Anda di halaman 1dari 18

Keadilan Di Dalam Islam

‫ اَلَّل ُه َّم‬. َ‫الظا ِل ِميْن‬


َّ ‫علَى‬ َ َ‫ع ْد َوانَ إِال‬ ِ ‫ب ْال َعالَ ِميْنَ َو ْال َعافِيَةُ ِل ْل ُم ِقس‬
ُ َ‫ َوال‬. َ‫ِطيْن‬ ِ ِّ ‫اَ ْل َح ْمدُلل ِه َر‬
)ُ‫ص َحابِ ِه أَ ْج َم ِعيْنَ (ا َ َّما بَ ْعد‬
ْ َ‫علَى اَ ِل ِه َوأ‬
َ ‫ َو‬,ٍ‫س ْو ِل َك ُم َح َّمد‬
ُ ‫ِك َو َر‬ َ ‫علَى‬
َ ‫ع ْبد‬ َ ‫س ِلِّ ْم‬
َ ‫صلِّ ِى َو‬
َ
Hadirin yang kami hormati
Keadilan, merupakan tiang penyangga daya suatu negara. Bila keadilan suatu bangsa tegak,
maka bangsa akan makmur. Tapi andai keadilan suatu bangsa mulai lentur, konstitusi simpang
siur, hukum tercampur urusan dapur, sementara pemimpin asyik tidur, niscaya bangsa akan
hancur. A wickednes may bring year of sorrow, seorang pemimpin tidak adil bisa jutaan manusia
menderita, tenggelam dalam untaian air mata untuk selama-lamanya.
Untuk itu, saya, saudara-saudara para mahasiswa, para pemimpin bangsa dan kita semua
bangsa Indoensia, harus memiliki semangat untuk menegakan hukum dan menjunjung tinggi nilai-
nilai keadilan di persada nusantara yang kita cintai ini. Bagaimana caranya? Sebagai
jawabannya “Keadilan di dalam Islam” adalah tema syarhil qur’an yang akan kami sampaikan
pada kesempatan ini dengan rujukan al-Qur’an surat al-Maidah [5]: 8

ُ ‫شن‬
‫َآن‬ َ ‫ش َهدَا َء ِب ْال ِق ْس ِط َو َال يَ ْج ِر َمنَّ ُك ْم‬
ُ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ُكونُوا َق َّو ِامينَ ِللَّ ِه‬
ٌ ِ‫ب ِللت َّ ْق َوى َواتَّقُوا اللَّهَ إِ َّن اللَّهَ َخب‬
َ‫ير بِ َما تَ ْع َملُون‬ ُ ‫علَى أَ َّال تَ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا ُه َو أَ ْق َر‬
َ ‫قَ ْو ٍم‬
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Hadirin yang kami hormati


Ayat tersebut merupakan landasan theologis kepada kita, saya, saudara, dan seluruh insan
beriman, agar selalu menjadi penegak kebenaran, menjadi saksi dengan adil, dan kebencian
terhadap suatu kaum tidak menjadi hambatan untuk menegakan keadilan. Prinsipnya menurut
imam ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim:
‫كونوا قوامين بالحق لله عزوجال ال آلجل الناس والسمعه‬
Jadilah kalian komunitas penegak kebenaran dan keadilan karena Allah ‘Aja wa
Jalla semata, bukan karena manusia maupun yang lainnya. Inilah yang dimaksud
dengan essensi kalimat:
ُ ‫ا ْع ِدلُوا ُه َو أَ ْق َر‬
‫ب ِللت َّ ْق َوى‬
Berlaku adil-lah karena sikap adil sebagai manifestasi insan bertaqwa
Dengan demikian, ayat ini sebagai memotivasi sekaligus instruksi kepada kita, para
pemimpin bangsa, para penegak hukum, untuk bersikap adil dalam berbagai hal di republik ini,
guna menghantarkan Indonesia menjadi bangsa kosmopolitan, yang adil dalam kemakmuran dan
makmur dalam keadilan.“Peat justita preat mundus” keadilan harus tetap tegak sekalipun bumi
akan hancur.
Pantas saudara-saudara, para ulama Tafsir menetapkan “adalah” atau keadilan ini sebagai
salah satu dari al-Mabadi al-Khams atau lima prinsip utama. Bahkan Rasulullah SAW bersabda:

‫لو ال عدل األمرآء ألكل الناس بعضهم بعضا كما اكل الدئب الغنم‬
Kalau pemimpin tidak berlaku adil, niscaya manusia satu menjadi pemangsa bagi manusia
yang lain laksana Srigala memangsa binatang lemah lainnya.
Kita lihat sejarah, Rumania ketika di pimpin oleh Nicola Susesco pemimpinnya poya-poya
tapi rakyatnya sengsara, Iran ketika di pimpin oleh Reza Pahlepi pemimpinya megah rakyatnya
susah, perancis kertika di pimpin Lois XVI dan Ratu Maria Antonate, pemimpinnya makmur
rakyatnya hancur tersungkur. Ini adalah fakta sejarah, tragisnya suatu bangsa ketika keadilan
dipendam, dibungkam, dan ditikam oleh penguasa, maka rakyat akan hancur binasa.

