Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kurikulum sebagai rancangan sekaligus kendaraan pendidikan mempunyai
peran yang sangat signifikan dan berkedudukan sentral dalam seluruh kgiatan
pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat
pentingnya kurikulum dalam dunia pendidikan dan dalam perkembangan
kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan secara
sembarangan saja.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang
didasarkan oleh hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam dan sesuai
dengan tantangan zaman. Karena kurikulum ibarat sebuah rumah yang harus
mempunyai pondasi agar dapat berdiri tegak, tidak rubuh dan dapat memberikan
kenyamanan bagi yang tinggal di dalamnya, pondasi tersebut ialah landasan-
landasan untuk kuriulum sebagai rumahnya, agar bisa memberikan kenyamanan
dan kemudahan bagi peserta didik untuk menuntut ilmu dan menjadikannya
produk yang berguna bagi dirinya sendiri, agama, masyarakat dan negaranya.
Bila landasan rumahnya lemah, maka yang ambruk adalah rumahnya sedangkan
jika landasan kurikulum yang lemah dalam pendidikan maka yang ambruk
adalah manusianya.
Robert S. Zais (1976) mengemukakan empat landasan pokok
pengembangan kurikulum, yaitu: Philosophi and the nature of knowledge,
society and culture, the individual, and learning theory. Dengan berpedoman
pada empat landasan tersebut, maka perancangan dan pengembangan suatu
bangunan kurikulum yaitu pengembangan tujuan (aims, goals, objective),
pengembangan isi/ materi (content), pengembangan proses pembelajaran
(learning activities), dan pengembangan komponen evaluasi (evaluation), harus
didasarkan pada landasan filosofis, psikologis, sosiologis, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karena itu, penyusunan dan
pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan, dibutuhkan
berbagai landasan yang kuat agar mampu dijadikan dasar pijakan dalam
melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi

1
2

tercapainya sasaran pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif dan


efisien.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas dapat diuraikan beberapa masalah,
diantaranya:

1. Apa saja landasan kurikulum?


2. Apa peranan setiap landasan kurikulum
3. Apa peranan penting setiap bidang ilmu dalam menyusun kurukulum
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Memahami Pengertian Curriculum.


2. Mengetahui landasan kurikulum.
3. Memahami landasan filsafat kurikulum
4. Memahami landasan historis kurikulum
5. Memahami landasan psikologis kurikulum
6. Memahami landasan sosial kurikulum
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Curriculum
Menurut Alan C. Ornstain dan Francis P.Hunkins bahwa kurikulum dapat
diartikan menjadi beberapa bagian, yang pertama sebagai suatu rencana untuk
mencapai tujuan. Yang kedua adalah seluruh pengalaman belajar dari anak
dibawah bimbingan guru. Elliot Eisner menggambarkan kurikulum sebagai
program yang ditawarkan sekolah bagi para siswanya. Secara umum dapat
diartikan sebagai seperangkat rencana pembelajaran pada program pendidikan
yang bersifat menyeluruh yang tidak serta merta disusun namun ada landasan-
landasan, rekonstruksi pengetahuan dan pengaturan tentang isi, tujuan, dan
bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
B. Landasan Curriculum
1. Landasan Philosophy
Adapun yang dimaksud dengan landasan filosofis dalam pengembangan
kurikulum ialah asumsi-asumsi atau rumusan yang didapatkan dari hasil
berpikir secra mendalam, analitis, logis, dan sistematis (filosofis) dalam
merencanakan, melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum
dalam bentuk program (tertulis), maupun kurikulum dalam bentuk
pelaksanaan (operasional) di sekolah.
Ilmu filsuf ini akan memberikan para pekerja kurikulum sebuah kerangka
kerja untuk mengatur sekolah dan kelas. Ini yang akan membantu untuk
menentukan tujuan sekolah, subjeck apa yang menjadi penilaian, bagaimana
siswa akan belajar, serta bahan dan metode apa yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
Filsafat akan menentukan arah ke mana peserta didik akan dibawa, filsafat
merupakan peangkat nilai-nilai yang melandasi dan membimbing ke arah
pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, filsafat yang dianut oleh
suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu termasuk yang dianut oleh
perorangan sekalipun akan sangat mempengaruhi terhadap pendidikan yang
ingin direalisasikan.
4

Filsafat sebagai landasan/sumber kurikulum berfungsi sebagai 1)titik


awal dalam pengembangan kurikulum, 2) dan sebagai suatu fungsi yang
saling bertergantungan denagn fungsi lainya dalam pengembangan
kurikulum. Filosifi memberikan pola pikir dalam hidup kita tidak hanya
starting point bagi sebuah sekolah, tapi juga semua bentuk kegiatan
kurikulum seperti proses belajar mengajar dan sebagainya.
2. Landasan Historis
Pengetahuan mengenai sejarah alatupun landasan historis dari kurikulum
dapat memberikan panduan bagi pekerja kurikulum pada masa sekarang.
Pada makalah ini akan didiskusikan sejarah perkembangan kurikulum sejak
zaman colonial.
a) Colonial Period 1642-1776
Sejarah kurikulum pada masa colonial sebagian besar berakar dari
pengalaman pendidikan Massachusetts colonial, Massachusetts didiami
terutama oleh orang-orang puritan yang menganut prinsip-prinsip
theologis yang ketat. Sekolah-sekolah di New England menurut sejarawan
tujuan utama dari sekolah-sekolah tersebut adalah mengajarkan anak-anak
untuk membaca kitab suci dan berbagai urusan sipil. Membaca adalah
subjek yang paling penting diikuti oleh menulis dan mengeja. Sejak
zaman colonial keterampilan membaca terkait bahasa telah diajarkan dan
menjadi dasar bagi pendidikan di amerika dan kurikulum sekolah dasar.
b) The national period 1776-1850
Misi pendidikan baru yang muncul pada periode Revolusi berlanjut
sampai awal periode nasional. Banyak pemimpin mulai menghubungkan
sekolah negeri dengan ide pemerintah yang populer dan kebebasan politik.
Penekanan pada kehidupan, kebebasan, dan kesamaan ditonjolkan dalam
banyak dokumen. Dengan datangnya abad ke 19, kekuatan sekuler
menyebabkan menurunnya pengaruh agama di sekolah dasar dan
menengah. Di anatara kekuatan sekuler ini adalah perkembangan
demokrasi, pemerintah federal, ide kebebasan beragama, dan penemuan
baru dalam ilmu-ilmu alam.Di antara para ahli pada periode ini adalah Dr.
5

Benjamin Rush, Thomas Jefferson, Noah Webster, dan William Holmes


McGuffey. Rush mengatakan bahwa penekanan pada hal-hal yang klasik
mengarah pada prasangka massa terhadap institusi pembelajaran.
Menurutnya sains dalah instrumen utama kemajuan sosial. Ia
merencanakan pendidikan untuk Pensilvania dan Republik baru sebagai
berikut: sekolah dasar gratis untuk kota kecil yang terdiri atas 100
keluarga atau lebih, akademi gratis pada level county (kabupaten), dan
universitas dan perguruan tinggi gratis untuk level negara bagian.
Kurikulum Rush menekankan pada membaca, menulis, aritmatika di SD;
bahasa Inggris, bahasa Jerman, seni dan sains khusus di sekolah
menengah dan perguruan tinggi; tatakrama dan prinsip moral dari awal
sampai akhir sekuens pendidikan.
Keyakinan pada masyarakat agraris dan ketidakpercayaan pada
proletar merupakan ide dasar demokrasi Thomas Jeferson. Ia
mengusulkan rencana penyediaan kesempatan pendidikan gratis bagi
semua masyarakat. Jefferson berencana membagi Virginia menjadi
beberapa distrik yang masing-masingnya memiliki sekolah dasar
(elementary school) gratis yang mengajarkan membaca, menulis,
aritmatika dan sejarah. Ia juga berencana menyediakan 20 sekolah rakyat
(grammar school) pada level kedua dengan beasiswa. Setelah tamat
sekolah rakyat, separuh penerima beasiswa akan diangkat menjadi guru
sekolah distrik atau SD, dan separuh yang berprestasi melanjutkan ke
William & Mary College. Rencana Jefferson ini mempromosikan ide
sekolah sebagai penyeleksi orang-orang pintar yang akan melanjutkan
pendidikan sekaligus ide tentang kesamaan kesempatan pendidikan bagi
yang kurang mampu secara ekonomis. Baik rencana Rush maupun
Jefferson tidak menjadi kenyataan (Ornstein & Hunkins, 1988:56--57).
Berbeda dari negara-negara lain yang berjuang mencari identitas,
Amerika Serikat (AS) tidak memiliki satu identitas budaya dan literatur
nasional. Tahun 1789, ketika Konstitusi diberlakukan, Webster
mengatakan bahwa AS harus memiliki sistem bahasa dan
6

pemerintahannya sendiri. Menyadari bahwa rasa identitas bangsa


diperoleh melalui bahasa dan sastra nasional, Webster merencanakan
menata ulang bahasa Inggris yang digunakan di AS. Dia langsung
menghubungkan bahasa dengan pendidikan yang terorganisir. Karena
kurikulum sekolah yang diAmerikakan ini akan dibentuk oleh buku yang
akan dibaca siswa, Webster banyak menulis buku tentang ejaan dan
membaca. McGuffey juga berbicara tentang nasionalisme budaya
Amerika ini. Dia menggabungkan kepercayaan Kristen dengan kekuatan
penduduk pedesaan Amerika seperti rasa patriotisme, heroisme, kerja
keras, kerajinan, dan kehidupan yang keras. Penekanannya adalah pada
moral, agama, kapitalisik, dan pro-Amerika. Melalui bukunya Readers, ia
membukakan jalan untuk sistem penjenjangan pendidikan (Ornstein &
Hunkins, 1988:58).
c) The rise of universal education 1820-1900
Selama awal abad ke 19 Amerika berkembang ke barat. Kehidupan di
perbatasan baru ini memperdalam keyakinan bangsa Amerika tentang
orang-orang awam yang membangun bangsa mereka. Mereka percaya
bahwa semua orang memiliki peran penting dan untuk bertahan hidup
setiap orang harus memiliki pekerjaan. Keyakinan ini mendorong mereka
untuk mendirikan sekolah. Jenis sekolah yang berkembang saat itu adalah
sekolah monitor, sekolah bersama¸ sekolah lanjutan, akademi, dan sekolah
menengah (Ornstein & Hunkins, 1988:62 -68).
Sekolah monitor adalah temuan bangsa Eropa, berdasarkan pada
model pendidikan Joseph Lancaster dan berkembang cepat di pusat-pusat
perkotan Amerika. Daya tarik utamanya adalah ia murah. Siswa yang
pintar digunakan jadi instruktur bagi teman-temannya setelah dia
mengikuti pelajaran dengan guru. Pembelajaran dilakukan sangat
terstruktur dan didasarkan pada penghapalan dan latihan 3R. Guru lebih
banyak sebagai inspektur dan supervisor. Sekolah monitor ini
mempromosikan pendidikan massa tetapi sistemnya dianggap terlalu
7

mekanik dan dikritik arena menggunakn siswa sebagai guru temannya.


Menjelang pertengahan abad ke 19 populeritasnya makin berkurang.
Sekolah bersama untuk tingkat SD didirikan tahun 1826 di
Massachusetts dan diikuti kemudian oleh Connecticut dengan fokus tetap
pada 3R. Di Inggris Baru, legislator mendorong berdirinya sekolah distrik
dan memilih dewan sekolah serta membuat hukum yang mengatur
sekolah. Tradisi yang dibangun di seputar sekolah bersama – ide sekolah
lingkungan, kontrol lokal terhadap sekolah, dan dukungan pemerintah
terhadap sekolah -- mengambil tempat yang mantap dalam hati dan
pikiran orang-orang Amerika. Di sekolah bersama tidak ada kesepakatan
tentang kurikulum. Sekolah menengah Amerika didirikan atas dasar
prinsip yang digunakan oleh sekolah bersama ini, yaitu dikontrol secara
lokal dan didukung dengan pajak.
Pada awal abad ke 19 akademi mulai menggantikan sekolah rakyat
berbahasa Latin dan pada pertengahan abad ke 19 menjadi dominan. Salah
satu tujuan utama akademi adalah pembentukan matapelajaran yang
memiliki nilai lebih dari sekedar persiapan untuk perguruan tinggi,
khususnya matapelajaran yang berguna dalam mempersiapkan generasi
muda untuk menghadapi kondisi masyarakat yang selalu berubah.
Walaupun beberapa sekolah menengah telah ada pada pertengahan
awal abad ke 19, sekolah menengah baru menjadi institusi utama di
Amerika sejak tahun 1874. Siswa diizinkan masuk sekolah swasta tetapi
negara berhak menentukan standar minimum untuk semuanya. Sekolah
menengah tersebut menekankan program persiapan memasuki perguruan
tinggi, tetapi juga memberikan pendidikan lengkap bagi siswa yang tidak
akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Kurikulumnya lebih beragam
daripada akademi.
d) The tradisional period 1993-1918
Dari periode kolonial sampai kedatangan abad ke 20, kurikulum
tradisional yang menekankan kajian klasik untuk persiapan ke perguruan
tinggi mendominasi sekolah dasar dan menengah. Sejalan dengan kajian
8

klasik ini, semakin banyak matapelajaran ditambahkan ke dalam


kurikulum. Pada tahun 1893 sampai 1895, Asosiasi Pendidikan Nasional
membentuk tiga komite: Komite 15 Pendidikan Dasar, Komite 10 Kajian
Sekolah Menengah, dan Komite untuk Persiapan Masuk Perguruan
Tinggi. Ketiganya bertugas menentukan kurikulum sekolah. Komite 15
banyak dipengaruhi oleh pikiran Charles Elliot tentang kebutuhan akan
reformasi pendidikan. Pada umumnya komite ini menolak ide munculnya
matapelajaran baru dan prinsip pedagogi yang mencirikan gerakan
reformasi pionir Eropa sejak awal tahun 1800an. Komite 10 adalah yang
paling berpengaruh. Mereka memilih 9 matakuliah akademi yang menjadi
acuan penyusunan kurikulum sekolah menengah, yaitu: bahasa Latin,
bahasa Yunani, bahasaInggris, bahasa-bahasa moderen lain, Matematik
(aljabar, geometri, trigonometri, dan aljabar lanjut), ilmu fisik (fisika,
astronomi, dan kimia), sejarah alam dan ilmu biologi (biologi, botani,
zoologi, dan fisiologi), ilmu-ilmu sosial (sejarah, pemerintahan sipil,
ekonomi politik), dan geografi, geologi, dan meteorologi.
Komite untuk Persiapan Masuk Perguruan Tinggi merekomendasikan
agar memperkuat aspek persiapan masuk perguruan tinggi melalui
kurikulum sekolah menengah (Ornstein & Hunkins, 1988: 68 - 71). Secara
bertahap, sekolah didorong untuk melakukan perubahan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Tekanan yang meningkat
terhadap kurikulum tradisional makin nyata pada peralihan abad 19.
Dipercaya bahwa kajian klasik tidak memiliki nilai mental atau disipliner
lebih besar daripada matapelajaran lain. Salah seorang yang menolak
kurikulum tradisional sekolah menengah dan menawarkan kurikulum
moderen untuk masyarakat kontemporer adalah Abrahan Flexner.
Kurikulumnya terdiri atas sains, industri, kewarganegaraan, dan estetika.
Pada tahun Flexner mempublikasikan laporan sekolah moderennya, John
Dewey menerbitkan Democracy and Education. Dewey berpendapat
bahwa mata-matapelajaran tidak dapat ditempatkan pada hirarki nilai dan
matapelajaran yang lebih penting adalah sains. Tahun 1918 Komisi NEA
9

tentang Reorganisasi Pendidikan Menengah mempublikasikan buku


Cardinal Principles of Secondary Education yang menekankan
pengembangan anak secara utuh (Ornstein & Hunkins, 1988: 71 - 72).
e) The birt of the field of curriculum 1918-1949
Awal abad ke 20 adalah period bergejolaknya pendidikan.
Kurikulum sudah dipandang sebagai ilmu, dengan prinsip dan
metodologi, tidak hanya sebagai muatan atau matapelajaran. Para ahli
yang dikenal pada masa ini adalah Franklin Bobbitt dan Warren
Charters yang dipengaruhi oleh ide efisiensi, Harold Rugg dan Caswell,
serta Tyler. Ide efisiensi mendorong pembuatan kurikulum yang lebih
ilmiah, yang mengarahkan proses belajar mengajar yang lebih
mendukung prilaku nyata melalui aktivitas merespon dan pengalaman
belajar. Buku Bobbitt The Curriculum dianggap sebagai buku pertama
yang betul-betul membahas kurikulum sebagai suatu sains. Selam
periode ini, metode Bobbitt dianggap canggih. Panduannya untuk
menyeleksi tujuan adalah: (1) membuang tujuan yang tidak praktis atau
tidak dapat dicapai melalui kehiupan normal, (2) menekankan tujuan
yang penting untuk kesuksesan atau hidup masa tua, (3) menghindari
tujuan yang berlawanan dengan komunitas, (4) melibatkan komunitas
dalam memilih tujuan, (5) membedakan antara tujuan untuk semua
anak dengan tujuan untuk sebagian anak, (6) mengurutkan tujuan
sedemikian rupa untuk menentukan seberapa jauh yang harus dicapai
siswa tiap tahun menentukan kriteria pencapaian. Charters mendukung
pendekatan behavioris yang sama, yang ia sebut pendekatan ‘ilmiah’.
Ia menganggap kurikulum sebagai serangkaian tujuan yang harus
dicapai siswa melalui serangkaian pengalaman belajar (Ornstein &
Hunkins, 1988: 73 - 74).
Tahun 1927, the National Society for the Study of Education
(NSSE) menerbitkan buku tahunan mereka yang ke 26. Buku tahunan
ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan kritikan terhadap
pendidikan tradisional dan penekanannya pada matapelajaran, drill,
10

hapalan, dan disiplin mental. Bagian kedua menjadi teks panduan yang
menjelaskan hakikat pembuatan kurikulum. Buku tahunan ini
mengidentifikasi sembilan ciri-ciri kurikulum yang ideal (lihat Ornstein
& Hunkins, 1988: 76).
Selama akhir tahun 1920an, 1930an, dan awal 1940an sejumlah
buku penting diterbitkan tentang prinsip dan proses kurikulum dan
tentang teknik untuk membantu guru membuat kurikulum. Harold
Rugg, ketua buku tahunan NSEE, yang mengikuti keyakinan Bobbitt
dan Charters tentang ‘ilmu kurikulum’ mengusulkan agar kurikulum
direncanakan oleh guru di awal dan menolak kurikulum yang
didasarkan pada kebutuhan atau minat spontan anak. Caswell berusaha
membantu guru dengan menyediakan prosedur pembuatan kurikulum
(Ornstein & Hunkins, 1988: 76 - 77).
Pembicaraan tentang kurikulum sebagai bidang kajian tidaklah
lengkap tanpa membicarakan Tyler. Dalam bukunya setebal 128
halaman yang berjudul Basic Principles of Curriculum and Instruction
Tyler mengajukan 4 pertanyaan pokok yang harus dijawab oleh
seseorang yang merencanakan atau menulis kurikulum: (1) tujuan
pendidikan apa yang akan dicapai sekolah? (2) pengalaman pendidikan
apa yang dapat diberikan untuk mencapai tujuan tersebut? (3)
Bagaimana pengalaman pendidikan ini diorganisir secara efektif? dan
(4) Bagaimana kita bisa menentukan bahwa tujuan ini sedang dicapai?
(Ornstein & Hunkins, 1988: 78). Walaupun dikritik, model Tyler ini
menyimpulkan prinsip-prinsip terbaik pembuatan kurikulum selama
paruh pertama abad ke 20.
3. Landasan Spikologis
Psikologi berkenaan bagaimana orang belajar dan memberikan dasar
untuk memahami proses belajar-mengajar. Pertanyaan lain yang menarik ahli
psikologi dan ahli kurikulum adalah: Bagaimana seharusnya kurikulum
disusun untuk meningkatkan belajar?
11

Menurut John Dewey, psikologi merupakan dasar untuk memahami


bagaimana individu pembelajar berinteraksi dengan objek dan orang dalam
lingkungannya. Proses tersebut berlangsung selama hidup, dan kualitas
interaksi menentukan banyak dan jenis belajar. Ralph Tyler menganggap
psikologi sebagai saringan untuk membantu menentukan apa saja tujuan kita
dan bagaimana belajar kita terjadi. Yang lebih baru, Jerome Bruner
menghubungkan moda-moda berpikir yang mendasari metode yang
digunakan dalam berbagai bidang ilmu yang terdiri dari disiplin-disiplin ilmu
khusus. Tujuan memanfaatkan metode ini ialah untuk memformulasi konsep,
prinsip, dan generalisasi yang membentuk struktur disiplin ilmu. Singkatnya,
psikologi adalah unsur yang menyatukan proses belajar; ia membentuk dasar
untuk metode, materi, dan aktivitas belajar, dan ia juga berfungsi sebagai
daya pendorong untuk membuat keputusan kurikulum (Ornstein & Hunkins,
1988).
4. Landasan Sosial
Landasan sosial budaya merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari
sosiologi dan antropologi yang dijadikan titik tolak dalam mengembangkan
kurikulum. Karakteristik sosial budaya dimana peserta didik hidup
berimplikasi pada program pendidikan yang akan dikembangkan.
Kebudayaan bukan hanya berupa material belaka, melainkan juga berupa
sikap mental, cara berpikir dan kebiasaan hidup. Kebudayaan mencakup
berbagai dimensi, diantaranya keluarga, pendidikan, politik, ekonomi, sosial,
teknologi, dan rekreasi. Semua dimensi tersebut hendaknya dipertimbangkan
dalam proses pengembangan kurikulum. Apabila dipandang dari
sosiologinya, pendidikan adalah suatu proses mempersiapkan individu agar
menjadi warga masyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses
sosialisasi, dan berdasarkan pandangan antrofologi, pendidikan adalah
“enkulturasi” atau pembudayaan.

Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi


yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan
kurikulum. Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada
12

landasan sosiologis ? anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan


pendidikan baik informal, formal, maupun norformal dalam lingkungan
masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan
bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala
karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan
pendidikan.
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan peserta didik
hidup dalam kehidupan masyarakat. Asumsinya adalah peserta didik berasal
dari masyarakat, dididik oleh masyarakat dan harus kembali kemasyarakat.
Ketika peserta didik kembali kemasyarakat tentu ia harus dibekali dengan
sejumlah kompetensi, sehingga ia dapat berbakti dan berguna bagi
masyarakat. Kompetensi yang dimaksut adalah sejumlah pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diperoleh peserta didik melalui
berbagai kegiatan dan pengalaman belajar di sekolah. Kegiatan dan
pengalaman belajar di sekolah. Kegiatan dan pengalaman belajar tersebut
diorganisasi dalam pendekatan dan format tertentu yang disebut dengan
kurikulum. Berdasarkan alur pemikiran ini, maka sangat logis jika
pengembangan kurikulum berdasarkan pada kebutuhan masyarakat. Dengan
demikian, sangat wajar apabila pengembangan kurikulum harus
memperhatikan kebutuhan masyarakat dan harus di tunjang oleh masyarakat.
13

BAB III
SIMPULAN
A. Kesimpulan
Kurikulum merupakan suatu rancangan sekaligus kendaraan pendidikan
mempunyai peran yang sangat signifikan dan berkedudukan sentral dalam
seluruh kgiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil
pendidikan. Kurikulum tidak serta merta disusun namun ada landasan-landasan
nya diantaranya menurut Alan C Ornstain yaitu : 1) Philosophy Foundation
yang merupakan asumsi-asumsi atau rumusan yang didapatkan dari hasil
berpikir secra mendalam, analitis, logis, dan sistematis (filosofis) dalam
merencanakan, melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum dalam
bentuk program (tertulis), maupun kurikulum dalam bentuk pelaksanaan
(operasional) di sekolah.: 2) History Foundation yang merupakan historis dari
kurikulum yang dapat memberikan panduan bagi pekerja kurikulum pada masa
sekarang.: 3) Psichology Foundation yang berkenaan bagaimana orang belajar
dan memberikan dasar untuk memahami proses belajar-mengajar. Landasan
psikologi akan membantu pekerja kurikulum bagaimana seharusnya kurikulum
disusun untuk meningkatkan belajar.: 4) Social Foundation merupakan asumsi-
asumsi yang bersumber dari sosiologi dan antropologi yang dijadikan titik tolak
dalam mengembangkan kurikulum. Karakteristik sosial budaya dimana peserta
didik hidup berimplikasi pada program pendidikan yang akan dikembangkan.
14

DAFTAR PUSTAKA
Sukmadinata, Nana Syaodih,( 2013) Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sulistio(2018) Landasan Historis dan Sosiologis Pengembangan Kurikulum.
http://mysulistio.blogspot.com, diakses pada 5 September 2019
Allan C. Ornstein dan Francis P. Hunkins. 1988. Curriculum: Foundation,
Principles, And Issues, Fourth Edition. Boston USA: Pearson Education
Zaiz, S. Robert.(1976).curriculum, principles foundatios. New York: Harper & Row,
Publishers.

Anda mungkin juga menyukai