PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan Oleh :
Khoirus Sa’adah
1503076011
PENDIDIKAN KIMIA
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berpikir tingkat tinggi menjadi istilah yang sering disebut pada era pendidikan abad 21
karena dianggap sebagai salah satu skills abad 21. Menurut Century Partnership Learning
Framework dalam BSNP (2010) terdapat beberapa kompetensyang harus dimiliki oleh sumber
daya manusia abad 21, yaitu (1) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, (2)
kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, (3) kemampuan mencipta dan membaharui, (4)
literasi teknologi informasi dan komunikasi, (5) kemampuan belajar kontekstual, (6) kemampuan
informasi dan literasi media. Salah satu skil abad 21 memusatkan peserta didik untuk mempunyai
kemampuan berpikir kritis.
Keterampilan berfikir tingkat tinggi menuntut pemikiran secara kritis, kreatif, analitis,
terhadap informasi dan data dalam memecahkan permasalahan (Barratt,2014). Berfikir tingkat
tinggi merupakan jenis pemikiran yang mencoba mengeksplorasi pertanyaan–pertanyaan
mengenai pengetahuan yang ada terkait isu-isu yang tidak didefinisikan dengan jelas dan tidak
memiliki jawaban yang pasti (Haig,2014). Peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat
dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran aktif yang berpusat pada peserta didik dan
didasarkan pada konstruktivisme (Limbach dan Waugh, 2010; Yilmaz, 2008).
Pengembangan pembelajaran yang memperhatikan keterampilan berfikir tingkat tinggi
harus memperhatikan tahapan berfikir sesuai dengan taksonomi Bloom. Tiga aspek dalam ranah
kognitif yang menjadi bagian dari keterampilan berpikir tingkat tinggi atau yaitu aspek
menganalisa, aspek mengevaluasi, dan aspek mencipta (Sani,2015). Merril (2012)
mengemukakan terdapat 5 strategi yang bisa memunculkan pemikiran yang bermanfaat untuk
mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi, antara lain 1) apa perbedaannya, 2) apa
persamaannya, 3) membandingkan, 4) memilah, 5) Apa penyebabnya.
Tren dalam studi matematika dan sains internasional menunjukkan 95% peserta didik
siswa Indonesia berada pada kemampuan berpikir tingkat tinggi yang rendah. Rendahnya
kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik dikalangan peserta didik telah menarik para
pendidik dan peneliti (Henningsen dan Stain, 1997). Kurang aktifnya peserta didik dalam
pembelajaran dan pembelajaran lebih berfokus ke guru (Novitasari,2016). Pembelajaran yang lebih
berfokus keguru mengakibatkan peserta didik kurang menguasai materi, keterampilan berpikir
tingkat tinggi peserta didik rendah (Avergil, Herscovitz, dan Dori,2011; Dusica, Milenkic, Segedinac
dan Horvat,2017; Assaraf dan Orion,2010). Kurang tanggapnya peserta didik dalam memecahkan
masalah, sering diarahkan pada kemampuan akademik yang berfokus pada penguasaan konsep dan
berpikir peserta didik rendah (Puspita,2018). Banyaknya peserta didik hanya mampu
menyelesaikan jenjang soal berupa hafalan dan penerapan, peserta didik tidak mampu menjawab
soal dengan kategori tinggi (Popy,2013).
Berpikir tingkat tinggi peserta didik rendah dikarenakan pasifnya peserta didik, guru masih
menggunakan metode ceramah, peserta didik tidak diberi kesempatan untuk bertanya, tidak
senang dengan model pembelajaran yang diterapkan, dan peserta didik hanya mampu
mengerjakan soal berupa hapalan dan penerapan(Avargel, Herscovitz, dan Dori, 2011; Fensham
dan Bellocchi, 2013; Dusica, Milenkic, Segedinac dan Horvat, 2017; Assaraf dan Orion, 2010;
Puspita,2018; Luciana,2016; Popy,2013; Novitasari,2016). Permasalahan tersebut sesuai dengan
observasi peneliti pada saat field study peserta didik kelas XI MAN 2 Semarang menunjukkan
bahwa dalam setiap pembelajaran, guru masih kurang memperhatikan keterlibatan peserta didik.
