Anda di halaman 1dari 52

Laporan Kasus

F 20.0
SKIZOFRENIA PARANOID

Oleh:

Pradana Ady Saputra NIM. 1830912310028

Anindya Pujiningtyas NIM. 1830912320135

Dina Dian Anggraini NIM. 1830912320137

Pembimbing

dr. H. Achyar Nawi Husin, Sp.KJ

BAGIAN/KSM ILMU KEDOKTERAN JIWA

FK UNLAM-RSUD DR. H. MOH. ANSARI SALEH

BANJARMASIN

Januari 2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

DAFTAR ISI..................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 3

BAB III. DATA PASIEN............................................................................... 18

BAB IV. PEMBAHASAN............................................................................ 31

BAB V. PENUTUP...................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 38

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 menunjukkan,

prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000 rumah tangga.

Artinya, dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai

anggota rumah tangga (ART) pengidap skizofrenia/psikosis. Penyebaran

prevalensi tertinggi terdapat di Bali dan DI Yogyakarta dengan masing-masing

11,1 dan 10,4 per 1.000 rumah tangga yang mempunyai ART mengidap

skizofrenia/psikosis. Secara umum, hasil riset riskesdas 2018 juga menyebutkan

sebanyak 84,9% pengidap skizofrenia/psikosis di Indonesia telah berobat. Namun,

yang meminum obat tidak rutin lebih rendah sedikit daripada yang meminum obat

secara rutin. Tercatat sebanyak 48,9% penderita psikosis tidak meminum obat

secara rutin dan 51,1% meminum secara rutin. Sebanyak 36,1% penderita yang

tidak rutin minum obat dalam satu bulan terakhir beralasan merasa sudah sehat.

Sebanyak 33,7% penderita tidak rutin berobat dan 23,6% tidak mampu membeli

obat secara rutin. 1

Dari banyak faktor yang menyebabkan skizofrenia, didapatkan hasil

bahwa faktor psikososial yang terbanyak menyebabkan serangan pertama pada

pasien skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang periode Maret-Mei tahun 2009 adalah kekecewaan

dengan orang tua dengan 48 penderita atau sebesar 28,57%. Sedangkan Stresor

psikososial dengan kasus terbanyak adalah faktor ekonomi dengan 51 penderita

1
atau sebesar 30,36%. Data yang diperoleh dari penelitian, diketahui bahwa

penderita baru skizofrenia adalah adalah 25-44 tahun, berjenis kelamin laki-laki

tidak mempunyai pekerjaan dengan latar pendidikan tidak sekolah.2

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau

pecah dan phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ ketidakserasian antara afek,

kognitif, dan perilaku. Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan

gangguan utama pada proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek

atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena

waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek

dan emosi inadekuat, serta psikomotor yang menunjukkan penarikan diri,

ambivalensi dan perilaku bizar. Kesadaran dan kemampuan intelektual biasanya

tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang dikemudian

hari.3 Skizofrenia adalah gangguan yang berlangsung selama minimal 6 bulan dan

mencakup setidaknya 1 bulan gejala fase aktif. Sementara itu gangguan

skizofrenia dikarakteristikan dengan gejala positif (delusi dan halusinasi), gejala

negatif (apatis, menarik diri, penurunan daya pikir, dan penurunan afek), dan

gangguan kognitif (memori, perhatian, pemecahan masalah, dan sosial). Terdapat

beberapa tipe dari skizofrenia (Paranoid, hiberfrenik, katatonik, undifferentiated,

dan Residual). Gejala-gejala pada skizofrenia berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ III,

untuk mendiagnosa skizofrenia harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang

jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau

kurang jelas): Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang bergema dan

berulang dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

2
sama, namun kualitasnya berbeda. Thought insertion or withdrawal = isi pikiran

asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil

keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal). Thought broadcasting = isi

pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. Delution

of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu kekuatan tertentu

dari luar. Delution of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu

kekuatan tertentu dari luar. Delution of passivity = waham tentang dirinya tidak

berdaya dan pasrah terhadap kekuatan dari luar. Delution of perception =

pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,

biasanya bersifat mistik atau mukjizat. Gejala-gejala lainnya adalah Halusinasi

auditorik: suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus tentang

perilaku pasien. Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara

berbagai suara yang berbicara). Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah

satu bagian tubuh. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya

setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil. Atau paling sedikit dua

gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas: halusinasi yang menetap

dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang

maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun

disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila

terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),

yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau

neologisme.12 Perilaku katatonik, seperti gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu,

3
atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor. Gejala-gejala negatif,

seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional yang

menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari

pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua

hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Gejala

harus berlangsung minimal 1 bulan. Harus ada perubahan yang konsisten dan

bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi.

Sementara berdasarkan PPDGJ-III untuk memdiagnosis skizofrenia paranoid

harus memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahannya terdapat:

Halusinasi dan atau waham arus menonjol, suara-suara halusinasi yang

mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk

verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming) atau bunyi tawa

(laughing). Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual , tau

lain-lain, perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

Waham dapat berupa hampir setiap jenis,tetapi waham dikendalikan (delusion of

control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity (delussion of

passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling

khas. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala

katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol.3,4,5,6

Pada laporan kasus ini penulis melaporkan pasien dengan gangguan susah

tidur dan terdapat bisikan yang didiagnosa sebagai skizofrenia paranoid.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.DEFINISI

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah”


atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya
atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala
skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif,
dan gangguan dalam hubungan interpersonal.3

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan


mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai
realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan komunikasi sosial yang
nyata. Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien
dan dilakukan observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan
laboratorium.3

Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom


dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak
selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada
umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.4

2.2.EPIDEMIOLOGI

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 menunjukkan,

prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000 rumah tangga.

Artinya, dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai

5
anggota rumah tangga (ART) pengidap skizofrenia/psikosis. Penyebaran

prevalensi tertinggi terdapat di Bali dan DI Yogyakarta dengan masing-masing

11,1 dan 10,4 per 1.000 rumah tangga yang mempunyai ART mengidap

skizofrenia/psikosis. Secara umum, hasil riset riskesdas 2018 juga menyebutkan

sebanyak 84,9% pengidap skizofrenia/psikosis di Indonesia telah berobat. Namun,

yang meminum obat tidak rutin lebih rendah sedikit daripada yang meminum obat

secara rutin. Tercatat sebanyak 48,9% penderita psikosis tidak meminum obat

secara rutin dan 51,1% meminum secara rutin. Sebanyak 36,1% penderita yang

tidak rutin minum obat dalam satu bulan terakhir beralasan merasa sudah sehat.

Sebanyak 33,7% penderita tidak rutin berobat dan 23,6% tidak mampu membeli

obat secara rutin. 1

Dari banyak faktor yang menyebabkan skizofrenia, didapatkan hasil

bahwa faktor psikososial yang terbanyak menyebabkan serangan pertama pada

pasien skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang periode Maret-Mei tahun 2009 adalah kekecewaan

dengan orang tua dengan 48 penderita atau sebesar 28,57%. Sedangkan Stresor

psikososial dengan kasus terbanyak adalah faktor ekonomi dengan 51 penderita

atau sebesar 30,36%. Data yang diperoleh dari penelitian, diketahui bahwa

penderita baru skizofrenia adalah adalah 25-44 tahun, berjenis kelamin laki-laki

tidak mempunyai pekerjaan dengan latar pendidikan tidak sekolah.2

2.3.ETIOLOGI

Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak


dulu. Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan

6
patogenesisnya masih minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang
mendasari terjadinya skizofrenia, antara lain:3,4

Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur.
Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%;
bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila
kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu ttelur (monozigot) 61-86%.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan
skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini
mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada
lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.

Endokrin

Dahulu dikira bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh gangguan


endokrin. Teori ini dikemukakan karena skizofrenia sering timbul pada waktu
pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal
ini tidak dapat dibuktikan.

Metabolisme

Ada orang yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh gangguan


metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat.
Ujung extremitas agak sianotik, nafsu makan berkurang dan berat menurun.
Hipotesis ini tidak dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini teori
metabolisme mendapat perhatian lagi karena penelitian dengan memakai obat
halusinogenik, seperti meskalin dan asam lisergik diethilamide (LSD-25). Obat-
obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala
skizofrenia, tetapi reversibel. Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn
error of metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan.

7
Teori-teori tersebut di atas ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok teori
somatogenik, yaitu teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan
badaniah. Kelompok teori lain adalah teori psikogenik, yaitu skizofrenia diaggap
sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress
psikologis dan hubungan antarmanusia yang mengecewakan.

Kemudian muncil teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu


sindrom yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyebab, antara lain
keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badani
seperti lues otakm atherosclerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.

Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan


psikosomatis, gejala-gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar
yang psikogenik, atau merupakan manifestasi somatic dari gangguan psikogenik.
Tetapi pada skizofrenia justru kesukarannya adalah untuk menentukan mana yang
primer dan mana yang sekunder, mana yang merupakan penyebab dan mana yang
hanya akibat saja.

