Anda di halaman 1dari 15

Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi:

Penguatan Resiliensi sebagai Pereduksi Angka Bunuh Diri


di Kalangan Pemuda Indonesia
ABSTRAK
Artikel ini berupaya mengulas urgensi dimensi resiliensi bagi para pemuda di Indonesia
dalam keseharian hidup. Secara sederhana, resiliensi dapat diterjemahkan sebagai ke-
mampuan individu untuk bertahan, beradaptasi berikut bangkit dari berbagai bentuk
penderitaan hidup yang menderanya. Persoalan ini menjadi penting mengingat masa muda
merupakan periode-periode transisi yang begitu berat bagi setiap individu, di mana
ketidakstabilan emosi dan psikologis besar mempengaruhi di dalamnya. Lebih jauh, artikel
ini mendiskusikan karakteristik pemuda dan alasan diperlukannya dimensi resiliensi,
maraknya aksi bunuh diri yang dilakukan pemuda dewasa ini sebagai implikasi lemahnya
dimensi resiliensi, serta berbagai upaya yang dapat ditempuh dalam rangka memperkuat
dimensi resiliensi pada diri pemuda guna mengatasi persoalan tersebut. Artikel diawali
dengan uraian ihwal perkembangan studi resiliensi, baik menyangkut aspek konseptual
maupun kemanfaatannya.
Kata kunci: resiliensi, pemuda, transisi, bunuh diri

ABSTRACT
This article attempts to discuss the urgency of resilience for Indonesian youths in their
daily lifes. The concept of resilience can be defined as individual ability to survive, to adapt
and, furthermore, to revive from their sufferings. Such ability is important for youths during
the transisional period from childhood to adulthood, where usually contains huge
psychological and emotional instabilities and troubles. It further discusses the
characteristics of youth and the urgency of resilience during the period by highlighting the
rise of suicide among youths as consequence of the lack of resilience, and some efforts to
empower resiliece among youths. The article begins with a brief discussion on the
development of resilience studies, both its conceptual dimensions and its utilities.
Keywords: resilience, youth, transition, suicide

“Masa depanku masih ‘perawan’,


segala sesuatu masih mungkin terjadi padaku…”
(J. P. Sartre, Being and Nothingness)

1. Pendahuluan pang dan Cina. Tercatat, sedikitnya 50.000

Berdasarkan data yang dilansir WHO pada orang Indonesia melakukan aksi bunuh diri
tahun 2005, Indonesia masuk dalam kategori setiap tahunnya. Angka tersebut menunjukkan
negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi, bahwa setidaknya terjadi 150 kasus bunuh diri
bahkan peringkat Indonesia nyaris mendekati per hari di tanah air. Perihal yang le- bih
“negara-negara bunuh diri Asia” layaknya Je- memprihatinkan lagi adalah turut me-

31
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

ningkatnya kecenderungan angka bunuh diri menyebutnya sebagai proses pencarian “iden-
pada penduduk usia muda —pemuda1— usia titas ego”; (4) Tengah mengalami “krisis ori-
16-30 tahun (Amarullah, 2009; Wirasto, 2012: sinalitas” yang ditunjukkan melalui upaya- nya
98). Sebagai misal, khusus untuk wilayah DKI untuk membedakan diri dari anak-anak
Jakarta, sepanjang tahun 2003 Polda Metro maupun orang dewasa, hal tersebut kemudian
Jaya mencatat terjadinya 62 kasus bunuh diri berimplikasi pada timbulnya gap antargenerasi.
pada pemuda. Angka tersebut melonjak tiga Berbagai bentuk ambiguitas pemuda di
kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. Dan atas, sedari posisi sosialnya yang “tanggung”
sebagaimana tahun-tahun setelahnya hingga di antara anak-anak dan orang dewasa, be-
kini, tren angka bunuh diri pada pemuda di rikut kejiwaannya yang labil akibat tengah
tanah air agaknya cenderung mengalami pe- dirundung masa-masa pencarian jati diri serta
ningkatan (Zahra, 2011). mengalami krisis orisinalitas, tak heran jika
Upaya mengurai permasalahan tingginya banyak pihak mendaulat masa muda sebagai
angka bunuh diri pada pemuda dewasa ini periode yang cukup berat dalam hidup,
kiranya tak dapat lepas dari penelaahan akan layaknya masa transisi pada umumnya. Itu-
apa, siapa dan bagaimana karakteristik dari lah mengapa, “wajah Janus”2 pemuda me-
pemuda itu sendiri. Tak dapat dipungkiri, telah nimbulkan ambiguitas tersendiri; di satu sisi,
banyak ahli yang mendefinisikan arti dari gelora kebebasan yang dimilikinya seakan
terminus “pemuda”. Talcott Parsons (dalam menjadikan pemuda sebagai sosok yang kuat
Barker, 2009: 339) misalnya, mendefinisikan dan kokoh bahkan mampu menembus batas-
pemuda sebagai mereka yang memiliki posisi batas yang ada, namun di sisi lain, ke-
sosial di antara anak-anak dan orang dewasa jiwaannya yang belum mapan (labil) turut
ditinjau melalui segi institusi keluarga, pen- mengindikasikan kerapuhan di dalamnya, iba-
didikan dan pekerjaan. Tak pelak, posisi sosial rat sebuah mercusuar yang tampak menjulang
tersebut berimplikasi pada tanggung jawab tegar di pinggir tebing namun sekonyong-
pemuda yang jauh lebih besar ketimbang konyong roboh akibat diterpa angin yang tak
anak-anak, namun mereka tetap berada di kencang-kencang amat.
bawah kontrol orang dewasa (orang tua), Dimensi kerapuhan pemuda sebagai salah
suatu kondisi yang cukup dilematis memang. satu sisi wajah Janus di atas menarik untuk
Namun demikian, Parsons ajeg menekankan dicermati lebih lanjut. Sebab cukup absurd bila
bahwa karakteristik utama yang dimiliki banyak pihak membebankan serangkaian
pemuda adalah kecenderungannya untuk harapan pada pemuda selaku generasi pe-
bergabung dengan dunia orang-orang dewasa. nerus bangsa namun sang pengembannya
Lebih jauh, dalam ranah psikologi per- sendiri —pemuda— justru mudah ambruk kala
kembangan, Monks (1985: 230-234) meru- menemui berbagai hambatan dan rin- tangan di
muskan beragam karakteristik yang dimi- liki tengah jalan. Salah satu bentuk “keambrukkan”
pemuda sebagai berikut: (1) Memiliki tersebut, sebagaimana telah disinggung
kecenderungan untuk memisahkan diri dari sebelumnya, ter-representasi-kan melalui
orang tua dan berkumpul bersama teman-te- contoh paling ekstrem akan banyaknya pemuda
man seusianya; (2) Menjadikan norma ke- yang sengaja mengakhiri hidupnya (baca:
lompoknya —teman-temannya— sebagai bunuh diri) akibat permasalahan yang
patokan dalam berperilaku; (3) Berada pada sesungguhnya dapat dikatakan sepele. Ber-
masa-masa pencarian jati diri, Erik H. Erikson dasarkan data yang dihimpun Komisi Nasional
Perlindungan Anak, pada semester awal tahun
1 Istilah “pemuda” di sini mencakup baik remaja pu-
tra maupun putri (pemuda/i). Begitu pula, dalam 2 “Janus” adalah salah satu nama dewa dalam mi-
pemaparan selanjutnya istilah pemuda akan digu- tologi Romawi Kuno yang memiliki dua wajah sa-
nakan secara bergantian dengan istilah “individu”. ling berlawanan.