Hal ini terlihat pada proses belajar mengajar yang masih menggunakan informasi verbal dengan
metode ceramah di depan kelas. Peserta didik hanya mencatat teori-teori yang diajarkan tanpa
dikaitkan dengan pengalaman yang dialaminya sehari-hari. Cara penyampaian materi yang terlalu
cepat pun terkadang membuat peserta didik tidak dapat memahami konsep yang sedang
dipelajarinya, akan berimbas pada penilaian hasil belajar secara tertulis dibawah Kriteria
Ketuntasan Minimum (KKM). ditunjukkan pada tabel 1.1
Tabel 1.1. Presentasi ketuntasan hasil belajar peserta didik kelas XI MAN 2 Kota Semarang.
No Kelas Presentase
Ketuntasan
1. XI IPA 1 1,7 %
2l XI IPA 2 1,95 %
3. XI IPA 3 2%
4. XI IPA 4 2,05 %
5. XI IPA 5 2,28%
6. XI IPA 6 2,66%
Sumber : Daftar Nilai Peserta Didik Kelas XI IPA MAN 2 Kota Semarang Tahun Pelajaran
2017/2018
Pemahaman yang kurang baik, menjadikan hasil belajar peserta didik belum memenuhi
KKM. Terdapat salah satu materi kimia yang dianggap peserta didik sulit memahami dan peserta
didik hanya mampu menjawab soal-soal dengan jenjang soal hafalan dan penerapan. Soal-soal
yang bermuatan berpikir tingkat tinggi peserta didik tidak mampu mengerjakannya.
Berdasarkan informasi guru kimia dan penyebaran angket kelas XI IPA MAN 2 Kota
Semarang, sebagian besar ilmu kimia bersifat abstrak, sulit, kompleks, dan banyak bagian konsep
yang dihubungkan dengan konsep-konsep lain salah satunya adalah konsep titrasi asam basa.
Salah satu materi yang dianggap sulit peserta didik adalah titrasi asam basa, 85% peserta didik
menganggap materi titrasi asam basa sulit dipahami terutama konsep yang mendasarinya seperti
mengetahui indikator yang tepat untuk titrasi asam basa, pemahaman konsep perubahan pH
selama titrasi asam basa.
Berbagai macam model pembelajaran telah dikembangkan untuk memaksimalkan daya
nyaman dan mengembangakan berpikir tingkat tinggi peserta didik. salah satu model
pembelajaran yang dapat membuat peserta didik aktif dan meningkatkat daya ingat yang tinggi
adalah penggunaan model pembelajaran experiential learning (Arnold, Warner, dan Osberne,
2006). Kelebihan experiential learning meningkatkan motivasi, meningatkan penguasaan konsep
peserta didik, meningkatkan hasil belajar peserta didik (Widyawati,2012), membuat peserta didik
lebih aktif, bersemangat, senang mengikuti pelajaran, dan memiliki pengalaman yang
sesungguhnya (Suryani,2014), mudah diingat, sulit untuk dilupakan (Nurul Qomariyah,2009),
membantu terciptanya suasana pembelajaran yang kondusif, memunculkan kegembiraan dalam
proses pembelajaran, mendorong dan mengembangkan proses berpikir tingkat tingka peserta
didik, menolong peserta didik untuk dapat melihat dalam perspektif yang berbeda, dan
memperkuat kesadaran diri (Munif,2009). Terciptanya suasana pembelajarn yang kondusif,
senang, dan belajar dari pengalaman nyata akan meningkatkan penguasaan konsep peserta didik
dan akan berpengaruh terhadap berpikir tingkat tinggi peserta didik.
Dengan diterapkannya model pembelajaran experiential learning maka semakin banyak
manfaat yang diperoleh dalam pendidikan, metode dengan pengalaman langsung dan terdapat
proses yang dilalui secara nyata sehingga peserta didik benar-benar memahami, merasakan dan
ingatannya semakin kuat. Semakin sering metode ini diterapkan maka hasil pembelajaran
semakin bermutu sehingga tahapan pendidikan abad 21 dapat terwujud.
Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti mengusulkan model pembelajaran yang
mampu meningkatkan berfikir tingkat tinggi peserta didik, serta dapat membuat peserta didik
lebih aktif, bersemangat, senang mengikuti pelajaran, dan tidak cepat bosan, sehingga hasil
belajar dapat meningkat. Sehubungan dengan fakta-fakta diatas, peneliti bertujuan untuk
menerapkan model pembelajaran experiential learning untuk meningkatkan berfikir tingkat
tinggi peserta didik MAN 2 Kota Semarang. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat
sebagai alternatif pilihan model pembelajaran yang dapat dipakai guru untuk meningkatkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
3. Mengetahui apakah level berpikir tingkat tinggi peserta didik MAN 2 Kota Semarang sebelum
menggunakan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning) dan sesudah
menggunakan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning) memiliki
kategori yang tinggi.
