Anda di halaman 1dari 27

AJINOMOTO: HALAL ATAU HARAM?

http://tempo.co.id/harian/opini/opi-15012001.html
http://117.102.106.99:2121/pls/PORTAL30/indoreg.irp_casestudy.viewcasestudy?casestudy=2
http://news.liputan6.com/read/6058/ramai-ramai-menarik-ajinomoto

Edisi 15 - 21 Januari 2001


diakses 21 Mei 2016 pukul 14.23

AKAL sehat kita benar-benar diuji oleh kasus Ajinomoto. Satu merek bumbu masak ternyata
bisa membuat seluruh negeri seperti "terbakar". Polisi sibuk menangkap pemimpin pabrik
dan menahan mereka di sel—termasuk seorang warga negara Jepang (yang kini sudah
dibebaskan). Pabrik yang sudah 30 tahun berdiri di Mojokerto pun disegel seminggu.
Buruhnya berhenti bekerja. Di pasar, kegiatan meledak. Ribuan ton bumbu masak ini
ditarik—sementara penyedap merek lain juga sibuk menambah stoknya. Demonstrasi
merebak. Ada yang mendukung langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
mengharamkan Ajinomoto, ada pula yang menuduh lembaga itu disisipi kepentingan bisnis.

Urusan makin ramai ketika Istana mendadak ikut berbicara soal penyedap cap mangkuk
merah ini. Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan Ajinomoto halal. Ia mengaku
mendapat masukan dari beberapa laboratorium, termasuk Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT). Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat langsung "menyerang"
Presiden. Dan "pertempuran" Istana versus Senayan seperti mendapat amunisi baru. Apa
boleh buat, urusan penyedap yang hanya satu-dua jumput masuk ke mangkuk sup kita itu
sementara membuat kita lupa bahwa otak peledakan bom di malam Natal masih ha-ha-hi-hi
entah di mana, Tommy Soeharto belum tertangkap, utang konglomerat yang triliunan rupiah
belum terbayar, dan krisis ekonomi kedua masih "mengintip" di depan sana.

Soal yang "membakar" negeri ini bermula dari kegiatan kecil: masa berlaku label halal
Ajinomoto habis, Desember 2000 lalu, dan MUI menguji ulang kehalalan produk itu.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) MUI—bekerja sama
dengan Institut Pertanian Bogor—dibentuk setelah terjadi kisruh lemak babi di sejumlah
merek mi, susu, dan kecap pada 1988. Lembaga nonprofit ini—karena stafnya bekerja
sukarela dan hanya menerima honor ketika menguji suatu produk—memasang tarif ratusan
ribu rupiah sampai maksimum Rp 2 juta untuk setiap produk yang diujinya. Hasil
rekomendasi LPPOM dibawa ke MUI untuk kemudian diteruskan kepada Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan. Lembaga terakhir itulah yang
menerbitkan label halal.

Dalam masalah Ajinomoto, yang dipersoalkan adalah porcine (enzim dari pankreas babi)
yang digunakan dalam rangkaian produksinya. Proses produksi itu diawali dengan pemakaian
enzim porcine sebagai katalisator (bahan perantara yang gunanya memudahkan reaksi kimia)
untuk menghidrolisis protein kedelai menjadi bactosoytone (satu jenis protein rantai pendek).
Sebagai bahan perantara, tentu saja enzim porcine tidak ikut menjadi bagian
daribactosoytone. Nah, bactosoytone itu dipakai sebagai nutrisi untuk mengembangbiakkan
mikroba. Selanjutnya, mikroba dipakai dalam proses fermentasi tetes tebu menjadi
monosodium glutamat (MSG). Melalui proses pemurnian, didapat bentuk kristal dan itulah
MSG yang siap dilempar ke pasar.

Sampai di sini, secara kimiawi sebenarnya jelas bahwa hasil akhir MSG itu tidak lagi
mengandung enzim porcine ataupun bactosoytone—dan hal ini diakui Direktur LPPOM
MUI, Prof. Aisyah Girindra, dan Dirjen Departemen Kesehatan H.M. Sampurno. Tapi, dari
sisi pandangan agama (fikih), pendapat terbelah tiga. Ada yang berpendapat MSG itu haram.
Dasarnya, bahan pangan yang dalam prosesnya bercampur dan memanfaatkan bahan yang
berasal dari babi, walaupun kemudian dipisahkan, tetap haram dikonsumsi. Ada yang
berpendapat halal karena produk akhir yang dikonsumsi bebas babi. Pendapat ketiga, pilihan
diserahkan kepada keyakinan umat Islam, mau mengonsumsi atau tidak.

Lalu, kepada siapa kita harus berpihak? Jika harus memilih, majalah ini berpihak kepada
konsumen, apa pun agamanya. Bagi umat Islam, persoalan utama adalah bagaimana
menjamin bahan makanan yang dikonsumsinya bebas barang haram. Dan kasus Ajinomoto
membuktikan bahwa pemberian label halal oleh Departemen Kesehatan dan MUI belum
memberikan jaminan itu. Apa yang harus dilakukan? Umat Islam harus membangun
laboratorium yang memadai untuk meneliti pangan, obat, dan kosmetik dengan staf yang
cukup andal (dan cukup gajinya).

LPPOM bisa saja dimanfaatkan jika semua kalangan Islam setuju. Dengan dana yang cukup
dari masyarakat, lembaga ini bisa aktif meneliti produk yang beredar di masyarakat, dan tidak
"menunggu bola" seperti sekarang ini. Bahkan, secara berkala, lembaga ini perlu mengecek
mendadak produk yang sudah berlabel halal. Ajinomoto pernah berkonsultasi soal
penggantian enzim yang dipakai beberapa waktu lalu—dan kabarnya secara informal
disarankan agar tak memakai enzim babi—toh, urusan ini baru "terbongkar" setelah masa
label halalnya perlu diperpanjang. Jika kredibilitas (dan kejujuran) lembaga itu cukup baik di
mata umat, tentulah konsumen muslim yang baik akan taat kepada fatwanya. Tanpa minta
sokongan politik pemerintah—misalnya cap halal dari Departemen Kesehatan—pun umat
akan mengikuti sikap lembaga itu.

Kalau ada produk yang kedapatan memakai barang haram, atau barang yang tak jelas benar
halal-haramnya, eksekusi yang dijatuhkan pun tak harus hiruk-pikuk seperti sekarang.
Lembaga kajian itu cukup tidak memperpanjang sertifikat halalnya dan kemudian
mengumumkan secara luas kepada masyarakat. Pabrik boleh saja tetap bekerja, tapi
produknya tak boleh lagi ditempeli cap halal. Dan produsen, dengan pasar terbesar muslim di
sini, tentu akan berpikir seribu kali sebelum "bermain-main" dengan hal-hal yang
menyerempet barang haram. Jika konsumen muslim menjauhi produk itu, niscaya sang
pabrik terancam kelangsungannya, tanpa perlu segel polisi.

Yang "lolos" dari perhatian sebenarnya adalah dampak buruk MSG bagi kesehatan, apa pun
agama kita. Banyak negara maju sudah melarang MSG ini, tapi rupanya pemerintah dan
gerakan konsumen di sini belum mampu membuktikan dampak buruk itu. Dan bicara soal
perlindungan konsumen, kita harus sedih: ada begitu banyak produk halal di pasar yang
dampaknya sungguh buruk bagi kesehatan, misalnya produk dengan zat pewarna berlebihan.
Tapi siapa yang peduli dengan produk yang sebenarnya "haram" untuk kesehatan itu?
Sesungguhnya, Ajinomoto harus dipersoalkan bukan saja karena urusan halal-haram, tapi
karena dampak buruk MSG bagi sekalian umat Indonesia.
YLKI : TIDAK PERLU BUKTI BARU DALAM KASUS AJINOMOTO

Ari/Apr
Beberapa waktu
Kamis, 16 Agustus 2001
Diakses 21 mei 2016 pukul 14.30

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyerukan agar memboikot penggunaan


bumbu masak Ajinomoto jika SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) tidak dicabut
oleh pihak kepolisian. Alasannya, tidak diperlukan bukti baru dalam kasus tersebut.
Beberapa waktu lalu, salah satu pelaku usaha yang menghasilkan produk konsumen bumbu
masak Ajinomoto ketahuan menggunakan bahanbactosoytone sebagai salah satu bahan
bakunya. Padahal sesuai dengan ijin yang dimintakan pihak Ajinomoto kepada MUI (Majelis
Ulama Indonesia), bahan baku yang digunakan adalah polypeptone.
Mungkin penggantian bahan baku tersebut tidak menjadi masalah jika bahan tersebut
bukanlah bahan dalam kategori haram bagi umat Islam. Namun, bahan
baku bactosoytone tersebut mengandung bahan yang berasal dari barang haram, yaitu babi.
Oleh karena itulah, Ajinomoto dinyatakan sebagai barang haram bagi umat Islam.
Berdasarkan fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ajinomoto adalah haram bagi umat Islam
karena mengandung bactosoytone, YLKI kemudian menyampaikan laporan tentang perilaku
Ajinomoto kepada pihak penegak hukum. Namun kemudian, pihak kepolisian menyatakan
menghentikan penyidikannya atas laporan YLKI tersebut, kecuali ditemukan bukti-bukti baru
berkaitan dengan masalah itu.
Buntutnya, YLKI tidak menerima SP3 yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian tersebut.
YLKI berpendirian bahwa tidak diperlukan bukti-bukti baru untuk meneruskan penyidikan
terhadap Ajinomoto.
Hal tersebut merujuk kepada pasal 22 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK). Dalam Pasal 22 UUPK disebutkan bahwa pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Dengan demikian, pelaku usahalah yang dibebani tanggung jawab oleh undang-undang
tentang pembuktian kesalahan yang dilakukannya. Dan sama sekali bukan tanggung jawab
penegak hukum (kepolisian).

Pelanggaran hak konsumen


Dalam penjelasan yang disampaikan oleh pakar hukum perlindungan konsumen, AZ
Nasution pada Kamis (16/8), YLKI menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran hak
konsumen dalam kasus Ajinomoto. Pelanggaran yang dimaksud adalah pelanggaran terhadap
Pasal 4 huruf c UUPK.
Dalam pasal tersebut, konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan
jujur tentang kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Kondisi dimaksud, termasuk kondisi
kehalalan produk dan jaminan halal pada label produk.
Pelanggaran lain yang terjadi adalah pelanggaran pada kewajiban pelaku usaha sebagaimana
tercantum dalam Pasal 7 huruf b UUPK. Yaitu, kewajiban pihak Ajinomoto untuk
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang dan
atau jasanya.
Selain itu, YLKI juga melihat dengan jelas adanya pelanggaran pihak Ajinomoto terhadap
ketentuan Pasal 8 huruf a, f, dan h UUPK. Pasalnya, terdapat larangan bagi pelaku usaha
untuk memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa tidak sesuai standar
dan perundang-undangan, tidak sesuai janji sebagaimana tercantum dalam label, dan tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang
dicantumkan pada label.
Pelanggaran yang bisa dikatakan sebagai penipuan terhadap konsumen adalah pelanggaran
yang dilakukan oleh pihak Ajinomoto selaku pelaku usaha yang mengiklankan dan
mempromosikan Ajinomoto. Padahal dalam pasal 9 huruf f UUPK terdapat larangan untuk
mengiklankan atau mempromosikan barang seolah-olah tidak ada cacat tersembunyi (tentang
kehalalan produk).

