Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Budaya menurut KBBI dapat diartikan sebagai pikiran atau akal budi.
Menurut Wikipedia budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau
akal); diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal
manusia. Bentuk lain dari kata budaya adalah kultur yang yang berasal dari
bahasa Inggris yaitu culture dan bahasa Latin cultura. Dengan demikian
kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.

Komunikasi antar budaya adalah mengacu pada realitas bahwa adanya


keragaman dalam masyarakat yang masing-masing memiliki unggah
ungguh(Jawa), tata cara, etika dalam berkomunikasi dengan individu yang
memilki latar belakang budaya berbeda . Sesungguhnya komunikasi antar
budaya ini mulai berlangsung manakala adanya pertemuan antar budaya
diantara individu dengan budaya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan oleh
Tingtoomey(1999:17) bahwa intercultural communications is defined as the
symbolic exchange process wherwby from two(or more) different cultural
communities negotiate shared meaning in an interactive situation. Yaitu
suatu proses pertukaran simbolik dimana two individu atau lebih dengan
budaya yang berbeda saling menegosiasikan makna dalam segala situasi
yang terjadi dalam interaksi.hal tersebut mengakibatkan tiap individu harus
berusaha mengembangkan komunikasi yang baik tentunya sehingga terjadi
komunikasi antar budaya yang baik pula.

Kita ketahui bahwa setiap kebudayaan mengajarkan berbagai macam


cara-cara tersendiri dalam melakukan pertukaran informasi. untuk itu
kebudayaaan ten tunya memilki prosedur tertentu agar pengiriman informasi
yang dialihkan dan dapat diterima itu menjadi lebih mudah
dikomunikasikan.

1
Di dunia pariwisata sendiri kebudayaan memiliki peran penting yang
sulit dipisahkan. Budaya suatu wilayah sebagai nilai maupun pengetahuan
yang wajib diketahui oleh pelaku pariwisata. Sifatnya yang dinamis
dan flexible mengakibatkan budaya dapat berubah dan berkembang sesuai
dengan perkembangan yang ada. Sehingga budaya suatu daerah mampu
dipengaruhi budaya lain yang dapat mengakibatkan terjadinya akulturasi
maupun asimilasi. Dampaknya, sebuah budaya memiliki cara pandang yang
berbeda-beda yang tidak dapat diasumsikan bahwa suatu budaya akan
memiliki cara pandang yang dapat diinterpretasikan secara pasti.

Cara pandang atau penilaian suatu budaya terhadap suatu hal lain baik
budaya maupun individu tergantung pada masing-masing individu dalam
suatu budaya. Cara pandang suatu budaya terjadi bukan semata-mata
terbentuk tanpa dasar namun ada beberapa faktor yang menyebabkan cara
pandang suatu budaya dengan budaya lain berbeda. Sebagai contohnya
adalah factor lingkungan, jelas bahwa ketika suatu budaya berada pada
lingkungan yang berkembang yaitu lingkungan yang mau menerima adanya
suatu perkembangan ilmu akan cenderung lebih flexible dalam memandang
suatu masalah maupun kondisi tertentu untuk lebih rasional. Sebaliknya,
ketika suatu budaya berada dalam suatu lingkungan yang kurang mampu
mengikuti perkembangan ilmu yang ada maka akan cenderung lebih
menutup dan teguh pada pendiriannya bahwa budaya miliknya lebih sesuai
dan benar. Perbedaan lingkungan merupakan contoh kecil dari sebuah
perbedaan cara pandang suatu budaya terhadap budaya lain. Faktor lainnya
bisa berasal dari tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, dan lain
sebagainya. Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa setiap budaya memiliki
cara pandang berbeda sehinnga penulis akan membahas tentang “Dimensi
Keragaman Budaya Hofstede dan Diferensiasi Budaya Hall”.

1.2. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1) Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Pemahaman Lintas Budaya.

2
2) Sebagai bahan bacaan dan referensi tambahan bagi pihak-pihak
yang membutuhkan.
3) Sebagai tambahan pengetahuan untuk pembaca.

1.3. Pembatasan Masalah atau Ruang Lingkup

Berdasarkan judul dari makalah ini yaitu “Dimensi Keragaman


Budaya Hofstede dan Diferensiasi Budaya Hall” rumusan masalah yang
akan ditonjolkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Apa itu Keragaman Budaya Hofstede dan apa saja dimensi-
dimensinya ?
2) Apa itu Diferensiasi Budaya Hall?

1.4. Sistimatika

I PENDAHULUAN

II PEMBAHASAN

III PENUTUP

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Budaya

Budaya menurut KBBI dapat diartikan sebagai pikiran atau akal


budi. Menurut Wikipedia budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budia atau akal); diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi,
dan akal manusia. Bentuk lain dari kata budaya adalah kultur yang yang
berasal dari bahasa Inggris yaitu culture dan bahasa Latin cultura. Dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan
akal”.

2.2. Definisi Dimensi Keragaman Budaya Hofstede

Dimensi inilai budaya ini dipopulerkan oleh Geert Hofstede yang


pada mulanya merupakan hasil penelitian tahun 1980 tentang perbedaan
budaya pada beberapa kantor cabang IBM di 46 negara, kemudian pada
tahun 1988 dilanjutkan kepada mahasiswa-mahasiswa di 23 negara, dan
terakhir pada tahun 2002 terhadap para pemimpin dalam bidang bisnis.
Dimensi-dimensi nilai budaya tersebut antara lain mencakup : Power
Distance, Uncertainty avoidance, Indiviudalism vs Collectivism, dan
Maculinity vs Feminity.

2.2.1. Power Distance

Merupakan tingkat kepercayaan atau penerimaan dari suatu


power yang tidak seimbang. Dimana perbedaan kekuatan ini
tergantung dari tingkatan sosial, tingkatan pendidikan dan jabatan.
Dimensi power distance menunjukkan tingkatan atau sejauh mana
tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan di
antara anggota-anggotanya. Hofstede (1980: 83)
mendefinisikan power distance sebagai tingkat
ketidaksetaraan (inequality) dalam kekuasaan (power) antara

4
individu yang kurang berkuasa dengan individu yang lebih
berkuasa di dalam suatu sistem sosial..

Power distance dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) High power distance, pada budaya atau masyarakat di mana


beberapa orang dianggap lebih superior dibandingkan dengan
yang lain karena pendidikan, umur, ras, gender, dan
sebagainya merupakan budaya yang memiliki power
distance tinggi. Masyarakat yang memiliki budaya power
distance tinggi cenderung akan mengembangkan aturan,
mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan
perbedaan status atau kekuasaan. Negara yang
memiliki power distance tinggi, masyarakatnya menerima
hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan paternalistik.
Misalnya di Indonesia, terjadi hubungan yang tidak dekat
antara atasan dan bawahan. Selain itu negara lain yang
memiliki power distance tinggi antara lain : Malaysia,
Panama, Guatemala, Arab, Meksiko.
2) Low power distance rendah cenderung meminimalkan
perbedaan status dan mengutamakan kesetaraan (equality).
Mereka cenderung lebih fokus kepada status yang dicapai
daripada yang disandang seseorang. Misalnya di Amerika,
dimana atasan sering bersosialisasi dengan bawahan dan
memperlakukan bawahannya tidak semena-mena, tetapi
senior akan bekerja dengan profesional dengan menegur
bawahan yang berbuat salah tetapi tetap mengayomi. Selain
itu negara lain yang memiliki power distance rendah antara
lain : Austria, Denmark, Israel, dan Selandia baru.

2.2.2. Uncertainty Avoidance

Dimensi uncertainty avoidance menunjukkan tingkatan


atau sejauh mana anggota suatu masyarakat menghadapi situasi

5
yang tidak pasti, ambiguitas atau samar-samar dan bagaimana
mereka beradaptasi terhadap perubahan. Pada masyarakat yang
memiliki uncertainty avoidance tinggi merasa terancam dalam
menghadapi ketidakpastian, sehingga mereka akan menciptakan
mekanisme untuk mengurangi ketidakpastian tersebut. Mereka
cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, serta
lebih mengandalkan ritual dan peraturan formal. Kepercayaan
hanya diberikan kepada keluarga atau orang terdekat. Masyarakat
yang memiliki uncertainty avoidance rendah cenderung memiliki
toleransi yang lebih tinggi dalam menghadapi ketidakpastian dan
samar-samar dan lebih mampu menerima risiko. Mereka bisa
menjalin hubungan dan memberikan kepercayaan kepada orang
lain dari masyarakat luar.

Beberapa negara yang termasuk dalam uncertainty


avoidance tinggi adalah: Yunani, Portugal, Guatemala, Brasil.
Negara-negara yang termasuk uncertainty avoidance rendah antara
lain: Singapura, Jamaika, dan Denmark.

2.2.3. Individualism vs Collectivism

Dimensi individualisme dan kolektivitasme mengacu pada


sejauh mana suatu masyarakat mendukung kecenderungan
individualistik atau kolektivistik. Budaya individualistik
mendukung para anggotanya untuk mandiri (otonom), menekankan
pada tanggung jawab dan hak-hak pribadinya, sehingga kebutuhan,
keinginan, kepentingan, dan tujuan individu lebih diutamakan
daripada tujuan kelompok.

Masyarakat yang termasuk individualistik mengharapkan


anggotanya untuk mandiri atau bebas dan mewujudkan hak-hak
pribadinya. Kondisi ini mendorong tumbuhnya kemandirian secara
emosional pada perusahaan tempat mereka bekerja dan lebih

6
mengutamakan kebebasan, tantangan, serta inisiatif dalam
melaksanakan pekerjaan.

Budaya kolektivistik lebih mengutamakan kewajiban


kepada masyarakat atau kelompoknya daripada hak-hak
pribadinya. Individu diharapkan mau mengorbankan kepentingan
dan tujuan pribadinya untuk tujuan kelompok, lebih patuh dan
mampu menyesuaikan diri terhadap perusahaan untuk memelihara
keselarasan.

Pada masyarakat kolektivistik, seorang manager diharapkan


lebih banyak memberikan pertimbangan daripada perintah,
sehingga memerlukan keterampilan mentoring dan supporting.
Keterampilan lain yang diperlukan oleh seorang manager atau
supervisor adalah menyusun team building, karena masyarakat
kolektivisme lebih menyukai kerja kelompok daripada kerja
individual.

Negara-negara yang termasuk individualism tinggi antara


lain: Australia, Kanada, Inggris. Sedangkan yang termasuk
kolektivisme antara lain: Panama, Ekuador, dan Guatemala.

2.2.4. Masculinity vs Feminity

Dimensi masculinity menunjukkan tingkatan atau sejauh


mana anggota-anggota suatu masyarakat memegang teguh peran
gender atau nilai-nilai seksual tradisional yang didasarkan atas
perbedaan jenis kelamin. Masyarakat yang maskulin menekankan
nilai prestasi dan ketegasan, sehingga mengutamakan tantangan,
kemajuan, dan pengakuan. Sedangkan masyarakat feminity lebih
mengutamakan hubungan interpersonal, keharmonisan, dan kinerja
kelompok. Masyarakat yang memiliki dimensi feminity
menganggap bahwa kerja yang baik menurut kemampuan untuk
lebih memperhatikan kesejahteraan orang lain daripada

7
kepentingan diri sendiri. Manajer atau pemimpin yang baik adalah
manajer yang memiliki keterampilan dalam memberikan
dukungan, mentoring, dan membentuk tim kerja yang solid.

Negara-negara yang termasuk masculinity tinggi antara


lain: Jepang, Austria, Swiss. Negara-negara yang
termasuk feminity tinggi antara lain: Belanda, Norwegia, dan
Swiss.

2.3. Diferensiasi Budaya Hall

Edward T. Hall (1976) membedakan budaya konteks tinggi (high-


context culture) dengan budaya konteks randah (low-context culture) yang
mempunyai beberapa perbedaan dalam penyandian pesannya. Pada budaya
konteks rendah pembicaraan dilakukan secara eksplisit, lugas, dan terus
terang. Pesan yang disampaikan sebagian besar diwakili oleh kata – kata
yang diucapkan oleh pembicara. Mereka mengatakan apa yang mereka
maksudkan (they say what they mean) dan memaksudkan apa yang mereka
katakan (they mean what they say).

Sebaliknya pada budaya konteks tinggi, pembicaraan dilakukan


secara implisit, tidak langsung, dan tidak terus terang. Pesan yang
disampaikan hanya sebagian kecil diwakili oleh kata – kata yang
diucapkan oleh pembicara. Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi
dalam perilaku nonverbal pembicara, berupa: ekspresi wajah, intonasi
suara, postur tubuh, gerakan tangan, tatapan mata, atau dalam konteks
fisik: dandanan, penataan ruangan, penyajian makanan, dan sebagainya.
Bisa jadi pesan nonverbal berbeda dengan pesan verbalnya. Pendengar
harus menyimpulkan sendiri pesan yang sebenarnya dengan cara
menafsirkan perilaku nonverbal dan setting khusus tadi pada saat
pembicaraan terjadi.

8
Hall meranking beberapa negara dari negara yang termasuk budaya
konteks rendah sampai konteks tinggi sebagai berikut: Swiss, Jerman,
Skandinavia, Amerika, Prancis, Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Arab,
Cina, Jepang – indonesia termasuk kelompok budaya konteks tinggi,
kemungkinan berada di antara budaya Arab dan Cina.

9
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari paparan atau penjelasan diatas, maka penulis dapat


menyimpulkan bahwa sesuai dengan makalah “Budaya Hofstede dan
Diferensiasi Budaya Hall” penulis menyimpulkan bahwa ada banyak
budaya di dunia yang beragam. Budaya budaya tersebut memiliki ciri
khas, dan sifat sifat yang berbeda beda.

3.2. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,


kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan
tentang makalah diatas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Diharapkan makalah ini dapat
membantu dan berguna bagi para pembaca untuk lebih mengenal budaya-
budaya didunia.

10
Daftar Pustaka

Kusherdyana. 2011. “Pemahaman Lintas Budaya”. Bandung : Penerbit Alfabeta.

Hepi, Irma Meriatul. 2013. “Dimensi Nilai Budaya : Dimensi-Dimensi Nilai Budaya
Dalam Pariwisata”. blog.ub.ac.id/irmameriatul/tag/dimensi-nilai-budaya. Diakses Kamis,
20 Februari 2020 jam 11.30.

___________. 2017. ”Budaya”. hhtps://id.m.wiki/Budaya. Diakses Kamis, 20 Februari


2020 jam 11.27.

11

Anda mungkin juga menyukai