Anda di halaman 1dari 12

 Ahmad Bukhori

Penulis Artikel Ilmiah


Mahasiswa Prodi PAI, Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Islam Raden Rahmat Malang.

Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi:


Penguatan Resiliensi sebagai Pereduksi Angka Bunuh
Diri di Kalangan Pemuda Indonesia

ABSTRAK
Artikel ini berupaya mengulas urgensi dimensi resiliensi bagi para pemuda di Indonesia
dalam keseharian hidup. Secara sederhana, resiliensi dapat diterjemahkan sebagai ke-
mampuan individu untuk bertahan, beradaptasi berikut bangkit dari berbagai bentuk
penderitaan hidup yang menderanya. Persoalan ini menjadi penting mengingat masa
muda merupakan periode-periode transisi yang begitu berat bagi setiap individu, di
mana ketidakstabilan emosi dan psikologis besar mempengaruhi di dalamnya. Lebih
jauh, artikel ini mendiskusikan karakteristik pemuda dan alasan diperlukannya dimensi
resiliensi, maraknya aksi bunuh diri yang dilakukan pemuda dewasa ini sebagai
implikasi lemahnya dimensi resiliensi, serta berbagai upaya yang dapat ditempuh dalam
rangka memperkuat dimensi resiliensi pada diri pemuda guna mengatasi persoalan
tersebut. Artikel diawali dengan uraian ihwal perkembangan studi resiliensi, baik
menyangkut aspek konseptual maupun kemanfaatannya.
Kata Kunci: Resiliensi, Pemuda, Transisi, Bunuh Diri

ABSTRACT
This article attempts to discuss the urgency of resilience for Indonesian youths in their
daily lifes. The concept of resilience can be defined as individual ability to survive, to
adapt and, furthermore, to revive from their sufferings. Such ability is important for
youths during the transisional period from childhood to adulthood, where usually
contains huge psychological and emotional instabilities and troubles. It further discusses
the characteristics of youth and the urgency of resilience during the period by
highlighting the rise of suicide among youths as consequence of the lack of resilience,
and some efforts to empower resiliece among youths. The article begins with a brief
discussion on the development of resilience studies, both its conceptual dimensions and
its utilities.
Keywords: Resilience, Youth, Transition, Suicide

“Masa depanku masih ‘perawan’,


segala sesuatu masih mungkin terjadi padaku…”
(J. P. Sartre, Being an Nothingness)
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

A. Pendahuluan (orang tua), suatu kondisi yang cukup


dilematis memang. Namun demikian,
Berdasarkan data yang dilansir WHO Parsons ajeg menekankan bahwa
pada tahun 2005, Indonesia masuk dalam
karakteristik utama yang dimiliki pemuda
kategori negara dengan tingkat bunuh diri adalah kecenderungannya untuk bergabung
yang tinggi, bahkan peringkat Indonesia
dengan dunia orang orang dewasa.
nyaris mendekati “negara-negara bunuh diri
Asia” layaknya Jepang dan Cina Tercatat, Lebih jauh, dalam ranah psikologi
Sedikitnya 50.000 orang Indonesia perkembangan, Monks (1985: 230-234)
melakukan aksi bunuh diri setiap tahunnya. merumuskan beragam karakteristik yang
Angka tersebut menunjukkan bahwa dimiliki pemuda sebagai berikut:
setidaknya terjadi 150 kasus bunuh diri (1) Memiliki kecenderungan untuk
perhari di tanah air. Perihal yang lebih memisahkan diri dari orang tua dan
memprihatinkan lagi adalah turut berkumpul bersama teman-teman
meningkatnya kecenderungan angka bunuh seusianya; (2) Menjadikan norma kelompok
diri pada penduduk usia muda pemuda 1usia teman-temannya sebagai patokan dalam
16-30 tahun(Amarullah, 2009; Wirasto, berperilaku; (3) Berada pada masa masa
2012:98). pencarian jati diri, (Erik H. Erikson)
menyebutnya sebagai proses pencarian
Sebagai misal, khusus untuk wilayah “identitas ego”; (4) Tengah mengalami
DKI Jakarta, sepanjang tahun 2003 Polda “krisis ori- sinalitas” yang ditunjukkan
Metro Jaya mencatat terjadinya 62 kasus melalui upaya-nya untuk membedakan diri
bunuh diri pada pemuda. Angka tersebut dari anak anak maupun orang dewasa, hal
melonjak tiga kali lipat ketimbang tahun tersebut kemudian berimplikasi pada
sebelumnya. Dan sebagaimana tahun-tahun timbulnya gap antar generasi.
setelahnya hingga kini, tren angka bunuh
diri pada pemuda di tanah air agaknya Berbagai bentuk ambiguitas pemuda di
cenderung mengalami peningkatan (Zahra, atas, sedari posisi sosialnya yang
2011). “tanggung” di antara anak-anak dan orang
dewasa, berikut kejiwaannya yang labil
Upaya mengurai permasalahan akibat tengah dirundung masa-masa
tingginya angka bunuh diri pada pemuda pencarian jati diri serta mengalami krisis
dewasa ini kiranya tak dapat lepas dari orisinalitas, tak heran jika banyak pihak
penelaahan akan apa, siapa dan bagaimana mendaulat masa muda sebagai periode
karakteristik dari pemuda itu sendiri. Tak yang cukup berat dalam hidup, layaknya
dapat dipungkiri, telah banyak ahli yang masa transisi pada umumnya. Itu lah
mendefinisikan arti dari terminus mengapa, “wajah Janus2” pemuda
“pemuda”. Talcott Parsons (dalam Barker, menimbulkan ambiguitas tersendiri; di satu
2009: 339) sisi, gelora kebebasan yang dimilikinya
Misalnya, mendefinisikan pemuda seakan menjadikan pemuda sebagai sosok
sebagai mereka yang memiliki posisi sosial yang kuat dan kokoh bahkan mampu
di antara anak-anak dan orang dewasa menembus batas-batas yang ada, namun di
ditinjau melalui segi institusi keluarga, sisi lain, kejiwaannya yang belum mapan
pendidikan dan pekerjaan. Tak pelak, posisi (labil) turut mengindikasikan kerapuhan di
sosial tersebut berimplikasi pada tanggung dalamnya, ibarat sebuah mercusuar yang
jawab pemuda yang jauh lebih besar tampak menjulang tegar di pinggir tebing
ketimbang anak-anak, namun mereka tetap namun sekonyong- konyong roboh akibat
berada di bawah kontrol orang dewasa 2
“Janus” adalah salah satu nama dewa dalam
1
Istilah “Pemuda” di sini mencakup baik Remaja mitologi Romawi Kuno yang memiliki dua wajah
Putra maupun Putri (Pemuda/i). saling berlawanan
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

