Anda di halaman 1dari 21

TELAAH KURIKULUM

“LANDASAN KURIKULUM”

OLEH :

Kelompok 1

Gusti Ayu Agung Trisna Prameswari (201909002)

Putu Indra Prayoga (201909009)

I Putu Rispa Aditya Mardana (201909012)

I Made Pasek Adinatha (201909015)

Pendidikan Seni Pertunjukan

Fakultas Seni Pertunjukan

ISI Denpasar

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan mempunyai
kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan.
Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam
perkembangan kehidupan manusia, maka dalam penyusunan kurikulum
tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh dan kuat.
Landasan pengembangan kurikulum tidak hanya diperlukan bagi para
penyusun kurikulum, akan tetapi landasan pengembangan kurikulum harus
dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum
yaitu para pengawas pendidikan dan para guru serta pihak-pihak lain yang
terkait dengan tugas-tugas pengelolaan pendidikan, sebagai bahan untuk
dijadikan instrumen dalam melakukan pembinaan terhadap implementasi
kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Penyusunan dan pengembangan
kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Dibutuhkan berbagai
landasan yang kuat agar mampu dijadikan dasar pijakan dalam melakukan
proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi
tercapainya sasaran pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif dan
efisien.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu landasan filosofis?
2. Apa itu landasan historis?
3. Apa itu landasan sosiologis?
4. Apa itu landasan psikologis?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu landasan filosofis
2. Untuk mengetahui mengenai landasan historis
3. Untuk mengetahui apa itu landasan sosiologis
4. Untuk mengetahui mengenai landasan psikologis
BAB II

PEMBAHASAN

RISPA

Pengertian Landasan Kurikulum

Landasan pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu gagasan,


suatu asumsi, atau prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak dalam
mengembangkan kurikulum. Landasan pengembangan kurikulum memiliki
peranan yang sangat penting karena apabila kurikulum tidak memiliki dasar
pijakan yang kuat, maka kurikulum tersebut akan mudah terombang-ambing
dan yang akan dipertaruhkan adalah manusia atau peserta didik yang
dihasilkan oleh pendidikan itu sendiri.
Ada empat landasan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum,
yaitu landasan filosofis, landasan historis, landasan sosiologis, dan landasan
psikologis.

A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum ialah asumsi-asumsi
atau rumusan yang didapatkan dari hasil berpikir secara mendalam,
analitis, logis, dan sistematis (filosofis) dalam merencanakan,
melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum dalam bentuk
program (tertulis), maupun kurikulum dalam bentuk pelaksanaan
(operasional) di sekolah. Landasan ini dalam pengembangan kurikulum
mencakup tentang landasan filsafat, mengidentifikasi dan
mengimplitasikannya. Dengan filsafat metodologi praktik pendidikan
terarah, timbal baliknya Pratik pendidikan itu sendiri menjadi bahan bagi
pertimbangan filosofis pendidikan. Sehingga landasan filosofis menjadi
landasan penting dalam pengembangan kurikulum.
Filsafat pendidikan menjadi dasar dan arah bagi pendidikan. Filsafat
pendidikan ini pada dasarnya adalah penerapan dan pemikiran-pemikiran
filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. Menurut Redja
Mudyaharjo (1989), terdapat tiga sistem pemikiran filsafat yang sangat
besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan pada umumnya, dan
pendidikan di Indonesia pada khususnya, yaitu: filsafat idealisme,
Realisme, dan Filsafat Fragmatisme.
1. Landasan filosofis pendidikan idealisme
Menurut filsafat idealisme manusia adalah makhluk spiritual,
makhluk yang cerdas dan bertujuan. Berdasarkan pemikiran filsafat
idealisme ini dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan harus
dikembangkan pada upaya pembentukan karakter, pembentukan bakat
insani dan kebajikan sosial sesuai dengan hakikat kemanusiaannya.
Dengan demikian sebaiknya isi kurikulum atau sumber pengetahuan
dirancang untuk mengembangkan kemampuan berpikir manusia,
menyiapkan keterampilan bekerja yang dilakukan melalui program dan
proses pendidikan secara praktis. Implikasi bagi para pendidik, yaitu
bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
terselenggaranya pendidikan.
2. Landasan filosofis pendidikan Realisme
Menurut filsafat realisme manusia pada hakikatnya terletak pada
apa yang dikerjakan. Mengingat segala sesuatu bersifat materi maka
tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan terutama diarahkan untuk
melakukan penyesuaian diri dalam hidup dan melaksanakan tanggung
jawab sosial. Oleh karena itu jika kurikulum didasarkan pada filsafat
realisme harus dikembangkan secara komprehensif meliputi
pengetahuan yang bersifat sains, sosial, maupun muatan nilai-nila.
Implikasi bagi para pendidik terutama bahwa peran pendidik diposisikan
sebagai pengelola pendididikan atau pembelajaran. Untuk itu pendidik
harus dapat menguasai tugas-tugas yang terkait dengan pendidikan
khususnya dengan pembelajaran, seperti penguasaan terhadap metode,
media, dan strategi serta teknik pembelajaran.
3. Landasan filosofis pendidikan fragmatisme
Filsafat fragmatisme memandang bahwa kenyataan tidaklah
mungkin dan tidak perlu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan
fisik, plural, dan berubah (becoming). Manusia menurut fragmatisme lahir
tanpa dibekali ole kemampuan bahasa, keyakinan, gagasan atau norma-
norma, nilai baik dan buruk ditentukan secara ekseperimental dalam
pengalaman hidup, jika hasilnya berguna maka tingkah laku tersebut
dipandang baik. Oleh karena itu tujuan pendidikan tidak ada batas
akhirnya, sebab pendidikan adalah pertumbuhan sepanjang hayat,
proses rekonstruksi yang berlangsung secara terus menerus.
Implikasi terhadap pengembangan isi atau bahan dalam kurikulum
ialah harus memuat pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang
sesuai dengan minat kebutuhan siswa.
4. Landasan filosofis pendidikan nasional
Tujuan pendidikan nasional di indonsia tentu saja bersumber pada
pandangan dan cara hidup manusia indonesia, yakni Pancasila. Hal ini
berarti bahwa pendidikan di indonesia harus membawa peserta didik
agar menjadi manusia yang berpancasila. Undang-undang no. 20 tahun
2003 tantang sistem pendidikan nasional merumuskan, “pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonsia tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bagsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (pasal
2 dan 3).
Rumusan tujuan pendidikan di tersebut merupakan keinginan
luhur yang harus menjadi inspirasi dari sumber bagi para pengelola
pendidikan, yaitu guru, kepala sekolah, para pengawas pendidikan dan
para pembuat kebijakan pendidikan agar dalam merencanakan,
melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum didasarkan
pada nilai-nilai yang dikandung dalam falsafah bangsa yaitu Pancasila
dan perangkat-perangkat hukum yang ada di bawahnya seperti undang-
undang.
B. Landasan Historis
Landasan Historis adalah landasan yang membicarakan proses
bagaimana program pendidikan masa lalu tumbuh sampai saat ini dan
masih berpengaruh pada kurikulum sekarang serta masa depan. Oleh
karena kurikulum selalu perlu disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
dan perkembangan zaman, maka perkembangan kurikulum pada suatu
saat tertentu dapat diadakan dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan dan
perkembangan pada waktu tertentu dengan memperhatikan
perkembangan kurikulum di masa lalu. Berikut ini sejarah singkat dari
kurikulum.
1. Pendidikan Pra Abad Ke-20
Beberapa sejarah pendidikan di masa pra abad ke-20 antara lain :
a) Pendidikan Mesir dan Cina Kuno
Pada awalnya, pendidikan di Mesir lebih fokus pada praktik
daripada pengembangan berfikir kognitif abstrak. Kemudian
terdapat pula program pendidikan vokasional dengan sistem
magang yang diperkuat latihan di rumah dengan fokus utamanya
pada pengajaran menulis hieroglyph. Kemudian Mesir Kuno
mengalami keruntuhan, hal itu diperkirakan karena kekurangan
kesusastraan, pola pikir filosofis dan penelitian ilmiah yang
berhubungan dengan pengetahuan abstrak.
Situasi berbeda ditemukan di Cina dimana didominasi oleh dua
orientasi pendidikan yaitu ide Lao-Tse (abad ke-6 SM), dan
Confucius (abad ke-5 SM). Pendidikan menurut, Lao-Tse
merupakan landasan pokok perkembangan pikiran dan prestasi
yang bermanfaat dan penting bagi manusia. Sedangkan pendidikan
menurut Confucius, pendidikan diharuskan berorientasi kepada
kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi.
b) Pendidikan Yunani Kuno
Sistem pendidikan dunia modern berasal dari sistem pendidikan
Yunani Kuno (1600-300 SM). Fokus pendidikan pada masa ini
adalah pendidikan jasmani melalui latihan kemiliteran gimnastik
sedangkan pendidikan moral dan politik diajarkan dengan
menghafal undang-undang.
Pertengahan abad ke-15 SM, timbul perubahan ekonomi Yunani
yaitu munculnya kelas pedagang yang memerlukan tipe baru
pendidikan sehingga hal ini menyebabkan pengembangan berbagai
ragam metode mengajar bagi kelas pedagang dan kelas sosial di
Athena dan di beberapa negara kota di Yunani.
Setelah tahun 479 SM pendidikan Yunani tumbuh dengan pesat.
Para ahli di Yunani menciptakan mata pelajaran formal seperti Tata
Bahasa, Retorika, dan Logika. Kemudian pada tahun 470-399 SM
mulai muncul metode bertanya dan diskusi yang dipopulerkan oleh
Socrates, seorang filsuf Yunani. Murid dari Socrates yang bernama
Plato mengembangkan formulasi klasik prinsip filsafat idealisme
dan filsafat tradisional. Kurikulum dari Plato ini terdiri atas empat
bidang studi antara lain aritmetika, geometri, astronomi, dan musik.
c) Pendidikan Romawi Kuno
Pendidikan pada Romawi Kuno dipengaruhi oleh pendidikan
Yunani. Terdapat beberapa periode penting pada peradaban
Romawi yang berakibat pada perbedaan sistem pendidikannya.
Pada mulanya (700-725 SM) pendidikan dilakukan di rumah oleh
orang tua. Kemudian pada periode berikutnya kurikulum berbasis
filsafat Yunani, sastra dan retorikan mulai diberlakukan. Selanjutnya
sistem pendidikan Romawi yang lebih berorientasi Latin akhirnya
menghasilkan Sekolah Gramar Latin yang menjadi cikal bakal
model pendidikan Barat. Sistem pendidikan Romawi ini di mulai
dengan sekolah dasar bagi anak berumur 6-12 tahun, yang
mengajarkan membaca, menulis, aritmatika dan moral. Kemudian
dilanjutkan dgn Sekolah Menengah atau sekolah gramar dan mata
pelajarannya yaitu bahasa Latin, bahasa Yunani, sejarah, geografi,
mitologi, dan etika. Sedangkan siswa diatas 16 tahun dipersiapkan
menjadi ahli hukum atau administrator publik melalui sekolah
retorika untuk mempelajari gramar, retorika, logika dan sastra.
Kemudian bangsa Romawi mengembangkan kurikulum The Seven
Liberal Arts yang berasal dari kurikulum Yunani Kuno,
Trivium (gramar, retorika dan logika ) dan kurikulum
Plato Quadrivium (aritmetika, geometrika, astronomi dan musik ).
d) Pendidikan Islam
Sumber utama ajaram agama Islam tertulis dan terpelihara
dengan baik dalam kitab suci Al-qur'an. Al-qur'an itu sendiri,
menurut Abdurrahman an-Nahlawi mulai diturunkan dengan ayat
pendidikan. Pada abad ke-10 dan ke-11, pendidikan Arab Islam
berpengaruh bagi pendidikan Barat. Sebagai hasil kontak ilmu
Barat dan ilmu Arab Islam di Spanyol dan AfrikaUtara, Ilmuan Barat
mempelajari cara berpikir baru tentang matematika, ilmu-ilmu alam,
kedokteran dan filsafat.
Pakar Islam juga telah menemukan dan menerjemahkan
pemikiran dan ide-ide filsuf Aristotles, Euclid, Archimedes dan
Hipocrates ke bahasa Arab. Terjemahan itu penting bagi
pendidikan Islam dan melalui kontak dengan Eropa, hasil
terjemahannya itu diperkenalkan kembali kedunia Barat.
Pada abad ke 21, interaksi makin interns antara Arab dan
kebudayaan Islam di dunia Barat. Pada saat itu banyak sekolah
dan perguruan tinggi di Amerika Serikat yang membuka program
studi dan menawarkan mata pelajaran dan mata kuliah tentang
kultur Arab dan ajaran Islam.
Dapat disimpulkan bahwa Ilmuan Arab Islam berkontribusi besar
pada perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat.
e) Pendidikan Abad Pertengahan
Perspektif kurikulum pada era ini terkait dengan ajaran Kristen.
Sekolah menengah, sekolah monasik dan sekolah katedral
menawarkan kurikulum pengetahuan umum. Adapun sekolah yang
memberikan keterampilan pokok dan kejuruan dilakukan untuk
gilda perdagangan dan kerajinan.
f) Pendidikan Era Reformasi
Martin Luther King dari Jerman Dan John Calvin dari
Perancis,adalah dua kontributor utama dalam perubahan kurikulum
di era Reformasi. Luther ingin bahwa pendidikan wajib bagi semua
anak dan sekolah harus dibawah kontrol pemerintah sehingga
mudah di monitor. Kemudian Calvin mengusulkan perlunya peran
rumah tangga dalam mengajarkan ajaran agama dengan benar.
Calvin juga menginginkan agar sekolah dan gereja sama-sama
fokus pada pengajaran agama. Kedua tokoh menganggap peran
strategi rumah tangga dalam pendidikan anak-anak sebagai bentuk
disiplin anak-anak.
Pada abad 16 muncul pendidik realis yang menyatakan banyak
pengetahuan yang perlu diketahui siswa selain pengetahuan klasik,
yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui observasi dan analisis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa para realis menginginkan
pendidikan lebih berorientasi pada kehidupan.
g) Pendidikan Menjelang Abad ke 20
Pada awal tahun 1800-an, akademi mulai menggantikan sekolah
Gramar latin karena Akademi menawarkan beragam kurikulum praktis
bagi siswa yang akan bekerja setelah tamat. Kemudian, Herbart yang
dikenal sebagai Bapak Sains Pendidikan dan Bapak Psikologi Modern
mengembangkan 5 metode pengajaran yaitu :
a. Association : mengembangkan antara pengetahuan yang telah
diketahui dan yang akan diketahui siswa
b. Presentation :menyajikan materi yang akan dipelajari menurut
psikologi anak
c. Association : mengembangkan analogi dengan materi sebelumnya
d. Geleralization : berpindah dari contoh konkret ke yang abstrak
e. Application : memakai pengetahuan yang baru diperoleh sebagai
basis bagi pengembangan pengetahuan selanjutnya
Esensi tujuan pendidikan Hertbart adalah mengembangkan manusia
berbudaya sesuai standar nilai-nilai yang tinggi.
Selanjutnya, Leo Tolstoy dari Rusia memperkenalkan pendidikan
Pestalozzi yang mengembangkan sekolah dasar dengan
membebaskan anak-anak keluar masuk sekolah sesuai keinginan dan
dijadikan sebagai tempat anak anak bebas bermain dengan ide-ide,
belajar diskusi atas bantuan guru dan orang dewasa dimasyarakat.
2. Pendidikan Abad ke 20
Ide James tentang Leaerning by doing sangat berkesan pada Dewey
Yang Akhirnya menekankan perlunya pendidik menyadari bahwa
pendidikan harus melibatkan anak secara bermakna dalam kehidupan
social. Ide inilah yang membawa Dewey ke kesimpulan bahwa sekolah
dan masyarakat tidak terpisah. Oleh karena itu, tujuan sekolah ialah
untuk menyelesaikan masalah social agar terbentuk masyarakat yang
lebih baik. Berdasarkan tujuan tersebut pendidikan harus berfokus pada
pembentukan invidu anak yang baik, sehingga kebutuhan
perkembangan individual anak harus bisa berkonstribusi pada
kemajuan masyarakat nantinya.
Tahun 1960-an timbul ide sekolah komperhensif dan profesi, untuk
ide ini diperlukan kurikulum yang mencakup pembelajaran bahasa
inggris, bahasa asing, sains, ilmu social dan humaniora.
Kecenderungan berlanjut sampai tahun 1970-an dan tahun 1980-an.
Dapat kita simpulkan bahwa selama abad terakhir, program sekolah
atau kurikulum telah mengalami banyak perubahan dalam beberapa
waktu tertentu sebagai cara untuk melakukan penyesuaian dengan
dinamika perkembangan dan kemajuan masyarakat.

C. Landasan Sosiologi Kurikulum


Secara etimologi, landasan sosiologis pengembangan kurikulum
tersusun dari empat kata, yaitu “Landasan” yang mempunyai arti alas,
bantalan, dasar, dan tumpuan. “Sosiologis” mempunyai arti yang bersifat
sosial kemasyarakatan dan yang bersifat pengetahuan tentang sifat dan
perkembangan masyarakat, kata “Pengembangan” yang mempunyai
arti proses perubahan menjadi lebih berkembang. Serta
kata “Kurikulum” yang mempunyai arti perangkat mata pelajaran yang
diajarkan lembaga pendidikan. Jadi dapat kita tarik definisi landasan
sosiologis pengembangan kurikulum secara etimologi yaitu suatu
landasan atau pijakan dalam menyusun sebuah kurikulum yang
mengacu pada aspek kemasyarakatan.
Secara terminologi Landasan Sosiologis Pengembangan
Kurikulum mempunyai arti asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi
yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum,
(Sukmadinata,2007 : 58).
Mengapa sih pengembangan kurikulum harus mengacu pada
landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan
pendidikan baik formal, informal, maupun non formal dalam lingkungan
masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu kehidupan masyarakat dan budaya
dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak
dalam melaksanakan kurikulum.
Berbicara mengenai landasan sosiologis sebuah kurikulum, maka
kita juga pasti akan sedikit banyak bersinggungan dengan keadaan
sosial, masyarakat dan budaya. Karena faktanya, budaya tidak bisa
dilepaskan dari aspek sosial kemasyarakatan. Budaya merupakan hasil
dari interaksi sosial yang terjadi melalui ide-ide yang mucul dari sebuah
komunitas manusia, (Hasin, 2013 : 76).
Para pengembang kurikulum itu sendiri memiliki tugas untuk
mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana
dirumuskan dalam undang- undang, peraturan, keputusan pemerintah
dan lain-lain, menganalisis masyarakat dimana sekolah berada,
menganalisis syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja, serta
menginterpretasi kebutuhan individu dalam ruang lingkup kepentingan
masyarakat.
1. Hubungan Sosiologi dengan Kurikulum
Hubungan sosiologi dengan kurikulum ini yaitu adanya peran
sosiologi terhadap kurikulum itu sendiri, dengan tujuan agar siswa
atau masyarakat dapat bersosialisi lebih luas untuk mendapatkan
pengaruh tekanan masyarakat terhadap pendidikan dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
2. Kekuatan Sosial yang Mempengaruhi Kurikulum
Masyarakat tidak bersikap statiss, seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, masyarakat selalu mengalami
perubahan, bergerak menuju perkembangan yang semakin
kompleks. Perubahan bukan hanya terjadi pada sistem nilai, akan
tetapi juga pada pola kehidupan, struktur sosial, kebutuhan, dan
tuntutan masyarakat, (Dakir,2004:87).
Para pengembangan kurikulum harus memperhatikan setiap
tuntutan dan tekanan masyarakat yang berbeda itu. Oleh sebab itu,
menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat
merupakan salah satu langkah penting dalam proses penyusunan
suatu kurikulum. Dalam konteks inilah pegembang kurikulum perlu
menjalankan peran evaluative dan peran kritisnya dalam menentukan
muatan kurikulum..
Berbagai kekuatan sosial yang mempengaruhi pengembangan
kurikulum ada beraneka ragam. James W. Thornton dan John R.
Wright ( 2004 . 167) dalam bukunya ’’secondary school curiculum’’,
mengklasifikasikankan kekuatan sosial yang mempengaruhi
kurikulum antara lain :
a. Kekuatan sosial yang resmi, terdiri atas:
1) Pemerintah suatu negara, melalui Undang-Undang Dasar,
dasar negara,falsafah dan ideologi Negara.
2) Pemerintah daerah, melalui berbagai kebijakn pemerintah
dalam bidang pendidikan.
3) Perwakilan Departemen Pendidikan setempat.
b. Kekuatan sosial setempat, yang terdiri atas:
1) Yayasan-yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
2) Kerukunan atau persatuan keluarga sekolah-sekolah sejenis.
3) Perguruan Tinggi, yakni universitas, akademi, maupun
institute.
4) Persatuan Orang Tua Murid dan Guru.
5) Penerbit buku-buku pelajaran.
6) Perkumpulan yang berdasarkan kemanusiaan.
7) Manusia masa seperti radio, televisi, dan surat kabar.
8) Adat kebiasaan masyarakat setempat.
Faktor sosial budaya sangat penting dalam penyusunan kurikulum
yang relevan, karena kurikulum merupakan alat untuk
merealisasikan sistem pendidikan, sebagai salah satu dari dimensi
kebudayaan. Implikasi dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Kurikulum harus disusun berdasarkan kondisi sosial budaya
masyarakat.
2. Karena kondisi sosial budaya senantiasa berubah dan
berkembang sejalan dengan perubahan masyarakat. Maka
kurikulum harus disusun dengan memperhatikan unsur
fleksibilitas dan bersifat dinamis, sehingga kurikulum tersebut
senantiasa relevan dengan masyarakat.
3. Program kurikulum harus disusun dan mengandung materi
sosial budaya dalam masyarakat. Ini bukan hanya
dimaksudkan untuk membudayakan anak didik, tetapi sejalan
dengan usaha mengawetkan kebudayaan itu sendiri.
4. Kurikulum di sekolah harus disusun berdasarkan kebudayaan
nasional yang berlandaskan pada falsafah pancasila, yang
mencakup perkembangan kebudayaan daerah.
Ada beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap
pengembangan kurikulum dalam masyrakat, ( Nasution. 2004 :
148) menyatakan :
1. Kebutuhan Masyarakat
Kebutuhan masyarakat tak pernah tak terbatas dan beraneka
ragam. Oleh karena itu lembaga pendidikan berusaha
menyiapkan tenaga-tenaga terdidik yang terampil yang dapat
dijadikan sebagai penggali kebutuhan masyarakat.
2. Perubahan dan Perkembangan Masyarakat
Masayarakat adalah suatu lembaga yang hidup, selalu
berkembang dan berubah. Perubahan dan perkembangan
nilai yang ada dalam masyarakat sering menimbulkan konflik
antar generasi. Dengan diadakannya pendidikan diharapkan
konflik yang terjadi antar generasi dapat teratasi.
3. Tri Pusat Pendidikan
Yang dimaksud dengan tri pusat pendidikan adalah bahwa
pusat pendidikan dapat bertempat di rumah, sekolah , dan di
masyarakat. Selain itu mass media, lembaga pendidikan
agama, serta lingkungan fisik juga dapat berperan sebagai
pusat pendidikan.
Jika dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses
mempersiapkan individu agar menjadi warga masyarakat yang
diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan berdasarkan
pandangan antrofologi, pendidikan adalah “enkulturasi” atau
pembudayaan. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses
pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik
kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut”
D. LANDASAN PSIKOLOGIS
Psikologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya.
Peserta didik merupakan individu yang sedang berada dalam proses
perkembangan baik itu fisik, intelektual, social emosional, moral, dan
sebagainya. Tugas utama seorang guru sebagai pendidik adalah
membantu untuk mengoptimalkan perkembangan peserta didiknya
berdasarkan tugas–tugas perkembangannya.
Dengan menerapkan landasan psikologi dalam proses
pengembangan kurikulum diharapkan dapat diupayakan agar pendidikan
yang dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta didik, baik
penyesuaian dari segi materi atau bahan yang harus dipelajari peserta
didik, maupun dari segi penyampaian dan proses belajar serta
penyesuaian dari unsur–unsur upaya pendidikan lainnya.
Pada dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang berkaitan
erat dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu psikologi
perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan
ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan
perkembangannya. Sedangkan, psikologi belajar merupakan ilmu yang
mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar.
Jadi, psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam hal
penentuan isi kurikulum yang diberikan/dipelajari peserta didik, baik
tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan
kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan
tugas perkembangan peserta didik. Sedangkan psikologi belajar
memberikan sumbangan terhadap pengembangan kurikulum terutama
berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu diberikan kepada peserta
didik dan bagaimana peserta didik harus mempelajarinya, berarti hal ini
berkenaan dengan strategi pelaksanaan kurikulum.
1. Psikologi Perkembangan dan Kurikulum
Sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang dan
setiap anak merupakan pribadi tersendiri, dimana memiliki perbedaan
disamping persamaannya. Implikasi dari hal tersebut terhadap
pengembangan kurikulum, antara lain;
a) Tiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat,
minat, dan kebutuhannya,
b) Di samping disediakan pembelajaran yang bersifat umum (program
inti) yang harus dipelajari peserta didik di sekolah, disediakan pula
pembelajaran pilihan sesuai minat dan bakat anak,
c) Kurikulum selain menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga
menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik,
d) Kurikulum memuat tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai/sikap,
dan ketrampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh
lahir dan bathin.

Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak sebagai peserta didik


terhadap proses pembelajaran dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu


berpusat pada perubahan tingkah laku anak didik,
b. Bahan/materi pembelajaran yang diberikan harus sesuai dengan
kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima
oleh anak,
c. Strategi pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan tahap
perkembangan anak,
d. Media yang digunakan selalu menarik perhatian dan minat anak didik,
dan
e. Sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan
berkesinambungan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan
dilaksanakan secara terus – menerus.
2. Psikologi Belajar dan Kurikulum
Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya
dapat dikelompokan menjadi 3 kelas, antara lain ;
a. Teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory)
Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya
tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi, seperti
potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya mencurahkan pendapat,
daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya.
Potensi–potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara
optimal,daya berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran
berhitung misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu.
Pengertian pembelajaran dalam konteks ini adalah melatih anak didik
dengan cara pembelajaran melalui hafalan dan latihan-latihan.
b. Behaviorisme
Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang
mencakup teori koneksionisme atau asosiasi, teori kondisioning, dan
teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme muncul dari
adanya pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir.
Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga
pendidikan, masyarakat.
c. Organismic/Cognitive Gestalt Field
Menurut teori ini manusia dianggap sebagai makhluk yang
melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara
keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus
yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan
interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses
pembelajaran.
Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan
sumber informasi sebagaimana diungkapkan dalam pandangan
koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses
pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu
kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Prinsip-prinsip maupun penerapan dari organismic/cognitive
gestalt field, antara lain ;
1) Belajar berdasarkan keseluruhan
Prinsip ini mempunyai pandangan sebagaimana proses
pembelajaran terpadu. Pelajaran yang yang diberikan kepada
peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pkok yang luas
yang harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah
bahan pembelajaran dengan reaksi seluruh pelajaran oleh
keseluruhan jiwanya.
2) Belajar adalah pembentukan kepribadian
Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak diimbing untuk
mendapat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara berimbang.
Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki
keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya.
Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui program
pembelajaran yang terpadu.
3) Belajar berkat pemahaman
Belajar merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung
makna penguasaan pengetahuan, dapat menyelaraskan sikap dan
ketrampilannya.
4) Belajar berdasarkan pengalaman
Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan
mengalami. Dalam proses pembelajaran peserta didik harus aktif
dengan pengolahan bahan pembelajaran melalui diskusi, Tanya
jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan
sejenisnya
5) Belajar adalah proses berkelanjutan
Belajar adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah
berhenti untuk belajar, hal ini dilakukan karena faktor kebutuhan.
Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam pengembangannya
kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada
tetapi mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra
untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Keberhasilan belajar tidak
hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi menyangkut
minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi
sangat menentukan dan diperlukan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki posisi


yang penting karena seluruh kegiatan pendidikan bermuara kepada kurikulum.
Karena begitu pentingnya kurikulum dalam pendidikan, maka didalam
penyusunannya memerlukan landasan atau fondasi yang kuat, melalui
pemikiran dan penelitian secara mendalam.
Dari setiap landasan pengembangan kurikulum baik itu landasan
filosofis, landasan historis, landasan sosiologis, sampai landasan psikologis
masing-masing memiliki peran yang penting dan dapat disimpulkan bahwa
begitu pentingnya suatu landasan dalam sebuah kurikulum. Pemahaman dan
cara implementasi yang tepat juga merupakan awal yang baik untuk
menajalankan kurikulum, karena kerugian pendidikan sangat besar jika
kurikulum tersebut tidak dilakukan dengan baik. Peran kurikulum ini sangat
berpengaruh, jadi dibutuhkan landasan yang kokoh dan kuat serta
implementasinya yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

E. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan


Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya

Cahyani, Yuan. 2019. Landasan Sosiologis Pengembangan Kurikulum.


https://yuannisam.blogspot.com/2019/10/landasan-sosiologis-
pengembangan.html (Diakses pada 17 Oktober 2020)

Pondean, Yulia. 2017. Makalah Landasan Pengembangan Kurikulum.


http://yuliapondean28unima.blogspot.com/2017/03/makalah-
landasan-pengembangan-kurikulum.html (Diakses pada 19 Oktober
2020)
Muhtar, Zulfiki. 2011. Makalah Landasan Pengembangan Kurikulum.
https://blogzulkifli.wordpress.com/2011/06/06/makalah-landasan-
pengembangan-kurikulum/ (Diakses pada 18 Oktober 2020)

Kusmiati, Aulia. 2018. Landasan Historis Kurikulum Pendidikan. http://kusmiati-


aulia.blogspot.com/2018/01/landasan-historis-kurikulum-
pendidikan.html (Diakses pada 18 Oktober 2020)

Syaddad, Abi. 2018. Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum.


https://ardabilly9.wordpress.com/landasan-psikologis-
pengembangan-kurikulum/ (Diakses pada 17 Oktober 2020)

Awaliyah, Nurul. 2016. Landasan-Landasan Yang Mendasari Kurikulum.


https://awnurul.wordpress.com/2016/12/14/landasan-landasan-yang-
mendasari-pengembangan-kurikulum/ (Diakses pada 17 Oktober
2020)

Anda mungkin juga menyukai