Anda di halaman 1dari 14

1.

DEFINISI
Kata constipation atau konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang
mempunyai arti ‘bergerombol bersama’, yaitu suatu istilah yang berarti menyusun ke
dalam menjadi bentuk padat. Dalam menentukan adanya konstipasi terdapat tiga
aspek yang perlu diperhatikan, yaitu frekuensi BAB, konsistensi tinja, dan temuan
pada pemeriksaan fisik.
Pada anak berusia sama atau kurang dari 4 tahun adanya konstipasi
ditentukan berdasarkan ditemukan minimal salah satu gejala klinis berikut, (1)
defekasi kurang dari 3 kali seminggu, (2) nyeri saat b.a.b, (3) impaksi rektum, dan (4)
adanya masa feses di abdomen.
Kriteria untuk anak berusia di atas 4 tahun agak berbeda, digunakan kriteria
sebagai berikut, (1) frekuensi b.a.b kurang atau sama dengan dua kali seminggu
tanpa menggunakan laksatif, (2) dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis
dalam seminggu, dan (3) teraba masa feses di abdomen atau rektum pada
pemeriksaan fisis.
Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan
dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi defekasi kurang
dari tiga kali per minggu dan konsistensi tinja lebih keras dari biasanya.
Konstipasi merupakan defekasi tidak teratur yang abnormal dan juga
pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya sulit dan kadang
menimbulkan nyeri. (Smeltzer and Bare, 2001)
Konstipasi adalah kondisi sulit atau jarang untuk defekasi. Karena frekuensi
berdefekasi berbeda pada setiap individu, definisi ini ersifat subjektif dan dianggap
sebagai penurunan relative jumlah buang air besar pada individu. Pada umumnya,
pengeluaran defekasi kurang dari satu setiap 3 hari yang dianggap mengindikasikan
konstipasi. (Corwin, 2008)

2. KLASIFIKASI
Menurut Hadi (1995) konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Konstipasi simpel (konstipasi yang diakibatkan oleh gangguan fungsi):
 Rektal stasis (dyschezia)
 Kolon stasis
b. Konstipasi simtomatik (konstipasi sebagai gejala suatu penyakit):
 Konstipasi sebagai gejala penyakit akut:
- dehidrasi
- obstruksi intestinal
- apendisitis akut
- post hematamesis
 Konstipasi sebagai gejala penyakit kronik:
- kelainan pada traktus gastrointestinal
- kelainan pada pelvis
- penyakit umum di organ lain

3. EPIDEMIOLOGI
Hasil analisis data mendapatkan median usia subyek adalah 36 tahun,
dengan median lingkar perut 81,40 cm (obesitas sentral) dan indeks massa tubuh
24 kg/m2 (kelebihan berat badan). Sedangkan prevalensi konstipasi didapatkan
mulai dari 47,6% (keluhan mengejan saat defekasi) sampai 63,8% (keluhan
gangguan pencernaan selama 3 hari/minggu). Prevalensi dari gangguan
pencernaan fungsional sebesar 52,9% dan ditemukan secara bermakna lebih besar
prevalensi pada subyek yang berusia kurang dari 30 tahun. Tingginya prevalensi
gangguan pencernaan fungsional pada pekerja perempuan perlu segera diatasi
untuk mencegah masalah kesehatan yang akan ditimbulkannya.
Konstipasi sering terjadi pada anak. Loening-Baucke melaporkan prevalensi
konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22,6% sedangkan untuk usia di
bawah 4 tahun hanya memiliki prevalensi kejadian konstipasi sebesar 16%. Pada
studi longitudinal, Saps dkk melaporkan 16% anak usia 9 sampai 11 tahun
menderita konstipasi. Konstipasi yang tersering adalah konstipasi fungsional.
Didapati 90% sampai 97% kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan
suatu konstipasi fungsional.
