Anda di halaman 1dari 31

Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning) Terhadap

Berpikir Tingkat Tinggi Siswa MAN 2 Kota Semarang Kelas XI


Pada Materi Titrasi Asam Basa

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Oleh :

Khoirus Sa’adah

1503076011

PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLIGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berpikir tingkat tinggi menjadi istilah yang sering disebut pada era pendidikan abad 21
karena dianggap sebagai salah satu skills abad 21. Menurut Century Partnership Learning
Framework dalam BSNP (2010) terdapat beberapa kompetensyang harus dimiliki oleh sumber
daya manusia abad 21, yaitu (1) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, (2)
kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, (3) kemampuan mencipta dan membaharui, (4)
literasi teknologi informasi dan komunikasi, (5) kemampuan belajar kontekstual, (6) kemampuan
informasi dan literasi media. Salah satu skil abad 21 memusatkan peserta didik untuk mempunyai
kemampuan berpikir kritis.
Keterampilan berfikir tingkat tinggi menuntut pemikiran secara kritis, kreatif, analitis,
terhadap informasi dan data dalam memecahkan permasalahan (Barratt,2014). Berfikir tingkat
tinggi merupakan jenis pemikiran yang mencoba mengeksplorasi pertanyaan–pertanyaan
mengenai pengetahuan yang ada terkait isu-isu yang tidak didefinisikan dengan jelas dan tidak
memiliki jawaban yang pasti (Haig,2014). Peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat
dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran aktif yang berpusat pada peserta didik dan
didasarkan pada konstruktivisme (Limbach dan Waugh, 2010; Yilmaz, 2008).
Pengembangan pembelajaran yang memperhatikan keterampilan berfikir tingkat tinggi
harus memperhatikan tahapan berfikir sesuai dengan taksonomi Bloom. Tiga aspek dalam ranah
kognitif yang menjadi bagian dari keterampilan berpikir tingkat tinggi atau yaitu aspek
menganalisa, aspek mengevaluasi, dan aspek mencipta (Sani,2015). Merril (2012)
mengemukakan terdapat 5 strategi yang bisa memunculkan pemikiran yang bermanfaat untuk
mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi, antara lain 1) apa perbedaannya, 2) apa
persamaannya, 3) membandingkan, 4) memilah, 5) Apa penyebabnya.
Tren dalam studi matematika dan sains internasional menunjukkan 95% peserta didik
siswa Indonesia berada pada kemampuan berpikir tingkat tinggi yang rendah. Rendahnya
kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik dikalangan peserta didik telah menarik para
pendidik dan peneliti (Henningsen dan Stain, 1997). Kurang aktifnya peserta didik dalam
pembelajaran dan pembelajaran lebih berfokus ke guru (Novitasari,2016). Pembelajaran yang lebih
berfokus keguru mengakibatkan peserta didik kurang menguasai materi, keterampilan berpikir
tingkat tinggi peserta didik rendah (Avergil, Herscovitz, dan Dori,2011; Dusica, Milenkic, Segedinac
dan Horvat,2017; Assaraf dan Orion,2010). Kurang tanggapnya peserta didik dalam memecahkan
masalah, sering diarahkan pada kemampuan akademik yang berfokus pada penguasaan konsep dan
berpikir peserta didik rendah (Puspita,2018). Banyaknya peserta didik hanya mampu
menyelesaikan jenjang soal berupa hafalan dan penerapan, peserta didik tidak mampu menjawab
soal dengan kategori tinggi (Popy,2013).
Berpikir tingkat tinggi peserta didik rendah dikarenakan pasifnya peserta didik, guru masih
menggunakan metode ceramah, peserta didik tidak diberi kesempatan untuk bertanya, tidak
senang dengan model pembelajaran yang diterapkan, dan peserta didik hanya mampu
mengerjakan soal berupa hapalan dan penerapan(Avargel, Herscovitz, dan Dori, 2011; Fensham
dan Bellocchi, 2013; Dusica, Milenkic, Segedinac dan Horvat, 2017; Assaraf dan Orion, 2010;
Puspita,2018; Luciana,2016; Popy,2013; Novitasari,2016). Permasalahan tersebut sesuai dengan
observasi peneliti pada saat field study peserta didik kelas XI MAN 2 Semarang menunjukkan
bahwa dalam setiap pembelajaran, guru masih kurang memperhatikan keterlibatan peserta didik.
Hal ini terlihat pada proses belajar mengajar yang masih menggunakan informasi verbal dengan
metode ceramah di depan kelas. Peserta didik hanya mencatat teori-teori yang diajarkan tanpa
dikaitkan dengan pengalaman yang dialaminya sehari-hari. Cara penyampaian materi yang terlalu
cepat pun terkadang membuat peserta didik tidak dapat memahami konsep yang sedang
dipelajarinya, akan berimbas pada penilaian hasil belajar secara tertulis dibawah Kriteria
Ketuntasan Minimum (KKM). ditunjukkan pada tabel 1.1
Tabel 1.1. Presentasi ketuntasan hasil belajar peserta didik kelas XI MAN 2 Kota Semarang.
No Kelas Presentase
Ketuntasan
1. XI IPA 1 1,7 %
2l XI IPA 2 1,95 %
3. XI IPA 3 2%
4. XI IPA 4 2,05 %
5. XI IPA 5 2,28%
6. XI IPA 6 2,66%
Sumber : Daftar Nilai Peserta Didik Kelas XI IPA MAN 2 Kota Semarang Tahun Pelajaran
2017/2018
Pemahaman yang kurang baik, menjadikan hasil belajar peserta didik belum memenuhi
KKM. Terdapat salah satu materi kimia yang dianggap peserta didik sulit memahami dan peserta
didik hanya mampu menjawab soal-soal dengan jenjang soal hafalan dan penerapan. Soal-soal
yang bermuatan berpikir tingkat tinggi peserta didik tidak mampu mengerjakannya.
Berdasarkan informasi guru kimia dan penyebaran angket kelas XI IPA MAN 2 Kota
Semarang, sebagian besar ilmu kimia bersifat abstrak, sulit, kompleks, dan banyak bagian konsep
yang dihubungkan dengan konsep-konsep lain salah satunya adalah konsep titrasi asam basa.
Salah satu materi yang dianggap sulit peserta didik adalah titrasi asam basa, 85% peserta didik
menganggap materi titrasi asam basa sulit dipahami terutama konsep yang mendasarinya seperti
mengetahui indikator yang tepat untuk titrasi asam basa, pemahaman konsep perubahan pH
selama titrasi asam basa.
Berbagai macam model pembelajaran telah dikembangkan untuk memaksimalkan daya
nyaman dan mengembangakan berpikir tingkat tinggi peserta didik. salah satu model
pembelajaran yang dapat membuat peserta didik aktif dan meningkatkat daya ingat yang tinggi
adalah penggunaan model pembelajaran experiential learning (Arnold, Warner, dan Osberne,
2006). Kelebihan experiential learning meningkatkan motivasi, meningatkan penguasaan konsep
peserta didik, meningkatkan hasil belajar peserta didik (Widyawati,2012), membuat peserta didik
lebih aktif, bersemangat, senang mengikuti pelajaran, dan memiliki pengalaman yang
sesungguhnya (Suryani,2014), mudah diingat, sulit untuk dilupakan (Nurul Qomariyah,2009),
membantu terciptanya suasana pembelajaran yang kondusif, memunculkan kegembiraan dalam
proses pembelajaran, mendorong dan mengembangkan proses berpikir tingkat tingka peserta
didik, menolong peserta didik untuk dapat melihat dalam perspektif yang berbeda, dan
memperkuat kesadaran diri (Munif,2009). Terciptanya suasana pembelajarn yang kondusif,
senang, dan belajar dari pengalaman nyata akan meningkatkan penguasaan konsep peserta didik
dan akan berpengaruh terhadap berpikir tingkat tinggi peserta didik.
Dengan diterapkannya model pembelajaran experiential learning maka semakin banyak
manfaat yang diperoleh dalam pendidikan, metode dengan pengalaman langsung dan terdapat
proses yang dilalui secara nyata sehingga peserta didik benar-benar memahami, merasakan dan
ingatannya semakin kuat. Semakin sering metode ini diterapkan maka hasil pembelajaran
semakin bermutu sehingga tahapan pendidikan abad 21 dapat terwujud.
Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti mengusulkan model pembelajaran yang
mampu meningkatkan berfikir tingkat tinggi peserta didik, serta dapat membuat peserta didik
lebih aktif, bersemangat, senang mengikuti pelajaran, dan tidak cepat bosan, sehingga hasil
belajar dapat meningkat. Sehubungan dengan fakta-fakta diatas, peneliti bertujuan untuk
menerapkan model pembelajaran experiential learning untuk meningkatkan berfikir tingkat
tinggi peserta didik MAN 2 Kota Semarang. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat
sebagai alternatif pilihan model pembelajaran yang dapat dipakai guru untuk meningkatkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Identifikasi dari pemaparan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan


yang akan diteliti oleh penelitian ini yaitu :
1. Apakah penerapan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning) dapat
meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik MAN 2 Kota Semarang Kelas XI Pada Materi
Titrasi Asam Basa.
2. Bagaimana level berpikir tingkat tinggi peserta didik MAN 2 Kota Semarang sebelum
menggunakan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning) dan sesudah
menggunakan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian Pengembangan ini adalah untuk :


1. Mengetahui penerapan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning)
dapat meningkatkan berfikir tingkat tinggi peserta didik MAN 2 Kota Semarang Kelas XI Pada
Materi Titrasi Asam Basa.

3. Mengetahui apakah level berpikir tingkat tinggi peserta didik MAN 2 Kota Semarang sebelum
menggunakan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning) dan sesudah
menggunakan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Learning) memiliki
kategori yang tinggi.

D. Manfaat Penelitian

Proposal peneltian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :


1. Bagi sekolah
Penelitian diharapkan akan memberikan sumbangan yang baik dalam rangka
memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar .

2. Bagi Guru
Penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran, dan menambah wawasan dalam
melaksanakan pembelajaran. Dan Guru lebih kreatif dalam menyampaikan materi
pembelajaran. Selain itu, guru dapat mempermudah suatu tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.

3. Bagi Peserta didik


a. Mampu meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik dan memberikan pemahaman
terkait titrasi asam basa dalam pengalaman nyata.
b. Mampu meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik akan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik

4. Bagi Peneliti
a. Mampu memberikan inspirasi dan refrensi bagi penelitian yang sejenis.
b. Mampu memberi konstribusi besar dalam perkembangan pendidikan.
c. Mampu meningkatkan kemampuan peneliti sebagai calon pendidik yang berkompeten.
5. Bagi Peneliti Lain
a. Mampu meningkatkan kemampuan para peneliti untuk mengembangkan model
pembelajaran yang lebih menarik.
b. Mampu meningkat pembelajaran sebagai persiapan kurikulum 2013 (Student Centred
Learning).
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teori

1. Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Eksperiential Learning)


a. Pengertian Eksperiential Learning
Eksperiential Learning memberikan pembelajaran berupa wawasan dan
pengetahuan konsep-konsep yang terdapat dalam pengalaman nyata yang akan
membangun ketrampilan melalui penugasan-penugasan nyata.
Filosofi gaya belajar experiential learning didasarkan pada pandangan John Dewey,
1938 : there is on intimate and necessary relation between the processes of actual experience
and education. Penggunaan model gaya belajar experiential learning didasarkan pada
pemikiran bahwa : pembelajaran dalam belajar akan lebih baik ketika mereke terlibat
secara langsung dalam pengalaman belajar (John Dewey 1938)
Eksperiential Learning dari Kolb didasarkan pada teori John Dewey yang
menekankan pada kebutuhan pangalaman pada kegiatan belajar. Pada tahun 1984 oleh
David Kolb dalam bukunya yang berjudul “Experiential Learning, experience as the source
of learning and developmen”. Experiential Learning mendefinisikan belajar sebagai proses
bagaimana pengetahuan diciptakan melalui perubahan bentuk pengalaman. Pengetahuan
diakibatkan oleh kombinasi pemahaman dan mentransformasikan pengalaman (Kolb
1984). Model Pembelajaran Eksperiential Learning Kolb menyajikan proses terkait
penguasaan pengalaman, berupa pengalaman konkret dan konseptualisasi abstrak.
Pembelajaran dengan model experiential learning terus dikembangkan oleh D.Baud
dan Walker menyatakan bahwa pembelajaran experiential learning memiliki beberapa
level pembelajaran dalam model tindakan dan refleksi. D.Baud mengungkapkan terdapat
dua asumsi, asumsi pertama menunjukkan bahwa pembelajaran selalu didasarkan pada
pengalaman sebelumnya dan segala upaya untuk mengaktifkan nya. Asumsi kedua
menunjukkan bahwa belajar dari pengalaman akan membantu peserta didik untuk
berintraksi dan terlibat dalam berbagai acara (Boud,1994). D.Baud dan Walker
menganggap pembelajaran pengalaman sebagai tahapan yang pertama sebelum kegiatan
pembelajaan.
Pembelajaran dengan model experiential learning pada tahun 1985
dikembangkan oleh J.Pfeiffer dan J.Jones bahwa model experiential learning dapat
dimodifikasi untuk mengarahkan peserta didik menuju prinsip, proses, dan keterampilan
pembelajaran yang memiliki pengaruh terhadap dinamika hubungan. Peserta didik
memiliki hubungan tertentu dalam pikiran ketika mereka mempelajari konsep-konsep
tertentu.
Metode pembelajaran berbasis pengalaman menurut (Cahyani 2003) adalah
suatu metode pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik untuk membangun
pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalaman secara
langsung. Menurut Kolb (1984), pembelajaran berbasis pengalaman adalah suatu metode
pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam suatu kegitan, merefleksikan
kegiatan–kegiatan kritis dan memiliki wawasan-wawasan yang berguna bagi
pembelajaran.
Menurut Warrick (1997) menyatakan bahwa kegiatan yang telah dilakukan
peserta didik memiliki peranan yang sangat penting yaitu memberikan kesempatan
kepada mereka untuk merefleksikan pengalaman meraka dalam latihan dengan cara
mengintegrasikan pengamatan dan memberikan umpan balik dalam kerangka konseptual
dan menciptakan mekanisme untuk mentransfer pembelajaran dengan situasi luar yang
relafan. Metode pembelajaran berbasis pengalaman adalah metode pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik dan berorientasi pada kegiatan. Peserta didik harus bekerja
sama dengan guru agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Oleh kerena itu, metode ini
akan bermakna apabila peserta didik berperan serta dalam melakukan kegiatan. Peserta
didik memandang kritis kegiatan tersebut, kemudian peserta didik mendapatkan
pemahaman serta menuangkan dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Pepatah mengatakan bahwa “pengalaman adalah guru yang paling baik”. Hal
yang sama telah dikemukakan oleh confusious beberapa abad lalu “what I hear, I forget,
what I hear and I see, I remember a little, what I hear, see and ask questions about or discus
with some one else, I begin to understand, what I hear see, discus and I do, I acquire
knowledge and skill what I teach to another I master”. Jika pernyataan confusius tersebut
dikembangkan secara sederhana, maka akan didapat suatu cara belajar berupa cara
belajar dengan mendengar akan lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat
sedikit, dengan cara mendengar, melihat dan mendiskusikan dengan murid lain akan
paham, dengan cara mendengar, melihat, dan mendiskusikan dengan murid lain akan
paham dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh
pengetahuan dan keterampilan, dan cara menguasai pelajaran yang terbaik adalah dengan
cara mengerjakan. Dengan mengalami materi belajar secara langsung, diharapkan peserta
didik dapat lebih membangun makna serta kesan dalam memori atau ingatannya.