32
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

2011, setidaknya tercatat sebanyak dua puluh stressful circumstances” [“…kemampuan


tiga pemuda Indonesia melakukan aksi bunuh untuk beradaptasi dan melakukan perubahan
diri, yang 91 % diantaranya berusia 13-17 kala menghadapi situasi baru yang kerap kali
tahun. Kasus terbanyak, yakni 19 kasus, ditemui menekan”]. Sementara Redl’s (dalam Fine,
pada mereka yang memiliki permasalahan as- 1991: 462) mengartikan resiliensi dengan,
mara (putus cinta), 8 kasus akibat persoalan “…the ability to recover rapidly from a tem-
keluarga, dan sisanya, 6 kasus disebabkan oleh porary collapse even without outside help, and
persoalan sekolah (Pertiwi, 2011). the strength to bounce back to normal or even
Begitu pula, kasus yang tengah marak supernormal levels of functioning” [“…
disorot akhir-akhir ini, Sondang (22), maha- kemampuan untuk pulih (bangkit) se- cara
siswa tingkat akhir Fakultas Hukum, Uni- cepat dari kejatuhan, bahkan tanpa ban- tuan
versitas Bung Karno-Jakarta, melakukan aksi dari pihak lain, serta kekuatan untuk kembali
bakar diri di depan Istana Negara pada pada keadaan semula (normal), atau bahkan
7 Desember 2011. Hingga kini, tindakan melampauinya”]. Menilik serangkaian
Sondang menuai pro-kontra luas terkait ben- pendefinisian di atas, kiranya resiliensi da- pat
tuknya sebagai aksi heroik ataukah bunuh diri diartikan secara sederhana sebagai “ke-
semata (Candra, 2011). Belum tuntas benar mampuan individu untuk beradaptasi dengan
kasus Sondang, kekasihnya, Putri Ananda penderitaan hidup yang dialaminya, untuk
Ningrum, melakukan percobaan bunuh diri di kemudian bangkit dan melawan meng-
depan makam Sondang dengan menelan dua atasinya”.
puluh pil obat malaria hingga overdosis, Lebih jauh, prinsip atau moralitas utama
meski beruntung nyawanya masih dapat di- yang terkandung dalam resiliensi adalah
selamatkan (Riz, 2012). “martabat kemanusiaan” serta persoalan ba-
Diakui atau tidak, serangkaian kenyataan gaimana agar entitas manusia dapat ber- guna
di atas menimbulkan pesimisme tersendiri bagi sesamanya, atau setidaknya bagi dirinya
ihwal mampu-tidaknya generasi muda saat ini sendiri. Dengan demikian, resiliensi telah
untuk menjadi sosok yang dapat ditempatkan melampaui diskursus relativitas nilai dan
sebagai sandaran segenap asa guna melakukan moral, hal tersebut salah satunya tampak
transformasi kehidupan berbangsa, bernegara melalui persoalan jatuhnya pilihan individu
dan bermasyarakat ke arah yang lebih baik. pada perihal baik ataukah buruk yang turut
Dalam artikel ini saya berpendapat bahwa salah tercakup dalam kajiannya (Fine, 1991: 458).
satu cara yang dapat ditempuh guna memupus Melalui prinsip terkait, dapatlah dikatakan
berbagai pesimisme kita atasnya adalah dengan bahwa resiliensi merupakan sebentuk konsep
memperkuat dimensi “resiliensi” pada diri yang bercorak modernis mengingat eksistensi
pemuda. Sebab aneh jika kita mengharapkan nilai-nilai universal yang diusungnya.
hadirnya para insan muda yang “siap tempur”
namun tanpa disertai kuatnya dimensi resiliensi Secara faktual, studi formal mengenai
pada diri mereka. resiliensi telah dimulai semenjak kurang-le-
bih tiga puluh lima tahun yang lalu. Studi
terkait demikian lekat dengan ranah psikologi
mengingat pada mulanya resiliensi ditujukan
Sekilas mengenai Resiliensi: bagi penanganan korban traumatis perang,
Studi, Konsep dan bencana alam, penderita sakit kronis, korban
Kemanfaatannya pelecehan dan berbagai persoalan lainnya
Diane E. Scott (2009:1) mendefinisikan re- yang berkenaan dengan ketidakberdayaan
siliensi sebagai, “…the ability to adapt and psikis maupun mental. Namun, seiring kian
change when faced with new and often kompleksnya permasalahan “kerentanan”

33
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

yang dihadapi individu maupun kolektif (sosial) optimistik bagi individu terkait. Namun,
dalam era high-risk dewasa ini, studi resiliensi sering kali hal tersebut tak terbentuk secara
turut diadopsi oleh para sosiolog, pekerja optimal akibat terlampau dominannya “ingat-
sosial, bahkan para politisi guna merumuskan an masa lalu yang menganggu”. Guna meng-
kebijakan yang tepat bagi masyarakatnya hindarkannya, individu niscaya beranjak pada
(Fine, 1991: 462; Ruhl, 2011:1374). level makna, yakni memiliki kemampuan
untuk memprediksi, merubah, memahami serta
Esensi dari studi resiliensi adalah upaya
menerima kondisinya saat ini dengan konteks
memetakan beragam respon yang diberikan
pemaknaan yang penuh. Selanjutnya,
individu kala menghadapi kesulitan hidup.
pemaknaan tersebut bakal menimbulkan ke-
Sebagian darinya ada yang dengan cepat pulih
yakinan bahwa segala sesuatu berada di
dari keterpurukan, sedang sebagian yang lain
bawah kontrol dan demikian membantu da-
kian larut di dalamnya berikut serasa tak
lam masa-masa rehabilitasi atau pemulihan.
memiliki kuasa untuk membebaskan diri dari-
Banyak tempat di mana individu dapat mem-
nya. Individu yang memiliki kemampuan luar
peroleh makna atas tindakannya, antara lain
biasa untuk bangkit dari keterpurukan dalam
pada para pemuka agama, ideologi politik
tempo singkat, disebut sebagai “individu yang
yang dianutnya, bahkan nalar awam (baca:
resilien”. Dalam studi terkait, beragam respon
nilai dan norma sosial) yang terdapat dalam
individu tersebut nantinya dipetakan, ditelisik
masyarakatnya, terdapat pula sebagian indi-
faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta
vidu yang memperolehnya lewat daya inte-
diformulasikan sedemikian rupa guna men-
lektual dan kreativitas kala menghadapi ke-
ciptakan individu-individu yang resilien lain-
sulitan itu sendiri. Bagi Victor Frankl, pe-
nya (Fine, 1991: 457).
maknaan merupakan “ihwal terakhir dari
Memang, studi resiliensi dilatarbelakangi kebebasan manusia”, ia menunjukkan bagai-
oleh kenyataan bahwa tak semua individu
mana individu menginterpretasikan beragam
dapat segera bangkit dari keterpurukannya.
tindakannya (Fine, 1991: 465).
Bagi Scott (2009: 1), mereka yang mampu
seketika bangkit memiliki syarat untuk me- Adapun kemampuan individu untuk
nyadari kemampuannya sebagai suatu “anu- melakukan pemaknaan secara penuh me-
gerah” tersendiri. Hal tersebut berarti, pe- nurut Garmezy (dalam Fine, 1991: 463), di-
ngalaman yang telah dilaluinya mampu mem- pengaruhi oleh berbagai elemen, antara lain;
bentuknya sedemikian rupa menjadi individu tingkat tempramental, kapasitas intelektual,
dengan daya pegas menghadapi penderitaan rasa humor, empati, ketrampilan memecahkan
yang kuat —the strength to bounce back. masalah, serta keahlian mengungkapkan pe-
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa rasaan (berekspresi). Sementara Reivich dan
individu yang resilien faktual bukanlah me- Shatte (2002: 36-47) mengemukakan
reka yang tak pernah mengalami stres, te- serangkaian elemen sebagai berikut; peng-
kanan atau depresi dalam hidupnya. Begitu aturan emosi, pengendalian impuls/dorongan,
pula, dimensi resiliensi yang kuat tak ter- optimisme, analisis sebab-akibat, efikasi/pe-
bentuk dengan sendirinya, melainkan melalui mulihan diri, sertareaching out atau daya dobrak
serangkaian proses. pemaknaan individu. Pada gilirannya, satu atau
Berdasarkan hasil penelitiannya, Goleman dua di antara berbagai elemen tersebutlah yang
(dalam Fine, 1991: 459-460) menyatakan nantinya berperan dalam proses penguatan
bahwa sesungguhnya “sistem imun” indi- dimensi resiliensi individu mengingat musykil
vidu yang berkonfrontasi dengan ingat- an bagi individu untuk memiliki keseluruhan
traumatis masa lalu secara otomatis elemen di atas. Menurut Reivich dan Shatte
membentuk pandangan dunia yang lebih (2002: 15), proses terbentuknya resiliensi