diterpa angin yang tak kencang-kencang tersendiri ihwal mampu-tidaknya generasi


amat. muda saat ini untuk menjadi sosok yang
dapat ditempatkan sebagai sandaran segenap
Dimensi kerapuhan pemuda sebagai salah
asa guna melakukan transformasi kehidupan
satu sisi wajah Janus di atas menarik untuk
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ke
dicermati lebih lanjut. Sebab cukup absurd
arah yang lebih baik. Dalam artikel ini saya
bila banyak pihak membebankan serangkaian
harapan pada pemuda selaku generasi berpendapat bahwa salah satu cara yang
penerus bangsa namun sang pengembannya dapat ditempuh guna memupus berbagai
sendiri pemuda justru mudah ambruk dikala pesimisme kita atasnya adalah dengan
menemui berbagai hambatan dan rintangan memperkuat dimensi “resiliensi” pada diri
di tengah jalan. Salah satu bentuk pemuda. Sebab aneh jika kita mengharapkan
“keambrukkan” tersebut, sebagaimana telah hadirnya para insan muda yang “siap
disinggung sebelumnya, terrepresentasi kan tempur” namun tanpa disertai kuatnya
melalui contoh paling ekstrem akan dimensi resiliensi pada
banyaknya pemuda yang sengaja mengakhiri diri mereka.
hidupnya (baca: bunuh diri) akibat
permasalahan yang sesungguhnya dapat
dikatakan sepele. Berdasarkan data yang B. Pembahasan
dihimpun Komisi Nasional Perlindungan
Anak, pada semester awal tahun 2011, Sekilas Mengenai Resiliensi:
setidaknya tercatat sebanyak dua puluh tiga Studi, Konsep dan Kemanfaatannya
pemuda Indonesia melakukan aksi bunuh
diri, yang 91 % diantaranya berusia 13-17 Diane E. Scott (2009:1)
tahun. Kasus terbanyak, yakni 19 kasus, mendefinisikan resiliensi sebagai, “…the
ditemui pada mereka yang memiliki ability to adapt and change when faced
permasalahan as- mara (putus cinta), 8 kasus with new and often “stressful
akibat persoalan keluarga, dan sisanya, 6 circumstances” […“kemampuan untuk
kasus disebabkan oleh persoalan sekolah beradaptasi dan melakukan perubahan kala
(Pertiwi, 2011). menghadapi situasi baru yang kerap kali
menekan”]. Sementara Redl’s (dalam
Begitu pula, kasus yang tengah marak
disorot akhir-akhir ini, Sondang (22), maha- Fine, 1991: 462) mengartikan resiliensi
siswa tingkat akhir Fakultas Hukum, dengan, “…the ability to recover rapidly
Universitas Bung Karno Jakarta, from a tem- porary collapse even without
melakukan aksi bakar diri di depan Istana outside help, and the strength to bounce
Negara pada 7 Desember 2011. Hingga kini, back to normal or even supernormal levels
tindakan Sondang menuai pro kontra luas of functioning”
terkait bentuknya sebagai aksi heroik [“… kemampuan untuk pulih (bangkit)
ataukah bunuh diri semata (Candra, 2011). secara cepat dari kejatuhan, bahkan tanpa
bantuan dari pihak lain, serta kekuatan
Belum tuntas benar kasus Sondang, untuk kembali pada keadaan semula
kekasihnya, Putri Ananda Ningrum, (normal), atau bahkan melampauinya”].
melakukan percobaan bunuh diri di depan Menilik serangkaian pendefinisian di atas,
makam Sondang dengan menelan dua puluh kiranya resiliensi dapat diartikan secara
pil obat malaria hingga overdosis, meski sederhana sebagai “kemampuan individu
beruntung nyawanya masih dapat di untuk beradaptasi dengan penderitaan hidup
selamatkan (Riz, 2012). yang dialaminya, untuk kemudian bangkit
Diakui atau tidak, serangkaian dan melawan meng- atasinya”.
kenyataan di atas menimbulkan pesimisme
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