Hadirin yang kami hormati


Sedangkan yang dimaksud adil menurut Islam adalah sesuatu yang benar, sikap yang tidak
memihak, penjagaan hal-hak seseorang, dan cara yang tepat dalam pengambilan keputusan secara
objektif-proforsional. Sehingga penuangan keadilan dalam al-Qur’an
bersifat talionis dan kompensatoris, sebagaimana diisyaratkan dalam penggalam kalam Illahi
pada surat al-Nisa [5]: 35

‫علَى أ َ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ِو ْال َوا ِلدَي ِْن‬ ُ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَ َّو ِامينَ بِ ْال ِق ْس ِط‬
َ ‫ش َهدَا َء ِللَّ ِه َولَ ْو‬
‫يرا فَاللَّهُ أ َ ْولَى ِب ِه َما فَ َال تَت َّ ِبعُوا ْال َه َوى أَ ْن تَ ْع ِدلُوا‬ ً ‫غ ِنيًّا أَ ْو فَ ِق‬
َ ‫َو ْاأل َ ْق َر ِبينَ ِإ ْن يَ ُك ْن‬
‫يرا‬ً ‫ضوا فَإِ َّن اللَّهَ َكانَ ِب َما تَ ْع َملُونَ َخ ِب‬ ُ ‫َو ِإ ْن ت َ ْل ُووا أَ ْو ت ُ ْع ِر‬
Wahai insan-insan nan beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.
Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjaan.
Ayat ini merupakan prinsip efistemologis dalam menegakan keadilan. Sedangkan
secara histories-sosiologis, setting social turunnya ayat tersebut menurut riwayat Ibn Jatsir yang
bersumber dari Assudi diturunkan berkenaan dengan pengaduan dua orang bersengketa antara si
kaya dan si miskin yang sama-sama meminta keadilan kepada Rasulullah. Rasul ternyata,
cenderung untuk memenangkan perkara si miskin. Pada saat itu datang teguran dari Allah yang
terangkai pada surat al-Nisa ayat 35 tadi, sebagai petunjuk kepada rasulullah agar bersikap adil
dengan tidak menghukumi sebelah pihak yang diisyaratkan dalam kalimat:

‫كونوا قوامين الله شهدا بالقسط‬


‫أي كونوا قومين بالحق لله عزوجال ال الجل الناس والسمعه‬
Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Sehingga Rasulullah SAW dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin umat, dengan
tegas bersabda:
َ َ‫ت لَق‬
‫ط ْعتُ َيدَهَا‬ ْ َ‫س َرق‬
َ ‫ت ُم َح َّم ٍد‬ ِ َ‫واللَّ ِه لَ ْو أَ َّن ف‬
ِ ‫اط َمةَ ِب ْن‬
Demi Allah, kalau Fatimah puteriku, terbukti mencuri, pasti akan aku sendiri yang
akan memotong tangannya”. Allahu Akbar.
Ini hadirin tipe pemimpin pelindung rakyat yang menegakan keadilan. Sebab kalau pemimpinnya
tidak adil, niscaya akan muncul low of jungle to politely of people, hukum rimba menjadi
peradaban. Kalau pemimpinnya tidak adil, niscaya akan lahir penguasa-penguasa bergaya tupai,
bermental keledai, yang siap membantai; bahkan tidak mustahil akan lahir penguasa-penguasa
bermental durjana, berairmata buaya pandai berpura-pura, gayanya bak orator padahal biangnya
koruptor, Naudzubillah min Dzalik.
Lalu bagaimanakah praktek keadilan di negara kita? Al-hamdulillah, pemerintah kita
sedang giat-giatnya menegakan keadilan, dengan cara mengusut tuntas para pelanggar hukum,
terutama para koruptor kelas kakap. Demikian pula fatwa para ulama, himbauan para tokoh
masyarakat bahkan yang membanggakan teriakan keadilan yang disuarakan oleh para mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia turut mendukung tegaknya keadilan baik keadilan
dalam bidang hukum, pendidikan, ekonomi, keamanan maupun keadilan dalam bidang
kesehatan. Jangan sampai orang kaya masuk rumah sakit diobati, sementara orang papa, rakyat
jelata masuk rumah sakit eh…eh.. disuntik mati. Na’udzubillah min Dzalik.
Namun kita semua harus optimis, bahwa keadilan akan tegak di Indonesia jika diunjang
oleh komitmen para pemimpin bangsa yang ditopang oleh kita semua. Dan inilah yang dimaksud
amal sholeh dalam konteks pembangunan yang akan mendapat balasan dari Allah, sebagaimana
terangkai dalam al-Qur'an surat. al-Maidah [5]: 9

