Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL BEDSIDE TEACHING

“KARDIOVERSI DAN DEFIBRILASI”

Oleh :
KELOMPOK F

1. Bella Ihsanul Amal (2019.04.010)


2. Rizkiyatul Azkiyah Z (2019.04.066)
3. Maulana Ahmad B (2019.04.040)
4. Ni Made Esta M (2019.04.050)
5. Agnes Revita P (2019.04.002)
6. Ratna Sulistyowati (2018.04.076)
7. Farika Haryanti (2019.04.023)

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
2020
PROPOSAL BEDSIDE TEACHING
1. Pendahuluan
Serangan jantung biasanya merupakan kejadian akut dan sebagian besar disebabkan
oleh penyumbatan yang mencegah darah mengalir ke jantung atau otak. Penyebab utamanya
adalah timbunan lemak pada dinding pembuluh darah yang menyuplai hati atau otak, yang
dapat menyebabkan kerusakan atau komplikasi lebih lanjut seperti; miokard infark
(kematian sel jantung) hingga gagalnya otot jantung dalam mendapatkan suplai oksigen
yang dapat mengakibatkan kematian seseorang (Corwin, 2008).
Sebuah pemeriksaan yang lengkap akan terdiri dari penilaian kondisi pasien secara
umum dan sistem organ yang spesifik. Dalam prakteknya, yang dilakukan adalah cara
melakukan kardioversi dan defibrilasi.

2. Tujuan

1. Mengetahui definisi kardioversi dan defibrilasi


2. Memahami kardioversi dan defibrilasi
3. Mengetahui tentang Cara melakukan kardioversi dan defibrilasi

3. Sasaran
Pasien di Ruangan ICCU RSUD Blambangan Banyuwangi
4. Materi

1. Pengertian Definisi dari kardioversi dan defibrilasi


2. Tujuan kardioversi dan defibrilasi
3. Cara melakukan kardioversi dan defibrilasi

5. Metode.
Praktikum, Diskusi dan Bedside Teaching

6. Media
Persiapan Alat

7. Proses
Langkah-langkah yang diperlukan dalam Bedside Teaching adalah sebagai berikut:
PP Tahap Prapelaksanaan

Penetapan Pasien
Proposal

Persiapan pasien:
Informed consent
Hasi pengkajian/intervensi data

Apa yang menjadi masalah


Penyajian masalah Cross cek data yang ada
Apa yang menyebabkan masalah yang
tersebut
Bagaimana pendekatan (Proses Kep,
SOP)

Validitas data

Tahap implementasi
pada bed pasien Diskusi karu, PP, perawat
konselor

Tahap BST pada bed


pasien Analisa data

Masalah Teratasi Aplikasi hasil analisa dan


diskusi

7.1 Persiapan
a. Penetapan kasus minimal 1 hari sebelum waktu pelaksanaan bedside teaching
b. Pemberian informed consent kepada klien dan keluarga
7.2 Pelaksanaan BST
1. Penjelasan tentang klien oleh perawat primer dalam hal ini
penjelasan difokuskan pada masalah keperawatan dan rencana tindakan yang akan
dilaksanakan dan memiliki prioritas yang perlu didikusikan.
2. Diskusi antar anggota tim tentang kasus tersebut
3. Pemberi justifikasi oleh perawat primer atau perawat
konselor/manajer tetang masalah klien serta rencana tindakan yang akan dilakukan.
4. Tindakan keperawatan pada masalah prioritas yang telah ada akan
ditetapkan
7.3 Pasca BST
Mendikusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta menetapkan
tindakan yang perlu dilakukan

8. Waktu dan tempat


Hari / Tanggal : 8 Februari 2020
Waktu : -
Tempat : ICCU

9. Peran Masing-masing anggota tim


a. Peran perawat primer
- Menjelaskan data pasien yang mendukung masalah pasien
- Menjelaskan diagnosis keperawatan
- Menjelaskan intervensi yang dilakukan
- Menjelaskan hasil yang didapat
- Menjelaskan rasional dari tindakan yang diambil
- Menggali masalah-masalah yang belum terkaji

