ABSTRAK
Artikel ini berupaya mengulas urgensi dimensi resiliensi bagi para pemuda di Indonesia
dalam keseharian hidup. Secara sederhana, resiliensi dapat diterjemahkan sebagai ke-
mampuan individu untuk bertahan, beradaptasi berikut bangkit dari berbagai bentuk
penderitaan hidup yang menderanya. Persoalan ini menjadi penting mengingat masa
muda merupakan periode-periode transisi yang begitu berat bagi setiap individu, di
mana ketidakstabilan emosi dan psikologis besar mempengaruhi di dalamnya. Lebih
jauh, artikel ini mendiskusikan karakteristik pemuda dan alasan diperlukannya dimensi
resiliensi, maraknya aksi bunuh diri yang dilakukan pemuda dewasa ini sebagai
implikasi lemahnya dimensi resiliensi, serta berbagai upaya yang dapat ditempuh dalam
rangka memperkuat dimensi resiliensi pada diri pemuda guna mengatasi persoalan
tersebut. Artikel diawali dengan uraian ihwal perkembangan studi resiliensi, baik
menyangkut aspek konseptual maupun kemanfaatannya.
Kata Kunci: Resiliensi, Pemuda, Transisi, Bunuh Diri
ABSTRACT
This article attempts to discuss the urgency of resilience for Indonesian youths in their
daily lifes. The concept of resilience can be defined as individual ability to survive, to
adapt and, furthermore, to revive from their sufferings. Such ability is important for
youths during the transisional period from childhood to adulthood, where usually
contains huge psychological and emotional instabilities and troubles. It further discusses
the characteristics of youth and the urgency of resilience during the period by
highlighting the rise of suicide among youths as consequence of the lack of resilience,
and some efforts to empower resiliece among youths. The article begins with a brief
discussion on the development of resilience studies, both its conceptual dimensions and
its utilities.
Keywords: Resilience, Youth, Transition, Suicide
Lebih jauh, prinsip atau moralitas utama resilien”. Dalam studi terkait, beragam
yang terkandung dalam resiliensi adalah respon individu tersebut nantinya dipetakan,
“martabat kemanusiaan” serta persoalan ditelisik faktor-faktor yang
bagaimana agar entitas manusia dapat mempengaruhinya, serta diformulasikan
berguna bagi sesamanya, atau setidaknya sedemikian rupa guna
bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, menciptakan individu individu yang resilien
resiliensi telah melampaui diskursus lain- nya (Fine, 1991: 457).
relativitas nilai dan moral, hal tersebut
Memang, studi resiliensi dilatar
salah satunya tampak melalui persoalan
belakangi oleh kenyataan bahwa tak semua
jatuhnya pilihan individu pada perihal baik
individu dapat segera bangkit dari
ataukah buruk yang turut tercakup dalam
keterpurukannya. Bagi Scott (2009: 1),
kajiannya (Fine, 1991: 458). Melalui
mereka yang mampu seketika bangkit
prinsip terkait, dapatlah dikatakan bahwa
memiliki syarat untuk
resiliensi merupakan sebentuk konsep yang
menyadari kemampuannya sebagai suatu
bercorak modernis mengingat eksistensi
“anugerah” tersendiri. Hal tersebut berarti,
nilai-nilai universal yang diusungnya.
pengalaman yang telah dilaluinya mampu
membentuknya sedemikian rupa menjadi
individu dengan daya pegas menghadapi
Secara faktual, studi formal mengenai penderitaan yang kuat the strength to bounce
resiliensi telah dimulai semenjak kurang back. Dengan demikian, dapatlah dikatakan
lebih tiga puluh lima tahun yang lalu. Studi bahwa individu yang resilien faktual
terkait demikian lekat dengan ranah bukanlah mereka yang tak pernah
psikologi mengingat pada mulanya resiliensi mengalami stres, tekanan atau depresi dalam
ditujukan bagi penanganan korban traumatis hidupnya. Begitu pula, dimensi resiliensi
perang, bencana alam, penderita sakit kronis, yang kuat tak
korban pelecehan dan berbagai persoalan terbentuk dengan sendirinya, melainkan
lainnya yang berkenaan dengan melalui serangkaian proses.
ketidakberdayaan psikis maupun mental.
