Anda di halaman 1dari 3

Menari dengan Bajumu

Anindita Eka Pradipta

Saya mendengar bunyi-bunyian memenuhi rumah, mengisi ruang-ruang telinga waktu


saya sedang mencuci piring. Keran saya putar sampai airnya tidak lagi menetes. Piring yang
masih basah saya taruh begitu saja tanpa saya lap. Saya mendekat. Bunyi itu makin kencang
frekuensinya, dia membuat lorong-lorong kosong di rumah memantulkannya sampai suara
dia habis. Bunyi itu masih berputar, dan saya harap dia segera mati. Bunyi itu mengalun di
kepala saya. Oh, saya tidak pernah lupa bunyi ini. Tidak satu barang saya akan lupa. Bunyi
ini membuat kepala saya pusing dan telinga saya berdenging seperti mau tuli.

Saya harus matikan dia. Bunyi ini tidak boleh bergema sampai dia habis. Tidak boleh.

Tangan saya gemetar seperti habis tersetrum, keringat saya bercucur seperti habis
marathon seribu kilometer dan jantung saya tidak tahu cara berdetak dengan normal. Saya
memencet tombol abu-abu dan bunyi-bunyian itu tidak lagi bergema.

Bagus, dia mati dan memang harus tetap mati.

Saya menunduk hingga mata saya bertabrakan dengan baju kamu. Saya melihat jam lalu
memutar kepala, melihat ruang tamu. Baju kamu sengaja saya tebar di lantai. Bajumu
memang setengahnya sudah jadi abu tetapi, parfum kamu selalu bisa tutupi bau pekat bekas
abu lalu saya tertawa, seolah saya tidak punya dosa.

Barusan yang bermain tadi itu musik favoritmu. Saya lupa matikan alarm hingga gawai
itu berbunyi musik yang paling kamu suka, Kamu selalu ajak saya menari. Kalau jarum
pendek berhenti tepat pada pukul sepuluh dan yang panjang belum tepat ke arah dua belas,
kamu masih ajak saya berputar-putar dengan langkah kaki terarah. Di dekapmu ada saya yang
mencium wangi-wangian kamu sampai mabuk lalu tertawa seolah saya hanya hidup sekali
dan kamu tersenyum, seperti biasa. Indah sekali senyum kamu. Seolah kamu besok akan mati
dan kamu tidak bisa buat apa-apa.

Mati dan tidak bisa berbuat apa-apa.


Mati.

Saya meraup-raup baju kamu seperti binatang liar yang sangat buruh kawin. Wangi-wangian
baju kamu saya hirup sampai paru-paru saya tidak punya ruang untuk bernapas. Sampai paru-
paru saya Cuma diisi oleh wangi kamu. Sampai organ-organ pernapasan saya Cuma
dihinggapi wangi kamu. Sampai sesak yang timbul tiba-tiba muncul menghendaki saya mati
karena napas saya hanya diisi oleh kamu.

Lorong rumah saya sunyi. Sunyi sampai rasanya sunyi itu tertawa terbahak-bahak kepada
saya. Selayaknya sata yang tidak lebih dipandang dia cuma sebiji lelucon akhir tahun.

Sunyi itu pecah.

Alarm itu berbunyi lagi, lagu favorit kamu.

“Raden ... sayang, lagu favorit kamu. Mau menari?” Saya berbisik, Saya mati-matian
mengurung sesak di paru-paru. Mereka memberontak seperti binatang yang tidak diberi
makan.

Dua-dua lengan saya mendekap pakaian kamu selagi badan bergerak. Menari. Saya mirip
angin yang berkelana tak karuan. Saya tidak tahu bagaimana caranya menari. Kamu yang
ajarkan bagaimana. Sekarang saya sendiri. Saya ajarkan saya sendiri menari, walau tiap kata
yang kamu arahkan ke saya sewaktu itu cuma bersisa dengungan di telinga. Saya tetap
menari.

Mata saya berair. Mereka jatuh melewati pipi dan bercumbu dengan pakaianmu. Lama-lama
air di mata saya seperti hujan. Mereka terus-menerus menetes di pakaianmu.

Saya dengar sunyi, mereka kembali tertawa.

Alarm itu mati.

Akan tetapi, hujan di mata saya masih mengamuk, dia tidak mau reda. Saya juga tidak ada
kesanggupan lagi buat mengurung rasa sesak. Jadi, mereka buat hancur paru-paru saya begitu
saja. Saraf-saraf di kaki saya mati rasa, mereka lumpuh. Saya Cuma bisa bersimpuh.
Saya rasa, saya sudah kalut.

Saya rasa, saya memang pengecut.

Andai kamu masih ada di sini, saya bakal lebih pandai menari. Andai kamu masih ada di sini,
semua tanaman keladi kesukaan kamu pasti jadi segar dan subur, tidak kering lalu mati.

Andai kamu masih ada di sini,

Kita pasti bisa menari lagi.

Prabumulih, 25 Oktober 2023.

Anda mungkin juga menyukai