PT. Parung Farm antara lain, NFT (Nutrient Film
Technic), Aeroponik, DFT (Deep and Flow Technic), dan Ebb and Flow (Pasang
surut).
Lokasi dan Letak Geografis

PT. Parung Farm berlokasi di Jl. Raya Parung No. 546 Kampung Jati,
Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. PT. Parung Farm memiliki
lahan seluas 3.8 ha, berada pada 6°26’ Lintang Selatan dan 106°44’ Bujur Timur,
ketinggian 100 meter di atas permukaan laut dengan topografi permukaan yang
relatif datar. Kebun hidroponik ini berbatasan dengan Desa Jabon di sebelah utara,
Desa Gunung Sindur di sebelah selatan, Desa Waru Jaya di sebelah barat dan
Depok di sebelah timur.
Kebun Parung memiliki iklim tropis yang sesuai untuk jenis sayuran yang
diproduksi sehingga sayuran dapat tumbuh dengan baik. Daerah ini memiliki
musim hujan pada bulan Oktober – Maret dan musim kemarau pada bulan April –
September. Lokasi ini memiliki suhu 26°C – 35°C, kelembaban udara 70%, serta
curah hujan rata-rata 2.774 mm/tahun. Adapun lokasi kebun PT. Parung Farm
dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Lokasi Kebun Parung PT. Parung Farm

Struktur Organisasi

PT. Parung Farm memiliki struktur organisasi yang terdiri dari komisaris,
direktur utama Kebun Sayur Segar (KSS), direktur utama Kebun Anggrek Parung
(KAP), serta direktur utama Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan
(BANGDIKLAT). Adapun struktur organisasi PT. Parung Farm dapat dilihat pada
Gambar 2 dibawah ini:
PT. Parung Farm

Unit Kebun Unit Kebun Sayur BANGDIKLAT


Anggrek (KAP) Segar (KSS)

Bagian Bagian Produksi Bagian


Administrasi Pemasaran
dan Keuangan

Kebun Parung Kebun Cigenang Kebun Bintang


Delapan
Gambar 2. Struktur Organisasi PT. Parung Farm

Kegiatan PT. Parung Farm terbagi menjadi dua bagian, yaitu kegiatan
produksi dan kegiatan pengembangan pendidikan yang dipimpin oleh direktur
utama. Adapun penjelasan mengenai masing-masing bagian adalah sebagai
berikut.

1. Kegiatan Produksi
Kegiatan produksi dan pemasaran sayuran dipimpin oleh seorang general
manager. Tugas general manager adalah mengelola semua unit produksi dan
pemasaran serta melaksanakan keputusan direktur. General manager membawahi
tiga bagian yaitu:
A. Bagian Administrasi dan Keuangan
Bagian administrasi dan keuangan bertugas menangani semua masalah yang
berhubungan dengan administrasi, keuangan, ketenagakerjaan, penyediaan
barang-barang untuk produksi dengan jumlah dan kualitas yang dibutuhkan
perusahaan, serta mengendalikan persediaan barang. Semua bahan dan
peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi disediakan oleh bagian
administrasi.
B. Bagian Pemasaran
Bagian pemasaran bertugas mencari pasar dan pelanggan, melakukan
promosi serta menerima berbagai pesanan dari konsumen. Produk yang telah
dihasilkan oleh bagian produksi dan siap dipasarkan, pertanggungjawaban
produknya berpindah dari bagian produksi ke bagian pemasaran.
C. Bagian Produksi
Bagian produksi bertanggung jawab terhadap semua kegiatan dalam proses
produksi dan melakukan pengawasan terhadap kelancaran produksi. Kegiatan
produksi di bawah tanggung jawab seorang asisten manajer produksi.
2. Kegiatan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan
Bagian pelatihan pendidikan dipimpin oleh seorang direktur pendidikan.
Direktur pendidikan bertugas mencari peserta pelatihan dengan melakukan
promosi dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan pelatihan.

Ketenagakerjaan

Tenaga kerja PT. Parung Farm terdiri dari tenaga kerja tetap dan tenaga
kerja tidak tetap. Perbedaan antara tenaga kerja ini yaitu dalam pemberian upah
(gaji) dan kehadiran. Tenaga kerja tetap dibagi menjadi dua, yaitu tenaga kerja
tetap harian dan tenaga kerja bulanan. Untuk tenaga kerja tetap harian upah
diberikan setiap minggu dengan perhitungan kehadiran setiap harinya. Sedangkan,
untuk tenaga kerja bulanan dibayar setiap bulan dengan tidak memperhitungkan
kehadiran setiap harinya.
Tenaga kerja tetap harian adalah tenaga kerja yang mendukung proses
produksi seperti tenaga kerja untuk persemaian dan tenaga kerja yang bertugas
untuk penanaman. Sedangkan, tenaga kerja tetap bulanan terdiri dari pengurus
administrasi dan keuangan perusahaan, manager produksi sayuran, pemasaran,
pengelola kebun anggrek, mandor greenhouse, supir, dan petugas keamanan.
Tenaga kerja tidak tetap adalah tenaga kerja yang bekerja di bagian
pascapanen, membersihkan tanaman dari daun-daun yang patah dan daun yang
terserang hama, serta standarisasi sayur yang layak packing, penimbangan dan
pengepakan. Tenaga kerja tidak tetap digaji setiap hari dengan memperhitungkan
kehadiran. Disamping itu ada juga tenaga kerja borongan yaitu karyawan yang
bekerja secara borongan dengan waktu kerja jika ada panggilan pekerjaan. Tenaga
kerja borongan ini biasanya diperlukan untuk memperbaiki dan membersihkan
areal di sekitar greenhouse.

PROSES PRODUKSI SAYURAN HIDROPONIK

Secara umum proses produksi sayuran hidroponik yang diterapkan di PT.


Parung Farm dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
Benih

Penyemaian

Pembersihan &
Sortasi Bibit

Pembungkusan Bibit

Penanaman Bibit

Pemeliharaan

Pemanenan

Pencucian

Sortasi Sayur

Pengemasan Sayur

Pendistribusian

Pemasaran

Selesai

Gambar 3. Proses Produksi Sayuran Hidroponik

Penyemaian

Media tanam pada persemaian sayuran hidroponik menggunakan batu


screening dan rockwool. Batu screening adalah batu split berukuran kecil antara 5
– 10 mm, sedangkan batu split adalah material bangunan yang diperoleh dengan
cara memecah batu ukuran besar hingga menjadi kecil. Umumnya, batu screening
digunakan sebagai bahan campuran untuk mengaspal jalan. Rockwool, atau sering
juga disebut dengan mineral wool, adalah bahan non-organik yang dibuat dengan
cara meniupkan udara atau uap ke dalam batuan yang dilelehkan. Hasilnya adalah
sejenis fiber yang memiliki rongga-rongga dengan diameter antara 6 – 10 µm.
Rockwool memiliki kemampuan menahan air dan udara dalam jumlah yang baik
untuk mendukung perkembangan akar tanaman sekaligus penyedia nutrisi yang
dibutuhkan. Selain itu, rockwool juga berfungsi sebagai struktur penyangga yang
cukup baik untuk tanaman tersebut. Adapun penampakan batu screening dan
rockwool dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5 di bawah ini.

Gambar 4. Batu Screening

Gambar 5. Rockwool

Penyemaian dengan batu screening dilakukan dengan cara menghamparkan


media di atas terpal atau bak semen dan ketebalannya sebesar 3 cm. Bagian atas
bak dipasang pipa yang menyalurkan nutrisi secara berkala setiap 1 menit sekali
sehingga larutan nutrisi mengalir sampai ke bagian bawah bak dan benih
mendapatkan nutrisi setiap saat. Pada persemaian menggunakan media rockwool,
benih ditabur di dalam rockwool yang telah dilubangi dan diberikan air. Setiap
hari media rockwool dan benih harus disiram sehingga tanamannya mendapatkan
nutrisi. Persemaian dilakukan di dalam greenhouse karena benih tidak boleh
terkena air hujan dan sinar matahari secara langsung. Setelah bibit semai berumur
13 – 15 hari (tergantung jenis sayuran), dan memiliki tingkat keseragaman, serta
profil yang baik, maka bibit semai siap untuk dipindahkan ke dalam greenhouse
produksi. Bibit semai akan dicabut satu persatu dan kemudian dibersihkan. Proses
penyemaian benih menggunakan media batu screening dan rockwool dapat dilihat
pada Gambar 6 dan Gambar 7 seperti berikut.
Gambar 6. Penyemaian Benih dengan Batu Screening

Gambar 7. Penyemaian Benih dengan Rockwool

Pembungkusan Bibit

Bibit yang telah disortasi dan dibersihkan kemudian dibungkus rockwool


dengan akar bibit yang terbuka. Bibit yang berukuran cukup besar hanya dililitkan
dengan rockwool, sedangkan bibit yang berukuran kecil dibantu dengan jelly cup.
Bibit yang dibungkus adalah bibit yang memiliki penampilan fisik yang baik
(warna cerah merata, tidak terserang hama atau penyakit, tegak, dan tingginya 8 –
10 cm). Proses pembungkusan bibit dengan rockwool dan jelly cup dapat dilihat
pada Gambar 8 dan Gambar 9 seperti berikut.
Gambar 8. Pembungkusan Bibit dengan Rockwool