34
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

merupakan hasil dinamika antara hubungan ditunjukkan individu yang resilien melalui
dunia internal dengan eksternal individu, pilihannya untuk lebih menghadapi kesulitan/
namun demikian, keduanya sepakat bahwa penderitaan hidup dan mempengaruhi “hasil
dunia internal individu jauh lebih menentukan akhir” ketimbang ambruk dalam kepasifan
(berpengaruh). berikut ketidakberdayaan.
Setidaknya, terdapat tiga bentuk resi- Melalui uraian singkat mengenai resi-
liensi yang dihasilkan melalui proses di atas. liensi di atas, dapatlah ditelisik lebih jauh
Pertama, kompensasi, yakni menunjuk pada bahwa resiliensi, sebagaimana pengertiannya,
kemampuan individu untuk menyesuaikan diri berfungsi sebagai tameng kala individu
kala kompetensi yang dimilikinya ber- kurang tengah dihadapkan pada beragam persoalan
drastis akibat stres. Kedua, proteksi, berupa hidup yang tak jarang menimbulkan stres,
kemampuan untuk memprediksi atau depresi, bahkan mengarahkan tindakannya
memperkirakan bentuk-bentuk penyesuaian pada hal-hal di luar akal sehat. Dengan kata
diri yang diperlukan individu saat menghadapi lain, resiliensi merupakan “jaring pengaman”
situasi dan kondisi di luar kendalinya. Ketiga, individu dari berbagai tindakan yang dapat
tantangan, yakni pola pikir individu yang justru merugikan diri sendiri maupun orang lain.
menempatkan stres sebagai “kompetitor” atau Berita baiknya, penelitian seksama yang telah
pendorong guna meningkatkan kompetensi dilakukan para pakar dalam beberapa dekade
(Fine, 1991: 463). terakhir memungkinkan resiliensi untuk di-
pelajari dan diterapkan secara mandiri oleh
Sementara itu, psikolog kenamaan Ame-
individu serta khalayak luas.
rika Serikat, Dr. Salvatore Maddi (dalam
Scott, 2009: 1-2), mengemukakan tiga elemen
utama yang terdapat dalam dimensi resiliensi,  Ekspresi Dimensi Resiliensi
yakni tantangan, komitmen dan kontrol.
Menurut Maddi, individu yang resilien ba- kal
dalam Keseharian
melihat stres dan berbagai perubahan yang Bagi individu yang resilien, baik disadariatau
terjadi dalam hidupnya sebagai sarana tidak, kuatnya dimensi resiliensi yang di-
pembelajaran diri. Bahkan, sebagian dari milikinya kerap kali tercermin melalui
mereka justru mengharapkan datangnya tan- pemikiran, perasaan bahkan tindakan layak-
tangan guna menguji mentalitas yang di- nya gumaman atau perkataan dalam hati yang
miliki. Uniknya lagi bagi Maddi, individu sering kali terceletuk begitu saja (tanpa sadar),
semisal: “Ah, itu persoalan kecil buatku”;
yang resilien umumnya “kurang nyaman”
“Aku pasti bisa menghadapinya!”; “Terlalu
terhadap status quo yang dimilikinya maupun
konyol bagiku untuk menyerah”. Salah satu
pihak lain. Elemen lain, yakni komitmen,
contoh ekspresi kuatnya dimensi resiliensi
menunjuk pada kemampuan individu yang
yang terkenal di dunia adalah berbagai tulisan
resilien untuk terlibat aktif dalam berbagai
Anne Frank yang tertuang dalam diary-nya,
persoalan yang tengah dihadapi. Hal ter- sebut
satu di antaranya sebagai berikut (Goodrich &
menyiratkan kemampuannya untuk
Hackett, 2007: 10).
memahami, menginterpretasi, berikut turut
serta mempengaruhi persoalan sembari tetap “…aku ikut merasakan penderitaan ber-
terlibat pada proses di dalamnya. Bagi individu juta-juta orang. Namun saat aku menatap
yang resilien, konflik merupakan perihal langit, aku merasakan bahwa semuanya
wajar dalam keseharian, bahkan mereka akan berubah menjadi lebih baik, dan
perang ini akan berakhir, aku juga ber-
menganggapnya sebagai upaya pencapaian
pikir, perdamaian dan ketenangan sekali
pada kondisi yang lebih baik. Elemen ter- lagi akan kembali. Pada suatu saat aku
akhir menurut Maddi, yakni kontrol,

35
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor:


harus berpegang pada idealismeku. Ba-
rangkali waktunya akan tiba, saat aku terlampau lemah atau kuatnya integrasi sosial
mampu mewujudkannya.” (Samuel, 2010: 56-57). Dalam masyarakat
dengan integrasi sosial yang lemah —ato-
Begitu pula dengan sebuah puisi yang mistik dan individualistik— setiap individu di
ditulis seorang anak tak dikenal di kamp dalamnya syarat menanggung beban hi- dup
konsentrasi Chezlovakia pada tahun 1944 di seorang diri, tanpa teman atau tempat untuk
bawah ini (Fine, 1991: 464). berbagi dan membudalkan keluh-ke- sah
(baca: uneg-uneg). Di Swiss misalkan,
The sun has made a veil of gold terdapat satu jembatan yang dijaga 24 jam-
So lovely that my body aches. nonstop oleh polisi setempat akibat kerap
Above, the heavens shriek with blue dijadikan tempat bunuh diri para pemuda.
Convinced I’ve smiled by some mistake. Faktual, tingginya angka bunuh diri di negara
The world’s abloom and seems to smile. tersebut disebabkan oleh kultur masyarakat
Swiss yang mengharuskan anak muda usia 17
I want to fly but where, how high?
tahun ke atas untuk keluar rumah, mencari
If in barbed wire, things can bloom kerja dan hidup secara mandiri (Beautrais &
Why couldn’t I? I will not die! Gold, 2010: 9). Kultur tersebutlah yang
kiranya menyebabkan banyak pemuda Swiss
Sebagaimana kita saksikan, berbagai
merasa tertekan, stres atau depresi sehingga
tulisan di atas mengekspresikan kuatnya di-
dengan mudah mengambil keputusan untuk
mensi resiliensi individu secara literal. Di
mengakhiri hidupnya.
dalamnya terkandung semangat individu un-
tuk bangkit melawan penderitaan, bertahan Di sisi lain, fenomena bunuh diri akibat
dalam kesusahan hidup dengan keyakinan terlampau kuatnya integrasi sosial menyi-
bakal melewatinya, dan yang terpenting lagi, ratkan pengekangan berlebih individu oleh
menunjukkan semangat individu untuk terus masyarakatnya, individu serasa dikuasai
menjalani hidup. Hal tersebut tentu akan jauh penuh oleh lingkungan sosial sehingga tak
berbeda pada individu dengan dimensi dapat berbuat banyak untuk menghindarinya.
resiliensi yang lemah atau bahkan sama sekali Adapun fenomena bunuh diri akibat faktor
tak memilikinya. Mereka akan larut dalam terkait dibagi ke dalam beberapa tipe. Per-
penderitaan, menerimanya secara taken for tama, bunuh diri akibat kewajiban, dapat di-
granted, serta berkencederungan menjadi misalkan dengan tradisi masyarakat India
fatalistik. Tegas dan jelasnya, individu yang kuno yang mensyaratkan istri turut mati ber-
demikian dapat diistilahkan sebagai man on sama suaminya, sedang apabila sang istri
the street sebagaimana ungkap Peter L. menolaknya, ia akan menuai cemoohan ma-
Berger: menerima apa-apa yang datang ke- syarakat berikut dianggap sebagai aib dalam
padanya tanpa mempertanyakannya. masyarakatnya. Kedua, bunuh diri akibat
dukungan masyarakat, hal tersebut dapat di-
contohkan dengan seorang prajurit yang me-
ngorbankan dirinya di medan perang demi
Bunuh Diri dalam Kajian menyelamatkan teman-temannya yang lain.
Sosiologi Tipe bunuh diri terkait merupakan perihal
Adalah Emile Durkheim (1858-1917), sosio- yang “didukung” masyarakat, dalam arti,
log asal Perancis yang untuk pertama kalinya siapa yang melakukannya bakal menuai
melakukan kajian mengenai fenomena bunuh penghargaan berikut penghormatan masya-
diri dalam ranah sosiologi. Menurutnya, rakat. Ketiga, bunuh diri akibat kepuasan diri,
tindakan bunuh diri yang dilakukan individu menurut Durkheim, tak ada penjelasan ilmiah