b. Tujuan Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman (experiential lerning)


Metode pembelajaran berbasis pengalaman merupakan pembelajaran yang
membuat siswa bertemu langsung dengan fenomena yang dipelajari, itu akan lebih
realistis dan akan lebih bermakna. Hal ini sangat masuk akal karena kecerdasan,
pemahaman, dan kebijaksanaan berkembang melalui pengalaman dan refleksi.
Tujuan metode pembelajaran berbasis pengalaman menurut Cahyani (2000) adalah
untuk membantu perkembangan kognitif peserta didik. Untuk peserta didik yang dapat
berfikir pada tingkat perkembangan kognitif tertinggi, pasti memiliki beberapa
pengalaman, atau kontak langsung dengan substansi dan materi.
Tujuan lain dari metode pembelajaran berbasis pengalaman menurut Warrick
(1997) adalah peserta didik dapat memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip dan teori-
teori yang diterapkan pada situasi konkret, ketrampian interpersonal dan metode
pengembilan keputusan dan keterampilan dalam mengamatai dan mendiagnosa fenomena
perilaku. Terdapat tiga faktor yang dapat menunjang keberhasilan dalam penerapan
metode pembelajaran berbasis pengalaman yaitu : 1) pilih kegiatan dan latihan yang
dilakukan sendiri, 2) pilih tujuan pembelajaran yang sesuai, dan 3) pilih metode
pembelajaran. (Warrick 1997)
c. Konsep Model Experiential Learning
Experiential Learning Theory (ELT), yang kemudian menjadi dasar model
pembelajarn Experiential learning, dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1984 an.
Model ini menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses
belajar. Dalam Experiential learning, pengalaman mempunyai peran sentral dalam proses
belajar. Penekanan inilah yang membedakan ELT dari teori-teori belajar lainnya. Istilah “
experiential” disini untuk membedakan antara belajar kognitif yang cenderung
menekankan kognisi lebih dari pada efektif. Dan teori belajar behavior yang
menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar (Kolb Dalam Baharudin
Dn Esa, 2007). J.Pfaiffer dan J.Johne telah mengembangkan lima langkah model
pembelajaran Experiential learning.
d. Langkah-langkah Pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential learning)
Menurut J. Pfaiffer dan J.Johne 1998 ada 5 tahap dalam metode Pembelajaran
Berbasis Pengalaman (Experiential learning) yaitu :Experiencing, Publishing, Processing,
Generalizing, Applying. Berikut ini merupakan penjelasan dari 5 tahap siklus Experiential
learning Gambar 2.1.
Experiencing
(activy)

Applying (Planning Publishing (Sharing


More Effectiv Reactions and
Behavior) Observations)

Generalizing (Inferring Processing (Discussing


Principles About the “Real of Patterns and
World”) Dynamics)

Gambar 2.1 Model Exsperiensial Learning


(Keith G.2001)
Tahapan-tahapan dalam Pfeiffer experiential learning cycle dapat diuraikan pada
contoh berikut:
Pertama, Experiencing, tahap ini pembelajaran disediakan stimulus yang
mendorong peserta didik melakukan sebuah aktivitas. Aktivitas ini bisa berangkat dari
suatu pengalaman yang pernah dialami sebelumnya baik formal maupun non formal.
Pelaksanakan aktivitas tersebut peserta didik tidak dibantu oleh guru.
Kedua, Publishing. Pada tahap ini membagikan hasil pengamatan secara publik,
peneliti meminta peserta didik untuk berbicara tentang pengalaman mereka. Diskusikan
pengalaman yang dialami biarkan kelompok atau individu berbicara bebas dan mengakui
ide-ide yang mereka hasilkan.
Ketiga, Processing. Pada tahap ini peserta didik mendiskusikan bagaimana
pengalaman itu dilakukan. Diskusikan tema, masalah dan solusi dari permasalahan yang
dihadapi
Keempat, Generalizing. Pada tahap ini hubungkan pengalaman dengan contoh dunia
nyata, identifikasi prinsip kehidupan nyata yang muncul.
Kelima, Applying. Pada tahap ini, peneliti mencoba merencanakan bagaimana
menguji kemampuhan untuk menjelaskan pengalaman baru yang akan diperoleh
selanjutnya. Pada tahap aplikasi akan terjadi proses bermakna karena pengalaman yang
diperoleh pembelajar sebelumnya dapat diterapkan pada pengalaman atau situasi
problematika yang baru. Setiap individu memiliki keunikan sendriri dan tidak pernah ada
dua orang yang memiliki pengalaman hidup yang sama persis.
2. High Order Tingkinng Skill ( HOTS )
a. Konsep Berpikir
Berpikir didefinisikan sebagai kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang
diterima melalui panca indra dan ditujukan untuk mencari suatu kebenaran. Berpikir
juga merupakan penggunaan otak secara sadar untuk mencari sebab, berdebat,
mempertimbangkan, memperkirakan, dan mereflesikan suatu objek (Rusyna, 2014).
Proses berpikir merupakan urutan kejadian mental yang terjadi secara alamiah atau
terencana dan sistematis pada konteks ruang, waktu,dan media yang digunakan, serta
menghasilkan suatu perubahan terhadap objek yang mempengaruhinya
(Kuswan,2013)
Kemampuan berpikir memerlukan kemampuan mengingat dan memahami, oleh
sebab itu kemampuan untuk mengingat menjadi bagian terpenting dalam
mengembngkan kemampuan berpikir. Sehingga bisa dikatakan bahwa kemampuan
berpikir seseorang pasti diikuti kemampuan mengingat dan memahami, tetapi belum
tentu kemampuan mengingat dan memahami yang dimiliki seseorang menunjukkan
bahwa seseorang tersebut memiki kemampuan berpikir (Sanjaya,2008). Kemampuan
berpikir melibatkan enam jenis berpikir, yaitu: (1) metakognisi, (2) berpikir kritis, (3)
berpikir kreatif, (4) proses kognitif (pemecahan masalah dan pengambilan keputusan),
(5) kemampuan berpikir inti (seperti representasi dan merngkas), (6) memahami
peran konten pengetahuan (Kuswana, 2013).
Dengan demikian, dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
berpikir yaitu aktivitas mental baik yang berupa tindakan yang disadari maupun tidak
yang merupakan sebuah proses mengolah pengetahuan yang dilakukan oleh akal
manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh seseorang
b. Konsep High Order Tingkinng Skill ( HOTS )
Newman and Wehlage (2011) menyatakan bahwa :
“HOTS requires students to manipulate informations and ideas in ways that
transform their meaning and implication, such as when students combine facts and
ideas in order to synhesize, generalize, explain, hypothize, or arrive at some conclusion
or interpretation”. Keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan aspek penting
dalam mengajar dan belajar. Keterampilan berpikir sangat penting dalam proses
pendidikan. Orang berpikir dapat mempengaruhi kemampuan belajar, kecepatan, dan
efektivitas belajar. Oleh karena itu, keterampilan berpikir ini dikaitkan dengan proses
belajar. Peserta didik yang dilatih dengan berpikir menunjukkan dampak positif pada
pengembangan pendidikan mereka (Heong dkk, 2011).
Dalam keterampilan berpikir, terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan,
yaitu :
1) Keterampilan berpikir tidak secara otomatis dapat dimiliki oleh peserta didik
2) Keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu
bidang studi.
3) Pada kenyataan peserta didik jarang melakukan trasfer sendiri keterampilan
berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing.
4) Pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang
5) berpusat kepada peserta didik (student centered) (Rusyna, 2014).
c. Landasan Higher Order Thinking Skills (HOTS)
Keterampilan berpikir tingkat tinggi pertama kali dimunculkan pada tahun 1956
lalu direvisi oleh oleh Anderson dan Krathwohl pada tahun 2001. Pada awalnya
taksonomi Bloom menggunakan kata benda yaitu pengetahuan, pemahaman, terapan,
analisis, sintesis, dan evaluasi. Setelah direvisi menjadi mengingat, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (Basuki & Hariyanto, 2016).
Dalam taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl, terdapat tiga
aspek dalam ranah kognitif yang menjadi bagian dari kemampuan berpikir tingkat
tinggi atau higher order thinking. Ketiga aspek tersebut yaitu aspek analisa, aspek
evaluasi, dan aspek mencipta. Tiga aspek lain dalam ranah yang sama, yaitu aspek
mengingat, aspek memahami, dan aspek aplikasi (menerapkan) masuk dalam bagian
berpikir tingkat rendah atau lower order thinking (Suyono & Hariyanto, 2014).
Anderson dan Krathwohl (2010) menjelaskan masing-masing indikator dalam
taksonomi Bloom (revisi) sebagai berikut:
1) Mengingat
Proses mengingat merupakan mengambil pengetahuan yang dibutuhkan
dari memori jangka panjang. Jika tujuan pembelajarannya merupakan
menumbuhkan kemampuan untuk meretensi materi pelajaran sama seperti materi
yang diajarkan, maka mengingat adalah kategori kognitif yang tepat.
2) Memahami
Memahami merupakan proses mengkontruksi makna dari pesan-pesan
pembelajaran, yang disampaikan melalui pengajaran, buku, atau layar komputer.
Peserta didik memahami ketika mereka menghubungkan pengetahuan baru
dan pengetahuan lama atau pengetahuan baru dipadukan dengan kerangka
kognitif yang telah ada.
3) Mengaplikasikan
Proses kognitif mengaplikasikan melibatkan penggunaan prosedur-
prosedur tertentu untuk mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan masalah.
Kategori ini terdiri dari dua proses kognitif, yaitu mengeksekusi untuk tugas yang
hanya berbentuk soal latihan dan mengimplementasikan untuk tugas yang
merupakan masalah yang tidak familier.
4) Menganalisis
Menganalisis melibatkan proses memecah materi menjadi bagian-bagian
kecil dan menentukan bagaimana hubungan antar bagian-bagian dan struktur
keseluruhannya. Kategori proses menganalisis ini meliputi proses kognitif
membedakan, mengorganisasi, dan mengatribusikan.
5) Mengevaluasi
Mengevaluasikan didefinisikan sebagai membuat keputusan berdaar
kriteria dan standar. Kriteria-kriteria yang sering digunakan adalah kualitas,
efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Masing-masing dari kriteria tersebut
ditentukan oleh peserta didik. Standar yang digunakan bisa bersifat kuantitatif
maupun kualitatif. Kategori mengevaluasi mencakup proses kognitif memeriksa
(keputusan yang diambil berdasarkan kriteria internal) dan mengkritik
(keputusan yang diambil berdasarkan kriteria eksternal).
6) Mencipta
Mencipta melibatkan proses menyusun elemen-elemen menjadi sebuah
keseluruhan yang koheren atau fungsional. Tujuan yang diklasifikasikan dalam
proses mencipta menuntut peserta didik membuat produk baru dengan
mereorganisasi sejumlah elemen atau bagian menjadi suatu pola atau struktur
yang tidak pernah ada sebelumnya. Proses kognitif yang terlibat dalam mencipta
pada umumnya sejalan dengan pengalaman belajar yang telah dimiliki
sebelumnya. Proses kognitif tersebut yaitu merumuskan, merencanakan, dan
memproduksi.
3. Tinjauan KonsepTitrasi Asam Basa
Titrasi merupakan salah satu metode untuk menentukan konsentgrasi suatu
larutan dengan cara mereaksikan sejumlah volume larutan tersebut terhadap
sejumlah volume larutan lain yang konsentrasinya sudah diketahui. Larutan yang
konsentrasinya sudah diketahui disebut larutan baku (Justiana, 2009). Titrasi yang
melibatkan reaksi asam dan basa disebut titrasi asam basa. Ada dua jenis titrasi
asam basa, yaitu asidimetri (penentuan konsentrasi larutan basa dengan
menggunakan larutan baku asam) dan alkalimetri(penentuan konsentrasi larutan
asam dengan menggunakan larutan baku basa).
a. Pengertian Titrasi Asam-Basa
Titrasi asam basa merupakn metode penentuan konsentrasi kadar larutan
asam dengan zat penetrasi larutan basa atau kadar larutan basa dengan zat
penitrasi larutan asam. Titik akhir titrasi diharapkan mendekati titik ekuivalen
titrasi, yaitu kondisi pada saat larutan asam tepat bereaksi dengan larutan basa.
Pendekatan antara titik titrasi dengan titik ekuivalen tergantung pada pH
yang ditndai perubahan warna dari larutan indikator (Priambodo, 2009).

b. Rumus umum titrasi asam basa


Pada saat titik ekuivalen maka mol-ekuivalent asam akan sama dengan
mol-ekuivalent basa, maka hal ini dapat kita tulis sebagai berikut: mol-
ekuivalen asam = mol-ekuivalen basa
Mol-ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara Normalitas dengan
volume maka rumus diatas dapat kita tulis sebagai:
n xV asam = n xV basa

Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan


jumlah ion H+ pada asam atau jumlah ion OH- pada basa, sehingga rumus diatas
menjadi:

nxMxV asam = nxVxM basa

keterangan :
N = Normalitas
V = Volume
M = Molaritas
n = jumlah ion H+ (pada asam) atau OH- (pada basa).