Gambar 9. Pembungkusan Bibit dengan Rockwool dan Jelly Cup

Penanaman Bibit

Kegiatan persiapan sebelum penanaman merupakan salah satu kegiatan


penting, karena akan berpengaruh terhadap kelancaran proses penanaman. Pada
persiapan tanam dilakukan pencucian jelly cup dan styrofoam, pemeriksaan
saluran irigasi, serta penyiapan larutan nutrisi. Jelly cup yang telah digunakan
pada penanaman sebelumnya dibersihkan dan dicuci. Jelly cup yang digunakan
panjangnya 5 cm dan disobek pada bagian samping dan ujungnya. Penyobekan
bagian samping bertujuan untuk memudahkan saat pemanenan dan agar tidak
menghambat pertumbuhan tanaman, sedangkan penyobekan bagian ujung
bertujuan untuk memudahkan akar menjuntai ke bawah. Pencucian styrofoam
dilakukan dengan cara dibasahi air dan digosok dengan kassa hingga kotoran
hilang. Adapun proses pencucian styrofoam dapat dilihat pada Gambar 10 berikut
ini.
Gambar 10. Proses Pencucian Styrofoam

Bibit yang telah dibungkus dengan rockwool kemudian dimasukkan ke


dalam lubang-lubang pada papan styrofoam. Diameter lubang styrofoam berkisar
antara 1 – 2 cm dengan jarak antar lubang sebesar 10 cm. Populasi bibit per m2
berkisar antara 20 – 30 batang tanaman, disesuaikan dengan jenis sayuran dan
sistem irigasi hidroponik yang digunakan. Selain styrofoam, papan-papan yang
digunakan adalah eternit, asbes, dan pipa paralon. Proses penanaman bibit pada
styrofoam dapat dilihat pada Gambar 11 berikut ini.

Gambar 11. Penanaman Bibit pada Papan Styrofoam

Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman yang dilakukan diantaranya adalah pemberian


nutrien, pengecekan air dan kontrol irigasi, serta pengendalian hama dan penyakit.
Pemberian nutrien tanaman atau pemupukan dilakukan bersamaan dengan
penyiraman (fertigation). Pupuk yang diberikan adalah pupuk AB Mix dengan
konsentrasi 0.8 ml/l, EC 2.2 – 2.5 mS/cm, dan pH 6.5 – 6.7. Penampakan pupuk
yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini.

Gambar 12. Pupuk AB Mix

Pengecekan air dan kontrol irigasi dilakukan dengan mengecek EC (Electric


Conductivity) dan pH larutan. Pengecekan EC larutan menggunakan alat EC
meter untuk mengukur kepekatan atau konsentrasi larutan nutrisi tanaman,
sedangkan alat pH meter untuk mengukur keasaman air irigasi dan larutan.
Gulma, hama, dan penyakit dapat mengganggu mutu tanaman yang dihasilkan,
sehingga pengendalian hama, penyakit, dan gulma perlu dilakukan. Pengendalian
hama dan penyakit tanaman sayuran dilakukan secara manual dengan memetik
daun yang terkena hama dan penyakit agar tidak menular kepada tanaman lain.
Pengendalian hama dan penyakit di PT. Parung Farm sama sekali tidak
menggunakan pestisida.

Pemanenan

Sayuran siap dipanen setelah berumur 25 – 30 hari. Penentuan saat panen


dan cara panen yang tepat merupakan hal yang penting. Bila sayuran yang
dipanen terlalu muda akan menyebabkan sayuran banyak kehilangan air, layu,
berkerut dan pengurangan bobot. Sementara itu, bila sayuran yang dipanen terlalu
tua akan menyebabkan sayuran terasa liat dan cepat menguning. Pemanenan
sebaiknya dilakukan pada pagi hari, sekitar pukul 08.00 – 09.30 untuk
mengurangi kerusakan oleh panas matahari, sehingga diperoleh sayuran dalam
kondisi segar dan belum banyak mengalami penguapan.
Panen yang diterapkan di PT. Parung Farm mengikuti sistem putaran yang
otomatis menjamin kontinuitas produksi sayuran setiap harinya. Pada sistem
rolling, jumlah bed yang dipanen setiap hari adalah konstan, namun bobotnya
dapat berbeda-beda. Jumlah bed dan banyaknya tanaman yang dipanen
menentukan umur tanaman. Perbedaan jumlah panen pada setiap tanaman
menunjukkan kapasitas produksinya. Semakin besar jumlah panen per hari, maka
semakin banyak jumlah bed yang dipanen. Sebagai contoh, dengan ketentuan
umur panen 28 hari, maka bed yang tersedia juga berjumlah 28 bed. Setiap bed
ditandai dengan nomor 1 – 28. Apabila hari ini pemanenan dilakukan pada bed 1,
maka pemanenan berikutnya dilakukan pada bed 2, begitu seterusnya hingga bed
28. Setelah dipanen, bed harus dibersihkan dan ditanam kembali oleh bibit yang
baru sehingga setelah satu periode selesai, tersedia sayuran yang siap untuk
dipanen. Hal ini adalah salah satu cara PT. Parung Farm untuk menjaga
kontinuitas produksi sayurannya.
Pemanenan dilakukan dengan cara manual, yaitu dicabut dengan tangan
secara hati-hati pada bagian pangkal batang tanaman agar batang sayuran tidak
patah dan daunnya tidak sobek. Sayuran yang mengalami kerusakan mekanis akan
memudahkan masuknya patogen sehingga sayuran dapat terinfeksi selama
pengangkutan dan penyimpanan. Kondisi tersebut memudahkan terjadinya
pembusukan atau rusak sebelum dipasarkan. Sayuran yang sudah dipanen
selanjutnya dikumpulkan ke dalam keranjang panen atau kotak krat (container)
secara hati-hati agar tidak rusak. Sayuran yang sehat harus dipisahkan dari
sayuran yang terkena hama penyakit untuk mencegah terjadinya penularan.
Sayuran panen yang ada di dalam container diletakkan di tempat teduh agar
proses respirasi berjalan lambat sehingga tidak cepat layu. Setelah panen selesai,
container sayuran dibawa menuju rumah pengemasan dengan menggunakan
gerobak dorong. Proses pemanenan sayuran dapat dilihat pada Gambar 13 berikut
ini.

Gambar 13. Proses Pemanenan

Persiapan Pascapanen

Produk hortikultura seperti sayuran merupakan produk yang sangat mudah


rusak sehingga dalam penanganan pascapanennya perlu dilakukan pengaturan
agar produk tetap segar. Kerusakan pada sayuran terjadi karena setelah dipanen
sayuran masih melakukan proses metabolisme dengan menggunakan cadangan
makanan. Berkurangnya cadangan makanan tidak dapat digantikan karena sayuran
tersebut sudah terpisah atau tercabut dari pohonnya sehingga mempercepat proses
hilangnya nilai gizi sayur. Tingkat kerusakan sayuran dipengaruhi oleh difusi gas
ke dalam dan ke luar jaringan yang terjadi melalui lentisel yang tersebar di
permukaaan sayur. Menghambat proses tersebut tentunya secara teoritis dapat
pula dilakukan sehingga dapat memperlambat laju perusakan.
Sayur segar yang memiliki kualitas yang baik harus melalui penanganan
yang tepat sejak tahap budidaya, panen, pascapanen, sampai sayur siap
dikonsumsi. Kerusakan sayuran dapat terjadi karena perlakuan pemeliharaan,
persemaian, maupun penanganan yang kurang tepat saat panen. Oleh karena itu,
untuk menghindari kerusakan yang berlebihan, penanganan pascapanen harus
mendapat perhatian lebih. Menurut Santoso (2013), terdapat perbedaan pengertian
antara teknologi pascapanen dan penanganan pascapanen. Teknologi pascapanen
adalah ilmu yang mempelajari tentang cara-cara penanganan dan pengelolaan
untuk mempertahankan kesegaran dan mutu komoditi sejak saat panen hingga
komoditi tersebut sampai ke tangan konsumen. Sedangkan, penanganan dan
pengelolaan komoditi pascapanen adalah kegiatan penanganan dan pengelolaan
sejak saat komoditi dipanen yang mengikuti cara-cara yang benar sesuai ketentuan
yang dianjurkan dan sesuai hasil penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu.
Tujuan penanganan pascapanen ini adalah untuk mempertahankan kesegaran,
mengurangi loss, penekanan biaya, meningkatkan harga pemasaran, serta untuk
meningkatkan mutu. Menurut Santoso (2013), adapun persiapan pascapanen yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Penentuan Umur Panen


Menentukan kapan saat panen merupakan bagian penting dalam budidaya
sayuran. Untuk usaha komersial, pemanenan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Apabila komoditi panenan akan diproses lebih lanjut, maka panen dapat dilakukan
saat periode mendekati puncak kematangan, karena periode waktu panen hingga
memproses cukup singkat, dan pada saat itu komoditi telah mencapai fase
kematangan yang maksimal. Sedangkan untuk tujuan pasar segar, waktu panen
dapat dilakukan pada saat sayur mendekati puncak kematangan atau kurang dari
itu.
Umur panen berkaitan dengan waktu kematangan atau waktu sayur siap
dipanen. Kematangan komersial adalah perkembangan sayur dimana semua
organnya sudah siap untuk dipanen dan sudah dapat dimanfaatkan untuk
dipasarkan. Sedangkan, kematangan fisiologis adalah stadia tertentu dalam
perkembangan sayur dimana syarat proses kematangan sayur terpenuhi secara
sempurna

2. Waktu Panen
Waktu panen juga akan sangat mudah jika tanggal tanam atau umur
perkembangan tanaman sayuran telah diketahui. Namun demikian untuk beberapa
jenis sayuran, waktu panen dapat dilihat pada kondisi perkembangan organ
panenan tersebut. Tomat memiliki waktu panen berdasarkan perkembangan warna
sayur, sawi berdasarkan jumlah daun, dan kangkung berdasarkan panjang pucuk
dan kondisi daun.

