Anda di halaman 1dari 19

PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS TEKNOLOGI

Upaya Meningkatkan Daya Saing dan Nilai Tambah Produk

I. PENDAHULUAN

Pengembangan agroindustri berbasis tekonolgi dimaksudkan untuk


mewujudkan agroindustri yang memiliki daya saing secara berkesinambungan.
Kesinambungan daya saing tersebut ditempuh melalui peningkatan nilai tambah
yang dilakukan antara lain melalui peningkatan efisiensi proses produksi,
peningkatan kualitas produk, serta penciptaan produk baru. Hal demikian dapat
dicapai melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi. Dengan demikian
maka peningkatan daya saing dan nilai tambah tidak dapat dilepaskan dari proses
pengembangan dan pemanfaatan teknologi secara berkelanjutan. Artinya industri
yang dapat meningkatkan daya saing dan nilai tambah produknya hanyalah
industri yang dirancang dan dikembangkan atas basis teknologi yang kuat.

Daya saing produk dapat diartikan sebagai kemampuan produk tersebut


menarik konsumen/pengguna untuk mengeluarkan dananya untuk membeli
produk yang dihasilkan. Setiap konsumen akan menggunakan 3 (tiga)
pertimbangan utama dalam menentukan produk yang akan dibeli, yaitu kualitas,
harga, dan waktu penyerahan (dikenal dengan QCD – Quality, Cost, and
Delivery). Ketiga faktor tersebut sangat ditentukan oleh jenis teknologi yang
digunakan. Karena daya saing suatu produk selalu dibandingkan dengan daya
saing produk sejenis atau produk substitusi yang dihasilkan oleh perusahaan atau
negara lain maka peningkatan daya saing menjadi tugas mutlak bagi perusahaan
atau negara. Dengan demikian maka pengembangan teknologi juga menjadi
mutlak dilakukan. Pengembangan teknologi yang ditujukan untuk meningkatkan
daya saing menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses pengembangan usaha.
Artinya bahwa basis pengembangan industri yang dirancang agar memiliki daya
saing secara berkelanjutan adalah teknologi. Dengan basis teknologi yang kuat
akan meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kuntungan usaha yang dilakukan. Pemikiran demikian menjadi
landasan kenapa industri, termasuk agroindustri menjadi penting dikembangkan
atas basis teknologi.

Berdasarkan tahapan produksi dalam sistem agroindustri kelapa sawit


(agrosawit), pengembangan dan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan daya
saing dan nilai tambah produk berlangsung pada tahapan proses produksi pada :
(1) penyiapan lahan, (2) pembibitan, menyangkut teknologi peningkatan
produktivitas, rendemen, umur tanaman, dan kualitas produk (terutama minyak);
(3) budidaya, menyangkut teknologi pemupukan, jarak tanam efektif,
pemberantasan hama dan penyakit, pemberantasan gulma, serta teknik tumpang
sari; (4) pemanenan, menyangkut teknologi pemetikan tandan buah segar (TBS)
dan teknologi transportasi, (5) pengolahan TBS, menyangkut teknologi
pemasakan buah, ekstraksi, pemisahan, dan teknologi pengolahan limbah; serta
(6) teknologi proses produk hilir yang sangat bervariasi (tergantung pada jenis
produk yang akan diolah.

Diversifikasi produk hilir kelapa sawit sangat prospektif untuk


dikembangkan. Dari pohon industri kelapa sawit, terdapat minimal 57 jenis
alternatif produk yang dapat dihasilkan (Lampiran 1). Dari 57 jenis tersebut
hanya 15 jenis merupakan produk akhir, sedangkan sisanya merupakan bahan
baku industri lain untuk diproses lebih lanjut. Ketidakmampuan untuk
mengembangkan diversifikasi produk hilir disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan teknologi. Sebagai contoh teknologi ekstraksi karoten dan tokoperol
dari CPO masih menhdapai kendala, terutama karena proses ekstraksi CPO yang
menggunakan tempertaur tinggi akan merusak kedua bahan tersebut. Demikian
juga halnya dengan alternatif produk lainnya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa pengembangan agroindutsri kelapa sawit


berbasis tekonologi untuk meningkatkan daya saing usaha dan nilai tambah
produk di masa depan masih terbuka luas.