d. Macam Macam Titrasi Asam Basa

Titrasi asam basa dibagi menjadi lima jenis tergantung pada jenis asam dan
basa yang direaksikan, jenis asam dan basa yang direaksikan akan
mempengaruhi perubahan pH yang dapat digambarkan sebagai kurva titrasi
yang dihasilkan dari plot antara pH dengan asam atau basa yang
ditambahkan,berikut ini merupakan jenis titrasi asam basa beserta kurva
titrasinya :

1. Asam kuat - Basa kuat


Titrasi asam kuat-basa kuat contohnya titrasi HCl dengan NaOH.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
NaOH(aq) + HCl(aq) NaCl (aq) + H2O(l)
Gambar 2.3 Kurva Titrasi Asam Kuat Basa Kuat

2. Asam kuat - Basa lemah


Titrasi ini ini Pada akhir titrasi terbentuk garam yang berasal dari
asam lemah dan basa kuat. Contoh titrasi ini adalah asam asam klorida
sebagai asam kuat dan larutan amonia sebagai basa lemah.dalam reaksi ini
akan terbentuk garam yang bersifat asam.
NH4OH (aq) + HCl (aq) NH4Cl (aq) + H2O

Gambar 2.4 Kurva Titrasi Asam kuat – Basa Lemah

3. Asam lemah - Basa kuat


Titrasi Asam lemah-basa kuat contohnya adalah titrasi CH3COOH
sebagai asamlemah dengan NaOH sebagai basa kuat sehingga membentuk
garam yang bersifat basa. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut
NaOH + CH3COOH → CH3COONa +H2O

Gambar 2.5 Kurva Titrasi Asam Lemah – Basa Kuat

4. Asam Lemah Basa lemah

Titrasi Asam lemah-basa lemah contohnya adalah titrasi CH3COOH


sebagai asam lemah dengan NH4OH sebagai basa lemah sehingga
membentuk garam yang berasal dari asam lemah dan basa lemah. Jika Ka >
Kb kelarutan bersifat asam, jika Kb > Ka kelarutan bersifat basa. Reaksi
yang terjadi adalah sebagai berikut CH3COOH + NH4OH → CH3COONH4
+ H2O

5. Asam kuat - Garam dari asam lemah


Titrasi Asam kuat-garam dari asam lemah contohnya adalah titrasi
HCl sebagai asam kuat dengan NH4BO2 yang bersifat sebagai garam dari
asam lemah. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut
HCl + NH4BO2→ HBO2+ NH4Cl
Reaksi ion yang terjadi adalah
H++ BO2-→ HBO2
6 . Basa kuat - Garam dari basa lemah
Titrasi basa lemah dan asam kuat contoh disini adalah titrasi NaOH
yang bersifat basa kuat dengan CH3COONH4 yang merupakan garam dari
basa lemah, dimana reaksinya dapat ditulis sebagai:
NaOH + CH3COONH4 → CH3COONa + NH4OH
Reaksi ion OH-+ NH4-→ NH4OH

B. Kajian Pustaka

Banyak metode dan strategi pembelajaran yang diterapkan diantaranya. Hugeret dan
Kortam, 2014 dalam penelitiannya penggunaan model pembelajaran inquiri terbimbing dapat
meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik dilihat dari hasil preetes dan posttest kelas
kontrol dan eksperimen, tetapi model pembelajaran inquiri terbimbing yang diterapkan masih
terdapat kelemahan metode ini tidak cocok diterapkan pada penelitian tertentu dan bidang
tertentu, inquri masih berfokus pada diskusi kelompok (Hugeret dan Kortam,2014). Dusica,
Milenkic, Segedinac dan Horvat (2017) juga menggunaan strategi pembelajaran berupa
pertanyaan sintesis sistemik untuk meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik, untuk
meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik peneliti menggunakan pertanyaan
konvensional sebagai alat penilaian dan menggunakan rubrik penilaian empat tingkat pemikiran
tingkat tinggi peserta didik dari rubrik yang didapatkan bahwa terdapat perbedaan antara
kelompok kontrol dan eksperimen, kelompok eksperimen berpikir secara sistematik tumbuh
secara linier (Dusica, Milenkic, Segedinac dan Horvat, 2017). Namun peniliti menemukan
kekurangan dari penelitian yang diterapkan pada kelompok peserta didik denagan jenis kelamin
perempuan menggungguli laki-laki dengan kelompok yang sama. Dikarenakan peserta didik
perempuan lebih menguasai pertanyaan dibanding laki-laki yang hanya memilih untuk diam
(Dusica, Milenkic, Segedinac dan Horvat, 2017).
Puspita (2018) menerapkan strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir juga
diterapkan untuk meningkatkan berpikir tingkat peserta didik, dengan menggunakan strategi
pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir terbukti lebih tinggi dari pada dengan
pembelajaran yang menggunakan metode ceramah, hal itu dapat diketahui dari nilai F sebesar
10,834 dengan taraf sinifikan sebesar 0,002 (Puspita, 2018). Pembelajaran dengan
menggunakan strategi pembelajaran akan meningkatkan kemampuan berpikir, dimana peserta
didik terlihat lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran, mengumpulkan data dan membuat
kesimpulan sendiri. Walaupun kegiatan pembelajaran peserta didik berjalan mandiri, tetapi
peserta didik masih belum terbiasa dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan strategi
pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir, oleh karena itu diperlukan intruksi yang lebih
jelas sehingga pelaksanaan pembelajaran lebih efektif, instrumen penelitian belum
mencerminkan atau menggali Higher Order Thinking Skills , hanya terdapat 9 soal atau 45% soal
yang termasuk kedalam Higher Order Thinking Skills, pemantapan materi pembelajaran belum
dilakukan secara maksimal, sehingga beberapa peserta didik belum mengerti dan paham
terhadap materi yang disampaikan.Hal itu membuat Puspita(2018) harus mengulangi
penjelasan materi secara keseluruhan. Oleh sebab itu, perlu diberikan inovasi dalam
pembelajaran yang dilakukan untuk pemantapan materi yang disampaikan.
Luciana (2016) telah menerapkan model pembelajaran PBL untuk meningkatkan berpikir
tingkat tinggi peserta didik dan menghasilkan hasilkan data yang efektif. Hal ini dibuktikan dari
hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan presentase rata-rata kemampuan berpikir
menganalisis (C4) sebesar 53,76% dengan kategori baik, presentase rata-rata kemampuan
berpikir mengevaluasi (C5) sebesar 48,06% dengan kategori cukup, dan presentase rata-rata
berpikir mencipta (C6) sebesar 49,71% dengan kategori cukup (Luciana,2016). Masih terdapat
kekurangan dalam penelitian ini, aspek evaluasi yang dilakuakn oleh peneliti belum mencapai
target penelitian karena pembelajaran tidak berjalan seperti yang diharapkan khususnya pada
tahap presentasi, refleksi, dan evaluasi, karena hanya satu kelompok yang diberikan kesempatan
untuk mempresentasikan jawaban dari permasalahan yang dilakukan, instrumen lembar
observasi untuk mengukur ketarmpilan psikomotorik peserta didik tidak ada (Luciana,2016).
Penggunaan e-learning juga digunakan untuk mengukur berpikir tingkat tinggi peserta didik,
dengan menggunakan e-learning untuk meningkatkan berpikir tingkat tinggi peserta didik
terdapat korelasi yang segnifikan antara peserta didik dengan pembelajaran e-learning.
Kekurangan dalam penelitian ini penggunaan e-learning masih terdapat kendala jaringan
internet yang kurang memadahi dan minimnya komputer yang ada dileb (Popy,2013).
Model Pembelajaran experiensial learning dapat diterapkan dalam pembelajaran karena
dapat mengaktifkan peserta didik untuk membangun pengetahuan dan ketrampilan serta nilai-
nilai juga sikap melalui pengalaman secara langsung. Hal ini sesuai dengan penelitian Rina,
Wayan dan Ketut (2014) yang memiliki tujuan untuk mengetahui pemgaruh model experiantial
learning terhadap berfikir kritis dan motivasi berprestasi siswa kelas X MIPA SMA Negeri 1
Samarapura tahun pelajaran 2013-2014. Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan
ketrampilan berpikir peserta didik dikihat dari Fhitung = 4,802 lebih besar dari Ftabel 3,98. Selain
itu terjadi perubahan pada pola belajar peserta didik di mana semakin banyak peserta didik
yang memperhatikan dan aktif saat proses pembelajaran, mampu membuat kesimpulan,
menjawab pertanyaan dan semakin banyak peserta didik yang mengerjakan tugas yang
diberikan. Penerapan experiential learning ditunjukan melalui kegiatan percobaan. Peserta didik
melakukan experimen, tidak hanya peserta didik yang aktif fisiknya, tetapi pemikiran peserta
didik ikut aktif, karena kegiatan experiential learning memungkinkan peserta didik untuk
menanggapi dan mencari solusi yang berkaitan dengan pengalaman nyata (Rina, Wayan dan
Ketut,2014). Hal ini sejalan dengan peneliti yang dilakukan oleh peneliti yaitu model
pembelajaran berasis pengalaman (experiential learning), selain kegiatan orientasi dan
eksporasi, peserta didik juga aktif melakuakan percobaan.
Berdasarkan hasil kajian pustaka, maka peneliti akan melakukan pembelajaran dengan
model pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) terhadap berpikir tingkat
tinggi peserta didik kela XI MAN 2 Kota Semarang pada materi titrasi asam basa.