Namun, seiring kian kompleksnya Berdasarkan hasil penelitiannya, Goleman
permasalahan “kerentanan” yang dihadapi (dalam Fine, 1991: 459-460) menyatakan
individu maupun kolektif (sosial) dalam era bahwa sesungguhnya “sistem imun”
high-risk dewasa ini, studi resiliensi turut indi- vidu yang berkonfrontasi dengan
diadopsi oleh para sosiolog, pekerja sosial, ingatan traumatis masa lalu secara otomatis
bahkan para politisi guna merumuskan membentuk pandangan dunia yang
kebijakan yang tepat bagi masyarakatnya lebih optimistik bagi individu terkait.
(Fine, 1991: 462; Ruhl, 2011: 1374). Namun, sering kali hal tersebut tak
terbentuk secara optimal akibat terlampau
Esensi dari studi resiliensi adalah upaya dominannya
memetakan beragam respon yang diberikan “ingatan masa lalu yang menganggu”. Guna
individu kala menghadapi kesulitan hidup. menghindarkannya, individu niscaya
Sebagian darinya ada yang dengan cepat beranjak pada level makna, yakni memiliki
pulih dari keterpurukan, sedang sebagian kemampuan untuk memprediksi, merubah,
yang lain kian larut di dalamnya berikut memahami serta menerima kondisinya saat
serasa tak memiliki kuasa untuk ini dengan konteks pemaknaan yang penuh.
membebaskan diri dari nya. Individu yang Selanjutnya, pemaknaan tersebut bakal
memiliki kemampuan luar biasa untuk menimbulkan keyakinan bahwa segala
bangkit dari keterpurukan dalam tempo sesuatu berada di bawah kontrol dan
singkat, disebut sebagai “individu yang demikian membantu dalam masa-masa
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
melancarkan aksinya di mal maka peluang atas dirinya sendiri. Bagi Polanyi,
untuk terekspos media menjadi lebih besar penggalian yang sekadar berkutat pada alam
(Dai & Yer, 2011). sekitar (dunia eksternal) barulah mencapai
tingkat “intelegensi
binatang”. Oleh karenanya, pertanyaan yang
hadir kemudian adalah, bagaimanakah cara
Penetrasi Dimensi Resiliensi pada agar individu mampu melakukan penggalian
Pemuda atas dirinya sendiri (refleksi diri)?
Sebagaimana diungkap Dr. Maddi Faktual bahwa setiap manusia pernah
(dalam Scott, 2009: 2), hal pertama yang mengalami pengalaman eksistensial
dapat layaknya malu, kecewa, terkucil dan
dilakukan guna meningkatkan dimensi kehilangan yang teramat sangat (Lathief,
resiliensi pada diri adalah dengan 2010:103). Semua hal tersebut
mempelajarinya. Namun demikian, tidak sesungguhnya merupakan kesempatan bagi
dapat dipungkiri bahwa kajian mengenai individu untuk melakukan refleksi diri.
resiliensi masih cukup asing bagi para Rasa malu kita yang disebabkan oleh
pemuda tatapan mata seseorang mi- salnya,
(baca: mahasiswa) khususnya yang berada di mengandung pengertian agar kita
luar disiplin psikologi selaku pencetus melakukan penilaian atas diri sendiri.