10. Kriteria Evaluasi.


a. Bagaimana koordinasi dan persiapan BST
b. Bagaimana peran perawat primer pada saat BST

11. Kegiatan Bedside Teaching


1. Tahapan Pra-BST
a. Preparation
b. Planning
c. Briefing : 4P 1R
1) Problem : masalah yang ditemukan pada klien
2) Practice : tindakan yang akan dilakukan terkait masalah klien
3) Preparation : persiapan alat, persiapan pasien, persiapan lingkungan
4) Procedure : prosedur pelaksanaan
5) Role : aturan yang disampaikan oleh pembimbing klinik
2. Round : fase kerja (Pelaksanaan) dan fase terminasi (evaluasi)
3. Post round : evaluasi dari pembimbing klinik terhadap tindakan yang dilakukan.

12. Penutup
Demikianlah proposal ini kami buat dengan sebenar-benarnya, kiranya dapat dijadikan
masukan dalam pengembangan dan pengaplikasian metode pembelajaran.
Banyuwangi, Februari 2020
Mengetahui,

Pembimbing Klinik Pembimbing Institusi,


(..........................................................) (.........................................................)

Mengetahui,
Kepala Ruang ICCU
RSUD Blambangan Banyuwangi

(...........................................................)
Lampiran Materi
DEFIBRILASI
1) Defibrilasi (Kejut Jantung)
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik
yang kuat dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang ditempatkan
pada permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi aktivitas listrik jantung
dan mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi
jaringan dan oksigenasi.
American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi diberikan
secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-pulse atau VF, yaitu 3 menit
atau kurang untuk setting rumah sakit dan dalam waktu 5 menit atau kurang dalam
setting luar rumah sakit. Defibrilasi dapat dilakukan diluar rumah sakit karena sekarang
ini sudah ada defibrillator yang bisa dioperasikan oleh orang awam yang disebut
automatic external defibrillation (AED).
AED adalah defibrillator yang menggunakan system computer yang dapat
menganalisa irama jantung, mengisi tingkat energi yang sesuai dan mampu memberikan
petunjuk bagi penolong dengan memberikan petunjuk secara visual untuk peletakan
elektroda.