C. Kerangka Berpikir

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa terdapat permasalahan yaitu berpikir tingkat tinggi
peserta didik kurang. Kurikulum 2013 mengharuskan kegiatan pembelajaran menggunakan
model pembelajaran yang beroerientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi .
Salah satu model pembelajaran yang merujuk pada berpikir tingkat tinggi yaitu model
pembelajaran berbasis pengalaman (Experiensial Learning). Experiensial Learning menghendaki
peserta didik harus aktif dalam proses pembelajaran, tidak hanya sekedar mendengar dan
mencatat apa yang diberikan oleh guru, selain itu peserta didik juga harus mampu dalam
mengkontruksi dan membangun pengetahuan baru secara mandiri.
Pada pelaksanaannya pembelajaran di kelas, guru masih menggunakan model konvensional
dimana menggunakan model ceramah dan guru dominan dalam proses pembelajaran. Dengan
model konvensional membuat kurangnya partisipasi peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran, kegiatan pembelajaran tidak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan kemampuannya, peserta didik cenderung pasif dan kurang mandiri, dan
peserta didik belum terlibat secara aktif untuk menemukan sendiri konsep/materi
pembelajaran. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan, peneliti mengidentifikasi masalah
untuk menemukan alternatif perbaikan yang dapat dilakukan.
Kerangka pikir penelitian digambarkan dalam Gambar 2.2
Masalah :
1. Pembelejaran aktif peserta didik masih rendah, dan mengakibatkan berfikir
tinggkat tinggi tinggi peserta didik kurang dan berimbas pada penilaian hasil belajar
peserta didik.
2. Proses pembelajaran yang diterapkan masih dengan model konvensional (ceramah)
masih berpusat pada guru. Sehingga peserta didik tidak berperan langsung dalam
proses pembelajaran

Solusi : Penerapan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiensial Learning)


terhadap berfikit tingkat tinggi peserta didik

Peserta didik Peserta didik

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Hasil Pre-test Hasil Pre-test

Pembelajaran dengan menggunakan Pembelajaran dengan menggunakan


model pembelajaran Experiensial model pembelajaran konvensional
Learning

Soal Post-test Soal Post-test

Apakah penerapan model pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning)


dapat meningkatakan berpikir tingkat tinggi peserta didik MAN 2 Kota Semarang

Kroscek

Bagaimana tingkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi peser didik MAN 2 Kota
Semarang
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir Penelitian
D. Rumusan Hipotesis
Hipotesis yang diajukan peneliti adalah :
Ho : Tidak terdapat peningkatan berpikir tingkat tinggi peserta didik yang
menggunakan model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Leaarning)
dengan peserta didik yang menggunkan metode konvensional.
Ha : Terdapat peningkatan berpikir tingkat tinggi peserta didik yang menggunakan
model pembelajaran berbasis pengalaman (Experiential Leaarning) dengan
peserta didik yang menggunkan metode konvensional.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian mix methods, yaitu suatu langkah penelitian
dengan menghubungkan dua bentuk pendekatan dalam penelitian. Penelitian campuran
merupakan pendekatan penelitian yang menggombinasikan anatara penelitian kualitatif
dengan penenlitian kuantitatif (Creswell,2015).
Model mix methods yang digunakan pada penelitian ini yaitu model sequential
dengan menggunakan pendekatan explanatory, yaitu data dan analisis kuantitatif pada
tahap pertama, dan diikuti pengumpulan dan analisis data kualitatif pada tahap ke dua.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di MAN 2 Kota Semarang di Jl. Bangetayu Raya No.1,
Bangetayu Kulon, Genuk, Kota Semarang, Jawa Tengah 50115.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada semester genap tahun 2019/2020.
C. Populasi dan Sempel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini meliputi peserta didik kelas XI IPA 2 dan XI IPA 1 MAN
2 Kota Semarang dengan jumlah masing-masing pada tabel 3.1.
Tabel 2.1 Jumlah Peserta Didik
MAN 2 Kota Semarang
No Kelas Jumlah Peserta Didik
1. XI IPA 1 35
2. XI IPA 2 36
Sumber : Administrasi Kesiswaan MAN 2 Kota Semarang Tahun 2019/2020

2. Sempel
Sempel diambil dengan teknik cluster random sampling (probability sampling) yaitu
penarikan sampel acak secara berkelompok (Supranto, 2007).

D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen ( bebas )
2. Variabel dependen ( terikat )
3. Variabel kontrol
E. Instrumen Penenlitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Tes kemampuan berpikir tingkat tingkat dalam penelitian ini adalah materi kelas XI
semester genap sub pokok materi titrasi asam basa. Tipe tes kemampuan berpikir
tingkat tinggi yang digunakan adalah pilihan ganda dan esay. Langkah-langkah dalam
penyusunan tes kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam jenjang kognitif adalah :
a. Menganalisis Kompetensi Dasar yang dapat dinuat soal-soal berpikir tingkat tinggi
b. Menyusun kisi-kisi soal yang meliputi soal berpikir tingkat tinggi.
c. Memilih stimulus yang menarik dan konstektual.
d. Menulis butir pertanyaan sesuai dengan kisi-kisi soal
e. Membuat pedoman penskoran atau kunci jawaban.
Peneliti menggunakan aturan penilaian dengan kriteria penskoran soal-soal
kemampuan berpikir tingkat tinggi yang disajikan oleh Hendriana dan Sumarno (2014)
yang tertera dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.2 Kriteria penskoran tes berpikir tingkat tinggi
No Kriteria Skor
1 Respon benar,lengkap dan 5
jelas
2 Respon benar, lengkap tapi 4
tidak jelas
3 Respon benar, tapi tidak 3
lengkap dan jelas
4 Respon salah, tidak lengkap 2
dan tidak jelas
5 Tidak ada respon 1
Tiap item soal yang dijawab dengan benar diberi skor yang berbeda, dan nilai
akhirnya adalah :
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚
x 100%

Nilai akhir menunjukkan kualitas penguasaan dan kemampuan yang tarafnya di


klasifikasikan dalam tabel berikut :

Tabel 2.3 Kriteria presentase tes berpikir tingkat tinggi


No Presentasi nilai rata-rata Kriteria
tes
1 Skor < 33% Rendah
2 33% ≤ Skor < 67% Sedang
3 67% ≤ Skor ≤ 100% Tinggi

F. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian yaitu teknik tes dan
non tes. Teknik tes dilakukan dengan cara memberikan pretest dan posttest, sebelum dan
setelah penerapan model pembelajaran Experiensial Learning. Hasil pretest dan posttest
digunakan untuk evaluasi hasil belajar peserta didik terhadap materi pembelajaran.
Sedangkan teknik non-tes dilakukan melalui pengamatan, wawancara, kuisoner,
catatan dan dokumentasi kepada peserta didik.
1. Observasi
Pada riset pendahuluan, peneliti melakukan observasi permasalahan di lingkungan
kelas XI IPA 2 dan XI IPA 1 dengan menyaksikan langsung proses pembelajaran diruang
kelas untuk membandingkan keaktifan peserta didik kelas XI IPA
2. Wawancara terbuka
Teknik wawancara digunkan dalam pengumpulan data, peneliti ingin melakukan
studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti. Selain itu
digunakan ila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam
dengan jumlah responden yang sedikit
( Maolani dan Cahyana, 2015 ).
3. Kuesioner
Digunkan untuk mengukur minat belajar peserta didik
4. Catatan
Digunakan untuk kepaham peserta didik
5. Dokumentasi atau pengum pulan data terhadap daftar nama peserta didik, nilai peserta
didik, foto – foto proses penelitian maupun dokumentasi dari sekolah.
G. Teknik Analisis Instrumen
1. Validitas dan Reliabilitas Penelitian Kuantitatif
Uji kelayakan instrumen tes dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Uji Validitas
Uji validitas butir soal dapat digunakan rumus product moment.

𝑛∑𝑋𝑌−(∑𝑋)(∑𝑌)
rxy
√(𝑛∑𝑋 2 −(∑𝑋 2 ) (𝑛∑𝑌 2 −(∑𝑌 2 )

Keterangan:

rxy = Koefisien antara variable X dan variable Y


n = Banyaknya siswa
X = Skor butir soal
Y = Skor total
Hasil rhitung dibandigkan dengan rtabel pada taraf signifikansi 5%. Jika rhitung > rtabel
maka item soal tersebut valid.
b. Uji Reliabelitas
Rumus yang digunakan untuk uji reliabilitas dalam penelitian ini adalah
menggunakan rumus Alpha Cronbach sebagai berikut :

𝑛 ∑𝜎𝑖 2
r11 = 𝑛−1 [1 − 𝜎𝑖 2
]

Keterangan:

r11 = Reliabilitas yang dicari

𝜎𝑖 2 = Varians total

∑𝜎𝑖 2 = Jumlah varians skor tiap-tiap item

Kriteria koefisien reliabilitas adalah sebagai berikut :

0,80 < r11 ≤ 1,00 = Derajat reliabilitas sangat baik


0,60 < r11 ≤ 0,80 = Derajat reliabilitas baik
0,40 < r11 ≤ 0,60 = Derajat reliabilitas cukup
0,20 < r11 ≤ 0,40 = Derajat reliabilitas rendah
0,00 < r11 ≤ 0,20 = Derajat reliabilitas sangat rendah

2. Analisis Data Kuantitatif


a. Analisis Data Populasi
Analisis data populasi yang digunakan nilai ujian tengah semester peserta
didik MAN 2 Kota Semarang.
1) Uji Normalitas Populasi
Menguji normalitas data antara lain dengan Kertas Peluang dan Chi Kuadrat.
Pada kesempatan ini digunakan Chi Kuadrat untuk menguji normalitas:

Keterangan:

χh 2 = Chi Kuadrat

fo = Frekuensi yang diobservasi


fh = Frekuensi yang diharapkan

Jika χ2hitung < χ2tabel, maka populasi berdistribusi normal, dengan taraf
signifikansi 5% dan dk = k-1

2) Uji Homogenitas Populasi

Berikut rumus yang digunakan untuk menentukan homogenitas dengan


rumus varians sebagai berikut:

F=

Kriteria Ho diterima adalah jika Fhitung < Ftabel dengan taraf signifikansi 5%

3) Uji Kesamaan Rata-rata Populasi

Uji dua pihak digunakan bila hipotesis nol (Ho) berbunyi sama dengan
dan hipotesis alternatifnya (Ha) berbunyi tidak sama dengan. Rumusan
hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:

Ho : µ1 = µ2

Ha : µ1 ≠ µ2

Keterangan

µ1 : Rata-rata hasil belajar kelas eksperimen


µ2 : Rata-rata hasil belajar kelas kontrol (Sudjana, 1996)

Hipotesis yang telah dibuat kemudian diuji dengan analisis Uji-t. Jika
sampel memiliki varian homogen, maka rumus t-tes yang digunakan adalah:

dengan

Keterangan:

s: Statistik

: Skor rata-rata dari kelompok eksperimen.

: Skor rata-rata dari kelompok control.

n1 : Banyaknya subjek dalam kelompok eksperimen.

n2 : Banyaknya subjek dalam kelompok kontrol.


s12 : Varian kelompok eksperimen.

s22 : Varian kelompok kontrol

s2 : Varian gabungan(Sugiyono, 2010)

Kriteria pengujian hipotesis adalah jika thitung < ttabel, maka Ho diterima
dan Ha ditolak. Jika thitung > ttabel , maka Ho ditolak dan Ha diterima dengan taraf
signifikansi 5% (Sugiyono, 2010).

b. Analisis Tahap Awal


1) Uji Normalitas
Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menguji
normalitas data antara lain dengan Kertas Peluang dan Chi Kuadrat. Pada
kesempatan ini digunakan Chi Kuadrat untuk menguji normalitas:

Keterangan:

χh 2 = Chi Kuadrat

fo =Frekuensi yang diobservasi

fh = Frekuensi yang diharapkan

Jika χ2hitung < χ2tabel, maka populasi berdistribusi normal, dengan taraf
signifikansi 5% dan dk = k-1

2) Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui seragam atau tidaknya


varian sampel yang akan diteliti dari populasi yang sama (Arikunto, 1990)..
Berikut rumus yang digunakan untuk menentukan homogenitas dengan rumus
varians sebagai berikut:

F=

Kriteria Ho diterima adalah jika Fhitung < Ftabel dengan taraf signifikansi 5% .