II. TEKNOLOGI DAN NILAI TAMBAH


1. Nilai Tambah dan Efisiensi

Dalam industri yang berbasis teknologi proses peningkatan nilai tambah


akan berlangsung pada setiap tahapan proses. Proses peningkatan nilai tambah
merupakan serangkaian upaya yang dilakukan untuk meningkatkan hasil (output)
dari output atau menurunkan nilai input sebelumnya. Artinya kinerja proses
peningkatan nilai tambah ditunjukkan oleh perbandingan ouput dan input dari
proses sebelumnya. Jika nilai perbandingan tersebut lebih besar dari 1, maka
terjadi proses peningkatan nilai tambah dan sebaliknya. Secara matematik, nilai
tambah dapat dirumuskan sebagai berikut :

VA (Value Added) = OUTPUT/INPUT

VA > 1, peningkatan nilai tambah


VA < 1, penurunan nilai tambah
VA = 1, tidak terjadi perubahan nilai tambah

Berdasakan persamaan tersebut, maka peningkatan nilai tambah dapat


dilakukan dengan 3 (tiga) strategi, yaitu : (1) peningkatan output (kualitas,
kuantitas, atau nilai output) dengan input yang tetap, (2) penurunan input
(kuantitas, kualitas, atau nilai input), dengan output yang tetap, atau (3)
peningkatan output dan input secara bersamaan, namun nilai peningkatan output
lebih besar dari peningkatan input. Karena peningkatan nilai tambah sangat terkait
dengan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk maka peningkatan nilai
tambah tidak terlepas dari jenis teknologi yang digunakan.

2. Nilai Tambah dan Peningkatan Nilai Bahan.

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa diantara tujuan pengembangan dan


pemanfaatan teknologi adalah untuk meningkatkan kualitas produk (termasuk
nilai jual produk) serta untuk menciptakan produk baru. Kedua tujuan tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah. Gambaran sederhana tentang
kaitan antara teknologi dengan nilai bahan sering dikemukakan oleh B.J. Habibie
pada berbagai kesempatan. Beliau memberikan perbandingan nilai tambah logam
yang digunakan untuk memproduksi mobil Kijang dengan mobil Mercedes Benz.
Nilai logam untuk memproduksi kedua mobil tersebut adalah sama dan nilai
logam setelah mobil tersebut dihancurkan dan dibeli oleh pedagang besi bekas
juga sama. Namun perbandingan nilai mobil Kijang dengan mobil Mercedes Benz
yang sama-sama baru bisa mencapai 1 : 15 atau lebih. Tingginya nilai Mercedes
Benz tersebut lebih banyak disebabkan karena teknologi yang digunakan lebih
tinggi dari teknologi yang digunakan untuk memproduksi mobil Kijang sehingga
kulaitasnyapun lebih baik. Dengan kualitas yang lebih baik maka konsumen
bersedia membayar lebih mahal atas kepuasan yang diberikan dari penggunaan
teknologi yang yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut maka nilai tambah
dapat juga dirumuskan sebagai berikut :

VA (Value Added) = ∆ NILAI BAHAN

Semakin besar nilai ∆ (delta) bahan yang digunakan untuk menghasilkan


produk setelah produk tersebut dibuat berarti semakin tinggi nilai tambah yang
diperoleh.

3. Nilai Tambah dan Diversifikasi Produk.

Kaitan antara peningkatan nilai tambah dengan diversifikasi produk


banyak digunakan terhadap penggunaan bahan baku yang mengandung berbagai
komponen yang dapat menghasilkan produk lain atau bahan baku yang dapat
diproses lebih lanjut untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi.
Kasus seperti ini banyak terjadi pada industri yang mengolah komoditas pertanian
atau agroindustri. Komoditas pertanian umumnya mengandung berbagai jenis
komponen yang jika menggunakan teknologi yang sesuai akan dapat dihasilkan
berbagai jensi produk atau dikenal dengan diversifikasi produk. Diversifikasi
produk dapat berlangsung secara vertikal maupun horizontal. Diversifikasi
vertikal adalah upaya untuk menghasilkan produk baru dengan mengolah lebih
lanjut produk sebelumnya sehingga nilai tambahnya semakin tinggi. Diversifikasi
horzontal dimaksudkan untuk mendayagunakan seoptimal mungkin seluruh
komponen yang terdapat dalam bahan. Sebagai contoh ekstraksi karoten sebagai
pro-vitamin A dari CPO adalah diversifikasi horizontal, sementara produksi
minyak goreng dan fatty acid dari CPO adalah proses diversifikasi vertikal.