D. Manfaat Penelitian
2. Bagi Guru
Penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran, dan menambah wawasan dalam
melaksanakan pembelajaran. Dan Guru lebih kreatif dalam menyampaikan materi
pembelajaran. Selain itu, guru dapat mempermudah suatu tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
4. Bagi Peneliti
a. Mampu memberikan inspirasi dan refrensi bagi penelitian yang sejenis.
b. Mampu memberi konstribusi besar dalam perkembangan pendidikan.
c. Mampu meningkatkan kemampuan peneliti sebagai calon pendidik yang berkompeten.
5. Bagi Peneliti Lain
a. Mampu meningkatkan kemampuan para peneliti untuk mengembangkan model
pembelajaran yang lebih menarik.
b. Mampu meningkat pembelajaran sebagai persiapan kurikulum 2013 (Student Centred
Learning).
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Deskripsi Teori
keterangan :
N = Normalitas
V = Volume
M = Molaritas
n = jumlah ion H+ (pada asam) atau OH- (pada basa).
Titrasi asam basa dibagi menjadi lima jenis tergantung pada jenis asam dan
basa yang direaksikan, jenis asam dan basa yang direaksikan akan
mempengaruhi perubahan pH yang dapat digambarkan sebagai kurva titrasi
yang dihasilkan dari plot antara pH dengan asam atau basa yang
ditambahkan,berikut ini merupakan jenis titrasi asam basa beserta kurva
titrasinya :
B. Kajian Pustaka
Banyak metode dan strategi pembelajaran yang diterapkan diantaranya. Hugeret dan
Kortam, 2014 dalam penelitiannya penggunaan model pembelajaran inquiri terbimbing dapat
meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik dilihat dari hasil preetes dan posttest kelas
kontrol dan eksperimen, tetapi model pembelajaran inquiri terbimbing yang diterapkan masih
terdapat kelemahan metode ini tidak cocok diterapkan pada penelitian tertentu dan bidang
tertentu, inquri masih berfokus pada diskusi kelompok (Hugeret dan Kortam,2014). Dusica,
Milenkic, Segedinac dan Horvat (2017) juga menggunaan strategi pembelajaran berupa
pertanyaan sintesis sistemik untuk meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik, untuk
meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik peneliti menggunakan pertanyaan
konvensional sebagai alat penilaian dan menggunakan rubrik penilaian empat tingkat pemikiran
tingkat tinggi peserta didik dari rubrik yang didapatkan bahwa terdapat perbedaan antara
kelompok kontrol dan eksperimen, kelompok eksperimen berpikir secara sistematik tumbuh
secara linier (Dusica, Milenkic, Segedinac dan Horvat, 2017). Namun peniliti menemukan
kekurangan dari penelitian yang diterapkan pada kelompok peserta didik denagan jenis kelamin
perempuan menggungguli laki-laki dengan kelompok yang sama. Dikarenakan peserta didik
perempuan lebih menguasai pertanyaan dibanding laki-laki yang hanya memilih untuk diam
(Dusica, Milenkic, Segedinac dan Horvat, 2017).
Puspita (2018) menerapkan strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir juga
diterapkan untuk meningkatkan berpikir tingkat peserta didik, dengan menggunakan strategi
pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir terbukti lebih tinggi dari pada dengan
pembelajaran yang menggunakan metode ceramah, hal itu dapat diketahui dari nilai F sebesar
10,834 dengan taraf sinifikan sebesar 0,002 (Puspita, 2018). Pembelajaran dengan
menggunakan strategi pembelajaran akan meningkatkan kemampuan berpikir, dimana peserta
didik terlihat lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran, mengumpulkan data dan membuat
kesimpulan sendiri. Walaupun kegiatan pembelajaran peserta didik berjalan mandiri, tetapi
peserta didik masih belum terbiasa dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan strategi
pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir, oleh karena itu diperlukan intruksi yang lebih
jelas sehingga pelaksanaan pembelajaran lebih efektif, instrumen penelitian belum
mencerminkan atau menggali Higher Order Thinking Skills , hanya terdapat 9 soal atau 45% soal
yang termasuk kedalam Higher Order Thinking Skills, pemantapan materi pembelajaran belum
dilakukan secara maksimal, sehingga beberapa peserta didik belum mengerti dan paham
terhadap materi yang disampaikan.Hal itu membuat Puspita(2018) harus mengulangi
penjelasan materi secara keseluruhan. Oleh sebab itu, perlu diberikan inovasi dalam
pembelajaran yang dilakukan untuk pemantapan materi yang disampaikan.
