Anda di halaman 1dari 5

Jawaban Prof. DR.

As Sayyid Muhammad Al Maliki


tentang Peringatan Maulid
14 Maret 2010 cak inul Tinggalkan komentar Go to comments

Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia islam, kaum muslimin
merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin
beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati
kelahiran Nabi mereka dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran
beliau Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa masyarakat
begitu antusias melakukan perayaan tersebut.

Demikian pemandangan yang kita saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang paling mereka
cintai. Tetapi hingga kini masih ada saja orang yang menolaknya dengan berbagai hujjah.
Diantaranya mereka mengatakan, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi
menjadikannya sebagai ‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha.
Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal dari ajaran agama.
Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip agama,
ataukah justru sebaliknya?

Di antara ulama kenamaan di dunia yang banyak menjawab persoalan-persoalan seperti itu,
yang banyak dituduhkan kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al
Muhaddits Al Imam Muhammad bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan
ulasan beliau mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat wa
Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.

Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan
‘Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi
SAW, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu
dan tempat.

Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id.
Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di
dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika
tidak ada kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul
Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Fath
Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan
kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.

Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan
berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid
Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau
menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.

Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya,
melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita
mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal,
dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya,
“Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian
bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan
yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus
menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya
gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya,
dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.

Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan
sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan
orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan,
serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.

Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu
dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana
halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti
shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena
berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu
yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.

Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk
dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan.
Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal
ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka
menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah,
keburukan, dan fitnah.

Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi
SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa,
ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari
kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid
Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.

Dalil-dalil Maulid

Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran
Nabi Muhammad SAW .

Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan
dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu
(Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita
gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun
memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam
baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah
terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir
sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena
kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi
umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)
Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari
itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.

Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman,
“Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan
rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut
dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta
alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).

Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan
yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan
kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.

Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan
shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan
ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti
hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan
membacakan salam kepadanya.

Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya,


sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk
mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani
mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan
sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan
akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang
memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan
kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya,
bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang
perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni
dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-


kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi
rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu
maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih
sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan
dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang
memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran
beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat
beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan
rasa syukur yang paling nyata.
Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah
satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan
dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di
lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?

Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan
kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut
oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin
Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa
yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan
pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini
nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak
diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita
tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.

Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal
Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk
ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai
berdasarkan dalii-dalil syara’.

Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah
pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di
mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran.
Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang
imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah
ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang
haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW,
sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di
dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-
perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas),
karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-
perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang
berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau
dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau
sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang
baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji ”
Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak
dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu
termasuk ajaran agama.

Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan)


tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda
lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa
terpuji yang telah lalu.

Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat
peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai
perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.

Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib
diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan
yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai
Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan
pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.

oleh Madinatul ‘Ilmi


Majlis Ta’lim Wad Da’wah Lil Ustadz Al Habib Sholeh bin Ahmad bin Salim Al Aydrus,
Malang

Tentang iklan-iklan ini

Terkait

As Sayyid Prof. Dr. Muhammad bin Sayyid ‘Alawi bin Sayyid ‘Abbas bin Sayyid ‘Abdul
‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzilidalam "As Sayyid Muhammad bin
Alawi Al-Maliki"

Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyidalam "Al-Habib
Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi"

5 Nasehat Habib Ali Bin Muhammad al-habsyi (Pengarang Maulid Simthud Duror)dalam
"catatan"

Kategori:Jawaban Prof. DR. As Sayyid Muhammad Al Maliki tentang Peringatan Maulid


Komentar (1) Trackbacks (0) Tinggalkan komentar Lacak balik

Anda mungkin juga menyukai