Konstipasi yang terjadi pada lansia berbeda dengan konstipasi pada usia
muda, sebagian besar problem konstipasi pada lansia berhubungan dengan
penurunan – otalitas kolon terbatas ke anorekturo, yaitu berupa kegagalan relaksasi
otot-otot di dasar pinggul selama proses defekasi.(Purba,2003:151)

4. ETIOLOGI
Penyebab konstipasi biasanya multifaktor, misalnya : Konstipasi sekunder
(diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolik, kelainan syaraf, penyakit
jaringan ikat, obat, dan gangguan psikologi), konstipasi fungsional (konstipasi biasa,
“Irritabel bowel syndrome”, konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi
kolon , obstruksi intestinal kronik, “rectal outlet obstruction”, daerah pelvis yang
lemah, dan “ineffective straining”), dan lain-lain (diabetes melitus, hiperparatiroid,
hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan skleroderma).
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan
sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam
menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang
disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan
tonus otot.
a. Konstipasi sekunder
1) Pola hidup : Diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar
yang buruk, kurang olah raga.
Pola hidup seperti diet rendah serat, kurang minum dan olahraga merupakan
penyebab tersering dari konstipasi. Penyebab umum dari konstipasi adalah
diit yang rendah serat, seperti terdapat pada sayuran, buah, dan biji-bijian,
dan tinggi lemak seperti dalam keju, mentega, telur dan daging.
Mereka yang makan makanan yang kaya serat biasanya lebih jarang yang
mengalami konstipasi Diit rendah serat juga memegang peranan penting
untuk timbulnya konstipasi pada usia lanjut. Mereka biasanya kurang
berminat untuk makan, dan lebih senang memilih makanan cepat saji yang
kadar seratnya rendah. Selain itu, berkurangnya jumlah gigi, memaksa
mereka lebih suka makan makanan lunak yang sudah diproses dengan kadar
serat yang rendah.
Dalam keadaan normal cairan akan mengisi sebagian besar usus dan feces
sehingga feces mudah dikeluarkan. Penderita konstipasi sebaiknya minum air
yang cukup, kira-kira 8 liter per hari. Cairan yang mengandung kafein, seperti
kopi dan kola, serta alkohol memiliki efek dehidrasi, sehingga dapat
meyebabkan konstipasi. urang olahraga dapat menyebabkan terjadinya
konstipasi, meskipun belum diketahui dengan pasti patogenesisnya. Sebagai
contoh, konstipasi sering terjadi pada orang sakit yang melakukan istirahat
yang panjang.
2) Kelainan anatomi (struktur) : fissura ani, hemoroid, striktur, dan tumor, abses
perineum, megakolon.
3) Kelainan endokrin dan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, DM,
dan kehamilan.
4) Kelainan syaraf : stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple,
lesi sumsum tulang belakang, penyakit Chagas, disotonomia familier.
5) Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, “mixed connective-tissue
disease”.
6) Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi,
bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium,
senyawa kalsium), “calcium channel blockers” (verapamil), OAINS (ibuprofen,
diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan
stimulans jangka panjang.
7) Gangguan psikologi (depresi).
b. Konstipasi fungsional(kontipasi simple atau temporer)
1) Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi.
2) “Irritabel bowel syndrome”
3) Konstipasi dengan dilatasi kolon : “idiopathic megacolon or megarektum”
4) Konstipasi tanpa dilatasi kolon : “idiopathic slow transit constipation”
5) Obstruksi intestinal kronik.
6) “Rectal outlet obstruction” : anismus, tukak rectal soliter, intusesepsi.
7) Daerah pelvis yang lemah : “descending perineum”, rectocele.
8) Mengejan yang kurang efektif (“ineffective straining”)
c. Penyebab lain
1) Diabetes mellitus
2) Hiperparatiroid
3) Hipotiroid
4) Keracunan timah (“lead poisoning”)
5) Neuropati
6) Penyakit Parkinson
7) Skleroderma
8) Idiopatik :Transit kolon yang lambat, pseudo-obstruksi kronik.(ipd)

5. FAKTOR RESIKO
Ada dua faktor besar yang mempengaruhi terjadinya konstipasi, yaitu :
a. faktor fungsional (dikenal juga dengan istilah Irritable Bowel Syndrom atau IBS).
Seperti, gaya hidup dan pola makan. Misalnya bagi mereka yang bekerja di
kantor dan sering menghabiskan waktu dengan duduk dan kurang bergerak.
Pola makan yang kurang baik; di mana jarang sekali mendapat asupan berserat,
bisa menyebabkan konstipasi. Begitu pula, jika sering sekali mengonsumsi
makanan yang tinggi kandungan lemaknya. Kurang minum air juga bisa
menyebabkan kostipasi. Dalam 24 jam, minumlah 8-10 gelas air. Stres yang
terjadi karena beban pikiran pun bisa mengakibatkan konstipasi.
b. faktor organik yang terjadi karena kelainan pada sel syaraf pada permukaan
usus, tempat di mana proses BAB terjadi

6. PATOFISIOLOGI
Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan gejala dari
adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh. Pengobatan pada konstipasi
harus diawali dengan usaha untuk menetapkan penyebabnya. Gangguan pada
saluran pencernaan, gangguan metabolisme atau gangguan sistem endokrin dapat
menjadi hal-hal yang terkait dengan timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya hasil
dari diet rendah serat atau penggunaan obat-obat yang menyebabkan konstipasi
seperti obat-obat golongan opiat. Di samping itu, hal-hal yang berawal dari
gangguan psikis juga dipercaya menyebabkan konstipasi, penurunan kekuatan otot
dinding abdomen dan kemungkinan penurunan aktifitas fisik. Bagaimana pun juga,
frekuensi pergerakan usus tidak berkurang pada usia produktif. Selain itu, penyakit –
penyakit yang dapat menyebabkan konstipasi, seperti kanker kolon dan diverticulitis,
akan meningkat kemungkinannya seiring dengan bertambahnya umur (Dipiro et al,
2005).
Penggunaan obat-obat yang menghambat fungsi neurologis dan muskular
dari saluran pencernaan khususnya kolon dapat menyebabkan konstipasi. Sebagian
besar kasus-kasus konstipasi oleh penggunan obat disebabkan oleh obat-obat
golongan opiat, berbagai agen dengan fungsi antikolinergik dan antasid yang
mengandung aluminium dan kalsium. Obat-obat tersebut bergantung pada dosis
menghambat fungsi usus dimana dengan dosis yang lebih besar akan
menyebabkan konstipasi lebih sering. Opiat memberi efek pada seluruh segmen
dari usus, namun lebih nyata pada kolon. Mekanisme umum dari opiat dalam
menghasilkan konstipasi adalah dengan memperpanjang waktu transit pada usus
dengan menyebabkan kontraksi yang tidak mendorong makanan. Mekanisme lain
yang berkontribusi adalah dengan meningkatkan absorpsi elektrolit. Seluruh turunan
opiat diasosiasikan menyebabkan konstipasi, namun tingkat penghambatan fungsi
intestinalnya berbeda. Penggunaan opiat secara oral akan menyebabkan efek
konstipasi lebih besar daripada penggunaan secara parenteral (Dipiro et al, 2005).
Sedangkan obat-obat antikolinergik menghambat fungsi usus dengan aksi
parasimpatolitik pada berbagai bagian dalam saluran pencernaan khususnya pada
kolon dan rektum. Obat-obat antikolinegik ini sangat umum digunakan baik oleh
pasien di rumah sakit maupun pasien rawat jalan. Suatu penelitian menunjukkan
penggunaan amitriptyline, diphenhydramine dan thioridazine bertujuan untuk
kebutuhan laksatif pada 800 perawatan pasien. Pada pasien dengan umur lebih dari
65 tahun, obat-obat antikolinergik, aspirin, furosemide, ni- troglycerin, dan
amitriptyline dikorelasikan sebagi penyebab konstipasi (Dipiro et al, 2005).
7. MANIFESTASI KLINIS
 Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah:
(ASCRS, 2002)
1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2. Mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rectum saat BAB
6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
7. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
 Dalam menentukan adanya konstipasi terdapat tiga aspek yang perlu
diperhatikan, yaitu frekuensi b.a.b, konsistensi tinja, dan temuan pada
pemeriksaan fisis. Pada anak berusia sama atau kurang dari 4 tahun adanya
konstipasi ditentukan berdasarkan ditemukan minimal salah satu gejala klinis
berikut,
1) defekasi kurang dari 3 kali seminggu
2) nyeri saat b.a.b
3) impaksi rectum
4) adanya masa feses di abdomen.
 Kriteria untuk anak berusia di atas 4 tahun agak berbeda, digunakan kriteria
sebagai berikut,
1) frekuensi b.a.b kurang atau sama dengan dua kali seminggu tanpa
menggunakan laksatif
2) dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis dalam seminggu, dan (3)
teraba masa feses di abdomen atau rektum pada pemeriksaan fisis

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan fisis pada konstipasi sebagian besar tidak didapatkan kelainan
yang jelas. Walaupun demikian, pemeriksaan fisis yang teliti dan menyeluruh
diperlukan untuk menemukan kelainan-kelainan yang berpotensi mempengaruhi
khususnya fungsi usus besar. Diawali dengan pemerikssaan rongga mulut meliputi
gigi gerigi, adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa
pengecap dan proses menelan.
Pemeriksaan daerah perut dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran
abdomen, peregangan atau tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan perut
untuk menilai kekuatan otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba massa
feses di kolon, adanya tumor atau aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain
pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, asietes, atau adanya massa
feses. Auskultasi antara lain untuk mendengarkan suara gerakan usus besar,
normal atau berlebihan misalnya pada jembatan usus. Pemeriksaan daerah anus
memberikan petunjuk penting, misalnya adakah wasir, prolaps, fisur, fistula, dan
massa tumor di daerah anus dapat mengganggu proses BAB.
Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui
ukuran dan kondisi rektum serta besar dan konsistensi feses. Colok dubur dapat
memberikan informasi tentang :
a. Tonus rectum
b. Tonus dan kekuatan sfingter
c. Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
d. Adakah timbunan massa feses
e. Adakah massa lain (misalnya hemoroid)
f. Adakah darah
g. Adakah perlukaan di anus
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-faktor
resiko penyebab konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit,
anemia yang berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya.
Prosedur lain misalnya anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua
pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, wasir dan
keganasan.
Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang
terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan
adanya massa feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi
kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium
Enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan intensif ini
dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil
dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema, proktosigmoidoskopi,
kolonoskopi) atau fisiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi, menometri,
dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi bisanya dikerjakan pada konstipasi
yang baru tejadi sebagai pprosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum.
Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya
riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi.
Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan
melakukan pemeriksaan radioologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan
zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi,
sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anaorektal untuk
menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan
mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta
yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita
duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta
mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses
berlangsung.
Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran
anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
pemerikasaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi
saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respon sfingter yang
terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomik maupun
fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non-spesifik.

9. PENTALAKSANAAN
Dalam memberikan terapi/pengobatan konstipasi maka kita harus mengkaji
kondisi kronisitas konstipasi tersebut. Konstipasi yang terjadi secara akut pada
orang dewasa kemungkinan berhubungan dengan kondisi patologi kolon.
Sedangkan konstipasi yang telah berlangsung lama (kronis) sejak masa bayi
kemugkinan berhubungan dengan masalah neurologis. Selain itu harus diketahui
pola makan pasien dan atau kebiasaan dalam penggunaan laksatif atau katartik.
a. Pengobatan non-farmakologis
1) Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku
yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya.
Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan pada waktu 5-10 menit
setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk
BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap
terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini.
2) Diet : modifikasi diet dilakukan untuk meningkatkan jumlah serat yang
dikonsumsi. Serat yang merupakan bagian dari sayuran yang tak dicerna
dalama usus akan meningkatkan curah feses, meretensi cairan tinja, dan
meningkatkan transit tinja dalam usus. Dengan terapi serat ini maka frekuensi
buang air besar meningkat dan menurunnya tekanan pada kolon dan rektum.
Pasien disarankan setidaknya mengkonsumsi 10 gram serat kasar
perharinya. Buah, sayur dan sereal adalah contoh bahan makanan kaya
serat. Selain itu terdapat juga produk obat yang merupakan agen pembentuk
serat masal seperti koloid psylium
hidrofilik, metilselulosa ataupolikarbofil yang dapat menghasilkan efek sama
dengan bahan makanan tinggi serat yang tersedia dalam sediaan tablet,
serbuk atau kapsul.
3) Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur
dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk
memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni
pada otot perut
4) Pembedahan
Pada beberapa pasien konstipasi tindakan pembedahan diperlukan. Hal ini
karena adanya keganasan kolon atau obstruksi saluran gastrointestinal
sehingga diperlukan reseksi usus. Selain itu pembedahan juga diperlukan
pada kasus konstipasi yang disebabkan oleh pheokromositoma.
b. Pengobatan farmakologis
Pada pengobatan dan pencegahan konstipasi pemberian agen
pembentuk serat mutlak diberikan. Suatu jenis agen pembentuk serat ini sudah
mencukupi, dan harus digunakan dalam diet harian terutama pada penderita
konstipasi kronis. Kecuali agen difenilmetana dan turunan antrakuinon tidak
boleh digunakan pada terapi rutinitas dasar.
Sedangkan pada pasien konstipasi akut, penggunaan laksatif sewaktu-
waktu diperbolehkan. Konstipasi akut dapat dihilangkan dengan pemberian
supositoria gliserin, atau jika kurang efektif dapat juga diberikan sorbitol oral,
difenilmetan atau turunan antrakuinon dosis rendah, atau garam pencahar
(garam magnesium/garam inggris). Namun jika gejala ini tidak hilang dalam
waktu lebih dari 1 minggu maka penderita harus melakukan pemeriksaan lanjut
dan menerima terapi dengan rejimen lain.
Pilihan obat yang dapat digunakan dalam terapi farmakologis konstipasi
adalah:
1) Emolien. Emolien adalah agen surfaktan dari dokusat dan garamnya yang
bekerja dengan memfasilitasi pencampuran bahan berair dan lemak dalam
usus halus. Produk ini meningkatkan sekresi air dan elektrolit dalam usus.
Pencahar emolien ini tidak efektif dalam mengobati konstipasi namun
berguna untuk pencegahan, terutama pada pasien pasca infark miokard,
penyakit perianal akut, atau operasi dubur. Secara umum dokusat relatif
aman, namun berpotensi meningkatkan laju penyerapan usus sehingga
berpotensi meningkatkan penyerapan zat-zat yang berpotensi racun.
2) Lubrikan. Merupakan laksatif dari golongan minyak mineral yang akan efektif
bila digunakan secara rutin. Lubrikan diperoleh dari penyulingan minyak
bumi. Lubrikan bekerja dengan membungkus feses sehingga
memudahkannya meluncur ke anus dan dengan menghambat penyerapan air
diusus sehingga meningkatkan bobot feses dan mengurangi waktu transitnya
dalam usus. Lubrikan dapat diberikan peroral dengan dosis 15-45 ml, dan
akan memberikan efek setelah 2-3 hari setelah penggunaan. Penggunaan
lubrikan ini disarankan pada kondisi sebagaimana penggunaan emolien.
Namun lubrikan memberikan potensi efek samping yang lebih besar. Resiko
efek samping itu diantaranya: minyak mineral dapat diserap secara sistemik
dan dapat menimbulkan reaksi asing dalam jaringan limfoid tubuh, dan
mengurangi penyerapan vitamin larut lemak (A, D, E dan K)
3) Laktulosa dan sorbitol. Laktulosa adalah disakarida yang dapat digunakan
secara oral atau rektal. Laktulosa dimetabolisme oleh bakteri kolon menjadi
molekul asam dengan bobot rendah, sehingga mempertahankan cairan
dalam kolon, menurunkan PH dan meningkatkan gerak peristaltik usus.
Laktulosa tidak direkomendasikan dalam terapi konstipasi lini pertama karena
harganya yang mahal dan efektivitasnya yang tidak lebih efektif dari sorbitol
atau garam magnesium. Sorbitol sebagai monosakarida bekerja dengan
tindakan osmotik dan telah direkomendasikan sebagai terapi konstipasi lini
pertama.
4) Derivat Difenilmetana. Dua turunan difenilmetana yang utama adalah
bisakodil dan fenoftalein. Bisakodil memberikan efek dengan merangsang
pleksus syaraf mukosa usus besar. Sedangkan fenoftalein bekerja dengan
menghambat penyerapan aktif glukosa dan natrium. Dengan fenoftalein,
sejumlah kecil fenoftalein akan mengalami resirkulasi enterohepatik dan
mengakibatkan efek antikonstipasi berkepanjangan. Penggunaan fenoftalein
pada penderita apendiksitis, hamil, atau menyusui harus berhati-hati karena
dapat menimbulkan perforasi, sehingga menyebabkan air seni berwarna
merah muda.
5) Derivat Antrakuinon. Teramasuk dalam derivat antrakuinon adalah sagrada
cascara, sennosides, dancasathrol. Bakteri usus memetabolismekan
senyawa-senyawa tersebut, namun mekanisme jelasnya dalam pengobatan
konstipasi tidak diketahui. Sama seperti derivat difenilmetana, penggunaan
derivat antrakuinon secara rutin tidak direkomendasikan.
6) Katartik Saline. Katartik saline terdiri dari ion-ion yang sulit diserap seperti
magnesium, sulfat, sitrat, dan fosfat yang bekerja dengan menghasilkan efek
osmotik dalam mempertahankan cairan dalam saluran cerna. Magnesium
merangsang sekresi kolesistokinin yang merangsang motilitas usus dan
sekresi cairan. Agen ini akan memberikan efek dalam waktu kurang dari 1
jam setelah pemberian dosis oral. Agen ini sebaiknya digunakan dalam
keadaan evakuasi akut usus, tindakan pradiagnostik, keracunan, atau untuk
menghilangkan parasit setelah pemberian antelmintik. Agen ini tidak
disarankan untuk digunakan secara rutin. Agen ini berpotensi menyebabkan
deplesi cairan.
7) Minyak Jarak. Minyak jarak dimetabolisme disaluran cerna menjadi senyawa
aktif asam risinoleat yang bekerja merangsang proses sekresi, menurunkan
absorpsi glukosa, dan meningkatkan motilitas usus, terutama dalam usus
halus. Efek buang air besar biasanya akan dihasilkan 1-3 jam setelah
mengkonsumsi agen ini.
8) Gliserin. Gliserin biasanya diberikan dalam bentuk suppositoria 3 gram yang
akan memberikan efek osmotik pada rektum. Gliserin dianggap sebagai
pencahar yang aman meski mungkin juga mengakibatkan iritasi rektum.
9) Polyethylene glicol-electrolite lavage solution (PEG-ELS), merupakan
larutan yang digunakan dalam pembersihan usus sebelum prosedur
diagnostik atau pembedahan kolorektal. 4 liter cairan ini diberikan dalam
waktu tiga jam untuk evakuasi lengkap dari saluran gastrointestinal. Cairan ini
tidak dianjurkan untuk terapi rutin dan pada pasien dengan obstruksi usus.
Beberapa tips pencegahan konstipasi :
 Hindari makanan yang halus yang dapat menyebabkan konstipasi.
(Eisenberg, A.1996).
 Konsumsi makanan yang berserat tinggi yang sangat bermanfaat untuk
melunakkan feses sehingga memudahkan eliminasi (pengeluaran kotoran
tubuh).
 Hindari terlalu sering mengkonsumsi daging .
 Minum cairan minimal delapan gelas sehar (Piego, J.H. 2004)
 Hindari penggunaan obat pencahar kecuali memang dianjurkan oleh dokter .
 Biasakan pola buang air besar yang teratur setiap hari, misalnya setiap pagi
hari.
 Tunggu sampai keinginan buang air besar muncul untuk ke toilet, jangan
terburu-buru dan jangan menunda keinginan untuk buang air besar muncul
untuk ke toilet.
 Penggunaan pencahar dilakukan oleh tenaga medis dengan catatan jika
cara-cara alternatif tidak berhasil. Lakukan olah raga ringan teratur seperti
berjalan (jogging).
 Konsultasikan kedokter anda bila anda tetap sulit buang air besar
 Istirahat yang cukup (Piego, J.H. 2004)
 Berenang beberapa kali seminggu untuk membantu merangsang sistem
tubuh.
 Makan-makanan seimbang dengan banyak roti, gandum, buah dan sayuran.
(Sherry. 2000)
 Makan kulit buah seperti apel dan pear.(Hunter, H. 2005).

Anda mungkin juga menyukai