3) Uji Kesamaan Rata-rata

Uji dua pihak digunakan bila hipotesis nol (Ho) berbunyi sama dengan
dan hipotesis alternatifnya (Ha) berbunyi tidak sama dengan. Rumusan
hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:

Ho : µ1 = µ2
Ha : µ1 ≠ µ2

Keterangan

µ1 : Rata-rata hasil belajar kelas eksperimen


µ2 : Rata-rata hasil belajar kelas kontrol (Sudjana, 1996)
Hipotesis yang telah dibuat kemudian diuji dengan analisis Uji-t. Jika
sampel memiliki varian homogen, maka rumus t-tes yang digunakan adalah:

dengan

Keterangan:

t: Statistik

: Skor rata-rata dari kelompok eksperimen.

: Skor rata-rata dari kelompok kontrol.

n1 : Banyaknya subjek dalam kelompok eksperimen

n2 : Banyaknya subjek dalam kelompok kontrol.

s12 : Varian kelompok eksperimen.

s22 : Varian kelompok kontrol

s2 : Varian gabungan kriteria pengujian hipotesis adalah jika thitung < ttabel,

maka Ho diterima dan Ha ditolak. Jika thitung > ttabel , maka Ho ditolak dan Ha
diterima dengan taraf signifikansi 5%.

c. Analisis Tahap Akhir


Analisis data akhir yang digunakan adalah nilai posttest peserta didik setelah
dilakukn perlakuan
1) Uji Normalitas
Langkah pengujian normalitas data akhir sama dengan langkah uji
normalitas pada anlisis data awal dengan menggunakan kertas p;eluang dan
Chi Kuadrat
Keterangan:

χh 2 = Chi Kuadrat

fo = Frekuensi yang diobservasi.

fh = Frekuensi yang diharapkan

Jika χ2hitung < χ2tabel, maka populasi berdistribusi normal, dengan taraf
signifikansi 5% dan dk = k-1

2) Uji Homogenitas
Uji homogenitas data akhir digunakan untuk menentukan rumus analisis
hipotesis (pengaruh variabel X terhadap variabel Y1dan Y2) dengan uji pihak
kanan atau uji t. Adapun hipotesis yang diajukan adalah :
Ho : σA2 = σB2 , artinya kedua kelas memiliki varian yang sama.
Ha : σA2 ≠ σB2 , artinya kedua kelas memiliki varian yang berbeda
Uji homogenitas varian dapat digunakan rumus:
F=

Kriteria Ho diterima adalah jika Fhitung < Ftabel dengan taraf signifikansi 5%.

c. Uji Perbedaan Rata-rata

1. Uji Pihak Kanan

Ho : µ1 ≤ µ2

Ha : µ1 > µ2

Keterangan

µ1 : Rata-rata hasil belajar kelas eksperimen

µ2 : Rata-rata hasil belajar kelas control (Sugiyono, 2014)

Hipotesis yang telah dibuat kemudian diuji dengan analisis Uji-t. Jika sampel
memiliki varian homogen, maka rumus t-tes yang digunakan adalah:

dengan

S
Keterangan:

t : Statistik

: Skor rata-rata dari kelompok eksperimen.

: Skor rata-rata dari kelompok kontrol.

n1 : Banyaknya subjek dalam kelompok eksperimen.

n2 : Banyaknya subjek dalam kelompok kontrol

s12 : Varian kelompok eksperimen.

s22 : Varian kelompok kontrol

s2 : Varian gabungan

Data yang diperoleh dari perhitungan digunakan sebagai dasar untuk menguji
signifikansi dengan membandingkan thitung dan ttabel dengan dk = n1 + n2 – 2
dan taraf kesalahan 5%. Sehingga terdapat kemungkinan hasil akhir yaitu
signifikan atau tidak signifikan. Apabila thitung ˃ ttabel maka hasil akhir signifikan
(Ho ditolak, Ha diterima) dan apabila thitung ˂ ttabel maka hasil akhir tidak
signifikan (Ho diterima, Ha ditolak)

b. Uji Tingkat Ketuntasan

Derajat peningkatan keterampilan berpikir kritis dapat diketahui dengan


menggunakan analisis statistik inferensial melalui analisis N-Gain Score (nilai
pretest dan posttest ketrampilam berpikir tingkat tinggi) dengan rumus.

N(g) =

Kriteria N-gain dapat digambarkan dengan tingkat pencapaian pada

Tabel 3.2 Kategori Nilai N-


gain Nilai N-gain Kategori
0,70<N<100 Sangat Tinggi
N>0,70 Tinggi
0,3<N<0,70 Sedang
N<0,3 Rendah

Sumber: Sundayana (2015)


3. Analisis Data Kualitatif
Analisis kualititif dalam penenlitian ini meliputi beberapa tahap yaitu:
a. Pengumpulan data
Proses pengumpulan data dilakukan sebelum penelitian, pada saat
penelitian, dan di akhir penelitian. Proses pengumpulan data dilakukan ketika
penelitian masih berupa konsep atau draft. Data yang telah diperoleh akan diproses
dan dianalisis, kemudian dilakukan reduksi data.
b. Reduksi data
Reduksi data meruakan proses penggabungan dan penyerapan segala
bentuk data yang diperokeh menjadu satu bentuk tulisan yang akan dianalisis
1) Display data
Setelah data diubah dalam bentuk transkrip wawancara, data akan diolah
dalam bentuk tulisan dan alur tema yang jelas.
2) Kesimpulan
Kesimpulan merupakan tahap akhir dalam analisis data kualitatif.
Menguraikan dari seluruh sub tema yang diteliti,
DAFTAR PUSTAKA

Azhar Arsyat. 2013. Psikologi Pendidikan. Semarang : Unnes Press


Dimyati dan mudjiono.2009 . Belajar pada Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.

Trianto,2007. Strategi Belajar Mengajar(Edisi Revisi), Jakarta : Rineka Cipta


Wina Sanjaya.2008.Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosda Karya

Mulyasa, 2004. Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Rosda Karya.

Slameto,1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta

Bahrudin, 2010 , Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Arruz Media Group.

Arnold, Warner, dan Osborne (2006), Experiential learning in secondary agricultural education
classrooms. Journal of Southern Agricultural Educational Research. Vol 56(1): 30-39.

Widyawati, mita. 2012.Implementasi Experiental Learning Untuk meningkatkan Motivasi Dan


Penguasaan Konsep Kimia Pada Materi Asam Basa Kelas XI IPA MAN 2 Bojonegoro. skripsi.
Semarang :Fakultas tarbiyah IAIN walisongo.

Suryani, Ely Rudyatmi, Tyas Agung Pribadi. 2014. Pengaruh Experiential Learning Kolb Melalui
Kegiatan Praktikum Terhap Hasil Belajar Biologi Siswa. Journal of Biology Education.Vol 3
(2) : 93-103.

Munif (2009:80, I.R.S. 2009. Penerapan Metode Experiental Learning Pada Pembelajaran IPA Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar.Jurnal Pendidikan Fisika.Vol.V : 80

Anda mungkin juga menyukai