a. Indikasi defibrilasi
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama (rekomendasi class I) yang
ditujukan pada:
 Ventrikel fibrilasi (VF)
 Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse)
 VT polymorphyc yang tidak stabil
Defibrilasi harus dilakukan sedini mungkin dengan alasan :
1. Irama yang didapat pada permulaan henti jantung umumnya adalah ventrikel fibrilasi
(VF)
2. Pengobatan yang paling efektif untuk ventrikel fibrilasi adalah defibrilasi.
3. Makin lambat defibrilasi dilakukan, makin kurang kemungkinan keberhasilannya.
4. Ventrikel fibrilasi cenderung untuk berubah menjadi asistol dalam waktu beberapa
menit.
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan defibrilasi
1. Lamanya VF Kesuksesan defibrilasi tergantung dari status metabolisme miokards
dan jumlah miokard yang rusak selama periode hipoksia karena arrest. Semakin
lama waktu yang digunakan untuk memulai defibrilasi maka semakin banyak
persediaan ATP yang digunakan miokard untuk bergetar sehingga menyebabkan
jantung memakai semua tenaga sampai habis dan keadan ini akan membuat jantung
menjadi kelelahan.
2. Keadaan dan kondisi miokard Hipoksia, asidosis, gangguan elektrik, hipotermi dan
penyakit dasar jantung yang berat menjadi penyulit bagi pemulihan aktivitas
kontraksi jantung.
3. besarnya jantung Makin besar jantung, makin besar energi yang dibutuhkan untuk
defibrilasi.
4. Ukuran pedal Ukuran diameter pedal dewasa yang dianjurkan adalah 8,5-12 cm dan
untuk anak-anak berkisar 4,5-4,8 cm. ukuran pedal terlalu besar membuat tidak
semua permukaan pedal menempel pada dinding dada dan menyebabkan banyak
arus yang tidak sampai ke jantung. Untuk itu, penggunaan pedal pada anak-anak bisa
disesuaikan dengan ukuran tubuhnya.
5. Letak pedal Hal yang sangat penting tetapi sering kali diabaikan adalah peletakan
pedal pada dinding dada saat dilakukan defibrilasi. Pedal atau pad harus diletakkan
pada posisi yang tepat yang memungkinkan penyabaran arus listrik kesemua arah
jantung. - posisi sternal, pedal diletakkan dibagian kanan atas sternum dibawah
klavikula - pedal apeks diletakkan disebelah kiri papilla mamae digaris midaksilaris.
Pada wanita, posisi pedal apeks ada di spasi interkosta 5-6 pada posisi mid-axilaris.
Pada pasien yang terpasang pacemaker permanent, harus dihindari peletakan padel
diatas generator pacemaker, geser pedal setidaknya 1 inchi dari tempat itu.
Defibrilasi langsung ke generator pacemaker dapat menyebabkan malfungsi pace
maker secara temporary atau permanent. Setelah dilakukan defibrilasi atau
kardioversi, PPM harus dicek ambang pacing dan sensinya serta dilihat apakah alat
masih bekerja sesuai dengan setting program. Hal yang harus diperhatikan pada saat
melakukan defibrilasi adalah posisi pedal atau pads, keduanya tidak boleh saling
menyentuh atau harus benar-benar terpisah.
6. Energi Pada defibrilator monofasik energi yang diberikan 360 joule, sedangkan pada
defibrilator bifasik 200J. Untuk anak-anak, energi yang diperlukan adalah 1-2
joule/kg BB, maksimal 3 j/kg BB
7. Jelli/Gel Saat menggunakan pedal, jangan lupa memberikan jelli khusus untuk
defibrilasi atau kardioversi pada pedal. Jelli berfungai sebagai media konduksi untuk
penghantar arus listrik. Tujuan dari pemberian gel adalah untuk mengurangi
resistensi transtorakal dan mencegah luka bakar pasien. Yang harus diperhatikan juga
adalah jangan sampai gel tersebut teroles dikulit diantara sternum dan apeks, atau
jelli dari salah satu atau ekdua pedal mengalir menghubungkan keduanya pada saat
ditekan ke dada pasien. Jika ini terjadi akan mengakibatkan arus hanya mengalir
dipermukaan dinding dada, aliran arus ke jantung akan missing memancarkan bunga
api yang menyebabkan sengatan listrik pasien pada pasien dan alat-alat operator.
2) Komplikasi defibrilasi
a. Henti jantung-nafas dan kematian
b. Anoxia cerebral sampai dengan kematian otak
c. Gagal nafas
d. Asistole
e. Luka bakar
f. Hipotensi
g. Disfungsi pace-maker

3) Persiapan Peralatan
1. Defibrilator
Defibrilator adalah alat yang dapat memberikan shock listrik dan dapat
menyebabkan depolarisasi sementara dari jantung yang denyutnya tidak teratur,
sehingga memungkinkan timbulnya kembali aktifitas listrik jantung yang
terkoordinir. Enerji dialirkan melalui suatu elektrode yang disebut paddle.
Defibrilator diklasifikasikan menurut 2 tipe bentuk gelombangnya yaitu monophasic
dan biphasic. Defibrilator monophasic adalah tipe defibrilator yang pertama kali
diperkenalkan, defibrilator biphasic adalah defibrilator yang digunakan pada
defibrilator manual yang banyak dipasarkan saat ini.
2. Jeli
Jeli digunakan untuk mengurangi tahanan dada dan membantu menghantarkan aliran
listrik ke jantung, jeli dioleskan pada kedua paddle. Energi
Untuk VF dan VT tanpa nadi, energi awal 360 joule dengan menggunakan
monophasic deflbrilator, dapat diulang tiap 2 menit dengan energi yang sama, jika
menggunakan biphasic deflbrilator energi yang diperlukan berkisar antara 120 - 200
joule.
4) Prosedur defibrilasi
1. Nyalakan deflbrilator
2. Tentukan enerji yang diperlukan dengan cara memutar atau menggeser tombol
enerji
3. Paddle diberi jeli secukupnya.
4. Letakkan paddle dengan posisi paddle apex diletakkan pada apeks jantung dan
paddle sternum diletakkan pada garis sternal kanan di bawah klavikula.
5. Isi (Charge) enerji, tunggu sampai enerji terisi penuh, untuk mengetahui enerji
sudah penuh, banyak macamnya tergantung dari defibrilator yang dipakai, ada
yang memberi tanda dengan menunjukkan angka joule yang diset, ada pula yang
memberi tanda dengan bunyi bahkan ada juga yang memberi tanda dengan nyala
lampu.
6. Jika enerji sudah penuh, beri aba-aba dengan suara keras dan jelas agar tidak ada
lagi anggota tim yang masih ada kontak dengan pasien atau korban, termasuk
juga yang mengoperatorkan defibrilator, sebagai contoh:
"Enerji siap "
"Saya siap "
"Tim lain siap"
7. Kaji ulang layar monitor defibrillator, pastikan irama masih VF/VT tanda nadi,
pastikan enerji sesuai dengan yang diset, dan pastikan modus yang dipakai adalah
asinkron, jika semua benar, berikan enerji tersebut dengan cara menekan kedua
tombol discharge pada kedua paddle. Pastikan paddle menempel dengan baik
pada dada pasien (beban tekanan pada paddle kira-kira 10 kg).
8. Kaji ulang di layar monitor defibrilator apakah irama berubah atau tetap sama
scperti sebelum dilakukan defibrilasi, jika berubah cek nadi untuk menentukan
perlu tidaknya dilakukan RJP, jika tidak berubah lakukan RJP untuk selanjutnya
lakukan survey kedua.
5) Automated External Defibrilator (AED) AED adalah sebuah defibrilator yang bekerja
secara komputer yang dapat :
1. Menganalisa irama jantung seorang korban yang mengalami henti jantung.
2. Mengenal irama yang dapat dilakukan tindakan defibrilasi ( shock)
3. Memberikan petunjuk pada operator ( dengan memperdengarkan suara atau
dengan indikator cahaya)
6) AED digunakan jika korban mengalami henti jantung :
1. Tidak berespon
2. Tidak bernafas
3. Nadi tidak teraba atau tanda - tanda sirkulasi lain
7) Elektroda adhesif ditempatkan pada dada korban dan disambungkan ke mesin AED,
paddle elektroda mempunyai 2 fungsi yaitu :
1. Menangkap sinyal listrik jantung dan mengirimkan sinyal tersebut ke computer
2. Memberikan shock melalui elektroda jika terdapat indikasi.
4) Persiapan Pasien
a) Pastikan pasien dan atau keluarga mengerti prosedur yang akan dilakukan
b) Letakkan pasien diatas papan resusitasi pada posisi supine
c) Jauhkan barang-barang yang tersebut dari bahan metal dan air disekitar pasien
d) Lepaskan gigi palsu atau protesa lain yang dikenakan pasien untuk mencegah
obstruksi jalan nafas
e) Lakukan RKP secepatnya jika alat-alat defibrillator belum siap untuk
mempertahankan cardiac output yang akan mencegah kerusakan organ dan jaringan
yang irreversible.
f) Berikan oksigen dengan face masker untuk mempertahankan oksigenasi tetap
adekuat yang akan mengurangi komplikasi pada jantung dan otak
g) Pastikan mode defibrillator pada posisi asyncrone
h) Matikan pace maker (TPM) jika terpasang.