Neurokimia

Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh


overaktivitas pada jaras dopamine mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan
bahwa amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamine, dapat
menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat antipsikotik (terutama
antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal/klasik) bekerja dengan
memblok reseptor dopamine, terutama reseptor D2.6

2.4. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status fisik
Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya
suatu pemeriksaan fisik lengkap. Gejala fisik seperti nyeri kepala dan
palpitasi memerlukan pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk
menentukan bagian dari proses somatik. Bila ada, yang berperan
menyebabkan penderitaan tersebut. Hal yang sama dapat digunakan pada
gejala mental misalnya depresi, ansietas, halusinasi, dan waham kejar, yang

8
bisa jadi merupakan ekspresi dan proses somatik. Terkadang keadaan
menyebabkan kita perlu menunda pemeriksaan medis lengkap. Misalnya,
pasien dengan waham atau panik dapat menunjukkan perlawanan sikap
bertahan atau keduanya. Pada keadaan ini, riwayat medis harus diperoleh dari
anggota keluarga bila memungkinkan. Namun, kecauali ada alasan mendesak
untuk melanjutkan pemeriksaan fisik, hal itu sebaiknya ditunda sampai pasien
menurut.

Pemeriksaan Neurologis
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan
atensi pasien terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah, cara
bicara, postur, dan cara berjalan perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis
dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama dicapai melalui pemeriksaan
neurologis rutin, yaitu terutama dirancang untuk mengungkap asimetri fungsi
motorik, persepsi, dan refleks pada kedua sisi tubuh yang disebabkan oleh
penyakit hemisferik fokal. Tujuan kedua tercapai dengan mencari untuk
memperoleh tanda yang selama ini dikaitkan dengan disfungsi otak difus atau
penyakit lobus frontal. Tanda ini meliputi refleks mengisap, mencucur,
palmomental, dan refleks genggam serta menetapnya respons terhadap
ketukan di dahi. Sayangnya, kecuali refleks genggam, tanda seperti itu tidak
berkaitan erat dengan patologi otak yang mendasari.2
2. Status mental
 Deskripsi umum
o Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien
skizofrenia dapat berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-
jerit, dan teragitasihingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat
pendiam, dan imobil.
o Perilaku dan aktivitas psikomotor yang nyata
Kategori ini merujuk pada aspek kuantitatif dan kualitatif dari perilaku
motorik pasien. Termasuk diantaranya adalah manerisme, tik, gerakan
tubuh, kedutan, perilaku streotipik, ekopraksia, hiperaktivitas, agitasi,
sikap melawan, fleksibilitas, rigiditas, gaya berjalan, dan kegesitan.
o Sikap terhadap pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan sebagai
kooperatif, bersahabat, penuh perhatian, tertarik, balk-blakan, seduktif,

9
defensif, merendahkan, kebingungan, apatis, bermusuhan, suka melucu,
menyenangkan, suka mengelak, atau berhati-hati.
 Mood dan afek
Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang
mewarnai persepsi orang tersebut terhadap dunia.
Afek didefinisikan sebagai responsivitas emosi pasien saat ini, yang
tersirat dari ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan kisaran perilaku
ekspresif.
 Kakteristik gaya bicara
Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasihm
pendiam, tidak spontan, atau terespons normal terhadap petunjuk dari
pewawancara. Gaya bicara dapat cepat atau lambat, tertekan, tertahan,
emosional, dramatis, monoton, keras, berbisik, cadel, terputus-putus, atau
bergumam. Gangguan bicara, contohnya gagap, dimasukkan dalam bagian
ini.
 Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau
lingkungannya, dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang
terlibat (contohnya: auditorik, visual, olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi
atau halusinasi tersebut harus dijelaskan.
 Halusinasi senestik
Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya keadaan
organ tubuh yang terganggu. Contoh halusinasi senestik mencakup sensasi
terbakar pada otak, sensasi terdorong pada pembuluh darah, serta sensasi
tertusuk pada sumsum tulang.
 Ilusi
Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra yang
nyata, sementara halusinasi tidak didasarkan pada citra atau sensasi yang
nyata. Ilusi dapat terjadi pada pasien skizofrenik selama fase aktif, namun
dapat pula terjadi dalam fase prodromal dan selama periode remisi.
 Isi pikir dan kecenderungan mental
o Proses pikir (bentuk pemikiran)
Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide.
Dapat terjadi proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung sangat
ekstrim, disebut flight of ideas. Seorang pasien juga dapat
menunjukkan cara berpikir yang lambat atau tertahan. Gangguan

10
kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang bersifat tangensial,
sirkumstansial, meracau, suka mengelak, atau perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide
selesai diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya
kemampuan berpikir yang mengarah ke tujuan dalam mengemukakan
suatu ide, pasien menyertakan banyak detail yang tidak relevan dan
komentar tambahan namun pada akhirnya mampu ke ide semula.
Tangensialitas merupakan suatu gangguan berupa hilangnya benang
merah pembicaraan pada seorang pasien dan kemudian ia mengikuti
pikiran tangensial yang dirangsang oleh berbagai stimulus eksternal
atau internal yang tidak relevan dan tidak pernah kembali ke ide
semula. Gangguan proses pikir dapat tercermin dari word salad
(hubungan antarpemikiran yang tidak dapat dipahami atau inkoheren),
clang association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi
berdasarkan makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang
diciptakan oleh pasien melalui kombinasi atau pemadatan kata-kata
lain).
o Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi,
fobia, rencana, niat, ide berulang mengenai bunuh diri atau
pembunuhan, gejala hipokondriakal, dan kecenderungan antisosial
tertentu.
 Sensorium dan kognisi
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi
pasien, kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan daya nilai.
o Kesadaran
Gangguan kesadaran biasanya mengindikasikan adanya kerusakan
organik pada otak.
o Orientasi dan memori
Ganggaun orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu, tempat, dan
orang.
o Konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien terganggu karena berbagai allasan. Gangguan
kognitif, ansietas, depresi, dan stimulus internal, seperti halusinasi
auditorik, semuanya dapat berperan menyebabkan gangguan
konsentrasi.

11
o Membaca dan menulis
o Kemampuan visuospasial
Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan
jam dinding atau segilima bertumpuk.
o Pikiran abstrak
Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin
memiliki gangguan dalam membuat konsep atau menangani ide.
o Informasi dan inteligensi
 Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh diri, dan Pembunuhan
Pasien mungkin tidak dapat mengendalikan impuls akibat suatu gangguan
kognitif atau psikotik atau merupakan hasil suatu defek karakter yang
kronik, seperti yang dijumpai pada gangguan kepribadian.
Perilaku kekerasan lazim dijumpai di antara pasien skizofrenik yang tidak
diobati. Waham yang bersifat kejar, episode kekerasan sebelumnya, dan
defisit neurologis merupakan faktor resiko perilaku kekerasan atau
impulsif.
Kurang lebih 50 persen pasien skizofrenik mencoba bunuh diri, dan 10
sampai 15 persen pasien skizofrenia meninggal akibat bunuh diri.
Mungkin faktor yang paling tidak diperhitungkan yang terlibat dalam
kasus bunuh diri pasien ini adalah depresi yang salah diagnosis sebagai
afek mendatar atau efek samping obat. Faktor pemicu lain untuk bunuh
diri mencakup perasaan kehampaan absolut, kebutuhan melarikan diri dari
penyiksaan mental, atau halusinasi auditorik yang memerintahkan pasien
mebunuh diri sendiri.
Saat seorang pasien skizofrenik benar-benar melakukan pembunuhan, hal
itu mungkin dilakukan dengan alasan yang aneh atau tak disangka-sangka
yang didasarkan pada halusinasi atau waham.
 Daya nilai dan tilikan
Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian sosial.
Dapatkah pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya dalam situasi
imajiner. Contohnya: apa yang akan pasien lakukan ketika ia mencium
asap dalam suasana gedung bioskop yang penuh sesak?
Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya.
Pasien dapat menunjukkan penyangkalan total akan penyakitnya atau
mungkin menunjukkan sedikit kesadaran kalau dirinya sakit namun
menyalahkan orang lain, faktor eksternal, atau bahkan faktor organik.

12
Mereka mungking menyadari dirinya sakit, namun menganggap hal
tersebut sebagai sesuatu yang asing atau misterius dalam dirinya.
 Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan
kemampuan untuk melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila
pasien terbuka mengenai penyalahgunaan obat tertentu secara aktif
mengenai keadaan yang menurut pasien dapat berpengaruh buruk
(mislnya, bermasalah dengan hukum), psikiater dapat memperkirakan
bahwa realiabilitas pasien adalah baik.2,3
3. Pemeriksaan tambahan

Tes psikologis: tes inteligensi, tes kepribadian, tes ketangkasan atau bakat,
dan tes neuropsikologis.

 Tes inteligensi
Dapat ditentukan HI (hasil bagi inteligensi) atau IQ (Intelligence Quotient)
sebagai suatu cara numerik untuk menyatakan taraf inteligensi. Rumusnya
sebagai berikut:

Umur mental
HI= ------------------------- x 100
Umur kalender

Umur mental didapat dari tes inteligensi. Umur kalender diambil paling
tinggi 15 (biarpun sebenarnya lebih), karena tes inteligensi yang ada
sekarang sukar untuk mengukur perbedaan inteligensi di atas umur 15
tahun.

 Tes kepribadian
Tes kepribadian lebih sukar dibuat, dipakai dan dinilai sehingga reliabilitas
dan validitas kurang dari tes inteligensi. Hal ini disebabkan antara lain
karena begitu banyaknya sifat kepribadian manusia dan sukarnya mencari
parameter atau indikatro yang tepat dan dapat diukur untuk suatu sifat
kepribadian tertentu. Kepribadian adalah keseluruhan perilaku manusia
atau perannya dalam hubungan antar manusia, pribadinya dapat dibedakan
dari pribadi lain. Peran ini bukan saja perilaku yang nyata, tetapi juga
sikap internal, kecenderungan bertindak dan hambatan. Kepribadian dapat

13
dievaluasi dengan cara observasi, wawancara, atau melalui daftar
pertanyaan, tes melengkapi kalimat atau tes proyeksi.

 Tes neuropsikologis
Tes neuropsikologis merupakan tes yang mempelajari hubungan antara
otak dan perilaku dengan menggunakan prosedur tes yang terstandarisasi
dan objektif. Tes ini menguji kemampuan kognitif. Tujuan tes
neuropsikologis adalah identifikasi, kuantifikasi, dan deskripsi perubahan
kognitif dan perilaku yang disebabkan oleh disfungsi otak. Dalam hal ini,
ranah (domain) yang dievaluasi adalah kemampuan berbahasa, memori,
penalaran dan pertimbangan intelektual, fungsi visual-motor, fungsi
sensori-perseptual, dan fungsi motorik.2,3

2.5.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Meskipun pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan penunjang, tetapi


peranannya penting dalam menjelaskan dan menkuantifikasi disfungsi
neurofisiologis, memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis. Hasil
pemeriksaan laboratorik harus dapat diintegrasikan dengan data riwayat penyakit,
wawancara dan pemeriksaan psikiatrik untuk memperoleh gambaran
komprehensif tentang diagnosis dan pengobatan yang diperlukan oleh pasien.

Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang
digunakan sebagai penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk
dipertimbangkan:

1. Pemeriksaan darah lengkap


2. Elektrolit serum
3. Glukosa darah
4. Tes fungsi hepar
5. Tes fungsi ginjal
6. Kalsium serum
7. Uji fungsi tiroid
8. Pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA)
9. Tes urin untuk obat terlarang.6,7

Gambaran klinis

14
Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan
mereka berada dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama
(bertahun-tahun) dalam fase residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran
penyakit yang “ringan”. Selama periode residual, pasien lebih menarik diri atau
mengisolasi diri, dan “aneh”. Gejala-gejala penyakit biasanya terlihat lebih jelas
oleh orang lain. Pasien dapat kehilangan pekerjaan dan teman karena ia tidak
berminat dan tidak mampu berbuat sesuatu atau karena sikapnya yang aneh.
Pemikiran dan pembicaraan mereka samar-samar sehingga kadang-kadang tidak
dapat dimengerti. Mereka mungkin mempunyai keyakinan yang salah yang tidak
dapat dikoreksi. Penampilan dan kebiasaan-kebiasaan mereka mengalami
kemunduran serta afek mereka terlihat tumpul. Meskipun mereka dapat
mempertahankan inteligensia yang mendekati normal, sebagian besar performa uji
kognitifnya buruk. Pasien dapat menderita anhedonia yaitu ketidakmampuan
merasakan rasa senang. Pasien juga mengalami deteorisasi yaitu perburukan yang
terjadi secara berangsur-angsur.

Gejala Positif dan Negatif

Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi


afek mendatar atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking,
kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.

Gangguan Pikiran

- Gangguan proses pikir


Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering
tidak dapat dimengerti oleh orang lain dann terlihat tidak logis. Tanda-
tandanya adalah:
1. Asosiasi longgar: ide pasien sering tidak menyambung. Ide tersebut seolah
dapat melompat dari satu topik ke topik lain yang tak berhubungan
sehingga membingungkan pendengar. Gangguan ini sering terjadi
misalnya di pertengahan kalimat sehingga pembicaraan sering tidak
koheren.

15
2. Pemasukan berlebihan: arus pikiran pasien secara terus-menerus
mengalami gangguan karena pikirannya sering dimasuki informasi yang
tidak relevan.
3. Neologisme: pasien menciptakan kata-kata baru (yang bagi mereka
meungkin mengandung arti simbolik)
4. Terhambat: pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan
kalimat) dan disambung kembali beberapa saat kemudian, biasanya
dengan topik lain. Ini dapat menunjukkan bahwa ada interupsi.
5. Klang asosiasi: pasien memilih kata-kata berikut mereka berdasarkan
bunyi kata-kata yang baru saja diucapkan dan bukan isi pikirannya.
6. Ekolalia: pasien mengulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang baru saja
diucapkan oleh seseorang.
7. Konkritisasi: pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat
buruk kemampuan berpikir abstraknya.
8. Alogia: pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja (miskin
pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi sangat
sedikit ide yang disamapaikan (miskin isi pembicaraan).
- Gangguan isi pikir
1. Waham: suatu kepercayaan palsu yang menetap yang taksesuai dengan
fakta dan kepercayaan tersebut mungkin “aneh” atau bisa pula “tidak
aneh” tetapi sangat tidak mungkin dan tetap dipertahankam meskipun telah
diperlihaykan bukti-bukti yang jelas untuk mengkoreksinya. Waham sering
ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang
spesifik sering ditemukan pada skizofrenia. Semakin akut skizofrenia
semakin sering ditemui waham disorganisasi atau waham tidak sistematis:
a. Waham kejar
b. Waham kebesaran
c. Waham rujukan
d. Waham penyiaran pikiran
e. Waham penyisipan pikiran
2. Tilikan
Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu
pasien tidak menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhaap
pengobatan, meskipun gangguan yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh
orang lain.

Gangguan Persepsi

16
- Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa
juga berbentuk penglihatan, penciuman, dan perabaan. Halusinasi
pendengaran dapat pula berupa komentar tentang pasien atau peristiwa-
peristiwa sekitar pasien. Komentar-komentar tersebut dapat berbentuk
ancaman atau perintah-perintah langsung ditujukan kepada pasien (halusinasi
komando). Suara-suara sering diterima pasien sebagai sesuatu yang berasal
dari luar kepala pasien dan kadang-kadang pasien dapat mendengar pikiran-
pikiran mereka sendiri berbicara keras. Suara-suara cukup nyata menurut
pasien kecuali pada fase awal skizofrenia.
- Ilusi dan depersonalisasi
Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya
misinterpretasi panca indera terhadap objek. Depersonalisasi yaitu adanya
perasaan asing terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing
terhadap lingkungan sekitarnya misalnya dunia terlihat tidak nyata.

Gangguan Perilaku

Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah gejala


katatonik yang dapat berupa stupor atauh gaduh gelisah. Paien dengan stupor
tidak bergerak, tidak berbicara, dan tidak berespons, meskipun ia sepenuhnya
sadar. Sedangkan pasien dengan katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas
motorik yang tidak terkendali. Kedua keadaan ini kadang-kadang terjadi
bergantian. Pada stupor katatonik juga bisa didapati fleksibilitas serea dan
katalepsi. Gejala katalepsi adalah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk
waktu yang lama. Sedangkan fleksibilitas serea adalah bila anggota badan
dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti pada lilin atau malam dan posisi itu
dipertahankan agak lama.

Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme. Berulang-ulang


melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan tertentu disebut stereotipi.
Misalnya, menarik-narik rambutnya, atau tiap kali bila mau menyuap nasi
mengetuk piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari

17
sampai beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigrasi, kata atau
kalimat diulang-ulangi, hal ini sering juga terdapat pada gangguan otak orgnaik.
Manerisme adalah stereotipi tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam
bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan.

Gangguan Afek

Kedangkalan respons emosi, misalnya penderita menjadi acuh tak acuh


terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri sepertti keadaan keluarganya
dan masa depannya. Perasaan halus sudah hilang. Parathimi, apa yang seharusnya
menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau
marah. Paramimi, penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis.
Parathimi dan paramimi bersama-sama dinamakan incongruity of affect dalam
bahasa inggris dan inadequat dalam bahasa belanda.

Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai


kesatuan, misalnya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari,
tetapi mulutnya seperti tertawa.semua ini merupakan gangguan afek dan emosi
yang khas untuk skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah:

Emosi berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti pada penderita


sedang bersandiwara.

Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk


mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena itu sering
kita tidak dapat merasakan perasaan penderita. Karena terpecah-belahnya
kepribadian, maka dual hal yang berlawanan mungkin timbul bersama-sama,
misalnya mencintai dan membenci satu orang yang sama; menangis dan tertawa
tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi afektif.6,7

2.7.DIAGNOSIS

Adanya halusinasi atau waham tidak mutlak untuk diagnosis skizofrenia;


gangguan pada pasien didiagnosis sebagai skizofrenia apabila pasien
menunjukkan dua gejala yang terdaftar sebagai gejala 3 sampai 5 pada kriteria A
(1.waham 2. Halusinasi 3. Bicara kacau 4. Perilaku yang sangat kacau/katatonik 5.

18
Gejala negatif, yaitu: afek medatar, alogia, atau anhedonia). Hanya dibutuhkan
satu gejala kriteria A bila wahamnya bizare atau halusinasinya terdiri atas suara
yang terus-menerus memberi komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau
dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap. Kriteria B membutuhkan adanya
hendaya fungsi, meski tidak memburuk, yang tampak selama fase aktif penyakit.
Gejala harus berlangsung selama paling tidak 6 bulan dan diagnosis gangguan
skizoafektif atau gangguan mood harus disingkirkan. Setidaknya salah satu hal ini
harus ada:

1. Gema pikiran (thought echo)

2. Waham kendali, pengaruh, atau pasivitas

3. Suara-suara halusinasi yang terus-menerus mengomentari perilaku pasien atau


saling mendiskusikan pasien, atau suara halusinasi lain yang berasal dari bagian
tubuh tertentu; dan

4. Waham persisten jenis lain yang secara budaya tidak sesuai dan sangat tidak
masuk akal.

Diagnosis juga dapat ditegakkan bila setidaknya dua hal berikut ada:

1. Halusinasi persisten dalam modalitas apapun, bila terjadi setiap hari selama
sekurangnya 1 bulan, atau bila disertai waham

2. Neologisme, kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan


menggabungkan suku kata atau dari kata-kata lain.

