Disusun Oleh:
RONDE KEPERAWATAN
Nama :
Umur :
Alamat :
Nama :
Umur :
Alamat :
Ruang :
No. RM :
( .............................................) ( .............................................)
LEMBAR PENGESAHAN
Disetujui oleh :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ronde keperawatan merupakan suatu proses interaksi antara pengajar dan
perawat atau mahasiswa perawat dimana terjadi proses pembelajaran. Ronde
keperawatan dilakukan oleh pengajar atau mahasiswa perawat dengan anggota
sifatnya atau mahasiswa untuk pemahaman yang jelas tentang penyakit dan
efek perawatan untuk setiap pasien (Clement, 2011).
Ronde keperawatan adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi
masalah keperawatan pasien yang dilakukan oleh perawat disamping
melibatkan pasien untuk membahas dan melaksanakan asuhan keperawatan.
Pada kasus tertentu harus dilakukan oleh perawat primer dan atau konselor,
kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga seluruh anggota tim
kesehatan (Nursalam, 2009).
b. Tujuan Khusus
1. Menumbuhkan cara berfikir kritis (Problem-Based Learning PBL)
2. Menumbuhkan pemikiran bahwa tindakan keperawatan berasal
dari masalah klien.
3. Meningkatkan pola pikir sistematis
4. Meningkatkan validitas data klien
5. Menilai kemampuan menentukan diagnosis keperawatan
6. Meningkatkan kemampuan membuat justifikasi, menilai hasil
kerja, dan memodifikasi rencana asuhan keperawatan (renpra)
Tahap pra………………………. PP
PENETAPAN PASIEN
PERSIAPAN PASIEN :
o Informed consent
o Hasil pengkajian/validasi
data
Tahap Pelaksanaan
dinurse station………….PENYAJIAN MASALAH Apa diagnosis
MASLA keperawatan
Apa data yang
mendukung
Bagaimana intervensi
yang dilakukan ?
Apa hambatan yang
Tahap pelaksanaan di Kamar pasien
VALIDASI DATA di
tempat tidur pasien
Diskusi PP
Konselor, KARU
Lanjutan - diskusi
di nurse station
Keterangan
1. Pra Ronde
a. Menentukan kasus dan topik (masalah yang tidak teratasi dan
masalah yang langka)
b. Menentukan tim ronde
c. Mencari sumber atau literature
d. Membuat proporsal
e. Mempersiapkan pasien: Informed concernt dan pengkajian
f.Diskusi: Apakah diagnosis keperawatan?; Apa data yang mendukung?;
Bagaimana intervensi yang sudah dilakukan?; dan Apa hambatan yang
ditemukan selama perawatan?
2. Pelaksanaan Ronde
a. Penjelasan tentang pasien oleh perawat primer yang difokuskan
pada masalah keperawatan dan rencana tindakan yang akan dilaksanakan
dan atau telah dilaksanakan serta memilih prioritas yang perlu didiskusikan
b. Diskusi antar anggota tim tentang kasus tersebut
c. Pemberian justifikasi oleh perawat primer atau konselor atau
kepala ruangan tentang masalah pasien serta rencana tindakan yang akan
dilakukan
3. Pasca Ronde
a. Evaluasi, revisi dan perbaikan.
Kesimpulan dan rekomendasi penegakkan diagnosis; intervensi
keperawatan selanjutnya
Close, A., & Castledine, G. (2005). Clinical nursing rounds part 1: Matrons
rounds. Britsh Journal of Nursing.Vol 14, No 15.
Close, A., & Castledine, G. (2005). Clinical nursing rounds part 2: Nurse
management rounds. Britsh Journal of Nursing.Vol 14, No 16.
Close, A., & Castledine, G. (2005). Clinical nursing rounds part : Teaching rounds
for nurses. Britsh Journal of Nursing.Vol 14, No 18.
