Anda di halaman 1dari 12

BATUBARA – GENESA BATUBARA

STTNAS
Yogyakarta

BAB 3
LINGKUNGAN PENGENDAPAN & PETROGRAFI BATUBARA

1. LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Menurut Diessel (1992) ada beberapa lingkungan pengendapan yang dapat


menghasilkan endapan batubara, antara lain:

Gravelly braid plain dengan sub-lingkungan environments: bars, channels, overbank


plains, swamps, and raised bogs.

Sandy braid plain dengan sub-environments: bars, channels, overbank plains, swamps,
and raised bogs.

Alluvial valley and upper delta plain dengan sub-environments: channels, point bars,
flood plains, swamps, fens, and raised bogs.

Lower delta plain dengan sub-environments: delta front, mouth bar, splays, channels,
swamps, fans, and marshes.

Back barrier strand plain dengan sub-environments: off-, near-, and backshore, tidal
inlets, lagoons, fens, swamps, and marshes.

Estuary dengan sub-environments: channels, tidal flats, fens, and marshes.

Horne berdasarkan penelitiannya yang monumental di daerah Missisipi

supandi.ver 1-2011 | 1
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

Lingkungan barrier
Lingkungan ini mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh oksidasi dari air laut
dan mendukung pembentukan gambut di bagian daratan. Kriteria utama mengenal
lingkungan barrier adalah pada hubungan lateral dan vertikal dari struktur sedimen dan
pengenalan tekstur batupasir. Kearah laut batupasir butirannya menjadi semakin halus
dan selang-seling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai kehijauan.

2. ANALISIS CEKUNGAN BATUBARA


Hampir 70% endapan batubara dunia dijumpai pada basin aktif, terutama pada foreland
basins, sedangkan sisanya 30% berada pada cratonic basins. Banyak cekungan batubara
mempunyai sejarah yang kompleks sehingga sulit untuk diklasifikasikan.

2.1 Pengertian analisis cekungan batubara


Analisis cekungan batubara berdasarkan bermacam data geologi yang
dikumpulkan, dikutip, diperiksa, dianalisis, disintesa, dan ditafsirkan untuk mempelajari
proses-proses yang telah berlangsung, sehingga akhirnya diketahui sejarah evolusi
(ubahangsur) suatu cekungan batubara. Sejarah geologi ini meliputi tektonik,
sedimentologi, diagenesa, geokimia, paleoklimatik, paleontologi, dan proses burial,
dimana semuanya dikombinasikan dan diinteraksikan dalam cekungan dari awal hingga
sekarang. Dengan kata lain, analisis cekungan batubara meliputi beberapa fase dari suatu
kegiatan yang memerlukan berbagai sub disiplin ilmu geologi dan merupakan proses
yang berkelanjutan.
Analisis cekungan batubara memerlukan skala peta yang bermacam-macam,
informasi aktual yang selalu berkembang, dan studi regional untuk lebih menunjang
secara lebih spesifik daerah kajian. Langkah awal dari analisis cekungan batubara adalah
identifikasi cekungan, data apa saja yang masih terbatas, mengkompilasikan data
struktur, tektonik, dan tekanan rejim temperatur. Penyempurnaan dari setiap tahap kerja
adalah untuk memulai fase berikutnya.

supandi.ver 1-2011 | 2
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

Analisis cekungan batubara adalah alat untuk menentukan secara lebih sempurna
konsep batubara sebagai batuan sedimen, sebagai sistem geokimia, dan sebagai endapan
organik dengan asosiasi batuannya.

2.2 Sasaran analisis cekungan batubara


Analisis cekungan batubara mempunyai kepentingan untuk tujuan keilmuan maupun
alasan ekonomi.

Ada beberapa tujuan ilmiah yang ingin diketahui dari suatu analisis cekungan batubara,
yaitu:

1. Genesa endapan batubara berdasarkan ruang dan waktu.


2. Sebaran endapan batubara berdasarkan ruang dan waktu.
3. Kendali tektonik dan struktur geologi.
4. Lingkungan pengendapan fisik dan biologi.
5. Proses-proses geokimia, biologi, dan fisik.
6. Kendali allocyclic dan autocyclic.
7. Kondisi iklim purba.
8. Proses syngenetik, diagenetik, dan epigenetik.
9. Klasifikasi endapan batubara berdasarkan penentuan umum, derajat dan
jenis batubara, swerta kualitas batubara.