Atas uraian tersebut, maka nilai tambah dapat juga dirumuskan untuk
menggambarkan seberapa jauh proses diversifikasi produk dari suatu bahan baku
sehingga nilai tambahnya semakin meningkat, dengan rumusan sebagai berikut :

VA (Value Added) = ∆ DIVERSIFIKASI PRODUK

Semakin banyak atau semakin jauh diversifikasi produk dilakukan akan


memberikan nilai tambah yang sangat signifikan.

Sebagai gambaran, peningkatan nilai tambah produk kelapa sawit


diuraikan pada Tabel 1. Produk level pertama kelapa sawit berupa CPO akan
memberikan nilai tambah sekitar 30 % dari nilai tandan buah segar (TBS), jika
diolah menjadi minyak goreng nilai tambahnya meningkat menjadi 50 % basis
TBS dan 20 % basis CPO. Selanjutnya jika diolah menjadi asam lemak (fatty
acid) nilai tambahnya menjadi 100 % basis TBS, menjadi ester nilai tambah yang
diperoleh meningkat menjadi sekitar 150 – 200 % basis TBS, menjadi surfactan
atau emulsifier nilai tambahnya menjadi sekitar 300 – 400 % basis TBS,
selanjutnya jika diolah menajdi bahan kosmetik nilai tambah yang diperoleh
meningkat menjadi sekitar 600 – 1000 % basis TBS (Tabel 1). Diversifikasi
produk kelapa sawit tersebut hanya bisa dilakukan melalui pengembangan dan
penerapan teknologi.
III. TEKNOLOGI DAN DAYA SAING AGROSAWIT

Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa sangat sulit melakukan


peningkatan nilai tambah tanpa melalui pengembangan dan pemanfaatan
teknologi, demikian juga halnya dengan agrosawit. Pengembangan agrosawit
berdayasaing sangat ditentukan oleh kinerja masing-masing subsistem. Kinerja
subsistem perkebunan dapat dilihat dari efisiensi dan efektifitas setiap tahapan
aktivitas yang terdiri dari aktivitas pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan
tanaman dan pemanenan. Kinerja subsistem pabrik PKS dapat dilihat dari
aktivitas investasi pabrik dan proses pengolahan TBS menjadi CPO dan PK.
Sedangkan kinerja subsistem industri hilir dilihat dari kinerja seluruh industri hilir
yang ada.

Setiap aktivitas memerlukan biaya baik untuk investasi maupun


operasional yang harus dikelola efisien, dan menghasilkan ouput yang tinggi.
Dalam hal ini Indeks Produktivitas Kebun (IPK), Indeks Produktivitas Pabrik
PKS (IPP), dan Indeks Produktivitas Hilir (IPH) merupakan salah satu indikator
untuk melihat kinerja perkebunan dan pabrik PKS dan industri hilir. Semakin
tinggi IPK, IPP, dan IPH agrosawit akan semakin meningkatkan dayasaing
agrosawit yang akan dikembangkan. Artinya, Indeks Produktivitas Agrosawit
(IPA) dapat dirumuskan sebagai berikut :
IPA = IPK + IPP + IPH

dimana,

IPA : Indeks Produktivitas Agrosawit


IPK : Indeks Produktivitas Kebun Sawit
IPP : Indeks Produktivitas Pabrik PKS
IPH : Indeks Produktivitas Industri Hilir Sawit

Gambar 1 menunjukkan keterkaitan subsistem perkebunan dan subsistem pabrik


PKS serta berbagai jenis teknologi yang dibutuhkan. Dari gambar tersebut dapat
dikaji lebih jauh tentang kaitan antara teknologi dengan IPK dan IPP.

Indeks Produktivitas Perkebunan (IPP) dipengaruhi oleh biaya produksi


dan produktivitas kebun. Biaya produksi kebun dipengaruhi oleh biaya investasi
dan biaya opreasional. Biaya investasi terdiri dari harga/sewa lahan, biaya
pembukaan lahan, harga bibit, biaya penanaman, biaya pembangunan jalan dan
jembatan, serta biaya pemeliharaan (1-3 tahun). Biaya opersional terdiri dari
gaji/upah, pupuk, pemberantasan hama/penyakit, alat/mesin/perkakas,
pemeliharaan jalan/jembatan, transportasi, pemanenan, dan biaya modal (cost of
money). Produktivitas kebun sangat ditentukan oleh jenis bibit yang digunakan,
umur tanaman, kelas lahan, dan teknologi budidaya yang digunakan. Dari
berbagai varibel yang menentukan biaya produksi dan produktivitas kebun
tersebut sangat terkait dengan jenis teknologi yang digunakan. Artinya bahwa IPP
sangat ditentukan oleh teknologi.