Luciana (2016) telah menerapkan model pembelajaran PBL untuk meningkatkan berpikir
tingkat tinggi peserta didik dan menghasilkan hasilkan data yang efektif. Hal ini dibuktikan dari
hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan presentase rata-rata kemampuan berpikir
menganalisis (C4) sebesar 53,76% dengan kategori baik, presentase rata-rata kemampuan
berpikir mengevaluasi (C5) sebesar 48,06% dengan kategori cukup, dan presentase rata-rata
berpikir mencipta (C6) sebesar 49,71% dengan kategori cukup (Luciana,2016). Masih terdapat
kekurangan dalam penelitian ini, aspek evaluasi yang dilakuakn oleh peneliti belum mencapai
target penelitian karena pembelajaran tidak berjalan seperti yang diharapkan khususnya pada
tahap presentasi, refleksi, dan evaluasi, karena hanya satu kelompok yang diberikan kesempatan
untuk mempresentasikan jawaban dari permasalahan yang dilakukan, instrumen lembar
observasi untuk mengukur ketarmpilan psikomotorik peserta didik tidak ada (Luciana,2016).
Penggunaan e-learning juga digunakan untuk mengukur berpikir tingkat tinggi peserta didik,
dengan menggunakan e-learning untuk meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik
terdapat korelasi yang segnifikan antara peserta didik dengan pembelajaran e-learning.
Kekurangan dalam penelitian ini penggunaan e-learning masih terdapat kendala jaringan
internet yang kurang memadahi dan minimnya komputer yang ada dileb (Popy,2013).
Model Pembelajaran experiensial learning dapat diterapkan dalam pembelajaran karena
dapat mengaktifkan peserta didik untuk membangun pengetahuan dan ketrampilan serta nilai-
nilai juga sikap melalui pengalaman secara langsung. Hal ini sesuai dengan penelitian Rina,
Wayan dan Ketut (2014) yang memiliki tujuan untuk mengetahui pemgaruh model experiantial
learning terhadap berfikir kritis dan motivasi berprestasi siswa kelas X MIPA SMA Negeri 1
Samarapura tahun pelajaran 2013-2014. Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan
ketrampilan berpikir peserta didik dikihat dari Fhitung = 4,802 lebih besar dari Ftabel 3,98. Selain
itu terjadi perubahan pada pola belajar peserta didik di mana semakin banyak peserta didik
yang memperhatikan dan aktif saat proses pembelajaran, mampu membuat kesimpulan,
menjawab pertanyaan dan semakin banyak peserta didik yang mengerjakan tugas yang
diberikan. Penerapan experiential learning ditunjukan melalui kegiatan percobaan. Peserta didik
melakukan experimen, tidak hanya peserta didik yang aktif fisiknya, tetapi pemikiran peserta
didik ikut aktif, karena kegiatan experiential learning memungkinkan peserta didik untuk
menanggapi dan mencari solusi yang berkaitan dengan pengalaman nyata (Rina, Wayan dan
Ketut,2014). Hal ini sejalan dengan peneliti yang dilakukan oleh peneliti yaitu model
pembelajaran berasis pengalaman (experiential learning), selain kegiatan orientasi dan
eksporasi, peserta didik juga aktif melakuakan percobaan.
Berdasarkan hasil kajian pustaka, maka peneliti akan melakukan pembelajaran dengan
model pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) terhadap berpikir tingkat
tinggi peserta didik kela XI MAN 2 Kota Semarang pada materi titrasi asam basa.
C. Kerangka Berpikir
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa terdapat permasalahan yaitu berpikir tingkat tinggi
peserta didik kurang. Kurikulum 2013 mengharuskan kegiatan pembelajaran menggunakan
model pembelajaran yang beroerientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi .
Salah satu model pembelajaran yang merujuk pada berpikir tingkat tinggi yaitu model
pembelajaran berbasis pengalaman (Experiensial Learning). Experiensial Learning menghendaki
peserta didik harus aktif dalam proses pembelajaran, tidak hanya sekedar mendengar dan
mencatat apa yang diberikan oleh guru, selain itu peserta didik juga harus mampu dalam
mengkontruksi dan membangun pengetahuan baru secara mandiri.
Pada pelaksanaannya pembelajaran di kelas, guru masih menggunakan model konvensional
dimana menggunakan model ceramah dan guru dominan dalam proses pembelajaran. Dengan
model konvensional membuat kurangnya partisipasi peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran, kegiatan pembelajaran tidak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan kemampuannya, peserta didik cenderung pasif dan kurang mandiri, dan
peserta didik belum terlibat secara aktif untuk menemukan sendiri konsep/materi
pembelajaran. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan, peneliti mengidentifikasi masalah
untuk menemukan alternatif perbaikan yang dapat dilakukan.
Kerangka pikir penelitian digambarkan dalam Gambar 2.2
Masalah :
1. Pembelejaran aktif peserta didik masih rendah, dan mengakibatkan berfikir
tinggkat tinggi tinggi peserta didik kurang dan berimbas pada penilaian hasil belajar
peserta didik.
2. Proses pembelajaran yang diterapkan masih dengan model konvensional (ceramah)
masih berpusat pada guru. Sehingga peserta didik tidak berperan langsung dalam
proses pembelajaran
Kroscek
Bagaimana tingkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi peser didik MAN 2 Kota
Semarang
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir Penelitian
D. Rumusan Hipotesis
Hipotesis yang diajukan peneliti adalah :
Ho : Tidak terdapat peningkatan berpikir tingkat tinggi peserta didik yang
menggunakan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Leaarning)
dengan peserta didik yang menggunkan metode konvensional.
Ha : Terdapat peningkatan berpikir tingkat tinggi peserta didik yang menggunakan
model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Leaarning) dengan
peserta didik yang menggunkan metode konvensional.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
2. Sempel
Sempel diambil dengan teknik cluster random sampling (probability sampling) yaitu
penarikan sampel acak secara berkelompok (Supranto, 2007).
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen ( bebas )
2. Variabel dependen ( terikat )
3. Variabel kontrol
E. Instrumen Penenlitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Tes kemampuan berpikir tingkat tingkat dalam penelitian ini adalah materi kelas XI
semester genap sub pokok materi titrasi asam basa. Tipe tes kemampuan berpikir
tingkat tinggi yang digunakan adalah pilihan ganda dan esay. Langkah-langkah dalam
penyusunan tes kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam jenjang kognitif adalah :
a. Menganalisis Kompetensi Dasar yang dapat dinuat soal-soal berpikir tingkat tinggi
b. Menyusun kisi-kisi soal yang meliputi soal berpikir tingkat tinggi.
c. Memilih stimulus yang menarik dan konstektual.
d. Menulis butir pertanyaan sesuai dengan kisi-kisi soal
e. Membuat pedoman penskoran atau kunci jawaban.
Peneliti menggunakan aturan penilaian dengan kriteria penskoran soal-soal
kemampuan berpikir tingkat tinggi yang disajikan oleh Hendriana dan Sumarno (2014)
yang tertera dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.2 Kriteria penskoran tes berpikir tingkat tinggi
No Kriteria Skor
1 Respon benar,lengkap dan 5
jelas
2 Respon benar, lengkap tapi 4
tidak jelas
3 Respon benar, tapi tidak 3
lengkap dan jelas
4 Respon salah, tidak lengkap 2
dan tidak jelas
5 Tidak ada respon 1
Tiap item soal yang dijawab dengan benar diberi skor yang berbeda, dan nilai
akhirnya adalah :
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚
x 100%
𝑛∑𝑋𝑌−(∑𝑋)(∑𝑌)
rxy
√(𝑛∑𝑋 2 −(∑𝑋 2 ) (𝑛∑𝑌 2 −(∑𝑌 2 )
Keterangan:
𝑛 ∑𝜎𝑖 2
r11 = 𝑛−1 [1 − 𝜎𝑖 2
]
Keterangan:
𝜎𝑖 2 = Varians total
Keterangan:
χh 2 = Chi Kuadrat
Jika χ2hitung < χ2tabel, maka populasi berdistribusi normal, dengan taraf
signifikansi 5% dan dk = k-1
F=
Kriteria Ho diterima adalah jika Fhitung < Ftabel dengan taraf signifikansi 5%
Uji dua pihak digunakan bila hipotesis nol (Ho) berbunyi sama dengan
dan hipotesis alternatifnya (Ha) berbunyi tidak sama dengan. Rumusan
hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:
Ho : µ1 = µ2
Ha : µ1 ≠ µ2
Keterangan
Hipotesis yang telah dibuat kemudian diuji dengan analisis Uji-t. Jika
sampel memiliki varian homogen, maka rumus t-tes yang digunakan adalah:
dengan
Keterangan:
s: Statistik
Kriteria pengujian hipotesis adalah jika thitung < ttabel, maka Ho diterima
dan Ha ditolak. Jika thitung > ttabel , maka Ho ditolak dan Ha diterima dengan taraf
signifikansi 5% (Sugiyono, 2010).