36
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

bagi tindakan bunuh diri dengan tipe ini, sang keberadaannya berikut menjadi persoalan
pelaku sekadar merasa bangga dan puas yang kita hadapi bersama.
mempertontonkan tindakan bunuh dirinya di Apabila berbagai kasus bunuh diri di atas
hadapan publik (Samuel, 2010: 60-62). ditelaah melalui kerangka kajian sosiologis
Pada perkembangannya kemudian, di- sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya,
temui istilah Werther effect atawa ‘efek kiranya faktor lemahnya integrasi sosial dan
Werther’ guna me-representasi-kan fenomena fenomena copycat menjadi penyebab uta- ma
bunuh diri yang diakibatkan oleh pengaruh marak terjadinya aksi terkait dewasa ini.
media. Istilah tersebut menunjuk pada no- vel Ihwal lemahnya integrasi sosial, hal ter- sebut
buah karya Johann Wolfgang Goethe (1749- tercermin pada berbagai persoalan para
pelaku yang bersifat personal (pribadi), antara
1832), The Sorrows of Young Werther
lain akibat putus cinta, studi yang tak kunjung
‘Penderitaan Pemuda Werther’ (1774) yang
usai, serta himpitan finansial. Se- rangkaian
membawa Jerman larut dalam gelombang bu-
persoalan tersebut sama sekali tak
nuh diri massal. Adapun istilah di atas untuk
berhubungan dengan integrasi sosial yang
pertama kali dipopulerkan oleh D. Phillips
terlampau kuat dalam masyarakat. Dalam hal
(1974) dalam penelitiannya mengenai melon-
ini, para pelaku melakukan tindakannya
jak drastisnya angka bunuh diri di Amerika
bukan dikarenakan paksaan atau dukungan
Serikat akibat kematian bunuh diri mega-
masyarakat, melainkan lebih dikarenakan
bintang Hollywood, Marilyn Monroe. Phillips
persoalannya sendiri dan sama sekali tak
mencatat, pasca kematian Monroe, prosentase
berhubungan dengan nilai ataupun norma
angka bunuh diri di Amerika Serikat me-
sosial. Tak dapat dipungkiri, dukungan sosial
ningkat drastis mencapai angka 12 persen
sebagai wadah berbagi atau sekadar sebagai
(Bondora & Goodwin, 2005). Di sisi lain,
tempat penghempas kekalutan diri kiranya
istilah terkait—efek Werther—secara umum
diperlukan bagi individu dengan dimensi
kerap pula disebut sebagai fenomena copycat,
resiliensi yang rendah.
yakni perilaku entitas individu yang gemar
menirukan perilaku individu lain baik dalam Ihwal copycat, sebagaimana ungkap psi-
hal-hal yang bersifat faktual maupun fiksional kolog forensik Universitas Bina Nusantara
(WHO, 2000: 5). Dewasa ini, pengkajian Reza Indragiri Amriel, bahwa pemberitaan
atasnya lekat dengan perkembangan budaya media massa mengenai “keberhasilan” sese-
populer layaknya film, televisi, internet, no- orang melakukan aksi bunuh diri justru
vel, musik dan lain sejenisnya. dapat menginspirasi pihak lain untuk turut
melakukannya. Sebagai misal, maraknya aksi
bunuh diri yang dilakukan di mal dan seolah
sempat menjadi “tren” beberapa waktu lalu.
 Beberapa Catatan Kasus Bunuh Tercatat, selama dua hari beturut-turut di
Diri Pemuda Tanah Air bulan Januari 2011—tanggal 3-4—terjadi tiga
Sebelum lebih jauh melangkah pada urgen- si kasus bunuh diri di mal, di mana ketiga pelaku
dimensi resiliensi sebagai upaya mem- melancarkan aksinya dengan terjun bebas dari
perkuat daya pegas (ketahanan) pemuda ketinggian gedung (Soebijoto, 2011).
dalam menghadapi berbagai rintangan dan Kiranya, cukup sulit untuk mengatakan jika
penderitaan hidup, berikut akan dipaparkan peristiwa tersebut sama sekali tak berkaitan
beberapa di antara banyaknya catatan kasus dengan pengaruh media. Senada dengan Reza
bunuh diri pemuda tanah air yang terjadi Indragiri, Naoumi Sutikno, psikolog Rumah
belakangan ini (lihat Tabel). Pemaparan ini Sakit Omni, menyatakan bahwa publikasi
tak lain guna menunjukkan betapa kasus ter- media cetak maupun elektronik dengan
kait merupakan realitas sosial yang nyata visualisasi (foto/gambar) para korban

37
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

Tabel:
Kasus-kasus Bunuh Diri di Kalangan Pemuda

Waktu
Korban Keterangan Sumber
Kejadian
15 Eko Prasetyo (25), Ditemukan tewas gantung diri di dapur http://news.okezone.com/
Januari mahasiswa salah satu rumahnya di daerah Sanden, Bantul. read/2008/01/16/1/75585/
2008 PTS Yogyakarta. Prasetyo melakukan aksi bunuh diri stres-urus-skripsi-
akibat skripsinya tak kunjung selesai. mahasiswa-bunuh-diri
(diakses pada 01/03/2012)

15 Indrawan Winata, Melakukan aksi bunuh diri dengan http://www.tempo.co/read/


Desember mahasiswa cara melompat dari lantai tiga belas news/2008/12/17/064151493/
2008 Fak. Ekonomi, gedung universitas. Winata Bunuh-Diri-Gara-Gara-
Universitas YAI. melakukan aksi tersebut akibat Skripsi-Tidak-Juga-Selesai
skripsinya yang tak kunjung selesai. (diakses pada 01/03/2012)

31 Andriyadi (21) Akibat putus cinta, pemuda terkait http://portalkriminal.com/


Juli nekat hendak bunuh diri dengan index.php?option=com_content
2011 memotong urat nadi pergelangan &view=article&id=14427
tangan kirinya dengan cutter di (diakses pada 01/03/2012)
rumahnya di daerah Tebet, Jakarta
Selatan. Beruntung korban berhasil
diselamatkan.

5 Winarso Riyadi (23), Ditemukan gantung diri dengan http://poskota.co.id/berita-terkini/


September karyawan swasta. kondisi tak bernyawa di plafon 2011/09/05/bunuh-diri-karena-
2011 rumahnya, Johar Baru, Jakarta Pusat. putus-cinta
Riyadi nekat melakukan aksi tersebut (diakses pada 01/03/2012)
dikarenakan putus cinta dengan
kekasihnya.

