Anda di halaman 1dari 3

Aku menghirup lagi bau tanah yang mengeluarkan aroma khas selepas hujan.

Tidak mempedulikan tanah basah dan becek yang sedang kuinjak ini. Gulungan awan
mendung masih berada di atas langit. Hujan masih menyisakan rintik-rintiknya.
Hembusan angin dingin makin membuat suasana ini menjadi syahdu.

Daun bergoyang dan meneteskan air yang kini membasahi sebagian


rambutku. Aku tidak peduli. Aku ingin sekali lagi merasakan hujan. Ingin sekali lagi
berani menghadapi air yang turun dari langit.

Aku menyukai bau tanah ini. Tapi aku membenci hujan. Seperti saat ini.

"Riri"

Aku bergeming. Tidak menghiraukan panggilan itu.

"Riri kamu di mana?"

Kutengadahkan lagi wajahku. Membenci langit yang kini masih meneteskan


air hujan di atas kepalaku.

"Apa yang kamu lakukan di tengah hujan ini? ."

Suara itu mendekat. Tapi aku masih bergeming. Menatap Rio ke arah
rimbunnya pepohonan yang kini bergoyang lagi. Menandakan hujan akan turun lagi.
Desau angin yang semakin kencang menembus wajahku. Menggigil.

Rio, kekasihku sekarang yang selalu menemaniku.

Sebuah dekapan hangat kurasakan tiba-tiba dari arah belakangku. Kecupan


basah itu makin membuatku menggigil. Suara paraunya mulai membuatku takut.

"Riri."

Hembusan nafas hangat itu akhirnya berhasil mengalihkan ku dari tetes air
hujan. Membalikkan tubuh dan akhirnya bertemu dengan sepasang mata elang yang
menatapku tajam.

"Apa pedulimu kalau aku di sini?"

Dekapan hangat tangannya yang melingkar di perutku kini membuat tubuhku


seolah terpaku.

"Aku peduli karena aku mencintaimu."


Ku acuhkan pernyataan itu. Aku melepaskan diri. Mendorong untuk diberi
jalan, dan menapakkan kakiku yang telanjang di atas tanah becek ini. Aku benci
hujan. Karena membuat semuanya menjadi basah dan dingin. Basah dan kotor.

"Sebentar lagi Mama dan papa pulang, ayo kita kembali."

Tentu saja mendengar itu semua aku akhirnya menghentikan langkah. Ku


tatap pria yang kini sudah ada di sampingku. Tubuhnya menjulang tinggi di
sampingku. Kepalaku cuma sebatas bahunya. Sosok yang diminati banyak wanita
kini telah ada di sampingku. Dengan rambut hitam tebalnya, senyumnya yang
memikat dan alis tebalnya yang membingkai kedua mata elang.

"Baik. Akan aku laksanakan perintahmu. Aku toh hanya boneka mainanmu
yang bisa kamu pamerkan kepada siapapun."

Berbalik. Dan tidak mempedulikannya lagi. Aku berderap melangkah masuk


ke dalam rumah. Mengabaikan kaki kotorku yang mulai mengotori lantai marmer
yang baru saja aku pijak. Dengan cepat menaiki tangga yang melingkar dengan indah.
Membawaku ke atas dan langsung menuju kamar milikku.

"Riri."

Suara itu lagi. Entah kenapa aku makin membencinya. Tiap hari mendengar
dia memanggilku dengan sebutan itu. Aku tidak suka.

"Riri, kamu tidak boleh mengabaikan ku."

Ku buka pintu kamar dengan cepat. Dan langsung berderap menuju ranjang
besar yang menghiasi dengan indah kamar ini. Tapi langkah ku terhenti seketika. Ada
mawar merah di atas seprai warna putih.

Tangis ku seketika pecah. Aku tidak bisa. Aku membenci Naldi sebesar aku
membenci hujan. Naldi, orang yang pernah singgah di hidupku.

"Riri, sudah aku bilang kan kamu tidak boleh main hujan-hujanan lagi. Aku
tidak mau kamu sakit."

Aku tertawa mendengar ucapan Rega. Tapi tentu saja aku tidak mungkin bisa
menolak hujan. Bukankah saat-saat ini adalah yang paling indah. Melihat langsung
tetes air hujan turun dari langit dan membasahi tubuh kita?
Aku kembali berlari keluar rumah. Hujan makin deras mengguyur rumput
hijau di halaman rumahku. Begitupun rumput hijau yang aku pijak ini. Tanah becek
di bawah rumput dan genangan air yang sudah dirasakan telapak kakiku membuatku
damai.

”Riri, kenapa kamu kembali berhujan-hujanan?”

Teriakan Rega tidak aku pedulikan lagi. Aku masih meloncat-loncat di atas
rumput hijau ini. Suara gelegar petir tidak membuatku gentar. Aku malah
menyukainya.

Telapak kakiku kotor karena genangan air yang baru saja aku injak, tapi aku
terus berlari. Tidak menghiraukan apapun itu. Bajuku kotor terkena cipratan lumpur
disaat aku berlari. Aku melambaikan tangan ke arah Rio. Aku mendatanginya,
menariknya ke arah hujan, dan mengajaknya menikmati hujan.

Meski aku membenci hujan, tapi aku juga mulai menyukai hujan, karena
membantu ku untuk melupakan segala hal tentang Naldi.

Tubuh ku yang sudah basah kuyup, membuat badanku mulai menggigil.


Begitu juga dengan Rio. Bergandengan berdua bersama Rio, yang juga membantu ku
untuk melupakan Naldi.

Aku membenci hujan. Tapi, aku juga menyukainya.

Anda mungkin juga menyukai