3. Alat Panen dan Cara Panen


Penggunaan peralatan panen yang telah berkembang pada saat ini sangat
berguna bagi petani yang memiliki areal luas dan telah menggunakan jenis-jenis
tanaman sayuran yang memiliki tingkat keseragaman (terutama tinggi tanaman)
yang tinggi. Selain itu, penggunaan alat panen baik digunakan untuk komoditi-
komoditi yang akan diolah lebih lanjut. Sedangkan bagi komoditi yang ditujukan
untuk pasar segar dan beberapa jenis sayuran yang memiliki organ panenan
berkembang tidak seragam (gradual), maka panenan secara manual (hand
harvesting) merupakan teknik yang paling baik. Dengan cara ini, tingkat
perkembangan atau kematangan komoditi dapat dipilih dan sekaligus dapat
dilakukan pengelompokan (grading) saat memasukkan ke wadah penampungan.
Selain itu, pemanenan manual dapat menghindari kerusakan komoditi akibat
benturan maupun gesekan. Penggunaan peralatan (mechanized harvesting) sering
digunakan untuk memanen komiditi sayuran yang organ panenannya berkembang
di bawah permukaan tanah seperti kentang dan wortel (Endry 2012).

4. Wadah Transportasi
Penempatan komoditi panenan pada wadah merupakan tindakan menghindari
sayur dari kerusakan fisik dan mekanik maupun menghindari kotoran. Oleh
karena itu, pemilihan jenis bahan wadah sebaiknya didasarkan pada sifat
permukaan komoditi bersangkutan. Permukaan wadah seharusnya bersih dan rata
untuk menghindari luka lecet atau gesekan. Pengumpulan atau penumpukan
komoditi panenan sudah pasti terjadi dan sering menyebabkan kemungkinan
kerusakan yang cukup besar. Biasanya panen dilakukan sekaligus terhadap
sayuran yang ada di lapang produksi. Penempatan pada wadah selama
pengumpulan hasil panen lainnya merupakan teknik yang baik digunakan untuk
mengurangi kerusakan. Oleh karena itu, penyediaan wadah yang cukup banyak
sangat diperlukan. Persentase kerusakan yang lebih tinggi terjadi pada komoditi
panenan yang dikumpulkan secara menumpuk di pinggir lapang produksi,
dibandingkan dengan komoditi panenan yang ditempatkan dalam wadah tanpa
membongkar muat kembali. Penempatan komoditi dalam wadah juga untuk
menghindarkan hasil panen dari kehilangan karena susut tercecer saat
pengangkutan.
Transportasi sudah pasti diperlukan terutama bagi lokasi lapang produksi yang
jauh dengan tempat penanganan selanjutnya. Seperti halnya pada komoditi sayur-
sayuran, terdapat beberapa hal yang dapat dan perlu dilakukan untuk menghindari
kerugian yang lebih besar pada aspek pengangkutan (transportasi). Hal-hal
tersebut antara lain menghindari menggunakan alat pengangkut yang terlalu jauh
antara tempat panenan ke tempat pengangkutan, pengawasan terhadap
penanganan yang kasar pada saat menaikkan dan menurunkan wadah komoditi
panenan, mengurangi kecepatan alat pengangkut untuk menghindari besarnya
goncangan, dan menjaga kebersihan permukaan wadah (Suhardi 1992).

5. Pengendalian Suhu
Komoditi panenan sayur yang dibiarkan terkena sinar matahari langsung dapat
menjadi panas hingga beberapa derajat di atas suhu yang aman bagi komoditi
sayur. Kenaikan suhu tersebut bergantung pada warna dan tekstur permukaan
sayur. Pengendalian suhu di lapang meliputi penanganan komoditi dari terpaan
sinar matahari langsung maupun pra-pendinginan (pendinginan awal). Sayur yang
telah berada dalam wadah sebaiknya juga tidak terkena langsung sinar matahari,
karena akan menyebabkan fenomena panas yang buruk di dalam wadah tersebut.
Sebaiknya panas dalam wadah yang telah berisi sayur diupayakan konstan atau
stabil.

Penanganan Pascapanen

Penanganan sayuran dilakukan untuk tujuan penyimpanan, transportasi dan


kemudian pemasaran. Seperti halnya pada buah, langkah yang harus dilakukan
dalam penanganan sayur setelah dipanen meliputi pemilihan (sorting), pemisahan
berdasarkan ukuran (sizing), pemilihan berdasarkan mutu (grading), dan
pengemasan (packing). Namun demikian, untuk beberapa komoditi atau jenis
sayur tertentu memerlukan tambahan penanganan seperti pencucian, penggunaan
bahan kimia, pelapisan (coating – waxing), pendinginan awal (pre-cooling),
pengikatan (bunching), dan pemotongan bagian-bagian yang tidak penting
(trimming).

1. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada
produk. Menurut Peleg (1985), pencucian ada dua macam yaitu pencucian basah
dan pencucian kering. Pencucian basah dilakukan dengan perendaman,
penghilangan kotoran, dan pestisida dengan air. Pencucian kering dilakukan
dengan cara membersihkan permukaan kulit komoditas dari kotoran tetapi tidak
dapat membersihkan residu bahan kimia dan kotoran yang tersembunyi.

2. Sorting
Setelah pencucian, proses selanjutnya adalah pemilahan. Pemilahan terhadap
sayur dilakukan untuk memisahkan sayur-sayur yang berbeda tingkat
kematangan, berbeda bentuk (mallformation), dan juga berbeda warna maupun
tanda-tanda lainnya yang merugikan (cacat) seperti luka, lecet, dan adanya infeksi
penyakit maupun luka akibat hama.

3. Sizing
Pengukuran sayur (sizing) dimaksudkan untuk memilah sayur berdasarkan
ukuran, berat atau dimensi terhadap sayur-sayur yang telah dipilih. Proses
pengukuran sayur dapat dilakukan secara manual maupun mekanik.

4. Grading
Pada tahap ini, sayur dipilah berdasarkan tingkatan kualitas pasar (grade).
Tingkatan kualitas yang dimaksud adalah kualitas yang telah ditetapkan sebagai
patokan penilaian ataupun ditetapkan sendiri oleh produsen. Pemilihan kualitas
sayuran dapat berdasarkan ukuran, bentuk, kondisi, dan tingkat kemasakan. Tahap
ini tentunya sangat penting bagi sayuran yang ditujukan untuk pasar segar. Namun
tahap ini tidak perlu dilakukan jika sayuran ditujukan untuk proses pengolahan.

5. Trimming, Waxing, Coating, dan Curing


Trimming diartikan sebagai pemotongan bagian-bagian sayur yang tidak
dikehendaki karena mengganggu penampilannya. Bagian yang dipotong tersebut
biasanya perakaran dan daun-daun tua ataupun kering seperti pada lobak, wortel,
bayam, seledri, dan selada. Curing merupakan tindakan penyembuhan luka pada
komoditi panenan. Luka dapat disebabkan karena pemotongan maupun luka
goresan dan benturan saat panen. Curing sering diterapkan pada sayuran seperti
bawang-bawangan dan kentang, yaitu dengan cara membiarkan komoditi terkena
sinar matahari sejenak setelah panen atau dengan perlakuan pemanasan dengan
menggunakan uap secara terkendali.
Waxing atau coating merupakan perlakuan kimia untuk melindungi komoditi
dari kerusakan fisik, mekanik, mikrobiologis, dan karena perubahan fisik. Waxing
atau coating adalah pelapisan permukaan sayuran agar menambah baik
penampilannya. Pelapisan dimaksudkan untuk melapisi permukaan sayur dengan
bahan yang dapat menekan laju respirasi maupun menekan laju transpirasi sayur
selama penyimpanan atau pemasaran. Pelapisan juga bertujuan untuk menambah
perlindungan bagi sayur terhadap pengaruh luar. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa pelapisan dapat memperpanjang masa simpan dan menjaga
produk segar dari kerusakan seperti pada tomat, timun, cabe besar, dan terong.
Pelilinan (waxing) merupakan salah satu pelapisan pada sayur untuk menambah
lapisan lilin alami yang biasanya hilang saat pencucian, dan juga untuk menambah
kilap sayur. Keuntungan lain pelilinan adalah menutup luka yang ada pada
permukaan sayuran.
Pelilinan atau pelapisan digunakan untuk memperpanjang masa segar komoditi
sayur atau memperpanjang daya tahan simpan sayur bilamana fasilitas
pendinginan (ruang simpan dingin) tidak tersedia. Namun perlu diingat bahwa
tidak semua komoditi sayur memiliki respon yang baik terhadap pelilinan. Faktor
kritis pelilinan sayur adalah tingkat ketebalan lapisan lilin. Terlalu tipisnya lapisan
lilin yang terbentuk di permukaan sayur membuat pelilinan tidak efektif, namun
bila pelapisan terlalu tebal akan menyebabkan kebusukan sayur. Beberapa macam
lilin yang digunakan dalam upaya memperpanjang masa simpan dan kesegaran
sayur adalah lilin tebu (sugarcane wax), lilin karnauba (carnauba wax), lilin lebah
madu (bees wax) dan sebagainya. Salah satu jenis pelapis lainnya yang
dikembangkan selain pelapis lilin adalah khitosan, yaitu polisakarida yang berasal
dari limbah kulit udang-udangan (Crustaceae), kepiting dan rajungan (Crab).
Teknik aplikasi penggunaan lilin atau pelapisan pada sayur dapat dilakukan
dengan mencelupkan sayur dalam larutan (dipping), pembusaan (foaming),
penyemprotan (spraying), dan pengolesan atau penyikatan (brushing). Tentunya
jenis sayur yang berbeda memerlukan teknik pelilinan yang berbeda (Endry
2012).

