Anda di halaman 1dari 9

Gangguan Sistem Hematologi

Hematologi berkaitan dengan darah dan jaringan pembentuk darah. Sistem hematologik
juga mencakup sistem makrofag-monosit (fagosit mononuklear), yang berasal dari sistem
retikuloendotel (RES), yang terdapat di seluruh tubuh, terutama di llimpa, hati, kelenjar getah
bening, dan sumsum tulang. Sistem makrofag-monosit ini akan memfagosit bahan-bahan
mulai dari mikroorganisme asing sampai eritrosit mati dari darah dan jaringan tubuh.
Gangguan-gangguan yang timbul dari sistem ini, disebut diskrasia darah, berkisar dari
penyakit yang ringan sampai yang berkembang cepat dan mematikan.

 Gangguan Sel Darah Merah


Gangguan pada sel darah merah disebabkan karena kelaianan pada produksi sel darah
merah. Perubahan massa sel darah merah dapat menimbulkan dua keadaan yang berbeda. Jika
jumlah sel darah merah kurang disebut anemia, sebaliknya jika jumlah sel darah merah terlalu
banyak disebut polisitemia.
1. Anemia
Menurut definisi, anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel
darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium.
Karena semua sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat menimbulkan
manifestasi klinis yang luas, bergantung pada (1) kecepatan timbulnya anemia, (2) usia
individu, (3) mekanisme kompensasi, (4) tingkat aktivitasnya, (5) keadaan penyakit yang
mendasarinya, dan (6) beratnya anemia.
Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka pengiriman oksigen ke
jaringan menurun. Kehilangan darah yang mendadak, seperti pada perdarahan mengakibatkan
timbulnya gejala-gejala hipovolemia dan hipoksemia, termasuk kegelisahan, diaforesis
(keringat dingin), takikardi, napas pendek, dan berkembang cepat menjadi kolaps sirkulasi
atau syok. Namun, berkurangnya massa sel darah merah dalam waktu beberapa bulan
(bahkan sampai 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk beradaptasi, dan
pasien biasanya asimtomatik, kecuali pada kerja fisik berat. Tubuh beradaptasi dengan,
meningkatkan curah jantung dan pernapasan, oleh karena itu meningkatkan pengiriman
oksigen ke jaringan-jaringanoleh sel darah merah, meningkatkan pelepasan soksigen oleh
hemoglobin, mengembangkan voleme plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan
dan redistribusi aliran darah ke organ-orhgan vital.
Salah satu tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat. Keadaan ini
umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan
vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman oksigen ke organ-organ vital. Warna kulit
bukan merupakan indeks yang dapat dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi pigmentasi,
suhu, dan kedalaman serta distribusi bantalan kapiler. Bantalan kuku, telapak tangan, dan
membran mukosa mulut serta konjungtiva merupakan indikator yang lebih baikuntuk menilai
pucat. Jika lipatan tangan tidak berwarna merah muda, hemoglobin biasany kurang dari 8
gram.
Takikardia dan bising jantung (suara disebabkan oleh peningkatan kecepatan aliran
darah) mencerminkan beban jantung dan curah jantung meningkat. Angina (nyeri dada),
khususnya pada orang tua dengan stenosis koroner, dapat disebabkan oleh iskemia
miokardium. Pada anemia berat, gagal jantung kongestif dapat terjadi karena otot jantung
yang anoksik tidak dapat beradaptasi terhadap beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea
( kesulitan bernapas), napas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani
merupakan menifestasi berkurangnya pengiriman oksigen. Sakit kepala, pusing, pingsan,
tinitus (telinga berdengung) dapat mencerminkan berkurangnya oksigenasi pada sistem saraf
pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala-gejal saluran cerna seperti anoreksia,
mual, konstipasi atau diare, dan stomatitis (nyeri pada lidah dan membran mukosa mulut);
gejala-gejala umumnya disebabkan defisiensi, seperti defisiensi zat besi.