Pada sasaran ekonomi dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:


1. Tahap pertama adalah evaluasi sumberdaya batubara potensial pada
suatu cekungan. Evaluasi ekonomi harus berdasarkan pada evaluasi dan
analisis secara ilmiah yang melibatkan sejak awal berbagai disiplin untuk
bekerjasama dalam proyek analisis cekungan, antara lain ahli geologi,
ahli tambang, ahli teknik, manager, ahli pemasaran, ahli ekonomi, dan
ahli keuangan, dan disiplin lain yang terkait.

supandi.ver 1-2011 | 3
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

2. Tahap kedua adalah keterkaitan antara evaluasi cadangan, perencanaan


tambang, dan pembangunan tambang. Pada tahap ini, kriteria yang
penting adalah:
- Kedalaman lapisan batubara.
- Kemenerusan lateral lapisan batubara.
- Kartakter lapisan penutup.
- Pengaruh struktur terhadap lapisan batubara.

2.3 Data kritis untuk analisis cekungan


Peta geologi adalah dasar untuk memahami sebaran lapisan batubara dan lapisan
pembawa batubara, karena disertai dengan pengeplotan lapisan batubara dan batuan
pembawa lapisan batubara sebagai suatu satuan yang khusus. Peta geologi dibuat dalam
bermacam skala dan disertai dengan peta-peta lain seperti peta isopach, isolith, ratio
map, isocarb, isocal, isovol, isomoist. Isoburden, dll.

Data yang dihimpun adalah data stratigrafi, data lingkungan pengendapan, dan
data struktur geologi.

2.4 Data bawah permukaan untuk analisis cekungan


Data geologi bawah permukaan diperoleh dari pemboran dan metode geofisika,
keduanya akan saling melengkapi, selanjutnya digunakan untuk pengembangan,
pengujian, dan pemodelan dari bermacam hipotesis.

2.5 Data mineralogi dan petrografi organik


Berdasarkan studi mikroskopik dari berbagai jenis batuan sedimen dan endapan
organik. Antara lain studi maceral, paleosoil, dan underclay oleh Cecil dkk. (1985)
untuk menentukan jenis rawa. Hunt (1982) melakukan studi hubungan komposisi
petrografi, kandungan sulfur, dan lingkungan pengendapannya. Ruppet dkk. (1985) studi
karakteristik butiran kuarsa pada batubara untuk menjelaskan asal mula mineral yang
berada di dalam batubara.

supandi.ver 1-2011 | 4
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

2.6 Data geokimia dan petrokimia


Membantu penentuan genesa batubara, seperti kondisi geokimia, sedimentasi,
dan evolusi geokimia suatu cekungan batubara.

2.7 Data paleontologi: biostratigrafi dan paleoekologi


Data biostratigrafi berdasarkan flora dan fauna,sedangkan data paleobotani
menyajikan kondisi alamiah rawa purba tempat gambut terakumulasi, termasuk
lingkungan, iklim sekitar rawa, geokimia rawa, juga bergunja untuk korelasi.

supandi.ver 1-2011 | 5
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

PETROGRAFI BATUBARA

Jenis batubara (coal type) berhubungan dengan jenis tanaman pembentuk


batubara dan perkembangannya dipengaruhi oleh diegenesa tingkat awal (Cook, 1982).
Menurut Parks dan Donnel (dalam Cook, 1982), menyebutkan bahwa batasan jenis
batubara digunakan untuk mengklasifikasi berbagai macam pembentuk batubara.
Adapun menurut Shierly (dalam Cook, 1982) mengemukakan bahwa jenis batubara
sebagai dasar klasifikasi petrografi batubara yang meliputi berbnagai penyusun batubara
dengan proses kejadian yang berbeda-beda.
Petrologi organik memberikan dasar untuk pemahaman genesa, sifat-sifat, dan
arti penting unsur organik di dalam batubara. Pendekatan empirik, kimiawi, dan fisika
merupakan metode dasar di dalam pengetahuan genesa batubara.