3. Perilaku katatonik, seperti eksitasi, postur atau fleksibilitas serea, negativisme,


mutisme, dan stupor

4. Gejala negatif, seperti apatis yang nyata, miskin isi pembicaraan, dan respons
emosional tumpul serta ganjil (harus ditegaskan bahwa hal ini bukan disebabkan
depresi atau pengobatan antipsikotik).

Jenis – Jenis Skizofrenia

a. Tipe paranoid

19
Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih
waham atau halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku
spesifik yang sugestif untuk tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik,
skizofrenia tipe paranoid terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau
kebesaran. Pasien skizofrenia paranoid biasanya mengalami episode pertama
penyakit pada usia yang lebih tua dibanding pasien skizofrenia hebefrenik
dan katatonik. Pasien yang skizofrenianya terjadi pada akhir usia 20-an atau
30-an biasanya telah memiliki kehidupan sosial yang mapan yang dapat
membantu mengatasi penyakitnya, dan sumber ego pasien paranoid
cenderung lebih besar dibanding pasien skizofrenia hebefrenik atau katatonik.
Pasien skizofrenia paranoid menunjukkna regresi kemampuan mental,
respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien
skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid biasanya tegang, mudah
curiga, berjaga-jaga, berhati-hati, dan terkadang bersikap bermusuhan atau
agresif, namun mereka kadang-kadang dapat mengendalikan diri mereka
secara adekuat pada situasi sosial. Inteligensi mereka dalam area yang tidak
dipengaruhi psikosisnya cenderung tetap utuh.
b. Tipe disorganized
Skizofrenia tipe disorganized (sebelumnya disebut hebefrenik) ditandai
dengan regresi nyata ke perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta
dengan tidak adanya gejala yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Onset
subtipe ini biasanya dini, sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik biasanya
aktif namun dalam sikap yang nonkonstruktif dan tak bertujuan. Gangguan
pikir menonjol dan kontal dengan realitas buruk. Penampilan pribadi dan
perilaku sosial berantakan, respons emosional mereka tidak sesuai dan tawa
mereka sering meledak tanpa alasan jelas. Seringai atau meringis yang tak
pantas lazim dijumpai pada pasien inim yang perilakunya paling baik
dideskripsikan sebagai konyol atau tolol.
c. Tipe katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari beberapa bentuk katatonia:
- Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap
lingkungan atau orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung
di sekitarnya.

20
- Negativsme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah atau
usaha-usaha untuk menggerakkan fisiknya.
- Rigiditas katatonik yaitu pasien secara fisik sangat kaku atau rigid.
- Postur katatonik yaitu pasein mempertahankan posisi yang tak biasa atau
aneh.
- Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin
dapat mengancam jiwanya (misalnya, karena kelelahan).
d. Tipe tak terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif yang
menonjol (misalnya: kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria
skizofrenia tetapi tidak dapat digolongkan pada tipe paranoid, katatonik,
hebefrenik, residual, dan depresi pasca skizofrenia.
e. Tipe residual
Pasien dalam keadaan remmsi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan
gejala-gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi,
perilaku eksentrik, asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).
f. Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks adalah sulatu diagnosis yang sulit dibuat secara
meyakinka karena bergantung pada pemastian perkembangan yang
berlangsung perlahan, progresif dari gejala “negatif” yang khas dari
skizofrenia residual tanpa adanya riwayat halusinasi, waham atau manifestasi
lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya, dan disertai degan
perubahan-perubahan yang bermakna pada perilaku perorangan, yang
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, kemalasan, dan
penarikan diri secara sosial.1,3

2.8.PATOFISIOLOGI

Neurobiologi

Terdapat peningkatan jumlah penelitian yang mengindikasikan adanya


peran patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal,
serebelum, dan ganglia basalis. Keempat area ini saling terhubung sehingga

21
disfungsi satu area dapat melibatkan proses patologi primer di tempat lain.
Pencitraan otak manusia hidup dan pemeriksaan neuropatologi jaringan otak
postmortem menyatakan sistem limbik sebagai lokasi potensial proses patologi
primer pada setidaknya beberapa, bahkan mungkin sebagian besar, pasien
skizofrenia.

Dua are yang menjadi subjek penelitian aktif adalh waktu ketika suatu lesi
neuropatologi terlihat di otak serta interaksi lesi tersebut dengan stresor sosial dan
lingkungan. Dasar penampakan abnormalitas otak mungkin terletak pada
pembentukan abnormal atau pada degenerasi neuron setelah pembentukan.
Namun, fakta bahwa kembar monozigotik memiliki angka kejadian bersama
sebesar 50% menyiratkan adanya interaksi yang masih sangat sedikit diketahui
antara lingkungan dan timbulnya skizofrenia. Di lainppihak, faktor yang mengatur
ekspresi gen baru mulai dipahami. Meski kembar monozigotik mempunyai
informasi genetik yang sama, regulasi gen yang berbeda sepanjang hidup
mungkin menyebabkan salah satu kembar monozigotik mengalami skizofrenia,
sementara kembarannya tidak.

Neuroanatomik, Neurofungsional, dan Neurokognitif

CT-scan dan MRI secara konsisten menunjukkan peningkatan volume


ventrikel lateral dan ketiga pada pasien skizofrenia. Studi ini umumnya juga
menunjukkan pengurangan volume otak secara keseluruhan pasien skizofrenia
dan pengurangan tertentu dalam ukuran dari struktur lobus temporal medial,
seperti amigdala dan hipokampus. Selain itu, penelitian telah melaporkan
penurunan ukuran dari thalamus dan kelainan pada garis tengah daerah
perkembangan. Tak satu pun dari perubahan ini spesifik untuk skizofrenia,
meskipun beberapa telah terbukti ada pada pasien dengan episode penyakit
pertama dan tidak menggunakan obat sebelumnya.

Teknik fungsional neuroimaging, seperti tomografi emisi positron (PET),


menunjukkan secara in vivo pengukuran metabolisme glukosa regional atau aliran darah
otak, dimana keduanya mencerminkan aktivitas neuron regional. Sebagian besar
penelitian telah mendeteksi perubahan aktivitas di korteks prefrontal, struktur ganglia
basalis, daerah temporo-limbik, dan thalamus, menunjukkan fungsi sirkuit cortico-striato-

22
thalamo-kortikal yang terganggu. Penurunan aktivitas dalam korteks prefrontal pada
pasien skizofrenia sering diamati selama tugas aktivasi kognitif dan memori kerja.
Selama halusinasi pendengaran aktif, aktivasi abnormal thalamus, striatum, limbik, dan
daerah paralimbik telah terdeteksi. Pasien skizofrenia yang menampilkan kelainan pada
bagian prefrontal, thalamic, dan cerebellar, menunjukkan gangguan dalam sirkuit
pontine-cerebellar-thalamic-frontal.

Neurokimia

Penemuan menunjukkan bahwa disregulasi dopamin yang kompleks


terjadi dengan aktivitas hiperdopaminergik dalam proyeksi mesencephalic ke
striatum limbik dan aktivitas hipodopaminergik di neokorteks. Bukti dari kegiatan
hiperdopaminergik termasuk hubungan antara efektivitas dopamin reseptor yang
mengikat obat dan pengurangan gejala positif serta peningkatan reseptor D2
dalam studi postmortem dan PET.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berbagai gejala positif


berhubungan dengan kelainan dalam penyimpanan dopamin presynaptic,
pelepasan, transportasi, dan reuptake dalam sistem mesolimbik. Hipo-aktivitas
dari sistem dopamin ditunjukkan dari penemuan penurunan onset dopamin pada
pasien dengan gejala negatif, dan dalam beberapa penelitian agonis dopamin telah
terbukti memperbaiki gejala negatif. Pencitraan fungsional juga menunjukkan
bahwa hipo-frontalitas akan lebih parah pada pasien dengan gejala negatif.

Serotonergik, glutamatergic, dan sistem neurotransmitter lainnya


(misalnya, gamma-aminobutyric acid [GABA]) telah diselidiki pada skizofrenia,
terutama mengacu pada interaksi dengan sistem dopaminergik.. Dalam studi
tentang sistem GABAergic, penurunan dekarboksilase asam glutamat, enzim
GABA-sintesis, telah diamati dalam korteks prefrontal pada pasien skizofrenia,
dan perubahan dalam subtipe neuron GABAergic telah dilaporkan.

Sistem opioid juga telah dianggap sebagai kandidat yang berpotensial


yang terlibat dalam skizofrenia, didasarkan terutama pada kesamaan antara efek
farmakologis dari terjadinya tanda opioid dan kejiwaan. Hipotesis telah diusulkan
pada peningkatan maupun penurunan level dari berbagai peptide opioid sebagai
faktor yang mendasari sebagai penyebab gejala skizofrenia. Namun, penelitian

23
klinis berdasarkan hipotesis sering menghasilkan hasil variable atau bermacam-
macam.5

2.10.DIAGNOSIS BANDING

Gangguan Psikotik Lain

Gejala psikotik pada skizofrenia dapat identik dengan gangguan


skizofreniform, gangguan psikotik singkat, gangguan skizoafektif, dan gangguan
waham. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia berupa gejala yang
berdurasi setidaknya 1 bulan tapi kurang dari 6 bulan. Gangguan psikotik singkat
merupakan diagnosis yang sesuai bila gejala berlangsung setidaknya 1 hari tapi
kurang dari 1 bulan dan bila pasien tidak kembali ke keadaan fungsi
pramorbidnya dalam waktu tersebut. Jika suatu sindrom manik atau depresif
terjadi bersamaan dengan gejala utama skizofrenia, gangguan skizoafektif adalah
diagnosis yang tepat. Waham nonbizar yang timbul selama sekurangnya 1 bulan
tanpa gejala skizofrenia lain atau gangguan mood patut didiagnosis sebagai
gangguan waham.

Gangguan Kepribadian

Berbagai gangguan kepribadian mungkin memiliki sebagian gambaran


yang sama dengan skizofrenia. Gangguan kepribadian skizotipal, skizoid, dan
ambang adalah gangguan kepribadian dengan gejala yang paling mirip. Gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif yang parah dapat menyamarkan suatu proses
skizofrenik yang mendasari. Tak seperti skizofrenia, gangguan kepribadian
memiliki gejala ringan dan riwayat terjadi seumur hidup pasien. Gangguan ini
juga tidak memiliki tanggal awitan yang dapat diidentifikasi.

Gangguan Waham

Konsep utama mengenai penyebab gangguan waham adalah perbedaanya


dengan skizofrenia dan gangguan mood. Gangguan waham lebih jarang daripada
skizofrenia maupun gangguan mood, onsetnya lebih lambat daripada skizofrenia
dan dominasi perempuan kurang nyata daripada gangguan mood. 3

24
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Waham.3

A. Waham tidak bizar ( melibatkan situasi yang terjadi dalam kehidupan nyata,
seperti merasa diikuti, diracuni, terinfeksi, dicintai dari jauh, atau dikhianati
pasangan atau kekasih, atau menderita suatu penyakit) sekurang-kurangnya 1
bulan.
B. Kriteria A skizofrenia tidak terpenuhi. Catatan: halusinasi taktil dan olfaktori
dapat terjadi gangguan waham jika sesuai dengan tema waham.
C. Berbeda dengan dampak waham atau hasil akhirnya, fungsi tidak terganggu
secara nyata dan perilaku tidak secara jelas, aneh, atau bizar.
D. Jika episode mood telah terjadi bersamaan dengan waham, durasi totalnya
singkat dibandingkan durasi periode waham.
E. Gangguan tidak disebabkan efek fisiologis suatu zat secara langsung (c/o:
penyalahgunaan, suatu obat) atau kondisi medis umum.

Jenis-jenis waham.3

Pada tipe waham ini, orang lain, biasanya dengan status


Waham erotomania
lebih tinggi, jatuh cinta kepada dirinya.

Pada tipe waham ini, terdapat kekuatan, pengetahuan,


Waham kebesaran penghargaan, identitas yang berlebihan atau hubungan
khusus terhadap orang yang terkenal atau dewa.

Pada tipe waham ini, pasangan seksual seseorang


Waham cemburu
dianggap tidak setia.

Pada tipe waham ini, orang (atau seseorang yang dekat)


Waham kejar
dianggap diperlakukan dengan kasar.

Pada tipe waham ini, orang mempunyai beberapa cacat


Waham somatik
fisik atau kondisi medis umum.

Pada tipe waham ini ciri khas lebih dari satu tipe di atas
Waham campuran
tetapi tidak ada tema yang menonjol.

2.11.PENATALAKSANAAN

25
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.

Farmakoterapi

Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk


mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik
mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-
dopamin.8

Antagonis Reseptor Dopamin

Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia,


terutama terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama.
Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat
memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor
dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek yang
paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-parkinsonian berupa
rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda dan sindrom
neuroleptik maligna.8

Antagonis Serotonin-Dopamin

SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada,


berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding
antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamat.
Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan endokrinologis yang
lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala negatif skizofrenia. Obat
yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal ini tampaknya efektif untuk
pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik
antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya
dengan haloperidol untuk gejala positif skizofrenia, secara unik efektif untuk
gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal.
Beberapa SDA yang telah disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon,
olanzapin, sertindol, kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan

26
menggantikan antagonis reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama untuk
penanganan skizofrenia.

Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen


antipsikotik, pada subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah
penggunaan antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan
mengobati keadaan skizofrenia.2,3,6

Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.4

Nama Obat

Haloperidol Untuk manajemen psikosis. Juga untuk saraf motor dan suara
(Haldol) pada anak dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas
ditentukan, tetapi diseleksi oleh competively blocking
postsynaptic dopamine (D2) reseptor dalam sistem
mesolimbic dopaminergic; meningkatnya dopamine turnover
untuk efek tranquilizing. Dengan terapi subkronik,
depolarization dan D2 postsynaptic dapat memblokir aksi
antipsikotik.

Risperidone Monoaminergic selective mengikat lawan reseptor D2


(Risperdal) dopamine selama 20 menit, lebih rendah afinitasnya
dibandingkan reseptor 5-HT2. Juga mengikat reseptor
alpha1-adrenergic dengan afinitas lebih rendah dari H1-
histaminergic dan reseptor alpha2-adrenergic. Memperbaiki
gejala negatif pada psikosis dan menurunkan kejadian pada
efek ekstrpiramidal.

Olanzapine Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang


(Zyprexa) melintasi sistem reseptor (seperti serotonin, dopamine,
kolinergik, muskarinik, alpha adrenergik, histamine). Efek
antipsikotik dari perlawanan dopamine dan reseptor serotonin
tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis dan
gangguan bipolar.

Clozapine Reseptor D2 dan reseptor D1 memblokir aktifitas, tetapi

27
(Clozaril) nonadrenolitik, antikolinergik, antihistamin, dan reaksi
arousal menghambat efek signifikan. Tepatnya antiserotonin.
Resiko terbatasnya penggunaan agranulositosis pada pasien
nonresponsive atau agen neuroleptik klasik tidak bertoleransi.

Quetiapine Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang.


(Seroquel) Mampu melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan
lebih awal antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan
kurangnya distonia, parkinsonism, dan tardive diskinesia.

Aripiprazole Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia.


(Abilify) Mekanisme kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya
berbeda dari antipsikotik lainnya. Aripiprazole menimbulkan
partial dopamine (D2) dan serotonin (5HT1A) agonis, dan
antagonis serotonin (5HT2A).

Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran

Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari

Risperidone Tab. 1 – 2 – 3
2 – 6 mg/hari
(Risperdal) mg

Olanzapine
Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
(Zyprexa)

Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100


25 – 100 mg/hari
mg

Quetiapine Tab. 25 – 100


(Seroquel) mg 50 – 400 mg/hari

200 mg

Aripiprazole
Tab. 10 – 15 mg 10 – 15 mg/hari
(Abilify)

Profil Efek Samping

28
Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:

 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,


kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering,
kesulitan miksi&defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,akathisia, sindrom parkinson:
tremor, bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian panjang.

Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang lambat, ada yang
sampai membutuhkan obat simptomatik untuk meringankan penderitaan pasien.

Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia (gerakan berulang


involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada
waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka
panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak
berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis.

Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus


dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin lengkap, fungsi hati,
fungsi ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.

Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat


overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat
yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila obat
belum lama dimakan.

Interaksi Obat

 Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat


(hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit
jantung).
 Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus
dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat.

29
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah antipsikosis
Haloperidol.
 Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurn disebabkan
gangguan absorpsi.

Terapi Psikososial

- Pelatihan keterampilan sosial


Peatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi
keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan
berguna untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang
biasa tampak pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas
terlihat melibatkan hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk
kontak mata yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi
wajah yang aneh, kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi
yang tidak akurat atau kurangnya persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan
keterampilan perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui penggunaan video
tape berisi orang lain dan si pasien, bermain drama dalam terapi, dan tugas
pekerjaan rumah untuk keterampilan khusus yang dipraktekkan.

- Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus
pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
dapat berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau
suportif.

- Terapi perilaku kognitif


Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas, serta mengoreksi
kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang
membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang
mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya aalah yang memiliki
tilikan terhadap penyakitnya.

- Psikoterapi individual

30
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk
membangun hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman. Reliabilitas
terapis, jarak emosional antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis
sebagaimana yang diartikan oleh pasien, semuanya mempengaruhi
pengalaman terapeutik. Psikoterapi untuk pasien skizofrenia sebaiknya
dipertimbangkan untuk dilakukan dalamm jangka waktu dekade, dan
bukannya beberapa sesi, bulan, atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan
peneliti menekankan bahwa kemampuan pasien skizofrenia utnuk
membentuk aliansi terapeutik dengan terapis dapat meramalkan hasil akhir.
Pasien skizofrenia yang mampu membentuk aliansi terapeutik yang baik
cenderung bertahan dalam psikoterapi, terapi patuh pada pengobatan, serta
memiliki hasil akhir yang baik pada evaluasi tindak lanjut 2 tahun. Tipe
psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal merupakan bentuk
penanganan individual untuk pasien skizofrenia yang baru-baru ini terbentuk.
Tujuannya adalah meningkatkan penyesuaian personal dan sosial serta
mencegah terjadinya relaps. Terapi ini merupakan metode pilihan
menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi
diri, kesadaran diri, serta eksplorasi kerentanan individu terhadap stress. 2,3

2.12.KOMPLIKASI

Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan


mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami
penderita yang tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi
sosial, dimana penderita dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga
menjadi korban kekerasan dan melukai diri sendiri. Pada komplikasi depresi,
penderita dapat melakukan tindakan bunuh diri. Disamping bunuh diri karena
depresi dan halusinasi, penderita skizofrenia yang tadinya tidak merokok, banyak
menjadi perokok berat ini diperkirakan karena faktor obat, yang memblok satu
reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang menimbulkan rasa senang,
pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya penderita skizofrenia
mencari kompensasi dengan mengambil nikotin dari luar, dari rokok. Dan resiko

31
dari perokok memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran pernapasan,
kanker, jantung, dan penyakit fisik lainnya.

Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap hormon


estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi tulang sehingga
dapat terjadi osteoporosis.9

2.13.PROGNOSIS

Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun


setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-
20% persen yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari
50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat
inap berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan
bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang
memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka
pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan taksiran yang masuk akal
adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala sedang, dan 40-60% pasien
tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama hidup
mereka.3

2.14.PENCEGAHAN

Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak


bisa dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini
penting, terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini,
bila telah didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah
terjadinya gejala skizofrenia berkelanjutan.4

32
BAB III

DATA PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Tempat, tanggal lahir : 12 April 1994
Usia : 26 tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Alamat : JL. Handil Bakti, RT 06 RW 44 Banjarmasin
Pendidikan : SD
Pekerjaan : tidak bekerja
Agama : Islam
Suku : Banjar
Bangsa : Indonesia
Status Perkawinan : Belum Menikah
Tanggal Berobat : 27 Januari 2020
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Diperoleh dari autoanamnesis dan heteroanamnesis dengan pasien dan ayah

pasien pada tanggal 27 Januari 2020 pukul 11.45 WITA di Poliklinik Jiwa RS

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.


A. Keluhan Utama
Keluhan utama pasien susah tidur
B. Riwayat gangguan sekarang
Autoanamnesa
Pasien dibawa oleh ayahnya menggunakan motor ke poliklinik jiwa RS

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Saat datang, pasien nampak mengenakan baju

kaos berwarna hitam dengan dilapisi oleh jaket putih tebal, celana jeans ketat

berwarna biru, pasien menggunakan alas kaki berupa sandal, secara keseluruhan

pasien nampak terawat dan sesuai dengan usia pasien .Saat dilakukan anamnesis,

pasien tampak kooperatif kepada pemeriksa. Pasien sering senyum sendiri dan

ketawa kecil tanpa sebab. Saat ditanyakan alasan datang ke RS Moch. Ansari

Saleh, pasien menjawab bahwa pasien tidak tau kenapa dibawa ke rumah sakit,

pasien hanya menuruti kata ayahnya untuk pergi bersama ke rumah sakit karena

pasien sulit untuk tidur. Sulit tidur sudah dirasakan pasien selama 2 bulan terakhir.

33
Keluhannya muncul perlahan, semakin lama semakin bertambah berat. Saat

malam hari, pasien merasa gelisah dan membuat pasien tidak bisa tidur. Saat

ditanyakan apa yang membuatnya gelisah, pasien tidak dapat memberitahukan

alasannya. Gelisah bisa dirasakan sampai jam 2 dini hari sampai membuat pasien

sibuk mengelilingi kamar. Padahal sebelumnya pasien biasa tidur jam 10 malam

hari. Jika gelisah sudah menghilang, pasien akan mencoba tidur. Namun jika

sudah tertidur, pasien akan cepat terbangun kembali karena mendengar suara –

suara pada saat pasien sedaang tidur yang membuat pasien terbangun. Saat

ditanyakan jenis suara apa yang muncul, pasien mengatakan bahwa suara yang

muncul seperti ada orang yang memanggil untuk pergi bermain bersama, pasien

seringkali melihat kearah luar jendela untuk mencari sumber suara, dan pasien

mengaku melihat teman teman pasien memanggil untuk keluar. Saat ditanya

teman yang mana, pasien tidak bisa menyebutkan nama teman- teman yang

dimaksud pasien. Saat pagi hari, pasien seringkali melihat banyak orang

berkumpul di depan rumahnya untuk mengajaknya bermain permainan kartu dan

domino, pasien sering pergi keluar untuk menemui teman – temannya tersebut.

Pasien makan rutin tanpa disuruh 3 kali sehari. Pasien rajin menjaga kebersihan

lingkungan tempat tinggalnya. Pasien mengaku tidak memiliki hambatan atau

gangguan dalam melakukan kegiatan sehari hari. Pasien rajin beribadah shalat,

shalat jumat juga tidak pernah dilupakan pasien. Pasien tidak pernah tersesat saat

keluar dari rumahnya, selalu bisa kembali ke rumah setelah bermain dengaan

teman teman yang diakuinya tersebut. Pasien mengalami gangguan kesadaran dan

daya konsentrrasi yang lemah. Pasien mengaku mendengar bisikan-bisikan yang

tidak didengar orang lain, melihat sosok manusia yang tidak dilihat orang lain.

34
Pasien tidak pernah memiliki pikiran unruk melukai diri ataupun mencoba bunuh

diri. Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol atau obat-obat terlarang. Pasien

memiliki riwayat kejang saat kecil dulu dan serangan terakhir pada saat pasien

berumur 6 tahun.
Heteroanamnesis (Anak Pasien)
Menurut ayah pasien, keluhan sulit tidur pasien sudah diraskan sejak 2

bulan yang lalu. Saat malam hari pasien sering gelisah dan mondar-mandir taanpa

tujuan didalam kamar pasien. Hal ini bisa terjadi sampai dini hari. Jika pasien

sudah bisa tertidur, pasien akan sering terbangun kembaali setelaah beberapa saat.

Saat terbngun dari tidur pasien juga akan gelisah seperti sebelum pasien tidur.

Pasien sering keluar pada malam hari, saaat ditanyakan alasannya kenapa, daan

mau kemana, pasien berkata bahwa ia telah dipanggil teman temanny untuk

bermaain kartu di depan rumah. Saati dicek, tidak ada seorang pun yang aada di

luar rumah. Anggota keluarga yang lain jugaa tidak melihat siapa siapa dan

mendengar suaaraa panggilan apapun. Pasien tidaak pernaah marah pada saat

ayah pasien melarang pasien untuk pergi keluar. Ayah pasien sudah sering

menegur pasien agar tidak keluar keluyuran di malam hari. Saat siang hari

keluhan tersebut juga muncul pada pasien, pasien sering pergi entaah kemaana

namun bisa pulang kembali ke rumah. Pasien juga sering melongo sendiri didalam

rumah, saat ditanya apa yang dilamunkan, pasien sering berkata bahwa ia hanya

melihat temaan temaannya bermain kartu. Pasien masih dapat melakukan sendiri

kegiatan sehari-hari seperti mandi, makan, berpakaian, buang air besar dan kecil,

serta ibadah. Pasien memiliki riwayat kejang saat kecil dulu dan serangan terakhir

pada saat pasien berumur 6 tahun. Pasien telah berobat sebelumnya ke RSUD

35
Ulin Banjarmasin di poli jiwa, pasien diberi obat donepezil 5mg, haloperidol

0,5mg, piracetam 800mg, clopidogrel 75mg, dan metformin 500mg. ???


C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
1. Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasien tidak pernah menderita keluhan serupa sebelumnya. Pasien tidak

pernah menderita gangguan jiwa yang lainnya.


2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Keluarga pasien mengaku pasien tidak pernah menggunakan obat narkotika

atau psikotropika serta tidak pernah meminum alkohol.


3. Riwayat penyakit dahulu (medis)

Pasien memiliki riwayat kejang saat kecil dulu dan serangan terakhir pada

saat pasien berumur 6 tahun. Pasien baru kali ini mengalami keluhan seperti ini.

D. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat pranatal
Pasien dilahirkan dengan persalinan normal dan tidak terdapat kelainan saat

kehamilan maupun proses kelahiran.


2. Masa kanak-kanak awal
Pasien tumbuh dan berkembang sesuai usianya dan mempunyai banyak

teman. Tidak ada gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan dan dapat

berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-temannya.


3. Masa kanak-kanak akhir
Pasien mengaku memiliki banyak teman. Pasien tidak pernah tinggal kelas.

Pasien hanya sekolah hingga kelas 2 SD dan tidak melanjutkan ke SMP karena

pasien merasa malas.


4. Riwayat pekerjaan
Pasien tidak bekerja sehingga untuk kebutuhan sehari haari masih tinggal

bersama dengan orang tua.


5. Riwayat agama
Pasien beragama islam. Pasien masih dapat sholat 5 waktu dan mengaji

setelah sholat subuh dan magrib. Shaalat Jumat tidak pernah lewat.
6. Aktivitas sosial
Pasien adalah orang yang penyendiri dan tidak terlalu senang bergaul

dengan tetangga. Pasien biasanya hanya didalam rumah dan menonton TV.
E. Riwayat keluarga

36
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan sama seperti pasien.

Genogram

Keterangan : Pasien

: Laki-laki

: Perempuan

: Sakit

: Meninggal

F. Situasi sosial sekarang


Pasien seorang lelaki berusia 26 tahun. Pasien belum menikah. Pasien saat

ini tinggal di rumah orang tua pasien. Hubungan pasien dengan keluarga baik.

Pasien tidak bekerja dan untuk mengisi waktu luang pasien sering menonton TV.

