Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan bakar solar adalah bahan bakar minyak hasil sulingan dari minyak bumi mentah
bahan bakar ini berwarna kuning coklat yang jernih. Penggunaan solar pada umumnya adalah
bahan bakar pada semua jenis mesin disel dengan putaran tinggi ( diatas 1000 rpm ). Minyak
solar ini biasa disebut juga gas oil.

Minyak solar adalah bahan bakar jenis destilat berwarna kuning kecoklatan jernih.
Minyak solar diperoleh dalam kolom destilasi pada temperatur 200-350oC. Di dalam minyak
solar terkandung 75% hidrokarbon jenuh (terutama parafin termasuk n-parafin, isoparafin dan
sikloparafin) dan 25% hidrokabon aromatik (naftalena dan alkilbenzena). Minyak solar memiliki
rentan hidrokarbon antara C10H22 hingga C20H42 [1].

Minyak solar hingga saat ini masih merupakan bahan bakar yang paling banyak dipakai.
Hampir semua jenis kendaraan bermotor diesel dengan putaran tinggi (diatas 1000 rpm)
menggunakan bahan bakar jenis ini. Permintaan solar semakin bertambah seiring makin
banyaknya jumlah kendaraan bermotor. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang
dilakukan oleh pemerintah per 23 Juni 2013 membuat masyarakat makin terpukul. Daya beli
masyarakat yang rendah mengakibatkan mereka kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar
minyak solar. Akibatnya sebagian dari masyarakat mencampur bahan bakar minyak tanah
(kerosene) dengan solar [2]. Keadaan tersebut sering kali dimanfaatkan oleh oknum tertentu
untuk mendapatkan keuntungan dengan cara menjual solar campuran. Konsumen tidak dapat
membedakan antara solar murni dan solar campuran secara langsung. Hal ini tentunya
merugikan konsumen yang tidak mengetahui kecurangan oknum tertentu yang disengaja maupun
tidak.

Solar murni mempunyai tekanan uap jenuh yang tertentu pada setiap suhu tertentu. Pada
suhu yang sama, minyak tanah mempunyai tekanan uap jenuh yang lebih rendah. Dengan
demikian pada suhu yang sama, tekanan uap jenuh campuran solar dengan minyak tanah juga
memiliki tekanan uap jenuh yang lebih rendah daripada uap jenuh solar murni. Tekanan uap
berbanding lurus dengan konsentrasi uap dalam satuan mol/L [3] . Demikian juga komposisi
senyawa-senyawa dalam uap 2 solar sudah tertentu. Dengan adanya minyak tanah atau bahan
lain yang tercampur di dalamnya akan mengubah komposisi senyawa tersebut. Semakin rendah
tingkat kemurnian solar atau semakin tinggi kadar minyak tanah dalam solar campuran, maka
semakin rendah pula tekanan uap jenuhnya. Perubahan tekanan uap ini dan perubahan komposisi
senyawanya akan mengubah resistensi sensor gas.

Secara visual, sulit dibedakan antara solar standar yang dipasarkan Pertamina dengan
yang telah bercampur dengan minyak tanah atau bahan lain yang larut. Untuk membedakan solar
standar sesuai yang dipasarkan Pertamina dengan yang telah bercampur dengan bahan lain
seperti minyak tanah diperlukan suatu cara atau alat yang tepat. Dengan mendeteksi gas yang
dihasilkan bahan bakar solar dimungkinkan untuk mengetahui kemurnian dari bahan bakar solar
tersebut. Diantara sensor yang dapat digunakan adalah sensor Semikonduktor ( TGS FIGARO)
yang peka dengan uap pelarut-pelarut organik seperti solar. Hasil deteksi sensor gas diolah
menggunakan metode FFT (Fast Fourier Transform) untuk mendapatkan pola data yang jelas
agar dapat membedakan bahan bakar solar yang tercampur atau tidak tercampur. Hasil keluaran
FFT digunakan sebagai data input pada sistem Jaringan Syaraf Tiruan (JST) metode
Backpropagation, sehingga dihasilkan kelas keputusan sesuai dengan yang diharapkan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana mutu solar sebagai bahan bakar mesin diesel ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi solar

