0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
26 tayangan4 halaman
Cerita ini menceritakan tentang petani di desa Tompobulu yang menjual hasil panennya secara bersama-sama langsung ke pasar besar di Makassar tanpa melalui tengkulak, dengan harga yang lebih menguntungkan. Petani-petani ini tergabung dalam Sekolah Rakyat Petani Tompobulu dan bekerja sama dengan organisasi lain untuk mendapatkan informasi harga yang layak di pasar. Upaya ini berhasil memperoleh harga jual sebes
Deskripsi Asli:
Judul Asli
BAHAN BACAAN UNTUK KUIS PTK SOSBIS MAB105 MINGGU KE8 mur
Cerita ini menceritakan tentang petani di desa Tompobulu yang menjual hasil panennya secara bersama-sama langsung ke pasar besar di Makassar tanpa melalui tengkulak, dengan harga yang lebih menguntungkan. Petani-petani ini tergabung dalam Sekolah Rakyat Petani Tompobulu dan bekerja sama dengan organisasi lain untuk mendapatkan informasi harga yang layak di pasar. Upaya ini berhasil memperoleh harga jual sebes
Cerita ini menceritakan tentang petani di desa Tompobulu yang menjual hasil panennya secara bersama-sama langsung ke pasar besar di Makassar tanpa melalui tengkulak, dengan harga yang lebih menguntungkan. Petani-petani ini tergabung dalam Sekolah Rakyat Petani Tompobulu dan bekerja sama dengan organisasi lain untuk mendapatkan informasi harga yang layak di pasar. Upaya ini berhasil memperoleh harga jual sebes
BAHAN BACAAN UNTUK KUIS PTK SOSBIS MAB105 MINGGU KE-8
QUIZ UTS SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2021/2022
PROGRAM STUDI MAB-SEKOLAH VOKASI IPB Mata Kuliah : Sosiologi Agribisnis Program Studi : Manajemen Agribisnis (MAB) Hari/Tanggal : 31 Maret 2022 Pukul : (waktu 90 mnt) SOAL PRAKTIKUM menyusul…. Silahkan baca dan pahami artikel ini Bacaan Bagian Quiz MK Sosiologi Agribisnis 2021/2022 CERITA TENTANG PETANI TOMPOBULU YANG MENJUAL KACANG TANAHNYA DI PASAR TERONG Oleh Ishak Salim (Anggota Sekolah Rakyat Petani PAYO-PAYO), 12 May 2011) http://desaku.blogdetik.com/2011/05/12/cerita-tentang-petani-tompobulu- yang menjual-kacang-tanahnya-di-pasar-terong “Pak Haji, kalau sapi itu talinya dipegang, kalau Pak Haji, kata-katanya!” Kata Manci, petani dari desa Tompo Bulu berujar ketus kepada pedagang dari kota Pangkep.....Pak Haji adalah pedagang yang selama ini membeli komoditas pertanian dari para petani di desa-desa kabupaten Pangkep. Manci demikian kesalnya. Pasalnya, kesepakatan awal sebelum ia mengupas dan mengumpulkan kacang tanahnya, harga beli yang ditawarkan Pak Haji sebesar 11.000 rupiah perkilonya, namun setibanya ia di kota Pangkep dengan 500 kilo kacangnya, rupanya Pak Haji menurunkan nilai belinya menjadi Rp. 10.500,- dengan alasan yang mengada-ada. Dua tahun kemudian, tepatnya 3 Januari 2011, belasan petani Tompo Bulu mengumpulkan kacang tanahnya di bawah rumah panggungnya masing- masing. Mereka sepakat mengumpulkannya di rumah Manci untuk menjualnya di Pasar Terong di Makassar tanpa melalui Pedagang Perantara yang kerap mengambil untung lebih besar ketimbang si produsen sendiri, Petani! Sudah menjelang tengah malam saat itu. Sebuah truk siap mengangkut dua ton kacang tanah yang terkumpul. Rerata petani ini memiliki 100 hingga 300 kilo kacang tanah yang siap diangkut. Nak, ikutkan juga kacang tanahku. Tiba-tiba datang seorang ibu tani kepada Manci saat orang-orang mulai sibuk menaikkan kacang tanah ke atas truk yang disewa Rp 500 ribu untuk sekali antar...... Cuma 40 liter saja. Ia berujar