Anda di halaman 1dari 72

Laporan Kasus Klinik

Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi

Gangguan Fungsional Respirasi Berupa Sesak Napas, Nyeri Dada Dan Penurunan

Mobilitas Sangkar Thorax Et Causa SOPT

(Syndrome Obstructive Pasca Tuberkulosis)

Disusun untuk memenuhi tugas Klinik di BBKPM (Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat) Makassar

SARAH ALHARIZA AKINES

PO 71.4.242.16.1.037

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR

JURUSAN FISIOTERAPI

PROGRAM STUDI D.IV


LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus preklinik atas nama Sarah Alhariza Akines dengan NIM PO

71.4.241.16.1.037 dengan judul Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Gangguan

Fungsional Respirasi Berupa Sesak Napas, Nyeri Dada Dan Penurunan Mobilitas

Sangkar Thorax Et Causa SOPT (Syndrome Obstructive Pasca Tuberkulosis), telah

disetujui untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan selama menyelesaikan praktek

klinik di Balai Besarr Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar mulai tanggal 7

Oktober- 1 November 2019

Makassar, 1 November 2019

Clinical Educator Clinical Edukator II

Lusi Sulandari,S.ST H.Muh.Tahir,S.Ft., Physio., M.Kes


NIP 198310032008012008 NIP 197808112006042002

Proceptor

H.Muh.Tahir,S.Ft., Physio., M.Kes


NIP.198104252006041008

2
KATA PENGANTAR
ii

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyusun laporan kasus ini yang
berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Gangguan Fungsional
Respirasi Berupa Sesak Napas, Nyeri Dada Dan Penurunan Mobilitas Sangkar
Thorax Et Causa SOPT (Syndrome Obstructive Pasca Tuberkulosis)”
Laporan kasus ini merupakan salah satu dari tugas klinik pada di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. Selain itu juga laporan kasus ini bertujuan
memberikan informasi mengenani penatalaksaan fisioterapi untuk kasus tersebut.
Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak / Ibu dosen Fisioterapi Politeknik Kesehatan Makassar
2. Ibu Alfy Syahar, S.ST
3. Ibu Lusi Sulandari, S.ST
4. Ibu Rosalinda Syamsuddin, Amd.Ft
5. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
Laporan Kasus ini.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Dan semoga dengan selesainya laporan ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman yang membutuhkan.

Makassar, 01 November 2019

3
PENYUSUN

DAFTAR ISI
iii

Halaman Judul. ..................................................................................................... i

Lembar Pengesahan. ............................................................................................. ii

Kata Pengantar...................................................................................................... iii

Daftar Isi. .............................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kasus SOPT . .............................................................. 9

B. Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi. ............................................... 25

C. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi. .................................................. 33

BAB III PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien. ............................................................................ 40

B. Anamnesis Khusus. .................................................................................. 40

C. Vital Sign. ................................................................................................. 41

4
D. Inspeksi/Observasi. ................................................................................... 41

E. Palpasi....................................................................................................... 42

F. Auskultasi. ................................................................................................ 42

G. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi .................................. 43

H. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi. ..................................................... 46

I. Tujuan Fisioterapi. .................................................................................... 47

J. Program Intervensi Fisioterapi. ................................................................ 48

K. Evaluasi Fisioterapi. ................................................................................. 55 iv

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan. .............................................................................................. 56

B. Saran. ........................................................................................................ 57

DAFTAR PUSTAKA. .......................................................................................... 58

LAMPIRAN I. ...................................................................................................... 59

LAMPIRAN II. ..................................................................................................... 61

LAMPIRAN III. ................................................................................................... 62

LAMPIRAN IV. ................................................................................................... 67

5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi global yang banyak

menimbulkan kematian di dunia ini.1,2. Laporan World Health Organization (WHO)

tahun 2010 menyatakan bahwa terdapat lebih dari 2 miliar penduduk dunia yang

terinfeksi Mycobacterium tuberculosis yang nilainya setara dengan sepertiga

penduduk dunia.1,2,3. Dilaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat sebanyak 14 juta

kasus TB di dunia dengan penemuan 9,4 juta kasus baru dan jumlah kematian akibat

TB sebanyak 1,7 juta kasus.

Indonesia merupakan negara yang menempati urutan kelima di dunia, yang

memiliki jumlah terbesar kasus TB setelah India (3 juta), China (1,8 juta), Nigeria

(830 ribu), dan Bangladesh (690 ribu).3,5. Dilaporkan bahwa pada tahun 2009

terdapat sebanyak 660 ribu kasus TB di Indonesia dengan penemuan 430 ribu kasus

baru dan jumlah kematian akibat TB sebanyak 61 ribu kasus.5. TB merupakan

pembunuh nomor satu di Indonesia di antara penyakit menular lainnya dan penyebab

kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit pernapasan akut

pada seluruh kalangan usia.5,6. Sebagian besar pasien TB adalah penduduk dengan

golongan usia produktif (15 – 54 tahun).

Gejala sisa akibat TB masih sering ditemukan pada pasien pasca TB dalam

praktik klinik.9,10,11. Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal

paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip Penyakit Paru

Obstruktif Kronik (PPOK). Inilah yang dikenal sebagai Sindrom Obstruksi Pasca TB

(SOPT)

6
Pada bulan januari hingga oktober 2019 tercatat sebanyak 707 orang yang

terdiagnosa sindrom obstruktif post tuberculosis (SOPT) yang dirujuk ke fisioterapi

di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar.

Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian

terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi Tuberkulosis yang

dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga terjadi mekanisme makrofag

aktif yang menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang

berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat

meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas

dan akhirnya mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi dengan uji faal

paru. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa puncak terjadinya gangguan faal paru

pada pasien pasca TB terjadi dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis. Peradangan yang

berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat

meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas

menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat

dideteksi secara spirometri.

Gangguan faal paru menyebabkan penurunan fungsi paru sehingga paru tidak

bisa bekerja dengan maksimal. Akibatnya seseorang mengalami gangguan ketika

melakukan pernafasan yang melibatkan organ paru-paru. Paling umum terjadi

seseorang dengan gangguan SOPT yaitu kesulitan ketika bernafas, sehingga

pengembangan thorax mengalami penurunan.

Berdasarkan penjelasan di atas, pasien dengan kasus Sindrom Obstruksi Pasca

Tuberkulosis (SOPT) menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu berupa adanya

sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi menurun, perubahan postur

7
tubuh, berat badan menurun dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal bila tidak

segera dilakukan penanganan atau tindakan fisioterapi.

Dari permasalahan tersebut, modalitas fisioterapi yang bisa digunakan Terapi

Oksigen, MWD, TENS, Breathing Exercise, dan Mobilisasi Sangkar Thoraks pada

kondisi Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT).

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka Tentang Kasus Sindrom Obstruksi Pasca Tuberculosis

(SPOT)

1. Definisi Syndrom Obstruksi Pasca Tuberculosis (SPOT)

SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca tuberkulosis) adalah penyakit obstruksi

saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis dengan lesi paru

yang minimal yang masih sering ditemukan pada pasien pasca Tuberkulosis

dalam praktik klinik (Irawati, 2013).

Kerusakan paru yang terjadi pada penyakit saluran pernapasan obstruktif

adalah komplikasi yang terjadi pada sebagian besar penderita Tuberkulosis pasca

pengobatan. Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal paru

dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK) (Shetty, 2010).

Hilangnya fungsi paru paling tinggi terjadi pada 6 bulan saat diagnosis

tuberkulosis dan 12 bulan setelah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis (Sailaja,

2015).

2. Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan

Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea,

karina, bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus

terminalis, bronchiolus respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan

alveoli. Terdapat Lobus, dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan

lobus inferior. Sinistra ada 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo

9
dextra terdapat fissura horizontal yang membagi lobus superior dan lobus media,

sedangkan fissura oblique membagi lobus media dengan lobus inferior. Pulmo

sinistra terdapat fissura oblique yang membagi lobus superior dan lobus inferior.

Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2 yaitu parietalis (luar) dan Visceralis

(dalam), diantara 2 lapisan tersebut terdapat rongga pleura (cavum pleura).

Gambar 2.1 Sistem Pernafasan Manusia

a) Hidung

Hidung Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris

anterior yang dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan.

Permukaan luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan rambut.

Terdapat epitel respirasi: epitel berlapis silindris bersilia bersel goblet dan

mengandung sel basal. Didalamnya ada konka nasalis superior, medius dan

inferior. Lamina propria pada mukosa hidung umumnya mengandung banyak

pleksus pembuluh darah.

10
Gambar 2.2 Rongga Hidung

b) Alat penghidu

Mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris tanpa sel goblet,

dengan lamina basal yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas 3 jenis sel: sel

penyokong, sel basal dan sel olfaktoris.

c) Sinus paranasal

Sinus paranasal merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat

dalam tulang tengkorak yang berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4

sinus: maksilaris, frontalis, etmoidalis dan sphenoidalis.

d) Faring

Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan

menyatu dan menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke

oesophagus. Pada saat bernapas udara dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga :

nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Mukosa pada nasofaring sama

dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan laringofaring sama dengan

saluran cerna. Mukosa faring tidak memilki muskularis mukosa. Lamina

11
propria tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu

dengan jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel

berlapis gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni.

Gambar 2.3 Anatomi Faring

e) Laring

Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak

antara faring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan

krikoid. Muskulus ekstrinsik mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus

intrinsik mengikat laring pada tulang tiroid dan krikoid berhubungan dengan

fonasi. Lapisan laring merupakan epitel bertingkat silia. Epiglotis memiliki

epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar. Fungsi laring untuk membentuk

suara, dan menutup trakea pada saat menelan (epiglotis). Ada 2 lipatan

mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara).

Celah diantara pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa

dan lamina propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara ( otot

rangka). Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N

Laringealis superior.

12
Gambar 2.4 Ligament Pada Laring

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan

otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara

kesulruhan,sedangkan otot-otot intrinsic menyebabkan gerak bagian-bagian

laring tertentu yang berhubungan dengan pita suara.

Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hyoid

(suprahioid), m. digastrikus, m. geniohioid. Otot intrinsik laring ialah m.

krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika.

Gambar 2.5 Otot-otot pada Laring.

13
Epiglotis membantu melindungi laring saat proses menelan dengan

mengarahkan makanan kea rah esophagus. Kartilago aritenoid yang

membantu proses pembukaan dan penutupan glotis kurang jelas terlihat pada

anak dibandingkan orang dewasa. Ruang subglotis menyempit kea rah krikoid

yang meruupakan bagian dari trakea. Pada anak usia kurang dari 3 tahun,

cincin krikoid (cincin trakea pertama yang berbentuk lingkaran utuh)

merupakan bagian tersempit jalan napas, sementara pada anak besar atau

dewasa, glotis merupakan bagian tersempit.

Gambar 2.6 Laring dan Pita Suara

f) Trakea

Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi

oleh jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan,

mukosa, epitel bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.

g) Bronchus

Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki

primer bercabang menjadi bronki lobar, bronki segmental, bronki

subsegmental. Struktur bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin

berupa lempeng tulang rawan tidak teratur. Makin ke distal makin berkurang,

dan pada bronkus subsegmental hilang sama sekali. Otot polos tersusun atas

14
anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas lipatan memanjang. Epitel bronkus

: kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan kelenjar submukosa. Lamina

propria : serat retikular, elastin, limfosit, sel mast, eosinofil.

Gambar 2.7 Bronchus dan Bronchiolus

h) Bronchiolus

Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan,

tidak mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan

jaringan ikat longgar. Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel

Clara). Lamina propria tidak mengandung sel goblet.

i) Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat

terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara

yang dihirup. Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa

antar alveoli disokong oleh serat kolagen, dan elastis halus. Sel epitel terdiri

sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel alveolar besar ( sel alveolar tipe

II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya 10% , menempati 95 %

alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12 %, menempati 5 %

alveolar. Sel alveolar gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih

tebal, apikal bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin, memilki badan

15
berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar. Surfaktan ini

fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir ekspirasi. Jaringan

diantara 2 lapis epitel disebut interstisial. Mengandung serat, sel septa

(fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis diantara alveoli disebut pori

Kohn. Sel fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar. Pada

perokok sitoplasma sel ini terisi badan besar bermembran. Jumlah sel

makrofag melebihi jumlah sel lainnya.

Gambar 2.8 Alveoulus

j) Pleura

Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat

elastin, fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral,

yang melekat pada dinding toraks disebut pleura parietal. Ciri khas

mengandung banyak kapiler dan pembuluh limfe. Saraf adalah cabang n.

frenikus dan n. intercostal

k) Paru-paru

Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan

inferior. Paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap

lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe,

16
arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan

alveoli. Diperkiraka bahwa setiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli,

sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat

permukaan/pertukaran gas.

Gambar 2.9 Anatomi Paru-Paru

(1) Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu:

 Lobus superior terdiri dari 3 segmen yaitu segment apical, posterior,

dan anterior.

 Lobus medius terdiri dari 2 segment yaitu segmen lateral dan

medial.

 Lobus inferior terdiri dari 5 segment yaitu segmen superior,medial

basal, anterior basal, lateral basal,dan posterior basal.

(2) Paru kiri dibagi dua lobus yaitu

 Lobus superior terdiri dari 3 segmen apical, posterior, dan anterior.

 Lingual terdiri dari segmen superiordan inferior.

 Lobus inferior terdiri dari 4 segment yaitu segmen anterior basal,

lateral basal, superior dan posterior basal.

17
Gambar 2.10 Segmen Paru.

Paru-paru dibungkus oleh pleura. Pleura ada yang menempel langsung

ke paru, disebut sebagai pleura visceral. Sedangkan pleura parietal menempel

pada dinding rongga dada dalam.

Diantara pleura visceral dan pleura parietal terdapat cairan pleura yang

berfungsi sebagai pelumas sehingga memungkinkan pergerakan dan

pengembangan paru secara bebas tanpa ada gesekan dengan dinding dada.

(1) Volume Paru-paru

18
 Volume dan Kapasitas Paru, yaitu volume udara dalam paru-paru

dan kecepatan pertukaran saat inspirasi dan ekspirasi dapat diukur

melalui spirometer.

 Volume Tidal (VT), yaitu volume udara yang masuk dan keluar

paru-paru selama ventilasi normal biasa. Nilai VT pada dewasa

normal sekitar 500 ml untuk laki-laki dan 380 ml untuk wanita.

 Volume Cadangan Inspirasi (VCI), yaitu volume udara ekstra yang

masuk ke paru-paru dengan inspirasi maksimum di atas inspirasi

tidal. CDI berkisar 3100 ml pada laki-laki dan 1900 ml pada

perempuan.

 Volume Cadangan Ekspirasi (VCE) yaitu volume ekstra udara yang

dapat dengan kuat dikeluarkan pada akhir ekspirasi tidak normal.

VCE berkisar 1200 ml pada laki-laki dan 800 ml pada perempuan.

 Volume Residual (VR), yaitu volume sisa dalam paru-paru setelah

melakukan ekspirasi kuat. Rata-rata pada laki-laki 1200 ml dan

pada perempuan 1000 ml. Volume residual penting untuk

kelangsungan aerasi dalam darah saat jeda pernapasan.

(2) Kapasitas Paru-paru

 Kapasitas Residual Fungsional (KRF) yaitu penambahan volume

residual dan volume cadangan ekspirasi. Kapasitas ini merupakan

jumlah udara sisa dalam sistem respiratorik setelah ekspirasi

normal. Nilai rata-ratanya adalah 2200 ml. jadi nilai

(KRF=VR+VCE).

19
 Kapasitas inspirasi (KI) yaitu penambahan volume tidal dan volume

cadangan inspirasi. Nilai rata-ratanya adalah 3500 ml. jadi nilai

(KI=VT+VCI).

 Kapasitas Vital (KV) yaitu penambahan volume tidal, volume

cadangan inspirasi dan volume cadangan ekspirasi

(KV=VT+VCI+VCE). Nilai rata-ratanya sekitar 4500 ml.

 Kapasitas Total Paru (KTP) adalah jumlah total udara yang dapat

ditampung dalam paru- paru dan sama dengan kapasitas vital

ditambah volume residual (KTP=KV+VR). Nilai rata-ratanya

adalah 5700 ml.

(3) Mekanisme Pernafasan

a) Fase Inspirasi Pernapasan Perut

Mekanisme inspirasi pernapasan perut sebagai berikut: Sekat

rongga dada (diafraghma) berkontraksi posisi dari melengkung

menjadi mendatar paru-paru mengembang  tekanan udara

dalam paru-paru lebih kecil dibandingkan tekanan udara luar 

udara masuk.

b) Fase Ekspirasi Pernapasan Perut

Mekanisme ekspirasi pernapasan perut sebagai berikut: Otot

diafraghma relaksasi  posisi dari mendatar kembali melengkung

 paru-paru mengempis  tekanan udara di paru-paru paru lebih

besar dibandingkan tekanan udara luar  udara keluar dari paru-

paru.

20
(4) Fisiologi Pernafasan

Respirasi adalah suatu peristiwa ketika tubuh kekurangan oksigen

(O2) dan O2 yang berada di luar tubuh dihirup (inspirasi) melalui organ

pernapasan. Pada keadaan tertentu tubuh kelebihan karbon diksida

(CO2), maka tubuh berusaha untuk mengeluarkan kelebihan tersebut

dengan menghembuskan napas (ekspirasi) sehingga terjadi suatu

keseimbangan antara O2 dan CO2 di dalam tubuh. Sistem respirasi

berperan untuk menukar udara ke permukaan dalam paru.

Udara masuk dan menetap dalam sistem pernapasan dan masuk

dalam pernapasan otot. Trakea dapat melakukan penyaringan,

penghangatan, dan melembapakan udara yang masuk, melindungi

permukaan organ yang lembut. Hantaran tekanan menghasilkan udara

ke paru melalui saluran pernapasan atas. Tekanan ini berguna untuk

menyaring, mengatur udara, dan mengubah permukaan saluran napas

bawah. (Syaifuddin, 2012).

Proses pernapasan berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu :

a) Ventilasi paru, yang berarti pertukaran udara antara atmosfer

dan alveolus paru.

b) Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah.

c) Pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah dan

cairan tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh (Guyton, 2006).

Udara bergerak masuk dan keluar paru karena adanya selisih

tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik

21
otot-otot. Diantaranya itu perubahan tekanan intrapulmonar, tekanan

intrapleural, dan perubahan volume paru (Guyton, 2006).

3. Etiologi Syndrom Obstruksi Pasca Tuberculosis (SPOT)

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Spesies lain yang dapat menyebabkan

tuberkulosis adalah Mycobacterium kansasii, Mycobacterium bovis, dan

Mycobacterium intracellulare, bakteri ini berbentuk batang lurus atau bengkok,

dengan panjang 1-4 mikron dengan lebar 0,2-0,8 mikron. Mycobacterium

tuberculosis merupakan aerob obligat yang dapat tumbuh dengan baik dalam

jaringan yang memiliki kadar oksigen yang tinggi seperti paru-paru. Pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis berlangsung cukup lambat dengan waktu generasi

12-18 jam (Radji, 2011).

Sedangkan Syndrome obstruktif post tuberculosis (SOPT) itu disebabkan

oleh bekas dari luka akibat infeksi TB paru atau fibrosis yang dipengaruhi oleh

reaksi imunologi seseorang sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang

menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas (Mahendra, 2015). Jadi,

semakin luas jaringan paru yang rusak akibat infeksi kuman TB, semakin

berkurang membran pernapasan total dan kerusakan jaringan paru-paru yang

hebat (Titin dkk, 2007).

4. Patologi Syndrom Obstruksi

Patofisiologi timbulnya sindrom obstruksi pada Tuberkulosis paru yang

mengarah ke timbulnya sindrom pasca Tuberkulosis sangat kompleks pada

22
penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh proses

Tuberkulosis. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi Tuberkulosis, dipengaruhi

oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan reaksi peradangan

nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru

makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses

proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga

destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan

mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri.

5. Gejala Klinis Syndrom Obstruksi Pasca Tuberculosis (SPOT)

Adapun gejala utama pada penderita SOPT berupa batuk berdahak, sesak

napas, penurunan ekspansi sangkar toraks. Gejala lainnya adalah demam tidak

tinggi atau meriang, dan penurunan berat badan (Widoyono, 2008).

a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-410 Celsius. Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar ,tetapi kemudian dapat timbul

kembali.Begitulah seterusnya hilang timbul demam influenza ini ,sehingga

pasien merasa tidak pernah terbeba dari serangan demam influenza.

Keadaan ini sangat terpengaruh oleh daya tahan tubuh pasien dan berat

ringannya infeksi kuman tuberkolosis masuk.

b. Batuk/batuk berdarah

Gejala ini bayak ditemukan.batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus.batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang

23
keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,

mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan

paru yakni setelah minggu-mimggu atau berbulan-bulan peradangan

bermula.sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian

setelah timbul peradagan menjadi produktif (menghasilkal sputum).

Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuuh

darah yang pecah.kebanyakan batuk darah pada tuberkulusis terjadi pada

kavitas,tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

c. Sesak bernafas

Pada penyakit ringan (baru tumbuh)belum dirasakan sesak

nafas.sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,yang

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru dan takipneu.

d. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan.nyeri dada timbul bila infiltrasinya

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis .terjadi

gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.

e. Malaise dan kelelahan

Penyakit tuberculosis bersifat radang menahun, gejala malaise sering

ditemukan berupa anaoreksia tidak ada nafsu makan,badan makin

kurus(berat badan turun), sakit kepala,keringat malam,dll. Selain itu juga

terjadi kselitan tidur pada malam hari (Price, 2005). Gejala malaise ini

makin lama makin berat dan terjadi ilang timbul secara tidak teratur.

24
B. Tinjauan tentang Pengukuran Fisioterapi

1. Auskultasi

Untuk mendengar suara khususnya suara nafas. Bunyi nafas normal dan

abnormal terjadi akibat gerakan udara di airway selama inspirasi dan expirasi.

a. Persiapan pasien : Posisi pasien duduk comfortable dan rileks.

b. Teknik pelaksanaan :

1) Tempatkan stetoskop pada dada pasien.

2) Kemudian stetoskop digerakkan dengan pola simetris (S) pada dinding

dada lalu posisi lateral dinding dada setinggi T2, T6, T10.

3) Minta pasien untuk deep inspirasi melalui hidung dan ekspirasi melalui

mulut beberapa kali dan bersamaan dengan itu terapis menggerakkan

stetoskop pada tiap tiap dinding dada pasien.

Kanan Kiri
Regio
Ves Ronchi Whes Ves Ronchi Whes

Apical

Middle

Lower

Posterior

2. Muscle Test

a. M. Pectoralis Mayor

1) Posisi pasien : Supine lying.

25
2) Teknik pelaksanaan : Instruksikan pasien untuk mengangkat kedua

tangannya ke atas sampai full ROM atau sampai menyentuh bed. M.

pectoralis mayor dikatakan memendek apabila salah satu atau kedua

lengan tidak dapat menyentuh bed.

b. M. Pectoralis Minor

1) Posisi pasien : Supine lying.

2) Teknik pelaksanaan : Instruksikan pasien untuk menggerakkan

bahunya menyentuh bed. M. pectoralis minor dikatakan memendek

apabila salah satu atau kedua bahu tidak dapat menyentuh bed.

c. M. Upper Trapezius

1) Posisi pasien : Supine lying, dengan kepala pasien berada

diluar bed dan disanggah oleh tangan terapis.

2) Teknik pelaksanaan : Terapis menggerakkan kepala pasien kearah

lateral fleksi dengan memberikan caunter fleksi pada bahu pasien. M.

Upper trapezius dikatakan memendek apabila pasien merasa nyeri.

d. M. Sternocleidomastoideus

1) Posisi pasien : Supine lying, dengan kepala pasien berada

diluar bed dan disanggah oleh tangan terapis.

2) Teknik pelaksanaan : Terapis menggerakkan leher pasien kearah

ekstensi, rotasi. M. Sternocleidomastoideus dikatan memendek apabila

ada nyeri.

26
3. Pengukuran Derajat Sesak dengan Skala Borg

Skala ini digunakan untuk membantu penderita menderajatkan intensitas

sesak dari derajat ringan sampai berat.

SKALA DERAJAT SESAK


0 Tidak sesak sama sekali
0,5 Sesak sangat ringan
1 Sesak nafas sangat ringan
2 Sesak nafas ringan
3 Sedang
4 Sesak nafas cukup berat
5 Sesak berat
6 Sesak berat
7 Sesak nafas sangat berat
8 Sesak nafas sangat berat
9 Sangat-sangat berat (hampir maksimal)
10 Maksimal

4. Mobilitas Sangkar Thorax dengan Antropometri

Pengukuran mobilitas sangkar thoraks dapat di lakukan secara langsung

dengan meletakan tangan di atas chest pasien dan merasakan pergerakan sangkar

thoraks atau dengan meteran untuk melihat selisih antara inpirasi dan ekspirasi.

Jika selisih antara inspirasi dan ekspirasi di bawah 3,5 cm menunjukkan ada

penurunan mobilitas sangkar thoraks. Adanya pemeriksaan ini bertujuan agar

pemeriksa dapat menilai secara obyektif dalam mengukur pengembangan

thoraks dan dapat pula dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam menilai

pengembangan thoraks setelah diberikan terapi.

a. Axilla

27
1) Persiapan pasien : Posisi pasien dalam keadaan duduk rileks dengan

pakaian di lepaskan dari tubuh.

2) Teknik pelaksanaan :

a) Tempatkan meteran pada axilla, kemudian lihat dan catat angka

awal.

b) Kemudian instruksikan pasien untuk deep inspirasi dan ekspirasi.

c) Lihat dan catat angka pada meteran pada saat pasien inspirasi dan

ekspirasi.

b. Papilla Mammae

1) Persiapan pasien : Posisi pasien dalam keadaan duduk rileks di atas

bed dengan pakaian di lepaskan dari tubuh.

2) Teknik pelaksanaan :

a) Tempatkan meteran pada papilla mammae, kemudian lihat dan

catat angka awal.

b) Kemudian instruksikan pasien untuk deep inspirasi dan ekspirasi.

c) Lihat dan catat angka pada meteran pada saat pasien inspirasi dan

ekspirasi.

c. Processus Xhypoideus

1) Persiapan pasien : Posisi pasien dalam keadaan duduk rileks I atas

bed dengan pakaian di lepaskan dari tubuh.

2) Teknik pelaksanaan :

a) Tempatkan meteran pada processus xhypoideus, kemudian lihat

dan catat angka awal.

b) Kemudian instruksikan pasien untuk deep inspirasi dan ekspirasi.

28
c) Lihat dan catat angka pada meteran pada saat pasien inspirasi dan

ekspirasi.

5. Derajat Nyeri Dada dengan VAS

VAS digunakan untuk mengukur kwantitas dan kwalitas nyeri yang pasien

rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai dari “tidak nyeri,

ringan, sedang, atau berat”.

Keterangan :

Skala 0-2 : tidak nyeri (tidak ada rasa sakit, merasa normal).

Skala 2-5 : nyeri ringan (masih bisa ditahan, aktifitas tak terganggu).

Skala 6-8 : nyeri sedang (mengganggu aktifitas fisik).

Skala 9-10 : nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas secara mandiri).

6. Pemeriksaan Spirometri

Pemeriksaan Spirometri dilakukan untuk melihat fungsi paru dari

komponen volume, kecepatan dan waktu yang berhubungan dengan penyakit

paru. Hal yang dapat mempengaruhi volume paru dan kecepatan aliran adalah

usia, jenis kelamin, ras serta tinggi badan. Berat badan tidak mempengaruhi nilai

prediksi normal.

Adapun prosedur pelaksanaan sebagai berikut :

29
a. Tahap persiapan :

1) Periksa alat berfungsi dengan baik dan sambungkan ke stop kontak.

2) Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada pasien.

3) Posisi pasien duduk disamping alat.

4) Nyalakan alat (power on). Masukan/atur data pasien berupa nama,

tanggal lahir, ID, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, ras dan

riwayat merokok.

5) Hubungkan pasien dengan alat dengan cara memberikan instruksi

kepada pasien agar memasukkan mouthpiece ke dalam mulutnya dan

menutup hidung.

6) Tekan tombol start pada layar spirometri untuk memulai pengukuran.

7) Instruksikan pasien agar bernapas biasa terlebih dahulu sebanyak 2x,

lalu menarik napas dalam dan menghembuskannya secara maksimal.

8) Tekan tombol stop pada layar spirometri untuk mengakhiri pengukuran,

lalu tekan analysis sehingga data akan keluar ke layar spirometri.

9) Periksa data dan dilanjutkan dengan mencetak hasil perekaman (tekan

tombol print).

10) Intruksikan kepada pasien agar mengambil mouthpiece pada alat

spirometri yang telah digunakan lalu membuangnya ke tempat yang

telah disediakan.

7. Pemeriksaan Toleransi Aktivitas

Six Minute Walking Test adalah suatu cara untuk mengukur kemampuan

daya tahan pasien dalam melakukan suatu aktivitas fisik tertentu. Tes ini

30
didasarkan pada sensasi pengalaman fisik pasien selama beraktivitas meliputi

peningkatan tekanan darah, denyut nadi, pernapasan serta tingkat kelelahan.

a. Prosedur Test

1) Tujuan : Untuk memperoleh tingkat severity pasien secara

akurat.

2) Persiapan Alat :

 Pastikan stopwatch, stethoscope, sphygmomanometer, dan pulse

oximeter tersedia, dan dalam kondisi baik.

 Peralatan lainnya meliputi; pita perekat untuk memberi tanda

disetiap 1 lap, segitiga kuning/cones untuk menandai tempat

putaran.

 Kursi yang mudah dipindah-pindahkan.

 Peralatan safety seperti oksigen, untuk mengantisipasi

kemungkinan bila terjadi hal yang tidak diharapkan (misalnya

pasien tiba-tiba merasa pusing atau kesadaran pasien menurun).

3) Persiapan Pasien

 Jelaskan prosedur test kepada pasien, untuk memastikan pasien

kooperatif.

 Sebelum dilakukan test, periksa tekanan darah, denyut jantung,

respirasi, dan saturasi oksigen pasien.

 Pasien harus beristirahat dengan duduk di kursi, dekat dengan garis

start, kurang lebih 5-10 menit sebelum test dilakukan.

 Informasikan kepada pasien untuk berjalan sejauh mungkin selama

6 menit, jangan atau jogging.

31
4) Teknik Operasional Six-Walking Test

 Posisikan pasien pada garis start. Pada saat pasien mulai berjalan,

nyalakan stopwatch.

 Pusatkan perhatian pada pasien, jangan sampai salah menghitung

jumlah putaran.

 Berikan semangat kepada pasien setiap 1 menit, dan menurut

American Thoracic Society, sesuai dengan ketentuan kalimat di

bawah ini :

(a) Menit 1 selesai : “Anda sudah benar melakukannya, teruskan,

ada 5 menit lagi.”

(b) Menit 2 selesai : “Bagus, pertahankan seperti ini, anda masih

punya 4 menit lagi.”

(c) Menit 3 selesai : “Anda melakukannya dengan baik, sudah

setengah jalan.”

(d) Menit 4 selesai : “Anda sudah baik melakukannya, tinggal 2

menit lagi.

(e) Menit 5 selesai : “Anda sudah baik melakukannya, tinggal 1

menit lagi.”

(f) Menit 6 selesai : “Finish.”

 Tanyakan tingkat severity aktivitas yang dirasakan oleh pasien

setelah test dilakukan.

 Catat hasil pengukuran pada medical record pasien.

32
Parameter :

Skala Tingkat Severty Aktivitas yang Dirasakan


0 Tidak ada sama sekali.
1 Aktivitas sangat ringan (apa pun itu seperti tidur,
menonton TV, mengendarai mobil, dll).
2-3 Aktivitas ringan (rasanya seperti anda dapat bernapas
dengan mudah selama empat jam dan bercakap-cakap).
4-6 Aktivitas sedang (rasanya seperti anda melakukan
exercise selama empat jam dengan bernapas agak berat,
masih dapat bercakap-cakap dalam waktu singkat).
7-8 Aktivitas berat (hampir sulit untuk bernapas, masih
dapat mengucapkan kalimat).
9 Aktivitas sangat berat (sangat sulit untuk
mempertahankan intensitas latihan, sulit bernapas dan
hanya dapat mengucapkan satu kata).
10 Aktivitas dengan upaya maksimal (merasakan sangat
tidak mungkin untuk tetap mempertahankan bernapas
sepenuhnya, tidak mampu untuk berbicara).

C. Tinjauan tentang Intervensi Fisioterapi

1. Terapi Oksigen (O2)

Oksigenasi adalah salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses

metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh.

Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara ruangan dalam

setiap kali bernafas (Harahap,2004).

Terapi oksigen merupakan terapi pernafasan dalam mempertahankan

oksigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan utama pemberian O2

33
adalah untuk mengatasi keadaan hipoksemia, menurunkan kerja nafas dan

menurunkan kerja miocard (Harahap,2004).

2. MWD (Microwave Diathermy)

Menurut penelitian Nia Rima Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

‘Aisyiyah Yogyakarta (2017). Modalitas yang sesuai untuk mengurangi nyeri

dada pasien adalah dengan pemberian modalitas berupa MWD. Hasil terapi

menunjukkan bahwa adanya penurunan nyeri yang signifikansetelah dilakukan

terapi selama 4 minggu.

MWD adalah salah satu terapi heating yang menggunakan stressor fisis

berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus bolak balik frekuensi

2450 MHz dengan panjang gelombang 12,25cm. Microwave Diathermy (MWD)

adalah bentuk radiasi elektromagnetik Efek yang terjadi adalah kenaikan

temperatur, yaitu berpengaruh terhadap jaringan yang bersifat isolator,

konduktor, dan jaringan elektrolit. Pada jaringan yang bersifat isolator panas

dapat timbul akibat discplacment current karena dipengaruhi oleh electron yang

kuat, sedangkan pada jaringan yang bersifat konduktor panas terjadi akibat rotasi

dipole karena ion-ion bersifat lebih mobile. Karena sifat panas yang dihasilkan

dapat meningkatkan ekstensibilitas jaringan kolagen, maka hal ini dapat

membantu sebelum melakukan latihan atau treatment.

3. TENS

TENS merupakan suatu cara penggunaan energy listrik guna merangsang

sistem saraf melalui permukaan kulit (Parjoto, 2006). Jenis arus TENS untuk

menghasilkan kontraksi otot dibutuhkan fase durasi dan frekuensi yang tepat.

34
Tanggap rangsang jaringan tubuh lebih ditentukan oleh durasi dan amplitude

stimulasi listrik dan nama arus listrik yang digunakan. Faktor lain yang juga ikut

mempengaruhi respon jaringan ialah frekuensi, dimana pada stimulus yang

menimbulkan tanggap rangsang motorik frekuensi menentukan bentuk kontraksi

otot yaitu single brisk, parsial tetanik ataupun tetanik penuh. Frekuensi stimulus

yang diperlukan untuk menghasilkan kontraksi tetanik pada suatu kelompok otot

dikenal sebagai Critical Fusion Frequency (CFF). Frekuensi yang menghasilkan

kontraksi otot adalah 30-80 Hz sementara tanggap rangsang jaringan frekuensi

untuk motorik adalah 10-50 Hz sehingga peneliti menggunakan frekuensi 10Hz,

30Hz, dan 50Hz. Pengaruh fisiologis stimulasi listrik terhadap jaringan tubuh

sebagai berikut : (Alon G, 1987) Tingkat jaringan : 1) Kontraksi otot rangka dan

efeknya terhadapnya kekuatan otot, kecepatan kontraksi serta daya tahan

terhadap kelelahan, 2) Kontraksi otot-otot polos dan rileksasi yang berdampak

pada aliran arteri maupun vena, 3) Regenerasi jaringan, termasuk tulang,

ligament, jaringan ikat dan kulit.

4. Breathing Exercise

Breathing exercise merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

membersihkan jalan napas, merangsang terbukanya sistem collateral,

meningkatkan distribusi ventilasi dan meningkatkan volume paru (Pryor dan

Webber, 1998).

Pursed lip breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna

mengurangi sesak napas dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang

dibarengi dengan pernapasan diafragma dan latihan ini dapat dilakukan dengan

35
meniup lilin, meniup bola pingpong, dan membuat gelembung di dalam air

minum dengan menggunakan pipa hisap. Latihan ini berfokus pada pengontrolan

inspirasi dan ekspirasi juga dengan pola ekspirasi yang panjang dengan cara bibir

mencucu. Selain itu, breathing control merupakan latihan pernapasan yang

dapat meningkatkan volume paru, mempertahankan alveolus agar tetap

mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan sekresi

mukosa, mobilitas sangkar toraks dan meningkatkan kekuatan, daya tahan dan

koordinasi otot-otot respirasi, meningkatkan efektifitas mekanisme batuk,

mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine, koreksi

pola-pola napas yang abnormal, dan meningkatkan relaksasi (Subroto, 2010).

5. Postural Drainage

Menurut penelitian Febrina Adriana (2015) pada penatalaksanaan

fisioterapi pada Asma Bronkhial di RSKP Respira Jogjakarta. Postural drainase

(PD) merupakan salah satu intervensi untuk melepaskan sekresi dari berbagai

segmen paru dengan menggunakan pengaruh gaya gravitasi.. Mengingat

kelainan pada paru bisa terjadi pada berbagai lokasi maka PD dilakukan pada

berbagai posisi disesuaikan dengan kelainan parunya. Waktu yang terbaik untuk

melakukan PD yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan sekitar 1 jam

sebelum tidur pada malam hari.

Postural drainase (PD) dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya

sekret dalam saluran nafas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga

tidak terjadi atelektasis. Pada penderita dengan produksi sputum yang banyak

PD lebih efektif bila disertai dengan clapping dan vibrating.

36
6. Latihan Batuk

Menurut penelitian Yuliatie, dkk. Program S1 Keperawatan STIKES

PEMKAB Jombang(2015). Modalitas yang sesuai untuk mengeluarkan sputum

pada pasien adalah dengan pemberian modalitas batuk efektif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat peningkatan volume sputum (cc) setelah diberikan

batuk efektif tehadap 19 responden dari jumlah sampelnya yaitu 24 responden.

Batuk efektif adalah merupakan latihan batuk untuk mengeluarkan sekret.

Batuk efektif adalah merupakan suatu metode batuk dengan benar, dimana klien

dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan

dahak secara maksimal. Jika sputum terlalu kental untuk dapat dikeluarkan, ada

baiknya mengurangi viskositasnya dengan meningkatkan kandungan airnya

melalui hidrasi yang adekuat.

Batuk yang benar cara pertama yang dilakukan adalah duduk agak

condong kedepan kemudian tarik nafas dalam dua kali lewat hidung keluarkan

lewat mulut kemudian nafas yang ketiga ditahan 3 detik dan batukkan 2 sampai

3 kali dan sebelum batuk efektif dianjurkan minum air hangat dan minum air

sebanyak 2 liter 1 hari sebelumnya dengan tujuan dahak menjadi encer dan

mempermudah pengeluaran sputum supaya dapat maksimal. Sedangkan pada

batuk biasa tidak menggunakan teknik yang benar karena tidak ada perlakuan-

perlakuan khusus sehingga penggeluaran sputum tidak maksimal.

7. Mobilisasi Sangkar Toraks

37
Mobilisasi sangkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive movemen

pada trunk dan extremitasyang dilakukan dengan deep breathing yang bertujuan

untuk meningkatkan mobilitas trunkdan shoulder yang mempengaruhi respirasi

serta memperkuat kedalaman inspirasi dan ekspirasi (Subroto, 2010). Mobiliasi

sangkar toraks dapat dilakukan dengan bantuan pergerakan dari bahu dan tulang

belakang. Mobilisasi sangkar toraks melibatkan gerakan kompleks dari anggota

gerak atas selain itu antara sternum, torakal vertebra, serta otot-otot pernapasan.

Mekanisme mobilisasi sangkar toraks adalah meningkatkan panjang otot

interkostalis dengan melakukan kontraksi yang efektif dari anggota gerak atas.

8. Sternocostal Mobilization

Sternocostal Mobilization adalah suatu bentuk mobilisasi sendi sendi

sternocostal s yang dilakukan dengan teknik manual terapi yang bertujuan untuk

mengurangi rasa nyeri dada saat melalukan ekspirasi dan inspirasi atau nyeri

yang timbul akibat gangguan system pernafasan yang melibatkan system

muskuluskelatal seperti otot-otot dada dan tulang dada.

Mobilisasi ini dengan teknik manual terapi pada daerah dada dapat

menstimulus rasa nyeri sehingga nyeri dapat berkurang. Dengan menggerakan

sendi sternocostal secara cranial caudal secara spesifik untuk meningkatkan

ekspansi dada baik secara segmental dan regional serta dapat disertai peregangan

manual dan teknik-teknik fasilitasi.

Mobiliasi sternocostal dapat dilakukan dengan bantuan pergerakan dari

tulang costa dan tulang sterbun. Mobilisasi ini melibatkan gerakan kompleks

38
dari anggota gerak atas selain itu antara sternum, torakal vertebra, serta otot-otot

pernapasan.

39
BAB III
PROSES FISOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien

No. Rekam Medik : 073631

Nama : Tn. SDL

Umur : 52 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Alamat : Jl.Rapocini Raya

Diagnosa Medis : Syndrome Obstuctive Post Tuberculosis

B. Anamnesis Khusus

Keluhan Utama : Sesak nafas, nyeri dada, batuk

produktif

Riwayat Perjalanan Penyakit : 1. Pasien di BBKPM tanggal 5 juni

2018 dengan keluhan batuk

produktif, sesak nafas memberat

saat beraktifitas, dan berkurang

saat istirahat

2. Pasien pernah berobat TB 7 tahun

yang lalu namun tidak selesai

3. Pasien rutin rawat jalan di BBKPM

dirujuk fisioterapi sejak 3

40
september 2018 dan pasien rutin

FT sampai sekarang

Riwayat Penyakit Dahulu dan Penyerta : TB Paru

Riwayat Keluarga : Keluarga pasien tidak pernah

mengalami hal

yang sama seperti pasien.

Riwayat Status Sosial : Pasien seorang pedagang, pasien

mampu melakukan pekerjaan ringan

seperti perawatan diri secara mandiri

tetapi pasien tidak mampu melakukan

pekerjaan berat seperti berjalan jauh

dan mengangkat beban berat. Pasien

tinggal dilingkungan yang terpapar

polusi udara dan asap rokok

C. Vital Sign

- Tekanan Darah : 130/90 mmHg

- Frekuensi Nadi : 94 x/menit

- Frekuensi Pernafasan : 16 x/menit

- Saturasi O2 : 98%

D. Inspeksi/Observasi

1. Statis

- Wajah tampak cemas

41
- Shoulder protraksi

- Dada barrel chest

- Postur Kifosis

2. Dinamis

- Pasien jalan secara pelan-pelan dan hati-hati

- Pola nafas lambat dan dalam

- Sesak saat berjalan

E. Palpasi

- Spasme pada M. levator scapula, M. Trapezius, M. Pectoralis Major

- Nyeri tekan pada dada depan dan bagian leher

F. Auskultasi

1. Auskultasi

Regio Kiri Kanan


Vas Ronchi Whez Vas Ronchi Whez
Apical  
Mild Zone  
Lower Zone  
Posterior  
Interpretasi : terdapat bunyi ronchi pada regio apical paru-paru kiri dan paru-paru

kanan dan mild zone paru-paru kanan

42
G. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapis

1. Intensitas Nyeri

Keterangan :

Skala 0-2 : tidak nyeri (tidak ada rasa sakit, merasa normal).

Skala 2-5 : nyeri ringan (masih bisa ditahan, aktifitas tak terganggu).

Skala 6-8 : nyeri sedang (mengganggu aktifitas fisik).

Skala 9-10 : nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas secara mandiri).

Hasil : skala 4 saat ekspirasi (nyeri ringan), skala 6 nyeri tekan (nyeri sedang)

dibagian leher dan dada

2. Derajat Sesak

Pemeriksaa dengan menggunakan skala borg:

SKALA DERAJAT SESAK


0 Tidak sesak sama sekali
0,5 Sesak sangat ringan
1 Sesak nafas sangat ringan
2 Sesak nafas ringan
3 Sedang
4 Sesak nafas cukup berat
5 Sesak berat

43
6 Sesak berat
7 Sesak nafas sangat berat
8 Sesak nafas sangat berat
9 Sangat-sangat berat (hampir maksimal)
10 Maksimal
Interpretasi : Nilai 4 (sesak nafas cukup berat)

3. Mobilisasi Sangkar Thoraks

Selisih
Titik Ukur Inspirasi Awal Ekspirasi
Inspirasi Ekspirasi
Axilla 91 cm 89 cm 88 cm 2 cm 1 cm
Papilla Mamae 87 cm 85 cm 84 cm 2 cm 1 cm
Xyphoid 83 cm 81 cm 81 cm 2 cm 0 cm
Interpretasi: Penurunan mobilitas sangkar thoraks segmen apical dan middle

lobius saat ekspirasi serta segemen lower lobus saat inspirasi dan ekspirasi

4. Pemeriksaan Panjang Otot

1) M. Pectoralis Mayor

a) Posisi pasien : Supine lying.

b) Teknik pelaksanaan : Instruksikan pasien untuk mengangkat kedua

tangannya ke atas sampai full ROM atau sampai menyentuh bed. M.

pectoralis mayor dikatakan memendek apabila salah satu atau kedua lengan

tidak dapat menyentuh bed.

c) Hasil : Memendek

2) M. Pectoralis Minor

a) Posisi pasien : Supine lying.

44
b) Teknik pelaksanaan : Instruksikan pasien untuk menggerakkan

bahunya menyentuh bed. M. pectoralis minor dikatakan memendek apabila

salah satu atau kedua bahu tidak dapat menyentuh bed.

c) Hasil : Memendek

3) M. Upper Trapezius

a) Posisi pasien : Supine lying, dengan kepala pasien berada

diluar bed dan disanggah oleh tangan terapis.

b) Teknik pelaksanaan : Terapis menggerakkan kepala pasien kearah

lateral fleksi dengan memberikan caunter fleksi pada bahu pasien. M.

Upper trapezius dikatakan memendek apabila pasien merasa nyeri.

c) Hasil : Memendek

4) M. Sternocleidomastoideus

a) Posisi pasien : Supine lying, dengan kepala pasien berada

diluar bed dan disanggah oleh tangan terapis.

b) Teknik pelaksanaan : Terapis menggerakkan leher pasien kearah

ekstensi, rotasi. M. Sternocleidomastoideus dikatan memendek apabila ada

nyeri.

c) Hasil : Normal

5. Pemeriksaan Toleransi Aktivitas

Hasil : tidak dilakukan karena tekanan darah pasien tinggi

45
6. Pemeriksaan Fungsi Paru

Parameter Best Pred %Pred

FVC 0.52 3.29 15.82

FEV1 0.52 2.70 19.31

FVC/FEV1 100.00 77.51 129.01

Interpretasi BTS : Restrictive disorder

7. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan Radiologi

25/09/2019 Hasil: TB paru aktif, efusi pleura sinistra

- Pemeriksaan Labolatorium

Hasil :

24/09/2019 S (sewaktu) : negatif

24/09/2019 P (pagi) : negatif

24/09/2019 S (sewaktu) : negatif

08/09/2019 TCM : MBT not detected

H. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi

1. Diagnosis Fisioterapi

Berdasarkan assessment fisioterapi yang telah dilakukan kemudian dikaji

berdasarkan teori ilmiah. Adapun diagnosis fisioterapinya adalah “Gangguan

fungsional respirasi berupa sesak napas, nyeri dada dan Penurunan Mobilitas

Sangkar Thorax et causa SOPT (Syndrome Obstructive Pasca Tuberkulosis)”.

46
2. Problematik Fisioterapi

a. Anatomical Impairment

1) Sesak nafas

2) Nyeri dada

3) Retensi Sputum

4) Penurunan sangkar thorax

5) Penurunan volume paru.

6) Spasme pada M. Upper Trapezius M. Pectoralis Mayor Minor.

7) Penurunan toleransi aktifitas

b. Fungsional Limitation

1) ADL mandiri namun pasien beristirahat terlebih dahulu sebelum

melakukan pekerjaannya sebagai pedagang

2) Pasien tidak mampu melakukan pekerjaan berat seperti mengangkat beban

berat

c. Participation Retriction

Mampu untuk berpartisipasi dengan lingkungan sekitarnya namun

terganggu dalam dan melakukan pekerjaannya.

I. Tujuan Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Pendek

1) Mengurangi sesak nafas.

2) Mengurangi nyeri dada

3) Mengajarkan batuk efektif

47
4) Meningkatkan ekspansi sangkar toraks.

5) Meningkatkan volume paru.

6) Mengurangi spasme pada M. Upper Trapezius dan M. Pectoralis Mayor

Minor

7) Meningkatkan toleransi aktifitas

8. Tujuan Jangka Panjang

1) Melanjutklan tujuan jangka pendek.

2) Manajemen terjadinya serangan ulang dengan edukasi kepada pasien dan

keluarga.

3) Meningkatkan kemampuan toleransi aktivitas fungsional penderita guna

meningkatkan kualitas hidup.

J. Program Intervensi Fisioterapi

1. Terapi Oksigen

1) Persiapan pasien :

a) Lakukan penilaian klinis pada pasien untuk memastikan indikasi tindakan

terpenuhi. Pastikan pasien mengalami hipoksia melalui pemeriksaan

saturasi oksigen menggunakan oksimeter.

b) Pastikan tidak ada obstruksi jalan napas pada hidung. Jika terdapat

produksi mukus berlebih, sedot menggunakan section.

c) Edukasi pasien mengenai tujuan tindakan.

2) Persiapan alat :

48
Pastikan semua alat tersedia dan dapat berfungsi. Peralatan yang

digunakan dalam pemasangan kanula hidung adalah kanula hidung dengan

ukuran yang sesuai, tabung oksigen atau sumber oksigen lainnya, regulator

oksigen yang terpasang ke sumber oksigen, dan flow meter unuk mengatur

aliran oksigen.

3) Prosedur pelaksanaan :

a) Pasien dalam posisi setengah duduk atau semi fowler agar

memaksimalkan ekspansi paru.

b) Pastikan sumber oksigen telah tersedia dan terpasang.

c) Jelaskan prosedur pelaksanaan pada pasien.

d) Hubungkan selang kanul ke sumber oksigen.

e) Nyalakan aliran oksigen sesuai dosis yang dibutuhkan pasien.

f) Posisikan prong dari kanul hidung agar melengkung ke bawah, kemudian

insersi prong ke dalam rongga hidung.

g) Posisikan kedua sisi selang di atas dan belakang telinga.

h) Lakukan pemantauan respon klinis pasien dan kontinuitas aliran oksigen

secara rutin.

2. MWD

1) Persiapan alat :

a) Tes alat

b) Pre pemanasan 5-10 menit

c) Jarak ± 10 cm dari kulit

2) Persiapan pasien :

49
a) Sebelum memberikan modalitas Fisioterapi, pasien terlebih dahulu di

beritahukan efek dari alat yang akan diberikan.

b) Bebaskan daerah yang akan di berikan alat dari pakaian dan perhiasan.

c) Posisikan pasien senyaman mungkin.

d) Tes sensibilitas.

e) Jarak antara kulit pasien dengan alat adalah 5-10 cm.

f) Durasi pemberian yakni ±10 menit.

g) Intensitas 30-50 w (sesuai toleransi pasien)

3) Teknik pelaksanaan :

a) Arahkan MWD ke middle thoraks kanan dan kiri pasien.

b) Jarak 10 cm.

c) Intensitas 30 w, arus intermitten

d) Waktu 10 menit

4) Tujuan : Untuk mengurangi nyeri ,meningkatkan rileksasilokal di dada pasien

dan melancarkan sirkulasi darah.

3. TENS

1) Persiapan alat:

a) Tes alat

b) Basahi spons yang akan digunakan.

2) Persiapan pasien :

a) Sebelum memberikan modalitas Fisioterapi, pasien terlebih dahulu di

beritahukan efek dari alat yang akan diberikan.

b) Bebaskan daerah yang akan di berikan alat dari pakaian dan perhiasan.

50
c) Posisikan pasien senyaman mungkin.

d) Tes sensibilitas.

e) Tempatkan pad pada daerah yang diinginkan.

f) Durasi pemberian yakni ±15 menit.

g) Intensitas sesuai toleransi pasien , dengan 2 pad.

3) Teknik pelaksanaan :

a) Lekatkan pad (vasotron) pada thoraks kanan dan kiri pasien.

b) Pilih arus Assimetrycal Alternating

c) Waktu 10 menit

d) Intesitas 9,7 mA

4) Tujuan : Untuk mengurangi nyeri

4. Chest Fisioterapi

a) Postural Drainage

1) Persiapan pasien

- Longgarkan seluruh pakaian terutama daerah leher dan pnggang

- Terangkan cara pelaksanaan kepada klien secara ringkas tetapi

lengkap

- Periksa nadi dan tekanan darah

- Apakah pasien mempunyai refleks batuk atau memerlukan suction

untuk mengeluarkan secret.

2) Cara melakukan drainage

- Dilakukan sebelum makan untuk mencegah mual muntah dan

menjelang tidur malam untuk meningkatkan kenyamanan tidur.

51
- Dapat dilakukan dua kali sehari, bila dilakukan pada beberapa posisi

tidak lebih dari 40 -60 menit, tiap satu posisi 3-10 menit

- Posisi pasien dengan benar dan rileks, comforteble

- Anjurkan pasien tarik napas dalam dan batuk 2x, jika pasien tidak

mampu batuk, lakukan vibrasi pada akhir ekpirasi untuk membantu

paisen

- Dosis 1-2 kali dalam sehari

b) Tapotementt

1) Pesiapan alat : persedian handscoon untuk terapis

2) Persiapan pasien : posisikan pasien dengan benar untuk drainage

kemudian pasien diistruksikan bernapas dalam dan rileks.

3) Teknik pelaksanaan : lakukan perkusi atau tapotement di atas segmen

yang diberi postural drainage. Anjurkan pasien tarik napas dalam dan

batuk 2x, jika pasien tidak mampu batuk, lakukan vibrasi pada akhir

ekspirasi untuk membantu pasien. Jika pasien tidak batuk dan tidak

produktif setelah diposisikan maka lanjut ke posisi berikutnya. Biasanya

sekresi akan dibatukkan setelah 30 menit atau 1 jam setelah pengobatan.

4) Tujuan : untuk melepaskan perlengketan sputum agar mudah dilirkan ke

sentral bronkus.

c) Breathing Exercise

1) Persiapan pasien: posisi pasien duduk di atas bed dengan memeluk bantal

dengan kedua lutut rileks dan pasien nyaman dengan posisi tersebut.

2) Pelaksanaan: sebelumnya pasien diberi tahu maksud dan tujuan

dilakukannya latihan ini. Setelah pasien diberikan contoh, pasien

52
diinstruksikan untuk tarik napas panjang melewati hidung dan

menghembuskan melewati mulut secara perlahan. Lakukan hingga

beberapa kali

d) Latihan batuk

1) Tujuan : Untuk membantu proses pengeluaran mucus dalam paru agar

saluran napas menjadi lancar

2) Tekenik Pelaksaan : posisikan pasien serileks mungkin untuk melakukan

deep breathing dan batuk. Posisi duduk dengan leher sedikit fleksi agar

batuk lebih comportable. Ajarkan pasien untuk mengontrol diagfragma

breathing khususnya deep inspirasi. Demonstrasikan cara batuk yang

dalam dan kuat. Kemudian letakkan tangan di abdomen pasien dan

lakukan huffing pada akhir eksipirasi, rasakan kontaksi abdomen pasien.

3) Frekuensi Terapi

Dalam pemberian intervensi fisioterapi pasien di berikan frekuensi 1 x

sehari saja.

5. Mobilisasi Sangkar Thorax

a) Teknik Pelaksaan :

- Posisi duduk, pasien membengkokkan chest ke samping sehingga terjadi

penguluran dan ekspansi samping berlawanan selama inspirasi.

Kemudian pasien meletakkan genggaman tangan di sampingg chest lalu

bengkokkan chest ke lateral kearah genggaman tangan sambil ekspirasi.

Tingkatkan latihan ini dengan menempatkan tangan lebih tinggi.

53
- Pasien duduk di kursi dengan tangan di belakang kepala, kedua tangan

posisi abduksi horizontal selama inspirasi dalam. Instruksikan pasien

membungkuk ke depan bersama elbow lalu ekspirasi.

- Pasien duduk di kursi dengan kedua tangan di atas kepala (fleksi shoulder

bilateral 180o dan sedikit abduksi) selama inspirasi. Minta pasien untuk

membungkuk ke depan hip dan meraih lantai selama ekspirasi

b) Tujuan : Memelihara atau memperbaiki mobilitas dinding chest, trunk dan

Shoulder akibat gangguan respirasi, meningkatkan kemampuan deep inspirasi

dan kontrol ekspirasi.

6. Stenocostal Joint Mobilisasi

a) Teknik Pelaksaan :

1) Posisi pasien terlentang diatas bed

2) Kemudian, palpasi bagian titik nyeri pada daerah dada dan terapis

genggam costa dekat sternum antara jari-jari telunjuk dan ibu jari.

3) Dorong costa ke cranial, caudal, dan posterior

4) Aplikasikan mobilisasi hingga tension/nyeri berkurang

b) Tujuan : untuk mengurangi nyeri pada dada

K. Evaluasi Fisioterapi

1. Evaluasi Sesaat

Hari/
No Problematik Intervensi Evaluasi
Tanggal

54
1. 14 Oktober 1) Mengurangi sesak nafas. 1. Terapi 1. Sesak
2019 Oksigen. berkurang
2) Mengurangi nyeri dada
2. MWD. 2. Nyeri dada
3) Mengajarkan batuk efektif
3. TENS. berkurang
4) Meningkatkan ekspansi 4. Chest
Fisioterapi
sangkar toraks.
5. Mobilisasi
5) Meningkatkan volume paru.
sangkar
6) Mengurangi spasme pada M. thorax
6. Strenocostal
Upper Trapezius dan tightness
Jonit
pada M. Pectoralis Mayor
Mobilization
Minor

7) Meningkatkan toleransi

aktifitas

2. Evaluasi Berkala

Pasien hanya di tangani satu kali terapi maka kita tidak dapat melihat hasilnya

secara berkala.

55
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca tuberkulosis) adalah penyakit obstruksi

saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis dengan lesi paru

yang minimal yang masih sering ditemukan pada pasien pasca Tuberkulosis dalam

praktik klinik (Irawati, 2013).

Adapun gejala utama pada penderita SOPT berupa batuk berdahak, sesak

napas, penurunan ekspansi sangkar toraks. Gejala lainnya adalah demam tidak tinggi

atau meriang, dan penurunan berat badan (Widoyono, 2008).

Dari hasil penanganan fisioterapi selama 1 kali terapi di Balai Besar Kesehatan

Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar dapat diambil kesimpulan bahwa pasien yang

bernama Tn. SDL, umur 52 tahun dengan diagnosa medis Syndrome Obstruktif Post

Tuberkulosis (SOPT). Diberikan tindakan FT berupa:

1) Mengurangi sesak nafas

2) Mengurangi nyeri dada

3) Mengajarkan batuk efektif

4) Meningkatkan ekspansi sangkar toraks.

5) Meningkatkan volume paru.

6) Mengurangi spasme pada M. Upper Trapezius dan tightness pada M.

Pectoralis Mayor Minor

7) Meningkatkan toleransi aktifitas

Diperoleh hasil melalui evaluasi sesaat berupa :

56
1. Sesak berkurang
2. Nyeri dada berkurang

B. Saran

1. Saran bagi pasien

Penulis menyarankan kepada pasien untuk menghindari dan menjauhi hal-

hal atau tindakan yang dapat memicu terjadinya penyakit tersebut seperti

kelelahan. Hendaknya pasien rajin dalam latihan Breathing Exercise seperti yang

telah diajarkan oleh terapis agar keadaan atau kondisi pasien lebih baik dan

stabil..

2. Saran bagi keluarga

Penulis menyarankan kepada keluarga pasien untuk selalu menjaga dan

mengontrol keadaan pasien dengan memberikan support, dan menjaga asupan

makanan dan selalu mengingatkan untuk selalu menjaga kesehatan dengan

berolahraga.

57
DAFTAR PUSTAKA

Dye, C. Global epidemiology of tuberculosis. Lancet. 2006; 367: 938- 940. Diakses
tanggal 14 Oktober 2019 dari http://www.plosone.org/
article/findArticle.action?author=Dye&title=Global%20epidemiology%
20of%20tuberculosis
World Health Organization. Global Tuberculosis Control : WHO Report 2010. Geneva :
WHO. 2010; 1 - 218. Diakses tanggal 14 Oktober 2019 dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/ 9789241564069_eng.pdf.
Stop TB Partnership. Tuberculosis Global Fact. Geneva : WHO. 2010; 1 - 2. Diakses
tanggal 14 Oktober 2019 dari http://www.who.int/entity/tb/ publications/
2010/factsheet_tb_2010.pdf
Amin, Z., Bahar, A. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. 2007; 1576 - 1594 19
Sunaji, Fhaiqotul Vizky Amalia. 2017. Anatomi Sistem Pernafasan Bagian Bawah.
Diakses tanggal 17 Oktober 2019.
https://id.scribd.com/document/347910071/Anatomi-Sistem-Pernapasan-Bagian-
Atas-Ocie
Widiarti, Diah. 2013. Anatomi dan Fungsi Sistem Saluran Pernapasan Bagian Bawah.
Diakses tanggal 17 Oktober 2019.
https://id.scribd.com/document/149351523/Anatomi-Dan-Fungsi-Saluran-
Pernafasan-Bagian-Bawah
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2019. Tuberculosis. Jakarta Selatan.
Nur Rosmawati Ema. 2014. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Syndrome Obstructive
Post Tuberculosis (SOPT) di RS Paru Dr. Ario Wirawan. Program Studi Diploma
III Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ariyani Siwi Dwi. 2014. Pemberian Terapi Oksigen dengan Nasal Kanul terhadap
Penurunan Sesak Nafas pada Asuhan Keperawatan Tn.C dengan Efusi Pleura di
Bangsal Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi. Program Studi Diploma III Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta.
Wardani Sukma. 2017. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Pneumonia di RSP Dr.
Ario Wirawan Salatiga. Program Studi Diploma III Jurusan Fisioterapi Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
PDPI. 2005. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Diakses tanggal 21 Oktober
2019. http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf

58
LAMPIRAN I
LEMBAR ALGORHITMA ASSESSMENT

(Algorhitma assessment fisioterapi berdasarkan pengamatan dan perlakuan

terhadap kasus yang ditangani)

Nama Pasien =Tn. SDL Umur = 52 tahun Jenis Kelamin = Laki-laki

History Taking :

Pasien pada tannga 14 oktober 2019 dengan keluhan sesak nafas dan nyeri dada serta batuk.
Dahak warna putih dan sulit dikelurkan. Pasien pernah berobat 6 bulan 8 tahun yang lalu
tapi pengobatan tidak selesai. Hasil BTA: (-), TBM: (-). Diagnosis dokter SOPT

Inspeksi

 Saat statis : Wajah tampak cemas. Shoulder protraksi. Dada barel chest. Tulang belakang
kifosis
 Saat dinamis :Pasien jalan secara pelan-pelan dan hati-hati. Pola nafas lambat dan dalam.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan auskultasi : terdapat Pengukuran Palpasi :


- Spasme pada M.levator
bunyi ronchi pada regio apical paru-paru
 Skala borg : 4 (sesak napas cukup scapula, M.trapezius, M.
kanan dan kiri serta midl zone paru-paru bera) pectoralis mayor
kanan  Pengukuran VAS: nyeri saat - Nyeri tekan pada bagian
ekspirasi 4 nyeri tekan 6 dada dan leher
Pemeriksaan spirometri :
restrictive disorder  Mobilitas sangkar thorax :
Penurunan mobilitas thorax

Pemeriksaan Penunjang :

Pemeriksaan Lab dan Radiologi

59
25/09/19hasil radiologi : TB
24/09/19 S(sewaktu): negatif 07/05/2019 TCM : paru aktif dan efusi pleura
24/09/19 P (pagi) : negatif MBT not detected sinistra
24/09/19S (sewaktu) : negatif

Diagnosis ICF
Gangguan fungsional respirasi berupa sesak napas, nyeri dada dan
Penurunan Mobilitas Sangkar Thorax et causa SOPT (Syndrome
Obstructive Pasca Tuberkulosis)”

Makassar, 1 November 2019

Clinical Instructure I Proceptor

Lusi Sulandari,S.ST H.Muh.Tahir,S.Ft., Physio., M.Kes


NIP. 19831003200801200 NIP.198104252006041008

60
LAMPIRAN II
LEMBAR BAGAN ICF

Bagan ICF sesuai dengan problematik yang ditemukan berdasarkan hasil assessment

terhadap kasus yang ditangani

Nama Pasien : Tn.SDL

Umur : 53 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kondisi/Penyakit :
Gangguan fungsional respirasi berupa sesak napas, nyeri dada dan Penurunan
Mobilitas Sangkar Thorax et causa SOPT (Syndrome Obstructive Pasca
Tuberkulosis)”

Impairment Acivity Limitation Participation


(Body structure and function) Restriction
1) Sesak nafas
2) Nyeri dada 1) ADL mandiri namun
3) Retensi Sputum pasien beristirahat
4) Penurunan sangkar thorax terlebih dahulu sebelum Mampu untuk
5) Penurunan volume paru. melakukan pekerjaannya berpartisipasi dengan
6) Spasme pada M. Upper sebagai pedagang lingkungan sekitarnya
Trapezius dan tightness pada 2) Pasien tidak mampu namun terganggu
M. Pectoralis Mayor Minor. melakukan pekerjaan dalam dan melakukan
7) Penurunan toleransi aktifitas berat seperti pekerjaannya.
mengangkat beban berat

Makassar, 1 November 2019

Clinical Instructure I Proceptor

Lusi Sulandari,S.ST H.Muh.Tahir,S.Ft., Physio., M.Kes


NIP. 19831003200801200 NIP.198104252006041008

61
LAMPIRAN III
LEMBAR INTERVENSI FISIOTERAPI
Berbagai jenis pendekatan intervensi fisioterapi sesuai dengan Evidence Based practice

dan Clinical Reasoning

Nama Pasien : Tn.SDL Umur : 53 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Diagnosa fisioterapi: Gangguan fungsional respirasi berupa sesak napas, nyeri dada
dan Penurunan Mobilitas Sangkar Thorax et causa SOPT (Syndrome Obstructive
Pasca Tuberkulosis)”

Jenis Tujuan Intervensi Alasan Klinis

Intervensi

Nebulizer Untuk menghantarkan obat Menurut penelitian erna nur

dalam bentuk gas yang dapat rosnawati (2014) penatalaksanaan

dihirup oleh saluran fisioterapi syndrome obstruktif post

pernapasan pasien sehingga tuberculosis (SOPT) di RS paru Dr.

efektif dalam menurunkan atau Ario Wirawan modalitas ini untuk

menghilangkan sesak napas mengurangi sesak pada pasien

pada pasien. dengan pemberian modalitas berupa

nebulazer. Hasil terapi menunjukkan

bahwa adanya penurunan sesak nafas

di lakukan 6 kali terapi dapat

disimpulkan bahwa tingkat nilai

derajat sesak napas semakin

62
berkurang dari T1 nilai sesak napas

4(sesak napas cukup berat) dan T6

nilsi sesak 2 (sesak napas ringan).

MWD Mengurangi nyeri, Menurut penelitian nia rima fakultas

meningkatkan sirkulasi darah, ilmu kesehatan universitas aisyiyah

memberikan efek vasodilatasi yogyakarta (2017). Modalitas yang

sehingga elasticitas jaringan digunakan untuk mengurangi nyeri

meningkat. pada pasien dengan pemberian

modalitas berupa MWD. Hasil terapi

menunjukkan bahwa adanya

penurunan nyeri yang signifikan

setelah dilakukan terapi selam

4minggu. MWD adalah salah satu

terapi heating yang menggunakan

stressor fisis berupa energi

eletromagnetik yang dihasilkan oleh

arus bolak balik

TENS - Mengurangi nyeri akut Menurut peneliatian anisa hafidz

dan kronik nurul jannah pada tahun 2017 dengan

- Menlancarkan sirkulasi judul penatalaksanaan transcutaneus

darah electrical nerve stimulation (tens)

- Memelihara sifat terapi manipulasi dan terapi latihan

fisiologis otot dengan pada frozen shoulder sinistra di RS

Seodjono mengelang dan sampel 1

63
adanya rangsangan orang pasien. Dapat disimpulkan

saraf adanya penurunan skala nyeri setelah

dilakukan 6kali terapi. Hal ini dapat

di lihatpada terapi pertama (T1)

sampai dengan terapi keenam(T6).

Pada T1 nilai nyeri tekan 3 yaitu

nyeri ringan, nyeri gerak 6 yaitu nyeri

cukup berat. Sedangkan pada T6

nyeri tekan, 1 yaitu nyeri sangat

ringan, nyeri gerak : 4 yaitu nyeri

ringan. Trancutaneus electical nerve

stimulation adalah salah satu

modalitas fisiterapi.

Postural Untuk mencegah Menurut penelitian febriana suckono

Drainase dan terkumpulnya sekret dalam putri (2015)pada asuhan keperawatan

tapotement saluran nafas tetapi juga dengan tobercolosis paru di RSUD

mempercepat pengeluaran karanganyar. Postiral dreinage (PD)

sekret merupakan salah satu intervensi

untuk melepaskan sekresi dari

bebagai segmen paru dengan

menggunakan pengaruh gaya

geravitasi postural dreinage dapat

dilakukan untuk mencegah

terkumpulnya sekret dalam saluran

64
napas tetapi juga mempercepat

pengeluaran sekret sehingga tidak

terjadi atelektasis. Pada penderita

dengan produktif sputum yang

banyak PD lebih efektif bila di sertai

dengan clapping dan vibrating.

Latihan Untuk merangsang terbukanya Menurut penelitian yuliatie alie,

Batuk sistem kolateral, meningkatkan rodiyah, program SI keperawatan

distribusi ventilasi, dan STIKES PEMKAB JOMBANG

meningkatkan volume paru (2015). Modalitas sesuai untuk

serta memfasilitasi mengeluarkan sputum pada pasien

pembersihan saluran napas adalah dengan pemberian modalitas

yang memungkinkan pasien batuk efektif dengan cara tarik napas

untuk mengeluarkan sekresi dan di keluarkan lewat mulut. Hasil

mukus dari jalan napas penelitian menunjukkan bahwa

terdapat peningkatan volume sputum

(cc) setelah diberikan batuk efektif

terhadap 19 responden dari jumlah

sampelnya yaitu 24 responden.

Breathing Untuk melatih otot-otot Menurut penelitian anita puji lestari

exercise pernapasan, memperbaiki 2015 penatalaksanaan fisioterapi

ventilasi dan merangsang pada sindrom obstruksi. Paska

reflex batuk tuberkulosis di RS Paru Dr. Ario

Wirawan selatiga. Dalam pemberian

65
pursed lip breathing terhadap

peneurunan sesak napas setelah

dilakukan 6kali terapi dapat

disimpulkan bahwa tingkat nilai

derajat sesak napas semakin

berkurang dari TI nilai sesak napas 5,

dan T6 tidak ada sesak napas.

Mobilisasi Untuk meningkatkan mobilitas Menurut penelitian Sukma Wardani

Thoraks dinding dada dan (2017) “Penatalaksanaan Fisioterapi

meningkatkan fungsi pada Pasien dengan Pneumonia di RS

pernapasan. Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga” ,

dalam pemberian mobilisasi thoraks

terhadap dengan peningkatan sangkar

thoraks dengan menggunakan alat

ukur meteran setelah dilakukan terapi

3 kali terapi dapat disimpulkan

bahwa tingkat nilai pengembangan

thoraks, dari T1 pengembangan 1 cm

dan T3 pengembangan thoraks 2 cm.

Makassar, 1 November 2019

Clinical Instructure I Proceptor

Lusi Sulandari,S.ST H.Muh.Tahir,S.Ft., Physio., M.Kes


NIP. 19831003200801200 NIP.198104252006041008

66
67
LAMPIRAN IV
Berbagai jenis pendekatan intervensi fisioterapi yang diberikan oleh CE bersama dengan

mahasiswa praktikan.

Nama Pasien : Tn. SDL Umur : 53 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Diagnosa Fisioterapi : Gangguan fungsional respirasi berupa sesak napas, nyeri dada
dan Penurunan Mobilitas Sangkar Thorax et causa SOPT (Syndrome Obstructive
Pasca Tuberkulosis)”
Jenis Tujuan Intervensi Alasan Klinis

Intervensi

MWD Mengurangi nyeri, Microwave Diathermy (MWD)

meningkatkan sirkulasi darah, adalah bentuk radiasi

memberikan efek vasodilatasi elektromagnetik Efek yang terjadi

sehingga elasticitas jaringan adalah kenaikan temperatur, yaitu

meningkat. berpengaruh terhadap jaringan yang

bersifat isolator, konduktor, dan

jaringan elektrolit. Pada jaringan

yang bersifat isolator panas dapat

timbul akibat discplacment current

karena dipengaruhi oleh electron

yang kuat, sedangkan pada jaringan

yang bersifat konduktor panas terjadi

akibat rotasi dipole karena ion-ion

bersifat lebih mobile. Karena sifat

panas yang dihasilkan dapat

meningkatkan ekstensibilitas

68
jaringan kolagen, maka hal ini dapat

membantu sebelum melakukan

latihan atau treatment

TENS - Mengurangi nyeri akut Teori control gerbang (Gate Kontrol),

dan kronik teori ini menjelaskan bahwa serabut

- Menlancarkan sirkulasi syaraf dengan diameter kecil yang

darah membawa stimulus nyeri akan

- Memelihara sifat melalui pintu yang sama dengan

fisiologis otot dengan serabut yang memiliki diameter lebih

adanya rangsangan besar yang membawa impuls rab

saraf (mekanoreseptor), apabila kedua

serabut saraf tersebut secara bersama-

sama melewati pintu yang sama,

maka serabut yang lebih besar akan

menghambat hantaran impuls dari

serabut yang lebih kecil. Gerbang

biasanya tertutup, menghalangi

secara konstan transmisi nosiseptif

melalui serabut C dari sel perifer ke

sel-T. Jika timbul rangsangan nyeri

perifer, informasi dibawa oleh

serabut C mencapai sel-T dan

gerbang akan terbuka, menyebabkan

69
transmisi sentral ke Thalamus dan

korteks dimana impuls akan

diinterpretasikan sebagai nyeri.

TENS berperan dalam mekanisme

tertutupnya gerbang dengan

menghambat nosiseptif serabut C

dengan memberikan impuls pada

serabut bermyelin yang teraktifasi.

Postural Untuk mencegah Pada postural dreinage posisi pasien

Drainase dan terkumpulnya sekret dalam ditempatkan sedemikian rupa

tapotement saluran nafas tetapi juga sehingga dari lokasi kelainan paru

mempercepat pengeluaran menjadi pengeluaran sekret dengan

sekret bantuan gaya beratnya. Pada

umumnya dalam keadaan demikian,

juga dilakukan perkusi dan vibrasi.

Perkusi dan vibrasi merupakan energi

gelombang mekanik yang diterapkan

pada dinding dada dan diteruskan

kedalam paru. Dengan gelombang

energi mekanik tersebut sekret akan

bergetar dan turun. Dengan demikian

diharapkan bertambahnya

pembersihan sputum dari saluran

70
napas oleh pengaruh gaya beratnya

serta pengaruh perkusi dan vibrasi.

Latihan Untuk merangsang terbukanya Batuk efektif adalah merupakan

Batuk sistem kolateral, meningkatkan suatu metode batuk dengan benar,

distribusi ventilasi, dan dimana klien dapat menghemat

meningkatkan volume paru energi sehingga tidak mudah lelah

serta memfasilitasi dan dapat mengeluarkan dahak

pembersihan saluran napas secara maksimal. Jika sputum terlalu

yang memungkinkan pasien kental untuk dapat dikeluarkan, ada

untuk mengeluarkan sekresi baiknya mengurangi viskositasnya

mukus dari jalan napas dengan meningkatkan kandungan

airnya melalui hidrasi yang adekuat.

Breathing Untuk melatih otot-otot Latihan ini berfokus pada pengobatan

exercise pernapasan dan memperbaiki inspirasi dan eksiparasi juga dengan

ventilasi dan merangsang pola ekspirasi yang panjang dengan

reflex batuk cara bibir mencucu, selain itu

berathing control merupakan latihan

pernapasan yang dapat meningkatkan

volume paru, mempertahankan

alveolus agar tetap megembang,

meningkatkan oksigensi, membantu

membersihkan sekresi mukusa,

mobilitas sangkar thorax dan

71
meningkatkan kekuatan daya tahan

dan koordinasi otot-otot respirasi,

meningkatkan efektifitas mekanisme

batuk, memperthankan atau

meningkatkan mobilitas chestdan

thoracal spine, koreksi pola-pola

napas yang abnormal dan

meningkatkan relaksasi

(subroto,2010)

Mobilisasi Untuk meningkatkan mobilitas Latihan mobilisasi sangkar thoraks

Thoraks dinding dada dan akan terjadi stimulasi pada otot-otot

meningkatkan fungsi pernafasan yang mengalami

pernapasan. keterbatasan sehingga dapat

membantu kontraksi lebih kuat

selama inspirasi dengan demikian

ekspansi sangkar thoraks dapat

bertambah.

Makassar, 1 November 2019

Clinical Instructure I Proceptor

Lusi Sulandari,S.ST H.Muh.Tahir,S.Ft., Physio., M.Kes


NIP. 19831003200801200 NIP.198104252006041008

72

Anda mungkin juga menyukai