PENDAHULUAN
b. Patofisiologi
1) Masuknya kuman tuberculosis ke dalam tubuh tidak selalu
menimbulkan penyakit. Infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan
banyaknya basil tuberculosis serta daya tahan tubuh manusia.
2) Penularan TBC dapat terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan secara “droplet infection” yaitu udara yang dihirup ketika
bernapas. Pecikan halus akan segera mongering tetapi bagian terkecil
akan tetap melayang di udara selama beberapa jam. Bila seseorang
menghirup udara yang mengandung cukup basil TBC maka basil
tersebut akan masuk alveoli dan terjadi infeksi, hanya pertikel yang
kurang dari 10 mikromilimeter yang dapat mencapai alveoli paru.
3) Tempat implantasi kuman TBC yang paling sering adalah permukaan
alveoli dan parenkim paru pada bagian bawah lobus atas atau bagin
lobus bawah.
4) Reaksi yang ditimbulkan oleh basil ini merupakan proses peradangan
alveoli yang akut. Tahap te rsebut dapat sembuh sendiri, dapat pula
berkembang lebih lanjut di mana peradangan menjadi degeneratif dan
eksudat menjadi lebih banyak dan ada kalanya eksudat dapat terbawa
c. Etiologi
- Mycobacterium tuberculose
- Mycobacterium bavis.
Faktor – faktor yang menyebabkan seseorang yang terinfeksi oleh
mycobacterium tuberculose ini adlah herediter, jenis kelamin, usia,
keadaan stress, meningkatnya sekresi steroid adrenal dan anak yang
mendapat terapi kortikosteroid serta nutrisi.
d. Komplikasi
1) Meningitis
2) Spondilitis
3) Pleuritis
4) Bronkopneumonia
5) Atelektasis
6) Pneumothoraks
7) Tuberkulosa perikarditis
8) Peritonitis
9) Limfadenitis
e. Manifestasi Klinis
1) Demam, malaise, BB turun, anoreksia
2) Pucat, anemia, lemah, berkeringat pada malam hari
3) Sesak napas pada penyakit yang lebih lanjut
4) Nyeri dada tetapi jarang terjadi timbul bila ,infiltrasi radang samapi
pleura
f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan fisik
2) Reaksi terhadap tuberculin = reaksi positif bila diameter 10 mm atau
lebih sesudah 24 – 72 jam menunjukkan adanya infeksi promer
3) Radiologi : terdapat kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran,
pembesaran kelenjar paratrakeal, penyebaran milier, penyebaan
bronkogen, atelektasis, pleuritis dengan efusi pleura, cairan ascites.
4) Kultur sputu., kultur bilasan lambung, cairan pleura, urine, cairan
spinalis, cairan nodus limfe ditemukan basil tuberculosis.
5) Patologi anatomi : dilakukan pada kelenjar getah bening, hepar, pleura,
peritoneum
6) Uji BCG
7) Analisa Gas darah(AGD)
8) Lanjut endap darah meningkat
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
produksi sputum yang berlebihan ditandai dengan : keluhan sesak napas
lendir yang kental dan sulit keluar, ronki (+), RR > 24 kali/menit.
Tujuan Keperawatan : Bersihan jalan napas kembali efektif setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil :
- Sesak napas berkurang.
- Ronki(-).
- Sputum tidak kental(encer) dan dapat dibatukkan.
Intervensi :
1) Kaji kualitas pernapasan : bunyi napas, irama, frekuensi, kedalaman
dan penggunaan otot aksesoris.
2) Kaji kemampuan batuk dan pengeluaran sputum.
3) Atur posisi klien : semi fowler/fowler(berikan ekstra bantal/sandaran).
4) Bantu dan ajarkan klien untuk membuang sputum pada tempat yang
bertutup dan diisi antiseptik.
5) Bila perlu lakukan suction untuk mengeluarkan sputum yang kental.
6) Ajarkan batuk efektif dan postural drainage serta anjurkan melakukan
minimal 5 kali sehari.
7) Pertahankan masukan cairan oral kurang lebih 2000 – 2500 mL/hari.
8) Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian oksigen, mukolitik dan
obat batuk.
b. Patofisiologi
1) IDDM (Independent Diabetic Melitus)
Diabetes melitus Tipe I, merupakan insulinopenik atau
memiliki insufisiensi insulin absolut dalam tubuh sehingga diperlukan
obat-obat Hipoglikemi atau insulin dari luar. Berikut skema keadaan
diabetes melitus Tipe I : (hal 2)
Keterangan : Kekurangan insulin absolut pada diabetes Tipe I
disebabkan karena kerusakan sel-sel beta pankreas penghasil insulin
akibat proses autoimun atau karena sebab-sebab lain seperti infeksi
atau keganasan. Biasanya akan menyerang individu yang berumur
kurang dari 30 tahun, akan tetapi juga bisa ditemukan pada semua
umur.
