Oleh
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn
Marilah kita bertakwa kepada Allah. Kita laksanakan kewajiban yang telah
diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu berupa hak-hak-Nya dan hak
para hamba-Nya. Dan ketahuilah, hak manusia yang paling besar atas diri
kalian ialah hak kedua orang tua dan karib kerabat. Allah menyebutkan hak
tersebut berada pada tingkatan setelah hak-Nya.
َ َّْللا َو ََل ت ُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيئًا ۖ َوبِ ْال َوا ِل َدي ِْن ِإح
سانًا َ َوا ْعبُدُوا ه
“(Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapanya, …)”
Nabi telah menjadikan bakti kepada orang tua lebih diutamakan daripada
berjihad di jalan Allah. Disebutkan dalam shahîhaian dari ‘Abdullâh bin
Mas’ûd, ia berkata:
“Aku bertanya kepada Nabi; “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau
menjawab,”Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?”
Beliau menjawab,”Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi:
”Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab,”Berjihad di jalan Allah.”
Dikisahkan dalam kitab Shahîh Muslim, bahwa ada seseorang datang kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: “Aku berbaiat kepadamu
untuk berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Aku mengharap pahala dari Allah.”
Beliau bertanya,”Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?” Ia
menjawab,”Ya, bahkan keduanya masih hidup,” beliau bersabda,”Engkau
mencari pahala dari Allah?” Ia menjawab,”Ya.” beliau bersabda,”Pulanglah
kepada kedua orang tuamu, kemudian perbaikilah pergaulanmu dengan
mereka.”
Allah Subhanhu wa Ta’ala juga telah berwasiat supaya berbuat baik kepada
kedua orang tua di dunia walaupun keduanya kafir. Akan tetapi, apabila
keduanya menyuruh untuk berbuat kufur maka sang anak tidak boleh menaati
perintah kufur ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
س ِبي َل َم ْنَ اح ْب ُه َما فِي ال ُّد ْن َيا َم ْع ُروفًا ۖ َوات ه ِب ْع َ ْس لَكَ ِب ِه ِع ْل ٌم فَ ََل ت ُ ِط ْع ُه َما ۖ َو
ِ ص َ َو ِإ ْن َجا َهدَاكَ َعلَ ٰى أ َ ْن ت ُ ْش ِركَ ِبي َما لَي
ُ ُ ُ
ي ۚ ث هم إِلَ ه
َي َم ْر ِجعُ ُك ْم فَأنَبِئ ُ ُك ْم بِ َما ُك ْنت ُ ْم ت َ ْع َملون َاب إِلَ ه
َ أن َ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan”.[Luqmân/31:15].
Disebutkan dalam kitab shahîhain, dari Asmâ’ binti Abu Bakar Radhiyallahu
‘anha, ia menceritakan ketika ibunya datang menyambung silaturrahmi
dengannya padahal si ibu masih dalam keadaan musyrik.
ص ِلي أ ُ هم ِك
ِ ص ُل أ ُ ِمي قَا َل َنعَ ْم
ِ َ ِي َرا ِغبَةٌ أَفَأ ُ ت َعلَ ه
َ ي أ ِمي َوه ْ َّللا قَ ِد َم
ِ سو َل ه
ُ يَا َر
Cara berbakti kepada kedua orang tua, ialah dengan mencurahkan kebaikan,
baik dengan perkataan, perbuatan, ataupun harta.
Berbuat baik dengan perkataan, yaitu kita bertutur kata kepada keduanya
dengan lemah lembut, menggunakan kata-kata yang baik dan menunjukan
kelembutan serta penghormatan.
Berbuat baik dengan harta, yaitu dengan memberikan setiap yang kita miliki
untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh keduanya, berbuat baik,
berlapang dada dan tidak mengungkit-ungkit pemberian sehingga menyakiti
perasaan ibu bapak.
Berbakti kepada kedua orang tua tidak hanya dilakukan tatkala keduanya
masih hidup. Namun tetap dilakukan manakala keduanya telah meninggal
dunia. Ada sebuah kisah, yaitu seseorang dari Bani Salamah mendatangi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia bertanya:
“Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara berbakti kepada kedua orang
tuaku setelah keduanya meninggal?” Beliau menjawab,”Ya, dengan
mendoakannya, memintakan ampun untuknya, melaksanakan janjinya
(wasiat), menyambung silaturahmi yang tidak bisa disambung kecuali melalui
jalan mereka berdua, dan memuliakan teman-temannya”. [HR Abu Dawud].
Allâhu Akbar! betapa luas cakupan berbakti kepada kedua orang tua, bahkan
termasuk di dalamnya keharusan memuliakan dan menyambung silaturahmi
kepada teman kerabat.
Disebutkan dalam kitab Shahîh Muslim, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar bin Khatthâb
Radhiyallahu ‘anhu : “Suatu hari beliau Radhiyallahu ‘anhu berjalan di kota
Makkah dengan mengendarai keledai yang biasa beliau Radhiyallahu ‘anhu
gunakan bersantai jika bosan mengendarai unta. Lalu di dekat beliau lewatlah
seorang Arab Badui. Lantas ‘Abdullah bin ‘Umar pun bertanya
kepadanya:”Benarkah engkau Fulan bin Fulan?” Ia menjawab,”Ya,” kemudian
‘Abdullah bin ‘Umar memberikan keledainya kepada orang itu sambil
berkata,”Naikilah keledai ini.” Beliau juga memberikan sorban yang mengikat
di kepalanya seraya berkata,”Ikatlah kepalamu dengan sorban ini,” maka
sebagian sahabatnya berkata,”Semoga Allah mengampunimu. Mengapa
engkau memberikan keledai kendaraan santaimu dan sorban ikat kepalamu
kepada orang itu?” Maka ‘Ibnu ‘Umar menjawab: ”Orang ini, dahulu adalah
teman ‘Umar (bapakku), dan aku pernah mendengar Rasulullah
berkata,’Sesungguhnya bakti yang terbaik, ialah tetap menyambung
hubungan keluarga ayahnya”.
Adapun balasan berbakti ini ialah pahala yang besar saat di dunia maupun
akhirat. Barang siapa yang berbakti kepada orangtuanya, maka kelak anak-
anaknya juga akan berbakti kepadanya, serta memberikan jalan keluar dari
kesusahannya.
Dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari hadits Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu ‘anhu disebutkan tentang kisah tiga orang yang ingin bermalam
di gua, lalu merekapun masuk ke dalamnya. Begitu sampai di dalam gua, tiba-
tiba sebongkah batu besar jatuh dan menutup mulut gua tersebut.
Merekapun kemudian bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang
pernah dikerjakan supaya mereka bisa keluar. Salah seorang dari mereka
berkata:
Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai bapak dan ibu yang sudah sangat
tua. Aku tidak pernah memberikan susu kepada keluarga maupun budakku
sebelum mereka berdua.
Suatu hari, aku pergi jauh untuk mencari pohon dan belum kembali kepada
mereka hingga mereka pun tertidur. Akupun memerah susu untuk mereka.
Setelah selesai, ternyata aku mendapatkan mereka berdua telah tertidur. Aku
tidak ingin membangunkannya dan tidak memberikan susu kepada keluarga
maupun untukku sendiri. Aku terus menunggu mereka sambil membawa
mangkuk susu di tanganku hingga terbit fajar. Mereka pun bangun dan
meminum susu perahanku.
Maka batu itupun bergeser sedikit. Kemudian demikian pula yang lainnya
berdoa, bertawasul dengan amalan shalih yang pernah mereka kerjakan.
Akhirnya, batu itupun bergeser sehingga gua terbuka dan mereka dapat
keluar, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Seorang mukmin yang berakal, sungguh sangat tidak pantas berbuat durhaka
dan memutuskan hubungan dengan kedua orang tua, padahal ia mengetahui
keutamaan berbakti kepadanya, dan balasannya yang mulia di dunia maupun
di akhirat. Larangan ini sangat besar.
Apabila telah mencapai usia lanjut, kedua orang tua akan mengalami
kelemahan badan maupun pikiran. Bahkan keduanya bisa mengalami kondisi
yang serba menyusahkan, sehingga menyebabkan seseorang mudah
menggertak atau bersikap malas untuk melayaninya. Dalam keadaan
demikian, Allah melarang setiap anak membentak, meskipun dengan
ungkapan yang paling ringan. Tetapi Allah memerintahkan si anak supaya
bertutur kata yang baik, merendahkan diri dalam perkataan maupun
perbuatan di hadapan keduanya. Sebagaimana sikap seorang pembantu di
hadapan majikannya. Demikian pula, Allah memerintahkan si anak supaya
mendoakan keduanya, semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana
keduanya telah mengasihi dan merawat si anak tatkala masih kecil.
Sang ibu rela berjaga saat malam hari demi menidurkan anaknya. Iapun rela
menahan rasa letih supaya si anak bisa beristirahat dengan cukup. Adapun
bapaknya, ia berusaha sekuat tenaga mencari nafkah. Letih pikirannya, letih
pula badannya. Semua itu, tidak lain ialah untuk memberi makan dan
mencukupi kebutuhan si anak. Sehingga sepantasnya bagi si anak untuk
berbakti kepada keduanya sebagai balasan atas kebaikannya.
(Diringkas oleh Ustadz Abu Sauda` Eko Mas`uri, dari ad-Dhiyâ-ul Lâmi’,
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, hlm. 501-504)