Pasien dapat bersosialisasi dengan baik terhadap orang - orang di lingkungan

sekitar.
G. Persepsi (tanggapan) pasien tentang dirinya dan kehidupannya
tidak ada yang ingin diubah oleh pasien.
III. STATUS MENTAL

A. Deskripsi Umum

1. Penampilan

37
Pasien dibawa oleh ayahnya menggunakan motor ke poliklinik jiwa RS

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Saat datang, pasien nampak mengenakan baju

kaos berwarna hitam dengan dilapisi oleh jaket putih tebal, celana jeans ketat

berwarna biru, pasien menggunakan alas kaki berupa sandal, secara keseluruhan

pasien nampak terawat dan sesuai dengan usia pasien

2. Perilaku dan aktivitas psikomotorik : normoaktif

3. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif

B. Keadaan Emosi

1. Mood : Euthym

2. Afek : Luas

3. Keserasian : Tidak serasi

C. Gangguan Persepsi

 Halusinasi A/V/G/T/O : +/+/-/-/-


 Ilusi : (???) bedanya denga halu visual?
 Depersonalisasi : (-)
 Derealisasi : (-)

D. Pembicaraan : Spontan

E. Proses pikir

 Bentuk pikir : Realistis


 Arus pikir : Koheren
 Isi pikir
o Preokupasi : (-)
o Waham : (-)
F. Sensorium dan kognitif
1. Kesadaran
a. Kuantitatif (GCS) : E4V5M6 (compos mentis)
b. Kualitatif (Psikiatri) : Jernih
2. Orientasi
a. Waktu : baik
b. Tempat : baik
c. Orang : baik
3. Daya ingat
a. Jangka segera : baik

38
b. Jangka pendek : kurang
c. Jangka menengah : kurang
d. Jangka panjang : baik
4. Konsentrasi : baik
5. Perhatian : baik
6. Kemampuan membaca dan menulis : baik
7. Kemampuan visuospasial : baik
8. Pikiran abstrak : baik
9. Kapasitas intelegensia : baik
10. Bakat kreatif : baik
11. Kemampuan menolong diri sendiri : baik

G. Pengendalian Impuls : baik

H. Daya Nilai

 Daya norma sosial : baik


 Uji daya nilai : baik
 Penilaian realita : baik
 Tilikan : Tilikan 1

I. Taraf Dapat Dipercaya : tidak dapat dipercaya

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT


1. Status Interna :

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 99 kali/menit, reguler dan kuat angkat

Respirasi : 19 kali/menit

Suhu : 36,7oC

SpO2 : 99%

 Kulit: Tidak terdapat anemis, purpura, ikterik, hiperpigmentasi.


 Kepala dan leher: Normosefali, tidak terdapat perbesaran KGB, tidak ada

peningkatan JVP, bruit (-).


 Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan (-/-), mata

berair (-/-), ptosis (-/-), pandangan kabur (-/-), pupil isokor (3 mm/3 mm).

Funduskopi (tidak dilakukan).


 Telinga: Serumen minimal, sekret (-/-), nyeri mastoid (-/-)
 Hidung: Epistaksis (-/-), sekret (-/-)

39
 Mulut: Perdarahan gusi (-), pucat (-), sianosis (-), stomatitis (-).
 Toraks: suara napas vesikuler, wheezing (-/-), ronki (-/-)
 Jantung: S1>S2, tunggal, irama reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen: datar, BU (+), perkusi timpani, palpasi supel
 Punggung: skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-), nyeri ketok ginjal (-)
 Ekstremitas: gerak sendi normal, deformitas (-), kemerahan (-), varises(-),

panas (-), nyeri (-), massa (-), edema (-), kelemahan ekstrimitas superior

dextra.
2. Status Neurologis
 Nervus I-XII : dalam batas normal
 Rangsang meningeal : (-)
 Refleks fisiologis : dalam batas normal
 Refleks patologis : (-)

IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


1. Pasien laki laki usia 26 tahun datang untuk berobat dengan keluhan susah

tidur.
2. Pasien sering gelisah sebelum tidur dan menyebabkan pasien tidak bisa tidur

sampai dini hari. Jika sudah tertidur, pasien sering terbangun tiba tiba karena

mendengar suara yang memanggil. Orang lain selain pasien tidak pernah

mendengar ada yang memanggil pasien.


3. Pasien mengaku sering melihat teman temannya ada di depan rumah untuk

mengajaknya bermain, namun orang lain selain diri nya tidak pernah melihat

sosok tersebut.
4. Pasien masih dapat mengurus diri sendiri seperti mandi, makan, BAB dan

BAK sendiri.
5. Pasien pernah dibawa ke poli jiwa di RSUD Ulin Banjarmasin untuk

mengatasi keluhan, diberikan obat- obatan

berunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnmerasa obat yang diberikan oleh dokter ada

sedikit perubahan.
6. Fungsi kognitif pada pasien berkurang terutama pada daya ingat jangka

pendek dan menengah. Kemampuan pasien mengendalikan impuls masih

40
baik. Pasien tidak mempunyai riwayat trauma kepala, kejang, stroke atau

tumor otak. Orientasi waktu, tempat, orang dan situasi baik.


7. Di keluarga pasien, tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang

sama dengan pasien.


8. Pasien lahir secara normal dan tidak terdapat penyulit pada proses persalinan.

Masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa pasien memiliki kemampuan

bersosialisasi kurang baik.


9. Pasien menempuh pendidikan sampai dengan taraf SD.
10. Kegiatan pasien saat ini sebagai pengangguran.
11. Pasien belum menikah.

V. DIAGNOSTIK DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

1. Aksis I : F.20.0 Skizofrenia paranoid


2. Aksis II : F 60.0 Gangguan kepribadian paranoid
3. Aksis III : None
4. Aksis IV : Masalah psikososial
5. Aksis V : GAF scale 70-61

VI. PROGNOSIS

Diagnosis penyakit : dubia ad bonam

Ciri kepribadian : dubia ad bonam

Diagnosis stressor : dubia ad bonam

Gangguan sistemik : dubia ad malam

Perjalanan penyakit : dubia ad bonam

Usia saat menderita : dubia ad malam

Pendidikan : dubia ad malam

Lingkungan sosial : dubia ad bonam

Pengobatan psikiatri : dubia ad bonam

Kesimpulan : dubia ad bonam

VII. RENCANA TERAPI

41
Psikofarmaka : Stesoli 1 mg

Arkin 1mg

Sammol tab

PO. Lorazepam (0-0-1)

Psikoterapi :

a. Terapi Orientasi Realitas: mengatakan sesuatu secara terus-menerus dan

berulang atau menunjukkan pengingat tertentu kepada orang yang

mengalami kehilangan memori ringan hingga sedang dapat

menghasilkan peningkatan interaksi dengan orang sekelilingnya dan

meningkatkan orientasi.

b. Terapi Reminiscence melibatkan diskusi tentang kegiatan, peristiwa,

dan pengalaman masa lalu, dengan orang lain atau sekelompok orang.

Terapi ini sering menggunakan alat bantu berupa video, gambar, arsip,

dan buku kisah hidup.

Edukasi :

a. Menjaga komunikasi yang baik dengan pasien menggunakan bahasa

sederhana, kalimat-kalimat pendek dan konkrit yang sesuai dengan

tingkat pemahaman.

b. Penyesuaian fisik: suasana tenang, ruang nyaman dan musik yang

sesuai. Menghindarkan hal-hal yang membuat pasien takut dan

bingung.

c. Penyesuaian waktu: pasien dibuatkan program acara harian yang

menetap.

42
d. Perhatikan kesehatan tidur pasien, yaitu dengan meningkatkan aktivitas

pada siang hari agar malam hari dapat tidur.

e. Pemberian nutrisi yang baik dan seimbang agar pasien tidak

kekurangan gizi. Hampir 90% pasien demensia mengalami penurunan

berat badan karena ada kesulitan asupan makanan.

Usul Pemeriksaan Penunjang: tidak ada

43
BAB IV

PEMBAHASAN

Demensia ialah kemunduran fungsi mental umum, terutama inteligensi

disebabkan oleh kerusakan jaringan otak yang tidak dapat kembali lagi

(ireversibel). Gejala yang dapat terjadi biasanya terdapat disorientasi, gangguan

ingatan, emosi yang labil, kekeliruan mengenai hitungan dan mengenai

pembicaraan sehari-hari, serta terjadi afasia. Sering juga terdapat perseverasi,

pembicaraan logoklonia, dan bila sudah berat, maka penderita tidak dapat

dimengerti lagi. Pada beberapa kasus ada yang menjadi gelisah dan hiperaktif.

