Tidak mempedulikan tanah basah dan becek yang sedang kuinjak ini. Gulungan awan
mendung masih berada di atas langit. Hujan masih menyisakan rintik-rintiknya.
Hembusan angin dingin makin membuat suasana ini menjadi syahdu.
Aku menyukai bau tanah ini. Tapi aku membenci hujan. Seperti saat ini.
"Riri"
Suara itu mendekat. Tapi aku masih bergeming. Menatap Rio ke arah
rimbunnya pepohonan yang kini bergoyang lagi. Menandakan hujan akan turun lagi.
Desau angin yang semakin kencang menembus wajahku. Menggigil.
"Riri."
Hembusan nafas hangat itu akhirnya berhasil mengalihkan ku dari tetes air
hujan. Membalikkan tubuh dan akhirnya bertemu dengan sepasang mata elang yang
menatapku tajam.
"Baik. Akan aku laksanakan perintahmu. Aku toh hanya boneka mainanmu
yang bisa kamu pamerkan kepada siapapun."
"Riri."
Suara itu lagi. Entah kenapa aku makin membencinya. Tiap hari mendengar
dia memanggilku dengan sebutan itu. Aku tidak suka.
Ku buka pintu kamar dengan cepat. Dan langsung berderap menuju ranjang
besar yang menghiasi dengan indah kamar ini. Tapi langkah ku terhenti seketika. Ada
mawar merah di atas seprai warna putih.
Tangis ku seketika pecah. Aku tidak bisa. Aku membenci Naldi sebesar aku
membenci hujan. Naldi, orang yang pernah singgah di hidupku.
"Riri, sudah aku bilang kan kamu tidak boleh main hujan-hujanan lagi. Aku
tidak mau kamu sakit."
Aku tertawa mendengar ucapan Rega. Tapi tentu saja aku tidak mungkin bisa
menolak hujan. Bukankah saat-saat ini adalah yang paling indah. Melihat langsung
tetes air hujan turun dari langit dan membasahi tubuh kita?
Aku kembali berlari keluar rumah. Hujan makin deras mengguyur rumput
hijau di halaman rumahku. Begitupun rumput hijau yang aku pijak ini. Tanah becek
di bawah rumput dan genangan air yang sudah dirasakan telapak kakiku membuatku
damai.
Teriakan Rega tidak aku pedulikan lagi. Aku masih meloncat-loncat di atas
rumput hijau ini. Suara gelegar petir tidak membuatku gentar. Aku malah
menyukainya.
Telapak kakiku kotor karena genangan air yang baru saja aku injak, tapi aku
terus berlari. Tidak menghiraukan apapun itu. Bajuku kotor terkena cipratan lumpur
disaat aku berlari. Aku melambaikan tangan ke arah Rio. Aku mendatanginya,
menariknya ke arah hujan, dan mengajaknya menikmati hujan.
Meski aku membenci hujan, tapi aku juga mulai menyukai hujan, karena
membantu ku untuk melupakan segala hal tentang Naldi.