8 Irfanati Syahidah (15) Ditemukan tewas gantung diri di http://www.republika.co.id/berita/


September rumahnya di kawasan Medan Satria, regional/jabodetabek/11/09/09/
2011 Bekasi. Syahidah melakukan aksi lr93q6-garagara-putus-cinta-
tersebut akibat diputuskan sang pacar gadis-belia-gantung-diri
melalui pesan singkat (SMS). (diakses pada 01/03/2012)

29 Tjen Alvin (22), Bunuh diri dengan cara melompat dari http://metro.vivanews.com/news/
September mahasiswa Prodi Ilmu lantai tujuh Imperium Mall Pluit, read/251362-kenapa-alvin-nekad
2011 Komunikasi, Penjaringan, Jakarta Utara. Menurut -terjun-bebas-dari-mall
Universitas Bunda salah satu teman korban, Adi, pelaku (diakses pada 01/03/2012)
Mulia, Jakarta sempat mengirimkan pesan singkat
(SMS) perihal kesulitannya
mengerjakan salah satu tugas mata
kuliah, sedang kala itu merupakan
batas waktu pengumpulannya.

14 Af Hardiman (21), Diduga akibat terbentur biaya kuliah, http://padangekspres.co.id/?news


Oktober mahasiswa Hardiman nekat melakukan aksi =berita&id=14704
2011 Fak. Teknik Elektro, bunuh diri, mayatnya ditemukan (diakes pada 01/03/2012)
Universitas Bung mengambang di Danau Singkarak,
Hatta, sekaligus atlet Sumatera Barat.
dayung peraih medali
emas dalam Pekan
Olah Raga Provinsi
(Porprov) tahun 2012

19 Ricky Ardianto (23), Melakukan aksi bunuh diri dengan http://www.solopos.com/2012/


Februari mahasiswa ITB cara melompat dari atap lantai tiga patroli/mahasiswa-itb-bunuh-diri-
2012 kosnya. Saat berita diturunkan, polisi loncat-dari-atap-indekos-163729
masih mendalami motif pelaku. (diakses pada 01/03/2012)

38
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

bunuh diri hanya akan menginspirasi pihak yang berlangsung secara terus-menerus dalam
lain untuk melakukan tindakan serupa. Lebih upaya pembentukan dimensi resiliensi pada diri
jauh, ia menjelaskan bahwa dewasa ini mal individu. Terkait hal tersebut, Michael Polanyi
menjadi “lokasi favorit” untuk melancarkan dalam The Study of Man (2001:18) mengatakan
aksi bunuh diri karena lokasinya yang mudah bahwa sering kali manusia jauh tak mengenal
dijangkau dan terbuka bagi seluruh lapisan dirinya ketimbang lingkungannya. Hal tersebut
masyarakat. Di samping itu, terbersit harapan disebabkan oleh terlampau “sibuknya” ia
pada diri pelaku agar permasalahan hidup menggali pengetahuan tentang alam sekitar,
berikut tindakannya menjadi pembicaraan namun melupakan penggalian atas dirinya sen-
banyak orang (menyita perhatian), dengan diri. Bagi Polanyi, penggalian yang sekadar
melancarkan aksinya di mal maka peluang berkutat pada alam sekitar (dunia eksternal)
untuk terekspos media menjadi lebih besar barulah mencapai tingkat “intelegensi bina-
(Dai & Yer, 2011). tang”. Oleh karenanya, pertanyaan yang hadir
kemudian adalah, bagaimanakah cara agar
individu mampu melakukan penggalian atas
dirinya sendiri (refleksi diri)?
Penetrasi Dimensi Resiliensi pada Adalah faktual bahwa setiap manusia
Pemuda pernah mengalami pengalaman eksistensial
Sebagaimana diungkap Dr. Maddi (dalam layaknya malu, kecewa, terkucil dan ke-
Scott, 2009: 2), hal pertama yang dapat di- hilangan yang teramat sangat (Lathief, 2010:
lakukan guna meningkatkan dimensi resiliensi 103). Semua hal tersebut sesungguhnya me-
pada diri adalah dengan mempelajarinya. rupakan kesempatan bagi individu untuk
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri melakukan refleksi diri. Rasa malu kita yang
bahwa kajian mengenai resiliensi masih cukup disebabkan oleh tatapan mata seseorang mi-
asing bagi para pemuda (baca: mahasiswa) salnya, mengandung pengertian agar kita
khususnya yang berada di luar disiplin psi- melakukan penilaian atas diri sendiri. Begitu
kologi selaku pencetus konsep terkait, ber- pula, kekecewaan akibat ditinggal kekasih
beda halnya dengan tradisi akademik Barat menimbulkan serangkaian tanya pada diri
yang telah mengadaptasikannya pada ber- sendiri: Mengapa? Bagaimana mungkin?.
bagai disiplin keilmuan (Ruhl, 2011: 1374). Disadari atau tidak, semua pengalaman ter-
Oleh karenanya, upaya lebih kiranya masih sebut membalikkan struktur dunia objektif
diperlukan guna mempromosikan dan menge- menjadi subjektif, kita atau individu-lah yang
nalkan studi resiliensi pada publik akademik kemudian “disorot”.
tanah air, khususnya dalam ranah keilmuan Lebih jauh, hal di atas tak lepas dari muat-
sosial-humaniora. Setidaknya, hal tersebut se- an kesadaran yang terjadi dalam aktivitas
jalan dengan semangat pengintegrasian ilmu refleksi diri, yakni spontanitas impersonal
sebagaimana didengungkan akhir-akhir ini. yang lahir melalui ex-nihilo. Dalam arti, ber-
Berikut akan dipaparkan berbagai upaya dan bagai kekosongan yang menjangkiti diri ma-
strategi guna melakukan penetrasi dimensi nusia dan terjadi secara tiba-tiba (spontan)
resiliensi pada diri pemuda di tanah air. tersebutlah yang kemudian justru membuat
manusia untuk terus bergerak (bertindak).
Namun, sebelum individu melakukan seben-
 Refleksi Diri dan Kemampuan tuk tindakan, terdapat ruang kosong antara
Pemaknaan secara Konstruktif peristiwa yang dialaminya dengan tindakan
Refleksi diri, atau yang secara sederhana dapat yang dilakukannya kemudian. Faktual, ruang
diterjemahkan sebagai “pemahaman men- kosong tersebut berfungsi sebagai tempat me-
dalam atas diri”, merupakan proses belajar lakukan interpretasi atau pemaknaan sehingga

39
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

menentukan bentuk-bentuk tindakan yang kausalitas serta pemaknaan di luar kelaziman