lemah. Menurutnya, Ia harus membelikan aneka kebutuhan sekolah bagi anaknya yang kini duduk di bangku SMP di awal Januari ini. Ada empat lembaga yang berada di bawah naungan ININNAWA. Keempat lembaga itu adalah Perpustakaan Biblioholic, Penerbitan ININNAWA, Active Society Institute (AcSI), dan Sekolah Rakyat Petani PAYO-PAYO. Dalam kaitannya dengan upaya petani keluar dari rantai komoditas yang merugikan mereka karena mekanisme nilai tambah yang lebih menguntungkan pedagang, hubungan SRP PAYO-PAYO dengan AcSI dalam kerja-kerja pengorganisasian rakyat memiliki secuil peran. AcSI selama ini bekerja dalam upaya pengorganisasian pedagang pasar-pasar lokal di Makassar dari ancaman ekspansi pasar modern dan ketidakberpihakan pemerintah pada mereka. Hubungan para pengorganisir AcSI dengan semua level pedagang mulai dari level mikro, kecil, dan menengah bisa dikatakan dekat. Di lain sisi, SRP PAYO-PAYO yang selama ini mengorganisir petani di desa Tompo Bulu telah melalui serangkaian diskusi dan beberapa percobaan pertanian organik, pembuatan energi biogas, pembangunan bendungan mini hingga petani ini mendirikan SRP Tompo Bulu. Di SRP Tompo Bulu inilah, Manci mengutarakan dendam nya pada Pak Haji untuk mencari jalan keluar bagaimana agar petani menentukan harga komoditasnya yang layak. Dalam diskusi yang berlangsung di SRP Tompo Bulu di awal Desember lalu, terbersitlah nama Zainal Siko, anggota AcSI pengorganisir pedagang Pasar tradisional, yang bisa menyambungkan dengan pedagang di Pasar Terong. Kebetulan para petani yang menjadi anggota SRP Tompo Bulu ini pernah bertemu dan berbincang dengan Zainal Siko saat ININNAWA merayakan satu Dekade berdirinya tahun lalu. Malam itu juga diputuskanlah agar Karno sebagai pengorganisir desa dari SRP PAYO-PAYO mengontak Zainal untuk mengetahui berapa harga beli kacang tanah sekarang ini. Setelah menghubungi Zainal Siko dan memperoleh informasi harga yang berlaku di Pasar Terong, berangkatlah Karno ke desa Tompo Bulu. Ia harus mengambil sampel kacang tanah Tompo Bulu untuk pedagang bisa tentukan harga pastinya. Setelah membawanya ke Zainal dan Zainal memperlihatkan kepada Daeng Lala (nama samaran), didapatlah harga belinya, dua belas ribu perkilonya. Diskusi di SRP Tompo Bulu-pun kembali berlangsung.(Dengan pengetahuan akan harga beli yang masih disembunyikannya). Karno Berapa Harga yang selama ini dibeli oleh pedagang perantara yang datang ke Desa Tompobulu? Para Petani Tujuh ribu perliter. Petani-petani ini nyaris menjawabnya serentak Karno (Sambil tersenyum, Karno berkata kepada petani-petani ini). Kalau begitu silahkan bapak ibu menawar harga (Najamuddin, Manci, Suleha, Supri, Samsu, Thamrin, Heri, Misbah, dan lainnya saling pandang. Bingung dengan maksud pertanyaan Karno). Karno Silahkan tawar naik. (Karno masih tersenyum mengingat informasi harga yang ditawarkan Daeng Lala relatif tinggi bagi petani ini). Di Pasar Terong, pedagang menggunakan skala kilogram ketimbang liter. Satu kilogram sama dengan 1,25 liter. Jadi bila harga perkilogramnya adalah 12.000 rupiah maka dua ton kacang tanah dihargai 24 juta rupiah. Bila dikonversi ke liter, dua ton kacang tanah akan sejumlah 2.500 liter dan harga beli pedagang Pasar Terong berarti Rp. 9.600. Itulah mengapa Karno meminta petani ini menawar naik. Saat itu, setelah memperhitungkan biaya transportasi dari desa Tompo Bulu (terletak di kaki Gunung Bulu Saraung dengan ketinggian 800 mpl.) ke Pasar Terong yang berjarak