5) Prosedur Defibrilasi
a) Oleskan jelly pada pedal secara merata
b) Pastikan posisi kabel defibrillator pada posisi yang bisa menjangkau sampai ke
pasien
c) Nyalakan perekaman EKG agar mencetak gambar EKG selama pelaksanaan
defibrilasi
d) Letakkan pedal pada posisi apeks dan sternum
e) Charge pedal sesuai energi yang diinginkan (360 joule)
f) Pastikan semua clear atau tidak ada yang kontak dengan pasien, bed dan peralatan
pada hitungan ketiga (untuk memastika jangan lupa lihat posisi semua personal
penolong)
g) Pastikan kembali gambaran EKG adalah VT atau VF non-pulse
h) Tekan tombol pada kedua pedal sambil menekannya di dinding dada pasien, jangan
langsung diangkat, tunggu sampai semua energi listrik dilepaskan.
i) Nilai gambaran EKG dan kaji denyut nadi karotis
j) Jika tidak berhasil, langsung charge pedal dengan energi 360 joule dan ulangi
langkah 4-9
k) jika kejutan kedua tidak berhasil, lakukan tahapan ACLS berikutnya
l) Bersihkan jelly pada pedal dan pasien

6) Monitoring Pasien Setelah Defibrilasi


a) Evaluasi status neurology. Orientasikan klien terhadap orang, ruang, dan waktu
b) Monitor status pulmonary (RR, saturasi O2)
c) Monitor status kardiovaskuler (TD, HR, Ritme) setiap 15 menit
d) Monitor EKG
e) Mulai berikan obat anti disritmia intravena sesuai dengan anjuran dokter f. Kaji
apakah ada kulit yang terbakar
f) Monitor elektrolit (Na. K, Cl)
7) Dokumentasi dan laporan setelah tindakan
a) Print out EKG sebelum, selama dan sesudah defibrilasi
b) Status neurology, respirasi dan kardioversi sebelum dan sesudah defibrilasi
c) Energi yang digunakan untuk defibrilasi
d) Semua hasil yang tidak diinginkan dan intervensi yang telah diberikan
KARDIOVERSI

1) Kardioversi

Kardioversi ialah suatu tindakan elektif atau emergensi untuk mengobati


takiaritmia dimana diberikan aliran listrik, biasanya dengan energi yang rendah
dan disinkronkan dengan gelombang R, dimana aliran listrik diberikan pada
puncak gelombang R. Kardioversi secara elektrik dilakukan dengan DC (direct
current) counter shock yang synchronized. Direct current (DC) counter shock
ialah impuls listrik energi tinggi yang diberikan melalui dada (ke jantung) untuk
waktu singkat. Direct current (DC) counter shock dilakukan dengan alat
defibrilator.

2) Indikasi Kardioversi

Adapun indikasi dilakukannya kardioversi antara lain sebagai berikut:

1. Fibrilasi ventrikel.

2. Takikardia ventrikel, bila pengobatan medikamentosa yang adekuat tidak berhasil

3. Ventrikel Takikardi

4. Supra Ventrikel Takikardi

5. Atrial flutter

6. Atrial Fibrilasi

3) Alat yang dipergunakan

1. Defibrilator yang mempunyai modus sinkron

2. Jeli

3. Troli emergensi, terutama alat bantu napas

4. Obat-obat analgetik dan sedative

5. Elektrode EKG

4) Energi
Enerji awal untuk SVT dan Atrial Flutter adalah 50 joule, apabila tidak berhasil enerji
dapat dinaikan menjadi 100 joule, 200 joule, 300 joule dan 360 joule.
Untuk VT monomorphic dan Atrial Fibrilasi, enerji awal adalah 100 jule dan dapat
dinaikan sampai 360 joule. Sedangkan untuk VT polymorphic besarnya energi dan
modus yang dipakai sama dengan yang digunakan pada tindakan defibrilasi