hadir kemudian (Palmer, 2003: 40 & 58-59). individu-individu lainnya. Sebagai misal, se-
orang pemuda resilien yang kerap mendapati
Dalam kaitannya dengan persoalan pe-
cemoohan dan pelabelan negatif ayahnya bisa
muda di tanah air, diduga sebagian besar dari
jadi bakal memaknai segala perkataan
mereka pernah mengalami serangkaian
ayahnya sebagai lontaran “orang sakit”. Ia
pengalaman eksistensial seperti di atas.
menempatkan ayahnya sebagai pasien be-
Agaknya, dunia objektif memang telah ber-
transformasi pada dunia subjektif kala me- rikut “korban” pendidikan orang-orang ter-
reka tengah mengalaminya, namun sayang dahulu yang umumnya memang keras dan
banyak dari mereka kurang mampu me- sewenang-wenang terhadap anak—analisis
lakukan pemaknaan penuh secara konstruktif. sebab-akibat. Di sisi lain, sang pemuda akan
Hal tersebut diduga disebabkan oleh kurang- memainkan peran sebagai seorang psikolog
nya stock of knowledge ‘kapasitas intelek- atau psikiater yang dengan segala kapasitasnya
tual’, rasa humor serta kemampuan meng- mampu membalas setiap lontaran negatif di
ekspresikan diri. Di sisi lain, salah satu karakter atas dengan senyum simpul lagi bijak.
pemuda sebagaimana telah diutarakan jauh Dengan demikian, berbagai cemoohan dan
sebelumnya, yakni kecenderungan untuk pelabelan negatif yang dilayangkan sang
bergabung dengan teman-teman sejawatnya, ayah pada pemuda resilien tersebut sama
kiranya menyebabkan mereka sedikit-banyak sekali tak berdampak pada dirinya. Dapatlah
lebih berjarak terhadap institusi agama, ke- dilihat bahwa pemuda yang resilien mampu
luarga serta sosial, sedang berbagai tempat merombak it is what it is menjadi it is what it
tersebut diyakini sebagai sumber individu is not.
untuk memperoleh makna. Begitu pula, dalam kasus asmara misal-
Kurangnya “gudang” pemaknaan yang nya, seorang pemuda yang resilien takkan
dimiliki pemuda kiranya berbanding lurus serta-merta bermuram durja, larut dalam
dengan pola pikir dan tindakannya yang kerap derita “kasih tak sampai”, terlebih bunuh diri
dikatakan “dangkal” oleh banyak pi- hak. kala diputuskan kekasihnya. Sebaliknya, ia
Kedangkalan pikir dan tindakan tersebut tak akan melihatnya sebagai sebuah tantangan
hanya berkenaan dengan hal-hal yang berbau tersendiri. Bisa jadi, kemudian ia justru ber-
agresi (kekerasan), semisal menyerang pikir untuk mendapatkan kekasih baru yang
individu lain, aksi tawuran dan lain sejenisnya, jauh “lebih baik” berikut dalam tempo yang
melainkan pula kepasifan akut layaknya hanyut lebih singkat sebelum si mantan kekasih
dalam ektase miras atau narkoba, bahkan juga: “memamerkan” pengganti dirinya. Demiki-
anlah, sebagaimana ungkap Dr. Maddi (dalam
bunuh diri. Tak pelak, serangkaian tindakan
Scott, 2009: 1), salah satu karakter individu
tersebut menunjukkan pendeknya rentang
yang resilien yaitu menjadikan tekanan dan
ruang kosong tempat pemaknaan dilakukan,
stres sebagai “saingan” atau kompetitor untuk
seakan stimulus yang datang sontak berbuah
menguji serta meningkatkan kemampuan diri.
respon, dan seolah sekadar terdapat pemaknaan
tunggal di dalamnya. Namun harus diakui, kemampuan indi-
vidu dalam melakukan refleksi diri serta pe-
Dalam kacamata resiliensi, refleksi diri
maknaan penuh secara konstruktif acap kali
berfungsi sebagai sarana pengatur emosi,
berasal dari sumber yang samar, begitu pula
pengendali impuls, “pemeka” analisis sebab-
dengan terbentuknya dimensi resiliensi pada
akibat, serta pendobrak pemaknaan individu.
individu terkait: berasal dari diri sendiri
Dua hal yang dikemukakan terakhir—analisis
ataukah buah campur tangan pihak lain.
sebab-akibat dan pendobrak pemaknaan
Apabila individu tersebut memiliki kapasitas
individu—merupakan kemampuan analisis

40
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

intelektual yang mumpuni dikarenakan kege- dalam rangka memupuk kapasitas intelektual.
marannya melahap buku semenjak lama, atau Oleh karenanya, dapatlah ditilik betapa besar
karena mengkultuskan seorang tokoh yang peran institusi keluarga dalam melahirkan
resilien sehingga berpikir maupun bertindak individu-individu yang resilien, bahkan Pierre
layaknya tokoh tersebut, maka dapatlah di- Bourdieu (dalam Harker [et.al], 2005: 113)
katakan bahwa dimensi resiliensi yang di- pun turut mengakui peran penting keluarga
milikinya merupakan buah bentukannya sebagai sarana reproduksi sosial yang secara
sendiri. Sebaliknya, apabila ia lebih banyak tak langsung berkenaan dengan berbagai ele-
meminjam pemaknaan yang bersumber dari men resiliensi di atas.
lingkungan sekitar, maka dimensi resiliensi- Menurut Bourdieu, terdapat perbedaan
nya merupakan buah campur tangan (ben- yang kentara antara pola pendidikan yang
tukan) pihak lain. diterapkan keluarga kelas menengah dengan
kelas bawah. Umumnya, pola asuh yang di-
terapkan keluarga kelas menengah bersifat
 Institusi Keluarga: Antara demokratis, anak sengaja didorong untuk
“Zona Aman”, Habitus dan “vokal” dan bebas mengekspresikan perasaan
berikut aspirasinya. Kursus-kursus di luar jam
Penciptaan Dimensi Resiliensi
sekolah pun sengaja diperuntukkan bagi anak
Seakan mengamini tesis mengenai disfung- guna mendukung berbagai ketrampilan di
sionalisasi institusi keluarga, studi resiliensi atas. Sebaliknya, pola asuh dalam keluarga
meletakkan perhatian khusus terhadap ke- kelas bawah umumnya bersifat otoriter; kon-
biasaan orang tua yang sejak dini sengaja disi serba terbatas yang dimiliki orang tua
menghindarkan anak-anaknya dari penga- meniscayakan anak untuk tak banyak me-
laman kegagalan berikut kesulitan hidup. nuntut. Sering kali, “pembungkaman” eks-
Bagi Reivich dan Shatte (2002: 113), ke- presi dan aspirasi anak tampak melalui ke-
biasaan tersebut justru merugikan proses marahan orang tua yang meletup-letup. Di-
pembentukan dimensi resiliensi. Pasalnya, sadari atau tidak, perbedaan kedua pola asuh
anak selalu dikondisikan dalam “zona aman”, di atas berimplikasi pada sesuai-tidaknya
mereka tak pernah dilatih untuk mengalami habitus anak dalam bangku sekolah. Anak
guncangan mental serta mengatasinya secara dengan pola didikan keluarga yang demokratis
mandiri. Karena berada di “zona aman” tak cenderung vokal di kelas, tak ragu bertanya
dapat diharapkan terus menerus, maka besar dan menjawab, serta berani mencoba berikut
kemungkinan anak-anak tersebut bakal sulit berbuat salah. Sebaliknya dengan anak yang
bangkit kala menghadapi keterpurukan hidup dihasilkan melalui pola didikan keluarga
di kemudian hari. Terlebih, manusia memang otoriter, mereka cenderung diam di kelas, tak
selalu berada dalam kondisi “tak siap” kala berani bertanya berikut menjawab pertanyaan
berhadapan dengan berbagai hal mengerikan guru—terdapat ketakutan untuk berbuat salah
dalam hidup sebagaimana diyakini studi resi- dan dipermalukan/dimarahi (Harker [et.al],
liensi (Fine, 1991: 459-460). 2005: 114-118). Parahnya, berbagai kebiasaan
Lebih jauh, kajian mengenai hubungan tersebut kerap kali terbawa hingga bangku
antara institusi keluarga dengan penciptaan kuliah, perihal yang tentunya merugikan bagi
dimensi resiliensi pada individu kiranya perkembangan kapasitas intelektual individu
demikian esensial. Hal tersebut mengingat dan secara tak langsung turut menyiratkan
institusi keluarga merupakan tempat pemben- perihal kontra-resiliensi.
tukan tingkat tempramental individu/anak, Di samping sebagai muara pembentukan
empati, kemampuan berekspresi, dan pada dimensi resiliensi, keluarga turut ditempatkan
gilirannya menjadi pembentuk kognitif anak sebagai “daya dukung” resiliensi itu sendiri
guna menerima berbagai pelajaran di sekolah

41
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

bagi individu. Dapatlah dibayangkan bila- bakal menimpa, umumnya tragedi tersebut
mana terdapat pemuda pengidap HIV/ AIDS diasosiasikan dengan salah satu warga yang
atau pecandu narkoba yang sama se- kali tak akan melakukan aksi bunuh diri di kemudian
mendapat dukungan keluarganya, besar hari (Catur, 2010: 39-41).
kemungkinan mereka bakal berpikir dan Menilik eksistensinya sebagai local geni-
bertindak fatalis. Pemuda ODHA dapat ous ‘kearifan lokal’ masyarakat setempat,
seketika berpikir untuk mengakhiri hidupnya, mitos pulong gantung memang perlu dihar-
sedang pemuda pemakai narkoba akan sulit gai. Namun, menilik besarnya implikasi ne-
menjalani masa-masa rehabilitasi atau justru gatif yang ditimbulkannya, mitos tersebut
kian larut dalam candunya akibat ketiadaan layak ditinjau kembali. Memang, demikian
perhatian sama sekali dari keluarga. Hal abstrak untuk menggambarkan relasi yang
serupa berlaku pula bagi berbagai kasus terjadi antara penampakan pulong dengan tin-
pemuda layaknya putus cinta, tak lulus dalam dakan bunuh diri mengingat pengkajian ter-
Ujian Nasional (UN), serta mereka yang kait berada dalam tataran metafisika. Bisa jadi,
tengah kesulitan menyelesaikan Tugas Akhir seorang warga yang sebelumnya me- mang
(skripsi) guna menyabet gelar sarjana. telah frustasi dan berniat mengakhiri hidup,
bertambah bulat niatnya karena serasa
menyaksikan pulong. Dengan demikian, ia
 Masyarakat: Re-Interpretasi akan berpikir bahwa “waktunya telah tiba”.
Di sisi lain, pulong tersebut dapat pula se-
Mitos “Pulong Gantung”,
kadar dijadikan kedok atau tameng untuk me-
Sebuah Contoh Kasus legitimasi tindakannya. Dalam hal ini, sang
Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa pelaku sama sekali tak melihat penampakkan
Yogyakarta merupakan wilayah dengan pre- pulong, namun dikarenakan mitos tersebut
valensi angka bunuh diri tertinggi di tanah air. ajeg dilestarikan masyarakat sekitar, maka ia
Tercatat, terjadi 9 kasus bunuh diri per 100.000 merasa leluasa melakukan aksi bunuh diri, toh
penduduk, jauh lebih tinggi ketimbang angka nanti masyarakat akan menganggapnya se-
rata-rata kasus bunuh diri tanah air, yakni 1,2 bagai akibat penampakan pulong—menjadi
kasus per 100.000 penduduk. Parahnya, perihal yang dimaklumi sebagaimana telah
sebagian besar pelaku bunuh diri terkategori diutarakan sebelumnya. Oleh karenanya, ke-
dalam kelompok usia remaja dan dewasa beradaan pulong bisa jadi sekadar dijadikan
muda. Memang, di samping akibat persoalan sebagai “kambing hitam”, ia menjadi se-
ekonomi, tingginya angka bunuh diri di Gu- macam kedok motif bunuh diri seseorang di
nung Kidul tak lepas dari mitos “pulong hadapan masyarakatnya, meskipun motif yang
gantung” yang menjadikan tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah hal yang dimaksud:
sebagai bisa dimaklumi oleh masyarakat se- penampakan pulong gantung.
tempat (Amarullah, 2009). Salah satu cara guna “menjinakkan” mitos
Pulong gantung adalah semacam cahaya pulong gantung tanpa harus menghilangkan
(bintang) berekor dengan warna-warna ter- keberadaannya adalah dengan melakukan re-
tentu yang jatuh di atap rumah warga dan interpretasi atau penafsiran ulang. Di sini, peran
dipercaya memuat sejumlah pesan. Dikata- pemuka masyarakat dan kaum inte- lektual
kan, apabila pulong tersebut berwarna putih diperlukan mengingat kedudukan me- reka —
atau biru, maka keberuntunganlah yang di- pemuka masyarakat, terutama—se- bagai
bawanya, semisal menang dalam pilihan ke- pemberi makna dan pembentuk pola pikir
pala desa atau mendapat lotre. Namun se- masyarakat. Bisa saja pulong gantung tak lagi
baliknya, apabila pulong tersebut berwarna dimaknai secara saklek sebagai per- tanda akan
merah, maka kesialan atau tragedilah yang adanya salah satu warga yang

42
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

hendak bunuh diri, melainkan sebagai peng- Negeri Lima Menara-nya, hingga novel fiksi
ingat kepada masyarakat untuk menjaga ke- karya Habiburrahman El Shirazy, Ayat-ayat
bersamaan di antara mereka sehingga tidak ada Cinta dinilai cukup inspiratif bagi khalayak
salah satu warganya yang menanggung beban pembaca dan pemirsa. Munculnya rangkaian
berikut kesulitan hidup seorang diri. Hal karya-karya tersebut ditengarai membawa
tersebut misalnya dapat ditempuh dengan arus positif bagi penguatan dimensi resiliensi
perutinan rembug warga atau acara kumpul- masyarakat pada umumnya serta pemuda
kumpul (baca: silaturahmi) yang salah satunya pada khususnya.
berfungsi sebagai penghilang halangan rentang Berkenaan dengan kuatnya pengaruh
geografis di daerah Gunung Kidul.3 literarur terhadap pembaca, Oatley (dalam
Wirth & Schramm, 2005: 16-17) menjelaskan
Melalui re-interpretasi mitos pulong gan-
bahwa hal tersebut tak lepas dari keberadaan
tung, diharapkan tingginya angka bunuh diri
emosi internal dan eksternal yang terdapat di
di daerah Gunung Kidul dapat ditekan secara
dalamnya. Emosi internal terbentuk kala
signifikan. Terlebih dengan mengingat bahwa
pembaca masuk dan membenamkan diri
sebagian besar dari pelaku adalah mereka
dalam teks; esensi utama dari proses tersebut
yang tergolong usia remaja dan dewasa muda.
adalah aspek “penerimaan” dari pembaca
terhadap teks yang dibacanya. Melalui pe-
nerimaan tersebut, pembaca mampu me-
 Penetrasi Dimensi Resiliensi ngembangkan perasaan dan bersimpati pada
melalui Budaya Pop figur-figur yang terdapat dalam teks. Di sisi
Sebagaimana diungkapkan Susan B. Fine lain, emosi eksternal bagi Oatley, terbagi
(1991:466), budaya populer semisal film, mu- dalam dua bentuk: asimilasi dan akomodasi.
sik maupun novel dapat pula digunakan se- Asimilasi merupakan upaya mandiri yang
bagai sarana memperkuat dimensi resiliensi dilakukan pembaca untuk mengisi berbagai
pada individu. Seolah menjadi wacana tanding kekosongan yang terdapat dalam alur cerita.
atas “efek Werther” yang berasosiasi negatif Di sini, pembaca selalu berkeinginan untuk
terhadap audiens, penggunaan budaya populer mengetahui kelanjutan alur cerita, namun da-
bagi resiliensi berupaya untuk menggenjot dan lam rangkaiannya sering kali ditemui ketidak-
memicu semangat hidup berikut ketahanan lengkapan atau kekosongan peran, pada celah-
psikis para audiens. Bahkan, upaya tersebut celah tersebutlah pembaca mengambilalih
dapat pula dilakukan dengan menginjeksikan peran yang belum terisi. Sedangkan akomodasi
hal-hal yang bersifat hiperrealitas, fantasi atau menunjuk pada kesenjangan harapan antara
khayal dalam film maupun novel yang dirilis narasi yang terdapat dalam teks dengan narasi
pada publik. yang diharapkan oleh pembaca. Dalam hal ini,
Di Indonesia belakangan ini cukup ketegangan (emosi) membaca muncul akibat
banyak novel yang menggambarkan heroisme adanya berbagai ketidaksesuaian tersebut.
pemuda dalam mewujudkan cita-citanya. Lebih jauh, besarnya potensi pengaruh
Bahkan, sebagian di antaranya telah diangkat media visual —film— terhadap audiens
ke layar lebar. Kisah perjuangan Andrea Hi- dijelaskan oleh Bente dan Fromm (dalam
rata yang tertuang dalam Tetralogi Laskar Wirth & Schramm, 2005: 18) melalui em- pat
Pelangi, sukses Raditya Dika sebagai penulis faktor sebagai berikut. Pertama, persona-
muda yang terkisah dalam buku maupun film lisasi, yakni presentasi atau penyajian yang
Kambing Jantan, Ahmad Fuadi dengan berfokus pada alur cerita individu, di sini
manusia kebanyakan tak begitu penting ke-
3 Terkait topografi daerah Gunung Kidul yang ber- bukit- beradaannya. Kedua, otentitas atau keaslian,
bukit sehingga rentang jarak antara satu rumah warga
dengan rumah warga lainnya cukup jauh. cerita mengenai orang-orang yang tak terkenal

43
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

(orang biasa) dituturkan secara langsung oleh Daftar Pustaka


dirinya sendiri. Ketiga, intimasi, topik-topik
Buku:
pribadi atau personal berikut aspek hubungan
interpersonal yang terdapat di dalamnya di- Barker, Chris. 2009. Cultural Studies, Kreasi
ubah sehingga menjadi topik publik. Keempat, Wacana.
emosi, setiap tutur dan perilaku yang ada Harker, Richard [et.al]. 2005. (Habitus x
memang sengaja ditujukan guna memancing Modal) + Ranah = Praktek, Kreasi
emosi serta komentar audiens. Dari uraian Wacana.
singkat mengenai ampuhnya media dalam
Lathief, Supaat I, 2010, Psikologi Fenomenologi
mempengaruhi afeksi berikut perilaku indi-
Eksistensialisme, Pustaka Pujangga.
vidu tersebut, kiranya dapat dimanfaatkan bagi
penguatan dimensi resiliensi pada pemuda. Monks, F. J (et.al). 1985. Psikologi Perkem-
bangan, Gadjah Mada University
Press.
Palmer, Donald D. 2003. Sartre untuk Pemula,
Kesimpulan dan Penutup
Kanisius.
Berpijak dari uraian di atas, penguatan dimensi
resiliensi dapat menjadi salah satu cara yang Polanyi, Michael. 2001. Kajian tentang Ma-
ditempuh untuk mereduksi tingginya angka nusia, Kanisius.
bunuh diri pada pemuda di tanah air dewasa Reivich, K & A. Shatte. 2002. The Resilience
ini. Konsep resiliensi yang menekankan pada Factor: 7 Essential Skills for Over-
ketahanan diri untuk beradaptasi dengan ber- coming Life’s Inevitable Obstacles,
bagai penderitaan maupun kesulitan hidup, Broadway Books.
berikut kemampuan untuk bangkit dan me- Samuel, Hanneman. 2010. Emile Durkheim:
lawan mengatasinya, sesuai bagi kondisi ke- Riwayat, Pemikiran dan Warisan Ba-
jiwaan pemuda yang mengalami ambiguitas pak Sosiologi Modern, Kepik Ungu.
(kelabilan) dengan serba-serbi persoalan yang
dihadapinya. Upaya dan strategi untuk mem-
perkuat dimensi resiliensi pada pemuda dapat Jurnal:
dilakukan melalui berbagai cara seperti Bondora, Jeffrey T & Jessica L. Goodwin,
refleksi diri, menggunakan institusi keluarga “The Impact of Suicidal Content in
dan masyarakat, maupun melalui budaya pop Popular Media on the Attitudes and
yang akrab dengan keseharian hidup pe- Behaviors of Adolescents”, Praxis
muda. Namun demikian, hal terpenting dan Journal, Fall 2005 Vol. 5, pp. 5.
cara terbaik untuk memperkuat resiliensi pada
Fine, Susan B, 1991, “Resilience and Human
pemuda adalah dengan mempelajarinya
Adaptability: Who Rises Above
secara mandiri. Di sini, pengayaan bentuk
Adversity?”, American Journal of
studi dan ragam analisis mengenai resiliensi
Occupational Therapy, Ed. 45/1991,
memiliki relevansi yang tinggi mengingat
pp. 457-474.
masih jarangnya telaah serius mengenai
konsep tersebut di tanah air. Ruhl, J. B, 2011, “General Design Principles
for Resilience and Adaptive Capacity
in Legal System with Applications to
Climate Change Adaptation”, Sym-
posium Journal of Adaptation and
Resiliency in Legal System, 2011, pp.
1373-1394.

44
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

Scott, Diane E, 2009, “Exploring Individual /language/images/Annefrank_


Resilience”, Center for American theatre_guide.pdf tanggal 6 Maret
Nurses, November 2009, pp. 1-2. 2012.
WHO, 2000, “Preventing Suicide: A Resource Pertiwi, Atmi, 2011, Putus Cinta Sebab Utama
for Media Professionals”, Mental and Anak Bunuh Diri, http://www.
Behavioural Disorders, Department tempo.co/read/news/2011/12/
of Mental Health, WHO-Geneva, 20/173372755/Putus-Cinta-Sebab-
2000, pp. 5. Utama-Anak-Bunuh-Diri tanggal 5
Maret 2012.
Wirasto, Ronny T, 2012, “Suicide Prevention
in Indonesia: Providing Public Ad- Riz, 2012, Pacar Sondang Hutagalung Laku
vocacy”, JMAJ, January/February kan Percobaan Bunuh Diri, http://
2012, Vol. 55, No. 1, pp. 98. www.metrotvnews.com/read/news
video/2012/02/18/145537/Satu-
Wirth, Werner & Holger Schramm, 2005,
Keluarga-di-Bali-Hilang-Tanpa-
“Media and Emotions”, Commu-
Jejak/1 tanggal 5 Maret 2012.
nication Research Trends, Vol. 24
(2005) No. 3, pp. 15-18. Soebijoto, Hertanto, 2011, Awas Bunuh Diri di
MalJadiTren,http://nasional.kompas.
com/read/2011/01/05/11054546/
Internet: Awas.Bunuh.Diri.di.Mal.Jadi.Tren
Amarullah, Amril, 2009, Kasus Bunuh Diri di tanggal 9 Maret 2012.
Indonesia, http://nasional.vivanews. Zahra,Anita, 2011, Pengaruh GambaranTubuh
com/news/read/110420-kasus_ terhadap Depresi pada Remaja Awal,
bunuh_diri_di_indonesia tanggal 4 http://repository.usu.ac.id/bit
Maret 2012. st r e am / 12 345 67 89/ 2 338 3/ 4 /
BBC Indonesia, 2012, Ketegaran Rakyat Chapter%20I.pdf tanggal 4 Maret
Jepang Layak Diteladani, http://www. 2012.
bbc.co.uk/indonesia/berita_indo
nesia/2012/03/120311_indotsunami.
shtml tanggal 18 Maret 2012.
Candra, Asep, 2011, Mengapa Sondang Bakar
Diri?, http://nasional.kompas.com/
read/2011/12/12/09270091/Me
ngapa.Sondang.Bakar.Diri. tanggal 5
Maret 2012.
Dai & Yer, 2011, Bunuh Diri dengan Terjun
dari Ketinggian Makin Marak, http://
www.indopos.co.id/index.php/
arsip-berita-jakarta-raya/53-jakarta-
raya/15949-bunuh-diri-dengan-
terjun-dari-ketinggian-makin-marak.
html tanggal 9 Maret 2012.
Goodrich, Frances & Albert Hackett, 2007,
The Diary of Anne Frank: An Educa
tional Study Guide, http://www.sain
thelena.us/school/classrooms/middle

45
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012

Anda mungkin juga menyukai