Seruan boikot
Dengan demikian, YLKI beranggapan bahwa SP3 yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian
tidak beralasan. Selain itu, YLKI menilai bahwa dengan dikeluarkannya SP3 oleh pihak
kepolisian, berarti penegakan hukum, khususnya penegakan hukum di bidang hukum
perlindungan konsumen telah tidak diselenggarakan oleh pejabat yang berwenang.
Oleh karena itu pula, YLKI mempertanyakan apakah dengan kondisi yang demikian, perlu
penegakan hukum oleh rakyat sendiri. Misalnya, melalui pengadilan atau dengan
pemboikotan atau penolakan terhadap Ajinomoto.
Mengenai gugatan terhadap pihak Ajinomoto sendiri, pernah diajukan oleh Yasayan
Lembaga Konsumen Muslim (YLKM). Gugatan perdata yang diajukan oleh YLKM tersebut
merupakan gugatan class action pertama yang berdasar pada UUPK.
Namun hingga kini, juga tidak jelas apakah proses gugat menggugat itu masih berjalan atau
tidak. Ajinomoto seharusnya tidak cuek terhadap seruan YLKI ini. Kalau produknya
diboikot, toh yang repot Ajinomoto sendiri.
Fakta-fakta PT Ajinomoto Indonesia, adalah sebuah perusahaan yang memproduksi
bumbu masak dengan trade mark Ajinomoto. Baru-baru ini PT Ajinomoto Indonesia dilanda
musibah, yang berdampak terhadap dicabutnya SIUP untuk sementara, hal ini dikarenakan
fatwa MUI yang menyatakan bumbu masak ajinomoto "haram" untuk dikonsumsi oleh umat
muslim. Kasus ini berawal dari masa berlaku label halal Ajinomoto yang habis Desember
2000 lalu. Saat itulah MUI melakukan uji ulang kehalalan produk. Uji ulang tersebut
dilakukan oleh lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) MUI
berkerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), yang menemukan fakta bahwa
Ajinomoto menggunakan Procine (enzim dari pangkreas babi) untuk bahan katalisator (bahan
perantara untuk memudahkan reaksi kimia) guna menghidrolisis protein kedelai menjadi
bactosoytone. Nah, bactosoytone inilah yang digunakan sebagai nutrisi untuk
mengembangbiakkan mikroba. Selanjutnya mikroba dipakai dalam proses fermentasi tetes
tebu menjadi monosodium glutamat (MSG). Melalui proses pemurnian, didapatkanlah bentuk
kristal dan itulah MSG (vetsin) yang siap dilempar ke pasar.
Kehalalan Ajinomoto dipersoalkan MUI pada akhir Desember 2000 setelah
ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu (malase)
mengandung bactosoytone (nutrisi untuk pertumbuhan bakteri itu). Sedangkan bactosoytone
merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai dengan biokatalisator parcine yang berasal dari
pangkreas babi. Ajinomoto diduga telah mengubah nutrisi itu pada produksi sejak bulan Juni
2000 dan sebelumnya mereka menggunakan polypeptone. Berdasarkan hal demikian
akhirnya MUI mengeluarkan Fatwa yang menyebutkan bahwa Merek Ajinomoto Haram
untuk di Konsumsi Umat Islam. MUI dalam suratnya Nomor U-558/MUI/XII/2000 tanggal
19 Desember 2000 menyatakan bahwa PT. Ajinomoto Indonesia teleh mengubah salah satu
bahan Nutrisi dalam proses pengembangbiakan kultur bakteri yaitu dari Polypeptone menjadi
Bactosoytone, sehingga produk bumbu masak itu diduga sudah tercampur dengan enzim yang
berasal dari lemak babi. Dalam surat MUI yang ditandatangani ketuanya, Prof Dr Umar
Shihab, dan Sekretaris Umum MUI Dr. Din Syamsudin, itu meminta agar bumbu masak
Ajinomoto yang diproduksi dan diedarkan sebelum 23 November ditarik dari peredarannya.
Disamping pernyataan demikian, hal lain yang dicantumkan dalam Fatwa MUI tersebut
adalah "Kami MUI memberi peringatan keras kepada saudara (PT Ajinomoto Indonesia) atas
pelanggaran prosedur tersebut. Hal ini ditekankan oleh MUI mengingat masyarakat Indonesia
yang notabene 80% dari total penduduk (sekitar 210 juta jiwa) merupakan umat Islam yang
mengharamkan mengkonsumsi babi.
Setelah mendengar fatwa MUI tersebut, Tjokorda (Department Manager PT
Ajinomoto Indonesia), melalui media massa mengakui menggunakan Bactosoytone yang
diekstrasi dari daging babi untuk menggantikan polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging
sapi, alasan penggunaan bactosoytone itu karena lebih ekonomis, namun penggunaan ekstrasi
dari daging babi itu hanyalah sebagai medium dan sebenarnya tidak berhubungan dengan
produk akhir, katanya. Dilain pihak, Dirjen POM (Pengawasan obat dan makanan),
menyatakan: untuk sementara Depkes mencabut sertfikat halal dari MUI yang telah dimiliki
PT Ajinomoto Indonesia. Dia juga menambahkan bahwa: sebenarnya pelaksanaan
pencantuman label "Halal" diatur oleh Depkes melalui pembahasan bersama dengan Depag
maupun MUI, Surat Keputusan Bersama (SKB) ini diimplementasikan dalam bentuk
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan
KepMenkes Nomor 924 Tahun 1996, yang intinya pasalnya menyatakan : bahwa
produsen/pengimpor yang pada produknya ingin dicantumkan label "Halal", wajib siap
diperiksa tim petugas gabungan dari Depkes, Depag, dan MUI, ujarnya, akan tetapi kenapa
MUI tanpa berkoordinasi dahulu dengan Dirjen POM sudah mengeluarkan fatwa haram. II.
Permasalahan Hukum ? Pencantuman label "halal" pada produk bumbu masak Ajinomoto,
yang merupakan titik sentral permasalahannya.
Menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia) bahwa label halal tersebut tidak benar,
karena pada bumbu masak Ajinomoto terdapat unsur lemak babi dalam proses
pembuatannya, sehingga MUI mengeluarkan fatwa bahwa bumbu masak Ajinomoto tersebut
"Haram" untuk dikonsumsi oleh umat Muslim. Bagaimanakah hal ini jika ditinjau dari kedua
Undang-undang di atas? Dan dapatkah PT Ajinomoto Indonesia selaku produsen dikenakan
sanksi, baik itu sanksi administratif maupun sanksi pidana? Disamping itu apakah MUI satu-
satunya lembaga yang dapat mengeluarkan sertifikat "Halal" dari setiap produk makanan
yang diproduksi di Indonesia? III. Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia. A. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. PT Ajinomoto
Indonesia, dalam memproduksi, memasarkan dan atau mengiklankan produknya, jika
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, seperti pasal-pasal:
"Pasal 30 ayat" (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah
Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di
dalam dan atau di kemasan pangan. (2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat
sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan
pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan dan
tahun kadaluarsa. (3) Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label
pangan. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa: memang diwajibkan
bagi setiap produk untuk mencantumkan kata "Halal" pada setiap produk makanannya, akan
tetapi ketentuan ayat (2) huruf e, di atas tidak serta merta mewajibkan untuk mencantumkan
kata halal, secara eksplisit hal tersebut bisa disampingkan jika dengan senyata-nyatanya
produk makanan tersebut tidak halal, tentunya tidak perlu di buatkan label halal. Ketentuan
halal dimaksud hanya diisyaratkan bagi umat muslim, bukan seluruh masyarakat Indonesia,
yang diketahui memiliki beragam agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, jika tidak
dimaksudkan untuk dikonsumsi oleh umat muslim, kata halal tersebut tidak perlu
dicantumkan. "Pasal 33 ayat (1)" (1) Setiap label dan atau iklan tentang pangan yang
diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak
menyesatkan. (2) Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang
pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label atau iklan apabila
keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan. Lain lagi yang
dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 33, yang mengisyaratkan bahwa: pencantuman kata-kata
yang ada dalam prosuk makanan tersebut harus benar, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi jika informasi yang ada dalam produk, jika tidak benar maka produsan wajib
bertangung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut
dikemudian hari. Kenapa demikian, jika suatu produk hanya memikirkan bagaimana
produknya laris terjual tanpa memikirkan efek samping bagi konsumen, tentunya mereka
dengan semena-mena dapat membuat label, dengan maksud mencari keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang sebenarnya ditekankan dalam Pasal ini, yaitu
pertanggungjawaban produsen mengenai informasi produknya. "Pasal 34 ayat (1)" (1) Setiap
orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah
sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas
kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 30 di atas, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
Pasal 34 ayat (1) ini, karena dalam pasal ini informasi tentang produk makanan harus disesuai
dengan agama. Hal sebenarnya mempertegas pernyataan halal tersebut, jika memang tidak
halal dikonsumsi oleh umat muslim, kenapa harus dibilang halal, demikian juga dengan
katentuan dalam agama lain. "Pasal 58 huruf h" barang siapa : h. memproduksi atau
memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan tanpa
mencantumkan label, sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 atau pasal; i. memberikan
keterangan atau pernyataan tidak benar dan atau menyesatkan mengenai pangan yang
diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (2). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah). Dalam pasal ini,
dinyatakan dengan tegas jika para produsen melanggar ketentuan pasal-pasal sebelumnya
akan dikenakan sanksi. Pasal sanksi berguna untuk memperkuat berlakunya ketentuan-
ketentuan di atas, agar para produsen tidak berkilah jika memang benar mereka melanggar.
Jika terbukti PT Ajinomoto telah melakukan tindakan-tindakan dalam Angka I, maka PT
Ajinomoto Indonesia dapat dikenakan tuduhan telah melanggar ketentuan pasal-pasal di atas.
B. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Perusahaan bumbu masak Ajinomoto (PT Ajinomoto Indonesia) dalam memproduksi
bumbu masak tersebut, sebenarnya tidak menyalahi aturan' akan tetapi kesalahan disini
terdapat dalam kemasan Ajinomoto tersebut yang dinyatakan dengan jelas kata-kata "halal",
ini sebenarnya yang jadi masalah bukan produksi bumbu masaknya tapi pernyataan halalnya.
Hal ini jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dapat dikatakan telah melanggar aturan dalam Undang-undang tersebut antara
lain Pasal-Pasal: "Pasal 7 huruf b" Kewajiban pelaku usaha adalah: b. memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta
memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Pelanggaran disini, dapat
dikategorikan bahwa, perusahaan Ajinomoto telah memberikan informasi yang tidak benar,
yaitu memberikan informasi halal dalam label, sedangkan dalam kenyataannya tidak halal
dikonsumsi oleh umat muslim, karena mengandung unsur babi. "Pasal 8 ayat (1) huruf h" (1)
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang:
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara "halal" sebagaimana pernyataan halal yang
dicantumkan dalam label. Dalam pasal ini bukan berarti semua produk yang diproduksi wajib
halal, akan tetapi jika dalam label dinyatakan halal, maka seyogyanya dalam kenyataan yang
sebenarnya juga halal. Jadi pernyataan halal bukan hanya dalam label. "Pasal 9 ayat (1) huruf
f" (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan
atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-olah: f. barang tersebut tidak mengandung cacat
tersembunyi.
Informasi dalam pasal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pasal-pasal sebelumnya,
hanya disini dipertegas tentang pernyataan-pernyataan yang dicantumkan dalam label, harus
sesuai dengan keadaan barang tersebut sesungguhnya, bukan menimbulkan cacat
tersembunyi, sebagaimana yang terdapat dalam kasus ajinomoto, yang menyatakan hal
tersebut halal, tetapi belakangan timbul kontrafersi, dari MUI yang menyatakan bahwa
ajinomoto haram. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan cacat tersembunyi, bahwa cacat
tersebut akan terkuak setelah diteliti keakuratan informasi dari barang tersebut.
"Pasal 62 ayat (1) (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Sanksi
terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal di atas pada intinya hanya sanksi pidana dan
sanksi denda, disamping sanksi denda ada juga tentang sanksi administratif, yang bagi para
pemilik SIUP sangat, dikhawatirkan karena dapat menghancurkan perusahaan mereka itu
sendiri. Sanksi administratif dimaksud adalah pencabutan SIUP bersangkutan. Jika
diperhatikan Surat Keputusan Bersama (SKB) ini diimplementasikan dalam bentuk
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan
KepMenkes Nomor 924 Tahun 1996, yang intinya pasalnya menyatakan : bahwa
produsen/pengimpor yang pada produknya ingin dicantumkan label "Halal", wajib siap
diperiksa tim petugas gabungan dari Depkes, Depak, dan MUI, ujarnya, Depkes melalui
pembahasan bersama dengan Depag maupun MUI. Jadi sebenarnya dalam pengeluaran
sertifikat "Halal" sebenarnya MUI juga berwenang akan wewenang tersebut aabaru sah dan
berdasrkan hukum jika telah berkoordinasi dengan Dirjen POM terlebih dahulu dalam
mengeluarkan sertifikat Halal. Dan bagaimana dengan sertifikat "Haram". IV. Kesimpulan A.
Sebagaimana dinyatakan pada angka I di atas, bahwa pencantuman label halal, harus
dikeluarkan dengan Surat Keputusan Bersama antara Departemen Kesehtan dengan MUI.
Sementara itu pernyataan "Haram" dikeluarkan oleh MUI, tanpa koordinasi dahulu
dengan Depkes, hal ini menimbulkan reaksi kontra dari Depkes. Jika kita lihat isi dari
ketentuan SKB diatas, memang MUI terlalu terburu-buru mengeluarkan fatwa, akan tetapi
jika dilihat dari ketentuan tersebut, yang ditekankan adalah pernyataan label halal, dan bukan
pernyataan label haram, jadi disini sebenarnya MUI tidak dapat disalahkan dengan fatwa
yang dikelauarkannya walaupun tanpa koordinasi dengan Depkes. B. Dengan memperhatikan
ketentuan sanksi dalam Undang-undang di atas, dapat disimpulkan bahwa: sanksi yang akan
diberikan kepada PT ajinomot Indonesia bisa dikategorikan kedalam sanksi pidana (penjara
atau denda) dan sanksi administratif. Berbicara mengenai sanksi administratif yaitu sanksi
tentang pencabutan SIUP. Ada dua hal yang perlu diperhatikan tentang SIUP mengingat PT
Ajinomoto adalah merupakan Perusahaan Asing (PMA) yaitu: 1. perusahaan tersebut minta
usahanya dicabut. 2. pencabutan dilakukan lantaran perusahaan bersangkutan terbukti
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. C. Jika diperhatikan penjelasan di
atas, apakah PT Ajinomoto Indonesia telah melanggar peraturan perundang-undangan?
Dalam ketentuan hukum pidana, kita menganut asas "praduga tak bersalah" (bahwa seseorang
atau badan hukum walaupun dalam keadaan senyatanya sudah melakukan tindak pidana,
namun dalam hukum tetap dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang tetap
menyatakan bahwa seseorang/badan hukum tersebut bersalah), harus dijunjung tinggi. Oleh
karena itu penilaian bersalah atau tidaknya PT Ajinomoto tergantung pada keputusan
lembaga yang berwenang, sementara lembaga lain hanya dapat memberikan teguran atau
peringatan baik lisan maupun tulisan, atau sanksi administratif sementara. D. Sebaiknya
pihak Pemerintah selaku lembaga yang paling berwenang dalam masalah ini, harus
mengeluarkan suatu aturan yang jelas tentang, prosedur pemeriksaan dan wewenang
pencantuman label halal ini. Agar tidak terjadi saling menyalahkan antara masing-masing
lembaga yang merasa berwenang. Untuk itu pemerintah perlu mengeluarkan baru atau
merevisi peraturan lama, tentang Sertifikasi Halal tersebut.
CONTOH KASUS
Seringkali kita melihat produk produk penyedap makanan ramai digunakan di masyarakat luas
dengan adanya penyedap makanan membuat masyarakat dapat menikmati makanan dengan
mudahnya, penjualan penyedap yang cukup luas dan sering dijumpai di semua gerai toko maupun
pasar membuat perushaaan seringkali menyalah gunakan kejadian ini.
Masih ingatkah dengan kasus PT Ajinomoto Indonesia pada tahun 2001 silam. Di awal tahun
2001 manajemen penyedap rasa itu harus menarik puluhan ribu ton produknya yang telanjur
beredar di pasaran. Tindakan ini harus ditempuh karena Majelis Ulama Indonesia telah menjatuhkan
vonis: ada lemak babi pada bumbu masak cap mangkok merah itu. Bukan tuduhan yang ringan,
tentunya.

