Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH TUGAS

PROPAGANDA DAN OPINI PUBLIK

KEBERHASILAN KPK MEMBERANTAS KORUPSI

MUHAMMAD ALDO FAWWAZ FALAH ZIDANE


7017210112
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia tampak
memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Sejak KPK melakukan penangkapan
terhadap Nazaruddin (mantan bendahara Partai Demokrat), dari Bogota, Kolumbia;
menangkap Nunun Nurbaeti (istri mantan Wakapolri); penetapan tersangka Miranda
Gultom dalam kasus Deputi Bank Indonesia 2004; penetapan tersangka Anggelina
Sondakh (anggota DPR RI); penangkapan Neneng Sri Wahyuni (istri Nazaruddin)
dan terakhir pengungkapan kasus simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Sosilo
dapat dipandang sebagai keberhasilan KPK dibawah pimpinan Abraham Samad.
Namun demikian, tantangan KPK akan semakin besar karena adanya
kecenderungan semakin meningkatnya persekongkolan kejahatan korupsi di antara
oknum pemerintahan dan penegak hukum tidak akan mudah ditengarai sebagai akibat
dari model pemilihan umum dan/atau pemilihan pimpinan yang tidak terbebas dari
praktik politik uang. Tanpa dilakukan sinkronisasi dan penataan ulang, baik terkait
dengan instrument hukum maupun konsolidasi dengan institusi penegakan hukumnya
terkait kejahatan korupsi, tampaknya harapan atas peran KPK dalam melakukan
pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan tercapai secara optimal.

1.2 Permasalahan
1. Bagaimana upaya penegakan hukum oleh KPK dalam penyelesaian tindak pidana
korupsi di Indonesia.
2. Apakah fungsi dan kewenangan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia telah sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002.
3. Bagaimana fakta penegakan hukum kejahatan korupsi.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin “corruption” atau “corruptus”,
yang selanjutnya disebutkan bahwa curruptio itu berasal pula dari kata asal
corrumpere, suatu kata dalam bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin
itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt;
Belanda, yaitu corruptive (korruptie), dapat atau patut diduga bahwa istilah
korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu
“korupsi”, yang mengandung arti perbuatan korup, penyuapan (Ermansjah
Djaja, 2010:23).
Dalam The Lexion Webster Dictionary kata korupsi berarti:
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina
atau memfitnah.
Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,
bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan
oleh Benveniste dalam Suyanto, korupsi didefinisikan menjadi 4 (empat)
jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya
bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para
anggota organisasi;
b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
regulasi tertentu;
c. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan;
1
Ermansjah Djaja, 2010:23).
d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun
discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan
kelompok. (Ermansjah Djaja, 2010:22)

Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai


penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik
yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan
untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga menimbulkan
kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya.
Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam
tindak pidana korupsi adalah:
“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum,
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”.

2.1.2 Penegakan Hukum


Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas
mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta
melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui
prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme
penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts
resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan
penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan
agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan
mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dengan sungguh-
sungguh serta dijalankan sebagaimana mestinya.
Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan
penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui
proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan,
advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan. (Artidjo Alkostar
http://www.infolizer.com)
Penegakan hukum dilakukan disemua aspek kehidupan seperti politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Pelaksanaan penegakan
hukum dilakukan oleh aparat/lembaga penegak hukum. Dalam hal terjadi
tindakan kriminal, prosesnya melalui aparat penegak hukum, kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan. Agar terjadi proses yang “fair play”orang yang
tersangkut perkara kriminal tersebut dapat didampingi pengacara atau
advokat.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum


Berlangsungnya penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai
berikut:
a. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan harus jelas dan membuat substansi materi
yang dapat memenuhi rasa keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya tidak
boleh bertentangan atau tidak sinkron karena akan menimbulkan
ketidakpastian hukum maupun kesulitan hidup bermasyarakat.
b. Aparat Penegak Hukum
Banyak kasus yang tidak diselesaikan sesuai dengan prinsip keadilan dan
kebenaran karena aparat penegak hukum tidak melaksanakan tugas
sebagaimana mestinya. Kasus suap maupun sering terjadi di lingkungan
aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan hakim.
Sesungguhnya, harapan atau tumpuan terakhir dalam penegakan hukum
adalah pada aparat penegak hukum. Akan tetapi, apabila mental para
aparat penegak hukum telah rusak maka penegakan hukum tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
c. Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Proses Penegakan Hukum
Sarana atau fasilitas sangat berpengaruh dalam penegakan hukum, seperti
alat laboratorium, alat yang membantu pembuktian: kamera monitor
(CCTV), alat elektronika, alat transportasi dan lain sebagainya.
d. Masyarakat
Kesadaran masyarakat menjadi salah satu faktor penting dalam
penegakan hukum. Untuk mencapai tingkat kesadaran yang tinggi, maka
perlu adanya sosialisasi peraturan perundang-undangan secara intens.
Setelah masyarakat mengetahui adanya peraturan tertentu, diharapkan
muncul kesadaran dan selanjutnya terwujud dalam tindakan nyata.
e. Kebudayaan
Kebudayaan merupakan hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2.2 Pembahasan
2.2.1 Penegakan Hukum oleh KPK dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Korupsi
Penegakan hukum merupakan persoalan yang sangat penting,
terutama terkait dengan tindak pidana korupsi dan penyelenggara negara.
Berdasarkan data kinerja KPK, selama 10 tahun terakhir ini KPK telah
mengungkap 267 kasus korupsi, yang 228 diantaranya sudah inkracht.
Artinya, setiap bulan terungkap rata-rata kasus korupsi besar. Belum lagi
kasus korupsi yang diusut dan diungkap oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Kasus-
kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah juga membuat DPD
prihatin. Menurut data Kemendagri, sampai akhir tahun Juni 2013, terdapat 21
Gubernur, 7 Wagub, 156 Bupati, 46 Wabup, 41 Walkot, 20 Wawalkot yang
tersangkut kasus hukum dan sebagian besarnya perkara korupsi.
Dari beberapa kasus korupsi yang telah terungkap, itu karena kerja
keras yang dilakukan oleh KPK dan para penyidik, disertai kerjasama antara
KPK dan aparat penegak hukum lainnya. Banyak kasus korupsi telah
diselesaikan KPK dari tahun ke tahun, selama tiga tahun terakhir,
pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan
yang terjadi ada pada jumlah kasus yang ditangani maupun aktor yang
ditetapkan sebagai tersangka. Kasus-kasus atau tersangka-tersangka yang ada
sepanjang tahun 2013 mulai dari Januari sampai bulan Desember 2013 ada
1271 tersangka. Ini meningkat dari dua tahun yang lalu. Tahun 2011 yakni
1056 tersangka artinya ada peningkatan dari sisi kuantitas.
Temuan kerugian negara dalam penanganan perkara pemberantasan
korupsi baik di KPK, Kepolisian dan Kejaksaan juga terus mengalami
peningkatan selama tiga tahun terakhir. Kalau di tahun 2010 kerugian negara
Rp 2,1 trilyun. Awal Januari sampai Desember 2013 itu sampai Rp 7,4
trilyun. Bahkan sampai di 2011 sempat mencapai angka Rp 10 trilyun lebih,
karena ada kasus century.
Prospektif penanganan perkara baik di KPK, Kepolisian dan
kejaksaan meningkat. Selama tahun 2013, KPK telah menyelamatkan
keuangan negara sebesar Rp 1,196 Trilyun.
Salah satu faktor yang berperan cukup kuat dalam penegakan hukum
tindak pidana korupsi adalah integritas penegak hukum. Namun demikian
kelemahan integritas penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi ini tidak
berdiri sendiri. Kelemahan penegakan hukum ini harus dikaji dari kelemahan
sistem hukum pidananya. Sebagaimana kita ketahui, sistem hukum pidana
dibagi dalam tiga unsur, yaitu substansi yang menyangkut materi hukumnya;
struktur, yakni menyangkut struktur hukum yang dalam hal ini adalah sistem
peradilan pidana (criminal justice system); dan kultur, yakni budaya hukum
masyarakat dalam konteks penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Unsur penegak hukum atau unsur yang melaksanakan penerapan
hukum dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi bahkan
menentukan efektivitas penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ada
beberapa kendala yang dihadapi penegak hukum dalam upayanya
menegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Nurdjana menyebut ada
tujuh kendala, yaitu :
1. Pendidikan hukum dan penelitian hukum;
2. Organisasi profesi hukum;
3. Orientasi kerja birokrasi;
4. Etika profesi hukum;
5. Koordinasi antar aparat penegak hukum;
6. Koordinasi dengan instansi pemerintah dan swasta; dan
7. Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah.

Korupsi di Indonesia semakin sulit dicegah dan diberantas secara


tuntas karena banyaknya faktor-faktor penyebab, baik yang berdiri sendiri
maupun berkaitan satu sama lain, sehingga keadaannya sudah sangat rumit
dan kompleks. Keadaan ini bukan disebabkan karena pemerintah setengah
hati dalam memberantas korupsi, tetapi lebih disebabkan karena masih
banyak orang yang tidak peduli terhadap masalah ini. Kepedulian terhadap
masalah korupsi yang sangat menonjol tampaknya ada pada lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak dalam kegiatan anti korupsi.
Salah satu implikasi dari penerapan ajaran sifat melawan hukum
materil dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi adalah lebih
terbukanya peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
yang dilakukan aparat penegak hukum. Penyalahgunaan kekuasaan adalah
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
ketika menangani perkara tindak pidana korupsi, baik pada tahap penyidikan,
penyelidikan maupun dipengadilan.
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) semacam ini
sesungguhnya tergolong pula jenis korupsi, yaitu korupsi transaktif dan
korupsi defentif (pemerasan). Korupsi transaktif adalah adanya kesepakatan
timbal balik antara pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua
belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh
keduanya. Contohnya, penyuapan terhadap seorang hakim agar mendapat
vonis yang menguntungkan. Sedangkan korupsi defentif diartikan pelaku
merupakan korban dilakukannya pemerasan, dalam arti tersangka korupsi
(sesungguhnya) bukanlah pelaku korupsi, atau tersangka penipuan bukanlah
pelaku penipuan, akan tetapi dijadikan korban untuk diperas. Contoh konkrit
korupsi defentif adalah seorang yang ditahan karena tuduhan yang dibuat-
buat, sekedar untuk memerasnya. Ia membayar uang suap untuk
pembebasannya dan agar tuduhan atas dirinya dicabut.
Suatu hal yang membedakan KPK dengan institusi penegak hukum
lainnya adalah kewenangan yang dimiliki oleh KPK. Lembaga ini memiliki
kewenangan yang sangat luas yaitu meliputi penyelidikan, penyidikan hingga
penuntutan di pengadilan tindak pidana korupsi. KPK juga memiliki
kewenangan untuk melakukan penyadapan, pencekalan, meminta laporan
kekayaan hingga membatalkan sebuah transaksi keuangan dan memblokir
rekening atau kekayaan seseorang yang menjadi tersangka kasus tindak
pidana korupsi. Kewenangan seluas itu jika tidak disertai dengan pengawasan
yang lebih baik dapat merugikan orang lain.
Hal tersebut telah terbukti dengan kasus AKP Suparman yang
mencuat pada tahun 2006, yaitu ketika Suparman yang menjadi penyidik di
KPK ketahuan memeras saksi dalam pemeriksaaan kasus korupsi PT Industri
Sandang Nusantara. Suparman pada saat itu mengancam saksi Tintin Surtini
untuk memberikan sejumlah uang agar tidak dijadikan sebagai tersangka.
Pada akhirnya, Tintin memberikan uang sebesar Rp 439.000.000 secara
bertahap kepada Suparman.
Di persidangan khusus tindak pidana korupsi, Suparman terbukti
melakukan pemerasan dan dihukum delapan tahun penjara. Kasus Suparman
menunjukkan bahwa tidak semua anggota KPK adalah malaikat yang tidak
punya dosa. Mereka bisa saja menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya.
Tidak ada badan khusus yang mengawasi sepak terjang KPK, layaknya polisi
diawasi oleh Komisi Kepolisian Nasional. Pengawasan KPK langsung
dilakukan oleh rakyat melalui DPR dan Lembaga Swadaya Masyarakat anti
korupsi. Pengawasan oleh DPR dilakukan melalui mekanisme rapat dengan
pendapat yang dilakukan secara berkala atau setelah merespon isu yang
berkembang di masyarakat. pada rapat dengan pendapat tersebut, KPK
diwakili oleh unsur-unsur pimpinan.
Selain pengawasan secara eksternal melalui peran anggota dewan dan
masyarakat melalui LSM, secara internal KPK juga memiliki sistem
pengawasan sendiri. Belajar dari kasus AKP Suparman, KPK membentuk
Tim Intelejen Internal yang berasal dari anggota KPK sendiri yang dipilih dan
dilatih secara khusus di tempat khusus pula untuk melakukan pengawasan
secara terselubung. KPK juga menciptakan sistem dan mendorong para
anggotanya untuk melakukan pelaporan atas pelanggaran yang terjadi di
dalam tubuh KPK.

2.2.2 Fungsi dan Kewenangan KPK dalam Upaya Pemberantasan Korupsi


Sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002
KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang
dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun. Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, maka tugas dari KPK ini meliputi: melakukan koordinasi dan
supervisi terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga yang berwenang, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi menurut UU No.
30 Tahun 2002 pasal 6 dan 7 :

Pada Pasal 6, KPK mempunyai tugas, antara lain:


a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pada Pasal 7, dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf a, KPK berwenang:
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.

Secara garis besar tugas dan wewenang KPK dibagi menjadi empat
bidang, yakni penindakan, pencegahan, koordinasi dan supervis serta
monitoring. Tentu saja ada perbedaan karakteristik dari empat bagian
tersebut. Bidang penindakan lebih kepada pemberian hukuman. Tujuan dari
penindakan ini adalah memberi efek jera pada pelaku korupsi dan diharapkan
terjadi efisiensi dan transparansi pada pelayanan publik, serta mengembalikan
keuangan negara yang telah diambil dengan cara:
a. Penindakan korupsi dilakukan bersama-sama dengan aparat penegak
hukum lainnya (Polri dan Kejaksaan);
b. Menangani kasus-kasus korupsi yang belum selesai dikerjakan oleh
pimpinan KPK yang lama;
c. Menangani kasus-kasus yang menimbulkan dampak ikutan kumulatif
yang tinggi, sedangkan kasus-kasus yang ber-scope lokal dilimpahkan
kepada aparat penegak hukum daerah;
d. Menangani kasus-kasus korupsi di lingkungan aparat penegak hukum
pemasukan dan pengeluaran keuangan negara, serta sektor pelayanan
publik;
e. Menindaklanjuti MoU dengan Dephan untuk mendorong penanganan kasus-
kasus korupsi di lingkungan TNI.
Bidang berikutnya adalah pencegahan, dalam melakukan kegiatan
yang dapat mengoptimalkan perbaikan pelayanan publik serta
mengefektifkan pengawasan seperti:
a. Mendorong segenap instansi dan masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran anti korupsi dan peran sertanya dalam pencegahan korupsi di
lingkungan masing- masing;
b. Melakukan proaktif investigasi (deteksi) untuk mengenali dan
memprediksi kerawanan korupsi dan potensi masalah penyebab korupsi
secara periodik untuk disampaikan kepada instansi dan masyarakat yang
bersangkutan;
c. Mendorong lembaga dan masyarakat untuk mengantisipasi kerawanan
korupsi (kegiatan pencegahan) dan potensi masalah penyebab korupsi
(dengan menangani hulu permasalahan) di lingkungan masing- masing.

Bidang koordinasi dan supervisi adalah sasaran lain dari KPK dalam
hal ini kerjasama yang terutama dilakukan dengan polisi dan kejaksaaan
karena sama-sama penegak hukum yang melakukan pemberantasan korupsi
dengan cara:
a. Menindaklanjuti MoU yang sudah dibuat antara KPK, Kejaksaan Agung,
dan Polri dengan tindakan nyata di lapangan:
- Mengadakan pertemuan rutin dengan Polri dan Kejaksaan Agung;
- Mengevaluasi proses penanganan kasus yang ditangani oleh Polri dan
Kejaksaan Agung.
b. Mendorong penanganan kasus-kasus korupsi ke daerah (Polda dan Kejati)
dengan alternative tindakan :
- Diserahkan sepenuhnya sesuai dengan kewenangan Polri dan Jaksa
dalam penanganan perkara;
- Digunakan kewenangan KPK namun dilaksanakan oleh instansi
penegak hukum di daerah.
c. Memantau penanganan kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh Polri dan
Kejaksaan Agung baik secara administratif dan check on the spot.
d. Mengambil alih penanganan kasus yang krusial atau tidak dapat ditangani
oleh Polri dan Kejaksaan Agung, penegak hukum di daerah.

Bidang sasaran KPK yang terakhir adalah monitoring, yakni KPK


bertugas menjalankan proses pengawasan terhadap instansi pemerintah,
terutama yang bisa mempengaruhi pertumbuhan atau pengurangan indeks
persepsi korupsi yang dilakukan dengan cara:
a. Melakukan kajian sistem administrasi negara dan sistem pengawasan
terhadap lembaga negara/pemerintah secara selektif untuk mendorong
dilaksanakannya perubahan sistem dan reformasi birokrasi pada tingkat
nasional;
b. Meningkatkan integritas dan efektifitas fungsi pengawasan pada masing-
masing instansi melalui restrukturisasi kedudukan, tugas dan fungsi
unit/lembaga pengawasan, agar pelaksanaan tugas dan fungsinya dapat
dilaksanakan secara independen dan bertanggungjawab.
Pemberian kewenangan sebesar itu tidaklah sia-sia. Meski belum
optimal, pemberantasan korupsi sudah berjalan dan memberikan harapan
kepada masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kesederhanaan birokrasi di
KPK. Para penyidik dari KPK bisa langsung berkoordinasi dengan tim
penuntut yang juga berada di KPK. Tidak ada hambatan birokrasi institusi
atau ego sektoral seperti sering terjadi dalam penanganan kasus yang
melibatkan banyak lembaga. Salah satu penyebab sering terhambatnya
pengusutan kasus korupsi adalah masalah birokrasi yang terlalu rumit.
Sebuah surat bisa jadi harus melalui berbagai pintu sebelum sampai ke tangan
penerima. Oleh karenanya, tidak heran jika tersangka korupsi sering
melenggang bebas bersembunyi di luar negeri. Penyebabnya bisa jadi karena
surat pencekalan yang telalu lama diproses.

2.2.3 Fakta Penegakan Hukum Kejahatan Korupsi


Terdapat beberapa fakta penegakan hukum yang secara langsung
memperlihatkan kontradiksi sehingga terjadi penyimpangan terhadap asas
kesetaraan di depan hukum (equity before law) pasal 27 UUD 1945, antara
lain:
1) Tebang Pilih Penegakan Hukum terhadap Kepala Daerah
Dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi
secara umum dan secara khusus terhadap pelanggaran PBJP, terdapat
suatu kenyataan adanya praktek penegakan hukum yang tebang pilih. Hal
ini tentu bertentangan dengan prinsip hukum yang menyatakan bahwa
semua warga negara memiliki hak untuk diperlakukan setara di depan
hukum.
Kasus korupsi sering dipandang sebagai kasus yang membawa
‘berkah’ oleh aparat polisian dan kejaksaan, utamanya bagi pengacara.
UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK memunculkan sikap dualisme
bagi aparat penegak hukum dalam pemberantasan kejahatan korupsi.
Praktek penegakan hukum secara tebang pilih terjadi ketika aparat
penegak hukum baik polisi, jaksa dan juga pihak kekuatan masyarakat
lainnya membiarkan pelaku kejahatan untuk hidup bebas dalam
kehidupan bermasyarakat bahkan dapat menjadi calon kepala daerah.
Setelah mendapatkan keputusan hakim, pelaku kejahatan juga dapat
kembali menduduki jabatan publik tertentu. Hal ini dapat terjadi karena
pelaku kejahatan atau tersangka mampu membayar oknum-oknum
penegak hukum yang nakal.
Perlakuan penegak hukum menjadi tidak setara atau tebang pilih
karena sifat dari UU KPK yang secara sengaja memuat pengelompokan
proses penegakan hukum ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah
korupsi yang menimbulkan kerugian negara di bawah Rp 1 milyar
diproses oleh Polisi dan Jaksa. Penegakan kejahatan korupsi model ini
terkesan bahwa aparat penegak hukum, baik di tingkat pusat maupun
tingkat daerah memiliki ruang fleksibel untuk menunda-nunda
penyelidikan dan penyidikan. Sehingga pelaku kejahatan korupsi tidak
mendapat kepastian hukum dan mengundang ketidakpuasan bagi
masyarakat.
Sedangkan kategori korupsi kedua adalah perbuatan seseorang
yang telah menimbulkan kerugian negara di atas satu Rp 1 milyar yang
juridiksi kewenangan proses hukumnya melalui KPK.
Dalam kasus yang ditangani oleh KPK, dampaknya cukup
membuat guncangan yang menakutkan bagi terdakwa, tersangka dan
terhukum. KPK jauh lebih tegas dan dipandang sebagai lembaga penegak
hukum paling dipercayai di negeri ini. Misalnya, beberapa kasus yang
melibatkan anggota legislative pusat (DPR), Menteri-menteri (mantan),
dan sekitar 7 (tujuh) kasus Gubernur yang selain telah mendapatkan
putusan mengikat dan sebagian masih berada dalam proses hukum, begitu
juga Bupati dan Walikota (Data Sekunder/penelusuran dari dokumen
media cetak dan elektronik lainnya, November 2010 dalam Tonthowi
Jauhari, 2012).

2) Kewenangan Kepala Daerah Menentukan Penerima Proyek


Kepala Daerah memiliki peluang lebih terbuka untuk melakukan
KKN karena dapat menentukan staf yang akan menjadi kepala proyek,
dimana praktek suap dan grafitasi tidak mudah dilacak. Namun, ketika
peran masyarakat cukup efektif dalam pengungkapan kejahatan korupsi
juga memberikan bantuan positif dalam memproses kejahatan korupsi
yang dilakukan oleh staf-staf pemerintahan daerah. Adanya fakta dan
kasus pada 5 September 2008, bahwa Robert Edison Siahaan dan Imal
Raya Harahap, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematang Siantar
diberhentikan oleh DPRD Pematang Siantar dalam rapat plenonya.
Putusan MA nomor 01/KHS/2009, pemberhentian wali kota dan
wakilnya dapat dibenarkan secara hukum karena melanggar pasal 29 ayat
(2) UU Nomor 32/2005, yaitu melanggar sumpah dan janji kepala daerah
dan wakil wali kota. Selain itu, mereka dinyatakan bersalah karena oleh
Komisi Pengawas Persaing Usaha (KPPU) pada 13 November 2006,
melakukan persekongkolan lelang perbaikan bangsal di Unit Kerja
Rumah Sakit Umum Kota Pematang Siantar (Indonesian Procurement
Watch. Hukum Online, Jumat 1/7/2009). Pelanggaran dilakukan oleh
kepala daerah dan wakilnya dapat terjadi ketika mereka berada dalam pra-
pemilihan.

3) Izin dari Presiden Hambat Pemeriksaan


Proses penegakan hukum menjadi terhambat ketika pejabat-
pejabat negara, seperti Menteri, Gubernur dan juga Bupati hanya dapat
diperika jika mereka telah mendapatkan suara izin dari pihak Presiden.
Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Terkait dengan hal tersebut di atas, maka
tindakan Penyidikan terhadap Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diatur dalam Pasal 36 dan berbunyi sebagai berikut:
(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan proses
penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan
persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana
kejahatan; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana mati atau telah melakukan tindak
pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(5) Tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah
dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam
waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

Proses pengeluaran izin oleh Presiden itu juga menjadi


penghambat proses penegakan hukum bagi polisi, jaksa dan KPK dan
bahkan penerbitan surat izin sering kali diterbitkan tidak sesuai dengan
pasal 36 ayat at (2). Karena banyak surat izin yang diterbitkan oleh
Presiden melebihi ketentuan 60 hari (ICW: Demokrat Lindungi Kepala
Daerah Korupsi. 25 Oktober 2010 dalam Thontowi, 2012)

4) Sanksi Ringan Tidak Membuat Jera


Dalam teori hukum pidana, bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan
kepada pelaku kejahatan tidak saja dipandang sebagai hukum yang
menimbulkan penderitaan secara fisik dan psikis dan dibatasi kebebasan hak-
hak keperdataan dan hak politik, tetapi juga diharapkan agar pelaku
kejahatan merasa jera sehingga tidak berkehendak melakukan kembali.
Dalam konteks kejahatan korupsi, misalnya dari 154 terdakwa
korupsi yang diajukan ke meja hijau, lebih dari separuhnya divonis
hukuman ringan oleh majelis hakim. Lembaga pemantau korupsi di
Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang
2009, dari 154 koruptor yang diajukan ke meja hijau, 81 di antaranya atau
lebih dari 50 persen hanya dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh
majelis hakim.
Pil pahit akan pemberantasan korupsi di bumi Indonesia itu
tercermin dari banyaknya koruptor yang divonis hukuman ringan oleh
majelis hakim yang menyidangkan perkaranya.
Menurut catatan ICW, kasus-kasus yang ditanani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), dari 31 kasus korupsi yang ditangani selama 2008, tak seorang
koruptor pun yang divonis bebas. Atas dasar itu, maka secara langsung
atau tidak langsung bahwa situasi penegakan yang tebang pilih, lambat
dalam tindakan penyidikan karena lambatnya penerbitan Surat perizinan,
dan ringannya hukuman tampak secara tidak langsung berkorelasi negatif
terhadap PBJP.
Vonis yang dijatuhkan para hakim Tipikor rata-rata empat tahun
dua bulan penjara. Itu masih belum terlalu berat dan kurang menghasilkan
efek jera dan ketakutan. Kadar hukuman tersebut tentu jauh di bawah
hukuman maksimal yang menurut beberapa pasal dalam Undang-Undang
(UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) Nomor 31 Tahun
1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, yang hukumannya
dapat mencapai 20 tahun penjara, bahkan pidana penjara seumur hidup.

5) Perlindungan Whistle Blower dan/atau Saksi Pelapor


Terdapat aspek penegakan hukum yang sering luput dari perhatian
penegak hukum mengingat mereka berkedudukan sebagai orang yang
memiliki kontribusi dalam persoalan penegakan hukum adanya
pelanggaran atau tindakan korupsi terhadap PBJP. Peniup angin atau
pemberi informasi penting tentang korupsi (Whistle Blower) dan saksi
pelapor sungguh sangat penting namun karena kurangnya perlindungan,
mereka menjadi tidak memiliki keberanian untuk melaporkan keadaan
sebenarnya. Fakta di lapangan menunjukan betapa banyaknya saksi
pelapor, utamanya kalangan kepala Dinas, sebagai bawahan kepala
Daerah menjadi korban terpidana korupsi.
Hal ini bukan saja dikarenakan konstruksi tuntutan kejahatan
korupsi harus selalu didasarkan adanya bukti formal, dokumen, saksi,
keterangan dan pengakuan, melainkan juga didasarkan kepada paradigma
hukum konservatif atau dogmatis juridis, sehingga pelaku yang
sebenarnya (the actual culprit) dapat terhindar dari pertanggungjawaban
hukum pidana.
Tidak mudahnya barang bukti yang dijadikan landasan penuntutan
oleh Polisi dan Jaksa sering dijadikan argumen aparat penegak hukum
untuk secara cepat menindaklanjuti penyelidikan dan penyidikan, serta
penuntutan.
Dalam konteks ini memang selain perlu UU Perlindungan Saksi
dan Korban dimaksudkan agar setiap orang yang mendengar atau
mengalami sendiri suatu perkara pidana korupsi merasa aman dari
berbagai ancaman saat ia memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 13/2006 maka Saksi,
Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
ataupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya, namun yang menarik adalah Penjelasan tentang Pelapor
dalam: UU 13/2006 yang dapat menikmati status "aman" sebagaimana
dinyat akan dalam Pasal 10 ayat (1) t ersebut hanya terbatas pada Pelapor
yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya
suatu tindak pidana.

2.3 Solusi
1. Upaya penanggulangan korupsi di Indonesia harus dimulai dengan pemahaman
terhadap eksistensi korupsi itu sendiri. Kondisi faktual yang ada sampai sekarang
menunjukkan bahwa dalam upaya penegakan hukum terhadap korupsi, masih ada
perbedaan pemahaman antara masyarakat, pemerintah dan dunia usaha tentang
eksistensi korupsi. Perbedaan ini adalah konsekuensi dari adanya perbedaan cara
pandang, kepentingan dan pengetahuan. Oleh sebab itu, sosialisasi tentang
eksistensi korupsi kepada semua lapisan masyarakat sangat penting untuk
membangun kesamaan visi dan misi dalam memandang korupsi sebagai musuh
bersama (common enemy).
2. Lembaga-lembaga penegak hukum yang menjalankan kepercayaan masyarakat
harus memiliki integritas yang tinggi agar dapat terbebas dari praktik-praktik
abuse of power, seperti memeras tersangka atau membelokkan hukum melalui
putusannya hanya karena adanya imbalan atau kepentingan tertentu.
3. Dilakukannya tindakan preventif atau pencegahan yaitu langkah-langkah yang
diambil untuk tidak terjadinya korupsi. Ada pepatah yang mengatakan
“prevention is better than cure”, mencegah lebih baik daripada mengobati.
Tindakan preventif ini perlu dilakukan di semua instansi pemerintah apalagi
instansi pemerintah yang rawan terjadinya tindak pidana korupsi. Perlu
diciptakan suatu sistem pengawasan yang ketat oleh lembaga-lembaga pengawas
baik pengawasan parlemen yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pengawasan internal yang dilakukan oleh
Inspektorat Jenderal (pengawasan melekat) maupun pengawasan yuridis yang
dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
4. Dilakukannya tindakan represif atau penegakan hukum yaitu tindakan yang
dilakukan terhadap orang atau pelaku yang telah melakukan tindak pidana
korupsi. Tindakan hukum ini tidak boleh pandang bulu atau tebang pilih. Siapa
pun yang disangka melakukan tindak pidana korupsi harus diproses di
pengadilan. Bahkan di Indonesia sudah ada semacam “preseden” bahwa seorang
besan dari Presiden pun dapat dituntut dan dijatuhi pidana karena melakukan
tindak pidana korupsi.
BAB 3
KESIMPULAN

1. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK terhadap penyalahgunaan


kewenangan yang dilakukan penegak hukum dalam menyelesaikan tindak pidana
korupsi yaitu dengan mengoptimalkan kewenangan dan independensi serta integritas
KPK sebagai lembaga negara yang melaksanakan koordinasi, supervisi, penyelidikan,
dan penyidikan bahkan sampai penuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh aparatur pejabat negara. Secara garis besar, sasaran KPK
dalam penegakan hukum dibagi menjadi 4 bidang, yaitu penindakan, pencegahan,
koordinasi dan supervisi, serta monitoring. Ini dilakukan untuk melaksanakan
tupoksinya dengan baik untuk menindak dengan tegas sesuai aturan hukum yang
berlaku maupun mencegah Tindak Pidana Korupsi agar tidak terulang lagi di masa
depan.
2. Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-undang No. 30 Tahun 2002, maka tugas KPK
meliputi : melakukan koordinasi dan supervisi terhadap upaya pemberantasan korupsi
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-
tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara terutama dalam bidang pengawasan ketat
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

http://hukum.kompasiana.com/2014/09/25/benarkah-pemeberantasan-korupsi-
diindonesia-buruk-676419.html
http://repo.unsrat.ac.id/234/1/TUGAS_DAN_PERANAN_KOMISI_PEMBERANTAS
AN_KORUPSI_DI_INDONESIA.pdf
http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/fungsi-dan-tugas

Anda mungkin juga menyukai