Pada fase ini ia sudah sangat dement dan tidak dapat diadakan kontak dengannya

lagi. Penyakit ini biasanya berlangsung 5-10 tahun, kadang-kadang kelihatan

naik-turun. Pada pasien, gejala yang muncul adalah gangguan ingatan, terutama

gangguan ingatan jangka pendek, gangguan emosi yang labil, pasien menjadi

lebih sering marah-marah daripada biasanya. Namun tidak didapatkan kekeliruan

ketika menghitung, serta dalam pembicaraan pasien sehari-hari dengan suami

serta anak-anak pasien, karena pasien masih dapat dimengerti ketika bicara

dengan orang sekitarnya, pada pasien didapatkan terkadang gelisah jika pasien

tidak bisa mengingat dimana meletakan barang yang pasien perlukan misalnya

kunci rumah atau dompet.9

Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa sebanyak 40% pasien

mempunyai riwayat keluarga menderita demensia tipe Alzheimer; jadi, faktor

genetik dianggap berperan sebagian dalam perkembangan gangguan dalam

sekurangnya beberapa kasus. Pada kasus ini, setelah dilakukan anamnesis tidak

44
didapatkan riwayat keluarga pasien yang menderita keluhan lupa-lupa yang serupa

dengan pasien.10

Demensia tipe Alzheimer (DTA) mencapai hampir 50% dari semua tipe

demensia (5%-10% orang berusia diatas 65 tahun, 50% diatas 85 tahun). DTA

dapat dimulai pada usia lima puluhan (awitan dini, familial, bentuk pra-senil,

sekitar 2% dari seluruh kasus) atau dapat pula dimulai pada usia 60 tahunan

sampai 80 tahunan (awitan lambat, umumnya lebih banyak) dan berkembang

sampai kematian dalam waktu 6-10 tahun. Pada pasien didapatkan umur pasien

adalah 66 tahun, dan onset terjadinya adalah kira-kira 5 tahun yang lalu.11

Dampak demensia fase dini umumnya berupa perubahan samar-samar

dalam kepribadian, hendaya dalam keterampilan sosial, berkurangnya minat dan

ambisi, afek yang labil dan dangkal, agitasi, sejumlah keluhan somatik, gejala

psikiatrik yang samar, penurunan bertahap kemampuan intelektual dan ketajaman

pikiran. Demensia dini sering mencetuskan kondisi depresi. Demensia dini dapat

muncul pertama-tama berupa gangguan emosi (biasanya depresi) daripada gejala

kognitifnya. Pada pasien didapatkan perubahan kepribadian dan emosi yang mana

pasien menjadi lebih temperamen, dan sering marah-marah dan bisa sampai

berteriak-teriak jika keluhan lupa tersebut muncul, dan pasien tidak bisa

mengingatnya. Untuk kognitif pasien didapatkan masih normal, ketika anamnesis

pasien diminta berhitung-hitung ringan, dan pasien masih dapat menghitung

dengan baik.11

Biasanya yang menurun adalah daya ingat segera dan daya ingat peristiwa

jangka pendek (recent memory – hipokampus) tetapi kemudian secara bertahap

daya ingat recall juga menurun (temporal medial dan regio diensephalik juga

45
terlibat). Wawancara terhadap keluarga harus selalu dilakukan – karena umumnya

keluarga memperhatikan perubahan-perubahan pada individu (dalam kepribadian,

daya ingat, dll) yang biasanya tidak disadari oleh individu itu sendiri. Berbeda

dengan delirium, pada demensia jarang dijumpai kesadaran yang berkabut

(kecuali campuran kondisi demensia dan delirium), jadi pastikan bahwa

kesadaran pasien baik (alert). Pada pasien, kesadaran pasien baik, dan pasien

kesadarannya juga jernih. Keluhan lupa pasien, lebih dominan kepada ingatan

jangka pendek, misalnya meletakan barang, ketika memasak lupa mematikan

kompor sehingga masakan hangus dan hampir kebakaran, dan ingatan jangka

pendek lainnya. Untuk ingatan jangka panjang pasien masih sangat baik, pasien

masih bisa mengingat nama anak-anak serta cucu-cucu pasien. Pasien juga masih

ingat pasien telah menderita darah tinggi dan penyakit gula darah sejak 28 tahun

yang lalu. Dan rutin minum obat hingga sekarang.11

Pemeriksaan terhadap sejumlah penyebab (medik) demensia – seperti

gangguan endokrin, jantung, paru-paru, hati, infeksi, harus selalu dilakukan,

pemeriksaan neurologik yang cermat juga harus dilakukan untuk

mengidentifikasikan kemungkinan adanya fokus di sistem saraf pusat yang dapat

menyebabkan demensia. Pada pasien ini, keluhan penyerta pasien yaitu riwayat

diabetes melitus dan hipertensi yang diderita pasien sejak 28 tahun yang lalu.

Untuk riwayat penyakit jantung, paru, dan infeksi disangkal pasien. Pada

pemeriksaan neurologis kekuatan motorik dan sensorik pasien juga masih baik,

dan tidak ditemukan defisit neurologis, serta riwayat penyakit yang berhubungan

dengan sistem saraf sebelumnya.

46
Panduan Diagnosis.12

 Terdapatnya gejala demensia. Pada pasien didapatkan gejala gangguan

ingatan jangka pendek, dan tidak didapatkan gangguan ingatan jangka

menengah dan panjang.


 Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat.
Onset biasanya sulit ditentukan waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain

sudah menyadari adanya kelainan tersebut. Pada pasien, keluarga tidak tau

pasti sejak kapan keluhan tersebut muncul, namun diperkiran keluhan

muncul sejak 5 tahun lalu, dan memnberat 3 bulan terakhir.


 Tidak ada bukti klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus, yang

menyatakan bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak

atau sistemik lain yang dapat menimbulkan demensia. Pada pasien tidak

didapatkan gejala defisit neurologis dan riwayat penyakit sistem saraf

sebelumnya.
 Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologik

kerusakan otak fokal seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek

lapangan pandang mata, dan inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari

gangguan itu (walaupun fenomena ini di kemudian hari dapat bertumpang

tindih). Pada pasien tidak didapatkan keluhan hemiparesis, gangguan

sensorik, defek lapang pandang dan inkordinasi yang muncul mendadak

sebelumnya.
Diagnosis akhir penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan

neuropatologi otak; namun demikian, demensia tipe Alzheimer biasanya

didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lainnya telah

disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.10

Pemberian tatalaksana farmakologis untuk pasien demensia yang dapat

diberikan adalah sebagai berikut.11

47
 Pemberian asetilkolin esterase inhibitor yaitu :
o Donepezil (Aricept 5-10 mg, 1xsehari, malam hari)
o Rivastigmine (Exelon 6-12 mg, 2xsehari)
o Galantamine (Reminyl 8-16 mg, 2xsehari)
 Terapi Simtomatik
 Ansietas akut, kegelisahan, agresi, agitasi : Haloperidol 0,5 mg per oral

3 kali sehari; Risperidon 1 mg peroral sehari. Hentikan setelah 4-6

minggu.
 Ansietas non psikotik, agitasi : Diazepam 2 mg peroral 2xsehari,

venlafaxin XR. Hentikan setelah 4-6 minggu.


 Agitasi kronik : SSRI (misal Fluoxetine 10-20 mg/hari) dan atau

Buspiron (15 mg 2x sehari); juga pertimbangkan Beta Bloker dosis

rendah.
 Depresi : pertimbangan SSRI dan anti depresan baru lainnya dahulu;

dengan Trisiklik mulai perlahan-lahan dengan tingkatan sampai ada

efek – misal desipramin 75-150 mg per oral sehari.


 Insomnia : hanya untuk penggunaan jangka pendek.
Pada pasien ini, pasien mendapatkan terapi peroral neurotropik Piracetam

400mg 1x1 tablet perhari (1-0-0), serta peroral neuroprotector Citicoline 500mg

1x1 tablet perhari (0-1-0), serta pasien diminta untuk psikoterapi orientasi realitas,

serta psikoterapi Reminiscence dirumah pasien yang dibantu oleh keluarga dan

kerabat dekat pasien, serta mendapatkan edukasi untuk mengubah pola kebiasaan

hidup pasien, misalnya membuat wadah khusus yang mudah terlihat untuk

meletakkan barang seperti kunci atau dompet pasien dirumah, juga untuk

menyelesaikan satu kegiatan yang sedang dilakukan, sebelum beralih ke kegiatan

yang lain.

48
BAB V

PENUTUP

Demensia adalah kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya sehingga

mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan aktivitas sosial. Kemunduran kognitif

pada demensia biasanya diawali dengan kemunduran memori atau daya ingat.

Demensia terutama yang disebabkan oleh penyakit alzheimer berkaitan erat

dengan usia lanjut. Salah satu tipe demensia adalah demensia pada penyakit

Alzheimer.

Telah dilaporkan kasus Ny. R berusia 66 tahun dengan keluhan penurunan

daya ingat jangka pendek sejak 3 bulan SMRS, diduga karena faktor usia, yaitu

pasien merupakan pasien lanjut usia (>65 tahun), selain itu juga karena masalah

keluarga yang tidak bisa digali lebih lanjut. Pasien juga memiliki riwayat penyakit

hipertensi dan diabetes melitus. Pasien didiagnosis dengan demensia pada

penyakit Alzheimer (F.00.0) serta mendapatkan pengobatan berupa Piracetam,

citicoline, serta observasi pengobatan pasien.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
3. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press; 2009. hlm. 356-60.
4. Maslim, R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa PPDGJ-III. Jakarta : Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya; 2001. hlm. 53.
5. American Psychiatric Association. Diagnosis dan statistical manual of
mental disorders (DSM IV TR). Washington DC: APA; 2000. hlm. 13-26.
6. Bosanac P, Castle DJ. Schizophrenia and depression. J University of
Melbourne. 2012; 1(4):36-9.
7. Buckley PF, Miller BJ, Lehrer DS,Castle DJ. Psychiatric comorbidities
and schizophrenia. Schizophrenia bulletin. 2009; 35:383-402.
8. Javit DC. Balancing therapeutic safety and efficacy to improve clinical
and economic outcomes in schizophrenia: a clinical overview. AJMC.
2014; 18(2):70-7.
9. Keefe RSE, Fenton WS. How should DSMV criteria for schizophrenia
include cognitive impairment? Schizophr Bul. 2007; 33:912-20.

50

Anda mungkin juga menyukai