Aitken, L., Burmeister E., Clayton S., Dalais C., & Gardner G (2010). The
impact of nursing rounds on the practice environment & nurse satisfaction in
intensive care: pre-test post-test comparative study. International Journal of
Nursing Studies. 48 (2011) 918-925.BAB II
RENCANA PELAKSANAAN RONDE KEPARAWATAN PADA PASIEN
PADA AN. M DENGAN MASALAH KEPERAWATAN RESIKO KEJANG
BERULANG
DI RUANG EMPU TANTULAR RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
Waktu : 60 menit
A. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menyelesaikan masalah pasien yang belum teratasi, yaitu resiko infeksi
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi masalah yang belum teratasi
b. Mendiskusikan penyelesaian masalah dengan perawat primer, tim
kesehatan lain
c. Menemukan alasan ilmiah terhadap masalah pasien
d. Merumuskan intervensi keperawatan yang tepat sesuai
masalahpasien
B. Sasaran
Pasien An. M Usia: 2,9 tahun yang di rawat di kamar observasi Ruang Empu
Tantular RSUD Kanjuruhan Kepanjen
C. Materi
Terlampir
D. Metode
Diskusi
E. Media
1. Dokumen / Status Pasien
2. Sarana Diskusi : Kertas, Bulpoin
3. Materi yang disampaikan secara lisan
F. Kegiatan Ronde Keperawatan
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang
demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan,
yang berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi sistem
saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan dengan
kejang simptomatik lainnya. Definisi berdasarkan konsensus tatalaksana
kejang demam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia/IDAI, kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam (febris convulsion/stuip/step) yaitu kejang yang timbul
pada waktu demam yang tidak di sebabkan oleh proses di dalam kepala (otak:
seperti meningitis atau radang selaput otak, ensifilitis atau radang otak) tetapi
diluar kepala misalnya karena ada nya infeksi di saluran pernapasan, telinga
atau infeksi di saluran pencernaan. Biasanya dialami anak usia 6 bulan sampai
5 tahun. Bila anak sering kejang, utamanya dibawah 6 bulan, kemungkinan
besar mengalami epilepsy. Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi
karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38) (Sujono Riyadi, 2013).
B. ETIOLOGI
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran
kemih.
Selain demam yang disebabkan oleh berbagai sebab, faktor lain yang
berperan dalam etilogi kejang demam, yaitu usia, riwayat keluarga, faktor
prenatal (usia saat ibu hami, riwayat pre eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara,
pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia
kehamilan, partus lama, cara lahir), dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik,
trauma kepala).
1. Demam
Demam terjadi apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas
37,80C aksila atau diatas 38,3 0C rektal. Demam dapat disebabkan oleh
berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam
merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Demam disebabkan
oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang
demam.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Amalia dkk pada tahun 2013
didapatkan hasil bahwa 97,3% anak yang mengalami kejang demam memiliki
suhu lebih dari 37,8 C dan sebanyak 2,7 % anak mengalami kejang demam
0
bangkitan kejang demam terjadi rata-rata pada kenaikan suhu berkisar 38,9 C 0
sebanyak 11% penderita dan sebanyak 20% penderita kejang demam terjadi
pada suhu tubuh diatas 40 C. Dalam teori Kharis juga menyatakan bahwa
0
2. Usia
Pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neuron lebih
tinggi dibandingkan yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai
develommental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih
dominan dibandingkan inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara
eksitator dan inhibitor. Anak yang mendapatkan serangan bangkitan kejang
pada usia awal develommental window mempuyai waktu lebih lama fase
eksitabilitas neural di bandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang
demam pada usia akhir masa development window. Apabila anak mengalami
stimulasi berupa demam pada otak fase ekstabilitas akan mudah terjadi
bangkitan kejang developmental window merupakan masa perkembangan
otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia 2 tahun. Sehingga anak
yang dibawah umur 24 bulan mempunyai resiko mengalami kejadian kejang
demam.