Lebih jauh, prinsip atau moralitas utama resilien”. Dalam studi terkait, beragam
yang terkandung dalam resiliensi adalah respon individu tersebut nantinya dipetakan,
“martabat kemanusiaan” serta persoalan ditelisik faktor-faktor yang
bagaimana agar entitas manusia dapat mempengaruhinya, serta diformulasikan
berguna bagi sesamanya, atau setidaknya sedemikian rupa guna
bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, menciptakan individu individu yang resilien
resiliensi telah melampaui diskursus lain- nya (Fine, 1991: 457).
relativitas nilai dan moral, hal tersebut
Memang, studi resiliensi dilatar
salah satunya tampak melalui persoalan
belakangi oleh kenyataan bahwa tak semua
jatuhnya pilihan individu pada perihal baik
individu dapat segera bangkit dari
ataukah buruk yang turut tercakup dalam
keterpurukannya. Bagi Scott (2009: 1),
kajiannya (Fine, 1991: 458). Melalui
mereka yang mampu seketika bangkit
prinsip terkait, dapatlah dikatakan bahwa
memiliki syarat untuk
resiliensi merupakan sebentuk konsep yang
menyadari kemampuannya sebagai suatu
bercorak modernis mengingat eksistensi
“anugerah” tersendiri. Hal tersebut berarti,
nilai-nilai universal yang diusungnya.
pengalaman yang telah dilaluinya mampu
membentuknya sedemikian rupa menjadi
individu dengan daya pegas menghadapi
Secara faktual, studi formal mengenai penderitaan yang kuat the strength to bounce
resiliensi telah dimulai semenjak kurang back. Dengan demikian, dapatlah dikatakan
lebih tiga puluh lima tahun yang lalu. Studi bahwa individu yang resilien faktual
terkait demikian lekat dengan ranah bukanlah mereka yang tak pernah
psikologi mengingat pada mulanya resiliensi mengalami stres, tekanan atau depresi dalam
ditujukan bagi penanganan korban traumatis hidupnya. Begitu pula, dimensi resiliensi
perang, bencana alam, penderita sakit kronis, yang kuat tak
korban pelecehan dan berbagai persoalan terbentuk dengan sendirinya, melainkan
lainnya yang berkenaan dengan melalui serangkaian proses.
ketidakberdayaan psikis maupun mental.
Namun, seiring kian kompleksnya Berdasarkan hasil penelitiannya, Goleman
permasalahan “kerentanan” yang dihadapi (dalam Fine, 1991: 459-460) menyatakan
individu maupun kolektif (sosial) dalam era bahwa sesungguhnya “sistem imun”
high-risk dewasa ini, studi resiliensi turut indi- vidu yang berkonfrontasi dengan
diadopsi oleh para sosiolog, pekerja sosial, ingatan traumatis masa lalu secara otomatis
bahkan para politisi guna merumuskan membentuk pandangan dunia yang
kebijakan yang tepat bagi masyarakatnya lebih optimistik bagi individu terkait.
(Fine, 1991: 462; Ruhl, 2011: 1374). Namun, sering kali hal tersebut tak
terbentuk secara optimal akibat terlampau
Esensi dari studi resiliensi adalah upaya dominannya
memetakan beragam respon yang diberikan “ingatan masa lalu yang menganggu”. Guna
individu kala menghadapi kesulitan hidup. menghindarkannya, individu niscaya
Sebagian darinya ada yang dengan cepat beranjak pada level makna, yakni memiliki
pulih dari keterpurukan, sedang sebagian kemampuan untuk memprediksi, merubah,
yang lain kian larut di dalamnya berikut memahami serta menerima kondisinya saat
serasa tak memiliki kuasa untuk ini dengan konteks pemaknaan yang penuh.
membebaskan diri dari nya. Individu yang Selanjutnya, pemaknaan tersebut bakal
memiliki kemampuan luar biasa untuk menimbulkan keyakinan bahwa segala
bangkit dari keterpurukan dalam tempo sesuatu berada di bawah kontrol dan
singkat, disebut sebagai “individu yang demikian membantu dalam masa-masa
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