َ ‫ت لَ ُه ْم َم ْغ ِف َرة ٌ َوأَ ْج ٌر‬


‫ع ِظي ٌم‬ ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫عدَ اللَّهُ الَّذِينَ َءا َمنُوا َو‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬ َ ‫َو‬
Allah telah berjanji kepada orang yang beriman dan beramal kebaikan, bahwa bagi
mereka ampunan dan pahala yang berlimpah. (QS. al-Mâ`idah : 9(
Dengan berakhirnya ayat tadi uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa adil adalah
menempatkan sesuatu secara objektif-proporsional. Keadilan adalah tiang penyangga daya suatu
negara. Jika pemimpin adil negara akan makmur. Tapi jika pemimpin tidak adil niscaya negara
akan hancur tersungkur.
Oleh karena melalui momentum syarh al-Qur'an ini, kami menghimbau kepada seluruh
komponen bangsa terutama para penguasa, para penegak hukum untuk tidak pantang menyerah
menegakan keadilan, meneriakan kebenaran demi kejayaan bangsa Indoensia yang kita
banggakan. Semoga keadilan tetap jaya di negara kita. Amin ya Rabbal’alamin.

‫والسالم عليكم ورحمة الله وبركا ته‬


Keadilan Dalam Islam
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS Al Maa’idah : 8 )

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Bahkan Allah SWT
memerintahkan kita untuk tetap berlaku adil meskipun kepada orang ataupun kaum yang kita
benci. Allah juga memberikan derajat takwa kepada orang yang dapat berlaku adil. Dalam kamus
besar Bahasa Indonesia, adil didefinisikan sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak atau
berpihak kepada yang benar. Tapi adil tidak selamanya harus sama berat ataupun sama besar.
Dalam praktiknya, adil juga dapat didefinisikan sebagai sikap pertengahan (moderat), proporsional
dan juga menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Sebagai ilustrasi sederhana tentang keadilan, seorang siswa SD yang masih kanak-kanak
tidak mungkin disamakan jumlah uang sakunya dengan seorang mahasiswa yang telah dewasa.
Keadilan dalam memberikan uang saku tidak bisa diartikan dengan memberikan jumlah uang yang
sama, tapi dengan memberikan uang saku secara proporsional, tepat sasaran dan juga sesuai
dengan kebutuhannya masing-masing. Meskipun jumlah uangnya tidak sama, tapi kita semua
sepakat bahwa hal tersebut adalah suatu keadilan.

Namun dalam beberapa pemberitaan terakhir, kesucian momentum hari raya Idul Fitri
dinodai oleh sejumlah kasus diskriminasi, pelecehan dan kekerasan atas nama agama. Setidaknya
ada dua peristiwa penting yang saling berkaitan satu sama lain. Dan kedua peristiwa tersebut
semakin menguji kedewasaan kita dalam beragama, terutama terkait penegakkan nilai-nilai
keadilan dalam kebebasan beragama.

Peristiwa pertama adalah peristiwa penusukan dan penganiayaan terhadap dua orang
jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Ciketing Bekasi. Dua orang korban tersebut
adalah Asia Lumban Toruan alias Sintua Sihombing dan Luspida Simanjuntak. Akibatnya Sintua
Sihombing mengalami luka tusuk di bagian perut sebelah kanan dan Luspida Simanjuntak
menderita luka memar di pelipis sebelah kanan. Peristiwa penusukan dan penganiayaan ini diduga
terkait penolakan rencana pembangunan gereja di tengah lokasi perumahan penduduk yang
mayoritas beragama Islam.

Reaksi keras langsung bermunculan dari berbagai pihak. Bahkan Presiden SBY
memerintahkan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri untuk segera menangkap pelaku
penusukan. Selain itu Presiden SBY juga menginstruksikan kepada Menkopolhukam Djoko
Suyanto dan Menteri Agama Suryadharma Ali untuk mengambil langkah cepat yang dinilai perlu
untuk menjamin kebebasan beragama.
Peristiwa kedua adalah rencana aksi pembakaran Al-Qur’an oleh Pendeta Terry Jones di
Florida Amerika. Rencana pembakaran Al-Qur’an tersebut merupakan bentuk protes terhadap
rencana pembangunan masjid dan pusat kebudayan Islam hanya beberapa blok dari Ground Zero,
lokasi serangan WTC 9/11 di New York. Meskipun pada akhirnya rencana pembakaran Al-Qur’an
ini dibatalkan, sekelompok kecil nasrani konservatif tetap melakukan aksi merobek Al-Quran di
luar Gedung Putih, Sabtu (11/9). Mereka melakukan tindakan ini sebagai bentuk protes “perayaan
Islam” dalam peringatan tragedi 9/11.

