Anda di halaman 1dari 2

Kertas Putih dan Pena

Huda Hanifah

Aku berada di sebuah kamar kecil berukuran 3x3 meter, tepatnya duduk di samping meja.
Aku sedang mengerjakan tugas kuliahku di sana. Saat sedang memikirkan sesuatu, aku
mendengar percakapan yang membuat hatiku bergetar. Rupanya percakapan itu berasal dari
selembar kertas putih dan sebuah pena.

“Hai, pena. Tahukah engkau dari mana aku berasal?”, tanya kertas putih.

Lalu pena menjawab, “Bukankah kau dibuat dan dicetak oleh manusia?”

“Kau benar! Namun sebelum aku dibuat dan dicetak, aku berasal dari sebuah pohon yang
ditebang oleh manusia untuk dijadikan kertas.”

“Wah, rupanya kau berasal dari pohon. Bukankah sebaiknya pohon dilindungi oleh
manusia?”

Setelah mendengar percakapan tersebut, Aku merasa tertusuk. Ya, benar. Sebaiknya
pohon harus dilindungi oleh manusia. Pohon juga merupakan sumber oksigen bag kehidupan
manusia. Jika semua pohon ditebang, bagaimana manusia dapat menghirup udara. Aku merasa
menyesal telah banyak menggunakan kertas dan membuangnya begitu saja.

Lalu percakapan antara kertas putih dan pena berlanjut.

“Meskipun begitu, aku senang telah digunakan dengan semestinya oleh manusia. Aku
senang jika mereka membuat kertas putihku menjadi berwarna dan juga menuliskannya dengan
kata-kata yang indah lalu memajangku dengan pigura.”

Kertas putih pun merasa bangga kepada manusia yang memperlakukan ia dengan
layaknya kertas. Ia juga merasa senang jika ia dipajang oleh manusia dengan rapi.

Tidak lama kemudian pena membalasnya, “Sungguh beruntungnya kau kertas putih. Aku
tidak pernah dipajang sepertimu. Bahkan biasanya setelah aku digunakan, aku akan dibiarkan
tergeletak begitu saja. Terkadang aku juga dibiarkan menghilang hingga bertemu dengan pemilik
yang baru.”

Pena menceritakan pengalamannya kepada kertas putih dengan rasa sedih dan kecewa.

“Janganlah bersedih pena. Kalau tidak ada kau bagaimana aku bisa berwarna?”

Kertas putih menenangkan pena. Lalu berkata lagi, “Aku juga pernah merasa sedih jika
kawan sesama kertas putih dirobek, diremas, lalu dibuang. Bahkan aku akan menangis jika
pemilikku akan menggunakan kata-kata kasar atau nama-nama penghuni kebun binatang ketika
memperlakukan kawanku seperti itu.”

Aku pun merenung. Aku mengingat kejadian yang telah kertas putih ceritakan kepada
pena.

Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku kertas putih yang pernah kurobek, kuremas,
lalu kubuang. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu kala itu. Sekarang aku sadar setidaknya
jika aku merasa kesal, aku tidak akan melampiaskannya kepada kawanmu yang lain. Dan untuk
pena, maaf Aku pernah menggunakan tintamu dengan tidak baik. Saat itu aku benar-benar kesal
dan aku menuliskan kata-kata kasar dengan tinta indahmu itu. Aku berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.

“Lalu bagaimana kau dapat setenang ini kertas putih? Bukankah suatu saat nanti kau akan
merasakan itu juga?”

“Memang aku membencinya. Namun tidak ada yang perlu dikhawatirkan pena. Setelah
manusia mendengar ini, pasti ia akan sadar dengan kelakuannya dan tidak akan mengulanginya.”

“Terima kasih kertas putih, kau telah menenangkanku.”

Percakapan antara kertas putih dan pena pun berakhir. Aku segera menyelesaikan tugas
kuliahku lalu mencatat semua kebutuhan kuliah di selembar kertas putih dengan tulisan yang rapi
dan tentunya dengan pena warna-warni. Aku juga memajang catatan itu di atas meja belajar agar
dapat mengingat apa saja kebutuhanku nanti. Terima kasih kertas putih dan pena, akhirnya aku
mengerti perasaanmu.

Anda mungkin juga menyukai