6. Pre-Cooling
Pre-cooling adalah perlakuan pendahuluan untuk mengurangi panas lapang
pada komoditi pascapanen. Tujuan dari pre-cooling adalah mengurangi panas
lapang, menghambat respirasi, menghambat transpirasi, mempertahankan sayur
dari pelayuan dan pengkriputan, dan memudahkan perlakuan pendinginan.

7. Pengemasan
Pengemasan adalah pemberian wadah yang cocok kepada komoditi sehingga
terlindung dari kerusakan fisik, mekanis, kimiawi, fisiologis, dan biologis. Tujuan
dari pengemasan adalah melindungi dari kerusakan, melindungi dari kehilangan
air karena transpirasi, menghindarkan dari komoditi tercecer atau hilang,
mempermudah pengangkutan, mempermudah penyusunan baik dalam
pengangkutan atau penyimpanan, dan mempermudah penghitungan.
Keuntungan dari pengemasan adalah lebih efisien dalam pengangkutan atau
pemasaran, memungkinkan penggunaan teknologi pengemasan dengan modifikasi
atmosfer, bersih, rapi, dan memenuhi syarat kesehatan, pelayanan penjualan yang
lebih baik pada konsumen, mengurangi biaya pengangkutan, dan memungkinkan
cara pengangkutan baru. Adapun jenis bahan dan bentuk kemasan adalah sebagai
berikut.
A. Kemasan langsung (primer), langsung berhubungan dengan komoditi hasil
panen yang dikemas seperti karung, plastik film, kertas, daun.
B. Tidak langsung (sekunder), untuk melindungi hasil panen yang tidak
bersentuhan langsung, bertujuan untuk melindungi dari kerusakan fisik,
mekanik, mempermudah penyimpanan, dan distribusi. Contohnya adalah
peti kayu, peti plastik, peti karton, keranjang bambu.

8. Penyimpanan
Komoditi sayur yang dipasarkan harus masih dalam kondisi segar, sehingga
teknik penyimpanan merupakan suatu faktor yang kritis untuk dipertimbangkan.
Tujuan penyimpanan adalah menunggu untuk dipasarkan, mendapatkan harga jual
yang tinggi, persediaan konsumsi, keperluan benih, dan keadaan mendesak.
Menurut Tranggono dan Sutardi (1996), contoh jenis penyimpanan sayuran terdiri
dari :
1. Penyimpanan suhu dingin
Penyimpanan suhu dingin adalah untuk menentukan kapasitas suhu yang
meliputi panas jenis bahan yang disimpan, satuan kapasitas alat atau ton
refrigerasi, panas lapang atau panas sensibel, panas vital atau panas yang
dihasilkan pada saat buah dan sayur berespirasi, serta beban lainnya, seperti
transmisi gedung, pergantian udara, lampu, kipas, pekerja, dan forklift.
Kemudian ada faktor penting yang mempengaruhi bahan yang disimpan pada
suhu dingin yang meliputi mutu bahan seperti tingkat kematangan atau bebas
dari kerusakan, perlakuan pre-cooling, kelembaban nisbi atau RH, sirkulasi
udara, dan perkembangan kalor atau panas. Teknik penyimpanan suhu dingin
ada beberapa macam yaitu pendinginan ruang, pendinginan tekanan udara,
pendinginan menggunakan air, pendinginan vacum, dan pendinginan
menggunakan es batu.

2. Penyimpanan dengan pengendalian atmosfer


Penyimpanan dengan pengendalian atmosfer adalah teknik penyimpanan
dimana atmosfer di sekeliling produk diatur konsentrasinya. Konsentrasi CO 2
dinaikkan dan O2 diturunkan yang disertai pengontrolan udara di sekeliling
produk secara terus-menerus dengan perlatan khusus. Konsentrasi gas CO2, O2,
N2 diatur melalui filter khusus dan dibantu dengan generator khusus, scrubbers
dan generator gas. Kelebihan pada teknik ini yaitu dapat mengetahui pola
respirasi produk yang dikemas karena konsentrasi gas di sekeliling produk
dapat terus dikontrol dan dipantau.

3. Penyimpanan dengan modifikasi atmosfer


Penyimpanan dengan modifikasi atmosfer adalah penyimpanan dimana
konsentrasi O2 lebih rendah dan tingkat CO2 lebih tinggi, bila dibandingkan
dengan udara normal, dan dapat dicapai dengan pengaturan kemasan. Terdapat
dua jenis teknik modifikasi atmosfer, yakni modifikasi atmosfer pasif dan aktif.
Modifikasi atmosfer pasif yaitu keseimbangan gas CO2 dan O2 diperoleh
melalui pertukaran udara dalam kemasan melalui kemasan yang digunakan
(hanya mengandalkan permeabilitas dari kemasan). Modifikasi atmosfer aktif
yaitu udara dalam kemasan awalnya dikontrol dengan menarik semua udara
dalam kemasan, lalu diisi kembali dengan udara dan konsentrasi yang telah
diatur menggunakan alat hingga kesetimbangan langsung tercapai.
Konsentrasi oksigen rendah mempengaruhi respirasi dan oksidasi substrat
menurun, pematangan tertunda, umur komoditi yang disimpan jadi lebih lama,
perombakan klorofil tertunda, produksi etilen rendah, laju pembentukan asam
askorbat berkurang, perbandingan asam-asam lemak tidak jenuh berubah, dan
laju degradasi senyawa pektin tidak secepat seperti dalam udara normal.
Kandungan karbondioksida dalam sel yang tinggi mengarah pada perubahan
fisiologis seperti penurunan rekasi sintesis pematangan, misalnya protein dan
zat warna, penghambatan beberapa jenis enzim, penurunan produksi zat atsiri,
gangguan metabolisme asam organik, kelambatan pemecahan senyawa pektin,
penghambatan sintesa klorofil, dan perubahan perbandingan berbagai gula.

4. Penyimpanan Hipobarik
Penyimpanan hipobarik adalah pengaturan tekanan di sekeliling produk
yang disimpan, dimana tekanan tersebut lebih rendah dari tekanan atmosfer
normal. Efek dari penyimpanan hipobarik adalah suplai oksigen untuk produksi
menurun dan mengakibatkan penurunan kecepatan respirasi serta mengalami
penurunan produksi etilen dan gas lain yang dihasilkan produk dikeluarkan
dengan menghampakan ruangan, akibat pematangan dan proses penuaan
terhambat.

Pemasaran

Kegiatan produksi sayuran komersial yang segar dan bermutu tinggi dengan
harga yang layak dan keuntungan yang memadai memerlukan penanganan yang
baik mulai dari perencanaan tanam hingga pemasarannya ke konsumen. Beberapa
jenis pasar yang digunakan untuk menyalurkan produk sayuran yaitu pasar umum,
pasar induk, pasar swalayan, pasar khusus (hotel, rumah sakit, restoran, industri,
usaha katering), pasar ekspor, dan koperasi (Rahardi 2001). Terdapat dua macam
sistem pembayaran yang umumnya dilakukan oleh supermarket, yaitu sebagai
berikut.