Arnold (2000) dalam penelitiannya mengidentifikasikan bahwa
sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam, terjadi dalam satu
kelompok usia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun dengan demam tanpa
infeksi intrakranial, sebagian besar (90%) kasus terjadi pada anak antara usia
6 bulan sampai dengan 5 tahun dengan kejadian paling sering pada anak usia
18 sampai 24 bulan. Faktor resiko anak mengalami kejang demam berulang
pada usia kurang dari 1 tahun sebanyak 50%, dan pada anak usia lebih dari 3
tahun sebanyak 20%(28). Pada penelitian yang dilakukan oleh Fuadi dkk,
juga menyebutkan bahwa usia anak <2 tahun memiliki faktor resiko lebih
tinggi mengalami kejang demam.
3. Riwayat Keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik dengan kejang
demam, tetapi nampaknya perwarisan gen secara autosomal dominan paling
banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan di perkirakan sekitar 60%
-80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah
menderita kejang demam mempunyai risiko untuk bangkitan kejang demam
sebesar 20% - 22%. Apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai
riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan
kejang demam meningkat menjadi 59 - 64%, tetapi sebaliknya apabila kedua
orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka
risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih
banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7%.
Penelitian yang dilakukan oleh Talebian et.al yang memperoleh hasil
bahwa sebesar 42,1% kejadian kejang demam pada bayi disebabkan oleh
riwayat keluarga yang juga positif kejang demam. Penelitian yang dilakukan
oleh Amalia et.al juga didapatkan hasil sebanyak 81,3% anak dengan kejang
demam meiliki riwayat dengan kejang demam.
4. BBLR
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat
badanya saat lahir kurang dari 2.500 gram ( sampai dengan 2.499 gram ).
Menurut Fuadi, 2010 BBLR dapat menyebabkan afiksia atau iskemia otak
dan pendarahan intraventrikuler, iskemia otak dapat menyebabkan kejang.
Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu
hipoglikemia dan hipokalesemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan
otak pada perinatal, adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada
perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi
dengan BBLR kurang 2500 gram dapat terjadi pendarahan intrakranial yang
mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi dengan
manisfestasi kejang.
Dalam penelitian Amalia et.al didapatkan hasil bahwa 70,3% anak
dengan kejang demam memiliki riwayat BBLR dan sebanyak 29,7% tidak
pernah mengalami trauma persalinan. Dengan demikian berat badan lahir
rendah mempunyai resiko dengan kejadian kejang demam. Sejalan dengan
penelitian Forsgren L, Sidenvall R, Blomquist HM, mendapatkan bahwa bayi
lahir dengan berat badan kurang 2500 gram berisiko 3,4%, sedangkan bayi
lahir berat badan di atas 2500 gram berisiko 2,3% untuk timbul bangkitan
kejang demam. Bayi lahir kurang bulan (preterm) berisiko 3 kali untuk terjadi
kejang demam dibanding bayi lahir aterm.
5. Trauma Persalinan
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau
pendarahan intracranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan
prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan
lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada
asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak.
Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang baik pada stadium akut
dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan
lamanya asfiksia berlangsung. Persalinan sukar dan lama juga
meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin.
Manifestasi klinik dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.
Penelitian Kharis di RSUP. Dr. Kariadi Semarang menunjukkan
bahwa bayi yang lahir premature lebih besar pada kelompok kasus sebesar
21 % dibanding pada kelompok kontrol sebesar 14%. Didapatkan juga
bahwa anak yang lahir premature mempunyai risiko untuk menderita
kejang demam 4,9 kali lebih besar dibanding anak yang lahir tidak
premature. Bayi yang lahir premature perkembangan organ – organ
tubuhnya kurang sempurna sehingga belum dapat berfungsi dengan
sempurna. Bayi premature dapat mengalami trauma lahir sehingga terjadi
pendarahan intraventrikuler, keadaan ini akan menimbulkan gangguan
struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.
C. KLASIFIKASI
Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks.
1. Kejang demam sederhana berlangsung singkat (kurang dari 15
menit), tonik-klonik. dan terjadi kurang dari 24 jam, tanpa gambaran fokal
dan pulih dengan spontan. Kejang demam sederhana merupakan 80% di
antara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks biasanya menunjukkan gambaran kejang
fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului kejang
parsial. Durasinya lebih dari 15 menit dan berulang atau berulang lebih
dari 2 kali, dan di antara bangkitan kejang kondisi anak tidak sadarkan
diri. Kejang lama terjadi pada sekitar 8% kejang demam. Kejang fokal
adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang
parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% kejang
demam lebih dari 1 kali kejang selama 24 jam. Kejang lama adalah kejang
yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
D. EPIDEMIOLOGI
Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering, biasanya
merupakan kejadian tunggal dan tidak berbahaya. Berdasarkan studi populasi,
angka kejadian kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa 2–7%,
sedangkan di Jepang 9–10%. Dua puluh satu persen kejang demam durasinya
kurang dari 1 jam, 57% terjadi antara 1-24 jam berlangsungnya demam, dan
22% lebih dari 24 jam.2 Sekitar 30% pasien akan mengalami kejang demam
berulang dan kemudian meningkat menjadi 50% jika kejang pertama terjadi
usia kurang dari 1 tahun. Sejumlah 9–35% kejang demam pertama kali adalah
kompleks, 25% kejang demam kompleks tersebut berkembang ke arah
epilepsy.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula
darah.
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis
adalah 0,6–6,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena
itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan
b. Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan
c. Bayi >18 bulan – tidak rutin
Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas, misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia
lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
4. Pencitraan
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat
darurat. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi
baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray
kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan (CT-scan) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi
seperti:
a. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
b. Paresis nervus VI
c. Papiledema
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Saat Kejang
Pada kebanyakan kasus, biasanya kejang demam berlangsung singkat
dan saat pasien datang kejang sudah berhenti. Bila datang dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam
intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, dengan cara pemberian secara perlahan
dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan dosis maksimal
yang dapat diberikan adalah 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan
oleh orang tua atau jika kejang terjadi di rumah adalah diazepam rektal
0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 10 kg dan diazepam rektal 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. Jika anak di bawah usia 3 tahun dapat diberi diazepam
rektal 5 mg dan untuk anak di atas usia 3 tahun diberi diazepam rektal 7,5
mg. Jika kejang belum berhenti, dapat diulang dengan cara dan dosis yang
sama dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali pemberian diazepam
rektal masih tetap kejang, dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka diberikan phenytoin
intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti, maka
dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis
awal. Jika dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka pasien harus
dirawat di ruang rawat intensif. Jika kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung apakah kejang demam sederhana atau kompleks
dan faktor risikonya.
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Inisial klien : Pendidikan Ayah :
Jenis Kelamin : Pendidikan Ibu :
Umur : Agama :
Anak ke : Suku/Bangsa :
Nama Ayah : Tanggal masuk rumah sakit :
Nama Ibu : Diagnosis Medis : Febris konvulsi
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
1. Keluhan Utama : biasanya anak demam tinggi
2. Lama Keluhan :
3. Upaya untuk mengatasi :
b. Riwayat kesehatan sebelumnya
1. Prenatal : pemeriksaan kehamilan, imunasasi, proses kelahiran, dsb
2. Operasi :
3. Alergi :
4. Pola kebiasaan : makan dan minum
5. Tumbuh kembang
c. Riwayat kesehatan keluarga
1. Penyakit keturunan
2. Komposisi keluarga
3. Pemeriksaan Fisik
a. Head to toe