Seperti halnya dengan IPP, Indeks Produktivitas Pabrik PKS (IPK)


ditentukan oleh biaya produksi dan produktivitas. Biaya produksi pabrik terdiri
dari gaji/upah, harga alat/perkakas, bahan kimia, harga TBS, energi, air,
transportasi, pemeliharaan, penyusutan, pengemasan, asuransi, dan biaya modal
(cost of money) yang kesemuanya terkait dengan jenis teknologi yang digunakan.
Produktivitas pabrik, terutama ditentukan oleh rendemen CPO dan PK. Rendemen
tersebut dipengaruhi dua faktor, yaitu kualitas TBS dan teknologi proses yang
digunakan yang keduanya ditentukan oleh jenis teknologi yang digunakan.
Kualitas TBS terkait dengan teknologi pembibitan, budidaya, pemanenan, dan
transportasi. Teknologi proses ditentukan oleh jenis teknologi mesin dan peralatan
yang digunakan. Atas uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dayasaing
agrosawit dapat ditingkatkan melalui pengembangan agrosawit yang berbasis
tekonologi.
Gambar 1. Bagan Alir Interaksi Antara Perkebunan dengan Pabrik PKS
IV. PERAN TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN EFISIENSI PROSES

Penerapan teknologi dalam Agrosawit telah memberikan dampak pada


peningkatan produktivitas, efisiensi, dan pelestarian lingkungan hidup. Terdapat 5
(lima) kelompok teknologi dalam Sistem Agrosawit, yaitu teknologi pembukaan
dan penyiapan lahan, pembibitan, budidaya, pengolahan TBS, dan teknologi
pengolahan limbah.

Dampak penerapan teknologi di Malaysia telah berhasil meningkatkan efisiensi


peroduksi CPO yang ditunjukan dari penurunan biaya produksi per ton CPO dari
US $ 746 pada tahun 1951 menjadi US $ 260 pada tahun 1991 (Jalani, 1998),
selanjutnya menurun menjadi US $ 132,2 pada tahun 1999 (Kartasasmita, 2000).
Penurunan biaya terbesar terjadi pada biaya proses dari US $ 746 (1951) menjadi
US $ 11,05 (1999). Secara lengkap, peningkatan efisiensi produksi kelapa sawit di
Malaysia terlihat pada Tabel 2.

Teknologi Pembibitan

Aplikasi teknologi pembibitan memberikan dampak berupa peningkatan


produktivitas, memperpanjang umur tanaman menghasilkan, meningkatkan
rendemen, dan meningkatkan kualitas minyak. Rakyat pekebun dan usaha
perkebunan akan menerapkan teknologi pembibitan yang baru jika pendapatan
atau keuntungan penggunaan teknologi pembibitan yang baru lebih besar atau
sama dengan pendapatan atau keuntungan dengan menggunakan teknologi
pembibitan yang lama.

Dari berbagai aktivitas penelitian yang dilakukan untuk menemukan bibit yang
berkualitas, saat ini terdapat 12 varietas bibit unggul kelapa sawit yang telah
digunakan secara komersial, sedangkan bibit hasil kultur jaringan telah digunakan
secara terbatas. Keunggulan teknologi bibit dinilai dari 5 (lima) kriteria, yaitu :
umur tanaman menghasilkan, produksi TBS, potensi minyak yang dapat
diekstraksi (Oil Extraction Rate, OER), produksi CPO, dan produksi inti sawit
(Tabel 3). Dari Tabel tersebut terlihat bahwa masing-masing jenis bibit memiliki
keunggulan yang berbeda-beda. Harga bibit bukan merupakan faktor pembatas
dalam pengembangan agrosawit karena dari sigi biaya investasi nilainya hanya
sekitar 0,4 – 0,7 persen dari total investasi perkebunan.

Teknologi Budidaya

Aplikasi teknologi budidaya memberikan dampak berupa peningkatan


produktivitas, optimasi pendayagunaan lahan melalui tumpangsasi tanaman dan
ternak, pengurangan penggunaan input (pupuk, pestisida dan insektisida),
peningkatan produktivitas tenaga kerja. Penentuan jenis teknologi budidaya yang
akan diaplikasikan didasarkan pada kriteria bahwa pendapatan/keuntungan
penggunaan teknologi budidaya yang baru harus lebih besar atau sama dengan
pendapatan/keuntungan dengan menggunakan teknologi budidaya yang lama.
Terdapat dua faktor pembatas produktivitas tanaman sawit yaitu umur tanaman
dan kelas lahan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa terdapat variasi
produktivitas pada umur dan kelas lahan yang sama. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan aplikasi teknologi budidaya.

Terdapat berbagai penelitian yang terkait dengan teknologi budidaya dan telah
siap diterpakan. Pengembangan tanaman tumpang sari, seperti jagung dan jati
super serta tanaman lainnya. Selain itu juga telah ada berbagai penelitian tumpang
sari dengan ternak kambing. Penggunaan biofertilizer di Indonesia dengan merk
Emas mampu menghemat biaya pupuk sebesar 35 - 59 %. (Goenadi, D.H, 1998).
Dalam teknik peremajaan tanaman kelapa sawit dengan teknik "underplanting"
akan mempercepat tanaman menghasilkan menjadi kurang dari 3 tahun.
Peremajaan tanaman dengan sistem interplanting menghemat biaya investasi
peremajaan tanaman sebesar 18,7 % dan meningkatkan efektivitas penggunaan
lahan sebesar 14 %.

Teknologi Pengolahan

Pengolahan TBS menjadi CPO dan PK melalui berbagi tahapan. Dimulai dari
proses sterilisasi TBS yang bertujuan untuk memudahkan pelepasa buah dari
tandan. Dilanjutkan dengan proses treshing untuk memisahkan buah dengan
tandan. Buah yang terpisah selanjutnya dilakukan digestion dan pressing untuk
menisahkan minyak kasar kotor dengan serat dan biji. Untuk memisahkan minyak
kasar kotor dengan sludge dilakukan proses clarification. Hasil proses clarification
selanjutnya dilakukan purifying dan drying untuk menghasilkan minyak kelapa
sawit (Sludge Palm Oil, CPO). Untuk memisahkan minyak yang terikut pada
sludge dilakukan proses centrifuge.

Pengolahan inti sawit (palm kernel, PK) dilakukan proses depericarping untuk
menisahkan PK dan serat buah. Pengurangan kadar air PK dilakukan dua tahap,
yaitu proses drying/cracking dan winnowing. Proses akhir PK dilakukan dengan
dua tahap yaitu proses hydrocyclon untuk membersihkan biji, dan proses drying
untuk proses pengeringan akhir. Limbah cair kelapa sawit yang sebagian besar
berasal dari proses centrifuge selanjutnya diolan di unit pengolahan limbah.

Berdasarkan standar proses PPKS Medan berdasarkan rendemen CPO sebesar


21,8 % dan PK 5,6 %, untuk kapasitas pabrik 30 ton TBS/jam massa yang masuk
setiap jam terdiri dari TBS 30 ton steam sebesar 6,72 ton, air 9,7 ton, dan minyak
pemancing (crude oil) 2,7 ton. Massa yang keluar terdiri dari CPO 6,54 ton, PK
1,68 ton, tandan kosong 6,45 ton, serat buah basah 3,68 ton, serat buah kering
1,53 ton, PK basah/rusak (wet shell) 0,18 ton, serta air dan kotoran sebesar 0,42
ton. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk emningkatkan peningkatan
rendemen dan peningkatan efesiensi penggunaan air dan energi.

Teknologi Pemanfaatan Limbah

Terdapat 6 (enam) jenis limbah yang dihasilkan dari agroindustri kelapa sawit,
yaitu : limbah cair, tandan kosong sawit, serat buah, cangkang, pelepah, dan
batang sawit. Potensi masing-masing limbah tersebut menurut Pamin dkk (1998)
potensi limbah pabrik kelapa sawit seperti terlihat pada Tabel 4.

Untuk pemanfaatan limbah cair, telah dikembangkan teknologi Limbah Kelapa


Sawit di PPKS Medan yang diberi nama LPKS. Terdapat 3 (tiga) keuntungan
penggunaan LPKS untuk pupuk, yaitu : mengurangi biaya pengolahan limbah
sebesar 50 - 60 %, menghemat penggunaan pupuk anatara 50%, dan
meningkatkan produktivitas sebesar 27 %. Selain itu juga berdampak mengurangi
pencemaran air sungai dan mengurangi areal untuk pembuatan kolam limbah.
Teknologi pengolahan limbah yang dikembangkan oleh Malaysia mampu
mengurangi volume limbah menjadi 0,25 ton/tonTBS dengan BOD sekitar 10.000
mg/l, sedangkan dengan teknologi konvensional menhasilkan limbah 0,60 ton/ton
TBS dengan BOD 25.000 mg/l.

Potensi limbah cair sebagai sumber pupuk cukup besar. Setiap 1 (satu) ton CPO
menghasilkan limbah cair sebanyak 5 ton dengan BOD 20.000 - 60.000 mg/l.
Setiap 100 ton LPKS mengandung/setara dengan 156 kg Urea, 25 kg TSP, 250 kg
MOP, dan 100 kg kiserit. Dengan mengaplikasikan teknik aplikasi Limbah Pabrik
Kelapa sawit (LPKS) adalah mengalirkan limbah dari kolam limbah melalui pipa
ke bak distribusi dengan kadar BOD 3.500 - 5.000 mg/l. Produktivitas TBS pada
dosis LPKS 12,33 mm ECH (equivalen curah hujan) yang dikombinasikan dengan
dosis pupuk 50 % dari anjuran meningkat sebesar 27 persen.

Pemanfaatan TKS sebagai bahan baku pulp dan kertas menunjukkan bahwa kertas
yang dihasilkan dari 78,22 % dari pulp TKS dan pulp pinus merkusi sebesar 21,78
% pada skala pilot menghasilkan kertas kategori A berdasarkan Standar Nasional
Indonesia. Dengan campuran antara 30 % pulp TKS dan 70 % pulp pinus merkusi
menghasilkan kertas yang kualitasnya sama dengan kertas dari pulp merkusi 100
% (Guritno, dkk, 1995). Sedangkan sebagai sumber energi, kandungan kalori TKS
sebesar 4.888 kcal/kg (solar 10.500 kcal/ltr) sedangkan serta sebesar 4586
kcal/kg. Pembuatan kompos dari TKS sebagai pupuk mampu menghasilkan
keuntungan sebesar US $ 11,38 - US $14,95 (D.H. Goenadi, dkk, 1998).
Alternatif pemanfaatan pelepan sebagai pupuk dan bahan baku pulp. Sedangkan
batang dapat dimanfaatkan sebagai bahan meubelir dan papan partikel. Cangkang
dapat diolah menjadi sumber energi atau arang aktif.

Semua uraian tesebut menunjukkan bahwa peran teknologi untuk meningkatkan


nilai tambah dalam agrosawit sangat signifikan dan masih terbuka saat ini dan
jangka panjang.

V. STRATEGI PENGEMBANGAN AGROSAWIT BERBASIS


TEKNOLOGI

Secara umum, terdapat 3 (tiga) tujuan pengembangan teknologi pengembangan


usaha yang bergerak dalam bidang agroindustri, yaitu : (1) mempertahankan
kompetensi teknis terhadap usaha yang ada melalui pengembangan produk dan
proses, (2) pengembangan pasar pada bisnis yang sama atau pengembangan jenis
bisnis baru melalui inovasi produk dan proses baru, serta (3) pengembangan dan
pendayagunaan kunggulan kompetitif melalui proses alih dan integrasi teknologi.
Seperti halnya dengan industri lain, pengembangan teknologi dalam agrosawit
ditujukan untuk peningkatan daya saing. Peningkatan daya saing melalui
pengembangan teknologi terkait erat dengan proses inovasi. Menurut Bertz (1994)
bahwa proses inovasi teknologi umumnya melalui 5 (lima) aktivitas yang
berlangsung dalam siklus (cyclic innovation proces), yaitu : (1) antisipasi
teknologi (technology anticipation) menyangkut kajian tentang kelayakan ilmiah
dan kelayakan teknis, (2) akuisisi teknologi (technology acquisition) menyangkut
aktifitas penemuan dan alih teknologi, (3) penerapan teknologi (technology
implementation) menyangkut aktivitas desain dan uji coba, (4) eksploitasi
teknologi (technology exploitation) menyangkut aktivitas produksi dan pemasaran
produk, serta (5) simulasi teknologi (technology simulation) menyangkut aplikasi
dan analisis kinerja teknologi yang diterapkan.

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa pengembangan agroindustri berbasis


teknologi memerlukan sistem pengelolaan yang menempatkan teknologi sebagai
variabel yang terkait pada seluruh rencana pengembangan. Atas dasar pemikiran
tersebut, terdapat 9 (sembilan) aktivitas yang berlangsung dalam proses
pengelolaan agroindustri berbasis teknologi, yaitu : (1) peramalan teknologi dan
pasar, (2) analisis daya saing produk dan proses produksi, (3) perkiraan product
life –cycle, (4) analisis perbedaan keuntungan dengan perusahaan/industri lain, (5)
analisis peta pengembangan produk, (6) perencanaan pengembangan produk baru,
(7) perencanaan pengembangan proses dan manufaktur, (8) perencanaan
pemasaran, dan (9) perencanaan usaha.

Pengembangan agrosawit berbasis teknologi di Indonesia hendaknya dilaksanakan


secara bersamaan untuk 6 (enam) aspek, yaitu :

1. Mempertahankan kemampuan teknis. Mempertahankan kompetensi


teknis pada masing-masing tahapan proses produksi dalam perusahaan
sehingga kemampuan teknis yang dimiliki menjadi lebih unggul dengan
perusahaan atau negara lain. Dengan kemampuan teknis yang tinggi akan
meningkatkan efisiensi yang selanjutnya akan meningkatkan daya saing
agrosawit Indoensia.
2. Peningkatan Daya Saing Produk. Aktivitas ini dimaksudkan untuk
meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan Indonesia saat ini,
terutama CPO. Seperti diketahui bahwa daya saing CPO Indonesia masih
unggul dengan Malaysia. Biaya produksi CPO di Indoensia rata-rata US $
140 – 160 per ton sementara biaya produksi Malaysia antara US $ 180 –
200 per ton. Rendahnya biaya produksi CPO Indonesia bukan disebabkan
oleh tingginya produktivitas, tetapi lebih disebabkan oleh rendahnya biaya
tenaga kerja. Daya saing demikian merupakan daya saing "semu" yang
mengorbankan tenaga kerja.
3. Peningkatan Efisiensi Proses. Atas pertimbangan bahwa Indonesia masih
memiliki sumberdaya lahan yang besar dan tenaga kerja yang relatif
murah maka peningkatan efisiensi proses lebih diutamakan pada upaya
untuk penggunaan teknologi yang mengurangi penggunaan bahan baku
yang terkait dengan nilai tukar rupiah, seperti penggunaan pupuk,
permberantas hama dan penyakit, serta penemuan teknologi proses dan
peralatan/mesin yang lebih banyak menggunakan produk lokal.
Peningkatan efisiensi proses yang juga penting dilakukan adalah
pengurangan penggunaan energi dan air.
4. Inovasi Produk Baru. Inovasi produk baru hendaknya menjadi perhatian
utama dalam pengmbangan agrosawit. Seperti diuraikan sebelumnya
bahwa terdapat minimal 57 alternatif produk yang dapat dihasilkan
sebagai produk hilir agrosawit yang kesemuanya sudah memiliki prospek
pasar. Inovasi produk baru hendaknya dilaksanakan secara selektif dan
bertahap dengan menempatkan nilai tambah sebagai indikator utama
dalam menentukan produk yang akan dikembangkan.
5. Inovasi Proses Baru. Dalam agrosawit, inovasi proses baru dimaksudkan
untuk melakukan divesifikasi produk (vertikal dan horizontal) dan untuk
meningkatkan efisiensi proses. Seperti halnya untuk melakukan ekstraksi
karoten dari CPO (diversifikasi horizontal) dan pengembangan produk
hilir dari CPO (diversifikasi vertikal) diperlukan inovasi proses baru
produksi. Demikian juga halnya dengan berbagai inovasi teknologi proses
untuk masing-masing tahapan proses produksi.
6. Inovasi Bisnis Baru. Karena pengembangan agrosawit ke depan juga
dimaksudkan untuk pengembangan produk baru maka strategi yang
dikembangkan tidak dapat dilepaskan dari proses inovasi bisnis baru.
Inovasi bisnis baru hendaknya dilakukan secara horizontal dan vertikal.
Inovasi horizontal dilakukan dengan memperluas tujuan pasar untuk
produk yang sama, sedangkan inovasi vertikal delakukan untuk membuka
pasar baru bagi produk baru yang dihasilkan.

VI. PENUTUP

Kemajuan suatu industri, termasuk agroindustri sangat ditentukan oleh daya saing
usaha dan daya saing usaha sangat ditentukan oleh nilai tambah dan daya saing
produk yang dihasilkan. Baik nilai tambah maupun daya saing produk sangat
ditentukan oleh jenis dan tingkat teknologi yang digunakan oleh industri tersebut.
Dengan demikian, maka pengembangan agroindustri berbasis teknologi menjadi
sangat strategis di tengah persaingan global yang sedang berlangsung.

Pengembangan agroindustri berbasis teknologi memerlukan perencanaan yang


memasukkan perencanaan teknologi sebagai bagian integral dari proses
pengembangan bisnis. Karena pengembangan teknologi memerlukan biaya yang
tinggi, maka diperlukan kerjasama yang baik antar pemerintah dengan dunia
usaha yang mengarah pada terdistribusinya beban biaya secara proporsional pada
seluruh stakeholder, termasuk pemerintah.

Pengembangan agroindustri kelapa sawit berbasis teknologi memiliki prospek


yang cerah untuk masa depan bangsa Indonesia. Pengembangan demikian
dimaksudkan untuk merubah landasan pengembangan agrosawit yang lebih
mengutamakan pemanfaatan keunggulan komparatif dalam pengembangannya
menjadi lebih mendasarkan pada pengembangan keunggulan kompetitif di masa
depan. Perubahan daya saing yang berbasis pada keunggulan komparatif menjadi
daya saing berbasis keunggulan kompetitif mutlak memerlukan penerapan
teknologi maju untuk masing-masing tahapan proses produksi. Penerapan dan
pengembangan teknologi demikian merupakan strategi pengembangan agrosawit
berbasis teknologi.
Narasumber : Muhammad Said Didu

PUSTAKA

Betz, F. 1994. Strategic Technology Management. McGraw-Hill International Ed.


. New York.

Goenadi, D.H., Y. Away, Y. Sukin, H.H. Yusuf. 1998. Pilot Sacle Composting of
Empty Fruit Bunches of Oil Palm Using Lignocellosic – Decomposing
Bioreactor. Di dalam Proceedings 1998 International Oil Palm Conference,
Commodity of the past, today, ang the future. Indonesian Oil Palm Research
Institut. Medan, Indonesia.

Goeritno, P., Darnoko, P.M. Naibaho, and W. Pratiwi. 1995. Produksi Pulp dan
Kertas dari Tandan Kosong Kelapa Sawit pada Skala Pilot. Journal Penelitian
Kelapa Sawit, 1 (1), 89:100.

Jalani, B.S. 1998. Research and Development of Oil Palm toward The Millenium.
Di dalam Proceedings 1998 International Oil Palm Conference, Commodity of the
past, today, ang the future. Indonesian Oil Palm Research Institut. Medan,
Indonesia.

Jauch L. R. and W. F. Glueck. 1988. Business Policy and Strategic Management.


McGraw-Hill International Inc., New York.

Miyawaki, Y. 1998. Major Contribution of Crude Palm Oil and Palm Kernel Oil
in The Oleochemical Industry. Di dalam Proceedings 1998 International Oil Palm
Conference, Commodity of the past, today, ang the future. Indonesian Oil Palm
Research Institut. Medan, Indonesia.

Pamin, K dan L. Buana. 1999. Development and the oil palm industry in
Indonesia. Proceedings PORIM International Palm Oil Congress. 1-6 February
1999. Kuala Lumpur. Malaysia.
Said Didu, 1999. Peran Teknologi dalam Memajukan Agroindustri. Makalahn
pada Seminar Perencanaan Agroindustri, Jurusan Teknologi Industri Pertanian
FATETA-IPB, tanggal 13 Desember 1999. Balairung AMN FATETA IPB,
Kampus IPB Darmaga Bogor,

Said Didu, M. 2000. Rancang Bangun Sistem Pengembangan Agroindustri Kelapa


Sawit untuk Perekonomian Daerah. Disertasi Doktor IPB (tidak diterbitkan).

Said Didu, M. 2003. Kinerja Agroindustri Indonesia. Majalah Agrimedia Volume


8 – No 2, April 2003, p: 16 – 25.

Suryana, A. 1998. Trade Prospects of Indonesia Palm Oil in The International


Markets fo Fats an Oils. Disertasi Phd. Pada North Caroline State University,
Raleigh (Tidak dipulikasikan).

Tan Sauw Liang. 1998. Oil Pam Cost in Indonesia. Di dalam Proceedings 1998
International Oil Palm Conference, Commodity of the past, today, ang the future.
Indonesian Oil Palm Research Institut. Medan, Indonesia.

Tobing. 1996. Prospek Pemanfaatan Limbah Cair PKS untuk Tanaman Kelapa
Sawit Menghasilkan. Warta PPKS Vol. 4 (1) : 23 - 28.

Tondok, A. R. 1998. Production and Marketing of The Indonesian Palm Oil : Past,
Present, and The Future. Di dalam Proceedings 1998 International Oil Palm
Conference, Commodity of the past, today, ang the future. Indonesian Oil Palm
Research Institut. Medan, Indonesia.

Yusoff, M. 1988. Production and Trade Medel for Industry Minyak Sawit
Malaysia. ASEAN Economic Bulletin (5)2 : 167-177.

Anda mungkin juga menyukai