1. Sistem putus yaitu suatu sistem pembayaran di mana supermarket membayar


semua sayuran yang sudah dipesannya, sehingga apapun yang terjadi pada
sayuran tersebut baik laku atau tidak laku menjadi resiko yang harus
ditanggung oleh supermarket yang bersangkutan.
2. Sistem konsinyasi yaitu suatu sistem pembayaran di mana supermarket hanya
membayar sebanyak sayuran yang laku terjual, sedangkan sayuran yang tidak
laku akan dikembalikan. Sistem pembayaran putus biasanya lebih banyak
diterapkan oleh supermarket besar, hotel, dan restoran yaitu sekitar 80 persen.
Sedangkan untuk sistem konsinyasi lebih banyak diterapkan oleh supermarket
kecil dengan alasan tidak mau menanggung resiko.
PEMBAHASAN

Manajemen Rantai Pasok

Eltram (1991) mendefinisikan Manajemen Rantai Pasok (MRP) sebagai


pendekatan integratif dalam menangani masalah perencanaan dan pengawasan
aliran material dari pemasok sampai ke pengguna akhir. Pendekatan ini ditujukan
untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran distribusi secara kooperatif
untuk kepentingan semua pihak yang terlibat dan untuk mengefesiensikan
penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan konsumen rantai
pasok. Penggunaan istilah rantai dalam MRP benar-benar menunjukkan sebuah
jaringan kerja perusahaan-perusahaan yang saling berinteraksi untuk
mengantarkan produk/jasa ke konsumen akhir, mengaitkan aliran bahan mentah
sampai penyampaian akhir.
Sejarah perkembangan MRP tidak terlepas dari perkembangan manajemen
logistik di tahun 1960-1975 yang dikenal sebagai push era. Pada dekade tersebut
perusahaan membanjiri pasar dengan berbagai produk. Oleh karena persaingan
belum tinggi, maka apapun yang dilempar ke pasar dapat terjual. Sejak sekitar
tahun 70-an, terjadi perubahan dimana persaingan menjadi semakin ketat yang
mengakibatkan pasar lebih menentukan dibandingkan menjadi produksi. MRP
sendiri secara konsep sudah lama dikemukakan, namun mulai sukses dipakai pada
akhir 80-an ketika banyak perusahaan terdesak untuk menerapkan sistem logistik
yang terintegrasi (Said 2006).
Rantai pasok terdiri dari seluruh organisasi yang terlibat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Rantai
pasok tidak hanya meliputi perusahaan dan pemasok, tetapi juga transportasi,
penggudangan, distributor, dan konsumen itu sendiri. Tujuan utama dari rantai
pasok adalah memuaskan kebutuhan pelanggan, bagi perusahaan adalah untuk
mendapatkan keuntungan. Aktivitas rantai pasok dimulai dari permintaan
konsumen dan berakhir ketika pelanggan atau konsumen telah terpuaskan (Chopra
dan Meindle 2004).
MRP merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk
mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya
secara efesien sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas
yang tepat, tempat dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya dan
memuaskan pelanggan. MRP bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi
efesien dan efektif, minimasi biaya dari transportasi dan distribusi sampai
inventori bahan baku, bahan dalam proses, dan barang jadi. Ada beberapa pemain
utama yang memiliki kepentingan dalam rantai pasok yaitu pemasok, perusahaan,
distributor, ritel, dan konsumen (Simchi-Levi et al 2003).
Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), hubungan organisasi dalam
rantai pasok adalah sebagai berikut:
1. Rantai 1 adalah pemasok. Jaringan bermula dari sini, yang merupakan sumber
penyedia bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai.
Bahan pertama ini bisa berbentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong,
bahan dagangan, dan suku cadang. Pemasok dapat berjumlah banyak ataupun
sedikit.
2. Rantai 1 – 2 adalah pemasok → perusahaan. Perusahaan yang melakukan
pekerjaan membuat, memfabrikasi, mengumpulkan, merakit,
mengkonversikan, ataupun menyelesaikan barang. Hubungan dengan mata
rantai pertama ini sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan.
Misalnya, inventori bahan baku, bahan setengah jadi, dan bahan jadi yang
berada di pihak pemasok, manufaktur, dan tempat transit merupakan target
penghematan ini. Penghematan sebesar 40-60%, bahkan lebih dapat diperoleh
dengan menggunakan konsep supplier partnering.
3. Rantai 1 – 2 – 3 adalah pemasok → perusahaan → distributor. Barang yang
sudah jadi dari perusahaan disalurkan kepada pelanggan. Walaupun tersedia
banyak cara untuk menyalurkan barang kepada pelanggan, yang umum adalah
melalui distributor dan ini biasanya ditempuh dengan rantai pasokan. Barang
dari pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor atau pedagang
besar dalam jumlah besar dan pada waktunya nanti pedagang besar
menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil kepada pengecer.
4. Rantai 1 – 2 – 3 – 4 adalah pemasok → perusahaan → distributor → ritel.
Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat juga
menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang
sebelum disalurkan lagi ke pihak pengecer. Pada rantai ini bisa dilakukan
penghematan dalam bentuk inventori dan biaya gudang, dengan cara
melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari gudang
manufaktur maupun ke toko pengecer.
5. Rantai 1 – 2 – 3 – 4 – 5 adalah pemasok → perusahaan → distributor → ritel
→ pelanggan. Pengecer menawarkan barangnya kepada pelanggan atau
pembeli. Mata rantai pasokan baru benar-benar berhenti ketika barang tiba
pada pemakai yang akan mengkonsumsinya.
Menurut Bowon (2005), terdapat permasalahan rumit dalam pengembangan
rantai pasok yang efesien dan terintegrasi. Permsalahan pertama adalah lot besar
yang cenderung mengurangi biaya per unit. Manajer logistik ingin mengirimkan
lot dalam jumlah besar, sedangkan manajer produksi ingin produksi berjalan
jangka panjang. Dampak dari kedua hal ini adalah penurunan biaya per unit
namun gagal menunjukkan penjualan yang nyata. Permasalahan kedua adalah
optimasi lokal. Anggota rantai pasok harus memusatkan perhatian untuk
memaksimalkan keuntungan lokal atau meminimalkan biaya langsung
berdasarkan pada pengetahuan mereka yang terbatas. Sedikit kenaikan permintaan
biasanya diatasi secara berlebihan karena tidak ada seorang pun yang ingin
mengalami kekosongan persediaan. Sama halnya ketika sedikit penurunan
permintaan yang biasanya diatasi secara berlebihan karena tidak ada seorang pun
yang ingin memiliki persediaan berlebihan. Akibatnya proses distribusi terkadang
tidak berjalan dengan baik dan efesien.
Sebuah sistem rantai pasok yang berfungsi dengan baik perlu didasarkan
pada informasi yang akurat tentang berapa banyak produk yang sebenarnya
sedang ditarik melalui rantai tersebut. Informasi yang tidak akurat akan
mengakibatkan penyimpangan, fluktuasi dalam rantai pasok, dan menjadi
penyebab efek bullwhip. Efek bullwhip yaitu efek yang terjadi ketika pesanan
dialirkan mulai dari pengecer, grosir, dan produsen dengan fluktuasi yang
meningkat di setiap langkah dalam urutan rantai pasok. Fluktuasi ini
meningkatkan biaya yang terkait dengan persediaan, transportasi, pengiriman, dan
penerimaan. Akibatnya, fluktuasi ini menurunkan keuntungan dan pelayanan bagi
pelanggan (Tunggal 2009).
Keunggulan kompetitif dari MRP adalah bagaimana ia mampu mengelola
aliran barang atau produk dalam suatu rantai pasokan. Dengan kata lain, model
MRP mengaplikasikan bagaimana suatu jaringan kegiatan produksi dan distribusi
dari suatu perusahaan dapat bekerja bersama-sama untuk memenuhi tuntutan
konsumen. Tujuan utama MRP adalah penyerahan/pengiriman produk secara
tepat waktu demi memuaskan konsumen, mengurangi biaya, meningkatkan segala
hasil dari seluruh rantai pasok (bukan hanya satu perusahaan), mengurangi waktu,
memusatkan kegiatan perencanaan dan distribusi.
Menurut Chopra dan Meindle (2004), sebuah tipe rantai pasok dapat
melibatkan beragam tahap. Pada umumnya, tahap-tahap rantai pasok meliputi:
1. Customers (konsumen)
2. Retailers (toko-toko ritel)
3. Wholesalers / distributors (pedagang besar / distributor)
4. Manufactures (perusahaan manufaktur)
5. Component / raw materials suppliers (pemasok komponen / bahan baku)

Struktur Rantai Pasok Sayuran Hidroponik

Pelaksanaan MRP meliputi pengenalan anggota rantai pasok, dengan siapa


berhubungan, proses apa yang perlu dihubungkan dengan tiap anggota inti, dan
jenis penggabungan apa yang diterapkan pada tiap proses hubungan tersebut.
Tujuannya adalah untuk memaksimalkan persaingan dan keuntungan bagi
perusahaan dan seluruh anggotanya, termasuk pelanggan akhir.
Anggota rantai pasok meliputi semua perusahaan dan organisasi yang
berhubungan dengan perusahaan inti, baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui pemasok dan pelanggannya dari point of origin hingga point
consumption. Primary members (anggota primer) adalah semua perusahaan atau
unit bisnis strategi yang benar-benar menjalankan aktivitas operasional dan
manajerial dalam proses bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran
tertentu bagi pelanggan atau pasar. Secondary members (anggota sekunder) adalah
perusahaan-perusahaan yang menyediakan sumberdaya, pengetahuan, utilitas atau
aset-aset bagi anggota primer. Melalui definisi anggota primer dan anggota
sekunder diperoleh pengertian the point of origin dari supply chain adalah titik
dimana tidak ada pemasok primernya. Semua pemasok adalah anggota sekunder,
sedangkan the point consumption adalah titik dimana tidak ada pelanggan utama
(Miranda dan Tunggal 2005).
Adapun yang termasuk anggota primer dalam rantai pasok produk sayur
hidroponik yang melibatkan PT. Parung Farm, antara lain:

1. Pemasok
PT. Parung Farm dalam menjalankan operasi bisnisnya didukung oleh berbagai
macam pemasok yang menyediakan bahan baku untuk proses produksi sayuran
hidroponik. Adapun bahan baku yang dimaksud adalah benih, rockwool, batu
screening, dan pupuk. Semua bahan baku tersebut merupakan komponen esensial
yang sangat berpengaruh dalam proses produksi sayuran hidroponik. Oleh karena
itu, ketersedian bahan baku merupakan aspek penting bagi PT. Parung Farm
dalam menjalankan operasi bisnisnya. Dalam hal tersebut, PT. Parung Farm
menerapkan sistem investasi pada bahan baku, dimana pembelian bahan baku
dilakukan dalam jumlah besar dengan tujuan sebagai cadangan persediaan untuk
jangka panjang karena produk sayuran sangat dipengaruhi oleh iklim dan
terkadang iklim berlangsung secara tidak menentu.
Pemasok bahan baku menjadi aktor penting dalam keberlangsungan bisnis
sayur hidroponik PT. Parung Farm. Semua kebutuhan bahan baku untuk produksi
diperoleh dari pemasok. Oleh karena itu, hubungan kerja sama yang baik perlu
dilakukan secara kontinyu demi keberlangsungan bisnis pihak-pihak terkait.
Hubungan kerja sama yang dimaksud dapat berjalan secara terikat atau tidak
terikat. Salah satu contoh hubungan kerja sama terikat yaitu dengan pemberlakuan
sistem kontrak dengan pemasok. Sementara itu, kerja sama tidak terikat dilakukan
dengan pemesanan (order) secara langsung tanpa terikat kesepakatan tertentu
sebelumnya. Semua bahan baku yang dibutuhkan PT. Parung Farm dipesan secara
langsung kepada pemasok secara berkala, yakni setiap satu bulan sekali. Khusus
untuk batu screening, pemesanan dilakukan apabila persediaan sudah habis atau
rusak. Hal itu karena batu screening yang telah digunakan pada proses produksi
akan dibersihkan dan dicuci untuk kemudian digunakan kembali pada proses
produksi selanjutnya. Berbeda dengan benih, rockwool, dan pupuk yang pasti
akan selalu habis pakai setiap kali produksi dilakukan sehingga jumlah
persediaannya pun akan selalu berkurang.
Benih sayur hidroponik yang digunakan PT. Parung Farm diperoleh dari PT.
East West Seed Indonesia yang berlokasi di Purwakarta, Jawa Barat. Benih yang
digunakan mempunyai merk dagang Cap Panah Merah. Bahan baku rockwool
diperoleh dari PT. Nichias Rockwool Indonesia yang juga berlokasi di
Purwakarta, Jawa Barat. Bahan baku lain, seperti pupuk dan batu screening
diperoleh dari pemasok di sekitar wilayah Bogor. Pemasok pupuk yaitu PT. Amris
Andalas Putra yang berlokasi di Ciawi, Bogor, sedangkan pemasok batu screening
merupakan pedangang lokal di daerah Gunung Rumping, Kabupaten Bogor.

2. Perusahaan
Pemasok sebagai mata rantai pertama dihubungkan dengan manufacturer atau
assembler atau fabricator atau bentuk lain yang melakukan pekerjaan membuat,
memfabrikasi, meng-asembling, merakit, mengkonversikan, atau menyelesaikan
barang (finishing). Setelah pasokan bahan baku diperoleh, PT. Parung Farm,
dalam hal ini bertindak sebagai perusahaan yang akan mengkonversikan bahan
baku menjadi produk sayur hidroponik. Semua unit yang terdapat pada PT.
Parung Farm berperan penting dalam keberhasilan proses produksi sayur
hidroponik. Alur proses produksi dimulai dari Unit Pemesanan yang menerima
pemesanan produk sayur hidroponik setiap harinya. Jumlah pemesanan yang
diperoleh nantinya akan dijadikan target pemanenan yang harus dipenuhi hari itu
juga. Informasi pemesanan yang diperoleh akan diteruskan kepada Unit Produksi.
Hasil panen kemudian diserahkan kepada Unit Pascapanen untuk diproses lebih
lanjut hingga menjadi produk akhir siap kemas dan siap jual. Produk kemudian
didistribusikan kepada distributor sesuai jumlah pemesanan. Adapun kelebihan
produk yang dihasilkan akan dijual sendiri oleh PT. Parung Farm melalui Unit
Penjualannya.
3. Distributor dan Konsumen
Produk yang dihasilkan oleh perusahaan dapat mulai disalurkan kepada
pelanggan. Pada umumnya penyaluran produk dilakukan melalui distributor dan
hal ini ditempuh oleh sebagian besar rantai pasokan. Produk yang dihasilkan
perusahaan akan disalurkan ke gudang distributor atau wholesaler atau pedagang
besar dalam jumlah besar, dan akhirnya pedagang besar akan menyalurkan dalam
jumlah yang lebih kecil kepada retailers atau pengecer. Pengecer akan
menawarkan produk secara langsung kepada konsumen yang membutuhkan.
Pihak yang termasuk pengecer antara lain toko, warung, toko serba ada, pasar
swalayan, toko koperasi, mall, clubstore, dan sebagainya dimana konsumen akhir
melakukan pembelian. Mata rantai pasokan baru benar-benar berhenti setelah
produk tiba di pemakai sebenarnya.
Dalam operasi bisnisnya, PT. Parung Farm memiliki distributor tertentu yang
dipercayakan untuk menyalurkan produk sayur hidroponiknya. Pada umumnya,
distributor yang dimaksud merupakan supermarket atau hypermarket yang
memiliki banyak cabang di kota-kota besar Indonesia. Distributor tersebut antara
lain, HERO, Carrefour, Giant, Matahari, dan Lottemart. Terdapat dua sistem kerja
sama yang diterapkan antara distributor dengan PT. Parung Farm, yaitu sistem
kontrak dan tidak. Adapun sistem kontrak yang dimaksud adalah distributor
memiliki jumlah pemesanan produk yang tetap setiap harinya dan harus dipenuhi
oleh PT. Parung Farm. Meskipun demikian pada praktiknya, karena produk yang
ditawarkan PT. Parung Farm merupakan produk sayuran yang produksinya sangat
dipengaruhi oleh iklim / cuaca, maka sistem kontrak tersebut bersifat tentatif.
Satu-satunya syarat khusus yang harus dipenuhi PT. Parung Farm, yaitu produk
yang dihasilkan harus alami bebas pestisida.

Perusahaan-perusahaan yang tidak secara langsung terlibat dengan kegiatan


produksi tetapi mempunyai fungsi menyediakan sumber daya, pengetahuan,
utilitas atau aset-aset bagi anggota primer dalam kegiatan rantai pasokan
merupakan anggota sekunder dari rantai pasok. Adapun anggota sekunder pada
rantai pasok sayuran hidroponik antara lain pemasok styrofoam dan kemasan.
Styrofoam yang digunakan PT. Parung Farm diperoleh dari pedagang lokal yang
berada di wilayah Ciputat, Tangerang Selatan. Sementara itu, kemasan diperoleh
dari perusahaan kemasan dan percetakan yang berlokasi di sekitar Kabupaten
Bogor. Pemesanan styrofoam bersifat tentatif sesuai kebutuhan dan kondisi di
lapangan. Hal itu karena styrofoam dapat digunakan berulang kali dengan cara
dicuci dan dibersihkan setelah proses produksi selesai dilakukan. Adapun
kemasan dipesan secara berkala setiap satu bulan sekali untuk dijadikan cadangan
persediaan.

Pola Aliran Rantai Pasok Sayuran Hidroponik

Pola aliran rantai pasok adalah pola yang terbentuk dari kegiatan bisnis
dalam rantai pasok, yaitu dimulai dari pengadaan bahan baku, pengolahan,
pendistribusian, hingga pemakaian oleh konsumen akhir. Pola aliran rantai pasok
yang terbentuk untuk setiap produk berbeda-beda tergantung dari banyaknya
pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis serta jenis produk itu sendiri. Menurut
Pujawan (2005), terdapat tiga macam aliran rantai pasok yang harus dikelola.
Pertama adalah aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir
(downstream). Kedua adalah aliran informasi uang yang mengalir dari hilir ke
hulu atau sebaliknya. Ketiga adalah aliran informasi yang mengalir dari hulu ke
hilir ataupun sebaliknya. Model aliran rantai pasok sayuran hidroponik yang
melibatkan pemasok bahan baku, PT. Parung Farm, serta distributor dan
konsumen dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.

PT. East West Seed PT. Nichias PT. Amris Andalas


Indonesia Rockwool Indonesia Putra

PT. Parung Farm

Distributor
(HERO, Giant,
Careefour, Lottemart)

Konsumen Akhir

Keterangan:
: Aliran Barang : Aliran Informasi
: Aliran Uang
Gambar 14. Model Aliran Rantai Pasok Sayuran Hidroponik

Aliran rantai pasok sayuran hidroponik berawal dari adanya permintaan


pasar terhadap produk sayuran yang sangat besar. Kebutuhan yang amat besar ini
tentu tidak dapat dipenuhi sepenuhnya oleh produsen sayuran yang masih
mengandalkan pertanian sistem konvensional. Oleh sebab itu, sayuran hasil sistem
kultur hidroponik merupakan produk alternatif sejenis yang memiliki kualitas
lebih baik dibanding produk sayuran hasil sistem pertanian konvensional. Selain
itu, adanya produk sayuran hidroponik di pasaran juga ikut memenuhi permintaan
konsumen yang amat besar terhadap produk ini.
Permintaan pasar / konsumen akan produk sayuran dapat diwakilkan
melalui distributor dan informasi tersebut diteruskan kepada pihak perusahaan,
dalam hal ini PT. Parung Farm. PT. Parung Farm yang bertindak sebagai
produsen sayur hidroponik akan memproses informasi tersebut dan merencanakan
proses produksi sayur hidroponik. Perencanaan yang dimaksud dapat berupa
semua kebutuhan bahan baku, jadwal tanam dan panen, jadwal distribusi, dan
lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, PT. Parung Farm akan
menginfromasikan kepada pihak pemasok agar dapat memenuhi semua kebutuhan
bahan baku sesuai yang diinginkan. Proses aliran informasi pada pola aliran rantai
pasok sayuran hidroponik dapat dilihat mulai dari konsumen / distributor yang
diteruskan kepada perusahaan (PT. Parung Farm), dan berakhir di pihak pemasok
sebagai penyedia kebutuhan bahan baku.
Aliran infromasi yang terus berjalan antara konsumen, perusahaan, dan
pemasok, nantinya akan diproses dan pada akhirnya menghasilkan output berupa
barang / produk sesuai infromasi yang diolah. Aliran barang akan berawal dari
pihak pemasok yang menyediakan bahan baku bagi perusahaan. Setelah suplai
bahan baku terpenuhi, barulah proses produksi sayuran hidroponik dapat berjalan.
Tentunya proses produksi akan berjalan dengan menyesuaikan permintaan pasar /
konsumen. Produk sayur organik yang sudah siap jual nantinya akan diserahkan
kepada pihak distributor untuk dipasarkan, sampai pada akhirnya produk tersebut
tiba pada konsumen akhir. Aliran barang terlihat berawal dari pemasok ke
perusahaan, diteruskan ke pihak distributor dan sampai ke konsumen akhir. Perlu
diketahui bahwa aliran barang yang terjadi akan mengikuti informasi yang
diterima oleh masing-masing pihak terkait. Oleh sebab itu, informasi merupakan
aspek penting dalam kegiatan rantai pasok dalam bidang apapun.
Aliran informasi dan aliran barang tidak akan dapat berjalan dengan baik
apabila tidak didukung oleh alat penggerak kegiatan ekonomi, yakni uang.
Adanya permintaan pasar terhadap suatu produk tertentu dapat didasari oleh
kebutuhan, baik kebutuhan biologis maupun psikologis, dan karena konsumen
memiliki uang. Uang dapat menggerakkan roda perekonomian, dan oleh sebab itu
pola aliran uang perlu dicermati dalam suatu kegiatan rantai pasok. Aliran uang
akan bermula dari pihak perusahaan sebagai produsen sayur hidroponik karena
tentu diperlukan modal untuk melakukan kegiatan produksi. Uang akan disertakan
bersama informasi yang diteruskan kepada pihak pemasok bahan baku sehingga
barang (bahan baku) yang nantinya akan diterima oleh perusahaan akan tepat
sesuai dengan informasi yang disertakan sebelumnya. Begitupun yang terjadi
antar pihak perusahaan dengan distributor. Barang berupa produk sayuran akan
diserahkan kepada pihak distributor sesuai dengan informasi yang diproses oleh
pihak perusahaan. Sebagai gantinya, pihak distributor akan menyerahkan uang
kepada pihak perusahaan sebagai tanda kegiatan jual-beli sudah berakhir. Hal ini
akan terus berulang hingga akhirnya produk sayuran organik sampai kepada
konsumen akhir.

Identifikasi Masalah Anggota Rantai Pasok

Dalam perkembangannya, tidak dapat dipungkiri bahwa agroindustri masih


dihadapkan pada beberapa kendala yang berpotensi menghambat kegiatan
perekonomian. Iklim dan musim, serta lemahnya keterkaitan industri hulu dan
hilir masih menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
agroindustri. Lemahnya keterkaitan antara subsistem di dalam agroindustri
menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan. Keterkaitan antar subsistem
dapat dibangun melalui suatu pendekatan yang mampu mengintegrasikan
keseluruhan subsistem dari hulu hingga ke hilir. Menurut King dan Venturini
(2005), pengelolaan rantai pasok menjadi solusi untuk mengatasi lemahnya
keterkaitan antara subsisitem agribisnis pada agroindustri.
PT. Parung Farm sebagai salah satu produsen sayuran hidroponik dalam
operasi bisnisnya masih mengalami beberapa kendala yang mengakibatkan
terganggunya proses produksi. Hal ini menyebabkan menurunnya hasil produksi
sehingga tidak dapat memenuhi permintaan pasar terhadap produk sayuran
hidroponik. Kendala yang dimaksud dapat berasal dari setiap anggota rantai pasok
sayuran hidroponik, baik itu pemasok, perusahaan, ataupun distributor. Beberapa
kendala yang dihadapi justru kebanyakan berasal dari pihak perusahaan, dalam hal
ini yaitu PT. Parung Farm itu sendiri. Adapun kendala yang dialami PT. Parung
Farm antara lain, pemeliharaan inventori yang kurang baik, sistem tanam yang
terkadang kurang tepat, serta cuaca yang tak menentu, dalam hal ini yaitu curah
hujan yang tinggi.
Dalam memenuhi kebutuhan bahan baku dan bahan penolong, hingga saat
ini PT. Parung Farm telah melakukan tindakan antisipasi dari kemungkinan
kekurangan bahan-bahan tersebut dengan cukup baik. Sistem pemesanan bahan-
bahan secara berkala setiap satu bulan sekali dalam jumlah besar terbukti telah
menyelamatkan PT. Parung Farm dari kekurangan persediaan bahan-bahan yang
berpotensi menggangu kegiatan proses produksi. Pemesanan bahan baku dan
bahan penolong dalam jumlah besar tentu harus diikuti pula dengan perencanaan
pemeliharaan bahan-bahan tersebut. Salah satu perencanaan yang dimaksud
adalah dengan menyediakan fasilitas pendukung untuk pemeliharaan bahan-
bahan, dalam hal ini yaitu gudang ataupun tempat sejenisnya. Gudang yang
tersedia saat ini di PT. Parung Farm telah cukup memadai untuk pemeliharaan
bahan baku pupuk dan benih. Namun, untuk bahan baku rockwool dan batu
screening, serta bahan penolong styrofoam, penyediaan tempat pemeliharaan
bahan-bahan tersebut masih dapat dikatakan kurang memadai.
Rockwool dan batu screening merupakan bahan baku penting dalam proses
produksi sayuran hidroponik karena bahan-bahan tersebut bertindak sebagai
media tanam kultur hidroponik. Kondisi media yang kurang baik tentu akan
mempengaruhi kualitas produk hidroponik yang dihasilkan. Oleh karena itu,
pemeliharaan terhadap bahan-bahan tersebut seharusnya mendapat perhatian lebih
oleh perusahaan. Penempatan rockwool yang berada di PT. Parung Farm saat ini
dinilai kurang memenuhi aspek pemeliharaan yang baik. Rockwool ditempatkan
tepat bersebelahan dengan lahan parkir motor pegawai, dimana hanya beralaskan
semen dan dilindungi atap tanpa penutup di sisi-sisi bahan. Penempatan ini dinilai
memiliki resiko kerusakan bahan yang cukup besar yang dapat disebabkan oleh
human error ataupun kelembaban dari udara sekitar apabila terjadi hujan karena
bahan ditempatkan di tempat terbuka. Adapun penempatan rockwool di PT.
Parung Farm dapat dilihat pada Gambar 15 berikut ini.
Gambar 15. Penempatan Rockwool di PT. Parung Farm

Rockwool semestinya ditempatkan di tempat yang kering dan aman dari


gangguan eksternal untuk menjaga kualitas dari rockwool itu sendiri. Selain itu,
kandungan yang terdapat dalam rockwool juga cukup berbahaya apabila tidak
sengaja terhirup atau terjadi kontak langsung dengan mata. Oleh karena itu,
penempatan rockwool yang baik juga sebagai tindakan preventif untuk
menghindari kecelakaan kerja. Solusi yang dapat dilakukan dalam permasalahan
ini yaitu dengan membangun gudang atau tempat khusus untuk menempatkan,
melindungi, dan memelihara bahan baku rockwool. Adapun tanda peringatan
berbahaya pada kemasan rockwool dapat dilihat pada Gambar 16 berikut ini.