Tingginya kadar gula dalam darah, menyebabkan ginjal tak
mampu menyerap kembali glukosa sehingga glukosa akan terbawa
dalam urine (glokosuria), yang disertai dengan diuresis osmotik,
sehingga banyak cairan dan elektrolit yang hilang lewat urine
(Poliuri).
Karena tubuh banyak kehilangan cairan dan elektrolit maka
akan muncul respon haus yang hebat dan penderita akan banyak
minum (Polidipsi).
Insufisiensi
Ketonuria Fatiq
Defisi
Kehilangan cairan
t K+, Rasa
elektrolit lewat uirne
Na+ Lapa
Ketoasidosis (Poliuri)
r
Berle
Dehidrasi
biha
Nafas Bau Aseton
n
Hipovolemi
Asidosis Metabolik
Penurunan
Kesadaran
Mual, muntah,
Hiperventilasi Koma
Defisit Insulin
Osmolalitas Glukosuria +
cairan ekstra Diuresis
sel meningkat Osmotik
(Poliuri)
Defisit
Hilangnya
cairan Intra Dehidrasi Na+, K+
Sel (HHNK)
2) Etiologi
a) IDDM
- Faktor genetik.
- Faktor Imunologi : Proses autoimun.
- Faktor Lingkungan : Terjadi destruksi pankreas.
b) NIDDM
- Usia.
- Obesitas/ Kegemukan.
- Riwayat Keluarga.
- Golongan etnik tertentu.
3) Manifestasi Klinis
a) IDDM
Tahap Awal
Polidipsi.
Polifagi.
Poliuri.
Kelelahan.
4) Pemeriksaan Laboratorium
a) IDDM
GD. Puasa > 140 mg/dl.
GD 2 jam P.P > 200 mg/dl.
5) Komplikasi
a) IDDM
- Ketoasidosis Diabetik.
- Hipoglikemi.
b) NIDDM
- Sindrom Hiperglikemi Hiperosmolar Nonketotik (HHNK).
- Hipoglikemi.
c) Komplikasi Lanjut :
Penyakit Makrovaskuler.
- Penyakit serebrovaskuler.
- Penyakit vaskuler perifer.
Penyakit Mikrovaskuler.
- Retinopati diabetik.
- Netropati diabetik.
d) Neuropati Diabetik.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1: Kekurangan volume cairan berhubungan denganDiuresis
Osmotik atau Kehilangan cairan berlebihan, ditandai dengan :
Peningkatan haluaran urine.
Kelemahan, haus, penurunan berat badan tiba-tiba.
Kulit dan membran mukosa kering.
Turgor kulit tidak elastis.
Hipotensi dan takikardia.
Tujuan Keperawatan : Kekurangan volume cairan teratasi.
Kriteria Hasil :
Menunjukan hidrasi yang adekuat ditandai oleh :
TD : Sistole 110 – 130 mmHg & Diatole 80 – 90 mmHg.
Nadi : 70 – 80 x/mnt.
Suhu : 36ºC – 37,5ºC.
RR : 16 – 20 x/mnt.
Denyut nadi perifer terasa jelas.
Turgor kulit elastis dan mukosa lembab.
Tidak ada ekspresi lemah atau lelah.
Dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda hipoglikemi seperti penurunan kesadaran,
keringat dingin, nadi cepat, rasa lapar, gemetar, cemas, sakit kepala.
2) Berikan Diet DM sesuai tipe DM dan sajikan makanan dalam keadaan
hangat
3) Timbang berat badan sesuai indikasi.
4) Anjurkan klien untuk nafas panjang jika mual/muntah
5) Tekankan pentingnya makan yang teratur, menentukan waktu untuk
makan-makanan selingan dan menghabiskan sesuai jadwal.
6) Lakukan tes glukosa darah dan urine
Inter vensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit.
2) Beri penjelasan tentang penyakit, penanganan serta komplikasinya.
3) Beri penjelasan tentang perlunya menerapkan diet sesuai penjelasan
ahli gizi.
4) Jelaskan program latihan fisik dan obat-obatan.
5) Jelaskan pentingnya perawatan diri dan menjaga kebersihan diri.
6) Jelaskan pentingnya pemantauan gula darah secara rutin dan obat
sesuai dosisnya.
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda peradangan dan infeksi pada permukaan kulit
seperti panas.
2) Lakukan teknik aseptik dan antiseptik setiap melakukan tindakan
keperawatan.
3) Lakukan perawatan kulit, memberikan lotion pada daerah yang
mengalami penekanan lama dan menjaga kulit tetap kering.