konsep terkait, berbeda halnya dengan tradisi Begitu pula, kekecewaan akibat ditinggal
akademik Barat yang telah kekasih menimbulkan serangkaian tanya
mengadaptasikannya pada berbagai disiplin pada diri sendiri: Mengapa? Bagaimana
keilmuan (Ruhl, 2011: 1374). Oleh mungkin?. Disadari atau tidak, semua
karenanya, upaya lebih kiranya masih pengalaman tersebut membalikkan struktur
diperlukan guna mempromosikan dan dunia objektif menjadi subjektif, kita atau
menge- nalkan studi resiliensi pada publik individulah yang kemudian “disorot”.
akademik tanah air, khususnya dalam ranah
keilmuan sosial humaniora. Setidaknya, hal Lebih jauh, hal di atas tak lepas dari
tersebut sejalan dengan semangat muat- an kesadaran yang terjadi dalam
pengintegrasian ilmu sebagaimana aktivitas refleksi diri, yakni spontanitas
didengungkan akhir-akhir ini. impersonal yang lahir melalui ex-nihilo.
Dalam arti, berbagai kekosongan yang
menjangkiti diri manusia dan terjadi secara
Refleksi Diri dan Kemampuan Pemaknaan tiba-tiba (spontan) tersebutlah yang kemudian
secara Konstruktif justru membuat manusia untuk terus bergerak
(bertindak). Namun, sebelum individu
Refleksi diri, atau yang secara sederhana
melakukan sebentuk tindakan, terdapat
dapat diterjemahkan sebagai “pemahaman
ruang kosong antara peristiwa yang
men- dalam atas diri”, merupakan proses
dialaminya dengan tindakan yang
belajar yang berlangsung secara terus
dilakukannya kemudian. Faktual, ruang
menerus dalam upaya pembentukan dimensi
kosong tersebut berfungsi sebagai tempat me-
resiliensi pada diri individu. Terkait hal
lakukan interpretasi atau pemaknaan sehingga
tersebut, Michael Polanyi dalam The Study
of Man (2001:18) mengatakan bahwa menentukan bentuk bentuk tindakan yang
sering kali manusia jauh tak mengenal hadir kemudian (Palmer, 2003: 40 & 58-59).
dirinya ketimbang lingkungannya. Hal Dalam kaitannya dengan persoalan
tersebut disebabkan oleh terlampau pemuda di tanah air, diduga sebagian
“sibuknya” ia menggali pengetahuan tentang besar dari mereka pernah mengalami
alam sekitar, namun melupakan penggalian serangkaian pengalaman eksistensial seperti
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
wacana tanding atas “efek Werther” yang cerita. Di sini, pembaca selalu berkeinginan
berasosiasi negatif terhadap audiens, untuk mengetahui kelanjutan alur cerita,
penggunaan budaya populer bagi resiliensi namun dalam rangkaiannya sering kali
berupaya untuk menggenjot dan memicu ditemui ketidak- lengkapan atau kekosongan
semangat hidup berikut ketahanan psikis para peran, pada celah-celah tersebutlah pembaca
audiens. Bahkan, upaya tersebut dapat pula mengambilalih peran yang belum terisi.
dilakukan dengan menginjeksikan hal-hal Sedangkan akomodasi menunjuk pada
yang bersifat hiperrealitas, fantasi atau kesenjangan harapan antara narasi yang
khayal dalam film maupun novel yang terdapat dalam teks dengan narasi yang
dirilis pada publik. diharapkan oleh pembaca. Dalam hal ini,
ketegangan (emosi) membaca muncul akibat
Di Indonesia belakangan ini cukup adanya berbagai ketidaksesuaian tersebut.
banyak novel yang menggambarkan
heroisme pemuda dalam mewujudkan cita Lebih jauh, besarnya potensi pengaruh
citanya. Bahkan, sebagian di antaranya media visual film terhadap audiens
telah diangkat ke layar lebar. Kisah dijelaskan oleh Bente dan Fromm
perjuangan Andrea Hirata yang tertuang (dalam Wirth & Schramm, 2005: 18)
dalam Tetralogi Laskar Pelangi, sukses melalui empat faktor sebagai berikut.