rehabilitasi atau pemulihan. Banyak tempat pada kemampuan individu untuk


di mana individu dapat memperoleh makna menyesuaikan diri kala kompetensi yang
atas tindakannya, antara lain pada para dimilikinya berkurang drastis akibat stres.
pemuka agama, ideologi politik yang Kedua, proteksi, berupa kemampuan untuk
dianutnya, bahkan nalar awam memprediksi atau memperkirakan bentuk-
(baca: nilai dan norma sosial) yang terdapat bentuk penyesuaian diri yang diperlukan
dalam masyarakatnya, terdapat pula individu saat menghadapi situasi dan kondisi
sebagian indi- vidu yang memperolehnya di luar kendalinya. Ketiga, tantangan, yakni
lewat daya intelektual dan kreativitas pola pikir individu yang justru menempatkan
dikala menghadapi kesulitan itu sendiri. stres sebagai “kompetitor” atau pendorong
Bagi (Victor Frankl), pemaknaan guna meningkatkan kompetensi (Fine, 1991:
merupakan “ihwal terakhir dari kebebasan 463).
manusia”,
ia menunjukkan bagaimana individu Sementara itu, psikolog kenamaan
menginterpretasikan beragam tindakannya Amerika Serikat, Dr. Salvatore Maddi
(Fine, 1991: 465). (dalam Scott, 2009: 1-2), mengemukakan
tiga elemen utama yang terdapat dalam
Adapun kemampuan individu untuk dimensi resiliensi, yakni tantangan,
melakukan pemaknaan secara penuh komitmen dan kontrol. Menurut Maddi,
menurut Garmezy (dalam Fine, 1991: 463), individu yang resilien bakal melihat stres dan
dipengaruhi oleh berbagai elemen, antara berbagai perubahan yang terjadi dalam
lain; tingkat tempramental, kapasitas hidupnya sebagai sarana pembelajaran diri.
intelektual, rasa humor, empati, ketrampilan Bahkan, sebagian dari mereka justru
memecahkan masalah, serta keahlian mengharapkan datangnya tantangan guna
mengungkapkan perasaan (berekspresi). menguji mentalitas yang dimiliki. Uniknya
lagi bagi Maddi, individu yang resilien
Sementara Reivich dan Shatte (2002:36-
umumnya “kurang nyaman” terhadap status
47) mengemukakan serangkaian elemen
quo yang dimilikinya maupun pihak lain.
sebagai berikut; pengaturan emosi,
Elemen lain, yakni komitmen, menunjuk
pengendalian impuls/dorongan, optimisme,
pada kemampuan individu yang resilien
analisis
untuk terlibat aktif dalam berbagai persoalan
sebabakibat, efikasi/pemulihan diri, serta
yang tengah dihadapi. Hal tersebut
reaching out atau daya dobrak pemaknaan
menyiratkan kemampuannya untuk
individu. Pada gilirannya, satu atau dua
memahami, menginterpretasi, berikut turut
di antara berbagai elemen tersebutlah yang
serta mempengaruhi persoalan sembari tetap
nantinya berperan dalam proses penguatan
terlibat pada proses di dalamnya. Bagi
dimensi resiliensi individu mengingat musykil
individu yang resilien, konflik merupakan
bagi individu untuk memiliki keseluruhan
perihal wajar dalam keseharian, bahkan
elemen di atas. Menurut Reivich dan Shatte
mereka menganggapnya sebagai upaya
(2002:15), proses terbentuknya resiliensi
pencapaian pada kondisi yang lebih baik.
merupakan hasil dinamika antara hubungan
Elemen terakhir menurut Maddi, yakni
dunia internal dengan eksternal individu,
“kontrol”, ditunjukkan individu yang resilien
namun demikian, keduanya sepakat bahwa
melalui pilihannya untuk lebih menghadapi
dunia internal individu jauh lebih
kesulitan/ penderitaan hidup dan
menentukan (berpengaruh).
mempengaruhi “hasil akhir” ketimbang
Setidaknya, terdapat tiga bentuk ambruk dalam kepasifan berikut
resiliensi yang dihasilkan melalui proses di ketidakberdayaan.
atas. Pertama, kompensasi, yakni menunjuk
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