` 2. Untuk mengetahui Karakteristik solar


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Solar

Minyak solar ialah fraksi minyak bumi berwarna kuning coklat yang jernih yang
mendidih sekitar 175-370° C dan yang digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Umumnya,
solar mengandung belerang dengan kadar yang cukup tinggi. Penggunaan solar pada umumnya
adalah untuk bahan bakar pada semua jenis mesin diesel dengan putaran tinggi (diatas 1000
rpm), yang juga dapat digunakan sebagai bahan bakar pada pembakaran langsung dalam dapur-
dapur kecil yang terutama diinginkan pembakaran yang bersih. Minyak solar ini biasa disebut
juga Gas Oil, Automotive Diesel Oil, High Speed Diesel.

Minyak solar berasal dari Gas Oil, yang merupakan fraksi minyak bumi dengan kisaran
titik didih antara 2500 C sampai 3500 C yang disebut juga midle destilat. Komposisinya terdiri
dari senyawa hidrokarbon dan non-hidrokarbon. Senyawa hidrokarbon yang ditemukan dalam
minyak solar seperti parafinik, naftenik, olepin dan aromatik. Sedangkan untuk senyawa non-
hidrokarbon terdiri dari senyawa yang mengandung unsur-unsur non-logam, yaitu sulfur,
nitrogen, dan oksigen serta unsur logam seperti vanadium, nikel, dan besi.

2.2 Sifat Bahan Bakar Minyak Solar

Diantara sifat-sifat bahan bakar solar yang terpenting ialah kualitas penyalaan,
volatilitas, viskositas, titik tuang dan titik kabut.

a. Kualitas penyalaan

Kualitas penyalaan bahan bakar solar yang berhubungan dengan kelambatan penyalaan,
tergantung kepada komposisi bahan bakar. Kualitas bahan bakar solar dinyatakan dalam angka
cetan, dan dapat diperoleh dengan jalan membandingkan kelambatan menyala bahan bakar solar
dengan kelambatan menyala bahan bakar pembanding (reference fuels) dalam mesin uji baku
CFR (ASTM D 613-86). Sebagai bahan bakar pembanding digunakan senyawa hidrokarbon
cetan atau n- heksadekan (C16H34), yang mempunyai kelambatan penyalaan yang pendek dan
heptametilnonan (isomer cetan) yang mempunyai kelambatan penyalaan relatif panjang.
b. Volatilitas

Volatilitas bahan bakar diesel yang merupakan faktor yang penting untuk memperoleh
pembakaran yang memuaskan dapat ditentukan dengan uji distilasi ASTM (ASTM D 86-90).
Makin tinggi titik didih atau makin berat bahan bakar diesel, makin tinggi nilai kalor untuk setiap
galonnya dan makin diinginkan dari segi ekonomi. Tetapi hidrokarbon berat merupakan sumber
asap dan endapan karbon serta dapat mempengaruhi operasi mesin. Sehingga bahan bakar diesel
harus mempunyai komposisi yang berimbang antara fraksi ringan dan fraksi berat agar diperoleh
volatilitas yang baik.

c. Viskositas

Viskositas bahan bakar solar perlu dibatasi. Viskositas yang terlalu rendah dapat
mengakibatkan kebocoran pada pompa injeksi bahan bakar, sedangkan viskositas yang terlalu
tinggi dapat mempengaruhi kerja cepat alat injeksi bahan bakar dan mempersulit pengabutan
bahan bakar minyak akan menumbuk dinding dan memebentuk karbon atau mengalir menuju ke
karter dan mengencerkan minyak karter.

d. Titik tuang dan titik kabut

Bahan bakar solar harus dapat mengalir dengan bebas pada suhu atmosfer terendah
dimana bahan bakar ini digunakan. Suhu terendah dimana bahan bakar solar masih dapat
mengalir disebut titik tuang. Pada suhu sekitar 10° F diatas titik tuang, bahan bakar solar dapat
berkabut dan hal ini disebabkan oleh pemisahan kristal malam yang kecil-kecil. Suhu ini dikenal
dengan nama titik kabut. Karena kristal malam dapat menyumbat saringan yang digunakan
dalam system bahan bakar mesin diesel, maka seringkali titik kabut lebih berarti dari pada titik
tuang.

e. Sifat-sifat lain

Sifat-sifat bahan bakar solar lainnya yang perlu juga diperhatikan ialah kebersihan,
kecenderungan bahan bakar untuk memberikan endapan karbon dan kadar belerang. Bahan bakar
solar harus bebas dari kotoran seperti air dan pasir. Adanya pasir yang sangat halus yang terikut
bahan bakar solar dapat mengakibatkan keausan bagian injektor bahan bakar. Kadar abu dalam
bahan bakar merupakan ukuran sifat abrasi bahan bakar.
Kecenderungan bahan bakar solar untuk memberikan endapan karbon dan asap dalam gas
buang dapat ditunjukkan dengan uji sisa karbon. Belerang dalam bahan bakar solar dapat
mengakibatkan korosi pada sistem injeksi bahan bakar dan setelah pembakaran dapat
mengakibatkan korosi pada cincin torak, silinder, bantalan dan sistem pembuangan gas buang.

3. Klasifikasi Bahan Bakar Minyak Solar

ASTM membagi bahan bakar solar menjadi tiga grade, yaitu:

Grade No.1-D: suatu bahan bakar distilat ringan yang mencakup sebagian fraksi kerosin
dan sebagian fraksi minyak gas, digunakan untuk mesin diesel otomotif
dengan kecepatan tinggi.

Grade No.2-D : suatu bahan bakar distilat tengahan bagi mesin diesel otomotif, yang
dapat juga digunakan untuk mesin diesel bukan otomotif, khususnya
dengan kecepatan dan beban yang sering berubah-ubah.

Grade No.4-D: suatu bahan bakar distilat berat atau campuran antara siatilat dengan
minyak residu, untuk mesin diesel bukan otomotif dengan kecepatan
rendah dengan kondisi kecepatan dan beban tetap.

4. Spesifikasi Mutu Bahan Bakar Minyak Solar

Bahan bakar minyak yang dipasarkan harus memenuhi persyaratan teknis tertentu sesuai
dengan kebutuhan penggunaannya yang disebut dengan spesifikasi. Dalam hal ini spesifikasi
teknis bahan bakar sama di setiap Negara tergantung dari jenis dan tipe kendaraan. Spesifikasi
nasional di setiap negara dapat sedikit berbeda, karena perbedaan kondisi negara tersebut, seperti
jenis dan populasi kendaraan, ketersediaan minyak bumi sebagai bahan baku, kemampuan
kilang, sistem distribusi, faktor ekonomis dan peraturan keselamatan kerja dan lindungan
lingkungan.

Bahan bakar kendaraan bermotor yang dalam hal ini bahan bakar minyak solar untuk
kendaraan bermesin penyalaan kompresi (compression ignition engine) yang beredar di pasaran
di Indonesia diatur dan dibatasi dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah (Direktorat
Jendral Minyak dan Gas Bumi). Bahan bakar minyak solar untuk kendaraan bermotor yang
beredar dipasaran baik di Indonesia dan beberapa negara lain, sebagai berikut:

a. Solar 48

Bahan bakar solar 48 adalah bahan bakar yang mempunyai angka setana CN (Cetane
Number) minimal 48. Mutu solar 48 ini dipasaran di Indonesia dibatasi dengan spesifikasi bahan
bakar minyak solar jenis 48 sesuai dengan surat keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas
Bumi Nomor 3675K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006.

b. Solar 51

Bahan bakar minyak solar 51 adalah bahan bakar minyak solar yang mempunyai angka
setana minimal 51 dengan kadar sulfur lebih sedikit dibanding solar 48. Kandungan sulfur solar
51 ini maksimal 0,05 % m/m atau 500 ppm sedang solar 48 maksimal 0,35 %m/m atau 3500
ppm. Mutu minyak solar 51 di pasaran di Indonesia dibatasi dengan spesifikasi bahan bakar
minyak solar jenis 51 sesuai dengan surat keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi
No.3675K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006.