Penegakkan Keadilan

Nurul Huda Maarif dalam salah satu tulisannya menjelaskan bahwa Islam memberikan
kebebasan penuh bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya. Termasuk
keyakinan yang berbeda dengan Islam sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak
boleh diganggu-gugat. Bukti kebebasan ini tergambar dalam firman Allah SWT dalam surat Al-
Baqarah ayat 256 yaitu: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..”

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita anut, semua
memiliki konsekuensinya masing-masing. Kesadaran untuk memilih keyakinan harus pula
dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya. Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai “pilihan
yang bertanggungjawab” dan “bisa dipertanggungjawabkan.” Dan salah satu konsekuensi memilih
keyakinan adalah beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Oleh karena itu,
negara harus dapat melindungi hak beribadah setiap warga negaranya tanpa terkecuali, baik kaum
minoritas maupun kaum mayoritas.

Kunci dari penegakkan keadilan terletak pada pemahaman kita bahwa keadilan dalam
Islam itu universal dan tidak mengenal boundaries (batas-batas), baik batas nasionalitas, kesukuan,
etnik, bahasa, warna kulit, status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama sekalipun.
Pada orang yang berbeda keyakinan dan bahkan hewan sekalipun, keadilan harus tetap ditegakkan.

Dalam surat Al Maa’idah ayat 8 Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu
kerjakan.”

Bahkan dalam keadaan perang sekalipun, Rasulullah SAW senantiasa berwasiat kepada
pasukannya untuk berlaku adil. Jangan membunuh secara kejam, jangan membunuh anak laki-
laki, wanita dan orang lanjut usia, jangan menebang pohon yang sedang berbuah, jangan
membunuh binatang ternak kecuali sekadar keperluannya saja. Dan yang terpenting adalah jangan
mengganggu orang yang sedang beribadat di dalam biara atau gereja, jangan menghancurkan
tempat ibadah, dan senantiasa harus menegakkan hukum secara adil.
Maka terhadap dua peristiwa diskriminasi, pelecehan dan kekerasan atas nama agama ini,
kita semua bersepakat bahwa keadilan harus tetap ditegakkan. Setiap perkataan dan perbuatan
harus dimintai pertanggungjawabannya dan diadili sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Jangan
lagi ada diskriminasi dan perbedaan perlakuan di hadapan hukum. Karena hal tersebut dapat
melukai rasa keadilan masyarakat yang pada akhirnya akan menjatuhkan supremasi hukum itu
sendiri. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan masyarakat akan cenderung bersikap anarkis dan
main hakim sendiri.

Keadilan, dalam hal apapun, akan membuahkan kedamaian dan kesejahteraan. Inilah inti
kemaslahatan bagi umat. Dan ini lebih mungkin dilaksanakan oleh para pemimpin atau
pemerintah. Untuk itu, setiap pemimpin harus memahami konsep tasharruf imam ala al-ra’iyyah
manuthun bi al-maslahah atau kebijakan pemimpin bagi warganya harus diorientasikan untuk
kemaslahatan mereka. Selain itu, setiap pemimpin juga harus sadar bahwa Sayyidul qaum
khadimuhum atau pemimpin umat adalah pelayan bagi mereka. Pemimpin harus melayani umatnya
untuk mendapatkan keadilan ini yaitu keadilan untuk dapat beribadah sesuai agama dan
kepercayaannya masing-masing. Karena itu, keadilan yang berujung pada kedamaian dan
kesejahteraan harus dikejar terlebih dahulu ketimbang urusan pribadi ataupun golongan.
Wallahua’lam bishshawwab.
Hukum Keadilan
Pengertian Adil Dan Dasar-Dasarnya
Kata adil berasal dari bahasa Arab “adl” yang berarti sama.istilah agama ialah melaksanakan
amanat Allah dengan menempatkan sesuatu pada kedudukan yang sebenarnya,dengan tidak
menambah atau menguranginya.Adil merupakan sifat terpuji yang diperintahkan
Allah,sebagaimana tertuang dalam firmannya,yang artinya :”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan,memberi kepada kaum kerabat,dan Allah melarang
perbuatan keji,kemungkaran,dan permusuhan.(QS.an-Nahl(16):90);

Kepada siapa saja kita Harus Adil?


A. Kepada Allah
dalam hal ini kita harus bisa menempatkan Allah pada tempatnya yang benar sebagai Maha
Pencipta,Mahakuasa dan kita tidak boleh menyekutukannyadengan yang lain,mengimani Al-quran
sebagai wahyu Allah dan Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah serta kita harus mencontoh
suritauladan beliau yang baik.

B. Kepada Diri Sendiri


Dalam hal ini kita juga harus bisa menempatkan diri kita secara baik dan benar,terpelihara dalam
kebaikan dan keselamatan seperti tidak Hasad tidak minum-minuman keras dan lain-lain.
C. Kepada orang Lain
Dalam hal ini menempatkan orang lain pada tempatnya yang layak dan benar kita harus memberi
sifat yang jujur ,benar dan jangan menyakiti hatinya sertamerugikan orang lain karena Allah sangat
tidak menyukai perbuatan yang dibenci Allah.
D. Kepada Mahluk Lain
Dalam hal ini kita harus berlaku adil dan baik kepda binatang mahluk lain pada tempat
kehidupannya yang layak.

Keutamaan Keadilan
1. membentuk kepribadian yang dapat melaksanakan kewajiban dengan baik-baik.
2. Menciptakan ketentraman dan keutamaan hidup bersama orang lain dalam masyarakat.
3. Memanfaatkan alam sekitar untuk kemasyarakatan hidup didunia dan diakherat.
4. Dapat tercipta rasa aman,tenang dan tentram.

Allah berfirman dalam Al-quran: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran". ( QS
An-Nahl{16}:90) Dalam kitab suci Al-Quran digunakan beberapa term / istilah yang digunakan
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak
dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang
sebanyak 35 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak
23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam
Mupathos Lialfaadhil Qur`an).

Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan
dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang
mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya
itulah yang dinamakan tidak adil.
Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum
orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim
menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat
sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan
kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.

Allah berfirman dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku
adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8)

Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut
ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya
melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai
dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. (Nurcholish Majid)

Sebagai gambaran dari keadilan Rasululah saw memberi contoh kepada


kita, kalau beliau ingin pergi jauh beliau undi antara isteri-isterinya. Siapa
yang kena undian maka itulah yang dibawanya. Sebagai kepala negara dan
hakim, beliau selalu menerapakan keadilan dengan betul, hingga beliau
pernah menyatakan : "Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong
tangannya". (HR. Bukhori).Ada beberapa faktor yang menunjang keadilan, diantaranya:
a. Tentang di dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan
karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang.
Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar
janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak
stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan.
b. Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif.
Mengumpulkan data dan fakta, sehingga dalam keputusan seadil mungkin.

Jika adil adalah sifat dan sikap Fadlilah (utama) maka sebagai kebalikannya
adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan
perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain
lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya. Sikap zalim itu
diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang
dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18).

Dalam ayat lain Allah berfirman lagi : "Dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang
penolongpun".(Ali Imran[3] : 192).

Dalam hal ini, ahli-ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku zalim:
a. Cinta dan benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat sebelah
kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya, maka sekalipun
anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian kepada seseorang,
menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu, tetapi hanya
menonjolkan kesalahannya.
b. Kepentingan diri sendiri. Karena perasaan egois dan individualis, maka
keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah,
curang dan culas.
c. Pengaruh luar. Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian,
kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi
seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat
menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif.

Oleh karena itulah, bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kezaliman bisa muncul karena
adanya beberapa faktor, diantaranya:
a. Kondisi orang tersebut pada saat itu
b. Luas dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki
c. Latar belakan cinta dan benci
d. Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan
e. Adanya pengaruh dari luar (extern)
The Meaning of Justice
In the Islamic worldview, justice denotes placing things in their rightful place. It also means giving
others equal treatment. In Islam, justice is also a moral virtue and an attribute of human
personality, as it is in the Western tradition. Justice is close to equality in the sense that it creates
a state of equilibrium in the distribution of rights and duties, but they are not identical. Sometimes,
justice is achieved through inequality, like in unequal distribution of wealth. The Prophet of Islam
declared:

“There are seven categories of people whom God will shelter under His shade on the Day when
there will be no shade except His. [One is] the just leader.”(Saheeh Muslim)

God spoke to His Messenger in this manner:

“O My slaves, I have forbidden injustice for Myself and forbade it also for you. So avoid being
unjust to one another.” (Saheeh Muslim)

Thus, justice represents moral rectitude and fairness, since it means things should be where they
belong.

The Importance of Justice

The Quran, the sacred scripture of Islam, considers justice to be a supreme virtue. It is a basic
objective of Islam to the degree that it stands next in order of priority to belief in God’s exclusive
right to worship (Tawheed) and the truth of Muhammad’s prophethood. God declares in the Quran:

“God commands justice and fair dealing...” (Quran 16:90)

And in another passage:

“O you who believe, be upright for God, and (be) bearers of witness with justice!...” (Quran 5:8)

Therefore, one may conclude that justice is an obligation of Islam and injustice is forbidden. The
centrality of justice to the Quranic value system is displayed by the following verse:

“We sent Our Messengers with clear signs and sent down with them the Book and the Measure
in order to establish justice among the people…” (Quran 57:25)
The phrase ‘Our Messengers’ shows that justice has been the goal of all revelation and scriptures
sent to humanity. The verse also shows that justice must be measured and implemented by the
standards and guidelines set by revelation. Islam’s approach to justice is comprehensive and all-
embracing. Any path that leads to justice is deemed to be in harmony with Islamic Law. God has
demanded justice and, although He has not prescribed a specific route, has provided general
guidelines, on how to achieve it. He has neither prescribed a fixed means by which it can be
obtained, nor has He declared invalid any particular means or methods that can lead to
justice. Therefore, all means, procedures, and methods that facilitate, refine, and advance the cause
of justice, and do not violate the Islamic Law are valid.

Equality in Justice

The Quranic standards of justice transcend considerations of race, religion, color, and creed, as
Muslims are commanded to be just to their friends and foes alike, and to be just at all levels, as the
Quran puts it:

“O you who believe! Stand out firmly for justice, as witnesses to Allah, even if it be against
yourselves, your parents, and your relatives, or whether it is against the rich or the poor...”
(Quran 4:135)

According to another Quranic passage:

“Let not the hatred of a people swerve you away from justice. Be just, for this is closest to
righteousness…” (Quran 5:8)

With regards to relations with non-Muslims, the Quran further states:

“God does not forbid you from doing good and being just to those who have neither fought you
over your faith nor evicted you from your homes...” (Quran 60:8)

The scholars of the Quran have concluded that these rulings apply to all nations, followers of all
faiths, as a matter of fact to all humanity. In the view of the Quran, justice is an obligation. That
is why the Prophet was told:

“…If you judge, judge between them with justice…” (Quran 5:42)
“We have revealed to you the scripture with the truth that you may judge between people by
what God has taught you.” (Quran 4:105)

Furthermore, the Prophet was sent as a judge between peoples, and told:

“…Say: I believe in the Scripture, which God has sent down, and I am commanded to judge
justly between you...” (Quran 42:15)

The Quran views itself as a scripture devoted mainly to laying down the principles of faith and
justice. The Quran demands that justice be met for all, and that it is an inherent right of all human
beings under Islamic Law. The timeless commitment of the Quran to the basic standards of justice
is found in its declaration:

“And the Word of your Lord has been fulfilled in truth and in justice. None can change His
Words.” (Quran 6:115)

To render justice is a trust that God has conferred on the human being and, like all other trusts, its
fulfillment must be guided by a sense of responsibility beyond mere conformity to set rules. Thus,
the Quran states:

“God commands you to render trusts to whom they are due, and when you judge between people,
judge with justice…” (Quran 4:58)

The reference to justice which immediately follows a reference to fulfillment of trusts indicates
that it is one of the most important of all trusts.

Justice and the Self

The Quranic concept of justice also extends justice to being a personal virtue, and one of the
standards of moral excellence that a believer is encouraged to attain as part of his God-
consciousness. God says:

“…Be just, for it is closest to God-consciousness…” (Quran 5:8)

The Prophet himself instructed:

“Be conscious of God and be just to your children.”


The Quran tells the believers:

“…When you speak, speak with justice, even if it is against someone close to you…” (Quran
6:152)

Specific Examples of Justice Encouraged in the Quran

The Quran also refers to particular instances and contexts of justice. One such instance is the
requirement of just treatment of orphans. God says:

“And approach not the property of the orphan except in the fairest way, until he [or she] attains
the age of full strength, and give measurement and weight with justice…” (Quran 6:152, also
see 89:17, 93:9, and 107:2)

Fair dealings in measurements and weights, as mentioned in the above verse, is also mentioned in
other passages where justice in the buying, selling, and by extension, to business transactions in
general, is emphasized. There is an entire chapter of the Quran, Surah al-Mutaffifeen where
fraudulent dealers are threatened with divine wrath.

References to justice also occur in the context to polygamy. The Quran demands equitable
treatment of all wives. The verse of polygamy begins by reference to orphaned girls who may be
exposed to depravation and injustice. When they reach marriageable age, they should be married
off, even if it be into a polygamous relationship, especially when there is inequality in the number
of men and women, as was the case after the Battle of Uhud when this verse was revealed. But,
as the Quran states:

“If you fear that you can not be just, then marry only one…” (Quran 4:3)

In conclusion, ‘to render justice’, in the words of Sarkhasi, a noted classical Islamic jurist, ‘ranks
as the most noble of acts of devotion next to belief in God. It is the greatest of all the duties
entrusted to the prophets…and it is the strongest justification for man’s stewardship of earth.
TRANSLATE

Arti Keadilan
Dalam pandangan dunia Islam, keadilan menunjukkan menempatkan segala sesuatu di tempat
yang seharusnya. Ini juga berarti memberi orang lain perlakuan yang sama. Dalam Islam, keadilan
juga merupakan keutamaan moral dan atribut kepribadian manusia, seperti dalam tradisi Barat.
Keadilan dekat dengan kesetaraan dalam arti bahwa keadilan menciptakan kondisi keseimbangan
dalam distribusi hak dan kewajiban, tetapi keduanya tidak identik. Terkadang, keadilan dicapai
melalui ketidaksetaraan, seperti dalam distribusi kekayaan yang tidak merata. Nabi Muhammad
mengatakan:

“Ada tujuh kategori orang yang akan Allah tempatkan di bawah naungan-Nya pada Hari ketika
tidak ada naungan kecuali milik-Nya. [Satu adalah] pemimpin yang adil. "(Sahih Muslim)”

Allah SWT bersabda dalam pesannya :


“Oh hamba-hambaKu, aku telah melarang ketidakadilan untuk diriku sendiri dan juga
melarangnya untukmu. Jadi hindari saling tidak adil. ”(Sahih Muslim)

Dengan demikian, keadilan mewakili kejujuran dan keadilan moral, karena itu berarti segala
sesuatu harus berada di tempatnya.
Pentingnya Keadilan
Alquran, kitab suci agama Islam, menganggap keadilan sebagai kebajikan tertinggi. Ini adalah
tujuan dasar Islam sampai-sampai ia berdiri di urutan prioritas untuk percaya pada hak eksklusif
Allah untuk beribadah (Tauhid) dan kebenaran kenabian Muhammad. Allah bersabda dalam Al
Qur'an:
"Allah memerintahkan keadilan dan transaksi yang adil ..." (Quran 16:90)
Dan di ayat yang lainnya :
“Hai orang-orang yang beriman, jujurlah kepada Allah, dan jadilah saksi yang memberi
keadilan! ...” (Quran 5: 8)
Karena itu, orang dapat menyimpulkan bahwa keadilan adalah kewajiban Islam dan ketidakadilan
dilarang. Sentralitas keadilan untuk sistem nilai Al-Quran ditampilkan oleh ayat berikut:
"Kami mengirim Utusan Kami dengan tanda-tanda yang jelas dan mengirimkan bersama
mereka Kitab dan Ukuran untuk menegakkan keadilan di antara orang-orang ..." (Quran
57:25)
Ungkapan 'Utusan Kita' menunjukkan bahwa keadilan telah menjadi tujuan dari semua wahyu
dan tulisan suci yang dikirim kepada umat manusia. Ayat ini juga menunjukkan bahwa keadilan
harus diukur dan diimplementasikan dengan standar dan pedoman yang ditetapkan oleh wahyu.
Pendekatan Islam terhadap keadilan bersifat komprehensif dan mencakup semua. Setiap jalan yang
mengarah ke keadilan dianggap selaras dengan Hukum Islam. Tuhan telah menuntut keadilan dan,
meskipun Dia belum menentukan rute khusus, telah memberikan pedoman umum, tentang
bagaimana mencapainya. Dia tidak menetapkan cara tetap yang dengannya itu dapat diperoleh,
juga tidak menyatakan tidak sah cara atau metode tertentu yang dapat mengarah pada keadilan.
Karena itu, segala cara, prosedur, dan metode yang memfasilitasi, memperbaiki, dan memajukan
keadilan, dan tidak melanggar Hukum Islam adalah sah.
Kesetaraan dalam Keadilan
Standar keadilan Alquran melampaui pertimbangan ras, agama, warna kulit, dan kepercayaan,
karena umat Islam diperintahkan untuk adil terhadap teman dan musuh mereka, dan untuk menjadi
adil di semua tingkatan, seperti yang dikatakan Al-Quran:
“Hai kamu, yang beriman! Berdiri teguh untuk keadilan, sebagai saksi kepada Allah, bahkan
jika itu melawan dirimu sendiri, orang tuamu, dan kerabatmu, atau apakah itu melawan orang
kaya atau orang miskin ... "(Al-Quran 4: 135)
Menurut ayat Alquran lain:
“Jangan sampai kebencian terhadap orang menyimpang dari keadilan. Jadilah adil, karena ini
paling dekat dengan kebenaran ... "(Al-Quran 5: 8)
Berkenaan dengan hubungan dengan non-Muslim, Quran lebih lanjut menyatakan:
“Allah tidak melarang kamu melakukan kebaikan dan bersikap adil kepada mereka yang tidak
mempermasalahkan imanmu atau mengusirmu dari rumahmu ..." (Quran 60: 8)
Para ulama Alquran telah menyimpulkan bahwa putusan-putusan ini berlaku untuk semua bangsa,
pengikut semua agama, sebagai fakta bagi semua umat manusia. Dalam pandangan Alquran,
keadilan adalah kewajiban. Itulah sebabnya Nabi diberitahu:
"... Jika kamu menghakimi, putuskan di antara mereka dengan keadilan ..." (Al-Quran 5:42)
"Kami telah mengungkapkan kepadamu kitab suci dengan kebenaran bahwa kamu dapat
menilai di antara orang-orang dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu." (Quran 4:
105)
Selanjutnya, Nabi diutus sebagai hakim di antara orang-orang, dan diberi tahu:
"... Katakanlah: Aku percaya pada Kitab Suci, yang telah diturunkan Allah, dan aku
diperintahkan untuk menghakimi dengan adil di antara kamu ..." (Quran 42:15)
Al-Quran memandang dirinya sebagai kitab suci yang didedikasikan terutama untuk meletakkan
prinsip-prinsip iman dan keadilan. Al-Quran menuntut agar keadilan dipenuhi untuk semua, dan
bahwa itu adalah hak yang melekat dari semua manusia di bawah Hukum Islam. Komitmen abadi
dari Al-Quran terhadap standar-standar dasar keadilan ditemukan dalam pernyataannya:
“Dan Firman Allah telah digenapi dalam kebenaran dan keadilan. Tidak ada yang bisa
mengubah Firman-Nya. "(Quran 6: 115)
Untuk memberikan keadilan adalah kepercayaan yang diberikan Allah pada manusia dan, seperti
halnya kepercayaan lainnya, pemenuhannya harus dipandu oleh rasa tanggung jawab di luar
sekadar kesesuaian untuk menetapkan aturan. Dengan demikian, Al-Qur'an menyatakan:
"Allah memerintahkan Anda untuk memberikan kepercayaan kepada siapa mereka
seharusnya, dan ketika Anda menilai antara orang-orang, menilai dengan adil ..." (Quran
4:58)
Referensi keadilan yang segera mengikuti referensi untuk pemenuhan trust menunjukkan bahwa
itu adalah salah satu yang paling penting dari semua trust.
Keadilan dan Diri
Konsep keadilan Alquran juga memperluas keadilan menjadi kebajikan pribadi, dan salah satu
standar keunggulan moral yang didorong oleh seorang mukmin untuk dicapai sebagai bagian dari
kesadarannya akan Allah. Allah berkata:
"... Jadilah adil, karena itu paling dekat dengan kesadaran Allah ..." (Al-Quran 5: 8)
Nabi sendiri memerintahkan:
"Sadarilah akan Tuhan dan bersikap adil terhadap anak-anakmu."
Al-Qur'an memberi tahu orang-orang beriman:
"... Ketika Anda berbicara, berbicara dengan adil, bahkan jika itu melawan seseorang yang
dekat dengan Anda ..." (Quran 6: 152)
Contoh Khusus Keadilan Didorong dalam Al-Quran
Al-Quran juga merujuk pada contoh dan konteks keadilan tertentu. Salah satu contohnya adalah
persyaratan perawatan yang adil bagi anak yatim. Allah berkata:
"Dan jangan mendekati harta milik anak yatim kecuali dengan cara yang paling adil, sampai
dia [mencapai] usia penuh kekuatan, dan memberikan pengukuran dan bobot dengan keadilan
..." (Quran 6: 152, juga melihat 89:17, 93 : 9, dan 107: 2)
Transaksi yang adil dalam pengukuran dan bobot, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, juga
disebutkan dalam pasal-pasal lain di mana keadilan dalam pembelian, penjualan, dan perluasan,
untuk transaksi bisnis secara umum, ditekankan. Ada satu bab penuh dari Quran, Surah al-
Mutaffifeen di mana para pedagang yang curang diancam dengan murka ilahi.
Referensi terhadap keadilan juga terjadi dalam konteks poligami. Al-Quran menuntut perlakuan
yang adil bagi semua istri. Ayat poligami dimulai dengan merujuk pada gadis-gadis yatim piatu
yang mungkin terkena kebobrokan dan ketidakadilan. Ketika mereka mencapai usia menikah,
mereka harus dinikahkan, bahkan jika itu menjadi hubungan poligami, terutama ketika ada
ketidaksetaraan dalam jumlah pria dan wanita, seperti halnya setelah Pertempuran Uhud ketika
ayat ini diturunkan. Tapi, seperti yang dinyatakan Al-Quran:
"Jika kamu takut tidak bisa adil, maka kawinilah hanya satu ..." (Al-Quran 4: 3)
Sebagai kesimpulan, 'untuk memberikan keadilan', dalam kata-kata Sarkhasi, seorang ahli hukum
Islam klasik yang terkenal, 'menempati peringkat sebagai tindakan pengabdian yang paling mulia
di samping kepercayaan pada Allah. Itu adalah yang terbesar dari semua tugas yang dipercayakan
kepada para nabi ... dan itu adalah pembenaran terkuat bagi kepengurusan manusia di bumi.

Anda mungkin juga menyukai