Keterangan:
χh 2 = Chi Kuadrat
Jika χ2hitung < χ2tabel, maka populasi berdistribusi normal, dengan taraf
signifikansi 5% dan dk = k-1
2) Uji Homogenitas
F=
Kriteria Ho diterima adalah jika Fhitung < Ftabel dengan taraf signifikansi 5% .
Uji dua pihak digunakan bila hipotesis nol (Ho) berbunyi sama dengan
dan hipotesis alternatifnya (Ha) berbunyi tidak sama dengan. Rumusan
hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:
Ho : µ1 = µ2
Ha : µ1 ≠ µ2
Keterangan
dengan
Keterangan:
t: Statistik
s2 : Varian gabungan kriteria pengujian hipotesis adalah jika thitung < ttabel,
maka Ho diterima dan Ha ditolak. Jika thitung > ttabel , maka Ho ditolak dan Ha
diterima dengan taraf signifikansi 5%.
χh 2 = Chi Kuadrat
Jika χ2hitung < χ2tabel, maka populasi berdistribusi normal, dengan taraf
signifikansi 5% dan dk = k-1
2) Uji Homogenitas
Uji homogenitas data akhir digunakan untuk menentukan rumus analisis
hipotesis (pengaruh variabel X terhadap variabel Y1dan Y2) dengan uji pihak
kanan atau uji t. Adapun hipotesis yang diajukan adalah :
Ho : σA2 = σB2 , artinya kedua kelas memiliki varian yang sama.
Ha : σA2 ≠ σB2 , artinya kedua kelas memiliki varian yang berbeda
Uji homogenitas varian dapat digunakan rumus:
F=
Kriteria Ho diterima adalah jika Fhitung < Ftabel dengan taraf signifikansi 5%.
Ho : µ1 ≤ µ2
Ha : µ1 > µ2
Keterangan
Hipotesis yang telah dibuat kemudian diuji dengan analisis Uji-t. Jika sampel
memiliki varian homogen, maka rumus t-tes yang digunakan adalah:
dengan
S
Keterangan:
t : Statistik
s2 : Varian gabungan
Data yang diperoleh dari perhitungan digunakan sebagai dasar untuk menguji
signifikansi dengan membandingkan thitung dan ttabel dengan dk = n1 + n2 – 2
dan taraf kesalahan 5%. Sehingga terdapat kemungkinan hasil akhir yaitu
signifikan atau tidak signifikan. Apabila thitung ˃ ttabel maka hasil akhir signifikan
(Ho ditolak, Ha diterima) dan apabila thitung ˂ ttabel maka hasil akhir tidak
signifikan (Ho diterima, Ha ditolak)
N(g) =
Bahrudin, 2010 , Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Arruz Media Group.
Arnold, Warner, dan Osborne (2006), Experiential learning in secondary agricultural education
classrooms. Journal of Southern Agricultural Educational Research. Vol 56(1): 30-39.
Suryani, Ely Rudyatmi, Tyas Agung Pribadi. 2014. Pengaruh Experiential Learning Kolb Melalui
Kegiatan Praktikum Terhap Hasil Belajar Biologi Siswa. Journal of Biology Education.Vol 3
(2) : 93-103.
Munif (2009:80, I.R.S. 2009. Penerapan Metode Experiental Learning Pada Pembelajaran IPA Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar.Jurnal Pendidikan Fisika.Vol.V : 80