4) Prosedur Kardioversi Listrik

Sebelum dilakukan tindakan kerdioversi secara elektif, dilakukan


pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan pemeriksaan EKG lengkap. Pasien
sebaiknya dalam keadaan puasa selama 6-12 jam dan tidak ada tanda-tanda
intoksikasi obat seperti digitalis. Pasien juga dipantau tekanan darah, irama
jantung dan saturasi oksigen dengan pulse oxymeter. Setelah diberikan obat
sedatif secara intravena.
Paddle pertama diberi jelly secukupnya dan diletakkan di dada bagian depan
sedikit sebelah kanan sternum di sela iga III, paddle kedua setelah diberi jelly diletakkan
di sebelah kiri apeks kordis; alat defibrilator dinyalakan dan dipilih
tingkat energi yang ditentukan, alat untuk sinkronisasi gelombang R juga
dinyalakan lalu kedua paddle diberi tekanan yang cukup dan alat dinyalakan
dengan energi yang dibutuhkan, misalnya untuk fluter dimulai dengan 50 Joule
sedangkan untuk fibrilasi atrial dimulai 100 Joule dan untuk fibrilasi ventrikel
diberikan energi 200 Joule. Bila belum berhasil dinaikkan menjadi 300 Joule
sampai 400 Joule. Pasien yang menderita cardiac arrest paling sedikit harus
dicoba 3 kali, sebagai awal tindakan resusitasi. Pemberian shock listrik yang
disinkronkan pada komplek QRS atau pada puncak gelombang R, biasanya
dipakai pada semua kardioversi secara elektif kecuali pada fibrilasi ventrikel atau
fluter atau takikardia ventrikel yang sangat cepat dan keadaan hemodinamik
pasien kurang baik. Pada waktu dilakukan shock biasanya terjadi spasme otot
dada dan juga otot lengan.

5) Hasil

Kardioversi dapat mengembalikan irama sinus sampai 95%, tergantung


tipe takiaritmia. Tetapi kadang-kadang gangguan irama timbul lagi kurang dari 12
bulan. Oleh karena itu mempertahankan irama sinus perlu diperhatikan dengan
memperbaiki kelainan jantung yang ada dan memberikan obat anti aritmia yang
sesuai. Bila irama sinus sudah kembali maka atrium kiri dapat mengecil dan
kapasitas fungsional akan menjadi lebih baik.

6) Komplikasi

Aritmia dapat timbul sesudah kardioversi secara listrik karena sinkronisasi


terhadap gelombang R tidak cukup sehingga shock listrik terjadi pada segmen ST
atau gelombang T dan dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel (dalam hal ini dapat
dilakukan DC countershock sekali lagi). Juga dapat timbul bradiaritmia atau
asistol sehingga perlu disiapkan obat atropin dan pacu jantung sementara.
Peristiwa tromboemboli dilaporkan terjadi 1-3% pada pasien fibrilasi atrial kronik
yang dikonversi menjadi irama sinus, oleh karena itu pada pasien dengan fibrilasi
atrial yang sudah lebih dari 2-3 hari sebaiknya diberi antikoagulan selama 2
minggu sebelum dilakukan tindakan kardioversi. Hal ini terutama untuk pasien
dengan stenosis mitral dengan atrium kiri yang membesar dan terjadi fibrilasi
atrial yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad H. Adie. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam: (Harrison's Principles


of Internal Medicine); Volume 1. Surabaya: EGC. hlm. 229. ISBN 9794484547.

Behrman Klirgman Arvin. Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: EGC.


hlm. 326. ISBN 9794484644.

Mengenal Hidup Jantung Dasar 2". Diakses tanggal 16 Juni 2014.


Gabriel, J.F. (1996). FisikaKedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai