Anda di halaman 1dari 20

LANDASAN FILOSOFIS DAN TEOLOGIS

DALAM KURIKULUM PAI


Diajukan ungtuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah “Kajian dan Pengembangan Kurikulum PAI”

Dosen Pengampu:
Dr. Asep Nursobah, M . Ag
Dr. Dadan Nurul Haq, M. Ag

Oleh: Kelompok 2

Ahmad Taopik 2200040034


Akhmad Fahrul SK 2200040036
Auliya Fazrin Rahman 2200040041
Diki Mulyana 2200040047

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
2021
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek
kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap
perkembangan manusia, perkembangan seluruh aspek kepribadian manusia. Kalau
bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya berperan
menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berkaitan
langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan "menentukan" model manusia
yang akan dihasilkannya.
Kurikulum Pendidikan Agama Islam sebagai rancangan pendidikan
mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan,
menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan Agama Islam. Mengingat
pentingnya peranan kurikulum PAI dalam perkembangan kehidupan manusia,
penyusunan kurikulum PAI tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan
kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-
hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kalau landasan pembuatan sebuah
gedung tidak kokoh yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalau landasan
pendidikan, khususnya kurikulum PAI yang lemah, yang akan "ambruk" adalah
manusianya.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan kurikulum PAI, yaitu di
antaranya adalah landasan filosofis, landasan teologis, landasan psikologis, landasan
sosiokultural dan landasan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada bab
ini akan dibahas landasan filosofis dan landasan teologis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan berbagai permasalahn
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan landasan kurikulum PAI?
2. Bagaimana landasan filosofis dalam kurikulum PAI?
3. Bagaimana landasan teologis dalam kurikulum PAI?
4. Bagaimana mempelajari PAI secara filosofis dan teologis!

C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut, tujuan kajian ini untuk:
1. Menganalisis maksud landasan kurikulum PAI
2. Menganalisis landasan filosofis dalam kurikulum PAI
3. Menganalisis landasan teologis dalam kurikulum PAI
4. Bagaimana mempelajari PAI secara filosofis dan teologis!
PEMBAHASAN

A. Pengertian Landasan Kurikulum PAI


Secara bahasa landasan adalah tumpuan, dasar, atau pijakan
(https://kbbi.web.id/landasan). Menurut (Hornby, 2012: 16) Landasan adalah suatu
gagasan atau kepercayaan yang menjadi sandaran, sesuatu prinsip yang mendasari.
Contohnya: seperti landasan kepercayaan agama, dasar atau titik tolak. Sedangkan
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU Sisdiknas
2003 Bab 1 Pasal 1).
Pendidikan agama Islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga
mengimani, ajaran agama islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati
penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar ummat beragama
hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (kurikulum PAI, 3: 2002). Menurut
Zakiyah Dradjat pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan
mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara
menyeluruh. Lalu menghayati tujuan yang apada akhirnya dapat mengamalkan serta
menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.
Dengan demikian yang dimaksud dengan landasan kurikulum PAI adalah
dasar atau pijakan perencanaan dan pengaturan tujuan, isi, dan bahan pelajaran
meliputi cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan PAI.

B. Landasan Pengembangan Kurikulum PAI


Tujuan pendidikan islam memiliki perbedaan dengan tujuan pendidikan lain,
misalnya tujuan pendidikan menurut paham pragmatisme, yang menitik
beratkanpemanfaatan hidup manusia didunia. Yang menjadi standar ukurannya sangat
relatif, yang bergantung pada kebudayaan atau peradaban manusia. Arifin dalam
bukunya “Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat” menyatakan bahwa
rumusan tujuan pendidikan islam merealisasikan manusia muslim yang beriman,
bertakwa, danberilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada sang
khaliknya dengansikap dan kepribadian bulat menyerahkan diri kepada-Nya dalam
segala aspek kehidupannya dalam rangka mencari keridhoannya. Rumusan tujuan
pendidikan islam sangatlah relefan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional.
Rumusan tujuan pendidikan nasional, ialah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman,
bertakwa kapada tuhanyang maha esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, sehatjasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri dan
memiliki rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan tersebut tetap berorientasi pada tujuan penyebutan nasional yang
terdapat dalam UU RI. No. 20 tahun 2003. selanjutnya tujuan umum PAI diatas
dijabarkan pada tujuan masing-masing lembaga pendidikan sesuai dengan jenjang
pendidikan yang ada. Selain itu, pendidikan agama islam sebagai sebuah program
pembelajaran yang diarahkan untuk:
1. Menjaga akidah dan ketakwaan peserta didik,
2. Menjadi landasan untuk lebih rajin mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama,
3. Mendorong peserta didik unutik lebih kritis, kreatif, dan inovatif,
4. Menjadi landasan prilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Dengan demikian bukan hanya mengajarkan pengetahuan secara teori semata
tetapi juga untuk dipraktekkan atau diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
(membangun etika sosial). Sedangkan Sayid Sabiq menyatakan bahwa tujuan
pendidikan agama Islam adalah agar jiwa seseorang dapat terdidik secara sempurna,
agar seseorang dapat menunaikan kewajiban-kewajiban karena Allah SWT, dapat
berusaha untuk kepentingan keluarga, kepentingan masyarakat, serta dapat berkata
jujur, berpihak yang benar, serta berkeinginan untuk mengembangkan benih-benih
kebahagiaan pada manusia. Ruang lingkup pendidikan agama Islam meliputi,
keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara lain:
a. Hubungan manusia dengan Allah swt.
b. Hubungan manusia dengan sesama manusia
c. Hubungan manusia dengan diri sendiri
d. Hubungan manusia dengan makhluk lain dengan lingkungannya.
Adapun ruang lingkup bahan pelajaran pendidikan agama Islam meliputi
unsur- unsur pokok sebagai berikut: keimanan, ibadah, al-qur’an, muamalah, syari’ah
dan tarikh. Materi atau bahan atau isi kurikulum yang akan dikembangkan hendaknya
menunjukkan pada kepentingan peserta didik dan menyelami kehidupan. Adapun
pokok-pokok isi PAI meliputi:
a) membaca Al-Qur’an
b) keimanan (rukun iman)
c) ibadah (rukun Islam)
d) ahlak (adab)
e) dasar ekonomi
f) jasamani dan kesehatan dan
g) membaca dan menulis serta tarikh Islam.
Dalam pengembangan pokok-pokok isi dan materi kurikulum pendidikan
agama Islam mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan pendidikan lainnya, ciri-ciri
kurikulum PAI yang dimaksud ialah:
a. Kurikulum PAI harus menonjol pada mata pelajaran agama (ibadah, muamalah,
syari’ah), agama harus diambil dalam Al-Qur’an, hadits serta contoh-contoh
terdahulu yang salah.
b. Kurikulum PAI akan memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi
siswa, yakni jasmani, akal dan rohani.
c. Kurikulum PAI memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat,
dunia dan akhirat, jasmani dan rahani serta akal manusia.
d. Kurikulum PAI memperhatikan juga seni dan budaya yang terdapat di tengah
masyarakat.14
Dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam pada sekolah tidak terlepas dari
bagaimana penggunaan strategi pendekatan pembelajaran PAI. Pendekatan-
pendekatan yang dipakai antara lain:
1. Pendekatan pengalaman, yaitu memberikan pengalaman keagamaan kepada siswa
penanaman nilai-nilai keagamaan.
2. Pendekatan pembiasaan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk senantiasa
mengamalkan ajaran agamanya.
3. Pendekatan emosional, untuk menggugah penasaran dan emosi siswa dalam
meyakini, memahami dan menerima kebenaran ajaran Islam.
4. Pendekatan fungsional, usah untuk menyajikan ajaran agama Islam dengan
menekankan segi kemanfaatannya bagi siswa dalam kehidupan Sehari-hari dengan
tingkat perkembangannya.
Metodologi yang dikembangkan dalam kurikulum PAI adalah dengan melakukan
pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang
tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani maupun rohani, baik kehidupan
secara fisik maupun kehidupan secara mental.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan kurikulum PAI, yaitu di
antaranya adalah landasan filosofis, landasan teologis, landasan psikologis, landasan
sosiokultural dan landasan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada bab
ini akan dibahas landasan filosofis dan landasan teologis.

1. Landasan Filosofis Kurikulum PAI


Menurut Muhammad Ali (1989), landasan filosofis memberikan arah dan kompas
tujuan pendidikan Islam, sehingga susunan kurikulum mengandung suatu kebenaran,
terutama kebenaran di bidang nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini sebagai
suatu kebenaran. Dasar filosofis mengandung sistem nilai, baik yang berkaitan dengan
nilai dan makna hidup dan kehidupan, masalah kehidupan, norma norma yang muncul
dari individu, sekelompok masyarakat, maupun suatu bangsa yang dilatar belakangi
oleh pengaruh agama, adat istiadat, dan konsep individu tentang pendidikan.1 Sehingga,
seorang pengembang kurikulum dalam mengambil keputusan mengenai kurikulum
harus memperhatikan falsafah, baik falsafah bangsa, falsafah lembaga pendidikan dan
falsafah pendidik.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di Indonesia berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang secara langsung maupun tidak, dapat dijadikan pegangan
dalam melaksanaan pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan formal. Adapun
dasar yuridis pelaksanaan pendidikan tersebut adalah dasar ideal yakni falsafah negara
yaitu Pancasila, dengan sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa", mengandung
pengertian bahwa bangsa Indonesia memilki kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan untuk merealisasikan hal tersebut maka diperlukan pendidikan
agam, karena tanpa pelaksanaan pendidikan tersebut ketaqwaan kepada Tuhan sulit
untuk terwujud.
Undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) No.20 Tahun 2003 pada
bab 1 tentang ketentuan umum menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

1
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam (Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global),
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2010), hal. 238
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.2
Sedangkan pendidikan nasional dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem
pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Berkenaan dengan
pendidikan nasional, sepertinya pendapat Ki Hajar Dewantara (ing ngarso sung tulodo,
ing madyo mangun karso, tut wuri handayani), sebagaimana yang disunting oleh
Abuddin Nata, sudah bisa mewakili. Ia berpendapat bahwa pendidikan nasional adalah
pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan
prikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya agar dapat
bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di muka bumi.3
Sementara dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa
tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, tujuan
pendidikan hendaknya disesuaikan dengan kepentingan bangsa Indonesia. Tujuan
pendidikan tersebut dirumuskan dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Salah satu bab diterangkan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.4
Dengan demikian, yang dimaksud dengan tujuan pendidikan nasional dalam
sistim pendidikan nasional (sisdiknas) adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis 19 serta bertanggungjawab. Dari pengertian pendidikan nasional dan tujuan
2
Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003) (Cet. V;
Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 3.
3
Lihat, Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 130.
4
Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003), h. 7.
pendidikan nasional, sangat kental nuansa nilai-nilai agamanya. Pada beberapa bab
lainnya juga sangat tampak bahwa kata agama dan nilai-nilai agama kerap
mengikutinya
Dari rumusan di atas menunjukkan bahwa agama menduduki posisi yang sangat
penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Hal yang wajar jika pendidikan nasional berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia
adalah modal dasar yang menjadi penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia,
hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan
demikian terjadilah keserasian dan keseimbangan dalam hidup manusia.
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia Indonesia dan
menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan menjadi manusia yang
paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah agama menjadi bagian terpenting dari
pendidikan nasional yang berkenaan dengan aspek pembinaan sikap, kepribadian, moral
dan nilai-nilai ahlak al-karimah.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Mastuhu dalam Abuddin Nata,
mengungkapkan bahwa pendidikan agama Islam di Indonesia harus benar benar mampu
menempatkan dirinya sebagai suplemen dan komplemen bagi pendidikan nasional,
sehingga sistem pendidikan nasional mampu membawa cita-cita nasional, yakni bangsa
Indonesia yang modern dengan tetap berwajah iman dan takwa5
Implikasi dari pemaknaan pendidikan agama Islam adalah reposisi pendidikan
agama Islam sistem pendi nasional Mengenai reposisi pendidikan agama Islam dalam
pendidikan nasional, Ada tiga alasan, pertama, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam
(Tauhid); kedua, pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang
berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga,
pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia)
menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti
luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab sebagai
individu dan anggota masyarakat.
Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan agama Islam lebih universal
karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam konteks
5
Lihat, Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam, h. 291. 112
nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan nasional. Karena
posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan pendidikan hanya
diposisikan sebagai suplemen. Mengingat bahwa secara filosofis (ontologis dan
aksiologis) pendidikan agama Islam relevan dan merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan nasional, bahkan secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset
nasional, maka posisi pendidikan Islam sebagai subsistem dari pendidikan nasional
bukan sekadar berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial.
Pendidikan agama Islam merupakan komponen yang sangat menentukan
perjalanan pendidikan nasional. Terlepas dari nilai-nilai agama yang menjadi dasar dari
pendidikan nasional, pendidikan agama sempat menjadi masalah ketika masuk dalam
sistem pendidikan nasional. Persoalan yang diperdebatkan adalah posisi pendidikan
agama tertentu dalam lembaga pendidikan agama tertentu Misalnya, pada lembaga
pendidikan Islam terdapat siswa yang bukan muslim, mungkinkah bisa diajarkan
pendidikan agama lain pada lembaga tersebut dan atau sebaliknya.
Persoalan ini sempat menyeruak ketika terjadi pengesahan undang No undang RI
No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Meski demikian, perdebatan yang menimbulkan
pro-kontra tersebut dapat terselesaikan dengan cara yang lebih demokratis, realistik dan
sesuai dengan kebebasan serta upaya menjunjung tinggi hak asasi manusia Dengan
demikian, Undang-undang RI No. 20 terintegrasinya No. 20 Tahun 2003 merupakan
wadah formal pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional Dengan
adanya wadah tersebut, pendidikan agama Islam mendapatkan peluang serta
kesempatan untuk terus dikembangkan
Dengan demikian perlu kiranya dilakukan kerjasama yang sinergis antara
Kemenag dan Depdiknas serta kementerian lain untuk secara serius mengembangkan
pendidikan agama Islam Sebab, apapun adanya, pendidikan agama Islam merupakan
bagian integral dari sistem pendidikan nasional Artinya jika saat ini masih dipahami
posisi pendidikan agama Islam sebagai subsistem dalam konteks pendidikan nasional,
sekadar berfungsi sebagai pelengkap (suplemen) maka hendaklah terjadi pergeseran
"peran" dari sekadar suplemen menjadi bagian yang juga turut berperan dan
menentukan (substansial). Hanya saja, jika masih tetap dalam posisi yang sama maka
sudah selayaknya Kementerian Agama memberikan hak pengaturan pendidikan kepada
Depdiknas, sehingga untuk masa mendatang. pengaturan masalah pendidikan berada
pada satu unit Kementerian saja.
2. Landasan Teologis Kurikulum PAI
Dasar teologis, adalah dasar yang ditetapkan nilai-nilai ilahi yang terdapat pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan nilai yang kebenarannya mutlak dan
universal. Prinsip dalam pendidikan Islam tentang penyusunan kurikulum menghendaki
keterkaitannya dengan sumber pokok agama yaitu al-Qur’an dan Hadis. Prinsip yang
ditetapkan Allah dan diperintahkan Rasulullah berikut ini dapat dijadikan pegangan
dasar kurikulum tersebut:
1) Carilah segala apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu mengenai kehidupan
di akhirat dan janganlah kamu melupakan nasib hidupmu di dunia dan berbuatlah
kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (Al-Qasas: 77)
2) Sabda Rasulullah: Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaklah ia
menguasai ilmunya dan barang siapa menghendaki akhirat (kebahagiaan hidup di akhirat)
hendaklah ia menguasai ilmunya, dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka
hendaklah ia menguasai ilmu keduanya. (Hadist Nabi).
Dari dasar-dasar kurikulum tersebut diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan
formal yang terdapat pada kurikulum pendidikan agama Islam. Merujuk kurikulum
pendidikan formal yang terdapat di sekolah dan madrasah di Indonesia, maka batasan
atau konsep kurikulum mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional. Dasar kurikulum secara umum dapat ditarik secara khusus ke
dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam yang tentunya al-Qur’an sebagai dasar
pokoknya. Hadis Nabi SAW merupakan sumber kedua ajaran Islam sesudah kitab suci
al-Qur’an.
Semua ayat al-Qur’an diterima oleh para sahabat dari Rasulullah SAW secara
mutawatir, ditulis dan dikumpulkan sejak zaman Nabi SAW masih hidup baik fi as-
suthur (dalam tulisan) maupun fi ash-shudur (melalui hafalan), serta dibukukan secara
resmi sejak zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq RA (W.13H), karena itu al-Qur’an bersifat
Qath’i al-subut. Sedangkan Hadis Nabi SAW sebagian besarnya tidak diriwayatkan
secara mutawatir. Pembukuannya secara resmi baru dilakukan pada zaman Khalifah
‘Umar bin ‘Abdul Aziz al-Umawiy (99/717-101/720), oleh karena itu Hadis bersifat
dhann al-wurud. Tentunya untuk mengetahui orisinalitas dan kualitas sebuah Hadis,
membutuhkan ilmu Hadis, baik ilmu Hadis Riwayah maupun Ilmu Hadis Dirayah.
Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, merupakan
sarana fungsionalis untuk menggali konsep kurikulum pendidikan Islam.Kurikulum
merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam sistem pendidikan,
karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan sekaligus sebagai pedoman
dalam pelaksanaan pendidikan pada semua jenjang tingkat pendidikan.Kurikulum yang
baik dan relevan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat
integral dan komprehensif serta menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber
utama dalam penyusunannya.
Dalam mengembangkan kurikulum selain berlandaskan pada al-Qurán dan
Hadits juga berlandaskan pada Pancasila terutama sila ke satu “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Di Indonesia menyatakan bahwa kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing individu.
Dalam kehidupan, dikembangkan sikap saling menghormati dan bekerjasama antara
pemeluk-pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga dapat terbina kehidupan yang rukun dan damai.

3. Mempelajari PAI secara filosofis dan teologis


Secara umum ada 5 (lima) tipologi pemikiran (filsafat) Islam dan pada masing-
masing tipologi terdapat titik temu dalam aspek rujuka utama mereka kepada fakta-
fakta informasi pengetahuan, serta ide-de dan nilai-nilai esensial yang tertuang dalam
kandungan Al-Qur'an dan Hadits.
Pertama, Tipologi Peremialis-esensials salafi lebih menonjolkan wawasan
kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya
melestarikarikan dan mempertahankan nilai-nila (ilahiyah dan insaniyah), kebiasaan
dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat) karena mereka dipandang
sebagai masyarakat yang ideal.
Kedua, Tipologi Perenial-esensialis madzhabi lebih menonjolkan wawasan
kependidikan Islam yang tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran,
pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang sudah dianggap
relatif mapan. Pendidikan Islam berfungsi untuk melestarikan dan mempertahankannya
serta mengembangkannya melalui upaya-upaya pemberian syarh dan hasyiyah, serta
kurang ada keberanian untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahulunya
Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan
mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya tanpa
memper timbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era
kontemporer yang dihadapinya.
Ketiga, Tipologi Modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam
yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon
tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi
sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat
berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungan pada masa sekarang.
Keempat. Tipologi Perenial-sensialis kontekstual-falsifikatif mengambil jalan
tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji
falsifikasi dan mengembangkan wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras
dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial
yang ada. Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya mempertahankan dan
melestarikan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah) dan sekaligus
menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan sosial yang ada.
Kelima, Tipologi Rekonstruksi Sosial lebih menonjolkan sikap. proaktif dan
antisipatif, sehingga tugas pendidikan adalah membantu agar manusia menjadi cakap
dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan
masyarakatnya. Untuk dapat melak sanakan tugas tersebut, maka fungsi pendidikan
Islam adalah sebagai upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya
khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan Ilahi, serta
menyiapkan tenaga kerja produktif.
Di sisi lain ada empat model pemikiran keislaman, yaitu (1) model tekstualis
salafi; (2) model tradisionalis madzhabi; (3) model modernis; dan (4) model neo-
modernis.
Pertama, model Tekstualis Salafi, yaitu berupaya memahami ajaran ajaran dan
nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur'an al-Sunnah al-Sahihah dengan
melepaskan diri dari dan kurang memper timbangkan situasi konkrit dinamika
pergumulan masyarakat Muslim yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-
idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur era kenabian Muhammad Saw. Dan
para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah kitab suci Al
Qur'an dan kitab-kitab hadits, tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain.
Dengan kata lain, model yang pertama ini sangat mementingkan dalil-dalil nash ayat-
ayat Al Qur'an dan al Hadits. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa model tekstualis
salafi berusaha menjadikan nash (ayat al Qur'an dan Sunnah) dengan tanpa
menggunakan pendekatan keilmuan, dan menjadikan masyarakat salaf sebagai
parameter untuk menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas. Hal
ini menunjukkan bahwa model tekstualitas salafi lebih bersikap regresif dan
konservatif.
Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan, terdapat dua tipologi pendekatan
yang lebih dekat dengan model tekstualis salafi, yaitu perenialism dan essensialism,
terutama dilihat dari wataknya yang regresif dan konservatif
Model tekstualis salafi tersebut selain menyajikan secara manquli, yakni
memahami atau menafsirkan nash-nash tentang pendidikan dengan nash yang lain, atau
dengan menukil pendapat dari sahabat juga berusaha membangun konsep pendidikan
Islam melalui kajian tektual lughawi.
Kedua, Tradisionalis Madzhabi, yaitu berupaya memahami ajaran ajaran dan
nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah al Shahihah melalui
bantuan khazanah pemikiran Islam klasik tapi seringkali kurang begitu
mempertimbangkan situasi sosio-historis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di
dalamnya. Hasil pemikiran ulama terdahulu dianggap sudah pasti atau absolut tanpa
mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat Muslim yang diidealkan
adalah masyarakat Muslim era klasik, di mana semua persoalan keagamaan dianggap
telah dikupas habis oleh para ulama atau cendekiawan muslim terdahulu. Pola
pemikiran selalu bertumpu pada hasil Ijtihad ulama terdahulu dalam menyelesaikan
persoalan ketuhanan, kemanusiaan dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning
menjadi pokok rujukan, dan sulit untuk keluar dari madzhab yang terbentuk beberapa
abad yang lalu. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa model tradisionalis madzhabi
lebih menonjolkan wataknya yang tradisional dan madzhabi. Watak tradisonalnya
diwujudkan dalam bersikap dan cara berpikir serta bertindak selalu. berpegang teguh
pada nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun
temurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis masyarakat yang sudah
mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan
teknologi. Sedangkan watak madzhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya
untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola pola pemikiran sebelumnya
yang dianggap mapan.
Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, tipologi tersebut berusaha
membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian terhadap khazanah pemikiran
pendidikan Islam karya para ulama pada periode-periode terdahulu, baik dalam
bangunan tujuan pendidikannya, kurikulum atau program pendidikan, hubungan
pendidik dan peserta didik, metode pendidikan, maupun lingkungan pendidikan
(konteks belajar) yang dirumuskannya. Bahkan, ia juga merujuk atau mengadopsi
produk-produk pemikiran pendidikan dari para cendekiawan non Muslim terdahulu
tanpa dibarengi dengan daya kritis yang memadai.
Karena wataknya yang semacam itu, sehingga ia juga lebih dekat dengan
perennialism dan essensialism, terutama dilihat dari wataknya yang regresif dan
konservatif
Ketiga, Modernis. Yaitu berupa memahami ajaran-ajaran dan nilai nilai
mendasar yang terkandung dalam Al Qur'an dan al Sunnah al Shahihah dengan hanya
semata-semata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan kultural
yang dihadapi masyarakat Muslim kontemporer (era iptek dan modernitas pada
umumnya), tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual Muslim era
klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan, terdapat suatu tipologi yang
lebih dekat dengan model pemikiran modernis tersebut yaitu progressivism terutama
dalam hal wataknya yang menginginkan sikap bebas dan modifikatif. Sikap bebas dan
modifikatif tersebut bukan berarti kebebasan mutlak tanpa adanya keterikatan. Menjadi
modernis memang progresif dan dinamis.
Keempat, Neo-Modernis, yaitu berupaya memahami ajaran Islam dan nilai-nilai
mendasar yang terkandung dalam Al-Qur'an dan al Sunnah al-Shahihah dengan
mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta
mencermati kesulitan kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia
teknologi modern.
Implikasi terhadap Pengembangan Kurikulum
Implikasi tipologi pemikiran pendidikan Islam terhadap kurikulum mencakup:
tujuar, isi, strategi dan evaluasinya.
a. Tipologi Peremalis-Esensialis Salafi
Tujuan pendidikan diorientasikan pada upaya: (1) membantu peserta didik
dalam menguak, menemukan dan menginternaliasikan kebenaran-kebenaran masa
lalu pada masa salaf al- shalih; dan (2) menjelaskan dan menyebarkan warisan
sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi yang
telah berlaku sepanjang masa dan karena itu penting diketahui oleh semua orang.
Metode pembelajarannya dapat dilakukan melalui metode ceramah dan dialog,
diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih
diarahkan pada pembentukan karakter keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan
terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas.
Evaluasinya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostik, tes prestasi belajar
yang terstandardisasi, dan tes kompetensi berbasis ilmiah. Sedangkan peranan guru
adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa
lalu, penyebar kebenaran, dan orang (sarjana) yang ahli dalam bidangnya.
b. Tipologi Perenialis-Esensialis Madzhabi. Tipe ini menonjolkan pada wawasan
kependidikan Islam yang tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran,
pema haman atau doktrin, serta pola pemikiran sebelumnya yang sudah dianggap
mapan.
Dari karakteristik tersebut, maka tujuan pendidikannya diorientasi kan pada:
(1) membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan
kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa pasca salaf
al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; dan (2) menjelaskan dan menyebarkan
warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya yang dianggap mapan
secara turun temurun, karena penting diketahui oleh semua orang

Metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi


atau perdebatan dengan tolok ukur pandangan imam-imam madzhabny, dan
pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih di arahkan pada pembentukan
karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai
tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas.
Evaluasinya menggunakan ujian-ujian objektif yang terstandardisasi atau
ujian-ujian essay, tes diagnostik, tes prestasi belajar yang terstandardisasi, dan tes
kompetensi berbasis ilmiah. Sedangkan peranan guru adalah sebagai figur yang
memiliki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran,
dan orang (sarjana) yang ahli dalam bidangnya.
c. Tipologi Modernis
Menonjolkan wawasan Islam bebas modifikatif, progresit dan dinamis dalam
menghadapi perubahan zaman. Maka tujuan pendi dikan Islam diorientasikan pada
upaya memberikan keterampilan keterampilan dan alat-alat kepada peserta didik
yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berada
dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi dan
merespon tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, serta mampu
menyesuaikan dan melakukan penye suaian kembali dengan tuntutan perubahan
sosial dan perkembangan Iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal
(Allah).
Metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative activities atau
cooperative learning, metode project, dan/atau-scientific method (metode ilmiah),
yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan tema-tema
tersebut merumuskan hipotesis, dan melakukan penelitian di lapangan.
Evaluasinya lebih menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa
setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda antara
satu dengan lainnya. Sehingga perlu dikem bangkan kompetensinya. Sedangkan
peranan guru adalah sebagai fasilitator dan yang memimpin serta mengatur
pembelajaran.
a. Tipologi Perenial- Esensialis Kontekstual Falsifikatif
Tipe ini mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan
melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengem bangkan wawasan-
wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.

Tujuan pendidikannya lebih diorientasikan pada: (1) membantu peserta didik


dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu
pada masa salaf al shalih atau masa klasik dan pertengahan; dan (2) menjelaskan dan
menyebarkan warisan ajaran dan nilai-nilai salaf atau para pendahulunya yang dianggap
mapan dalam ujian sejarah, karena itu penting diketahui oleh semua orang. Di lain
pihak tujuan pendidikan juga untuk mem berikan keterampilan-keterampilan dan alat-
alat kepada peserta didik yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap
dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan dan kebutuhan kebutuhan
lingkungannya, serta mampu menyesuaikan dan melaku kan penyesuaian kembali
dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan Iptek dengan dilandasi oleh
kebenaran universal (Allah). Secara singkat tujuan pendidikan menurut tipologi ini
adalah melestarikan nilai-nilai llahiyah dan insaniyah sekaligus menumbuh
kembangkannya dalam konteks perkembangan Ipteks dan perubahan sosial kultural
yang ada.
Metode pembelajaran yang dikembangkan adalah cooperative activities atau
cooperative learning, contextual teaching and learning (CTL), metode project, dan/atau
scientific method (metode ilmiah).
Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi
bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda
antara satu dengan yang lain, sehingga perlu dikembangkan kemampuan
(kompetensi)nya. Sedangkan peranan guru adalah sebagai fasilitator dan yang
memimpin serta mengatur pembelajaran.
SIMPULAN

Dalam mengembangkan kurikulum PAI tentunya ada beberapa landasan yang mesti
diperhatikan landasan tersebut di antranya adalah landasan filosofis dan landasan teologis.
Landasan filosofis dalam kurikulum PAI sebagaimana yang tertuang dalam undang-
undangn SISDIKNAS tahun 2003.
Lanadasan teologis kurikulum PAI berdasarkan bahawa Ilmu agama Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan hadits, jika digali dan dikembangkan dengan sungguh-sungguh,
maka dalam Islam perkembangan ilmu pengetahuan akan maju. Al-Qur’an dan hadits sangat
mendukung kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an dan hadits menjadi pedoman inspirasi
ketika Islam mengalami puncak kejayaannya. Hal ini menjadi bukti bahwa umat Islam pernah
menjadi umat yang lebih maju daripada umat-umat lainnya.[]
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Al-Ta’wil Al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigm Penafsiran Kitab


Suci, Al-Jami’ah, Vol. 39, 2 Juli-Desember 2001.
Abdurrahman Shalih, Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut al-Qur’an
Serta Implementasinya, (Bandung: CV. Diponogoro, 1991).
Al-Faruqi, Ismail, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. Mustafa Kasim, (Jakarta: Lontar
Utama, 2000).
Asy’ari, Musa. Filsafat Islam: Sunnah Nabi Dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI,
2010).
Ashraf, SA, New Horizons in Muslim Education, (Cambridge: The Islamic Academic,
1985).
Al-Taftazani, Abul Wafa Al-Guneimi, “Islamic Education: Its Principles and Aims”,
Muslim Education, Vol. 4, no. 1, Islamic Academy, Cambridge, 1986.
H. Titus, Harold, Dkk. Persoalan-Persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasjidi (Bulan
Bintang: Jakarta, 1984).
Inayah, Sohaildan Gail Baxwell, Islam, Postomodernism and Other Future, A
Ziauddin Sardar Readers (London: Pluto Press, 2000).
Ismail, Faisal, Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan
Moderniatas, (Jakarta: Bakti Aksara persada, 2003).
Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1995).
Syaodih, Nana, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2007)

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:q02he_lAS2AJ:journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/Inspiratif-
Pendidikan/article/download/4931/6993+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
http://kitaabati.blogspot.com/2012/08/tujuan-kurikulum-pai.html

Anda mungkin juga menyukai