Anda di halaman 1dari 16

MANAJEMEN - PENANGANAN KORBAN BENCANA

TINDAKAN PADA PASIEN GAWAT-DARURAT


Syaiful Saanin, SpBS. BSB Dinkes Propinsi Sumbar.
ělearning @ http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery

Kehalaman utama.

Slides

PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel
merupakan tugas yang menantang, dan tiap menit bisa
berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat
ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena
trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga
beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma,
immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif,
ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late,
karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga
beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada
organ vital (ventilasi tidak adekuat, gangguan oksigenisasi,
gangguan sirkulasi, dan perfusi end-organ tidak memadai),
cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak
adekuat dan / atau rusaknya pusat regulasi batang otak),
atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai
pola yang dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, sex,
bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan). Tujuan penilaian
awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi
cedera / kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai
tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan
efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas sesuai.
Setiap bencana selalu menampilkan bahaya dan kesulitannya
masing-masing. Yang akan dibicarakan berikut ini antara lain
adalah petunjuk umum dalam mengelola korban bencana
disamping untuk kegawatan sehari-hari. Mungkin diperlukan
modifikasi oleh pemegang komando bila dianggap diperlukan
perubahan.
Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit
atau cedera melebihi kemampuan sistem gawat darurat yang
tersedia dalam memberikan perawatan adekuat secara cepat
dalam usaha meminimalkan kecacadan atau kematian
(korban massal), dengan terjadinya gangguan tatanan sosial,
sarana, prasarana (Bencana kompleks bila disertai ancaman
keamanan). Bencana mungkin disebabkan oleh ulah manusia
atau alam. Keberhasilan pengelolaan bencana memerlukan
perencanaan sistem pelayanan gawat darurat lokal, regional
dan nasional, pemadam kebakaran / rescue, petugas hukum
dan masyarakat. Kesiapan rumah sakit serta kesiapan
pelayanan spesialistik harus disertakan dalam
mempersiapkan perencanaan bencana. Secara nasional
kegiatan penanggulangan gawat darurat sehari-hari maupun
dalam bencana diatur dalam Sistem Penanggulangan Gawat
Darurat Terpadu (SPGDT S/B) yang harus diterapkan oleh
semua fihak termasuk masyarakat awam, dibagi kedalam
subsistem pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah
sakit.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando
Bencana. Kendali biasanya ditangan Bakornas-PB (Banas) /
Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa juga pada penegak
hukum seperti pada kasus kriminal / terorisme atau
penyanderaan. Kelompok lain bisa membantu pemegang
kendali. Jaringan transportasi dan komunikasi antar instansi
harus sudah dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan
bencana yang berhasil.

Tingkat respons atas bencana.


Akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan
ditempat kejadian :
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola
oleh petugas sistim gawat darurat dan penyelamat lokal
tanpa memerlukan bantuan dari luar organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat
membebani petugas sistim gawat darurat dan penyelamat
lokal hingga membutuhkan pendukung sejenis serta
koordinasi antar instansi. Khas dengan banyaknya jumlah
korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan
sumber sistim gawat darurat dan penyelamat baik lokal atau
regional. Korban yang tersebar pada banyak lokasi sering
terjadi. Diperlukan koordinasi luas antar instansi.

TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar
beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan yang paling
mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk
menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta
prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana
untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau
penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas
ABCDE yang merupakan proses yang sinambung sepanjang
pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial harus
dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat
dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena
status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk
atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra
RS, mekanisme cedera, usia, dan keadaan yang diketahui
atau diduga membawa maut. Temuan yang mengharuskan
peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia
ekstrim, cedera neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan
kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus mana yang
harus diutamakan dalam satu kelompok triase (misal pasien
obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding
amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai
pasien, saat bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik,
hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan
menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan
tenaga tidak memadai hingga berpengaruh pada sistem
triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana
memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan
sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien cedera
serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis
distabilkan. Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit
dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase.
Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage
tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan
START (Simple Triage And Rapid Transportation).
Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana
mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.

Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai
oleh petugas triase untuk mengindentifikasi dan mencatat
kondisi dan tindakan medik terhadap korban.

Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.


Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang
jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang
memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan
transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial
berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan,
namun dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan
tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat.
Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang
luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa
gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera
kepala atau tulang belakang leher tidak berat, serta luka
bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang
tidak membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan
pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang
berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi
ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan
nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan
prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok
korban dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi
fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan
transportasi, dan Prioritas Kelima (Putih)yaitu kelompok yang
sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag /
label yang sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai.

Triase Sistim METTAG.


Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan
tindakan atas korban. Resusitasi ditempat.

Triase Sistem Penuntun Lapangan START.


Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati
ventilasi, perfusi, dan status mental (RPM : R= status
Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk
memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan
tagging) yang memerlukan transport segera atau tidak, atau
yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini
memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan
korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau
apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi
diambulans.

Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.


Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang
sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun
Lapangan START. Resusitasi di ambulans atau di Area
Tindakan Utama sesuai keadaan.

PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE


Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi
kemampuan pusat pelayanan, pasien dengan masalah
mengancam jiwa dan cedera sistem berganda ditindak lebih
dulu. Bila jumlah korban serta parahnya cedera melebihi
kemampuan *) dst dibawah algoritma

Algoritma Sistem START :


Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera),
Kuning = Delayed (Tunda) ; Hijau = Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning.
Disini tidak ada resusitasi dan C-spine control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut
setelah tagging.
Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi
petugas berikutnya.
*) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan, pasien dengan
peluang hidup terbesar dengan paling sedikit manghabiskan
waktu, peralatan dan persediaan, ditindak lebih dulu. Ketua
Tim Medik mengatur Sub Tim Triase dari Tim Tanggap
Pertama (First Responders) untuk secara cepat menilai dan
men tag korban. Setelah pemilahan selesai, Tim Tanggap
Pertama melakukan tindakan sesuai kode pada tag.
(Umumnya tim tidak mempunyai tugas hanya sebagai
petugas triase, namun juga melakukan tindakan pasca triase
setelah triase selesai).
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
2. Tim tanggap pertama harus menilai lingkungan atas
kemungkinan bahaya, keamanan dan jumlah korban dan
kebutuhan untuk menentukan tingkat respons yang memadai
(Rapid Health Assessment / RHA).
3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi)
untuk mengumumkan bencana serta mengirim kebutuhan
dan dukungan antar instansi sesuai yang ditentukan oleh
beratnya kejadian (dari kesimpulan RHA).
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang
mampu tersedia :
- Petugas Komando Bencana.
- Petugas Komunikasi.
- Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
- Petugas Triase Primer.
- Petugas Triase Sekunder.
- Petugas Perawatan.
- Petugas Angkut atau Transportasi.
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
- Sektor Komando / Komunikasi Bencana.
- Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Sektor Bencana.
- Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
- Sektor Triase.
- Sektor Tindakan Primer.
- Sektor Tindakan Sekunder.
- Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan
Utama dimana korban kelompok merah dan kuning yang
menunggu transport dikumpulkan untuk lebih
mengefisienkan persedian dan tenaga medis dalam
resusitasi-stabilisasi.

TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK


Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas
yang selesai melakukan triase) mulai melakukan stabilisasi
dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase, dan
kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama
sesuai kode prioritas. Kode merah dipindahkan ke Area
Tindakan Utama terlebih dahulu.

TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan
keberangkatan serta transportasi yang sesuai. Koordinator
Transportasi bekerjasama dengan Koordinator Medik
menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius
sampai kerumah sakit yang sesuai dalam periode emas
hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya. Ingat
untuk tidak membebani RS rujukan melebihi
kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim ke
RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).

PERIMETER
Perimeter Terluar.
Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan
mengatur perimeter sekitar lokasi untuk mencegah
masyarakat dan kendaraan masuk kedaerah berbahaya.
Perimeter seluas mungkin untuk mencegah yang tidak
berkepentingan masuk dan memudahkan kendaraan gawat
darurat masuk dan keluar.

Jalur untuk Transport Korban


Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan
perimeter sekitar lokasi bencana yang disebut Zona Panas.
Ditentukan jalur yang dinyatakan aman untuk memindahkan
korban ke perimeter kedua atau zona dimana berada Area
Tindakan Utama. Tidak seorangpun diizinkan melewati
perimeter Zona Panas untuk mencegah salah menempatkan
atau memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin.
Faktor lain yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas
antaranya lontaran material, api, jalur listrik, bangunan atau
kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya.

Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan
mengatur semua kegiatan dalam keadaan aman bagi
petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan berbahaya
dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi
bahaya yang bisa membunuh penolong atau korban, ia
punya wewenang menghentikan atau merubah operasi untuk
mecegah risiko lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja
bersama secara cepat dan efektif dibawah satu sistem
komando yang digunakan dan dimengerti, untuk
menyelamatkan hidup, untuk meminimalkan risiko cedera
serta kerusakan.

PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei
primer, resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan tindakan
definitif atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak
dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang
diketakui pada awal proses. Bila tenaga terbatas jangan
lakukan urutan langkah-langkah survei primer. Kondisi
pengancam jiwa diutamakan.

Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine
control, breathing, circulation and hemorrhage control,
disability, exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara
menuju paru-paru tidak terhambat. Temuan kritis seperti
obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan
akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya
membersihkan jalan nafas hingga intubasi atau
krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan
oksigenasi. Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan,
tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi
dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya
instabilitas dinding dada atau adanya defek yang
mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian
oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi
mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade
kardiak, sumber perdarahan eksternal. Lihat vena leher
apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung
terdengar, pastikan sumber perdarahan eksternal sudah
diatasi. Tindakan pertama atas hipovolemia adalah
memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV besar
secara perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan
eksternal dengan penekanan langsung atau pembedahan,
dan tindakan bedah lain sesuai indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan
pemeriksaan motorik. Tentukan adakah cedera kepala atau
kord spinal serius. Periksa ukuran pupil, reaksi terhadap
cahaya, kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa
dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha
bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks
cahaya terganggu atau hilang serta adanya hemiparesis
memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi
intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau
kuadriplegia menunjukkan cedera kord spinal hingga
memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian
metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera
(kontroversial). Bila usaha inspirasi terganggu atau diduga
lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan
mengontrol lingkungan segera. Buka seluruh pakaian untuk
pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai tindakan
pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang
ber AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu
pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik
yang dilakukan bersama survei primer. Pasang lead ECG dan
monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut. Monitor
memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman,
pasang pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung serta
mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater
Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus,
ekimosis skrotum / labia major, prostat terdorong keatas).
Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral
sebelum kateterisasi.

RESUSITASI DAN PENILAIAN KOMPREHENSIF


Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan
melakukan intervensi, lanjutkan sampai kondisi pasien stabil,
tindakan diagnosis sudah lengkap, dan prosedur resusitatif
serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk
kedalamnya monitoring tanda vital, merawat jalan nafas
serta bantuan pernafasan dan oksigenasi bila perlu, serta
memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid
dalam 24 jam untuk mempertahankan volume intravaskuler,
perfusi jaringan dan organ vital, serta keluaran urin. Berikan
darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan.
Perdarahan yang tidak terkontrol dengan penekanan dan
pemberian produk darah, operasi. Titik capai resusitasi
adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah,
keluaran urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti
disfungsi end-organ. Parameter (kadar laktat darah, defisit
basa pada gas darah arteri) bisa membantu.
Survei Sekunder.
Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan
setelah memulai fase resusitasi. Pada saat ini kenali semua
cedera dengan memeriksa dari kepala hingga jari kaki. Nilai
lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat
untuk menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui
perburukan. Selanjutnya cari riwayat, termasuk laporan
petugas pra RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah
medis sebelumnya, alergi dan medikasi sebelumnya, status
immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar
kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei
sekunder mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka
bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan
kondisi fisiologis pasien secara umum.

Pemeriksaan Fisik Berurutan.


Diktum “jari atau pipa dalam setiap lubang“ mengarahkan
pemeriksaan. Periksa setiap bagian tubuh atas adanya
cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi. Periksa
lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status
neurologisnya.

PEMERIKSAAN PENCITRAAN DAN LABORATORIUM.


Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting
yang menuntun penilaian awal. Saat serta urutan
pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh mengganggu
survei primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup
stabil saat membawa pasien keruang radiologi.

Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.


Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus
selesai dalam 20 menit. Gas darah arterial juga penting
namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial digantikan
oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat
kedatangan, dengan pengertian bahwa dalam perdarahan
akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak hingga mobilisasi
otogen cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan
resusitasi IV dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria
tersembunyi. Skrining urin untuk penyalahguna obat dan
alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab
penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada
kebanyakan trauma, elektrolit serum, parameter koagulasi,
hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum
lainnya kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding
setelah stabilisasi dan resusitasi.

PENUTUP.
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas
medis bisa terlibat dalam pengelolaan bencana. Semua
petugas wajib melaksanakan Sistim Komando Bencana dan
berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat
darurat medis baik dalam keadaan bencana atau sehari-hari.
Semua petugas harus waspada dan memiliki pengetahuan
sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya
dalam usaha penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan
bahwa semua petugas harus berperan-serta dan menerima
pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana agar lebih
terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.

RUJUKAN.
1. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat /
General Emergency Life Support (GELS). Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan
Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan R.I. 2006.
2. Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana.
Departemen Kesehatan R.I. Jakarta : Departemen
Kesehatan, 2006.
3. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community). Departemen
Kesehatan R.I. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
4. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan
Bencana dan Penaanganan Pengungsi. Departemen
Kesehatan R.I. Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan.
Tahun 2002.
5. Advanced Trauma Life Support. Course for Physicians 6th.
edition. American College of Surgeons, 55 East Erie Street,
Chicago, IL 60611-2797.
6. Multiple Casualty Insidents. Available at
http://www.vgernet.net/bkand/state/multiple.html.

Anda mungkin juga menyukai