4) Lakukan dan anjurkan klien untuk melakukan perawatan/ teknik front
to back.
5) Anjurkan klien untuk menghindari garukan dan luka pada kulit.
b. Patofisiologi
Pada reaksi alergi terjadi reaksi antara alergen dan antibodi yang
menyebabkan terlepasnya histamin bebas dan selanjutnya menyebabkan
spame otot halus dinding bronkus, edema mukosa dan sekresi lendir yang
berlebihan. Ketiga hal tersebut menyebabkan lumen menjadi sangat kecil
sehingga terjadi dispnea expiratori dan stridor expiratory.
c. Etiologi
1) Infeksi virus saluran napas : Influenza.
2) Pemanjangan terhadap elergen tungau, debu rumah, bulu binatang.
3) Pemajan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi.
4) Kegiatan jasmani : lari.
5) Ekspresi emosional : takut, marah, frustasi.
6) Obat-obat aspirin, anti inflamasi non steroid.
7) Lingkungan kerja : uap zat kimia.
8) Pengawaet makanan : sulfit.
9) Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinuitis.
10) Faktor keturunan.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Spirometri.
2) Uji provokasi bronkus.
3) Laboratorium :
- Pemeriksaan sputum : eosinofilia dengan reaktivitas alergi,
kadar IgE menurun.
- Pemeriksaan darah : leukositosis
- Pemeriksaan AGD : PH menurun (N7,35–7,45), PCO2 >
45mmHg, PO2 menurun (N 95-100mmHg)
4) Foto dada : melihat adanya komplikasi asma
e. Komplikasi
1) Pneumotorax.
2) Atelektasis.
3) Aspendilosis bronkus pulmoner alergik.
4) Gagal napas.
5) Bronkitis.
6) Pnemodiastinum jan emfisema subkutis.
Data Obyektif :
Dispnea.
Bibir pucat.
Napas cuping hidung.
Ekspirasi memanjang.
Wheezing (bunyi napas).
HR meningkat
Takikardi.
Distensi Vena Jugularis.
Warna kulit : sianosis, memerah.
Turgor jelek.
Edema.
Insomnia.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
adanya penumpukkan lendir di bronkus ditandai dengan:
Intervensi :
1) Kaji bunyi napas / auskultasi:catat adanya wheezing, ronchi.
2) Kaji sekresi / secret : jumlah, warna, konsistensi, bau.
3) Observasi Tanda-tanda Vital tiap 4 jam atau sesuai kebutuhan.
4) Berikan posisi yang nyaman pada klien untuk bernapas : posisi fowler
5) Ajarkan batuk efektif.
6) Lakukan hisap lendir dan hati-hati bila klien tidak mampu
mengeluarkan lendir sendiri.
7) Lakukan postural drainase sesuai kebutuhan, k/p clapping.
8) Beri minuman hangat untuk membantu mengencerkan dahak.
9) Kolaborasikan dengan dokter dalam pemberian O2, terapi inhalasi :
nebulizer dan obat.
Intervensi :
1) Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital tiap 3 – 4 jam.
2) Monitor kedalaman dan frekuensi pernapasan.
3) Kaji adanya mengi.
4) Atur posisi tidur semi fowler/ nyaman menurut pasien.
5) Kaji adanya cyanosis.
6) Usahakan klien memakai pakaian yang longgar.
7) Kolaborasikan dengan dokter dalam pemberian O2.
Intervensi :
1) Kaji kebutuhan istirahat tidur klien.
2) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
3) Hindari pemeriksaan/ tindakan yang dapat mengganggu tidur klien.
4) Beri kesempatan klien untuk istirahat.
5) Libatkan keluarga dalam menciptakan lingkungan yang nyaman untuk
istirahat.
6) Batasi pengunjung.
7) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi.
D. GASTROENTERITIS
1. TINJAUAN TEORITIS
a. Derfinisi
Gastroenteritis adalah peradangan pada daerah lambung dan usus halus
termasuk mukosa dan submukosa dari usus halus.
Diare adalah peningkatan jumlah BAB dengan frekuensi 3x atau lebih
perhari disertai dengan perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan
atau tanpa lendir dan darah.
b. Etiologi
1) Penyebab infeksi
a) Golongan bakteri misalnya Escheria Coli → penyebab terbanyak,
Salmonella Shigella, Stapilococus Aureus.
b) Golongan Virus misalnya; Rotta virus, Entero virus, Adeno virus.
c) Golongan Parasit misalnya; Entamuba Histolitica, Giardia
clamblia.
2) Penyebab bukan infeksi
a) Alergi makanan, susu.
b) Gangguan metabolik atau malabsobsi.
c) Obat-obatan → antibiotik.
c. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menimbulkan diare
1) Gangguan osmotik ; akibat terdapatnya makanan yang tidak dapat
diserap, menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi
rongga usus yang berlebih ini akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2) Gangguan sekresi ; akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada
dinding usus akan terjadi meningkatnya sekresi air dan elektrolit ke
dalam rongga usus. Dan selanjutnya diare timbul karena terdapat
peningkatan rongga usus.
3) Gangguan mobilitas usus ; hiperperistaltik akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga
timbul diare, dan sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan
mengakibatkan bakteri timbuh berlebihan dan dapat menimbulkan
diare.
d. Manifestasi Klinis
1) Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah.
2) Suhu tubuh meningkat (≥ 37,5° C).
3) Nafsu makan kurang atau tak mau makan kemudian timbul diare.
4) Feses cair mungkin disertai lendir dan/ darah.
5) Warna feses lama-lama hijau karena tercemar dengan empedu.
6) Anus dan sekitarnya lecet karena sering defekasi dan feses makin lama
makin asam akibat banyaknya asam laktosa yang tidak dapat diabsorsi
usus selama diare.
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah
- Hematokrit meningkat.
- Leukositosis.
- Asidosis metabolik.
2) Pemeriksaan feses
- Analisa feses didapat leukosit, eritrosit lemah.
- Kultur feses dan resistensi → E. Coli/Salmonella sygella.
3) Pemeriksaan urine
- Berat jenis uroine meningkat.
- pH urine < 7 (dehidrasi).
g. Penatalaksanaan Medik
1) Tirah baring.
2) Susu rendah laktosa dan makanan rendah serat.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan out put yang berlebihan ditandai dengan :
- Turgor kulit jelek/kurang elastis, mukosa mulut kering, mata
cekung, bibir kering dan pacah-pecah.
- Muntah, mual, perut melilit.
Intervensi :
1) Kaji riwayat diare ; jumlahnya (banyaknya), frekuensi, konsistensi.
2) Kaji tanda-tanda dehidrasi :
- Turgor, ubun-ubun, mata, nadi.
- Membran mukosa kering, urine sedikit.
3) Timbang BB tiap hari .
4) Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
5) Monitor intake output.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan dan obat.
c. Patofisiologi
Virus – virus Hepatitis dapat menyebabkan cidera dan kematian hepatosit
dengan cara langsung membunuh sel dan dengan merangsang reaksi
peradangan dan imun yang menciderai atau menghancurkan hepatosit.
d. Etiologi
Hepatitis disebabkan oleh virus yang menginfeksi hepatosit. Telah
ditemukan 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab antara lain :
1) Virus Hepatitis A (HAV).
2) Virus Hepatitis B (HBV).
3) Virus Hepatitis C (HCV).
4) Virus Hepatitis D (HDV).
5) Virus Hepatitis E (HEV).
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hepatitis virus dapat berkisar dari asimptomatis sampai
sakit yang mencolok. Kegagalan hati dan kematian terdapat 3 stadium
pada semua jenis hepatitis yaitu :
1) Stadium Prodormal atau periode pra ikterik
Stadium ini berlangsung 1 - 2 minggu dan ditandai oleh :
a) Demam .
b) Malaise umum.
c) Sakit kepala.
d) Anoreksia, mual, muntah.
e) Nyeri pada kuadran kanan atas atau epigastrium.
f. Komplikasi
1) Hepatitis kronik persisten.
2) Hepatitis fulminan.
3) Karsinoma hepatoseluler.
g. Pemeriksaan Diagnostik
1) Data laboratorium :
a) Trombositopenia.
b) SGOT/SGPT meningkat.
c) Alkali Fosfat meningkat.
d) Gula darah : Hiperglikemi/hipoglikemi (gangguan fungsi hati).
e) Albumin serum menurun.
f) Bilirubin serum meningkat.
g) Anti HAV IgM positif pada tipe A.
b. Penatalaksanaan Medik
1) Istirahat, pada penderita akut dan keadaan lemah diberikan cukup
istirahat
2) Diit yang cukup bergizi (rendah lemak).
3) pemberian makanan intra vena mungkin perlu selama fase akut bila
klien terus-menerus muntah.
4) Pemberian obat-obatan yang bersifat melindungi hati.
b. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik dihasilkan dari curah jantung dan tahanan
perifer sehingga semua faktor yang memepengaruhi curah jantung dan
tahanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah. Secara mudah tekanan
darah dapat dituliskan dengan permulaan sebagai berikut : Tekanan darah
= Curah jantung x Tahanan perifer. Curah jantung ditentukan oleh isi
sekuncup dan denyut jantung.
Pengontrolan tekanaan perifer dipertahankan oleh sistem saraf
otonom dan sirkulasi otonom, dengan demikian berbagai faktor yang
mengakibatkan perubahan tahanan perifer, denyut jantung atau isi
sekuncup akan mempengaruhi tekanan arteri sistemik. Stabilitas
mekanisme yang ada dalam tubuh mempengaruhi seluruh pengaturan
sistem tekanan arteri dan mencegah kolaps siskulasi.
Empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan
darah antara lain :
1) Sistem barroreseptor
c. Etiologi
Sebagian besar (90 %) hipertensi tidak diketahui penyebabnya disebut
hipertensi esensial/primer, sedangkan hipertensi sekunder diketahui
penyebabnya.
Penyebab hipertensi sekunder antara lain :
1) Penyakit parenkim renal atau vaskular renal
2) Gangguan endokrim
3) “Coaretation” aorta (penyempitan aorta kongenital)
4) Neurogenik : Tumor otak, ensepalitis, peningkatan volume
intravaskular atau gangguan psikiatri.
5) Faktor resiko lainnya :
Kegemukan
Merokok
Stres
Pemasukan lemak saturasi tinggi garam.
e. Pemeriksaan Diagnostic
1) Data laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak memberi gambaran
spesifik pada hipertensi essensial. Pada penderita yang mengalami
gangguan fungsi ginjal ditemukan :
- Urine : Protein (+), sel darah merah positif (+)
- Ureum darah meningkat
- Trigliserid meningkat
- Kolesterol meningkat
2) Foto thorax : dapat ditemukan pembesaran ventrikel kiri
3) IVP (Intra Venous Pylografi) ditemukan pada kelainan hipertensi
4) EKG: menunjukan kelainan bila sudah ada pengaruh pada jantung.
f. Penatalaksanaan Medik
1) Tirah baring
2) Diit : rendah kalori rendah garam
3) Pemberian obat-obatan anti hipertensi
a) Angiotensin Converting Enzim ( ACE ) inhibitor antara lain
captopril
b) Beta adrenergic bloker antara lain : Nipedipin, nicardipin.
c) Alfa adrenergic yang berkerja pada sentral antara lain ;
Methyldopa, catapres.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Gangguan perfusi jaringan sistemik berhubungan dengan
peningkatan tahanan pembuluh darah perifer ditandai dengan :
- Tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg.
- Nadi : Takikardi.
- Pernafasan cepat.
- Pengeluaran urine sedikit/kurang.
- Klien merasa tegang.
- Wajah terasa panas dan merah.
Tujuan keperawatan : Klien akan memelihara perfusi jaringan sistemik
secara adekuat.
Kriteria hasil :
- Tekanan darah berkurang sampai dengan normal.
- Nadi sekitar 80 x/menit.
- Pernafasan sekitar 16-20 x/menit.
- Pengeluaran urine diatas 30 cc/jam.
- Klien tampak rileks.
- Kulit hangat dan warna kulit normal.
Intervensi :
1) Monitor dan lapor tanda dan gejala penurunan perfusi
jaringan sistemik anatara lain ; peningkatan tensi, HR, pernafasan,
gelisah, binggung, pucat, sianosis.
2) Monitor intake out put, infomasikan segera ke dokter
bila urine kurang dari 30 cc/jam.
3) Berikan lingkungan yang tenang, nyaman, kurangi
aktivitas/keributan lingkungan, batasi pengunjung.
G. SEROSIS HEPATIS
1. TINJAUAN TEORITIS
a. Definisi
Serosis hati adalah penyakit hati kronik yang dicirikan oleh
distorsiarsitektur hati yang normal oleh lembaran-lembaran jaringan ikat
dan modula-modula regenerasi sel-sel hati, yang tidak berkaitan dengan
vaskulatur normal. Nodula-nodula regenerasi ini dapat kecil
(mikronodular) atau besar (makronodular). Serosis dapat mengganggu
sirkulasi darah introhepatik dan pada kasus yang sangat lanjut
menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertingkat (Sylvia A, 1992,
hal; 445).
b. Patofisiologi
1) Sirosis Laenac
Penyalah gunaan alcohol kronik yang menjadikan akumulasi
lemak secara gradual di dalam sel-sel hati degenerasi lemak yang tak
berkomplikasi pada hati dapat riversibel asalkan individu tersebut
berhenti minum alcohol. Secara makroskopis, hati membesar, rapuh
dan tampak lemak serta mengalami gangguan fungsional akibat
Jaringan sel-sel hati rusak Akumulasi lemak dalam sel-sel hati Kerusakan duktus
biliaris
Serosis postnekrotik Trigliserida yang berlebihan Kerusakan sel-sel
hati
Kerusakan sel-sel hati Serosis biliaris
Serosis laennec Warna
hijau
Hati membesar dan rapuh
Gangguan fungsional
Nodula membesar
e. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemindaian ultrasonografi.
2) Pemindaian CT.
g. Penatalaksanaan Medik
Berdasarkan pada gejala-gejala yang ditunjukkan;
1) Antasida, vitamin dan suplemen nutrisi, deuretik boros kalium dan
menhindari alcohol.
2) Kolkisin dapat meningkatkan angka survival pada klien dengan sirosis
ringan sampai sedang.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d diet tidak adekuat,
ketidakmampuan untuk memproses/ mecerna makanan, anoreksia, mual/
muntah, tidak mau makan, mudah kenyang (asites), fungsi usus abnormal.
Tujuan:
KH:
- Menunjukkan peningkatan BB progresif mencapai tujuan dengan
nilai laboratorium normal.
H. DEMAM TYPOID
1. TINJAUAN TEORITIS
a. Definisi
Typus abdominalis atau demam typoid adalah penyakit akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang
lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan
kesadaran.
b. Patofisiologi
Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus
halus, melalui pembuluh limfe halus masuk ke dalam peredaran darah
sampai ke organ-organ terutama hati dan limfa. Basil yang tidak
c. Etiologi
Salmonella typosa, basil gram negatif yang bergerak dengan
bulu getar tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam
antigen yaitu atigen O (somatik, terdiri zat kompleks lipodisanarida),
antigen H (flugella) dan antigen V. Dalam serum pasien terdapat zat anti
(aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
d. Gambaran klinis
Masa tunas 10 – 20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui
makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama
masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak
enak, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat, nafsu makan
kurang. Menyusul dalam gambaran klinis yaitu :
Demam
Berlangsung 3 minggu (khas) bersifat febris remiten dan suhu tidak
tinggi sekali. Selama minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur
naik setiap hati, biasanya menurun pada pagi hari dan meninggkat lagi
pada sore dan malam hari. Pada minggu ke dua pasien terus berada
dalam keadaan demam, pada minggu ke tiga suhu berangsur turun dan
normal kembali pada ahir minggu ke tiga.
Relaps (kambuh)
Relaps ialah berulangnya penyakit tipus abdominalis, akan tetapi
berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu ke dua setelah
suhu badan normal kembali. Terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori
relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak
dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin terjadi
pada waktu penyebuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan
pembentukan jaringan-jaringan fibrosi.
e. Komplikasi
Dapat terjadi pada usus halus, umumnya jarang terjadi, tetapi bila terjadi
fatal :
f. Pemeriksaan Laboratorium
1) Darah tepi :
Leukopenia
Limpositosis relatif
Ameosinofilia pada permulaan sakit
Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
2) Pemeriksaan sumsum tulang (jarang sekali)
3) Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal
g. Penatalaksanaan Medik
1) Perawatan untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama,
lemah, anoreksia.
Data objektif
Suhu tubuh > 38º C dan
grafik naik turun.
Keadaan umum tampak
lesu, pucat, bibir pecah-pecah dan kering.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Hipertermi berhubungan dengan proses terjadinya infeksi
salmonella typosa dalam tubuh ditandai dengan :
Suhu tubuh > 38ºC.
Demam khas naik turun.
Nyeri perut.
Bibir kering dan pecah-
pecah.
Lidah kotor.
Widal positif.
Tujuan keperawatan : Suhu tubuh kembali normal.
Kriteria hasil :
Intervensi :
1) Obsevasi keadaan umum dan tanda vital.
2) Kaji perubahan suhu dan catat dalam grafik.
3) Berikan kompres dingin bila suhu naik.
4) Atur sirkulasi udara ruangan.
5) Tirah baringkan klien (bedrest) sampai demam turun.
6) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemverian antibiotik dan antipiretik.
7) Berikan pendidikan kesehatan tentang demam typoid.
Diagnosa 2 : Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake
makanan yang kurang ditandai dengan :
Mual, muntah yang sering.
Anoreksia.
BB turun.
Lidah kotor.
Anemis.
Tampak lemas.
Tujuan keperawatan : Nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil :
Mual dan muntah berkurang.
BB ideal.
Klien tampak lebih segar.
Tidak anamis/pucat.
Lidah tidak kotor.
Intervensi :
1) Observasi keadaan umum.
2) Kaji nafsu makan pasien.
3) Berikan makanan lunak TKTP dalam keadaan hangat.
4) Anjurkan pasien makan dalam porsi kecil tapi sering.
5) Bila kesadaran menurun buat jadwal pemberian makanan lunak TKTP setiap
4 jam per SL.
6) Timbang BB bila memungkinkan.
7) Monitor pemberian makanan parenteral ; IV + NaCl + Glukosa.
8) Lakukan perawatan mulut 2xsehari, untuk mulut kering berikan borax gliserin
dan bila ada stokatitis berikan gentian violet.
9) Kolaborasi tim medik untuk pemberian vitamin dan antiemetik.
10) Berikan pendidikan kesehatan tentang penting nutrisi dalam perawatan dan
pengobatan.
Intervensi :
1) Observasi keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital setiap 2 jam.
2) Catat perubahan kesadaran dan tanda vital, laporkan hasil pada dokter yang
merawat
3) Anjurkan pasien tetap bedrest.
4) Bila perlu berikan kompres dingin pada perut.
5) Monitor inteke dan output cairan; oral dan IV setiap 8 jam.
6) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antiperdarahan dan antipiretik.
7) Pantau hasil laborat dan laporkan perubahan yang terjadi pada tim medis.
8) Berikan pendidikan kesehatan tentang komplikasi dan perawatan lanjut
tentang penyekit tipus.
b. Patofisiologi
Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk ke dalam tubuh penderita
adalah Viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demem, sakit
kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, petekie dan
hiperemi tenggorokkan. Selain itu juga dapat terjadi kelainan pada sistem
retikulo endotelia seperti pembesaran kelenjar getah bening, hati dan
limfa.
Ada 2 perubahan patofisiologi utama terjadi pada DHF, yaitu:
c. Etiologi
Virus yang tergolong Arbovirus.
d. Manifestasi Kinis
Manisfestasi klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF
dengan masa inkubasi antara 3-15 hari.
Demam akut
Peningkatan suhu tubuh yang tiba- tiba sering disertai menggigil,
anoreksia, sakit kepala dan nyeri otot.
Perdarahan
Fenomena perdarahan paling umum adalah tes torniquet positif, mudah
memar dan perdarahan pada sisi fungsi vena. Tampak pad kebanyakan
kasus adalah peteqie halus menyebar pada extremitas, axial, wajah dan
palatum lunak yang biasanya terlihat selama fase demem awal.Epistaksis
dan pedarahan gusi jarang terjadi, perdarahan gastrointestinal ringan dapat
terlihat selama periode demam.
Sering dijumpai pembesaran hati dan nyeri teken tanpa adanya ikterik.
Renjatan (syok)
Pada klien yang mengalami renjatan akan mengalami sianosis perifer
terutama tampak pada ujung-ujung jari dan bibir, kulit teraba lembab dan
e. Klasifikasi
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit. Secara klinis
dibagi menurut WHO 1986 :
Derajat I : Demam disertai gejala klinis lain dengan manifestasi
perdarahan teringan yaitu : Uji torniquet positif, trombositopenia dan
hemokonsentrasi .
Derajat II : Derajat I + disertai perdarahan spontan dikulit atau di tempat
lain.
Derajat III : Gagal sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, hipotensi,
cyanosis sekitar mulut, hidung dan ujung – ujung jari (tanda dini
renjatan).
Derajat IV : Renjatan hebat (DDS) dengan nadi dan tekanan darah yang
tidak terdeteksi.
f. Komplikasi
1) Perdarahan luas
2) Syok (renjatan)
3) Pleural effusion
4) Penurunan kesadaran.
g. Pemerikasaan Diagnostik
h. Penatalaksanaan Medik
1) Tirah baring
2) Minum banyak 1,5 – 2 liter/24 jam
3) Makan lunak
4) Pemberian cairan intra vena
5) Obat-obatan :Antipiretik, antikonvulsi
6) Pada kasus renjatan; antibiotika, kortikosteroid, antikoagulasia
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Hipertermi berhubungan dengan infeksi vifus dengue yang
ditandai dengan :
Suhu tubuh ≥ 38º C.
J. GASTRITIS
1. TINJAUAN TEORITIS
a. Definisi
Gastritis adalah peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat akut
atau kronik.
Gastritis terbagi 2, yaitu :
1. Gastritis Akut
Melainkan kelaianan klinis akut yang jelas penyebabnya dengan tanda
dan gejala yang khas. Biasanya ditemukan sel inflamasi akut dan
neutrofil.
2. Gastritis Kronik
Penyebabnya tidak jelas, sering bersifat multifactor dengan perjalanan
klinik yang bervariasi. Kelainan ini berkaitan erat dengan infeksi
Helicobacter pylori.
c. Etiologi
Penyebab penyakit ini antara lain :
1) Obat-obatan : aspirin, obat antiinflamasi nonstreroid (AINS).
2) Alkohol.
3) Gangguan mikrosirkulasi mukosa lambung : trauma, luka bakar,
sepsis.
d. Manifestasi Klinis
1) Nyeri ulu hati.
e. Komplikasi
Perdarahan lambung.
f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Darah
Dapat ditemukan kadar Hb yang menurun (pada gastritis kronis).
Kadar serum turun
Natrium : < 135 mmol/L
Kalium : < 3,5 mmol/L
Clorida : < 95 mmol/L
Amilase meningkat.
2) Grastoscopi untuk mengetahui adanya erosi atau atropi mukosa.
3) Biopsi untuk mengetahui adanya gastritis kronik pada mukosa antrum
dan korpus.
g. Penatalaksanaan Medik
1) Diit lunak. Mengatur
2) Antasid. sekresi asam
3) Inhibitor pompa proton lambung
4) Antibiotik : tetra siklin, metronidazol, kloritomisin dan amoxilin.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Nyeri ulu hati berhubungan dengan adanya iritasi mukosa
lambung.
Ditandai dengan :
Klien mengeluh ulu hati sakit.
Nyeri tekan epigastrium.
Os tampak pucat karena menahan sakit.
Klien tampak tegang/ kesakitan.
Tujuan Keperawatan : Nyeri berkurang sampai dengan hilang.
Kriteria hasil :
Skala nyeri klien 0 (nol).
Klien tampak rileks dan dapat beristirahat.
K. MALARIA
1. TINJAUAN TEORITIS
a. Definisi
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat cepat maupun lama
prosesnya, malaria disebabkan oleh parasit malaria / protozoa genus
plasmodium bentuk aseksual yang masuk kedalam tubuh manusia yang
ditularkan oleh nyamuk anopeles betina ditandai dengan demam, muka
nampak pucat dan pembesaran organ tubuh manusia, (WHO. 1981).
b. Patofisiologi
Luas penghancuran sel darah merah tergantung pada lama dan
keparahan infeksi. Hemolisis sering menyebabkan kenaikan dalam
bilirubin serum dan pada malaria falciparum ia dapat cukup kuat untuk
mengakibatkan hemoglobinuria (blackwater fever). Pada setiap infeksi
malaria, tingkat anemia lebih besar daripada yang dapat dikaitkan dengan
destruksi sel oleh parasit secara tersendiri. Perubahan autoantigen yang
MANUSIA NYAMUK
Dalam hati Kelenjar liur
SPOROZOID
HIPNOZOID
SKIZON HATI
OOKISTA
MEROZOID
Dalam darah
TROPOZOID OOKINET
SKIZON
MEROZID
MIKROGAMET
GAMETOSIT ZYGOT
Standar Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam | 103
MAKROGAMET
c. Etiologi
Plasmodium sebagai penyebab malaria terdiri dari 4 sepesies, yaitu:
1) Malaria Tropika atau Malaria tertiana maligna yang disebabkan oleh
Plasmodium Falciparum.
2) Malaria Tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium Vivax.
3) Malaria Kwartana yang disebabkan oleh Plasmodium Malariae.
4) Malaria Ovale disebabkan oleh Plasmodium ovale
Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopeles betina
yang sebelumnya terinfeksi oleh plasmodium. Pada keadaan lain, malaria
berkembang pasca-penularan trasplasenta atau sesudah transfusi darah
d. Manifestasi Klinis
f. Penatalaksanaan Medik
Obat antimalaria terdiri dari 5 jenis, antara lain:
1) Skizontisid jaringan primer yang membasmi parasit praeritrosit, yaitu
proguanil, pirimetamin.
2) Skizontisid jaringan sekunder yang membasmi parasit eksoeritrosit,
yaitu primakuin.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1: Hipertermia b/d peningkatan tingkat meTabelolisme
penyakit, dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada
hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur.
Yang ditandai dengan:
Peningkatan suhu tubuh, menggigil, kulit hangat peningkatan pernafasan
Tujuan: Temperatur suhu tubuh menurun (35,5O-37O C)
KH:
- Mendemonstrasikan vital sigh (TTV) termasuk suhu tubuh dalam
batas normal.
- Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
KH:
- Melaporkan kebutuhan atau perawatan diri serta latihan setiap harinya
terpenuhi tanpa adanya bantuan.
- Menunjukkan adanya kelemahan, akibat kurangnya kebutuhan oksigen
adekuat.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas, catat laporan kelelahan,
keletihan dan kesulitan menyelesaikan tugas
2) Kaji kehilangan / gangguan keseimbangan gaya jalan, kelemahan otot.
3) Awasi tekanan darah, nadi, pernafasan selama dan sesudah aktivitas,
catat respon terhadap tingkat aktivitas.
4) Berikan lingkungan tenang, pertahankan tira baring bila diindikasikan
5) Ubah posisi dengan perlahan dan pantau keluahan pusing.
BAB III
PENUTUP