Gambar 16. Peringatan yang Tertera pada Produk Rockwool

Permasalahan yang terjadi pada rockwool tidak berbeda jauh dengan


permasalahan yang terjadi pada bahan baku lainnya, yakni batu screening.
Penempatan batu screening yang terjadi di PT. Parung Farm dapat dilihat pada
Gambar 17 di bawah ini.
Gambar 17. Penempatan Batu Screening di PT. Parung Farm

Kebutuhan akan batu screening dalam media kultur hidroponik memang


tidak sebanyak kebutuhan bahan baku lainnya, seperti benih, pupuk, dan rockwool
karena batu screening dapat digunakan berulang kali setiap produksi dilakukan.
Namun bukan berarti pemeliharaan akan bahan ini dapat diabaikan begitu saja.
Seperti yang terlihat pada Gambar 17, batu screening ditempatkan begitu saja di
tempat terbuka tanpa perawatan dan tata letak yang baik. Seharusnya batu
screening ditempatkan dengan tata letak yang baik di tempat khusus agar
memudahkan pelaksanaan produksi dan juga mengurangi resiko kerusakan yang
dapat ditimbulkan dari luar. Selain itu, sebaiknya batu screening mendapatkan
pemeliharaan tertentu, seperti penggunaan terpal sebagai pelindung agar kualitas
bahan tetap terjaga.
Pemeliharaan inventori yang kurang baik juga terjadi pada bahan penolong
styrofoam. Meskipun hanya berstatus sebagai bahan penolong, styrofoam
memiliki peran penting dalam pelaksaan produksi sayuran hidroponik. Peran
styrofoam dapat dilihat saat persemaian benih di dalam rumah kaca. Fungsi
styrofoam sebagai tempat menopang benih begitu besar karena apabila jumlah
styrofoam tidak cukup memadai, maka benih tidak memiliki tempat untuk tumbuh
sehingga hasil produksi pun akan menurun. Oleh sebab itu, pemeliharaan
styrofoam cukup penting dalam keberlangsungan produksi sayuran hidroponik.
Seperti halnya batu screening, styrofoam juga dapat digunakan berulang kali
setiap produksi dilakukan. Styrofoam yang berkualitas baik untuk digunakan
dalam kultur hidroponik adalah styrofoam yang bebas kotoran atau lumut karena
lumut berpotensi mengganggu pertumbuhan tanaman. Styrofoam sendiri
merupakan bahan yang mudah untuk dijadikan tempat tumbuh bagi lumut,
terlebih bila styrofoam berada di tempat terbuka. Oleh sebab itu, resiko kerusakan
pada styrofoam menjadi begitu besar apabila pemeliharaannya tidak berjalan baik.
Penempatan styrofoam yang terjadi di PT. Parung Farm dapat dilihat pada
Gambar 18 berikut ini.
Gambar 18. Penempatan Styrofoam di PT. Parung Farm

Pada Gambar 18 dapat dilihat bahwa pemeliharaan styrofoam di PT. Parung


Farm masih berjalan kurang baik. Styrofoam diletakkan begitu saja di tempat
terbuka tanpa pelindung apapun. Merupakan hal yang wajar apabila styrofoam
tersebut mengalami kerusakan yang disebabkan oleh cuaca atau serangan lumut.
Tentu hal ini harus diperbaiki dengan menyediakan tempat khusus untuk
styrofoam guna mengurangi resiko kerusakan yang dapat terjadi. Styrofoam
seharusnya ditempatkan di tempat yang kering di dalam gudang atau setidaknya
dilindungi terpal atau bahan pelindung lainnya.
Kendala lain yang dihadapi PT. Parung Farm yakni sistem tanam yang
terkadang kurang tepat. Hal tersebut terjadi pada saat proses penanaman bibit
yang cenderung terburu-buru untuk mencapai target pemanenan. Dampaknya
adalah bibit yang ditanam mengalami pertumbuhan yang tidak maksimal dan
akhirnya mati. Pada kasus ini, biasanya rockwool tidak terpasang secara tepat
pada akar bibit sehingga tanaman kurang mendapat nutrisi. Jika hal ini terjadi
maka akan berdampak pada hasil produksi dan kerugian pun tidak dapat
dihindarkan.
Kendala cuaca, dalam hal ini curah hujan yang tinggi merupakan kendala
yang tak dapat dihindari dalam proses produksi pertanian. Sama halnya dalam
proses produksi tanaman kultur hidroponik. Curah hujan yang tinggi cenderung
membuat pertumbuhan tanaman berjalan tidak optimal. Hal ini menyebabkan
kelayuan pada tanaman dan serangan lumut pada media tanam akibat kelembaban
udara yang tinggi. Salah satu contoh akibat kendala curah hujan tinggi pada
tanaman hidroponik dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20 seperti berikut.
Gambar 19. Pelayuan pada tanaman akibat curah hujan tinggi

Gambar 20. Pelayuan pada tanaman akibat curah hujam tinggi

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hubungan antara semua anggota rantai pasok, yakni antara pemasok,


perusahaan, distributor dan konsumen berpengaruh signifikan terhadap kelancaran
proses bisnis dan keutuhan manajemen rantai pasok. Hubungan tersebut dapat
dilihat pada pola aliran rantai pasok, yaitu aliran bahan, aliran uang, dan aliran
informasi. Keterhambatan pada salah satu aliran dapat menyebabkan
terdegradasinya pola aliran rantai pasok yang juga berpengaruh signifikan
terhadap keutuhan manajemen rantai pasok. Tiap anggota rantai pasok memiliki
tanggung jawab masing-masing untuk menjaga keutuhan pola aliran rantai pasok
ini sehingga proses bisnis tetap dapat berjalan dengan baik dan menguntungkan
semua pihak.
PT. Parung Farm sebagai perusahaan dalam struktur rantai pasok ini telah
melakukan berbagai tindakan untuk menjaga keutuhan manajemen rantai pasok
tanaman hidroponik dengan cukup baik. Hubungan antara pemasok, PT. Parung
Farm, dan distributor hampir tidak menemui kendala. Pola aliran rantai pasok
berjalan secara kontinyu dan konsisten dalam setiap tahap proses bisnis. Demi
menjaga kelancaran proses produksinya, PT. Parung Farm telah melakukan
tindakan preventif dalam hal ketersediaan bahan baku, yakni dengan membeli
persediaan bahan baku tersebut dalam jumlah besar sehingga terdapat stok
persediaan bahan baku untuk mencegah kelangkaannya di waktu-waktu tertentu.
Selain itu proses pemasaran dan penjualan hasil produksi juga terjadwal dengan
baik dengan adanya pengiriman sesuai permintaan distributor setiap harinya.
Sistem rolling pada kebun yang diterapkan PT. Parung Farm membuat perusahaan
dapat melakukan panen dan mendistribusikannya setiap hari secara konsisten
sehingga proses produksi berjalan lebih efisien. Meskipun demikian, masih
terdapat kendala yang dialami perusahaan, diantaranya perlakuan inventori yang
masih kurang maksimal, sistem tanam yang terkadang kurang tepat, dan curah
hujan yang tinggi.

Saran

PT. Parung Farm masih dapat meningkatkan produktivitas hasil


pertaniaannya apabila dapat menyelesaikan kendala-kendala pada proses
produksi. Penyediaan fasilitas untuk menjaga kondisi media tanam seperti
rockwool, batu screening, dan styrofoam perlu dipertimbangkan mengingat
kondisi media sangat berpengaruh terhadap produktivitas hasil panen. Selain itu
diperlukan juga peningkatan pengetahuan mengenai sistem kultur tanaman
hidroponik untuk semua SDM yang bersangkutan pada proses produksi. Hal ini
untuk mencegah kerugian yang mungkin dialami selama proses produksi, seperti
sistem tanam yang kurang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Budi, Gardjita. 2010. Perkembangan Trend Pemasaran Sayuran di Indonesia.


Seminar Nasional PVT ke-5, Surabaya, 25-26 Nopember 2010.
Bowon, Kim. 2005. Mastering Business in Asia, Supply Chain Management. Di
dalam Tunggal, AW. 2009. Dasar-Dasar Operation And Supply Chain
Management. Harvarindo, Jakarta.
Chopra, S. dan P Meindl. 2004. Supply Chain Management: Strategy, Planning,
and Operation. United States of America : Pearson Prentice Hall.
Eltram, LM. 1991. Supply Chain Management : The Industrial Organisation
Perspective. International Journal of Physical Distribution & Logistics
Management Vol. 21 No. 1 pp 13-22. MCB University Press.
Endry. 2012. Pascapanen, penanganan komoditi pascapanen dan teknik
penyimpanan pascapanen. [internet]. [diacu 2015 Pebruari 7]. Tersedia dari:
www.endrymesuji.com/2012/pasca-panen penanganan-komoditi.
Indrajit, Eko dan R Djokopranoto. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain Cara
Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Jakarta : Grasindo.
King R & Venturini L. 2005. Demand for Quality Drives Changes in Foods
Supply Chains, New Direction in Global Food Markets, A1b-794,
Economic Research Service USDA.
Miranda dan A.W. Tunggal. 2005. Manajemen Logistik dan Supply Chain
Management. Harvarindo. Jakarta.
Peleg, K. 1985. Produce Handling Packaging and Distribution. Westport, Israel
(IL): Publishing Company, Inc.
Pujawan IN. 2005. Supply Chain Management Ed ke-1. Surabaya : Guna Widya.
Pusdatin Kementan. 2012. Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2012. Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementrian Pertanian.
Rahardi, F., R. Palungkun, dan A. Budiarti. 2001. Agribisnis Tanaman
Sayur.Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Said, A. 2006. Produktivitas dan Efisiensi dengan Supply Chain Management.
Jakarta : Penerbit PPM.
Santoso, Bambang. 2013. Pascapanen Hortikultura. [internet]. [diacu 2015
Pebruari 7]. Tersedia dari: http://fp.unram.ac.id/data/DR.Bambang B
Santoso/BahanAja PascapanenHortikultura/BAB-8-Pasca-Panen-Buah.pdf.
Simchi-Levi, D. Kaminsky, P. Simchi-Levi, E. 2003. Designing, and Managing
The Supply Chain : Concepts, Strategies and Case Studies. McGraw-Hill.
New York.
Suhardi. 1992. Penanganan Pascapanen Buah dan Sayuran, PAV Pangan dan
Gizi, UGM, Yogyakarta.
Tranggono dan Sutardi.1996. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Universitas
Press.
Tunggal, Amin Widjaja. 2009. Dasar-Dasar Operation And Supply Chain
Management. Harvarindo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai