Anda di halaman 1dari 11

SATUAN ACARA PENYULUHAN

“HIPOTENSI INTRADIALISIS”

Oleh :

Kelompok 10

RIZAL TRI SUSANTO

FIRDA ANI SISWANTO

RABIYATUL AWALIYAH

KHAULAH NILLAH RAHMADHANI

RIZAKA MAR ANGGRAENI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

2019
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok Bahasan : Penyakit Degeneratif


Sub topik : Hipotensi Intradialisis
Sasaran : Keluarga Pasien
Hari/Tanggal : 6 Desember 2019
Waktu : 13.00 - selesai
Tempat : Ruang Hemodialisa

I. TUJUAN
a. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti penyuluhan keluarga pasien dapat memahami tentang
penyakit hipotensi intaradilasis

b. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mengikuti penyuluhan kesehatan selama 1 X 30 menit
diharapkan keluarga pasien mampu:
1. Mengerti dan memahami pengertian hipotensi intradialisis
2. Mengerti dan memahami penyebab hipotensi intradiaalisis
3. Memahami tanda dan gejala hipotensi intadialisis
4. Mengetahui tentang penanganan hipotensi intradialisis
5. Mengetahui pencegahan hipotensi intradialisis

II. METODE
Penyuluhan, diskusi dan tanya jawab.

III. MEDIA
1. Leaflet
IV. MATERI
Terlampir
V. WAKTU
Hari : Jum’at
Tanggal : 6 Desember 2019
Jam : 13.00 WIB

VI. PENGORGANISASIAN

1. Moderator : Rizka Mar Anggraeni


2. Penyaji : Khaulah Nillah Ramadhani
3. Fasilitator : Firda Ani Siswanto
4. Observer / Notulen : Rabiyatul Awaliyah
5. Dokumentasi : Rizaltri Susanto

VII. KEGIATAN PENYULUHAN

KEGIATAN KEGIATAN
NO WAKTU METODE
PENYULUHAN PESERTA
1 Pembukaan :
 Membuka kegiatan  Menjawab salam 5 menit ceramah
dengan mengucapakan
salam  Mendengarkan
 Memperkenalkan diri  Memperhatikan
 Menjelaskan tujuan dari
penyuluhan  Memperhatikan
 Menyebutkan materi
yang akan diberikan
2 Pelaksanaan :
Penjelasan / Penyuluhan  Memperhatikan 15 menit ceramah
tentang :  Mendengarkan
1. Mengerti dan
memahami
pengertian hipotensi
intradialisis
2. Mengerti dan
memahami
penyebab hipotensi
intradiaalisis
3. Memahami tanda
dan gejala hipotensi
intadialisis
4. Mengetahui tentang
penanganan
hipotensi
intradialisis
5. Mengetahui
pencegahan
hipotensi
intradialisis
3 Evaluasi :

 Menanyakan kepada Menjawab 5 menit Tanya


peserta tentang materi pertanyaan jawab
penyuluhan yang telah
diberikan, mengevaluasi
tentang materi yang
telah disampaikan dan
reiforcement kepada
peserta yang dapat
menjawab pertanyaan.
4 Terminasi :

 Mengucapkan terima  Mendengarkan 5 menit


kasih atas peran peserta
 Mengucapkan salam  Menjawab salam
penutup

VIII. KRITERIA EVALUASI


1. Evaluasi struktur
a. Semua peserta hadir dalam kegiatan
b. Penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan oleh mahasiswa
c. Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan sebelumnya
d. SAP sudah disiapkan 2 hari sebelum dimulai acara
e. Materi dan media yang akan digunakan sudah disiapkan 2 hari sebelum
dimulai acara
f. Kontrak waktu dengan sasaran sudah dilakukan
2. Evaluasi proses
a. Acara dimulai tepat waktu dan sasaran sesuai target.
b. Peserta antusias terhadap materi yang diberikan
c. Peserta tidak meninggalkan tempat penyuluhan
d. Peserta mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara benar
3. Evaluasi hasil
a. Jumlah peserta yang datang 100% hadir dari target yang diharapkan
b. Setelah diberikan penyuluhan diharapkan 75% dari peserta mampu:
- Menyebutkan penyebab hipotensi intradialisis
- Menyebutkan tanda dan gejala hipotensi intradialisis
- Menyebutkan cara mencegah hipotensi intradialisis
Materi Penyuluhan :

HIPOTENSI INTRADIALISIS

1. Definisi
Hipotensi intradialisis adalah suatu komplikasi dari hemodialisa
yang di sebaabkan kan oleh 3 faktor yaitu stabilitas hemodiamik selama
hemodialisa,kontrasi dari vasselels seperti arteri kecil, mempertahankan
output jantung.
Hipotensi intradialisis adalah penurunan tekanan darah sitolik atau
penurunan mean artrerial hypotension (MAP) dan menyebabkan munculnya
gejala seperti perasaan ketidaknyaamanan perut,menguap,mual,muntah,otot
kerasa kram,gelisah,pusing dan kecemasan.
Kesimpulan dari pengertian diatas hipotensi intadiaalisis adaalah
komplikasi dari hemodialisa di sertai dengan adanya penurunan tekanan
darah dan meyebabkan munculnyaa gejala yang spesifik.

2. Etiologi / Penyebab Hipotensi intradialisis


1. Pasien dengan diabetes CKD stadium 5
2. Pasien dengan Penyakit kardiovaskular: LVH dan disfungsi diastolik
dengan atau tanpa CHF; Pasien dengan penyakit katup jantung; Pasien
dengan penyakit perikardium (perikarditisi konstriktif atau efusi
perikardium)
3. Pasien dengan status nutrisi yang buruk, dan hypoalbuminemia
4. Pasien dengan uremic neuropathy atau disfungsi autonomik
dikarenakan penyebab lain
5. Pasien dengan anemia yang berat
6. Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal
pada pasien dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain
7. Pasien dengan usia 65 tahun atau usia yang lebih tua
8. Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg
3. Tanda Dan Gejala
Tanda gejala hipotensi intradialisis yang terjadi secara umum :
1. Tekanan darah <90 mmHg
2. Pusing,menguap
3. Keringat dingin
4. Pengeliaatan kabur
5. Merasa cepat lelah
6. Pucat

4. Pencegahan
A. Pencegahaan di rumah
1. Mengurangi aktivitas yang berlebih,banyak beristirahat
2. Pengukuran tekanan darah secara rutin
Tekanan darah dan frekuensi heart rate harus diukur rutin selama
hemodialisis untuk mengantisipasi IDH. Dua tipe episode hipotensi
dapat dibedakan selama hemodialisis, yaitu bradikardia dan takikardia.
Kebanyakan, episode IDH dikarakteristikkan dengan penurunan
tekanan darah bertahap dan peningkatan heart rate. Alternatif, episod
IDH dapat muncul tibatiba dan berhubungan dengan respon bradikardia
(Bezold Jarish Reflex), yang berasal dari aktivasi mekanoreseptor
ventrikel kiri dikarenakan underfilling ventrikel berat. Pada IDH tipe
takikardi, diperkirakan bahwa IDH mungkin dapat dicegah dengan
pengaturan ultrafiltrasi,walaupun belum ada studi yang membuktikan
hal ini. Evaluasi jantung harus dilakukan pada pasien dengan frekuensi
IDH yang sering. Keadaan penyakit jantung, menyebabkan disfungsi
sistolik dan disfungsi diastolik dari jantung dapat meningkatkan resiko
terjadinya IDH. Peningkatan kontraktilitas miokardium merupakan
respon fisiologik terhadap penurunan volume darah, dimana respon ini
dapat terganggu oleh disfungsi sistolik dari jantung. Diastolic filling
terganggu pada pasien IDH, dan disfungsi diastolik biasanya
berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri, namun bisa juga karena
iskemia miokardium atau fibrosis.
3. Membatasi asupan garam
mengurangi resiko IDH, asupan garam harus diperhatikan dan tidak
boleh melebihi 6 gram/hari. Restriksi garam menurunkan IDWG dan
meningkatkan kontrol tekanan darah interdialisis. Dua penelitian
menilai efek dari batasan asupan garam terhadap kontrol tekanan darah
interdialisis dan insidensi IDH. IDWG menurun secara signifikan
dengan batasan asupan garam, dan insidensi IDH: 0.71±0.8(asupan
garam biasa) vs 0.18±0.5 (asupan garam dibatasi). Pada studi lain,
insiden IDH bulanan menurun dari 22% menjadi 7% setelah membatasi
asupan garam. Pada pasien diabetes, hiperglikemia dapat mencetuskan
perasaan haus, dan menstimulasi haus dan meningkatkan IDWG,
sehingga diperkirakan kontrol glukosa yang ketat dapat mengurangi
IDWG, namun belum ada data mengenai kontrol glukosa dan IDWG
pada pasien dialisis. Kesimpulan, mengurangi asupan garam (2 gram/90
mmol Na atau 6 gram NaCl) dapat mengurangi IDWG dan dapat
mempunyai peranan dalam pencegahan IDH. Asupan makanan selama
dialisis dapat menyebabkan vasodilatasi splachnic, dan dapat
mencetuskan IDH. Tiga studi menunjukkan penurunan tekanan darah
yang lebih besar dan insidensi IDH lebih besar setelah asupan makanan.
Kafein tidak terbukti dapat mencegah kejadian IDH.
B. Pencegahaan di rumah sakit
1. Perpajangaan waktu dialysis
Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis
harusdipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH.
Pemanjangan waktu dialisis dapat mengurangi laju ultrafiltrasi,
sehingga penurunan volume darah tidak agresif. Suatu studi
membandingkan toleransi intradialisis dengan membandingkan dialisis
selama 4 jam dan 5 jam, dengan hasil penurunan episode hipotensi pada
pasien yang menjalani dialisis selama 5 jam. Lebih jauh, efek dari
pengurangan laju ultrafiltrasi, hanya dapat dicapai dengan
memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah dilakukan pada pasien
dengan gangguan jantung. Pada studi ini, penurunan tekanan darah
sistolik lebih sedikit pada pasien dengan laju ultrafiltrasi 500
dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi 1000. Pada DOPPS, insidensi
IDH lebih sedikit 30% pada pasien dengan laju ultrafiltrasi <
11ml/kg/jam dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi standar. Dan
mortalitas lebih rendah pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 10
ml/kg/jam. Pada pasien yang menjalani dialisis 8 jam sebanyak 3 x
seminggu, insidensi hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi
hemodialisis yang lebih sering, seperti quotidian dialysis atau short daily
dialysis, kontrol tekanan darah lebih bagus, dan masa ventrikel kiri juga
berkurang. Karena frekuensinya lebih sering, volume ultrafiltrasi
dikurangi. Suatu studi menunjukkan pengurangan insidensi IDH dengan
mengganti frekuensi HD dari 3-4 kali seminggu menjadi 6 kali, 2 jam
per sesi dialisis. Suatu studi menunjukkan pengurangan kebutuhan infus
salin setelah konversi frekuensi hemodialisis dari 3x seminggu menjadi
6x seminggu. Pada studi kohort, 23 pasien (11 pasien, short daily
dialysis; 12 pasien, long nocturnal dialysis) dibandingkan dengan 22 HD
konvensional (3x seminggu) sebagai kontrol. Terjadi pengurangan
insidensi dialysis-related symptoms pada short daily dialysis. Namun
studi oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada perbedaan IDH
diantara short daily dialysis dan dialisis standar 3x seminggu. Sebagai
kesimpulan, ada bukti yang menunjukkan bahwa memperpanjang waktu
dialisis dapat menurunkan kejadian IDH, dengan penurunan laju
ultrafiltrasi sehingga penurunan tekanan darah sistolik tidak terlalu
agresif pada pasien dengan fungsi jantung terganggu.
2. Posisi trendelenberg
Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan IDH.
Namun efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada
penatalaksanaan IDH, dengan penerapan manuver ini, volume aliran
darah berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi. Namun, hanya
sedikit studi yang menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi,
peningkatan volume darah hanya sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan
yang terlalu signifikan dalam perubahan tekanan darah selama dialisis
setelah menerapkan posisi terndelenburg. Sebagai kesimpulan, efek dari
posisi trendelenburg pada volume darah sangat kecil

5. Penanganan
1. Pemberian cairan D4 40/cairan gluskosa
Pemberian cairan ini paling sering diberikan untuk meningkatkan
volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid telah
dipelajari dalam pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari
salin isotonik, glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada
studi tersebut membandingkan efek dari isovolumetrik infus glukosa 5
dan 20%, salin 0.9% dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume darah
selama ultrafiltrasi, peningkatan volume darah paling besar selama
pemberian larutan glukosa hipertonik. Pada studi lain, peningkatan
volume darah lebih besar setelah pemberian infus 100 ml plasma
ekspander gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin isotonik. Pada
studi lain, tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian albumin
dibandingkan salin isotonik untuk penatalaksanaan IDH. Sebagai
kesimpulan baik salin isotonik dan larutan albumin sama-sama efektif
pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari salin
isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES pada
penatalaksanaan IDH.
2. Hentikan ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan
ultrafiltrasi, akan mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan
akan memfasilitasi refill volume darah dari kompartemen intrestisial.
Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat digunakan dalam
pengobatan IDH
DAFTAR PUSTAKA

GInting, Ananda Wibawanta. 2010. Hipotensi IntraDialisis. Medan: Divisi


Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H. Adam
Malik / RSU. Dr. Pirngadi Medan.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology:
Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Alih bahasa : Setyono, J. 2001. Medical –
surgical nursing. Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;

Anda mungkin juga menyukai