Klasifikasi Anemia
Anemia dapat diklasifikasikan menurut (1) morfologi sel darah merah sdan indeks serta
(2) etiologi. Pada klasifikasi morfologik anemia, mikro- atau makro- menunjukkan ukuran sel
darah merah dan kromik untuk menunjukkan warnanya. Pertama, anemia normokromik
normositik, sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung jumlah
hemoglobin normal. Penyebab-penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut,
hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal,
kegagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Kategori utama yang kedua adalah anemia normokromik makrositik, yang memiliki sel
darah merah lebih besar dari normal tapi normokromik karena konsentrasi hemoglobin
normal. Keadaan ini disebabkan oleh terganggunya atau terhentinya sintesis DNA seperti
ditemukan pada defisiensi B12 atau asam folat atau keduanya. Anemia normokromik dapat
juga terjadi pada kemoterapi kanker karena agen-agen menngganggu sintesis DNA.
Ketegori ketiga adalah anemia hipokromik mikrositik. Mikrositik berarti sel kecil, dan
hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang. Karena warna berasal dari hemoglobin, sel-
sel ini mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari jumlah normal. Keadaan ini
umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi, seperti pada
anemia defisiensi besi, atau gangguan sintesis globin, seperti pada thalasemia. Thalasemia
menyangkut ketidaksesuaian jumlah rantai alfa dan beta yang disintesis, dengsn demikian
tidak dapat terbentuk molekul hemoglobin tetramer normal.
Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama yang dipikirkan
adalah (1) peningkatan hilangnya sel darah merah dan (2) penurunan atau kelainan
pembentukan sel.
Meningkatnya kehilangansel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan atau
penghancuran sel. Perdarahan dapat diakibatkan dari trauma atau ulkus atau akibat
perdarahan kronis karena polip di kolon, keganasan, hemoroid atau menstruasi.
Penghancuran sel darah merah di dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, teerjadi jika
gangguan pada sel darah merah itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan
intrinsik). Keadaan-keadaan yang sel darah merah itu sendiri mengalami kelainan adalah:
1. Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan, seperti penyakit sel
sabit.
2. Gangguan sintesis globin, seperti thalasemia.
3. Kelainan membran sel darah merah, seperti sferositosis herediter dan elipsositosis.
4. Defisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan
defisiensi piruvat kinase.
Gangguan yang disebut diatas bersifat herediter. Namun hemolisis dapat juga
disebabkan oleh masal-masalah lingkungan sel darah merah, yang sering memerlukan respon
imun. Respon isoimun yang mengenai individu-individu berbeda dalam spesies yang sama
dan disebabkan oleh transfusi darah yang tiddak cocok. Respon autoimun terdiri atas produk
antibodi terhadap sel-sel darah merah tubuh sendiri. Anemia hemolitik autoimun dapat terjadi
tanpa diketahui penyebabnya setelah pemberian obat-obatan tertentu seperti alfa-metildopa,
quinin, sulfonamid, atau L-dopa, atau pada keadaan penyakit-penyakit lain seperti limfoma,
leukemia limfositik kronik, lupus eritematosus, artritis reumatoid, dan infeksi virus. Anemia
hemolitik autoimun diklasifikasikan menurut suhu saat antibodi bereaksi dengan sel-sel darah
merah─antibodi tipe hangat atau antibodi tipe dingin. Malaria merupakan penyakit parasit
yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi. Malaria
mengakibatkan anemia hemolitik berat ketika sel darah merah diinfestasi oleh parasit
plasmodium, yang menyebabkan kelainan sehingga permukaan sel darah merah menjadi
tidak teratur. Kemudian sel darah merah yang mengalami kelainan segera dikeluarkan dari
sirkulasi oleh limpa.
Hepersplenisme (pembesaran limpa) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat
peningkatan nyata sel darah merah yang terperangkap dan hancur. Karena limpa yang
membesar mengisolasi semua jenis sel darah, seorang pasien dengan hipersplenia akan mem
perlihatkan adanya pansitopenia dan sumsum tulang yang normal atau hiperseluler. Luka
bakar berat, terutama saat bantalan kapiler pecah dapat menyebabkan hemolisis. Katup
jantung buatan juga menyebabkan hemolisis oleh destruksi mekanis.