2.3 Karakteristik Minyak Solar

Syarat umum yang harus dimiliki oleh minyak solar adalah harus dapat menyala dan
terbakar sesuai kondisi ruang bakar. Minyak solar sebagai bahan bakar memiliki karakteristik
yang dipengaruhi oleh sifat-sifat seperti Cetana Number (CN), Cetana Index (CI), nilai panas,
densitas, titik analin dan kandungan sulfur

a Cetana Number (CN)

Cetana Number menunjukkan bahan bakar minyak solar untuk menyala dengan
sendirinya (auto ignation) dalam ruang bakar karena tekanan dan suhu ruang bakar. Angka CN
yang tinggi menunjukkan bahwa minyak solar dapat menyala pada temperatur yang relatif
rendah dan sebaliknya angka CN yang rendah menunjukkan minyak solar baru menyala pada
temperatur yang relatif tinggi.

b Cetana Index (CI)


Cetana Index merupakan perkiraan matematis dari CN dengan basis suhu destilasi,
densitas, titik anilin dan lain-lain. Apabila terdapat aditif yang bersifat meningkatkan CN maka
perhitungan CI tidak dapat langsung digunakan tetapi variabel-variabel seperti API gravity dan
suhu destilasi harus disesuaikan karena karakteristik bahan bakar akan berubah.

c Nilai Panas

Nilai panas bahan bakar dapat diukur dengan menggunakan Bomb kalorimeter dan
hasilnya dimasukkan kedalam rumus perhitungan :

8100C + 3400 (H−0/8)


Nilai panas = kkal/kg
100

Nilai H,C, dan O dinyatakan dalam persentasi berat dalam setiap unsur yang terkadang
dalam satu kilogram bahan bakar. Hasil perhitungan tersebut merupakan suatu nilai panas kotor
(gross heating value) suatu bahan bakar dimana termasuk didalamnya panas laten dari uap air
yang terbentuk pada pembakaran hidrogen dari bahan bakar. Selisih nilai panas kotor dan bersih
umumnya berkisar antara 600-700 kkal/kg tergantung besar persentase hidrogen yang ikut
terbakar.

Secara kasar nilai panas suatu bahan bakar dapat diperkirakan dari berat jenis yang
bersangkutan :

Berat Jenis pada 150 C : 0,85; 0,87; 0,89; 0,91; 0,93

Nilai panas kotor (kkal/kg) : 10900; 10800; 10700; 10600; 10500.

Menurut spesifikasi minyak solar di indonesia mempunyai berat jenis antara 0,820 –
0.870 pada temperatur 600 F, dengan demikian dapat diperkirakan mempunyai nilai panas kotor
minimal 10800 kkal/kg karena semakin rendah berat jenisnya semakin tinggi nilai panas
kotornya dan berdasarkan pengukuran laboratorium minyak solar berat jenisnya 0,8521 dengan
panas kotor 10917 kkal/kg

d Densitas

Berat jenis adalah perbandingan antara berat persatuan volume minyak solar. Berat jenis
suatu minyak solar mempunyai satuan kilogram per meter kubik (kg/m3 ). Karakteristik ini
sangat berhubungan erat dengan nilai panas kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel
persatuan bahan bakar yang digunakan. Densitas yang disarankan untuk minyak solar
berdasarkan Masdent Point Refinery untuk tahun 2000 yaitu 826 – 859 km/m3 .

e Titik Anilin

Titik yang menunjukkan suhu terendah saat dimana dalam volume yang sama destilasi
anilin dan bahan bakar bersangkutan bercampur dengan sempurna. Titik anilin yang rendah
menunjukkan bahwa minyak solar tersebut mempunyai angka cetana yang rendah.

Anda mungkin juga menyukai