4.1 KELOMPOK MASERAL (MACERAL GROUP)


Komposisi batubara dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan dan komunitas
pembentuk gambut. Seperti halnya dengan batuan anorganik yang mempunyai
komposisi bermacam mineral, maka demikian juga dengan batubara yang
mempunyai komponen yang disebut maseral (maceral). Maseral berasal dari
material tumbuhan yang dikelompokan menjadi tiga kelompok utama, yaitu
berdasarkan kejadiannya, sifat fisik, dan sifat kimia maseral. Kelompok atau group
tersebut adalah vitrinit (huminite), liptinit (exinite), dan inertinit (Tabel 4.1). Dalam
ukuran yang lebih kecil, masing-masing kelompok maseral dibagi lagi menjadi sub
group maseral, maseral, dan sub-maseral

supandi.ver 1-2011 | 6
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

Tabel 4.1 Klasifikasi maseral batubara

MASERAL
KELOMPOK MASERAL
Textinit
Texto-ulminit
TELOVITRINIT Eu-ulminit
Telokolinit
Attrinit
Densinit
VITRINIT
DETROVITRINIT Desmokolinit

Korpovitrinit
Porigelinit
GELOVITRINIT
Eugelinit
Liptodetrinit
Sporinit
Kutinit
Suberinit
LIPTINIT Resinit
Fluorinit
Eksodatinit
Bituminit
Alginit
Slerotinit
Semifusinit
INERTINIT Fusinit
Makrinit
Mikrinit
Inertodetrinit

supandi.ver 1-2011 | 7
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

Ketiganya merupakan dasar pembentuk batubara, masing-masing maseral


berasosiasi satu sama lain dalam proporsi yang berbeda. Komponen penyusun
batubara mempunyai komposisi tertentu sesuai dengan bahan tumbuhan asal dan
proses-proses yang terjadi selama pembentukannya.

Di bawah mikroskop mempunyai karakteristik optik tersendiri di bawah mikroskop,


yaitu berdasarkan morfologinya. Selanjutnya juga dapat dibagi berdasarkan sifat
kimia, sifat optis, dan morfologinya (Tabel 4.2).

MASERAL
VITRINITE LIPTINITE INERTINITE
SIFAT-
SIFAT
Bahan asal Tumbuhan yang Ganggang, alga, Kayu dan serat kayu
mengandung serat spora, dinding sel,
kayu, batang, dahan, kulit luar daun,
akar, serat daun getah, serbik sari,
lemak, parafin
Densitas 1,2-1,8 gm/ml 1,18-1,28 gm/ml Bervariasi antara
vitrinite sampai agak
berakar sedikit
Sifat Bereaksi selama Menguap menjadi Sangat lamban
pengkokasan proses karbonisasi gas dan tar bereaksi
menjadi bagian (kandungan gas dan
terbesar dari kokas tar >>>), sebagai
masa dasar kokas
Kimiawi Kandungan C sedang
Kekasaran Relatif negatif Relatif positif, gores- Relief positif, kasar
setelah dipoles gores kasar
Reflektan Abu-abu tua sampai

supandi.ver 1-2011 | 8
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

(sinar pantul) abu-abu terang


Di bawah sinar
langsung
Fluorencence
Keterdapatan
Lain-lain

Kegunaan studi maseral adalah untuk:


1. Menentukan pemanfaatannya berdasarkan perbedaan kimiawi dan sifat fisik
maseral. Perbedaan sifat kimiawi penting dalam penentuan sifat-sifat pada nilai
kalori, pengkokasan, dan kemampuan pencairan batubara, sedangkan sifat fisdik
penting untuk menentukan faktor grinability dan potensi pengkokasan.
2. Mengetahui posisi lapisan batubara, menurut Cook (1982) sedikitnya
kandungan vitrinit menunjukan lapisan batubara tersebut relatif berada di bagian
atas dan sebaliknya banyaknya kandungan vitrinit menunjukan lapisan batubara
erada relatif di bagian bawah.
3. Menentukan lingkungan pengendapan, pada lingkungan lower delta plain,
sedangkan pada meandering fluvial biasanya vitrinite sedikit.
4. Menentukan kecepatan penurunan dasar cekungan, bila vitrinit banyak
ditafsirkan kecepatan penurunan cekungan berjalan cepat, artinya muka air
tinggi, sedangkan bila kandungan vitrinit sedikit ditafsirkan kecepatan
penurunan berjalan lambat artinya muka air rendah.

4.1.1 Grup Vitrinit


Vitrinit merupakan maseral utama dan paling dominan dalam batubara,
berasal dari pengawetan hancuran bahan-bahan tumbuhan seperti batang,
akar, daun, termasuk jaringan kayu, jaringan mesotil daun, dan beberapa
pengisi jaringan sel dalam berbagai bentuk.

supandi.ver 1-2011 | 9
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

Di bawah mikroskop cahaya pantul pada medium imersi minyak, maseral


vitrinit terlihat berwarna abu-abu sedang, sangat kontras dengan maseral
liptinit yang berwarna abu-abu gelap dan maseral inertinit yang berwarna abu-
abu terang.

Munculnya maseral vitrinit pada pita-pita vitrain setebal 3-12 mm


menunjukan proses pengawetan dan pembatubaraan berasal dari akar besar,
kulit kayu, dan batang tumbuhan. Ciri seperti ini disebut dengan telocollinit,
sedangkan struktur sel yang terlihat jelas dinamakan telinit. Maseral vitrinit
juga dapat terbentuk dari jaringan tumbuhan yang lebih kecil, seperti rumput
dan alang-alang. Jaringan tersebut bergradasi menjadi fragmen-fragmen,
sering berupa attrital dengan maseral lain. Ciri ini dikenali sebagai
desmocollinit.

Kerusalkan jaringan ligno-selulose oleh bakteri, jamur, atau akibat aksi kimia
menghasilkan gel koloid. Gel koloid ini dapat mengisi rekahan dan rongga sel
lumen. Ciri ini dikenali sebagai gelocollinit. Maseral vitrinit yang berbentuk
lingkaran, elips, atau berbentuk batang yang terjadi pada proses isolasi atau
sebagai pengisi sel. Ciri ini dikenal sebagai corpocollinit.

Inertodetrinit terkomposisi dari fragmen (pecahan) maseral-maseral inertinit.


Menurut ICCP (1971) fragmen dari fusinit atau semifusinit yang kurang dari
satu sel komplit dapat dikelompokkan ke dalam inertoderinit. Sclerotinit
berasal dari perombakan sisa-sisa jamur dan mempunyai reflektansi yang
tinggi. Sclerotinit umum muncul pada batubara Tersier, berbentuk spora
bundar, mempunyai diameter beberapa puluh mikron, serta mempunyai
rongga-rongga sel yang cenderung berbentuk gelembung dengan struktur sel
yang teratur.

supandi.ver 1-2011 | 10
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

4.1.2 Grup Liptinit


Merupakan maseral yang agak dominan, maseral grup ini berasal dari spora,
pollen, kutikel, resin, dan ganggang dinamakan exinit (Stopes, 1935).

4.1.3 Grup Inertinit


Merupakan maseral yang relatif sedikit yang tervbentuk dari oksidasi
material-material lain pembentuk batubara maupun karena alterasi kimiawi
material kayu.

4.2 LITOTIPE DAN MIKROLITOTIPE (LITHOTYPE AND


MICROLITHOTYPE)
Asosiasi masing-masing maseral dibedakan sebagai litotipe dan mikrolitotipe.
Keduanya dibedakan dalam skala ukuran, litotipe dibedakan secara makroskopis,
sedangkan mikrolitotipe dibedakan secara mikroskopis.

Litotipe adalah lapisan (pita-pita) tipis (bands) di dalam batubara yang secara
makroskopis bisa dikenali, selanjutnya disebut sebagai vitrain, clarain, durain, dan
fusain (Tabel 4.2).

supandi.ver 1-2011 | 11
BATUBARA – GENESA BATUBARA
STTNAS
Yogyakarta

Tabel 4.2 Klasifikasi litotipe batubara.


LITOTIPE KETERANGAN
Vitrain Berbentuk lapisan atau lensa, ketebalan sekitar 3-5 mm, cemerlang,
pecahan berbentuk kubus, secara mikroskopis kaya akan vitrinit.
Clarain Berbentuk lapisan-lapisan tipis, cemerlang dan kusam, ketebalan
beberapa milimeter, secara mikroskopis kaya akan vitrinit dan liptinit.
Fusain Berwarna hitam atau hitam keabu-abuan, mempunyai kilap sutera,
berserabut, mudah diremas, secara mikroskopis kaya akan fisunit.
Durain Berwarna abu-abu sampai hitam kecoklatan, mempunyai kilap
berminyak dan permukaan kasar, secara mikroskopis kaya akan liptinit
dan inertinit.

Mikrolitotipe dibedakan berdasarkan asosiasi masing-masing maseral dengan tebal


ukuran minimum lapisan (bands) sekitar 50 mikrometer yang diidentifikasi di
bawah mikroskop. Penamaannya sesuai dengan nama asosiasi maseral yang ada,
hanya dibedakan akhiran it untuk mikrolitotipe dan akhiran nite untuk maseral.

MIKROLITOTIPE KOMPOSISI MASERAL


Monomaseral Vitrit
Liptit
Inertit
Bimaseral Klarit
Vitrinertit
Durit
Trimaseral Duroklarit
vitrinertoliptit

supandi.ver 1-2011 | 12

Anda mungkin juga menyukai