sekitar 80 kilometer diputuskanlah harga perliternya Rp. 8.000,- . Kelebihan hasil pembelian setelah petani menerima uangnya akan masuk ke dalam kas organisasi mereka, SRP Tompo Bulu. Para Petani Sepakat!. (Thamrin, salah satu anggota SRP Tompo Bulu tinggal garuk garuk kepala mengingat dirinya sudah terlanjur mengutang kepada pedagang setempat dan tak bisa ikut menjual kacangnya di Pasar Terong). Sejak kesepakatan malam itu, mereka lalu mengorganisir diri untuk mempersiapkan pengumpulan kacang tanah dari para petani ini, khususnya yang menjadi anggota SRP Tompo Bulu. Manci bertugas mengumpulkan kacang tanah dari petani-petani yang bersedia untuk bersama-sama menjual kacangnya. Supri mengelola keuangan. Heri mencari truk untuk membawa kacang mereka. Petani lainnya memilih membantu Manci. Beberapa hari setelahnya, kesibukan para petani ini sudah terlihat. Mereka mulai mengupas kacang tanahnya. Petani-petani lain yang merasakan keramaian serentak ini mulai bertanya-tanya kemana dan kepada siapa mereka akan jual kacangnya. Bahkan, beberapa pedagang yang biasa berseliweran di desa ini menjelang panen gelisah dan bertanya-tanya kepada Manci. Manci selalu menjawabnya dengan taktis, Kami mau menjualnya sama-sama. Ia enggan menjelaskannya lebih jauh. Setelah kacang sudah dikupas. Rupanya ada kendala yang dihadapi. Truk yang dijanjikan Heri tak jua datang ke desa Tompo Bulu. Sekira tiga hari kemudian barulah truk itu datang. Dan pada malam itulah kacang-kacang yang sudah dikarungkan ini dinaikkan ke atas truk. Selasa, 4 Januari 2011, Pasar Terong di puncak keramaiannya. Azan Subuh baru saja usai berkumandang. Manci, Supri, dan Karno sudah tiba di Pasar Terong. Tepat di halaman rumah Daeng Lala pedagang pengumpul Pasar Terong yang juga adalah ketua Persaudaraan Pedagang Pasar Terong (SADAR), bongkar muat dan penimbangan ulang dimulai. Hasil timbangan pedagang rupanya berbeda. Dari dugaan 2 ton, ternyata hanya 1.923 kilogram. Ini terjadi karena susutnya berat kacang akibat menunggu 3 hari truk datang. Saat pagi menjelang. Uang sejumlah Rp. 23.077.000,- sudah ditangan Supri. Pembayaran tunai seperti ini merupakan kemewahan tersendiri bagi petani. Biasanya, pedagang yang datang ke desa mereka memberi hutangan sebelum panen tiba bahkan menentukan harga pembelian sebelum kepastian harga yang benar-benar menguntungkan petani diputuskan. Ini adalah pengalaman paling berharga bagi petani desa Tompo Bulu. Ketiganya kembali ke desa Tompo Bulu. Mereka membayangkan betapa senangnya petani menerima hasil pembelian komoditas mereka dengan harga yang pantas. Khususnya Manci, dendamnya kepada Pak Haji sudah terbalaskan. Kini ia dan petani petani desa Tompo Bulu memiliki akses langsung ke Pasar Terong yang merupakan pasar lokal terbesar di kota Makassar. Sebuah pasar yang di satu sisi menghidupi banyak orang kecil di kota Makassar dan memasok kebutuhan akan komoditas pertanian di Indonesia Timur tapi di sisi lain terus menerus dirongrong oleh pemerintahnya sendiri melalui serangkaian aksi penggusuran dengan alasan yang amat absurd, tata kota untuk piala Adipura. Dari perkiraan anggota SRP Tompo Bulu yang baru berjumlah sepuluh petani aktif ini, jumlah kacang tanah di seluruh desa dari seluruh petaninya berkisar 250 ton setiap panen. Pengalaman di Pasar Terong ini telah mendorong para anggota Sekolah Rakyat Petani ini berpikir untuk mengulangnya di panen mendatang dengan melibatkan lebih banyak petani. ………………………………