Melalui uraian singkat mengenai Serangkaian persoalan tersebut sama sekali


resiliensi di atas, dapatlah ditelisik lebih tak berhubungan dengan integrasi sosial
jauh bahwa resiliensi, sebagaimana yang terlampau kuat dalam masyarakat.
pengertiannya, berfungsi sebagai tameng Dalam hal ini, para pelaku melakukan
kala individu tengah dihadapkan pada tindakannya bukan dikarenakan paksaan
beragam persoalan hidup yang tak jarang atau dukungan masyarakat, melainkan lebih
menimbulkan stres, depresi, bahkan dikarenakan persoalannya sendiri dan sama
mengarahkan tindakannya pada hal-hal di sekali tak berhubungan dengan nilai
luar akal sehat. Dengan kata lain, resiliensi ataupun norma sosial. Tak dapat dipungkiri,
merupakan “jaring pengaman” individu dukungan sosial sebagai wadah berbagi atau
dari berbagai tindakan yang dapat sekadar sebagai tempat penghempas
merugikan diri sendiri maupun orang lain. kekalutan diri kiranya diperlukan bagi
Berita baiknya, penelitian seksama yang individu dengan dimensi resiliensi yang
telah dilakukan para pakar dalam beberapa rendah.
dekade terakhir memungkinkan resiliensi Ihwal copycat, sebagaimana ungkap psi-
untuk di- pelajari dan diterapkan secara kolog forensik Universitas Bina Nusantara
mandiri oleh individu serta khalayak luas. Reza Indragiri Amriel, bahwa pemberitaan
media massa mengenai “keberhasilan”
seseorang melakukan aksi bunuh diri
Beberapa Catatan Kasus Bunuh Diri justru dapat menginspirasi pihak lain untuk
Pemuda Tanah Air turut melakukannya. Sebagai misal,
maraknya aksi bunuh diri yang dilakukan di
Sebelum lebih jauh melangkah pada mal dan seolah sempat menjadi “tren”
urgensi dimensi resiliensi sebagai upaya beberapa waktu lalu. Tercatat, selama dua
memperkuat daya pegas (ketahanan) hari beturut-turut
pemuda dalam menghadapi berbagai di bulan Januari 2011 tanggal 3 4 terjadi tiga
rintangan dan penderitaan hidup, berikut kasus bunuh diri di mal, di mana ketiga
akan dipaparkan beberapa di antara pelaku melancarkan aksinya dengan terjun
banyaknya catatan kasus bunuh diri bebas dari ketinggian gedung (Soebijoto,
pemuda tanah air yang terjadi belakangan 2011).
ini (lihat Tabel). Pemaparan ini tak lain
guna menunjukkan betapa kasus Kiranya, cukup sulit untuk mengatakan
terkait merupakan realitas sosial yang jika peristiwa tersebut sama sekali tak
nyata keberadaannya berikut menjadi berkaitan dengan pengaruh media. Senada
persoalan yang kita hadapi bersama. dengan Reza Indragiri, Naoumi Sutikno,
psikolog Rumah Sakit Omni, menyatakan
Apabila berbagai kasus bunuh diri di bahwa publikasi media cetak maupun
atas ditelaah melalui kerangka kajian elektronik dengan visualisasi (foto/gambar)
sosiologis sebagaimana telah dipaparkan para korban bunuh diri hanya akan
sebelumnya, kiranya faktor lemahnya menginspirasi pihak lain untuk melakukan
integrasi sosial dan fenomena copycat tindakan serupa. Lebih jauh, ia menjelaskan
menjadi penyebab bahwa dewasa ini mal menjadi “lokasi
utama marak terjadinya aksi terkait dewasa favorit” untuk melancarkan aksi bunuh diri
ini. Ihwal lemahnya integrasi sosial, hal karena lokasinya yang mudah dijangkau dan
tersebut tercermin pada berbagai terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat.
persoalan para pelaku yang bersifat Di samping itu, terbersit harapan pada diri
personal (pribadi), antara lain akibat putus pelaku agar permasalahan hidup berikut
cinta, studi yang tak kunjung usai, serta tindakannya menjadi pembicaraan banyak
himpitan finansial. orang (menyita perhatian), dengan
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