b. Keadaan umum : biasanya anak mengalami kelemahan
c. Kesadaran : biasanya kesadaran anak somnolent, apatis atau sopor
d. GCS
e. Tanda-tanda vital :
Suhu, RR biasanya mengalami peningkatan
SaO2 biasanya menurun
4. Pola Kebutuhan Dasar
1) Aktivitas atau Istirahat
Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktivitas, bekerja, dan lain-lain
2) Sirkulasi
Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sinosis
Posiktal : Tanda-tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi
dan pernafasan
3) Integritas Ego
Stressor eksternal atau internal yang berhubungan dengan keadaan dan
atau penanganan
Peka rangsangan : pernafasan tidak ada harapan atau tidak berdaya
Perubahan dalam berhubungan
4) Eliminasi
Inkontinensia epirodik
5) Makanan atau cairan
Sensitivitas terhadap makanan, mual atau muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang
6) Neurosensori
Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsan, pusing riwayat
trauma kepala, anoreksia, dan infeksi serebal
Adanya area (rasangan visual, auditoris, area halusinasi)
Posiktal : Kelamaan, nyeri otot, area paratise atau paralisis
7) Kenyamanan
Sakit kepala, nyeri otot, (punggung pada periode posiktal)
Nyeri abnormal proksimal selama fase iktal
8) Pernafasan
Fase iktal : Gigi menyetup, sinosis, pernafasan menurun cepat peningkatan
sekresi mulus
Fase posektal : Apnea
9) Keamanan
Riwayat terjatuh
Adanya alergi
10) Interaksi Sosial
Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga lingkungan
sosialnya
Perubahan kekuatan atau tonus otot secara menyeluruh
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermi b.d proses penyakit
2. Pola nafas tidak efektif b.d kekakuan otot pernafasan
3. Resiko tinggi cedera b.d spasme otot ekstremitas
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Talakua, Wilsa Dkk. 2015. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kejang
Demam Di Ruang Dahlia Rs Panti Wilasa Citarum Semarang. Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
I. IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : An. M
Umur : 2,9 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Bululawang
MRS : 8 Mei 2018
3) Penyakit keluarga
Keluarga mengatakan bahwa ibunya memiliki riwayat kejang dan kakak
pasien juga memiliki riwayat kejang,
IV. RIWAYAT POLA PEMELIHARAAN KESEHATAN KLIEN
1. Pola Aktivitas Sehari-hari
2. Eliminasi :
BAK ± 4x / hari
Pasien pasien
menggunakan pempers.
BAK ± 3x / hari
2. Riwayat Psikologi
a. Pola Komunikasi
Pasien belum sadar dan belum bisa diajak berkomunikasi.
3. Riwayat Spiritual
-
V. PEMERIKSAAN FISIK
1) Keadaan umum
Klien tampak lemah
Kesadaran : Apatis
3) Pemeriksaan Wajah
a. Mata
Mata kanan dan kiri simetris, peradangan (-), konjungtiva anemis (-),
pupil isokor.
b. Hidung
Perdarahan (-), tidak ada kotoran (-), pembengkakan (-), polip (-),
terpasang NGT
c. Mulut
Kelainan kongenital (-), lesi (-), perdarahan (-), mukosa bibir kering
pecah-pecah, gigi bersih (+).
e. Telinga
Lesi (-), nyeri tekan (-), peradangan (-), perdarahan (-), telinga bersih
(+).
f. Kepala
Inspeksi : luka (-), perdarahan (-), trepanasi (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
g. Leher
Inspeksi : leher simetris (+), peradangan (-), jaringan parut (-), massa
(-), dan terdapat bintik bintik putih di area leher
Palpasi :pembesaran kelenjar limfe (-), posisi trakea (-),
pembesaran vena jugularis (-)
4) Pemeriksaan Thorak / Dada
a. Pemeriksaan Paru
Inspeksi : normal chest, bentuk dada simetris, retraksi
intercostan(+)
Palpasi :-
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak ada suara nafas tambahan
Ronchi Wheezing
-
- - -
- - -
ka ki ka ki
b. Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : tampak ictus cordis di ICS V
Perkusi : Tympani
8) Pemeriksaan Ekstrimitas
Inspeksi : otot kanan dan kiri simetris, deformitas (-), fraktur (-),
terdapat bintik-bintik merah di telapak tangan dan kaki,
pada tangan kanan diujung jari tengah terdapat luka,
kedua kaki mengalami kekakuan
-
- -
ka ki
9) Pemeriksaan Integument
Inspeksi : Warna kulit normal, kulit lembab, tidak ada lesi, terdapat
bintik-bintik merah di telapak tangan dan kaki, tampak
berkeringat
TERAPI MEDIS
1. Infuse D5 ¼ NS 1000cc/24 jam
2. IV phenitoin 3 x 30 mg s.d 2 x 24 jam
3. Dexametason 2 x 3,2 mg
4. Antrain 3 x 100 mg
5. Ranitidine 2 x 16 mg
6. Ceftriaxon 2 x 500 mg
7. Piracetam 3 x 100 mg
8. Ondansentron 3 x 1,5 mg
9. Omeprazole 2 x 10 mg
10. Gentamicin Sulfate 2 x 1 oles
11. Fisioterapi
Fungsi terapi
1. Infuse D5 ¼ NS berfungsi untuk meningkatkan kondisi pasien dengan
meningkatkan volume darah yang memiliki kandungan natrium klorida.
2. Phenytoin berfungsi untuk mencegah dan mengontrol kejang (juga disebut
antikonvulsan atau obat anti epilepsi)
3. Dexametason berfungsi untuk mengobati kondisi seperti arthritis,
gangguan darah, sistem kekebalan tubuh, reaksi alergi, masalah kulit, dan
gangguan usus.
4. Antrain berfungsi sebagai obat anti nyeri dan obat anti demam.
5. Ranitidine berfungsi mengurangi produksi asam lambung sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri diuluh hati akibat ulkus dan masalah asam lambung
yang tinggi.
6. Ceftriaxon berfungsi untuk mengatasi berbagai infeksi bakteri.
7. Piracetam berfungsi untuk meningkatan kemampuan kognitif tanpa
menimbulkan rangsangan pada otak dan tidak menyebabkan rasa mengantuk.
8. Ondansentron berfungsi untuk mencegah serta mengobati mual dan
muntah.
9. Omeprazole berfungsi untuk mengatasi perut dan kerongkongan yang
diakibatkan oleh asam lambung.
10. Gentamicin Sulfate berfungsi untuk menangani infeksi akibat
bakteri dengan cara membunuh sekaligus mencegah pertumbuhan bakteri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Tanggal : 8 Mei 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI
Darah rutin
Hemoglobin 12,2 g/dl 10,8 – 15,6
Hematokrit 35,2 % 33 – 45
Index Eritrosit
MCV 72,4 Fl 74-102
MCH 25,1 Pg 23-34
MCHC 34,7 g/dl 28-36
Eritrosit 4,85 juta/cmm 4,0-5,0
Leukosit 16.000 sel/cmm 8.000-13.500
Trombosit 350.000 sel/cmm 229.000-553.000
Hitung jenis leukosit
Eusinofil 0,1 % 1-5
Basofil 0,2 % 0-1
Neutrofil 85,4 % 25-80
Limfosit 8,4 % 25-50
Monosit 5,9 % 1-6
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 521 Mg/dl 74-100
Tanggal : 9 Mei 2018
Jam : 08.40
Jam : 20.53
Jam : 15.08
2. Odema Serebri
ANALISA DATA
Nama : An. M
Usia : 2,9 tahun
11-5-18 DS:
Keluarga mengatakan anak Gaya mekanik pada Resiko kejang
pernah kejang pada usia 1,5 otak berulang
tahun
Muatan listrik lepas
Do : dari sel saraf
Belum bisa diajak
komunikasi Gangguan kesadaran
Kedua Kaki mengalami
kekakuan Riwayat kejang yang
Pemeriksaan lalu
Laboratorium
Tanggal : 8 Mei 2018
Glukosa Darah Sewaktu
521 Mg/Dl
Foto Thorax
Tanggal : 11 Mei 2018
Kesan Encephalitis
Odema serebri
DS : Resiko infeksi
Luka pada ujung jari
-
DO : Virus / bakteri
masuk
Akral terasa hangat
Tampak berkeringat Inflamasi
Pada tangan kanan
diujung jari tengah Suhu tubuh meningkat
terdapat luka
Terdapat bintik
bintik putih di area
leher
Pemeriksaan
laboratorium tanggal 8
Mei 2018
Leukosit 16.000
sel/cmm
Eosinofil 0,1%
Neutrofil 85,4%
Limfosit 8,4%
DS : Ketidakseimbangan
Tidak sadar nutrisi kurang dari
-
kebutuhan tubuh
DO : Terjadi aspirasi
DIAGNOSA KEPERAWATAN