Kejadian naas ini bermula ketika MUI secara resmi mengeluarkan fatwa agar masyarakat tak
mengkonsumsi produk Ajinomoto terhitung tanggal 13 Oktober hingga 24 November 2000. Seruan
tersebut jelas mengagetkan. Sebab, di saat Mandra dan Paramitha Rusady mengajak masyarakat
untuk menggunakan Ajinomoto, pemerintah malah menginstruksikan agar manajemen segera
menarik semua bumbu masak keluaran Ajinomoto yang sangat banyak ada di pasaran.

Akhirnya, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) pun memerintahkan PT
Ajinomoto Indonesia menarik seluruh produk MSG (monosodium glutamat/vetsin) yang beredar di
Indonesia dalam waktu tiga pekan, terhitung 3 Januari 2001. Menurut Dirjen POM Sampurno,
keputusan memerintahkan penarikan produk MSG Ajinomoto itu diambil setelah ia bertemu dengan
perwakilan Departemen Agama, wakil MUI, dan Lembaga Penelitian (LP) POM-MUI.

Genderang ini kontan disambut pedagang di beberapa daerah. Berdasarkan informasi yang
diperoleh Dirjen POM dari Direksi PT Ajinomoto, produksi Oktober-November MSG Ajinomoto
mencapai 10 ribu ton. Dari jumlah itu, 7.000 ton untuk diekspor, sedangkan sisanya sebagian masih
berada di gudang-gudang dan sebagian lainnya beredar di masyarakat luas yang hingga kini resah
dengan informasi yang ada

Di Nusatenggara Barat, sedikitnya ada 3,5 ton bumbu penyedap MSG merek Ajinomoto yang ditarik
dari pasaran. Untungnya, penarikan ini disertai pemberian ganti rugi kepada para pedagang dan
pengecer, sehingga tak terlalu menimbulkan masalah. Kepala Kantor Wilayah Departemen
Perindustrian dan Perdagangan NTB Bustinir mengatakan, penarikan bumbu penyedap Ajinomoto
tersebut dibatasi hingga tiga pekan, karena itu para pengecer yang masih memiliki stok bumbu
masak itu hendaknya segera menyerahkan kepada petugas produk tersebut sehingga tidak ada.

Penarikan Ajinomoto ternyata tak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga terjadi diSingapura yang
mengimpornya dari Indonesia. Ajinomoto Singapura terpaksa menarik bumbu masak kemasan satu
kilogram dari pertokoan di negeri itu, sebagai langkah kepedulian terhadap warga muslim Singapura.
Sebelumnya Badan Agama Islam Singapura (MUIS) telah menganjurkan para konsumen muslim
untuk berhati-hati dalam memilih bumbu masak. MUIS juga mengajak masyarakat untuk memeriksa
supermarket-supermarket guna memastikan bahwa produk yang tidak halal itu sudah tak ada lagi di
jual di pasaran bebas sehingga masyarakat mudah mendapatkannya.
Sedangkan di Tanah Air, penarikan Ajinomoto terus berlanjut. Di Jawa Timur, polisi terpaksa menyita
produk Ajinomoto yang masih beredar untuk dijadikan barang bukti. Kepala Polda Jatim Inspektur
Jenderal Sutanto menyerukan seluruh agen Ajinomoto agar menyerahkan bumbu masak ini secara
sukarela. Ia juga berjanji untuk membicarakan persoalan ganti rugi antara agen dengan perusahaan.
Hingga saat ini, menurut Kepala Bidang Perdagangan Kantor Wilayah Departemen Perindustrian dan
Perdagangan Jatim Agus Hariadi, penarikan Ajinomoto tak mengganggu perekonomian di daerah
tersebut. Namun, berita Ajinomoto memang sempat meresahkan masyarakat menengah kebawah
yang notabene sering kali menggunakan.
Peredaran bumbu masak berlabel halal itu jelas meresahkan. Maklumlah, penduduk negeri ini
mayoritas memang muslim. Itu sebabnya, Ketua Komisi E DPRD Aceh Ibrahim sangat menyesalkan
atas tindakan perusahaan penyedap rasa Ajinomoto yang sengaja mencampurkan nutrisi berunsur
lemak babi ke dalam bumbu tersebut. Saat ini, kata Ibrahim, bumbu masak Ajinomoto masih
beredar, dijual, dan dikonsumsi masyarakat desa di Aceh. Pasalnya, mereka belum tahu bila bumbu
penyedap masakan itu mengandung lemak babi dan membuat masyarakat takut akan membeli
produk.

Derita PT Ajinomoto Indonesia kian panjang setelah sejumlah pedagang nasi, soto, dan bakso di
Bandung, Jawa Barat, memasang pengumuman di warung-warung tempat mereka jualan. Dalam
pengumuman tersebut, para pedagang menyatakan bahwa dagangan mereka tak menggunakan
bumbu masak Ajinomoto. Itu sengaja dilakukan Ny Aam, pedagang soto Madura di Cibereum, karena
ia merasa capek menjawab pertanyaan pelanggan yang mau makan di warungnya. " Hampir setiap
orang yang mau makan tanya, pakai Ajinomoto atau tidak? Ya, saya jawab saja tidak. Buktinya, saya
memang sudah tidak pakai. Tetapi, kalau terus-terusan tiap orang mau makan tanya begitu, saya jadi
kesal juga," tutur Ny Aam, memberi alasan.

Kendati pemerintah telah mengintruksikan untuk menarik Ajinomoto, penyedap rasa itu ternyata
masih ada di beberapa pasar. Di pasar tradisional Perumahan Nasional Tamalete dan Kompleks
Pemukiman Bumi Permata Hijau, Makassar, Sulawesi Selatan, produk tersebut masih marak beredar.
Menurut para pedagang, masih banyak kaum ibu yang mencari bumbu penyedap Ajinomoto karena
mereka sudah biasa menggunakan produk tersebut. Namun, ada juga sebagian warga yang tak
mengetahui bahwa produk tersebut dinyatakan haram. Tak perlu heran bila pamasaran produk
Ajinomoto di Sulsel mencapai 30 persen dari produksi nasional.

Pemandangan serupa juga terlihat di beberapa toko di Pasar Mampang Barat, Jakarta Selatan.
Menurut Ny. Harno, seorang pedagang di pasar tersebut, produk Ajinomoto ternyata masih banyak
peminatnya, khususnya dari kalangan nonmuslim. Itu sebabnya, omzet penjualan bumbu masak itu
tak turun secara drastis. Meski begitu, manajemen Ajinomoto berjanji untuk menarik semua
produknya dari peredaran. Jumlah yang beredar di pasaran, diperkirakan mencapai 10 ribu ton,
termasuk Masako dan Sajiku yang tidak sama sekali bermasalah dan dapat dibuktikan adanya.

Langkah ini dilakukan sebagai bentuk permintaan maaf dari manajemen Ajinomoto kantor pusat di
Jepang. Di negeri matahari terbit, kasus Ajinomoto Indonesia sempat menggoyang saham
Ajinomoto. Tersiar kabar, peristiwa lemak babi ini sempat menurunkan saham Ajinomoto 30 poin.
Padahal, perusahaan tersebut termasuk dalam 36 perusahaan makanan dan minuman terbesar di
dunia dengan pendapatan US$ 5 miliar.

Ketua Gabungan Asosiasi Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Thomas
Dharmawan khawatir keadaan itu akan membawa buruk bagi nasib karyawan Ajinomoto di
Indonesia. Ia berharap agar manajemen tak menutup dan menghentikan produksinya di Indonesia,
meski pabrik Ajinomoto di berbagai daerah telahdisegelpolisi.
Wajar bila Thomas begitu khwatir. Sebab, menurut Dirjen Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan
Deperindag Gatot Ibnusantosa, Ajinomoto adalah penghasil MSG (vetsin) terbesar dari delapan
industri vetsin besar di Indonesia yang menghasilkan 270 ribu ton per tahun. Setiap tahun Ajinomoto
Indonesia memproduksi sekitar 36 ribu ton MSG. Gatot menambahkan, untuk menyelamatkan
produksi yang telah ditarik dari pasaran itu, sebaiknya produk Ajinomoto diekspor ke negara
nonmuslim dantidakdipasarkansecaradiam-diamdiIndonesia.(ULF)
ANALISIS
Dari kasus tersebut bisa kita lihat bahwa tidak hanya konsumen saja yang dirugikan namun hal ini
juga berdampak pada penurunan saham ajinomoto tersebut, dan yang paling mengerikan adalah jika
pabrik tersebut harus ditutup maka akan berdampak pada PHK besar-besaran pada karyawan PT.
Ajinomoto tentu hal ini akan menambah daftar pengangguran di Indonesia. Maka dari itu untuk
pelaku bisnis jangan pernah mengabaikan hak konsumen agar tidak merugikan semua pihak.
Selain hak-hak konsumen yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha, tentunya kita sebagai
konsumen harus pintar agar tidak menjadi korban para pelaku bisnis yang mengabaikan prinsip-
prinsip etika bisnis perushaaan dan etika dalam pemasaran dan produksi.

SARAN
Hak-hakKonsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
 Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
 Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
 Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
 Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
 Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
 Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
 Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
 Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
 Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban konsumen:
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
 Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
 Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
 Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
 Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
 Kewajiban pelaku usaha menurut pasal 7 adalah :
 Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
 Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
 Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
 Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
 Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
 Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
 Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima
atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian

Referensi
http://news.liputan6.com/read/6058/ramai-ramai-menarik-ajinomoto
http://www.ylki.or.id/hak-dan-kewajiban-konsumen
http://kambing.ui.ac.id/onnopurbo/library/library-non-ict/written-law/right/UNDANG-
UNDANG%20REPUBLIK%20INDONESIA.htm
http://rndyst07.blogspot.com/2011/11/contoh-makalah-kasus-etika-bisnis.html
http://yesica-adicondro.blogspot.com/2013/04/etika-bisnis-periklanan-dan-etika.html
http://marketingheryanto.blogspot.com/2012/06/pemasaran-global-dan-sosial-budaya.html
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/25/121491016/McDonalds-Telah-Menghapus-Menu-
Makanan-Halal
http://www.tempo.co/topik/masalah/79/Kasus-Ajinomoto
http://nildatartilla.wordpress.com/2013/02/09/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis-oleh-pt-
megasari-makmur/
http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/301759-kembaran-juke-besutan-renault--apa-hebatnya
Ajinomoto Dan Kepentingan Konsumen

TAHUN 2001 diawali dengan kegemparan luar biasa, dengan antiklimaks kebingunan
masyarakat muslim, 9 Januari lalu. Yakni, ketika Presiden Abdurrahman Wahid melalui Juru
Bicara Kepresidenan Wimar Witoelar menyatakan bahwa Ajinomoto itu halal. Bersamaan
dengan itu, para peneliti juga menyatakan bahwa produk Ajinomoto tidak mengandung babi.

Sebagian masyarakat muslim yang awam ilmu pengetahuan, tentunya bertanya-tanya, siapa
yang benar? Perlu diingat, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 tahun 1999, satu-
satunya lembaga resmi yang berhak menyatakan halal atau haram suatu produk hanyalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI), bukan presiden, apalagi seorang juru bicara kepresidenan,
kecuali jika PP tersebut telah dicabut atau diubah.

Kewenangan instansi di Indonesia, apalagi di masa sekarang, memang sangat rancu. Dan ini
membuat masyarakat bertambah bingung. Sebagai organisasi perlindungan konsumen yang
juga ikut manangani kasus Ajinomoto, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak
ingin menambah kebingungan konsumen. YLKI harus mendudukkan kasus tersebut pada
porsi dan kewenangan YLKI sesuai dengan UU yang berlaku, dalam hal ini adalah UU
Perlindungan Konsumen (UUPK) No. 8 Tahun 1999.

Untuk itulah, YLKI belum pernah, dan tidak akan pernah menyatakan bahwa Ajinomoto itu
halal atau haram. Dalam kasus Ajinomoto ini –sesuai dengan UUPK No. 8/99– YLKI
mempunyai hak untuk melakukan tuntutan hukum kepada pelaku usaha jika pelaku usaha
terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Dalam kasus Ajinomoto, alasan YLKI mengadukan Ajinomoto ke Polda Metro Jaya adalah
karena: Ajinomoto telah melanggar UUPK No. 8/99 Bab IV Pasal 8 poin f dan h mengenai
Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha. Ajinomoto telah memberikan informasi yang
menyesatkan kepada konsumen karena dalam setiap kemasannya tercantum label halal tetapi
pada kenyataannya produk tersebut haram. YLKI tidak mempersoalkan produk itu haram
atau halal, sebab yang menjadi fokus YLKI hanya karena adanya pelanggaran pada label.

Jelas-jelas dinyatakan dalam Pasal 8 poin f (Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa) dan poin h
(Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label). Karena sudah terbukti, sesuai dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI), bahwa produk Ajinomoto itu haram, maka YLKI melakukan tuntutan
hukum melalui pengaduan ke aparat penegak hukum yang sah.

Jika dalam kenyataannya terjadi tindakan-tindakan yang tidak adil terhadap Ajinomoto,
seperti: penutupan pabrik, penangkapan beberapa eksekutif perusahaan, dan penyitaan
produk Ajinomoto secara membabi buta oleh aparat, dan terjadinya berbagai pemerasan, baik
langsung maupun tidak terhadap Ajinomoto, itu di luar maksud dan tujuan YLKI dalam
menuntut secara hukum pelaku usaha yang melanggar UUPK No. 8/99. Kalau pun pihak
kepolisian harus memenjarakan penanggungjawab PT Ajinomoto Indonesia, orang yang
paling bertanggungjawab hanya direktur utama dan direktur produksi, bukan direktur atau
manajer pabrik, manajer general affairs, atau manajer-manajer lain.
Perlu juga diketahui, tindakan penutupan pabrik selama proses hukum berjalan, tidak terdapat
dalam UUPK No. 8/99. Jika pada akhirnya Ajinomoto dinyatakan bersalah oleh pengadilan,
berdasarkan UUPK No. 8/99 pasal 62, Ajinomoto hanya diancam dengan kurungan
maksimum 5 tahun bagi eksekutifnya yang paling bertanggungjawab (direktur utama dan
direktur atau manajer produksi) atau denda maksimum Rp 2 milyar. Sama sekali tidak ada
pasal yang menyatakan pabrik harus ditutup.

Jelas bahwa maksud YLKI menuntut Ajinomoto hanya semata-mata ingin menegakkan
UUPK No. 8/99 yang sudah diperjuangkan oleh YLKI selama kurang lebih duapuluh tahun,
bukan untuk menghancurkan pelaku usaha atau memeras pelaku usaha, atau menyebabkan
pegawai Ajinomoto kehilangan pekerjaan. YLKI berharap agar UUPK No. 8/99 dapat
menjadi pelopor pelaksanaan hukum secara benar di republik ini. Memang, dalam
menegakkan hukum harus ada korban, dan kebetulan saat ini harus Ajinomoto. Sekali lagi,
YLKI berharap agar tidak ada lagi tindakan permisif yang kontroversial dalam penyelesaian
kasus Ajinomoto. Jika hal ini sampai terjadi, dapat dipastikan bahwa hukum belum berjalan
di Indonesia.

Untuk itu, YLKI berharap agar berbagai pihak jangan memperkeruh permasalahan tersebut
dengan berbagai pendapat yang membingungkan masyarakat. Yang terpenting, aparat hukum
dapat secepatnya menyelesaikan kasus ini sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, untuk
menghindari tekanan-tekanan politik-ekonomi yang tidak perlu, karena ujung-ujungnya
konsumen juga yang akan menderita. Semoga!

Agus Pambagio, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Sumber : http://www.gatra.com/2001-01-16/artikel.php?id=3032

PT Ajinomoto Indonesia merupakan produsen bumbu masak merek Ajinomoto. Perusahaan


ini memiliki kantor pusat di Jepang dimana Ajinomoto pusat merupakan salah satu dari 36
perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia.

Sehubungan dengan akan berakhirnya sertifikat Halal dari MUI untuk AJI-NO-MOTO pada
September 2000, maka PT Ajinomoto Indonesia mengajukan perpanjangan sertifikat
Halalnya pada akhir Juni 2000. Audit kemudian dilakukan oleh LPPOMMUI Pusat (2 orang),
LPPOMMUI Jatim, BPOM, Balai POM Surabaya dan dari Departemen Agama pada tanggal
7 Agustus 2000.

Pada 7 Oktober 2000, Komisi Fatwa memutuskan bahwa Bactosoytone tidak dapat digunakan
sebagai bahan dalam media pembiakan mikroba untuk menghasilkan MSG. PT Ajinomoto
Indonesia diminta untuk mencari alternatif bahan pengganti Bactosoytone.
Sesuai dengan instruksi Komisi Fatwa, PT Ajinomoto Indonesia mengganti Bactosoytone
dengan Mameno dalam tempo 2 bulan.
LPPOMMUI melakukan audit sehubungan dengan penggantian Bactosoytone dengan
Mameno pada 4 Desember 2000. Mereka memutuskan Mameno dapat digunakan dalam
proses pembiakan mikroba untuk menghasilkan MSG.

Komisi Fatwa melakukan rapat kedua pada 16 November 2000. LPPOMMUI menyampaikan
hasil rapat tersebut kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 18 Desember 2000, bahwa produk
yang menggunakan Bactosoytone dinyatakan Haram.
MUI mengirim surat kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 19 Desember 2000 untuk menarik
semua produk Ajinomoto yang diproduksi dan diedarkan sebelum tanggal 23 November 2000
(Produk yang dihasilkan setelah 23 November 2000 sudah menggunakan Mameno). Namun,
pada tanggal tersebut perusahaan sudah memasuki libur bersama Natal dan Tahun Baru.

Sekertaris Umum MUI mengumumkan di media massa pada 24 Desember 2000, bahwa
produk AJI-NO-MOTO mengandung babi dan masyarakat diminta untuk tidak mengonsumsi
bumbu masak AJI-NO-MOTO yang diproduksi pada periode 13 Oktober hingga 16
November 2000.
Pengumuman MUI ini lalu ditindaklanjuti dengan pertemuan antara jajaran Deperindag,
Depag, MUI, GPMI (Pengusaha Makanan dan Minuman), Dirjen POM, dan YLKI pada 2 &
5 Januari 2001 yang menghasilkan keputusan bahwa PT. Ajinomoto Indonesia harus menarik
seluruh produknya di pasaran dalam negeri termasuk produk lain yang tidak bermasalah
dalam jangka waktu 3 minggu terhitung dari 3 Januari 2001.

Kasus Ajinomoto
Kasus Ajinomoto mencuat tahun 2001, dan sempat menghebohkan masyarakat
Muslim akibat Fatwa MUI yang yang mengharamkan bumbu masakan ini karena
ditengarai bahan baku pembuatannya dicampur dengan lemak babi. Tentu saja
masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim tersentak dengan adanya fatwa dari
MUI ini. Namun oleh aparat keamanan, empat pemimpin PT Ajinomoto langsung
diamankan untuk meredam gejolak massa, dengan tuduhan melanggar UU
konsumen.
Sebenarnya PT.Ajinomoto sudah memiliki serifikat halal dari MUI, namun berlakunya
hanya 2 tahun dan berakhir Juni 2000. Setelah tanggal tersebut pihak Ajinomoto tak
lagi melakukan pemeriksaan ke MUI, mereka malah mengubah bahan bakunya,
yang ditengarai mengandung ekstrak lemak babi.
PT. Ajinomoto Indonesia membantah bahwa produk akhir MSG Ajinomoto
mengandung unsur porcine. Hal tersebut dikemukakan oleh Tjokorda Bagus Sudarta
dari manajemen Ajinomoto dalam siaran persnya. Sebelumnya Tjokorda melalui
media masa mengakui menggunakan bactosoytune yang diekstraksi dari daging
babi untuk menggantikan olypeptone yang biasa di ektraksi dari daging sapi.
Penggunaan bactosoytune karena lebih ekonomis. Menurutnya, penggunaan
ekstrak daging babi itu hanyalah sebagai medium dan sebenarnya tidak
berhubungan dengan produk akhir.
Untuk menjaga ketenangan dan keresahan yang sudah meluas di masyarakat pihak
Ajinomoto menarik secara serentak seluruh produk MSG Ajinomoto dalam 3 minggu
terhitung mulai 3 Januari 2001 sebanyak 10 ribu ton. Akibat kasus ini PT. Ajinomoto
harus menanggung kerugian dengan memberi ganti rugi kepada para pedagang
sebesar Rp 55 miliar.
PT. Ajinomoto juga minta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, dan
menyatakan seluruh produk MSG Ajinomoto stok baru hanya boleh dipasarkan
setelah mendapat sertifikat halal yang baru dari MUI.
KH Sahal Mahfudz:
MUI Tetap Mengharamkan Vetsin Ajinomoto

Berita IPTEK
Jum'at, 12 Januari 2001, 10:20:10 Wib

MUI akhirnya tetap pada pendiriannya mengharamkan, produk Ajinomoto,


walaupun orang nomor satu di Indonesia mengatakan Ajinomoto Halal.

Kunjungan kerja Presiden ke Bandung, baru-baru ini banyak mendapat perhatian


dari beberapa kalangan media masa berkenaan dengan komentar Presiden tentang
halalnya Ajinomoto. Fatwa MUI tentang Ajinomoto itu dikeluarkan pada tanggal
16 Desember 2000, 10 hari menjelang lebaran, dan pekan lalu Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri memutuskan untuk menarik seluruh produk PT Ajinomoto dari
pasaran. Sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid, mengatakan produk Ajinomoto
halal, setelah mendapat kunjungan dari salah seorang mentri Jepang, pada tanggal
9 Januari 2000. Kenapa respon yang keluar dari Presiden RI ini terasa lambat?
inilah yang menjadi persoalan sehingga masyarakat Indonesia yang merasa sudah
jelas dan mengikuti dengan adanya fatwa MUI ini menjadi bingung kembali. Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Sahal Mahfudz, walaupun menyerahkan
kepada masyarakat akan perbedaan pendapat dengan presiden ini, menegaskan
"Silakan saja masyarakat yang menilainya. Tetapi yang prinsip, MUI tidak akan
mengubah sikapnya".

Produk Ajinomoto yang dinyatakan haram ini ternyata telah diproduksi sejak bulan
Juni sampai 23 Nopember 2000 karena menggunakan bahan pendukung bacto
soytone yang mengandung enzim babi, atau dalam bahasa ilmiahnya disebut
porcine.

KH Sahal Mahfudz, orang paling berpengaruh di MUI, ini menambahkan, "MUI


memahami penjelasan ilmiah bahwa enzim babi itu tidak terbawa pada produk
akhir PT Ajinomoto. Namun karena adanya pemanfaatan (intifa') zat haram dalam
proses produki, maka produk akhirnya pun tetap haram".

Yang cukup menggembirakan adalah sikap yang dimiliki oleh Kapolri Jenderal
Suroyo Bimantoro yang tidak terpengaruh dengan komentar Presiden,
"Pemeriksaan terhadap kasus Ajinomoto akan diteruskan dengan berpegang pada
lembaga yang berwenang menentukan sertifikasi halal Ajinomoto, yaitu MUI",
tegasnya di Bandara Halim Perdana Kusuma pada acara penjemputan Perdana
Menteri India Atal Behari Vajpayee.

Kapolri sendiri menambahkan bahwa MUI adalah lembaga resmi yang memiliki
otoritas dalam menentukan halal dan haram sesuai dengan syariat Islam. Bekerja
sama dengan MUI, Dirjen POM, kasus Ajinomoto ini tetap akan diteruskan. Selain
berpegang pada fatwa MUI yang diyakini kebenarannya ini, polisi juga berpegang
pada Undang-undang Konsumen.

Setelah diperkuat dari penjelasan para pakar di BPPT pada temu pers pada Rabu,
10 Januari lalu, tentang proses produksi MSG ini, akan semakin memperkuat MUI
pada pendiriannya, tidak akan mencabut fatwa yang telah dikeluarkannya.

Peristiwa ini merupakan hal yang menarik untuk diamati, karena dengan melihat
sisi ilmiah saja suatu produk sulit untuk ditetapkan halal haramnya. Akan tetapi
dengan dukungan dari sisi syar'i, akan jelas mana yang haram dan halal.
Sepatutnyalah apabila lembaga ilmiah terus bekerja sama dengan lembaga syar'i
dalam melihat masalah Ajinomoto ini.

Sumber: http://www.beritaiptek.com/messages/aktualnews/1461122001mye.shtml
PAKAI LEMAK BABI, PENYEDAP RASA INI DITARIK DARI PEREDARAN.

Awan mendung menggayuti langkah PT Ajinomoto Indonesia. Dengan berat hati, manajemen
penyedap rasa itu harus menarik puluhan ribu ton produknya yang telanjur beredar di
pasaran. Tindakan ini harus ditempuh karena Majelis Ulama Indonesia telah menjatuhkan
vonis: ada lemak babi pada bumbu masak cap mangkok merah itu. Bukan tuduhan yang
ringan, tentunya.

Kejadian naas ini bermula ketika MUI secara resmi mengeluarkan fatwa agar masyarakat tak
mengkonsumsi produk Ajinomoto terhitung tanggal 13 Oktober hingga 24 November 2000.
Seruan tersebut jelas mengagetkan. Sebab, di saat Mandra dan Paramitha Rusady mengajak
masyarakat untuk menggunakan Ajinomoto, pemerintah malah menginstruksikan agar
manajemen segara menarik semua bumbu masak keluaran Ajinomoto.

Akhirnya, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) pun
memerintahkan PT Ajinomoto Indonesia menarik seluruh produk MSG (monosodium
glutamat/vetsin) yang beredar di Indonesia dalam waktu tiga pekan, terhitung 3 Januari 2001.
Menurut Dirjen POM Sampurno, keputusan memerintahkan penarikan produk MSG
Ajinomoto itu diambil setelah ia bertemu dengan perwakilan Departemen Agama, wakil
MUI, dan Lembaga Penelitian (LP) POM-MUI.

Genderang ini kontan disambut pedagang di beberapa daerah. Berdasarkan informasi yang
diperoleh Dirjen POM dari Direksi PT Ajinomoto, produksi Oktober-November MSG
Ajinomoto mencapai 10 ribu ton. Dari jumlah itu, 7.000 ton untuk diekspor, sedangkan
sisanya sebagian masih berada di gudang-gudang dan sebagian lainnya beredar di
masyarakat.

Di Nusatenggara Barat, sedikitnya ada 3,5 ton bumbu penyedap MSG merek Ajinomoto yang
ditarik dari pasaran. Untungnya, penarikan ini disertai pemberian ganti rugi kepada para
pedagang dan pengecer, sehingga tak terlalu menimbulkan masalah. Kepala Kantor Wilayah
Departemen Perindustrian dan Perdagangan NTB Bustinir mengatakan, penarikan bumbu
penyedap Ajinomoto tersebut dibatasi hingga tiga pekan, karena itu para pengecer yang
masih memiliki stok bumbu masak itu hendaknya segera menyerahkan kepada petugas.

Penarikan Ajinomoto ternyata tak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga terjadi di
Singapura yang mengimpornya dari Indonesia. Ajinomoto Singapura terpaksa menarik
bumbu masak kemasan satu kilogram dari pertokoan di negeri itu, sebagai langkah
kepedulian terhadap warga muslim Singapura. Sebelumnya Badan Agama Islam Singapura
(MUIS) telah menganjurkan para konsumen muslim untuk berhati-hati dalam memilih bumbu
masak. MUIS juga mengajak masyarakat untuk memeriksa supermarket-supermarket guna
memastikan bahwa produk yang tidak halal itu sudah tak ada lagi di pasaran.

Sedangkan di Tanah Air, penarikan Ajinomoto terus berlanjut. Di Jawa Timur, polisi terpaksa
menyita produk Ajinomoto yang masih beredar untuk dijadikan barang bukti. Kepala Polda
Jatim Inspektur Jenderal Sutanto menyerukan seluruh agen Ajinomoto agar menyerahkan
bumbu masak ini secara sukarela. Ia juga berjanji untuk membicarakan persoalan ganti rugi
antara agen dengan perusahaan. Hingga saat ini, menurut Kepala Bidang Perdagangan Kantor
Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan Jatim Agus Hariadi, penarikan
Ajinomoto tak mengganggu perekonomian di daerah tersebut. Namun, berita Ajinomoto
memang sempat meresahkan masyarakat.

Peredaran bumbu masak berlabel halal itu jelas meresahkan. Maklumlah, penduduk negeri ini
mayoritas memang muslim. Itu sebabnya, Ketua Komisi E DPRD Aceh Ibrahim sangat
menyesalkan atas tindakan perusahaan penyedap rasa Ajinomoto yang sengaja
mencampurkan nutrisi berunsur lemak babi ke dalam bumbu tersebut. Saat ini, kata Ibrahim,
bumbu masak Ajinomoto masih beredar, dijual, dan dikonsumsi masyarakat desa di Aceh.
Pasalnya, mereka belum tahu bila bumbu penyedap masakan itu mengandung lemak babi.

Derita PT Ajinomoto Indonesia kian panjang setelah sejumlah pedagang nasi, soto, dan bakso
di Bandung, Jawa Barat, memasang pengumuman di warung-warung tempat mereka jualan.
Dalam pengumuman tersebut, para pedagang menyatakan bahwa dagangan mereka tak
menggunakan bumbu masak Ajinomoto. Itu sengaja dilakukan Ny Aam, pedagang soto
Madura di Cibereum, karena ia merasa capek menjawab pertanyaan pelanggan yang mau
makan di warungnya. " Hampir setiap orang yang mau makan tanya, pakai Ajinomoto atau
tidak? Ya, saya jawab saja tidak. Buktinya, saya memang sudah tidak pakai. Tetapi, kalau
terus-terusan tiap orang mau makan tanya begitu, saya jadi kesal juga," tutur Ny Aam,
memberi alasan.

Kendati pemerintah telah mengintruksikan untuk menarik Ajinomoto, penyedap rasa itu
ternyata masih ada di beberapa pasar. Di pasar tradisional Perumahan Nasional Tamalete dan
Kompleks Pemukiman Bumi Permata Hijau, Makassar, Sulawesi Selatan, produk tersebut
masih marak beredar. Menurut para pedagang, masih banyak kaum ibu yang mencari bumbu
penyedap Ajinomoto karena mereka sudah biasa menggunakan produk tersebut. Namun, ada
juga sebagian warga yang tak mengetahui bahwa produk tersebut dinyatakan haram. Tak
perlu heran bila pamasaran produk Ajinomoto di Sulsel mencapai 30 persen dari produksi
nasional.

ANALISIS MENGGUNAKAN BAB 1,2,3,4

Dalam menjalankan bisnis perusahaan haruslah menggunakan norma umum dan norma
khusus. norma dibutuhkan agar perusahaan mempunyai pedoman dalam menjalankan
perusaan sebaik mungkin, pada PT Ajinimoto norma yang berlaku tidak dijalankan
sebagaimana mestinya sehingga kegiatan perusahaan menyimpang dan merugikan konsumen.

Dalam etika terapan dapat dibagi menjadi etika umum dan khusus, dilihat dari etika umum
perusahaan ini tidak bertindak secara etis dan jika dilihat dari etika khusus perusahaan ini
tidak menerapkan prinsip dan norma dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Kasus pemakaian lemak babi dalam produk penyedap rasa yang diproduksi PT Ajinomoto
indonesia sangatlah memperihatinkan karena etika bisnis perusahaan sangatlah buruk, bisnis
dan moral tidak saling berhubungan. Etika dan moralitas yang berlaku tidak digunakan dalam
menjalankan bisnis perusahaan, sehingga kegiatan bisnis yang dilakukan menyimpang dan
membuat rugi konsumen dan perusahaan. perusahaan hanya mementingkan keuntungan
dibandingkan moral perusahaan, mungkin perusahaan ini beranggapan jika memperhatikan
moral perusahaan akan berada diposisi tidak menguntungan dikondisi persaingan yang ketat.

PT Ajinomoto Indonesia dalam menjalankan kegiatan bisnisnya seharusnya mempunyai


budaya perusahaan atau corporate culture, agar kegiatan yang dilakukan perusahaan dari
generasi ke generasi menganut prinsip - prinsip etika bisnis supaya perusahaan berjalan
dengan baik dan tidak menyimpang. Prinsip-prinsip etika bisnis tersebut diantaranya :
 Prinsip kejujuran, PT Ajinomoto seharusnya transparan akan komposisi atau
kandungan yang dipakai produk tersebut agar semua pihak mengetahui dan dapat memilih
mana yang baik dikonsumsi dan mana yang tidak baik.
 Prinsip otonomi, langkah penarikan produk penyedap rasa yang memakai lemak babi
adalah keputusan yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
 Prinsip keadilan, setiap konsumen mempunyai keyakinan agama masing-masing dan
norma yang berlaku didalamnya, ada yang memperbolehkan dan tidak memperbolehkan
suatu zat. Seperti agama islam yang mengharamkan babi dan diagama lain yang
memperbolehkan babi, sebaiknya PT Ajinomoto tidak memakai lemak babi dalam produknya
agar semua konsumen muslin atau non muslim dapat menggunakan penyedap rasa tersebut.
 Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle), jika produk yang diproduksi
tidak layak itu akan membuat kerugian bagi konsumen, PT Ajinomoto tidak memperhatiakan
hal tersebut dalam kegiatan bisnisnya sehingga banyak yang dirugikan.
 Prinsip integritas moral, saat kasus seperti ini sudah terjadi meski produk telah ditarik
dari peredaran dan ganti rugi sudah diberikan namun tetap saja nama baik perusahaan jadi
buruk dimata konsumen.

Jadi, meskipun betapa sulitnya menjalankan usaha untuk dapat memperoleh keuntungan
sangat penting mempunyai dan menghayati etika bisnis, norma dan moralitas serta penerapan
prinsip-prinsip etika bisnis supaya terbentuk stakeholder paradigma yang baik.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

SEJARAH PERUSAHAAN AJINOMOTO

Ajinomoto telah beredar di Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan hingga pada


tahun 1969, akhirnya diproduksi di Indonesia.Dari pabrik yang berlokasi di kota Mojokerto,
Jawa Timur, dihasilkan MSG dengan merek Ajinomoto yang dipasarkan keseluruh.
Indonesia. Saat ini PT AJINOMOTO INDONESIA juga telah menghasilkan produk lainnya
seperti bumbu penyedapMasako dan bumbu siap saji serta tepung bumbu SAJIKU®. AJI-NO-
MOTO® telah beredar di Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan hingga pada tahun
1969, akhirnya diproduksi di Indonesia. Dari pabrik yang berlokasi di kota Mojokerto, Jawa
Timur, dihasilkan MSG dengan merek AJI-NO-MOTO® yang dipasarkan keseluruh.
Indonesia. Saat ini PT AJINOMOTO INDONESIA juga telah menghasilkan produk lainnya
seperti bumbu penyedap MASAKO® dan bumbu siap saji serta tepung bumbu SAJIKU®.
Ajinomoto Co., Inc. (Jepang: 味の素) adalah sebuahperusahaan Jepang yang
memproduksi bumbu masak, minyak masak, makanan dan farmasi melalui Britannia
PharmaceuticalsLimited, anak perusahaan yang bermarkas di UK. Terjemahan harfiah
dari AJI-NO-MOTO adalah "Cita Rasa" (Essence of Taste), digunakan sebagai merk dagang
perusahaan Monosodium Glutamat. Ajinomoto sekarang ini memproduksi sekitar
33%Monosodium Glutamat dunia. Ajinomoto aktif di 23 negara dan daerah di dunia,
mempekerjakan sekitar 24.861 orang (pada 2004), dengan pendapatan tahunan AS$9,84
miliar. Monosodium glutamat (MSG) Ajinomoto pertama kali dipasarkan di Jepang pada
1909, yang ditemukan dan dipatenkan oleh Kikunae Ikeda. Menurut Ikeda, MSG adalah
penyumbang rasa Umami untuk makanan yang penting bagi asupan nutrisi. Pendapatnya ini
telah dibuktikan lewat berbagai penelitian yang berkredibilitas baik dan diakui oleh badan-
badan kesehatan dunia.
Penguasaan tekhnologi fermentasi dalam memproduksi AJI-NO-MOTO menjadi
pendorong bagi perusahaan ini untuk mengembangkan bisnisnya dengan memproduksi asam-
asam amino lainnya. Dewasa ini, perusahaan Ajinomoto merupakan supplier utama didunia
untuk berbagai asam amino yang diperlukan oleh industri kesehatan dan makanan. Selain
memproduksi AJI-NO-MOTO, perusahaan juga memperluas produk-produknya untuk
konsumen langsung. Berbagai produk konsumen tersebut di Indonesia antara lain; berbagai
bumbu masak siap pakai (Masako, Sajiku dan Saori) dan minuman (Calpico dan
Birdy). Komponen utama AJI-NO-MOTO/MSG adalah 78% glutamat, yang merupakan salah
satu asam amino pembentuk protein tubuh dan makanan. Unsur-unsur MSG lainnya juga
tidak asing bagi tubuh dan makanan sehari-hari, yaitu 12% natrium/sodium dan 10% air.
Bertolak belakang dengan persepsi negatif yang menganggap MSG sebagai bahan kimia yang
menimbulkan dampak merugikan bagi tubuh, MSG sebenarnya justru mengandung unsur-
unsur nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Produk-produk Ajinomoto yang dipasarkan di Indonesia.


PT Ajinomoto Indonesia merupakan produsen bumbu masak merek Ajinomoto.
Perusahaan ini memiliki kantor pusat di Jepang dimana Ajinomoto pusat merupakan salah
satu dari 36 perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia.
2.2 Kontroversi produk
 Sehubungan dengan akan berakhirnya sertifikat Halal dari MUI untuk AJI-NO-
MOTO pada September 2000, maka PT Ajinomoto Indonesia mengajukan perpanjangan
sertifikat Halalnya pada akhir Juni 2000. Audit kemudian dilakukan oleh LPPOMMUI Pusat
(2 orang), LPPOMMUI Jatim, BPOM, Balai POM Surabaya dan dari Departemen Agama
pada tanggal 7 Agustus 2000
 Pada 7 Oktober 2000, Komisi Fatwa memutuskan bahwa Bactosoytone tidak dapat
digunakan sebagai bahan dalam media pembiakan mikroba untuk menghasilkan MSG. PT
Ajinomoto Indonesia diminta untuk mencari alternatif bahan pengganti Bactosoytone.
 Sesuai dengan instruksi Komisi Fatwa, PT Ajinomoto Indonesia mengganti
Bactosoytone dengan Mameno dalam tempo 2 bulan.
 LPPOMMUI melakukan audit sehubungan dengan penggantian Bactosoytone dengan
Mameno pada 4 Desember 2000. Mereka memutuskan Mameno dapat digunakan dalam
proses pembiakan mikroba untuk menghasilkan MSG.
 Komisi Fatwa melakukan rapat kedua pada 16 November 2000. LPPOMMUI
menyampaikan hasil rapat tersebut kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 18 Desember 2000,
bahwa produk yang menggunakan Bactosoytone dinyatakan Haram.
 MUI mengirim surat kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 19 Desember 2000 untuk
menarik semua produk Ajinomoto yang diproduksi dan diedarkan sebelum tanggal 23
November 2000 (Produk yang dihasilkan setelah 23 November 2000 sudah menggunakan
Mameno). Namun, pada tanggal tersebut perusahaan sudah memasuki libur bersama Natal
dan Tahun Baru.
 Sekertaris Umum MUI mengumumkan di media massa pada 24 Desember 2000,
bahwa produk AJI-NO-MOTO mengandung babi dan masyarakat diminta untuk tidak
mengonsumsi bumbu masak AJI-NO-MOTO yang diproduksi pada periode 13 Oktober
hingga 16 November 2000
 Pengumuman MUI ini lalu ditindaklanjuti dengan pertemuan antara jajaran
Deperindag, Depag, MUI, GPMI (Pengusaha Makanan dan Minuman), Dirjen POM, dan
YLKI pada 2 & 5 Januari 2001 yang menghasilkan keputusan bahwa PT. Ajinomoto
Indonesia harus menarik seluruh produknya di pasaran dalam negeri termasuk produk lain
yang tidak bermasalah dalam jangka waktu 3 minggu terhitung dari 3 Januari 2001
2.3 Akibat pada organisasi
 Kerugian karena penarikan produk secara massal dan mengganti kerugian distributor.
Ajinomoto menderita kerugian total 55 miliar rupiah karena harus mengeluarkan biaya
sebagai usaha proaktif mendatangi pedagang dan pengecer untuk menarik produknya yang
diperkirakan mencapai 3.500 ton dan menggantinya sesuai dengan harga pasar.Tidak hanya
di Indonesia, Singapura sebagai negara pengimport bumbu masak Ajinomoto dari
Indonesiapun menarik produk ini dari pertokoan negeri tersebut
 sebenarnya Ajinomoto sudah mengantungi sertifikat ‘halal’ dari MUI. Namun itu
hanya berlaku dua tahun, dan berakhir sejak Juni 2000. Setelah tanggal itu, pihak Ajinomoto
tak melakukan pemeriksaan lagi ke MUI. Mereka malah mengubah bahan bakunya, yang
ditengarai MUI mengandung ekstrak lemak babi.Penyegelan gudang Ajinomoto dan
penutupan sementara pabrik, namun semua karyawan tetap masuk kerja untuk menarik
produk dari pasar dan mengatur penerimaan barang di pabrik agar tidak beredar lagi di pasar.
Seluruh karyawan bahu-membahu agar persoalan yang menimpa perusahaan segera selesai.
 Enam petinggi perusahaan PT. Ajinomoto Indonesia diperiksa oleh Polda Jatim, yaitu:
Manajer Kontrol Kualitas Haryono, Manajer Teknik Yoshiko Kagama, Manajer Produksi
Sutiono, Manajer Perusahaan Hari Suseno, Kepala Departemen Manajer Cokorda Bagus
Sudarta, dan Manajer Umum Yosi R. Purba.
 Walaupun begitu, apabila tidak ditarik dari peredaran sebenarnya omzet penjualan
perusahaan ini tidak turun secara drastis
2.4 Opini publik
 Mulai dari penjaja baso hingga warung nasi harus memberi penjelasan bahkan
memasang papan pengumuman bahwa makanan yang mereka jual tidak menggunakan
Ajinomoto agar para pengunjungnya yakin
 Di propinsi SulSel produk Ajinomoto terjual 30% dari produksi nasional dan
pemberitaan media tidak banyak berpengaruh. Beberapa penjual diberbagai tempatpun
mengakui bahwa Ajinomoto yang selama ini merupakan merk penyedap rasa terlaris masih
banyak ditanyakan khususnya bagi kalangan non muslim.
 Mandra sebagai tokoh yang muncul di iklan ajinomoto mengaku kesal dan ingin
mengakhiri kontrak apabila tuduhan enzim babi terbukti benar.
 Razia produk Ajinomoto dilakukan secara beramai-ramai dan secara nasional.

2.5 Pernyataan Ajinomoto, tindak lanjut, dan opini pakar


 Dalam siaran pers yang dipublikasikan oleh Departemen Manajer PT Ajinomoto
Indonesia Tjokorda Bagus Sudarta, Ajinomoto mengakui bahwa mereka menggunakan
bactosoytone yang diekstraksi dari daging babi untuk menggantikan polypeptone yang biasa
diekstrasi dari daging sapi karena lebih ekonomis. Ekstraksi ini hanya medium dan tidak
berhubungan dengan produk akhir. Sehingga tidak benar bahwa produk akhir MSG
Ajinomoto mengandung unsur enzim babi yang dikenal sebagai “porcine”. Namun untuk
menghilangkan keresahan dan menjaga ketenangan masyarakat dalam mengonsumsi produk
Ajinomoto maka pihaknya akan menarik secara serentak di seluruh Indonesia produk MSG
Ajinomoto dan meminta maaf akan kejadian ini. Sebagai tindak lanjut dari masalah ini PT.
Ajinomoto akan kembali berproduksi menggunakan bahan mameno sesuai anjuran
(peraturan) Ditjen POM. Mameno ini merupakan resep lama, sedangkan produk Ajinomoto
yang dipermasalahkan MUI memakai Bactosoytone merupakan resep baru. Total produksi
Ajinomoto di Indonseia berjumlah 10 ribu ton, 7000 diantaranya diekspor, sedangkan sisanya
dijual di dalam negeri
 Ajinomoto pun akan mendatangkan ahli fermentasi dari Jepang, Mr. Koyama untuk
meneliti produk vetsin yang dinyatakan MUI mengandung lemak babi tersebut dimana akan
diadakan pengujian dengan disaksikan unsure MUI Mojokerto dan Muspida di kantor Bupati
Mojokerto.
 Prof. Dr. H. Umar Anggoro Jenie guru besar fakultas farmasi Universitas Gajah Mada
dan mantan Ketua ICMI Yogyakarta menyatakan bahwa sebenarnya produk MSG Ajinomoto
tidaklah tergolong haram karena Bacto Soytone bukan termasuk bahan aktif dalam
produksinya, melainkan hanya sebagai katalis pembuatan MSG. Sebagai analogi lele dumbo
yang banyak dikembakbiakan sehari-harinya diberi makan bangkai yang haram, namun
ulama tidak mengharamkan lele. Pada contoh lain pada tumbuhan yang diberi pupuk dari
kotoran manusia atau binatang dimana pada dua contoh ini unsur “haram” malah termasuk
dalam proses produksi namun produk akhirnya tidak dinyatakan haram. Sementara untuk
kasus enzim, tidak masuk dalam proses produksi melainkan hanya sebagai katalis
 Ketua MUI Haji Drs. H. Amidhan berpendapat bahwa fatwa MUI haram perlu untuk
melindungi konsumen. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa produk akhir Ajinomoto tidak
mengandung unsur “porcine” (enzim yang diambil dari pankreas babi), namun karena proses
pembuatannya tetap memanfaatkan enzim tersebut maka produksi itu tetap dinyatakan
haram.Bagi yang mengerti tentang fikih makanan Halal dan Haram, tentunya memahami
bahwa tidak semua mazhab sejalan dengan fatwa ini. Ketua umum PB NU, Hasyim Muzadi,
menyatakan ketidakyakinannya terhadap keshahihan fatwa MUI tersebut. Fatwa Haram yang
dikeluarkan MUI dipublikasi beberapa waktu setelah Ajinomoto dinyatakan produknya tidak
halal. Namun demikian, MUI mengeluarkan kembali sertifikat Halal untuk AJI-NO-MOTO
pada 19 Pebruari 2001, sehingga Ajinomoto bisa berproduksi dan memasarkan produknya
kembali di seluruh Indonesia. Setiap 2 tahun sekali sertifikat Halal ini selalu diperpanjang
hingga kini.
 Untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan
LPPOM MUI, Ajinomoto menerapkan Sistim Jaminan Halal (SJH)yang mulai diberlakukan
sejak 2005. Komite Halal yang dibentuk oleh perusahaan ini, baik di kantor pusat Jakarta
maupun di paberik Mojokerto, memastikan terjaganya pelaksanaan SJH ini.
2.5 Kasus Ajinomoto
kasus Ajinomoto, tahun 2001. Masyarakat dibuat heboh, akibat fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI), yang mengharamkan Ajinomoto. Sebab, berdasarkan penelitian MUI,
bahan baku Ajinomoto “ditengarai” dicampur dengan lemak babi. Masyarakat Indonesia
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, langsung tersentak. Aparat keamanan
bertindak sigap. Untuk meredam gejolak massa, Jumat malam kepolisian Jawa Timur
menahan empat pimpinan PT Ajinomoto, dan menjadikannya sebagai tersangka. Tuduhannya
melanggar UU Konsumen.Ke-empat pimpinan PT Ajinomoto tersebut masing-masing Ir
Haryono (Manajer Quality Control), Yosiko Ogama (Direktur Teknik), Sartono (Manajer
Produksi) dan Hari Suseno (Manajer Pabrik). Hingga Sabtu siang, mereka masih diperiksa
tim Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Polda Jawa Timur.Sebelum ini, sebenarnya Ajinomoto
sudah mengantungi sertifikat ‘halal’ dari MUI. Namun itu hanya berlaku dua tahun, dan
berakhir sejak Juni 2000. Setelah tanggal itu, pihak Ajinomoto tak melakukan pemeriksaan
lagi ke MUI. Mereka malah mengubah bahan bakunya, yang ditengarai MUI mengandung
ekstrak lemak babi.Tapi benarkah megandung lemak babi? PT Ajinomoto Indonesia
membantah bahwa produk akhir MSG Ajinomoto mengandung unsur “porcine”. Bantahan
PT Ajinomoto itu dikemukakan dalam siaran pers yang ditandatangani Department Manager
PT Ajinomoto Indonesia, Tjokorda Bagus Sudarta,Sebelumnya Tjokorda melalui media masa
mengakui menggunakan bactosoytone yang diekstrasi dari daging babi untuk
menggantikan polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging sapi.Diungkapkan juga olehnya,
alasan menggunakan bactosoytoneitu karena lebih ekonomis, namun penggunaan ekstrasi
daging babi itu hanyalah sebagai medium dan sebenarnya tidak berhubungan dengan produk
akhir.Dalam siaran persnya, Tjokorda mengatakan, untuk menghilangkan keresahan dan
menjaga ketenangan masyarakat dalam mengkonsumsi produk Ajinomoto, maka pihaknya
akan menarik secara serentak di seluruh Indonesia produk MSG Ajinomoto yang telah
beredar dalam kurun waktu dua hingga tiga minggu terhitung mulai 3 Januari 2001.
Jumlahnya sekitar 10 ribu ton.
Tjokorda mengatakan, setelah proses penarikan selesai dilaksanakan maka pemasaran produk
baru MSG Ajinomoto akan menggunakan unsur “mameno” dalam proses produksi setelah
mendapat sertifikat halal dari LP POM MUI.Dalam siaran pers itu juga disebutkan, PT
Ajinomoto Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat
Indonesia.Ia mengatakan, seluruh produk Ajinomoto harus ditarik dari peredaran dan stok
baru hanya boleh dipasarkan setelah mendapat sertifikat halal yang baru dari MUI.Akibat
kasus ini, PT Ajinomoto terpaksa harus memberi ganti-rugi pedagang dengan total nilai
sebesar Rp 55 milyar.
2.6 Solusi Masalah
Ajinomoto Dan Kepentingan Konsumen

TAHUN 2001 diawali dengan kegemparan luar biasa, dengan antiklimaks


kebingunan masyarakat muslim, 9 Januari lalu. Yakni, ketika Presiden Abdurrahman Wahid
melalui Juru Bicara Kepresidenan Wimar Witoelar menyatakan bahwa Ajinomoto itu halal.
Bersamaan dengan itu, para peneliti juga menyatakan bahwa produk Ajinomoto tidak
mengandung babi. Sebagian masyarakat muslim yang awam ilmu pengetahuan, tentunya
bertanya-tanya, siapa yang benar? Perlu diingat, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 69 tahun 1999, satu-satunya lembaga resmi yang berhak menyatakan halal atau haram
suatu produk hanyalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), bukan presiden, apalagi seorang juru
bicara kepresidenan, kecuali jika PP tersebut telah dicabut atau diubah.Kewenangan instansi
di Indonesia, apalagi di masa sekarang, memang sangat rancu. Dan ini membuat masyarakat
bertambah bingung. Sebagai organisasi perlindungan konsumen yang juga ikut manangani
kasus Ajinomoto, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak ingin menambah
kebingungan konsumen. YLKI harus mendudukkan kasus tersebut pada porsi dan
kewenangan YLKI sesuai dengan UU yang berlaku, dalam hal ini adalah UU Perlindungan
Konsumen (UUPK) No. 8 Tahun 1999. Untuk itulah, YLKI belum pernah, dan tidak akan
pernah menyatakan bahwa Ajinomoto itu halal atau haram. Dalam kasus Ajinomoto ini --
sesuai dengan UUPK No. 8/99-- YLKI mempunyai hak untuk melakukan tuntutan hukum
kepada pelaku usaha jika pelaku usaha terbukti melakukan pelanggaran hukum.Dalam kasus
Ajinomoto, alasan YLKI mengadukan Ajinomoto ke Polda Metro Jaya adalah karena:
Ajinomoto telah melanggar UUPK No. 8/99 Bab IV Pasal 8 poin f dan h mengenai Perbuatan
yang Dilarang bagi Pelaku Usaha. Ajinomoto telah memberikan informasi yang menyesatkan
kepada konsumen karena dalam setiap kemasannya tercantum label halal tetapi pada
kenyataannya produk tersebut haram. YLKI tidak mempersoalkan produk itu haram atau
halal, sebab yang menjadi fokus YLKI hanya karena adanya pelanggaran pada label. Jelas-
jelas dinyatakan dalam Pasal 8 poin f (Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa) dan poin h
(Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang
dicantumkan dalam label). Karena sudah terbukti, sesuai dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI), bahwa produk Ajinomoto itu haram, maka YLKI melakukan tuntutan
hukum melalui pengaduan ke aparat penegak hokum yang sah. Jika dalam kenyataannya
terjadi tindakan-tindakan yang tidak adil terhadap Ajinomoto, seperti: penutupan pabrik,
penangkapan beberapa eksekutif perusahaan, dan penyitaan produk Ajinomoto secara
membabi buta oleh aparat, dan terjadinya berbagai pemerasan, baik langsung maupun tidak
terhadap Ajinomoto, itu di luar maksud dan tujuan YLKI dalam menuntut secara hukum
pelaku usaha yang melanggar UUPK No. 8/99. Kalau pun pihak kepolisian harus
memenjarakan penanggungjawab PT Ajinomoto Indonesia, orang yang paling
bertanggungjawab hanya direktur utama dan direktur produksi, bukan direktur atau manajer
pabrik, manajer general affairs, atau manajer-manajerlain. Perlu juga diketahui, tindakan
penutupan pabrik selama proses hukum berjalan, tidak terdapat dalam UUPK No. 8/99. Jika
pada akhirnya Ajinomoto dinyatakan bersalah oleh pengadilan, berdasarkan UUPK No. 8/99
pasal 62, Ajinomoto hanya diancam dengan kurungan maksimum 5 tahun bagi eksekutifnya
yang paling bertanggungjawab (direktur utama dan direktur atau manajer produksi) atau
denda maksimum Rp 2 milyar. Sama sekali tidak ada pasal yang menyatakan pabrik harus
ditutup. Jelas bahwa maksud YLKI menuntut Ajinomoto hanya semata-mata ingin
menegakkan UUPK No. 8/99 yang sudah diperjuangkan oleh YLKI selama kurang lebih
duapuluh tahun, bukan untuk menghancurkan pelaku usaha atau memeras pelaku usaha, atau
menyebabkan pegawai Ajinomoto kehilangan pekerjaan. YLKI berharap agar UUPK No.
8/99 dapat menjadi pelopor pelaksanaan hukum secara benar di republik ini. Memang, dalam
menegakkan hukum harus ada korban, dan kebetulan saat ini harus Ajinomoto. Sekali lagi,
YLKI berharap agar tidak ada lagi tindakan permisif yang kontroversial dalam penyelesaian
kasus Ajinomoto. Jika hal ini sampai terjadi, dapat dipastikan bahwa hukum belum berjalan
di Indonesia. Untuk itu, YLKI berharap agar berbagai pihak jangan memperkeruh
permasalahan tersebut dengan berbagai pendapat yang membingungkan masyarakat. Yang
terpenting, aparat hukum dapat secepatnya menyelesaikan kasus ini sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari keterangan kasus perusahaan ajinomoto, dapat disimpulkan bahwa kasus ini termasuk
kedalam jenis resiko reputasi,karena kesalahan dari manajemen perusahaan ajinomoto
tersebut.Sebenarnya Ajinomoto sudah mengantungi sertifikat ‘halal’ dari MUI. Namun itu
hanya berlaku dua tahun, dan berakhir sejak Juni 2000. Setelah tanggal itu, pihak Ajinomoto
tak melakukan pemeriksaan lagi ke MUI. Mereka malah mengubah bahan bakunya, yang
ditengarai MUI mengandung ekstrak lemak babi. Karena kesalahan itulah konsumen
Indonesia yang mayoritas islam, jadi takut untuk menggunakan produk ajinomoto,yaitu
bumbu masak.Namun untuk menghilangkan keresahan dan menjaga ketenangan masyarakat
dalam mengkonsumsi produk Ajinomoto maka pihaknya akan menarik secara serentak di
seluruh Indonesia produk MSG Ajinomoto dan meminta maaf akan kejadian ini. PT
Ajinomoto terpaksa harus memberi ganti-rugi pedagang dengan total nilai sebesar Rp 55
milyar.

Saran
Belajar dari kasus ajinomoto, sebaiknya kita sebagai konsumen harus jeli dalam
memperhatikan produk- produk yang akan digunakan, terutama yang bersetifikat halal.
Berbagai pihak jangan memperkeruh permasalahan tersebut dengan berbagai
pendapat yang membingungkan masyarakat. Yang terpenting, aparat hukum dapat secepatnya
menyelesaikan kasus ini sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Bagi pemerintah, harus mengadakan pengawasan yang ketat dan meningkatkan
pengawasan terhadap produk,sesuai dengan prosedur yang telah distandarisasi SNI dan
berlebel kan “ halal “ .

Anda mungkin juga menyukai