melancarkan aksinya di mal maka peluang atas dirinya sendiri. Bagi Polanyi,
untuk terekspos media menjadi lebih besar penggalian yang sekadar berkutat pada alam
(Dai & Yer, 2011). sekitar (dunia eksternal) barulah mencapai
tingkat “intelegensi
binatang”. Oleh karenanya, pertanyaan yang
hadir kemudian adalah, bagaimanakah cara
Penetrasi Dimensi Resiliensi pada agar individu mampu melakukan penggalian
Pemuda atas dirinya sendiri (refleksi diri)?
Sebagaimana diungkap Dr. Maddi Faktual bahwa setiap manusia pernah
(dalam Scott, 2009: 2), hal pertama yang mengalami pengalaman eksistensial
dapat layaknya malu, kecewa, terkucil dan
dilakukan guna meningkatkan dimensi kehilangan yang teramat sangat (Lathief,
resiliensi pada diri adalah dengan 2010:103). Semua hal tersebut
mempelajarinya. Namun demikian, tidak sesungguhnya merupakan kesempatan bagi
dapat dipungkiri bahwa kajian mengenai individu untuk melakukan refleksi diri.
resiliensi masih cukup asing bagi para Rasa malu kita yang disebabkan oleh
pemuda tatapan mata seseorang mi- salnya,
(baca: mahasiswa) khususnya yang berada di mengandung pengertian agar kita
luar disiplin psikologi selaku pencetus melakukan penilaian atas diri sendiri.
konsep terkait, berbeda halnya dengan tradisi Begitu pula, kekecewaan akibat ditinggal
akademik Barat yang telah kekasih menimbulkan serangkaian tanya
mengadaptasikannya pada berbagai disiplin pada diri sendiri: Mengapa? Bagaimana
keilmuan (Ruhl, 2011: 1374). Oleh mungkin?. Disadari atau tidak, semua
karenanya, upaya lebih kiranya masih pengalaman tersebut membalikkan struktur
diperlukan guna mempromosikan dan dunia objektif menjadi subjektif, kita atau
menge- nalkan studi resiliensi pada publik individulah yang kemudian “disorot”.
akademik tanah air, khususnya dalam ranah
keilmuan sosial humaniora. Setidaknya, hal Lebih jauh, hal di atas tak lepas dari
tersebut sejalan dengan semangat muat- an kesadaran yang terjadi dalam
pengintegrasian ilmu sebagaimana aktivitas refleksi diri, yakni spontanitas
didengungkan akhir-akhir ini. impersonal yang lahir melalui ex-nihilo.
Dalam arti, berbagai kekosongan yang
menjangkiti diri manusia dan terjadi secara
Refleksi Diri dan Kemampuan Pemaknaan tiba-tiba (spontan) tersebutlah yang kemudian
secara Konstruktif justru membuat manusia untuk terus bergerak
(bertindak). Namun, sebelum individu
Refleksi diri, atau yang secara sederhana
melakukan sebentuk tindakan, terdapat
dapat diterjemahkan sebagai “pemahaman
ruang kosong antara peristiwa yang
men- dalam atas diri”, merupakan proses
dialaminya dengan tindakan yang
belajar yang berlangsung secara terus
dilakukannya kemudian. Faktual, ruang
menerus dalam upaya pembentukan dimensi
kosong tersebut berfungsi sebagai tempat me-
resiliensi pada diri individu. Terkait hal
lakukan interpretasi atau pemaknaan sehingga
tersebut, Michael Polanyi dalam The Study
of Man (2001:18) mengatakan bahwa menentukan bentuk bentuk tindakan yang
sering kali manusia jauh tak mengenal hadir kemudian (Palmer, 2003: 40 & 58-59).
dirinya ketimbang lingkungannya. Hal Dalam kaitannya dengan persoalan
tersebut disebabkan oleh terlampau pemuda di tanah air, diduga sebagian
“sibuknya” ia menggali pengetahuan tentang besar dari mereka pernah mengalami
alam sekitar, namun melupakan penggalian serangkaian pengalaman eksistensial seperti
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

di atas. Agaknya, dunia objektif memang sengaja menghindarkan anak-anaknya dari


telah bertransformasi pada dunia subjektif pengalaman kegagalan berikut kesulitan
kala mereka tengah mengalaminya, namun hidup. Bagi Reivich dan Shatte (2002: 113),
sayang banyak dari mereka kurang mampu kebiasaan tersebut justru merugikan proses
melakukan pemaknaan penuh secara pembentukan dimensi resiliensi. Pasalnya,
konstruktif. Hal tersebut diduga disebabkan anak selalu dikondisikan dalam “zona
oleh kurangnya stock of knowledge aman”, mereka tak pernah dilatih untuk
‘kapasitas intelek- tual’, rasa humor serta mengalami guncangan mental serta
kemampuan mengekspresikan diri. Di sisi mengatasinya secara mandiri. Karena berada
lain, salah satu karakter pemuda di “zona aman” tak dapat diharapkan terus
sebagaimana telah diutarakan jauh menerus, maka besar kemungkinan anak-
sebelumnya, yakni kecenderungan untuk anak tersebut bakal sulit bangkit kala
bergabung dengan teman-teman sejawatnya, menghadapi keterpurukan hidup di kemudian
kiranya menyebabkan mereka sedikit banyak hari. Terlebih, manusia memang selalu
lebih berjarak terhadap institusi agama, berada dalam kondisi “tak siap” kala
keluarga serta sosial, sedang berbagai berhadapan dengan berbagai hal mengerikan
tempat tersebut diyakini sebagai sumber dalam hidup sebagaimana diyakini studi
individu untuk memperoleh makna. resiliensi (Fine, 1991: 459-460).

Namun harus diakui, kemampuan Di samping sebagai muara pembentukan


individu dalam melakukan refleksi diri serta dimensi resiliensi, keluarga turut
pemaknaan penuh secara konstruktif acap ditempatkan sebagai “daya dukung”
kali berasal dari sumber yang samar, begitu resiliensi itu sendiri bagi individu. Dapatlah
pula dengan terbentuknya dimensi resiliensi dibayangkan bila mana terdapat pemuda
pada individu terkait berasal dari diri sendiri pengidap HIV/ AIDS atau pecandu
ataukah buah campur tangan pihak lain. narkoba yang sama sekali tak mendapat
Apabila individu tersebut memiliki kapasitas dukungan keluarganya, besar kemungkinan
intelektual yang mumpuni dikarenakan mereka bakal berpikir dan bertindak fatalis.
kegemarannya melahap buku semenjak Pemuda ODHA dapat seketika berpikir
lama, atau karena mengkultuskan seorang untuk mengakhiri hidupnya, sedang pemuda
tokoh yang resilien sehingga berpikir pemakai narkoba akan sulit menjalani masa
maupun bertindak layaknya tokoh tersebut, masa rehabilitasi atau justru kian larut
maka dapatlah di- katakan bahwa dimensi dalam candunya akibat ketiadaan perhatian
resiliensi yang dimilikinya merupakan buah sama sekali dari keluarga. Hal serupa
bentukannya sendiri. Sebaliknya, apabila ia berlaku pula bagi berbagai kasus pemuda
lebih banyak meminjam pemaknaan yang layaknya putus cinta, tak lulus dalam Ujian
bersumber dari lingkungan sekitar, maka Nasional (UN), serta mereka yang tengah
dimensi resiliensi- nya merupakan buah kesulitan menyelesaikan Tugas Akhir
campur tangan (bentukan) pihak lain. (skripsi) guna menyabet gelar sarjana.

Institusi Keluarga: Antara “Zona Penetrasi Dimensi Resiliensi


Aman”, Habiatus dan Pendiptaam melalui Budaya Pop
Dimensi Resiliensi
Sebagaimana diungkapkan Susan B. Fine
Seakan mengamini tesis mengenai (1991:466), budaya populer semisal film,
disfungsionalisasi institusi keluarga, studi musik maupun novel dapat pula digunakan
resiliensi meletakkan perhatian khusus sebagai sarana memperkuat dimensi
terhadap kebiasaan orang tua yang sejak dini resiliensi pada individu. Seolah menjadi
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

wacana tanding atas “efek Werther” yang cerita. Di sini, pembaca selalu berkeinginan
berasosiasi negatif terhadap audiens, untuk mengetahui kelanjutan alur cerita,
penggunaan budaya populer bagi resiliensi namun dalam rangkaiannya sering kali
berupaya untuk menggenjot dan memicu ditemui ketidak- lengkapan atau kekosongan
semangat hidup berikut ketahanan psikis para peran, pada celah-celah tersebutlah pembaca
audiens. Bahkan, upaya tersebut dapat pula mengambilalih peran yang belum terisi.
dilakukan dengan menginjeksikan hal-hal Sedangkan akomodasi menunjuk pada
yang bersifat hiperrealitas, fantasi atau kesenjangan harapan antara narasi yang
khayal dalam film maupun novel yang terdapat dalam teks dengan narasi yang
dirilis pada publik. diharapkan oleh pembaca. Dalam hal ini,
ketegangan (emosi) membaca muncul akibat
Di Indonesia belakangan ini cukup adanya berbagai ketidaksesuaian tersebut.
banyak novel yang menggambarkan
heroisme pemuda dalam mewujudkan cita Lebih jauh, besarnya potensi pengaruh
citanya. Bahkan, sebagian di antaranya media visual film terhadap audiens
telah diangkat ke layar lebar. Kisah dijelaskan oleh Bente dan Fromm
perjuangan Andrea Hirata yang tertuang (dalam Wirth & Schramm, 2005: 18)
dalam Tetralogi Laskar Pelangi, sukses melalui empat faktor sebagai berikut.
Raditya Dika sebagai penulis muda yang Pertama, personalisasi, yakni presentasi
terkisah dalam buku maupun film atau penyajian yang berfokus pada alur
Kambing Jantan, Ahmad Fuadi dengan cerita individu, di sini manusia kebanyakan
Negeri Lima Menara nya, hingga novel tak begitu penting keberadaannya.
fiksi karya Habiburrahman El Shirazy, Kedua, otentitas atau keaslian, cerita
Ayat-ayat Cinta dinilai cukup inspiratif mengenai orang-orang yang tak terkenal
bagi khalayak pembaca dan pemirsa. (orang biasa) dituturkan secara langsung
Munculnya rangkaian karya-karya tersebut oleh dirinya sendiri. Ketiga, intimasi, topik
ditengarai membawa arus positif bagi topik pribadi atau personal berikut aspek
penguatan dimensi resiliensi masyarakat hubungan interpersonal yang terdapat di
pada umumnya serta pemuda pada dalamnya diubah sehingga menjadi topik
khususnya. publik. Keempat, emosi, setiap tutur dan
Berkenaan dengan kuatnya pengaruh perilaku yang ada memang sengaja
literarur terhadap pembaca, Oatley ditujukan guna memancing emosi serta
(dalam Wirth & Schramm, 2005: 16-17) komentar audiens. Dari uraian singkat
menjelaskan bahwa hal tersebut tak lepas mengenai ampuhnya media dalam
dari keberadaan emosi internal dan mempengaruhi afeksi berikut perilaku
eksternal yang terdapat di dalamnya. individu tersebut, kiranya dapat
Emosi internal terbentuk kala pembaca dimanfaatkan bagi penguatan dimensi
masuk dan membenamkan diri dalam teks; resiliensi pada pemuda.
esensi utama dari proses tersebut adalah
aspek “penerimaan” dari pembaca terhadap
teks yang dibacanya. Melalui penerimaan
tersebut, pembaca mampu mengembangkan
perasaan dan bersimpati pada figur-figur
yang terdapat dalam teks. Di sisi lain,
emosi eksternal bagi Oatley, terbagi dalam
dua bentuk: asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi merupakan upaya mandiri yang
dilakukan pembaca untuk mengisi berbagai
kekosongan yang terdapat dalam alur
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

C. Penutup
Kesimpulan

Berpijak dari uraian di atas, penguatan dimensi resiliensi dapat menjadi salah satu
cara yang ditempuh untuk mereduksi tingginya angka bunuh diri pada pemuda di tanah air
dewasa ini. Konsep resiliensi yang menekankan pada ketahanan diri untuk beradaptasi
dengan berbagai penderitaan maupun kesulitan hidup, berikut kemampuan untuk bangkit
dan melawan mengatasinya, sesuai bagi kondisi kejiwaan pemuda yang mengalami
ambiguitas (kelabilan) dengan serba-serbi persoalan yang dihadapinya. Upaya dan strategi
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

untuk memperkuat dimensi resiliensi pada pemuda dapat dilakukan melalui berbagai
cara seperti refleksi diri, menggunakan institusi keluarga dan masyarakat, maupun
melalui budaya pop yang akrab dengan keseharian hidup pemuda. Namun demikian, hal
terpenting dan cara terbaik untuk memperkuat resiliensi pada pemuda adalah dengan
mempelajarinya secara mandiri. Di sini, pengayaan bentuk studi dan ragam analisis
mengenai resiliensi memiliki relevansi yang tinggi mengingat masih jarangnya telaah serius
mengenai konsep tersebut di tanah air.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Barker, C. (2009). Cultural Studies. Kreasi Wacana.


Harker, R. [. (2005). (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek. Kreasi Wacana.
Latief, S. I. (2010). Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme. Pustaka Pujangga.
Monks, F. J. (1985). Psikologi Perkembangan. Gadjah Mada University Press.
Palmer, D. D. (2003). Sarte untuk Pemula. Kanisius.
Polanyi, M. (2001). Kajian Tentang Manusia. Kanisius.
Revich, K. &. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for Overcoming Life's
Inevitable Obtacles. Broadway Books.
Samuel, H. (2010). Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran dan Warisan Bapak Sosiologi
Modern. Kepik Ungu.
Ahmad Bukhori, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi

Jurnal :

Bondora, J. T. (Fall 2005). The Impact of Suicidal Content in Popular Media on the Attitudes and
Behaviors of Adolescents. Praxis Journal, Vol. 5, pp. 5.
Fine, S. B. (1991). Resilience and Human Adaptability: Who Rises Above Adversity? American
Journal of Occupational Therapy, Ed. 45/1991, pp. 457-474.

Anda mungkin juga menyukai