Raditya Dika sebagai penulis muda yang Pertama, personalisasi, yakni presentasi
terkisah dalam buku maupun film atau penyajian yang berfokus pada alur
Kambing Jantan, Ahmad Fuadi dengan cerita individu, di sini manusia kebanyakan
Negeri Lima Menara nya, hingga novel tak begitu penting keberadaannya.
fiksi karya Habiburrahman El Shirazy, Kedua, otentitas atau keaslian, cerita
Ayat-ayat Cinta dinilai cukup inspiratif mengenai orang-orang yang tak terkenal
bagi khalayak pembaca dan pemirsa. (orang biasa) dituturkan secara langsung
Munculnya rangkaian karya-karya tersebut oleh dirinya sendiri. Ketiga, intimasi, topik
ditengarai membawa arus positif bagi topik pribadi atau personal berikut aspek
penguatan dimensi resiliensi masyarakat hubungan interpersonal yang terdapat di
pada umumnya serta pemuda pada dalamnya diubah sehingga menjadi topik
khususnya. publik. Keempat, emosi, setiap tutur dan
Berkenaan dengan kuatnya pengaruh perilaku yang ada memang sengaja
literarur terhadap pembaca, Oatley ditujukan guna memancing emosi serta
(dalam Wirth & Schramm, 2005: 16-17) komentar audiens. Dari uraian singkat
menjelaskan bahwa hal tersebut tak lepas mengenai ampuhnya media dalam
dari keberadaan emosi internal dan mempengaruhi afeksi berikut perilaku
eksternal yang terdapat di dalamnya. individu tersebut, kiranya dapat
Emosi internal terbentuk kala pembaca dimanfaatkan bagi penguatan dimensi
masuk dan membenamkan diri dalam teks; resiliensi pada pemuda.
esensi utama dari proses tersebut adalah
aspek “penerimaan” dari pembaca terhadap
teks yang dibacanya. Melalui penerimaan
tersebut, pembaca mampu mengembangkan
perasaan dan bersimpati pada figur-figur
yang terdapat dalam teks. Di sisi lain,
emosi eksternal bagi Oatley, terbagi dalam
dua bentuk: asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi merupakan upaya mandiri yang
dilakukan pembaca untuk mengisi berbagai
kekosongan yang terdapat dalam alur
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
C. Penutup
Kesimpulan
Berpijak dari uraian di atas, penguatan dimensi resiliensi dapat menjadi salah satu
cara yang ditempuh untuk mereduksi tingginya angka bunuh diri pada pemuda di tanah air
dewasa ini. Konsep resiliensi yang menekankan pada ketahanan diri untuk beradaptasi
dengan berbagai penderitaan maupun kesulitan hidup, berikut kemampuan untuk bangkit
dan melawan mengatasinya, sesuai bagi kondisi kejiwaan pemuda yang mengalami
ambiguitas (kelabilan) dengan serba-serbi persoalan yang dihadapinya. Upaya dan strategi
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
untuk memperkuat dimensi resiliensi pada pemuda dapat dilakukan melalui berbagai
cara seperti refleksi diri, menggunakan institusi keluarga dan masyarakat, maupun
melalui budaya pop yang akrab dengan keseharian hidup pemuda. Namun demikian, hal
terpenting dan cara terbaik untuk memperkuat resiliensi pada pemuda adalah dengan
mempelajarinya secara mandiri. Di sini, pengayaan bentuk studi dan ragam analisis
mengenai resiliensi memiliki relevansi yang tinggi mengingat masih jarangnya telaah serius
mengenai konsep tersebut di tanah air.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Jurnal :
Bondora, J. T. (Fall 2005). The Impact of Suicidal Content in Popular Media on the Attitudes and
Behaviors of Adolescents. Praxis Journal, Vol. 5, pp. 5.
Fine, S. B. (1991). Resilience and Human Adaptability: Who Rises Above Adversity? American
Journal of Occupational Therapy, Ed. 45/1991, pp. 457-474.