Klasifikasi etiologik utama adalah berkurangnya atau terganggunya produksi sel darah
merah. Setiap keadaan yang mempengaruhi fungsi sumsum tulang termasuk di dalam
kategori ini. Termasuk di dalam kelompok ini adalah (1) keganasan jaringan padat metastatik,
leukemia limfoma, dan mieloma multipel; pajanan terhadap obat-obat dan zat kimia toksik;
serta radiasi dapat mengurangi produksi efektif sel darah merah; dan (2) penyakit-penyakit
kronis yang mengenai ginjal dan hati serta infeksi dan defisiensi endokrin. Kekurangan
vitamin-vitamin penting seperti B12, asam folat, vitamin C, dan zat besi dapat mengakibatkan
pembentukan sel darah merah tidak efektik, menimbulkan anemia. Untuk menentukan jenis
anemia baik apertimbangan morfologik dan etiologik harus digabungkan.

2. Polisitemia
Polisitemia berarti kelebihan (poli-) semua jenis sel (-sitemia), tetapi umumnya nama
tersebut digunakan untuk keadaan-keadaan yang volume sel darah merahnya melebihi
normal. Keadaan ini mengakibatkan peningkatan viskositas dan volume darah. Polisitemia
primer atau vera adalah ganggua mieloproliferatif, yaitu sel induk pluripoten abnormal.
Polisitemia sekunder terjadi jika volume plasma dalam sirkulasi berkurang (mengalami
hemokonsentrasi) tetapi volume total sel darah merah di dalam sirkulasi normal.

 Gangguan Sel Darah Putih dan Sel Plasma


Gangguan sel darah putih dapat mengenai setiap lapisan sel atau semua lapisan sel dan
umumnya disertai gangguan pembentukan atau penghancuran diri. Leukositosis
menunjukkan peningkatan leukosit yang umumnya melebihi 10.000/mm3. Granulositosis
menujukkan peningkatan granulosit , tapi sering digunakan hanya untuk menyatakan
peningkatan neutrofil; jadi sebenarnya, neutrofilia merupakan istilah yang lebih tepat.
Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan
mikroorganisme. Terhadap respon infeksi atau radang akut, neutrofil meninggalkan kelompok
marginal dan memasuki daerah infeksi; sumsum tulang melepaskan sumber cadangannya dan
menimbulkan peningkatan granulopoiesis. Karena permintaan yang meningkat ini, bentuk
neutrofil imatur, yaitu yang dinamakan neutrofil batang, yang memasuki sirkulasi meingkat,
proses ini dinamakan pergeseran ke kiri. Bila infeksi mereda, maka neutrofil berkurang dan
monosit meningkat (monositosis). Pada resolusi yang progresif, monosit berkurang dan
terjadi limfositosis (limfosit bertambah) ringan, serta eusinofilia (eusinofil bertambah).
Reaksi leukemoid menyatakan keadaan leukosit meningkat disertai peningkatan bentuk
imatur yang mencapai 100.000/mm3. Ini akibat respons terhadap infeksi, toksik, dan
peradangan serta terjadi juga pada keganasan, terutama payudara, ginjal, paru, dan karsinoma
metastatik. Gangguan dengan terjadinya peningkatan umum dalam sel-sel pembentukan
darah dinamakan gangguan mieloproliferatif.
1. Neutrofilia
Neutrofilia juga terjadi sesudah keadaan stres, seperti kerja fisik berat atau penyuntikan
epinefrin. Ini adalah “pseudoleukositosis” karena granulopoiesis dalam sumsum tulang tidak
ditambah dan jumlah jumlah granulosit dalam tubuh sebenarnya meningkat. Granulosit
dilepaskan dari kelompok marginal sehingga jumlah granulosit yang dapat ditarik ke dalam
alat penentuan sampel bertambah. Pengobatan dengan kortikosteroid juga mengakibatkan
pseudaleukositosis. Kortikosteroid diduga meningkatan pelepasan granulosit dari cadangan
sumsum serta menghalangi marginasi granulosit, yang mengakibatkan leukosit dalam
sirkulasi bertambah. Eosinofilia terjadi pada gangguan kulit seperti mikosis fungoides dan
eksema; keadaan alergi seperti asma dan hay fever; reaksi obat dan infestasi parasit.
Eosinofilia juga ditemukan pada keganasan dan gangguan mieloproliferatif, seperti pada
basofilia.
Monositosis ditemukan pada fase penyembuhan infeksi dan pada penyakit granuloma
kronok seperti tuberkolosis dan sarkoidosis. Limfositosis menunjukkan jumlah limfosit
meningkat. Limfosit yang diaktifkan oleh rangsang virus atau antigen diubah bentuknya
menjadi limfosit atipik yang lebih besar. Sel-sel ini terdapat dalam jumlah besar pada
mononukleosis infeksiosa, campak, parotitis, beberapa reaksi alergi (misalnya, serum
sickness, sensitivitas obat), ddan limfoma maligna. Selain limfositosis, pasien ini sering
menunjukkan pembesaran hati, lien, dan kelenjar getah bening, yang semuanya merupakan
tempat pembentukan limfosit.
Leukopenia menunjukkan jumlah leukosit yang menurun, dan neutropenia
menunjukkan penurunan jumlah absolut neutrofil. Karena peran neutrofil pada pertahanan
pejamu, maka jumlah neutrofil absolut yang kurang dari 1000/mm 3 merupakan predisposisi
terkena infeksi; jumlah di bawah 500/mm3 merupakan predisposisi terhadap infeksi yang
mengancam kehidupan yang sangat berbahaya. Neutropenia dapat disebabkan oleh
pembentukan neutrofil, yang ditemukan pada anemia hipoplastik atau aplastik, yang
disebabkan oleh obat sitotksik, za-zat toksik, dan infeksi virus; kelaparan; dan penggantian
sumsum tulang normal oleh se-sel ganas, seperti pada leukemia.
Agranulositosis adalhkeadaan yang sangat serius dan ditandai dengan jumlah leukosit
yang sangat rendah dan tidak adanya neutrofil. Agen penyebab umumnya adalah obat yang
mengganggu pembentukan sel atau meningkatkan penghancuran sel. Obat-obat yang sering
dikaitkan adalan agen-agen kemoterapi miolosupresif (menekan sumsum tulang) yang
digunakan pada pengobatan keganasan hematologi dan keganasan lainnya. Obat yang makin
banyak dan sering digunakan seperti analgetik, antibiotika, dan antihistamin, diketahui
mampu menyebabkan neutropenia atau agranulositosis berat. Respon terhadap obat-obatan
ini berkaitan dengan dosis atau reaksi indosinkrasi.
Perubahan kromosom rekuren terjadi pada lebih dari separuh kasus leukemia, dan
terjadi hanya pada sel hematopoietik ganas. Gejala agranulositosis yang sering dijumpai
adalah infeksi, rasa malaise umum (rasa tidak enak, kelemahan, pusing, dan sakit otot) diikuti
oleh terjadinya tukak pada membran mukosa, demam ,dan takikardia. Jika agranulositosis
tidak diobati, dapat terjadi sepsis dan kematian. Menghilangkan agen penyebab sering
menghambat dan menyembuhkan proses tersebut disertai peningkatan pembentukan neutrofil
dan unsur-unsur sumsum normal lainnya.
2. Leukemia
Leukemia mula-mula dijelaskan oleh Virchow pada tahun 1847 sebagai “darah putih” ,
adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk
hematopoietik yang secara maligna melakukan tranformasi, yang menyebabkan penekanan
dan penggantian unsur sumsum yang normal. Klasifikasi leukemia yang palinga banyak
digunakan adalah klasifikasi dari French-American-British (FAB). Klasifikasi ini klasifikasi
morfologik dan didasarkan pada diferensiasi dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam
sumsum tulang, serta pada penelitian sitokomia.
Dengan meningkatnya sitogenetika, biologi molekuler dan imunologi telah terjadi
dampak yanhg nyata dalam membedakan sel hematopoietik normal dengan klon maligna.
Teknologi imunologi telah meningkatkan klasifikasi dengan mengidentifikasi klon maligna
sebagai mieloid, limfoid B, limfoid T, atau biofenotipik (mempunyai ciri khas sel mieloid dan
limfoid). Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat
meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau
perubahan struktur, yang termasuk translokasi, delesi, inversi, dan insersi. Pada situasi ini,
dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah
dianggap menyebabkan mulainy proliferasi sel abnormal. Kromosom philadelpia (Ph)
merupakan contoh perubahan sitogenetik yang ditemukan pada 85% pasien leukemia mieloid
kronik dan pada beberapa pasien pasien dengan leukemia limfoid atau mieloid akut. Aksi ini
adalah translokasi kromosom 9 dan 22, diidentifikasi sebagai t(9;22). Studi molekuler yang
mendeteksi perubahan setingkat DNA lebih lanjut telah menggambarkan kromosom Ph dan
variasi berbagai jenis leukemia. Lebih dari 90% anak dengan leukemia limfositik akut
memperlihatkan mengalami satu atau lebih aberasi kromosom. Banyak aberasi kromosom
telah diidentifikasi dan merupakan diagnostik untuk jenis leukemia tertentu. Identifikasi
perubahan ini untuk memprediksi perjalanan klinis, prognosis, dan pencapaian remisi atau
relaps. Gambaran ini mempunyai dampak yang hebat pada modalitas pengobatan dan seluruh
prognosis.
Walaupun menyerang kedua jenis kelamin, tetapi laki-laki terserang sedikit lebih
banyak daripada perempuan. Leukemia granulositik atau mielositik akut ditemukan pada
orang dewasa semua umur, dan akan meningkay setelah berumur 40 tahun. Umur rata-rata
adalah 60 tahun. Leukemia limfositik akut lebih sering pada anak-anak dibawah umur 15
tahun, dengan puncaknya antara umur 2 dan 4 tahun; keadaan ini juga terdapat pada orang
dewasasemua umur, dengan peningkatan bertahap pada umur 60 tahun. Leukemia
granulositik atau mielositik kronik paling sering ditemukan pada pasien berusia pertengahan
dengan umur rata-rata 60 tahun, tetapi dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Leukemia
limfositik kronik biasanya ditemukan pada individu yang lebih tua.
Walaupun penyebab dasar leukemia tida diketahui predisposisi genetik maupun faktor-
faktor lingkungan kelihatannya memainkan peranan. Jarang ditemukan leukemia familial,
tetapi kelihatannya terdapat insiden leukemia lebih tinggi dari saudara kandung anak-anak
yang terserang, dengan insiden yang meningkat sampai 20% pada kembar monozigot.
Individu dengan kelainan kromosom, seperti sindrom down, kelihatannya mempunyai insiden
leukemia akut dua puluh kali lipat.
Faktor lingkungan berupa pajanan dengan radiasi pergion dosis tinggi disertai
manifestasi leukemia yang timbul bertahun-tahun kemudian. Zat-zat kimia (misal, benzena,
arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen antineoplastik) dikaitkan dengan
frekuensi yang meningkat, khususnya agen-agen alkil. Kemungkinan leukemia meningkat
pada penderita yang diobati baik dengan radiasi atau kemoterapi. Setiap keadaan sumsum
tulang hipopastik kelihatannya merupakan predisposisi terhadap leukemia. Pasien dengan
sindrom mielodisplastik (gangguan sel induk dengan manifestasi adanya blas dan
pansitopenia yang ditemukan pada orang dewasa tua) sering berkembang menjadi leukemia
nonlimfositik akut.
Terapi ditujukan pada eliminasi garis sel abnormal; 65% pasien, dengan mulainya lagi
hematopoiesis normal, mencapai remisi penyakit. Pencapaian remisi molekuler lengkap
dengan pembalikan semua abnormalitas sitogenetik penting untuk penyembuhan atau remisi
jangka panjang. Agen kemoterapi yang dipilih menghancurkan sel dengan berbagai
mekanisme, seperti mengganggu maturasi dan metabolisme sel. Manifestasi klinis yang sama
pada pansitopenia yang menyertai penyakit aktif timbul setelah kemoterapi. Infeksi tetap
merupakan penyebab kematian pada pasien dengan leukemia akut. Perawatan suportif
merupakan kunci untuk meningkatkan angka harapan hidup pasien ini. Perawatan harus
mencakup perhatian yang penuh melawan infeksi dan perdarahan. Terapi antimikroba yang
agresif haru dimulai pada tanda pertama infeksi, bersama dengan profilaksis antifungus.
Penggunaan terapi komponen darah yang bijaksana (misal, trombisit dan sel darah merah)
akan melindungi pasien dari perdarahan.
3. Limfoma
Limfoma keganasan sistem limfatik. Penyebab tidak diketahui, tetapi faktor resiko yang
diidentifikasi mencakup keadaan imunodefisiensi (kongenital dan didapat), serta pajanan
dengan herbisida, pestisida, dan pelarut organik seperti benzena. Peningkatan insiden AIDS
dihubungkan dengan limfoma derajat tinggiu yang menunjukkan imunosupresi sebagai faktor
penyebab. Virus telah implikasikan, terutama virus Epstein-Barr ditemukan pada limfoma
Burkitt dan yang lebih mutkhir diimplikasikan pada patogenesis penyakit Hodgkin yang
mungkin.
Pembentukan tumor awal adalah pada jaringan limfatik sekunder (misa, kelenjar getah
bening atau lien) tempat limfosit abnormal menggantikan struktur normal.
Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologik mikroskopik dari
kelenjar getah bening yang terlibat. Kategori tersebut adalah limfoma pennyakit Hodgkin dan
non-Hodgkin. Walaupun tanda dan gejala penyakit limfoma saling menutupi, pengobatan dan
prognosis berbagai limfoma tetap berlainan. Dengan demikian adalah suatu keharusan untuk
menegakkan diagnosis secara tepat. Untuk tujuan ini diambil sebuah kelenjar getah bening
atau lebih untuk diperiksa secara mikroskopis.
Limfoma non-Godgkin dan penyakit Hodgkin dibedakan berdasarkan jenis sel yang
mencolok yang terdapat dalam kelenjar getah bening, serta penyebarannya. Sel-sel tersebut
dapat tersebar dalam bentuk nodular atau difus. Sel-sel ini meusak arsitektur normal kelenjar
getah bening. Perkembangan mutakhir dalam biologi gnetik dan molekuler untuk
mengidentifikasi penanda fenotipik (genetik) dan translokasi kromosomal, bersama gambaran
klinis penyakit, membedakan limfoma agresif dengan indolen dan menuntun pengobatan
serta perkembangan. Limfoma sel B diperhatikan lebih indolen dengan harapan hidup bebas-
relaps panjang, sedangkan limfoma sel T dengan jenis histologi yang sama memiliki angka
relaps lebih tinggi dengan harapan hidup bebas-relaps yang lebih singkat.
4. Diskrasia Sel Plasma
Diskrasia sel plasma merupakan sekelompok gangguan yang bermanifestasi proliferasi
sel plasma dalam sumsum tulang atau darah tepi atau keduanya. Sel plasma berasal dari
limfoid (limfosit B) dan secara normal berperan dalam sintesis imunoglobulin. Lima
golongan utama imunoglobulin adalah IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Pada diskrasia sel
plasma, sel plasma mensintesis dan menyekresi imunoglobulin yang secara struktural
homogen, disebut komponen M. Protein ini ditemukan dalam serum atau urine pasien yang
terserang.
Mieloma multipel merupakan diskrasia sel plasma neoplastik yang berasal dari satu
klon sel plasma, manifestasinnya adalah proliferasi sel plasma matur dan imatur yang tidak
terkontrol pada sumsum tulang.
Makroglobulinemia Waldenstrȍm adalah diskrasia sel plasma yang kurang sering
terjadi dan terutama menyerang laki-laki berusia lebih dari 50 tahun.

Anda mungkin juga menyukai