PEMBAHASAN
2.1 Anemia
2.1.1 Definisi Anemia dalam Kehamilan
Anemia adalah suatu kondisi dimana kekurangan sel darah
merah atau haemoglobin. Nilai normal hemoglobin pada wanita
dewasa adalah 12 - 15 g/dL. Anemia dalam kehamilan adalah suatu
keadaan dimana kadar haemoglobin atau hematocrit kurang dari 11
gr% pada trimester 1 dan 3 atau kadar haemoglobin kurang dari
10,5 gr% pada trimester 2. Pada kehamila kebutuhan oksigen lebih
tinggi sehingga memicu peningkatan produksi eritropoietin.
Akibatnya volume plasma bertambah dan sel darah merah
(eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi
dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan
peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi
hemoglobin (Hb) akibat hemodilusi. Pada wanita hamil terjadi
kondisi hemodilusi sehingga terdapat perbedaan nilai batas
hemoglobin normal pada wanita hamil dengan wanita tidak hamil.
3. Anemia Hemolitik
Anemia disebabkan karena penghancuran sel darah merah
berlangsunglebih cepat dari pada pembuatannya. Anemia
hemolitik pada kehamilan yang tidak jelas sebabnya jarang
dijumpai, tetapi merupakan suatu kenyataan yang jelas adanya
hemolysis berat pada awal kehamilan yang mereda beberapa
bulan setelah persalinan. Belum ada bukti berperannya
mekanisme imun atau cacat intra atau ekstraeritrosit. Karena
janin-bayi juga dapat memperlihatkan hemolysis. Apabila
seorang wanita dengan anemia hemolitik hamil, biasanya
anemia yang diderita akan menjadi lebih berat, namun dapat
juga terjadi bahwa kehamilan menyebabkan krisis hemolitik
pada wanita yang sebelumnya tidak menderita anemia
(pergnacy induced hemolytic anemia). Frekuensi anemia
hemolitik dalam kehamilan tidak tinggi. Terbanyak anemia
iniditemukan pada wanita negro yang menderita anemia sel
sabit, anemia sel sabit-hemoglobinC, sel sabit-thalassemia,
atau penyakit hemoglobin C.
2.1.3 Etiologi
Etiologi anemia dalam kehamilan terbagi menjadi dua yaitu:
a. Didapatkan (acquired)
1) Anemia defisiensi besi
2) Anemia karena kehilangan darah secara akut
3) Anemia karena inflamasi atau keganasan
4) Anemia megaloblastik
5) Anemia hemolitik
6) Anemia aplastik
b. Herediter
1) Thalasemia
2) Hemoglobinopati lain
3) Hemoglobinopati sickle cell
4) Anemia hemolitik herediter
2. Anemia Megaloblastik
Anemia Megaloblastik dapat disebabkan metabolisme asam
folat dan vitamin B12 yang tidak efektif:
a. Kurangnya pasokan asam folat dan vitamin B12 dari
makanan
b. Gangguan transport vitamin B12 dan/ atau asam folat atau
gangguan pengikatan vitamin B12 dan/atau asam folat oleh
reseptornya (defisiensi enzim)
3. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang
berbeda yaitu faktor intrinsik & faktor ekstrinsik:
a. Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam
eritrosit itu sendiri. Kelainan karena faktor ini dibagi
menjadi tiga macam yaitu:
3) Hemoglobinopati
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian
terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudian pada
perkembangan selanjutnya konsentrasi HbF akan
menurun, sehingga pada umur satu tahun telah
mencapai keadaan yang normal Sebenarnya terdapat 2
golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin ini,
yaitu:
a) Gangguan struktural pembentukan hemoglobin
(hemoglobin abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-
lain
b) Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai
globin. Misal talasemia
b. FaktorEkstrinsik
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
1) Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat
2) Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh
oleh antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
3) Infeksi, plasmodium
2.1.4 Predisposisi
1. UmurIbu
Menurut Amiruddin (2007), bahwa ibu hamil yang
berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
yaitu 74,1% menderita anemia dan ibu hamil yang berumur
20-35 tahun yaitu 50,5% menderita anemia. Wanita yang
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, mempunyai
resiko yang tinggi untuk hamil, karena akan membahayakan
kesehatan ibu hamil maupun janinnya beresiko mengalami
perdarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia.
2. Paritas
Menurut Herlina (2006), Ibu hamil dengan paritas
tinggi mempunyai resiko 1.454 kali lebih besar untuk
mengalamianemia dibanding dengan paritas rendah. Adanya
kecenderungan bahwa semakin banyak jumlah kelahiran
(paritas), maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia.
3. Kurang Energi Kronis (KEK)
41% (2.0 juta) ibu hamil menderita kekurangan gizi.
Timbulnya masalah gizi pada ibu hamil, seperti kejadian KEK,
tidak terlepas dari keadaan sosial, ekonomi, dan bio sosial
dari ibu hamil dan keluarganya seperti tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan, konsumsi pangan, umur, paritas, dan
sebagainya.
Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) adalah suatu
cara untuk mengetahui resiko Kurang Energi Kronis (KEK)
pada Wanita Usia Subur (WUS). Pengukuran LILA tidak
dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi
dalam jangka pendek. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA)
dapat digunakan untuk tujuan penapisan status gizi Kurang
Energi Kronis (KEK). Ibu hamil KEK adalah ibu hamil yang
mempunyai ukuran LILA<23.5 cm. Deteksi KEK dengan
ukuran LILA yang rendah mencerminkan kekurangan energi
dan protein dalam intake makanansehari hari yang biasanya
diiringi juga dengan kekurangan zat gizi lain, diantaranya
besi. Dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang menderita KEK
berpeluang untuk menderita anemia (Darlina, 2003).
4. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi seperti TBC, cacing usus dan
malaria juga penyebab terjadinya anemia karena
menyebabkan terjadinya peningkatan penghancuran sel darah
merah dan terganggunya eritrosit (Wiknjosastro H, 2004).
5. Jarak kehamilan
Salah satu penyebab yangdapat mempercepat
terjadinya anemia pada ibu hamil adalah jarak kelahiran
pendek. Hal ini disebabkan kekurangan nutrisi yang
merupakan mekanisme biologis dan pemulihan faktor
hormonal dan adanya kecenderungan bahwa semakin dekat
jarak kehamilan, maka akan semakin tinggi angka kejadian
anemia. Banyaknya anak yang dilahirkan seorang ibu
akanmempengaruhi kesehatan dan merupakan faktor resiko
terjadinya BBLR, tumbuh kembang bayi lebih lambat,
pendidikan anak lebih rendah dan nutrisi kurang
(Depkes, 2003).
6. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap
perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan
yang lebih tinggi akan memudahkan sesorang untuk menyerap
informasi-informasidan mengimplementasikannya dalam
perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khusunya tingkat
pendidikan wanita sangat mempengaruhi kesehatannya. (
Depkes, 2004).Hasil penelitian Hendro (2006), mengatakan
ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan
status anemia, karena dengan tingkat pendidikan ibu yang
rendah diasumsikan pengetahuannya tentang gizi rendah,
sehingga berpeluang untuk terjadinya anemia sebaliknya jika
ibu hamil berpendidikan tinggi, maka kemungkinan besar
pengetahuannya tentang gizi juga tinggi, sehingga
diasumsikan kecilpeluangnya untuk terjadi anemia.
7. Pengetahuan
Kebutuhan ibu hamil akan zat besi (Fe) meningkat
0,8 mg pada trimester I dan meningkat tajam pada
trimester III yaitu 6,3 mg sehari. Jumlah sebanyak itu
tidak mungkin tercukupi hanya melali makanan apalagi
didukung dengan pengetahuan ibu hail yang kurang
terhadap peningkatan kebutuhan zat besi (Fe) selama hamil
sehingga menyebabkan anemia pada ibu hamil.Ibu hamil
dengan pengetahuan tentang zat besi (Fe) yang rendah akan
mempengaruhi konsumsi tablet (Fe), dan juga pemilihan
makanan dengan sumber (Fe) yang rendah. Sebaliknya ibu
dengan pengetahuan konsumsi tablet (Fe) yang baik akan
memiliki pola makan yang baik pula dalam pmenuhan zat
besi (Arisman, 2004).
2.1.5 Patofisiologis
1. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi
Konsentrasi hemoglobin normal pada wanita hamil
berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Hal ini disebabkan
karena pada kehamilan terjadi proses hemodilusi atau
pengenceran darah, yaitu terjadi peningkatan volume plasma
dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan
peningkatan eritrosit. hematologi sehubungan dengan
kehamilan, antara lain adalah oleh karena peningkatan
oksigen, perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap
plasenta dan janin, serta kebutuhan suplai darah untuk
pembesaran uterus, sehingga terjadi peningkatan volume darah
yaitu peningkatan volume plasma dan sel darah merah. Namun,
peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih
besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga
terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.
Hemodilusi berfungsi agar suplai darah untuk pembesaran
uterus terpenuhi, melindungi ibu dan janin dari efek negatif
penurunanvenous returnsaat posisi terlentang, dan melindungi
ibu dari efek negatif kehilangan darah saat proses melahirkan.
Hemodilusi dianggap sebagai penyesuaian diri yang
fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita untuk
meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat
dalam masa hamil, karena sebagai akibat hipervolemia cardiac
output meningkat. Kerja jantung lebih ringan apabila viskositas
darah rendah. Resistensi perifer berkurang, sehingga tekanan
darah tidak meningkat. Secara fisiologis, hemodilusi ini
membantu maternal mempertahankan sirkulasi normal dengan
mengurangi beban jantung.
Ekspansi volume plasma di mulai pada minggu ke-6
kehamilan dan mencapai maksimum pada minggu ke-24
kehamilan, tetapi dapat terus meningkat sampai minggu ke-37.
Volume plasma meningkat 45-65 % dimulai pada trimester II
kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke-9 yaitu
meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterem
serta kembali normal tiga bulan setelah partus. Stimulasi yang
meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang
menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron.
Volume plasma yang terekspansi menurunkan
hematokrit, konsentrasi hemoglobin darah, dan hitung eritrosit,
tetapi tidak menurunkan jumlah absolut Hb atau eritrosit dalam
sirkulasi. Penurunan hematokrit, konsentrasi hemoglobindan
hitung eritrosit biasanya tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8
kehamilan, dan terus menurun sampai minggu ke-16 sampai
ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai. Sebab itu, apabila
ekspansi volume plasma yang terus-menerus tidak diimbangi
dengan peningkatan produksi eritropoetin sehingga
menurunkan kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di
bawah batas “normal”, timbullah anemia.
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut
keseimbangan zat besi yang negatif yaitu tahap deplesi besi
(iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan
kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila
kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi
kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini
disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit.
Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total
iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan
reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah
besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul
anemia mikrositik hipokrom yang disebut sebagai anemia
defisiensi besi (iron deficiency anemia).
2.1.6 Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi dalam kehamilan pada
umumnya baik bagi ibu dan anak. Persalinan dapat berlangsung
seperti biasa tanpa pendarahan banyak atau adanya komplikasi lain.
Anemia berat meningkatkan morbiditas dan mortalitas wanita
hamil. Walaupun bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita
anemia defisiensi besi tidak menunjukkan hemoglobin (Hb) yang
rendah, namun cadangan zat besinya kurangsehingga baru
beberapa bulan kemudian akan tampak sebagai anemia infantum.
Anemia megaloblastik dalam kehamilan mempunyai
prognosis cukup baik tanpa adanya infeksi sistemik, preeklampsi
atau eklampsi. Pengobatan dengan asam folat hampir selalu
berhasil. Apabila penderita mencapai masa nifas dengan selamat
dengan atau tanpa pengobatan maka anemianya akan sembuh dan
tidak akan timbul lagi. Hal ini disebabkan karena dengan lahirnya
anak, kebutuhan asam folat jauh berkurang. Anemia megaloblastik
berat dalam kehamilan yang tidak diobati mempunyai prognosis
buruk.
2.1.7 Gejala Klinis
2.1.8 Diagnosis
1. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap
diperlukan untuk penegakan diagnosis. Pada anamnesa akan
didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata
berkunag-kunang, dan keluhan sering mual muntah lebih
hebat pada hamil muda. Pada pemeriksaan fisik terlihat
lemah, letih, lesu. Pada inspeksi muka, conjungtiva, bibir, lidah,
selaput lendir dan dasar kuku kelihatan pucat.
Pemeriksaan penunjang awal yang perlu dilakukan
adalah pemeriksaan kadar hemoglobin dan darah tepi.
Pemeriksaan hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan
standar. Pada pemeriksaan laboratorium (kadar Hb) didapatkan
hasil sebagai berikut;
a. Hb ≥11 gr% : Tidak anemia
b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
c. Hb 7-8 gr% : Anemia sedang
d. Hb <7 gr % : Anemia berat
2.1.10 Pengobatan
1. Anemia defisiensi besi
Menurut Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan
a. Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel
darah merah
b. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan
suplementasI besi dan asam folat. Tablet yang saat ini
banyak tersedia di Puskesmasadalah tablet tambah darah
yang berisi 60 mg besi elemental dan 250μg asam folat.
Pada ibu hamil dengan anemia, tablet tersebut
dapatdiberikan 3 kali sehari. Biladalam 90 hari muncul
perbaikan, lanjutkan pemberian tablet sampai 2 hari
pascasalin.Apabila setelah 90 haripemberian tablet besi dan
asam folat kadar hemoglobin tidak meningkat,rujuk pasien
ke pusatpelayanan yang lebih tinggi untuk mencari
penyebab anemia.
c. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan
penyebab anemia berdasarkan hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan apus darah tepi.
d. Anemia mikrositik hipokrom dapat ditemukan pada
keadaan:
Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila
ditemukan kadar ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi
dengan dosis setara 180mg besi elemental per hari. Apabila
kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan TIBC.
e. Anemia makrositik hiperkrom dapat ditemukan pada
keadaan:
Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan
asam folat 1 x 2 mg dan vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg
f. Transfusi untuk anemia dilakukan pada pasien dengan
kondisi berikut:
Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20 %
Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing,
pandangan berkunang-kunang, atau takikardia (frekuensi
nadi >100x per menit)
Pada beberapa orang, pemberian tablet zat besi dapat
menimbulkan gejala-gejala seperti mual, nyeri didaerah
lambung, kadang terjadi diare dan sulit buang air besar, serta
pusing. Selain itu, setelah mengonsumsi tablet tersebut tinja
dapat berwarna hitam, namun hal ini tidak membahayakan.
Frekuensi efek samping tablet zat besi ini bergantung pada
dosis zat besi dalam tablet tersebut, bukan pada bentuk
campurannya. Semakin tinggi dosis yang diberikan maka
kemungkinan efek samping akan semakin besar.
Terapi parenteral zat besi diberikan hanya apabila terdapat
kontraindikasi dengan terapi oral. Zat besi parenteral diberikan
dalam bentuk ferri secara intramuskular, dapat disuntikkan
dekstran besi, Imferon, atau sorbitol besi. Hasilnya akan lebih
cepat tercapai dan penderita hanya merasa nyeri pada tempat
suntikan. Akhir-akhir ini, Imferon banyak pula diberikan
dengan infus dengan dosis total antara 1000-2000 mg unsur zat
besi. Walaupun zat besi intravena dengan infus kadang-kadang
menimbulkan efek samping, namun apabila ada indikasi yang
tepat maka cara ini dapat dilakukan. Efek sampingnya lebih
kurang dibandingkan dengan transfusi darah.
2. Anemia megaloblastik
Pengobatan untuk anemia megaloblastik dalam
kehamilan sebaiknya diberikan terapi oral asam folat bersama-
sama dengan zat besi. Penatalaksanaan defisiensi asam folat
adalah pemberian folat secara oral sebanyak 1 sampai 5 mg per
hari. Pada dosis 1 mg, anemia umumnya dapat dikoreksi
meskipun pasien mengalami pula malabsorpsi. Ibu hamil
sebaiknya mendapat sedikitnya 400 μg.
3. Anemia Hemolitik
Pengobatan anemia hemolitik dalam kehamilan tergantung
pada jenis dan beratnya. Tranfusi darah yang kadang perlu
diulang beberapa kali, diperlukan bila ada anemia berat untuk
meringankan beban ibu dan mengurangi bahaya hipoksia janin.
Splenektomi dianjurkan pada anemia hemolitik bawaan dalam
trimester II atau III. Pada anemia hemolitik sangat perlunya
mencari faktor penyebab dan menyingkirkannya, seperti
penghentian pemberian obat-obatan yang mendepresi sumsum
tulang.
2.1.11 Pencegahan
1. Anemia defisiensi besi
Tablet Fe diberikan pada kelompok sasaran tanpa
pemeriksaan Hb. Diberikan 90 tablet Fe, dosisnya yaitu 1 tablet
(60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat) berturut-turut
selama minimal 90 hari masa kehamilan mulai pemberian pada
waktu pertama kali ibu memeriksa kehamilannya.Pada anemia
defisiensi besi juga dapat dicegah dengan mengkonsumsi
makanan, sayur yang banyak mengandung zat besi seperti
bayam, daging merah, telur, kacang-kacangan dan dapat
disertai dengan mengkonsumsi buah, sayur yang mengandung
vitamin C seperti jeruk, tomat, mangga untuk membantu proses
penyerapan zat besi.
Pada saat mengkonsumsi tablet Fe atau makanan yang
mengandung zat besi jangan bersamaan dengan meminum the,
dikarenakan zat tannin dalam the dapat menghambat proses
penyerapan zat besi.
2. Anemia megaloblastik
Menurut buku Maye’s Midwifery
Pencegahan defisiensi asam folat yaitu dengan
mengkonsumsi sayuran hijau seperti brokoli dan bayam,
gandum, kacang, ikan tuna.
Kejadian kerusakan tabung saraf meningkat pada ibu
dengan defisiensi asam folat. The National Institute for Health
and Clinical Excellence (NICE) merekomendasikan agar
semua wanita yang ingin hamil harus mengkonsumsi 400μg
suplemen asam folat setiap hari sebelum hamil dan selama
trimester pertama.
2.1.12 Rujukan
Pada ibu hamil dengan anemia, tablet Fe dapat diberikan 3 kali
sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan, lanjutkan pemberian
tablet sampai 2 hari pascasalin. Apabila setelah 90 hari pemberian
tablet besi dan asam folat kadar hemoglobin tidak meningkat, rujuk
pasien ke pusat pelayanan yang lebih tinggi untuk mencari penyebab
anemia.
Pada ibu inpartu dengan Hb <10 gr% rujuk ibu ke pusat
pelayanan yang lebih tinggi seperti rumah sakit.
c. Patofisiologi
Proses terjadinya hemolisis pada penyakit isoimun akibat
inkompatibilitas Rh adalah sebagai berikut:
Pada kasus donor darah dimana dimana wanita dengan
darah Rh (-) ditransfusi dengan Rh (+), maka darah wanita itu
dipicu untuk membentuk Ab-Rh. Akibatnya semula serum
darah wanita yang bersih dari Ab-Rh kini mengandung Ab-Rh,
kini mengandung Ab-Rh terlebih lagi jika sering dilakukan
transfusi.
Sementara untuk proses penurunan Rh dari ibu ke janin
yang berdampak untuk janin berlangsung ketika Ibu dengan Rh
negatif sementara fetus Rh positif, hal itu menyebabkan
masuknya eritrosit fetus ke sirkulasi maternal melalui proses
perdarahan fetomaternal, kemudianterjadi sensitisasi maternal
oleh antigen Ddari eritrosit fetus, setelah terbentuk anti D
maternal sebagai respon terhadap anti gen D fetus, Kemudian
anti D maternal secara transplasental masuk kedalam sirkulasi
fetus, anti bodi tersebut melekat pada eritrosit fetus dan
menyebabkan aglutinasi kemudian eritrosit tersebut menjadi
lisis.Setelah bayi lahir terdapat eritrosit fetus yang mengandung
Rh + dalam aliran darah ibu, jadi bayi yang pertama lahir
dengan selamat. Pada kehamilan berikutnya ketidakcocokan Rh
akan terulang. Reksi Ag-Rh dengan Ab-Rh ibu berlangsung
dalam eritrosit fetus dan menyebabkan eritrosit fetus rusak,
sehingga bayi akan merespon dengan menghasilkan banyak
eritroblas yang jika terlalu berlebihan akan merusak
perkambangan otak bayi. EBF akan menyebabkan bayi
abortus, lahir mati, atau hidup beberapa hari saja. Penyakit
hemolitik karena inkompatibilitas Rh jarang terjadi pada
kehamilan pertama tetapi resikonya menjadi lebih tinggi pada
kehamilan berikutnya.
d. Diagnosis
Diagnosis inkompatibilitas Rh ditegakkan dengan riwayat
kehamilan dan persalinan sebelumnya, penetapan golongan
darah Rh ibu dan janin, Uji Coombs langsung darah janin /
bayi.
e. Antisipasi
Pencegahan untuk mengurangi bahaya berkembangnya Ab-
Rh yaitu dengan jalan memberi injeksi yang dapat menghalangi
terbentuknya Ab-Rh dalam darah ibu. Pemberian
imunoglobulin yang mengandung anti D kepada ibu dapat
mengikat eritrosit janin yang masuk kedalam sirkulasi
maternal. Penyuntikan di lakukan dengan dosis 300 ug anti D
dalam waktu 72 jam setelah kelahiran atau kejadian abortus.(3)
2. Epidemiologi
Antibodi antifospolipid dijumpai sejak usia muda,
prevalensi ACA dan LA pada subyek kontrol sehat adalah 1-
5%. Sebagaimana autoantibodi lainnya, prevelensi antibodi
antifosfolipid meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
khususnya di antara pasien usia lanjut dengan penyakit kronis
sebagai penyerta. Sindrom antifosfolipid yang tampak pada
penduduk hampir sama dengan pada golongan penyakit
jaringan ikat.
Golongan yang paling sering menderita adalah perempuan
usia subur. Pada yang sekunder perbandingan antara
perempuan terhadap pria adalah 7 sampai 9:1 dengan yang
terjadi pada Lupus Eritomatosus Sistemik, sedangkan yang
primer lebih rendah yaitu 4:1.
Biasanya, orang-orang yang mengalami gejala akan
lakukan bertahun-tahun sehingga antara usia 18 dan 40.
Namun, kadang-kadang mereka dapat berkembang sangat dini
pada masa kecil.
3. Etiologi
Saat ini belum ada penelitian yang menemukan secara pasti
penyebab ACA, yang pasti ACA bukan penyakit keturunan
dan tidak menular.
Dugaan sementara dari para ahli ACA disebabkan oleh pola
hidup yang tidak sehat, misalnya mengkonsumsi makanan
instan, merokok, DM.
Pada penderita ACA inilah yang disebut penderita APS.
Antiphospholipid Antibody Syndrome (APS) adalah
gangguan autoimun. Gangguan autoimun terjadi jika sistem
kekebalan tubuh membuat antibodi yang menyerang dan
merusak jaringan atau sel.
Pada penderita ACA inilah yang disebut penderita APS
Antiphospholipid Antibody Syndrome (APS) adalah
gangguan autoimun. Gangguan autoimun terjadi jika sistem
kekebalan tubuh membuat antibodi yang menyerang dan
merusak jaringan atau sel.
4. Akibat/Dampak
a. Pengaruh Kelainan Darah Pada Ibu Hamil
ACA atau juga disebut sindrom anticardiolipin
terjadi karena darah lebih cepat membeku dibandingkan
dengan kondisi normal pada umumnya. Mengentalnya
darah yang terlalu cepat ini akan menyebabkan gangguan
pada metabolisme tubuh dan dapat menyebabkan gagal
jantung ataupun stroke. Bahkan akibat ACA yang tidak
terpantau akan berujung pada kematian karena peredaran
darah yang tidak lancar atau tidak tersuplai ke seluruh
tubuh sebagaimana mestinya
Jika darah yang ada di dalam tubuh mengental,
maka semua aliran oksigen dan nutrisi dalam tubuh akan
terganggu. Efeknya dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi utama ginjal, penyumbatan paru-paru,
migren, serangan jantung, serangan stroke.
Bagi ibu hamil, sindrom ini dapat menjadi penyebab
janin meninggal dalam kandungan, keguguran berulang
kali, dan bayi yang lahir meninggal
Bila darah yang mengalir dalam tubuh kental
tentunya akan sulit dialirkan keseluruh tubuh, akibatnya
sirkulasi darah berjalan tidak lancar. Akibatnya, seseorang
yang menderita sindrom ACA akan mengalami penurunan
daya ingat, penyakit jantung, stroke, sampai kematian di
usia dewasa muda atau sebelum 40 tahun.
Bagi ibu hamil, sindrom ini dapat menjadi penyebab
janin meninggal dalam kandungan, keguguran berulang
kali, dan bayi yang lahir meninggal.
5. Patofisiologi
Manifestasi klinis sindrom antiphospolipid terjadi
akibat adanya thrombosis dan emboli yang tersebar pada
pembuluh darah besar dan kecil yang menyebabkan iskemia
bahkan infark pada jaringan, penyakit jantung coroner, stroke,
ancaman abortus pada janin,dan gangguan tumbuh kembang
janin.
Diketahui ada beberapa mekanisme yang dapat
menyebabkan thrombosis tersebut, seperti penurunan
produksi prostasiklin. Pada sel endotel pembuluh darah
terjadi metabolisme asam arakidonat melalui
cyclooxygenase pathway untuk menghasilkan prostasiklin.
Dan sebaliknya terjadi metabolisme asam arakidonat
untuk menghasilkan tromboksa A2 (TXA2) pada sel-sel
platelet.
Prostasiklin merupakan vasodilator yang dapat meghambat
agregasi dari trombosit, sedangkan efek dari tromboksan
adalah kebalikannya. Dengan begitu penurunan prostasiklin
akibat kerusakan endotel berpotensi menimbulkan thrombosis
melalui agregasi trombosit dan vasokonstriksi pembuluh darah.
Ada beberapa mekanisme lain yang diduga dapat
menyebabkan thrombosis, sepertipenurunan protein C yang
teraktivasi, peningkatan pelepasan tissue factor, penurunan anti
thrombin III, penurunan fibrinolysis, dan peningkatan agregasi
platelet.
2.3 Leukimia
2.3.1 Definisi
Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang
menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang
(bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam tubuh
manusia memproduksi tiga type sel darah diantaranya sel darah
putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel
darah merah (berfungsi membawa oxygen kedalam tubuh) dan
trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses
pembekuan darah).Leukemia umumnya muncul pada diri
seseorang sejak dimasa kecilnya, Sumsum tulang tanpa diketahui
dengan jelas penyebabnya telah memproduksi sel darah putih yang
berkembang tidak normal atau abnormal.
Normalnya, sel darah putih me-reproduksi ulang bila tubuh
memerlukannya atau ada tempat bagi sel darah itu sendiri. Tubuh
manusia akan memberikan tanda/signal secara teratur kapankah sel
darah diharapkan be-reproduksi kembali.Pada kasus Leukemia
(kanker darah), sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal
yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak
terkontrol (abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat
ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah
putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi
normal sel lainnya.
2.3.2 Jenis/tipe
1. Leukemia Akut
Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang
yang berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh
komponen darah abnormal yang disertai dengan penyebaran
organ-organ lain. leukemia akut memiliki perjalanan klinis
yang cepat, tanpa pengobatan penderita akan meninggal rata-
rata dalam 4 sampai 6 bulan.
a. Leukemia Limfositik Akut
Leukemia Limfositik Akut merupakan jenis
leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan
akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfatik yang
mengakibatkan ergonomically (pembesaran alat-alat dalam)
dan kegagalan organ. Leukemia Limfositik Akut lebih
sering ditemukan pada anak-anak 82% daripada umur
dewasa 18%. Insiden Leukemia Limfositik Akut akan
mencapai puncaknya pada umur 3 sampai 7 tahun. Dampak
pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2 sampai 3
bulan Setelah diagnosis terutama diakibatkan oleh
kegagalan dari sumsum tulang.
2. Leukemia Kronik
Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai
proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau
terjadi karena keganasan hematologi.
a. Leukemia Limfosit Kronis
Leukemia Limfosit Kronis adalah suatu keganasan
klonal limfosit B (jarang pada limfosit T). Perjalanan
Penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi progresif
yang berjalan lambat dari limfosit kecil yang berumur
panjang. Cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang
menyerang individu yang berusaha berusia 50 sampai 70
tahun dengan perbandingan 2:1 untuk laki-laki.
2.3.4 Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai
pertahanan tubuh terhadap infeksi. Sel darah ini secara normal
berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol sesuai dengan
kebutuhan tubuh. Leukimia meningkatkan produksi sel darah
putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat
berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti
biasanya. Leukimia memblok produksi sel darah normal, merusak
kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemia juga merusak
produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah
merah di mana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen
pada jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan
mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan
leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka,
yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau
perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali),
delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau
lebih mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang
berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukimia terjadi jika proses pematangan dari stem sel
menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan
perubahan kearah keganasan. Perubahan tersebut seringkali
melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan
genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom mengganggu
pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah
tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel sel ini
menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel
yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga
bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati, limpa,
kelenjar getah bening, ginjal, dan otak.
2.3.6 Pengobatan
1. Kemotrapi
a. Kemotrapi pada penderita Leukemia Limfositik Akut
Pengobatan umum terjadi secara bertahap,
Meskipun tidak semua fase yang digunakan untuk semua
orang.
1) Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk
membunuh sebagian besar sel sel leukemia di dalam
darah dan sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi
biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang
panjang, karena obat menghancurkan banyak sel darah
normal dalam proses membunuh sel leukemia. Pada
tahap ini memberikan kemoterapi kombinasi yaitu
dengan daunorubisin, vincristin, prednison, dan
asparaginase.
2) Fase Akselerasi
Sama dengan terapi leukemia akut tetapi respon
sangat rendah.
2. Radioterapi
Radioterapi yang menggunakan sinar berenergi tinggi untuk
membunuh sel-sel leukimia. Sinar berenergi tinggi ini
ditunjukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh tempat
menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi
gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray, dan
sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika
terdapat keluhan karena pembengkakan kelenjar getah bening
setempat.
4. Terapi suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat
yang ditimbulkan penyakit leukimia dan mengatasi efek
samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita
leukimia dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk
mengatasi perdarahan, dan antibiotik untuk mengatasi infeksi.
2.3.7 Pencegahan
1. Pencegahan terhadap pemaparan sinar radio aktif
Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan
pasien yang penatalaksanaan medis nya menggunakan radiasi.
Untuk petugas radiologi dapat dilakukan dengan menggunakan
baju khusus anti radiasi, mengurangi paparan terhadap radiasi,
Dan pergantian atau rotasi kerja. Untuk pasien dapat dilakukan
dengan memberikan pelayanan diagnostic radiology serendah
mungkin sesuai kebutuhan klinis.
a. Interferon
Interferon telah digunakan sebagai terapi Leukemia
dengan kesuksesan yang beragam. Bukti laboratorium
menunjukan bahwa interferon dapat melewati plasenta
dan meningkatkan insiden abortus pada monyet rhesus,
efek samping pada kehamilan dan pertumbuhan janin
belum dilaporkan, tetapi ada laporan bayi yang terlahir
normal dari ibu yang diberikan terapi interferon selama
kehamilan. Namun terapi dengan interferon aloha dapat
menimbulkan fertilitas sebagai akibat penurunan kadar
estradiol dan serum progeteron.
b. Leukafaresis
Leukafaresis telah sukses digunakan pada leukemia
akut dan kronik untuk menurunkan sel darah putih yang
tinggi pada pasien dengan ancaman hambatan
vaskularisasi, terapi leukafaresis yang telah dilakukan
pada pasien hamil dengan leukemia dapat ditoleransi
dengan baik oleh ibu dan janin, dan tidak ditemukan efek
samping yang berarti. Leukafaresis dapat dipertimbangkan
sebagai terapi pada pasien dengan leukemia pada trimester
pertama kehamilan dan dapat dilanjutkan selama
kehamilan berlangsung. Oleh karna efek samping dan efek
teratogenik yang rendah, terapi ini merupakan terapi yang
optimal pada pasien hamil dengan Leukemia yang dapat
mentolerir dan merespon terhadap prosedur ini.
c. Hydroxurea
Terapi Hydroxurea pada pasien hamil dengan Leukemia
meliputi pencegahan terhadap insufusiensi plasenta dan
komplikasi lainnya akibat dari hiperleukositis dengan
mengontrol sel darah putih pada kehamilan, dengan cara
menghindari paparan obat obat yang bersifat sitotoksik
terhadap janin. Busulphan dan hydroxyurea menghambat
sintesis DNA dan dapat menyebabkan aborsi, malformasi
dan reterdasi pertumbuhan janin. Malformasi kongenital
telah ditemukan selama pemberian busulphan selama
kehamilan. Preeklamsi, pertumbuhan janin terhambat, bayi
lahir mati ditemukan selama terapi HU selama kehamilan.
Meskipun tidak dapat diketahui bahwa HU sebagai
penyebab secara pasti.
Pemberian terapi HU pada wanita hamil usia kehamilan
27 minggu tidak memiliki efek samping pada ibu dan
janin. Meskipun begitu, pertumbuhan dan perkembangan
bayi harus tetap dipantau, karena potensi dan resiko
jangka panjang obat ini masih belum diketahui. Hingga
saat ini terapi HU yang diberikan setelah trimester 2
kehamilan terbukti aman dan efektif untuk terapi
Leukemia selama kehamilan, data tambahan tetap masih
dibutuhkan sebelum HU ditetapkan sebagai terapi pilihan
pada pasien yang sedang hamil. HU berguna dan
merupakan alternative yang lebih murah dibandingkan
dengan interferon pada pasien hamil dengan Leukemia
dalam situasi dimana leukopharesis tidak tersedia.
2.4 Talasemia
2.4.1 Definisi
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai
dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya
lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya
penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya
pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu
makan hilang, dan infeksi berulang.Thalasemia terjadi akibat
ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang
dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana
mestinya. Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang
berada di dalam sel darah merah dan berfungsi sangat penting
untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian
tubuh yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi
hemoglobin berkurang atau tidak ada, maka pasokan energi
yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat
terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak
mampu lagi menjalankan aktivitasnya secara normal.Thalasemia
adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat
dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat
rantai asam amino yang membentuk hemoglobin. Thalasemia
adalah penyakit yang sifatnya diturunkan. Penyakit ini,
merupakan penyakit kelainan pembentukan sel darah merah.
2. Talasemia Beta
Disebabkan karena penurunan sintesis rantai beta.
Dapat dibagi berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu
talasemia mayor, intermedia dan karier. Pada kasus
talasemia mayor Hb sama sekali tidak diproduksi. Mungkin
saja pada awal kelahirannya, anak – anak talasemia mayor
tampak normal tetapi penderita akan mengalami anemia
berat mulai usia 3 – 18 bulan. Jika tidak diobati, bentuk
tulang wajah berubah dan warna kulit menjadi hitam.
Selama hidupnya penderita akan tergantung pada transfusi
darah. Setelah ditransfusi, penderita talasemia menjadi
segar kembali. Kemudian darah yang sudah ditransfusikan
tadi setelah beberapa waktu akan hancur lagi. Kembali
terulang penderita kekurangan oksigen, timbul gejala lagi,
perlu transfusi lagi, demikian berulang – ulang seumur
hidup. Bisa tiap minggu penderita memerlukan transfusi
darah, bahkan bisa lebih sering. Lebih membahayakan lagi,
darah yang ditransfusi terus – menerus tadi ketika hancur
akan menyisakan masalah besar yaitu zat besi dari darah
yang hancur tadi tidak bisa dikeluarkan tubuh. Akan
menumpuk, kulit menjadi hitam, menumpuk di organ
dalam penderita misalnya di limpa, hati, jantung.
Penumpukan di jantung sangat berbahaya, jantung menjadi
tidak bisa memompa lagi dan kemudian penderita talasemia
meninggal.
2.4.4 Predisposisi
Faktor Predisposisi
Penyakit thalasemia disebabkan oleh adanya kelainan atau
perubahan mutasi pada gen globinalpha atau beta sehingga
produksi rantai globin tersebut kurang atau tidak ada.Akibat
produksi Hbberkurang dan eritrosit mudah sekali rusak atau
umumnya lebih pendek dari eritrosit normal.
Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut gen
globin beta. Pada manusia kromosomditemukan berpasangan.
Jika hanya sebelah saja akan mengalami kelainan disebut
thalassemiacarrier (pembawa sifat thalassemia). Jika kelainan
terjadi di kedua kromosom, dinamakan penderitathalassemia
mayor atau heterozigot. Gen ini didapat dari kedua orangtuanya
yang membawa sifatthalassemia (carrier ).
Faktor Presipitasi
Gizi buruk, gizi buruk dapat memperparah keadaan
penderita thalassemia yang seharusnyamembutuhkan nutrisi
yang cukup. Konsumsi makanan yang mengandung banyak zat
besi, zat besi dapat mengakibatkan limfa dan hati membesar
karena penderita diberi transfusi maka penderita jangan diberi
makanan yangmengandung zat besi. Melakukan aktivitas yang
terlalu berat, dapat menyebabkan penderita bertambah lelah.
Personal hygiene yang kurang, kebersihan diutamakan,
karena penderita mudah terkena penyakityang sebabkan oleh
virus, protozoa, atau bakteri.
Taraf ekonomi yang rendah, sebagian penderita thalassemia
berasal dari keluarga ekonomi rendah,tidak ada biaya
merupakan salah satu faktor karena untuk mentransfusi darah
dibutuhkan dana yang tidak sedikit
2.4.5 Patofisiologi
Penyakit thalassemia disebabkan oleh adanya kelainan atau
perubahan atau mutasi pada gen globin alpha atau gen globin
beta sehingga produksi rantai globin tersebut berkurang atau
tidak ada. Didalam sumsum tulang mutasi thalasemia
menghambat pematangan sel darah merah sehingga eritropoiesis
dan mengakibatkan anemia berat. Akibatnya produksi Hb
berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau
umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari).
(Kliegman,2012)
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan
polipeptida rantai alpa dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia
yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta thalasemia yaitu
tidak adanya atau kekurangan rantai beta dalam molekul
hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan ertrosit
membawa oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat
dalam rantai alpa, tetapi rantai beta memproduksi secara terus
menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defictive. Ketidak
seimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan
disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi
hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta
dan kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia
alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi,
yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri
dari hemoglobin tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit
dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin
menstimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi
RBC(Red Blood Cell) diluar menjadi eritropik aktif.
Kompensator produksi RBC secara terus menerus pada suatu
dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,menimbulkan
tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan
edstruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan
mudah pecah atau rapuh. (Suriadi, 2001 )
2.4.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosa suatu thalassemia, dapat didasari dari:
1. Anamnesa
a. Riwayat pucat
b. Gangguan pertumbuhan
c. Riwayat keluarga
d. Perut membesar karena pembesaran hepar dan lien
(pada umumnya keluhan ini muncul mulai usia 6 bulan)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pucat
b. Facies Cooley pada anak yang lebih besar
c. Gangguan pertumbuhan
d. Ikterik ringan
e. Hepatosplenomegali tanpa limfadenopati
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pengukuran eritrosit
Dalam mengevaluasi kelainan eritrosit, dibutuhkan
pengukuran eritrosit secara kuantitatif dan evaluasi.
Dalam pengukuran eritrosit, dihitung pula hematokrit
dan konsentrasi hemoglobin. Selain itu, indeks eritrosit
yang sering diperiksa yaitu MCV, MCH, dan MCHC.
b. Serum Iron & Total Iron Binding Capacity
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan anemia terjadi karena
defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan
menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.
c. Tes Fungsi Hepar
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat
sampai 2-4 mg%. bila angka tersebut sudah terlampaui
maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT
dan SGPT akan meningkat dan menandakan adanya
kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan
berakibat juga terjadi kelainan dalam faktor pembekuan
darah.
d. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan
eleltroforesis hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya
ditujukan pada penderita thalassemia saja, namun juga
pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada.
Pemeriksaan ini untuk melihat jenis hemoglobin dan
kadar HbA2. Petunjuk adanya thalassemia α adalah
ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada thalassemia β
kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam
keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
e. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses
eritropoesis yang sangat aktif sekali. Ratio rata-rata
antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan
normal biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.
f. Pemeriksaan rontgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan
eritropoesis. Bila tidak mendapat tranfusi dijumpai
osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian
tranfusi darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak
optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan
dari korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik
pada tulang. Tulang terngkorak memberikan gambaran
yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu
menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada anak
besar.
Hemokromatosis
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat
dari penimbunan zat besi dan saturasi transferin.
Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar feritin serum >
1000 µg/L. Ferritin merupakan suatu protein darah yang
kenaikannya berhubungan dengan jumlah besi yang tersimpan
dalam tubuh. Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada
infeksi-infeksi tertentu seperti hepatitis virus dan peradangan
lain dalam tubuh. Kenaikan ferritin tidak spesifik untuk
mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain untuk
mendiagnosa hemokromatosis adalah TIBC dan transferi
saturation. TIBC adalah suatu pengukuran jumlah total besi
yang dapat dibawa dalam serum oleh transferrin. Transferrin
saturation adalah suatu jumlah yang dihitung dengan membagi
serum besi oleh TIBC, hasil angka yang mencerminkan
besarnya persentase dari transferrin yang sedang dipakai untuk
mengangkut besi. Hasil transferrin saturation pada manusia
sehat antara 20 dan 50 %. Penderita dengan hemokromatosis
keturunan, serum besi dan transferrin saturation hasilnya di atas
normal. Tes yang paling akurat untuk mendiagnosis
hemokromatosis adalah dengan biopsi jaringan hati sehingga
dapat melihat langsung seberapa besar kerusakan hati. Gejala
klinis yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali, pada
stadium lanjut dapat terjadi sirosis yang ditandai dengan
splenomegali, ikterus, asites dan edema. Sirosis dapat
mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko
terkena hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat
besi pada hati.
2.4.9 Pengobatan
Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl.
Komplikasi dari pemberian transfusi darah yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut
hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan
pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk
mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating
agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk
mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam. Transfusi darah
diberikan bila kadar Hb rendah sekali (kurang dari 6 gr%) atau
anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu makan.Atasi anemia
dengan tranfusi PRC (packed red cell). Tranfusi hanya diberikan
bila Hb < 8 g/dL. Sekali diputuskan untuk diberi tranfusi darah,
Hb harus selalu dipertahankan diatas 12 g/dL dan tidak melebihi
15 g/dL. Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah
merah. Terapi ini merupakan terapi utama bagi orang – orang
yang menderita talasemia sedang atau berat. Transfusi darah
dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel darah
merah dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan
keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara rutin
karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus
untuk penderita beta talasemia intermedia, transfusi darah hanya
dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta
talssemia mayor (cooley’s anemia) harus dilakukan secara
teratur (2 atau 4 minggu sekali). Penderita thalassemia akan
mengalami anemia sehingga selalu membutuhkan transfusi
darah seumur hidupnya. Jika tidak, maka akan terjadi
kompensasi tubuh untuk membentuk sel darah merah. Organ
tubuh bekerja lebih keras sehingga terjadilah pembesaran
jantung, pembesaran limpa, pembesaran hati, penipisian tulang-
tulang panjang, yang akirnya dapat mengakibakan gagal
jantung, perut membuncit, dan bentuk tulang wajah berubah dan
sering disertai patah tulang disertai trauma ringan.Akibat
transfusi yang berulang mengakibatkan penumpukan besi pada
organ-organ tubuh. Yang terlihat dari luar kulit menjadi
kehitaman , sementara penumpukan besi di dalam tubuh
umumnya terjadi pada jantung, kelenjar endokrin, sehingga
dapat megakibatkan gagal jantung, pubertas terlambat, tidak
menstruasi, pertumbuhan pendek, bahkan tidak dapat
mempunyai keturunan.Akibat transfusi yang berulang,
kemungkinan tertular penyakit hepatitis B, hepatitis C, dan HIV
cenderung besar. Ini yang terkadang membuat anak thalassemia
menjadi rendah diri. Karena thalassemia merupakan penyakit
genetik, maka jika dua orang pembawa sifat thalassemia
menikah, mereka mempunyai kemungkinan 25% anak normal/
sehat, 50% anak pembawa sifat/ thalassemia minor, dan 25%
anak sakit thalassemia mayor.
1. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada
abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah
yang berasal dari suplemen (transfusi).
2. Pemberian Roborantia, hindari preparat yang mengandung
zat besi.
3. Pemberian Desferioxamin untuk menghambat proses
hemosiderosis yaitu membantu ekskresi Fe. Untuk
mengurangi absorbsi Fe melalui usus dianjurkan minum teh.
4. Transplantasi sumsum tulang (bone marrow) untuk anak
yang sudah berumur diatas 16 tahun. Di Indonesia, hal ini
masih sulit dilaksanakan karena biayanya sangat mahal dan
sarananya belum memadai.Transplantasi sumsum tulang
prinsipnya ialah memberikan stem cells (sel punca) normal
donor yang mempunyai kompatibilitas sama kepada
penderita thalassemia. Transplantasi sumsum tulang lebih
efektif daripada transfusi darah, namun memerlukan sarana
khusus dan biaya yang tinggi. Terdapat hasil
menguntungkan transplantasi stem cells dari anggota
keluarga dengan HLA (Human Leucocyte Antigen) yang
identik pada pasien thalasemia berat. Penundaan
transplantasi terlalu lama atau bila sudah timbul kerusakan
hati dan jantung karena penimbunan besi akan mengurangi
kemungkinan keberhasilan transplantasi. Jadi pada pasien
thalasemia yang mempunyai donor HLA identik untuk
sesegera mungkin menjalani transplantasi. Darah tali pusat
sebagai sumber stem cells, mampu menyusun kembali
sumsum tulang pada pasien thalassemia setelah terapi
persiapan (mielo-ablasi prekondisional). Manfaat utama
darah tali pusat dibandingkan sumber stem cells lainnya
adalah kemampuan menembus sawar HLA, dan terdapat
bukti lebih sedikit terjadi reaksi penolakan. Penggunaan
donor stem cells darah tali pusat berhubungan dengan
ketidaksesuaian 1-3 antigen HLA harus dipertimbangkan
sebelumnya untuk keberhasilan transplantasi. Sumber stem
cells yang lain adalah dari hewan kelinci yang
dikembangbiakkan secara khusus (xenotransplantasi).
Sumber stem cells ini menguntungkan karena tak pernah
ditemukan bukti penularan virus yang berbahaya (retrovirus)
dari kelinci ke manusia dan tak pernah ditolak tubuh yang
memerlukan obat-obat penekan reaksi imun (imunosupresi).
Transplantasi sumsum tulang prinsipnya ialah memberikan
stem cells (sel punca) normal donor yang mempunyai
kompatibilitas sama kepada penderita thalassemia.
Transplantasi sumsum tulang lebih efektif daripada transfusi
darah, namun memerlukan sarana khusus dan biaya yang
tinggi. Terdapat hasil menguntungkan transplantasi stem
cells dari anggota keluarga dengan HLA (Human Leucocyte
Antigen) yang identik pada pasien thalasemia berat.
Penundaan transplantasi terlalu lama atau bila sudah timbul
kerusakan hati dan jantung karena penimbunan besi akan
mengurangi kemungkinan keberhasilan transplantasi. Jadi
pada pasien thalasemia yang mempunyai donor HLA identik
untuk sesegera mungkin menjalani transplantasi. Darah tali
pusat sebagai sumber stem cells, mampu menyusun kembali
sumsum tulang pada pasien thalassemia setelah terapi
persiapan (mielo-ablasi prekondisional). Manfaat utama
darah tali pusat dibandingkan sumber stem cells lainnya
adalah kemampuan menembus sawar HLA, dan terdapat
bukti lebih sedikit terjadi reaksi penolakan. Penggunaan
donor stem cells darah tali pusat berhubungan dengan
ketidaksesuaian 1-3 antigen HLA harus dipertimbangkan
sebelumnya untuk keberhasilan transplantasi. Sumber stem
cells yang lain adalah dari hewan kelinci yang
dikembangbiakkan secara khusus (xenotransplantasi).
Sumber stem cells ini menguntungkan karena tak pernah
ditemukan bukti penularan virus yang berbahaya (retrovirus)
dari kelinci ke manusia dan tak pernah ditolak tubuh yang
memerlukan obat-obat penekan reaksi imun (imunosupresi).
5. Terapi khelasi besi (Iron Chelation)
Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi
yang kaya protein. Apabila melakukan transfusi darah
secara teratur dapat mengakibatkan penumpukan zat besi
dalam darah. Kondisi ini dapat merusak hati, jantung dan
organ – organ lainnya. Untuk mencegah kerusakan ini,
terapi khelasi besi diperlukan untuk membuang kelebihan
zat besi dari tubuh. Pada penderita thalassemia diberikan
pula tambahan vitamin C, E, dan calcium
6. Suplemen Asam Folat
Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu
pembangunan sel – sel darah merah yang sehat. Suplemen
ini harus tetap diminum di samping melakukan transfusi
darah ataupun terapi khelasi besi.
2.4.10 Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya talasemia pada anak, pasangan
yang akan menikah perlu menjalani tes darah, baik untuk
melihat nilai hemoglobinnya maupun melihat profil sel darah
merah dalam tubuhnya. Peluang untuk sembuh dari talasemia
memang masih tergolong kecil karena dipengaruhi kondisi fisik,
ketersediaan donor dan biaya.
Cara memcegahnya antara lain :
1. Penapisan (skrining) pembawa sifat thalassemia
2. Konsultasi genetik (genetic counseling)
3. Diagnosis prenatal.
2.4.11 Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi
pada penderita thalassemia.
1. Komplikasi Jantung
Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi
dapat menyebabkan penurunan kekuatan pompa jantung,
gagal jantung, aritmia atau detak jantung yang tidak
beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan jantung.
Ada beberapa pemeriksaan rutin yang harus
dilakukan penderita thalasemia beta mayor, yaitu
pemeriksaan tiap enam bulan sekali untuk memeriksa
fungsi jantung, dan setahun sekali pemeriksaan menyeluruh
untuk memeriksa konduksi aliran listrik jantung
menggunakan electrocardiogram oleh dokter spesialis
jantung.
Perawatan untuk meningkatkan fungsi jantung dapat
dilakukan dengan terapi khelasi yang lebih menyeluruh dan
mengonsumsi obat penghambat enzim konversi
angiotensin.
2.4.12 Rujukan
Sedapat mungkin rujuk ibu ke rumah sakit jika sudah
terdapat tanda dan gejala atau memiliki sifat pewaris atau
pembawa talasemia denganmelakukanskriningsecaradiniuntuk
mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat untuk buah hati
memperpanjang kehidupannya.
Saat pasangan berisiko memiliki keturunan dengan
talasemia mayor, dilakukan konseling untuk dilakukannya
diagnosis prenatal untuk mengetahui apakah janin memang
benar terkena. Diagnosis prenatal meliputi:
1. Fetal sampling, denganteknik
a. Chorionic Villus Sampling (CVS)
Teknik ini dapat dilakukan pada usia kehamilan 10-
14 minggu. Korion frondosum dilihat dengan USG
kemudian diambil sedikit dengan forcep biopsy atau
syringe berisi media dengan tekanan negatif yang
dihubungkan dengan jarum spinal secarasteril. Korion
ini berasal dari zigot sehingga dianggap mewakili sel
fetus. Setelah dibersihkan dari darah dan desi dua ibu
kemudian dilakukan tes laboratorium. Hasilnya
kemudian dibandingkan dengan hasil analisa karakter
dan mutasi DNA orangtua. CVS berisiko 0,5-1%
menimbulkan kematian janin.
b. Amniosentesis
Teknik ini dapat dilakukan pada usia kehamilan 16-
20 minggu. Dengan USG dilihat kantong cairan amnion
kemudian diambil dengan syringe yang dihubungkan
dengan jarum spinal dengan steril. Cairan amnion
mengandung amniosit yang merupakan sel deskuamasi
dari kulit, saluran pernafasan, gastrointestinal
dangenitourinariajanin. Ekstraksidananalisa DNA
kemudian dapat dilakukan dari amniosit ini.
Amniosentesisberisiko 0,5%
menimbulkankematianjanin.
c. Fetal blood sampling atau kordosentesis atau
percutaneous umbilical cord sampling (PUBS)
Dapat dilakukan pada usia kehamilan 18-22
minggu. Dengan panduan USG dicari tali pusat
kemudian diambil 1-2 ml darah janin sehingga
memungkinkan untuk dilakukan hemoglobin typing
dananalisa DNA. Prosedur ini lebih menguntungkan
CVS dan amnio sentesis karena hemoglobin typing
hanya memerlukan waktu singkat untuk mendapatkan
hasil tes.
d. Penanganan Talasemia Dalam Kehamilan
Kebutuhan transfusi akan meningkat selama
kehamilan. Pasien yang tidak tergantung dengan
transfusi seperti pada talasemia intermedia atau
Hemoglobin H menjadi perlu transfusi saat hamil hingga
setelah melahirkan. Hemoglobin harus tetap terjaga ≥ 10
g/dl pada talasemia β mayor. Observasi pasien dilakukan
terhadap fungsi jantung dan USG serial untuk
mengetahui kesejahteraan janin. Pemberian kelasi besi di
luar kehamilan biasanya menggunakan desferrioxamin
mesilat (Desferal) yang diberikan perinfus subkutan
selama 12 jam 5-7 hari seminggu. Bila terapi dilanjutkan
saat kehamilan berisiko kelainan tulang pada
janin.Sebaiknya kelasi besi dioptimalkan sebelum
kehamilan kemudian saat kehamilan tidak dilakukan
terapi kelasi besi terutama pada trimester pertama.
2.4.13 Persalinan terhadap Talasemia
Manajemen intrapartum
Waktu dan cara persalinan harus disesuaikan untuk jenis-
jenis thalassemia karena kursus penyakit yang tidak rumit tidak
boleh dianggap sebagai indikasi yang tepat untuk CS.
Jika persalinan per vaginam diputuskan, manajemen aktif
pada tahap ketiga persalinan dianjurkan, karena intervensi ini
seharusnya mengurangi kehilangan darah.
Hipoksia janin biasa terjadi pada persalinan dan dengan
demikian pemantauan janin elektronik secara kontinyu
dianjurkan. Wanita transfusi-dependent yang tidak dikelatakan
memiliki konsentrasi tinggi zat besi tanpa transferrin dalam
serum, bentuk besi akan beracun, yang dapat menyebabkan
disritmia jantung yang dikombinasikan dengan stress kerja. Oleh
karena itu, DFO intravena - 2 g lebihdari 24 jam –
direkomendasikan pada saat persalinan
2.5 Malaria
2.5.1 Definisi
Malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh
parasit Plasmodium dan disebarkan melalui gigitan nyamuk.
Infeksi malaria disebabkan oleh adanya parasit plasmodium
didalam darah atau jaringan yang dibuktikan dengan pemeriksaan
mikroskopik yang positif, adanya antigen malaria dengan tes cepat,
ditemukan DNA/RNA parasit pada pemeriksaan PCR. Infeksi
malaria dapat memberikan gejala berupa demam, menggigil,
anemia dan splenomegali.
Penyakit malaria ialah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi parasit plasmodium didalam eritrosit dan biasanya disertai
dengan gejala demam.
Penyakit ini dapat menyerang semua individu tanpa
membedakan umur dan jenis kelamin dan tidak terkecuali wanita
hamil. Wanita hamil termasuk golongan yang rentan untuk terkena
malaria sehubungan dengan penurunan imunitas di masa
kehamilan. Malaria pada kehamilan dapat menimbulkan berbagai
keadaan patologi pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya.
2.5.3 Etiologi
Penyakit malaria disebabkan oleh bibit penyakit yang hidup di
dalam darah manusia. Bibit penyakit tersebut termasuk binatang
bersel satu, tergolong amuba yang disebut plasmodium.
2.5.4 Predisposisi
1. Faktor lingkungan (endemis)
2. Kontak dengan vektor malaria
2.5.5 Patofisiologi
Manusia akan terjangkit penyakit malaria saat nyamuk
Anopheles yang membawa sporozoit malaria menggigit orang
yang sehat. Sporozoit malaria masuk ke dalam aliran darah
manusia mengikuti sekresi saliva nyamuk yang dibutuhkan untuk
mencegah pembekuan darah saat menghisap darah korbannya.
Sporozoit akan yang mengikuti aliran darah terbawa ke hati dan
menginginfeksi sel-sel hati dalam beberapa jam setelah gigitan.
Pada saat ini belum ada gejala klinis yang kelihatan karena jumlah
kuman yang masih terbatas. Sporozoit akan memasuki sel-sel hati
dan akan mengalami replikasi aseksual, siklus eksoeritrositer
primer, selama 10-14 hari di mana terjadi perkembangan dari
sporozoit menjadi schizon yang menghasilkan banyak merozoit
yang kembali akan menginfeksi sel hati di sekitarnya. Setelah
beberapa siklus replikasi di dalam sel hati, merozoit akan mulai
masuk ke dalam aliran darah dan menginfeksi sel darah merah
(eritrosit). Dalam 10-14 hari, jumlah plasmodium yang
menginfeksi eritrosit sudah cukup banyak untuk menimbulkan
gejala klinis. Periode sejak gigitan nyamuk yang infektif sampai
timbulnya gejala klinis dikenal sebagai masa inkubasi intrinsik.
Merozoit yang menginfeksi eritrosit akan berkembang
menjadi parasit dengan bentuk cincin karena adanya vakuola di
dalam sel parasit yang mendorong inti selnya ke tepi sel. Bentuk
cincin ini dikenal sebagai bentuk tropozoit. Tropozoit muda akan
berkembang menjadi tropozoit tua yang lebih besar sehingga
bentuk cincin kelihatan lebih tebal. Pada Pl. vivax tropozoit tua
biasanya mempunyai bentuk yang lebih irregular menyerupai
amuba dengan pseudopodia, sementara Pl. malariae sering
ditemukan berbentuk memanjang seperti pita di dalam eritrosit,
sementara Pl. palcifarum biasanya terdapat lebih dari satu tropozoit
cincin di dalam satu eritrosit.
Tropozoit kemudian bereplikasi aseksual dengan
pembelahan inti menjadi schizon yang terdiri dari 10-30 inti
bergantung species parasitnya. Setiap inti akan menjadi parasit
baru yang akan keluar dari sel dengan melisiskan sel eritrosit dan
keluar sebagai merozoit yang pada akhirnya akan menginfeksi
kembali eritrosit yang lain. Demam yang timbul pada pasien
malaria mengikuti siklus replikasi di dalam sel eritrosit ini yang
dikenal sebagai siklus eritrositer, dimana demam terjadi pada akhir
siklus saat eritrosit pecah bersamaan dan mengeluarkan merozoit
secara serentak.
Setelah beberapa siklus replikasi seksual di darah, sebagian
tropozoit tidak menjadi schizon tapi berkembang menjadi gamet
jantan dan gamet betina. Gamet ini akan terisap bersama sel-sel
eritrosit lainnya saat nyamuk menghisap darah. Di dalam usus
nyamuk, gamet akan keluar dari sel darah yang lisis dan akan
melakukan fertilisasi membentuk zigot, sehingga bentuk replikasi
seksual parasit justru terjadi di dalam tubuh nyamuk. Zigot akan
berkembang menjadi oosit yang akan menembus dinding usus dan
menempel pada permukaan luar dinding usus dan mengalami
pematangan. Setiap oosit akan menghasilkan ribuan sporozoit baru
yang akan mengikuti endolimf (cairan tubuh) nyamuk untuk
menyebar ke bagian tubuh lainnya termasuk ke dalam kelenjar
ludah nyamuk. Waktu yang dibutuhkan oleh sel-sel gamet yang
terisap dan berkembang menjadi zigot untuk sampai ke dalam
kelenjar ludah nyamuk disebut dengan masa inkubasi ekstrinsik
yang berkisar antara 12-14 hari di dalam tubuh nyamuk. Setelah
sporozoit berada di dalam air liur nyamuk, maka nyamuk
Anopheles akan menjadi infektif seumur hidupnya dan siap
menularkan parasit malaria ke orang sehat lainnya.
2.5.7 Diagnosis
1. Anamnesis
a. demam, menggigil (dapat disertai mual, muntah diare,nyeri
otot, pegal)
b. Riwayat sakit malaria, tinggal daerah endemik, transfusi
darah, minum obat malaria 1 bulan lalu
2. Pemeriksaan Fisik
a. Demam
Demam secara periodik berhubungan dengan waktu
pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit
yang masuk dalam aliran darah (sporulasi). Dimulai dengan
gejala prodromal yaitu lesu, sakit kepala, tidak nafsu
makan, kadang-kadang disertai dengan mual dan muntah.
Selanjutnya bisa Menggigi ,puncak demam,berkeringat.
b. Splenomegali
Kondisi ini dapat turut memengaruhi fungsi limpa
jika tidak segera diobati. Beberapa fungsi dasar limpa yang
dapat ikut terganggu, yaitu kemampuan menyaring sel
darah sehat dari sel darah yang rusak, dan sebagai
penyimpanan sel darah merah dan platelet. Sel darah merah
dan platelet berperan dalam proses pembekuan darah.
Jumlah sel darah merah yang berlebihan dalam limpa dapat
menyumbat limpa, merusak, atau menghancurkan beberapa
bagian di dalam limpa.
Dengan begitu, splenomegali dapat berujung kepada
kondisi lain yang mengancam kesehatan penderita, seperti
mudah terkena infeksi dan pendarahan.
Splenomegali dapat tidak disertai dengan
kemunculan gejala pada diri penderita. Namun, pada
sebagian penderita, dapat teraba sebuah benjolan pada area
kiri atas perut dan mungkin menimbulkan rasa sakit.
Benjolan ini berisiko melebar ke arah perut, dada, hingga
bahu kiri pasien. Gejala lain yang mungkin dirasakan,
antara lain:
1) Merasa kenyang tanpa sebab atau setelah mengonsumsi
makanan dalam porsi kecil. Hal ini disebabkan oleh
pembesaran limpa yang menekan area perut.
2) Kelelahan.
3) Anemia.
4) Lebih sering mengalami infeksi akibat terganggunya
fungsi organ limpa.
5) Lebih mudah mengalami pendarahan.
6) Rasa sakit bertambah buruk ketika bernapas.
c. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang
menyebabkannya. Jenis anemia pada malaria adalah
hemolitik, normokrom dan normositik. Pada serangan akut
kadar hemoglobin turun secara mendadak.
3. Pemeriksaan Mikroskopik
Baku emas untuk diagnosis malaria adalah konfirmasi
gejala klinis dengan hasil pemeriksaan mikroskopis sediaan
apusan darah tepi untuk melihat jumlah parasit permikroliter
darah dan juga species plasmodiumnya. Selain itu dapat juga
diperiksa antigen parasit malaria menggunakan Rapid
Diagnostic Test (RDT) yang telah dilapisi antibody anti
malaria, atau menggunakan ELISA. Pemeriksaan molecular
adalah pemeriksaan yang lebih sensitif dengan menggunakan
polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA dari
parasit malaria, atau dilanjutkan dengan gene sequencing untuk
melihat species maupun variasi genetik parasit.
4. Penegakan Diagnosa
a. Malaria Ringan
1) Anamnesis
a) Berasal dari daerah endemis
b) Riwayat prjalanan ke daerah endemis 2 mgg
terakhir
c) Pernah mndptkan pengobatan malaria
2) Pemeriksaan fisik
a) Suhu > 37,5 °C.
b) Dapat ditemukan pembesaran limpa.
c) Dapat ditemukan anemi.
d) Gejala klasik malaria khas
b. Malaria Berat
1) Gangguan kesadaran sampai koma (malaria serebral)
2) Anemi berat (Hb < 5 g%, Ht < 15 %)
3) Hipoglikemi (kadar gula darah < 40 mg%)
4) Udem paru / ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome)
5) Kolaps sirkulasi, syok, hipotensi (sistolik < 70 mmHg
pada dewasa dan < 50 mmHg pada anak-anak), algid
malaria dan septikemia.
6) Gagal ginjal akut (ARF/ Acute Renal Failure)
7) Jaundice (bilirubin > 3 mg%)
8) Kejang umum berulang ( > 3 kali/24 jam)
9) Asidosis metabolic
10) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam-
basa.
11) Perdarahan abnormal dan gangguan pembekuan darah.
12) Hemoglobinuri
13) Kelemahan yang sangat (severe prostration)
14) Hiperparasitemi
15) Hiperpireksi (suhu > 40 °C)
2. Janin
a. Abortus
b. Lahir mati
c. Infeksi kongenital
d. Malaria Plasenta.
Plasenta (ari-ari) merupakan organ penghubung
antara ibu dan janinnya. Fungsi plasenta antara lain :
1) memberi makanan kejanin (nutrisi)
2) mengeluarkan sisa metabolisme (ekskresi)
3) memberi O2 dan mengeluarkan CO2
4) membentuk hormon dan
5) mengeluarkan anti bodi kejanin.
2.5.9 Pengobatan
1. Tatalaksana Umum (Terapi malaria tanpa komplikasi)
a. Malaria falsiparum
1) Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 3×2 tablet
selama 7 hari atau 3x10mg/kgBB selama 7 hari
ditambah dengan Klindamisin 2x300mg atau
2x10mg/kgBB selama 7 hari. Dapat
DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap 6 jam bila
demam.
2) Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP
(dihidroartemisininpiperakuin) 1 x 3 tablet (BB 41-59
kg) / 1×4 tablet (BB ≥60 kg) selama 3 hari ATAU
artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet
selama 3 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet
tiap 6 jam bila demam.
b. Malaria vivaks
1) Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 3 x 2
tablet selama 7 hari atau 3 x 10mg/kgBB selama 7 hari.
Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap 6 jam bila
demam.
2) Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP 1 x 3
tablet (BB 41-59 kg) / 1×4 tablet (BB ≥60 kg) selama 3
hariATAU artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4
tablet selama 3 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1
tablet tiap 6 jam bila demam.
2.5.10 Pencegahan
Tindakan pencegahan yang dapat diambil :
Usahakan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dengan cara :
1. Tidur dengan kelambu, rumah anti nyamuk dengan memakai
kawat kasa, pemakai obat nyamuk bakar, penyemprotan ruang
tidur dengan semprotan nyamuk dan lain sebagainya. Atau
kombinasi keduanya (obat dan kelambu adalah cara terbaik
cegah hihitan nyamuk malaria)
2. Usahakan pengobatan pencegahan secara berkala, terutama di
daerah daerah endemis malaria dengan obat dari puskesmas,
dari took-toko obat seperti kina, chloroquine dan sebagainya.
3. Kebersihan lingkungan terhadap sarang nyamuk, seperti
membersihkan ruang tidur, semak-semak sekitar rumah, air
tergenang, kandang – kandang ternak dan sebagainnya.
4. Usaha penyemprotan rumah dengan DDT yang diusahakan
oleh Pemerintah. Usaha ini tidak jarang menimbulkan keluhan
dari penduduk karena mereka harus menutup semua alat-alat
rumah tangga dan menjauhkan makanan agar tidak terkena
DDT. Tetapi hendaknya penduduk membantu menerima
petugas dan merelakan rumahnya untuk disemprot, mengingat
pentingnya pencegahan terhadap penyakit malaria.
5. Untuk pencegahan malaria bagi orang yang berkunjung ke
daerah endemis, obat yang direkomendasikan bagi yang
melakukan kunjungan singkat (<4 bulan) ke daerah endemis:
Doxycyclin, dengan dosis 100 mg/hari diminum 1-2 hari
sebelum berangkat, selama kunjungan, dan 4 minggu setelah
pulang. Untuk kunjungan yang lebih lama disarankan
menggunakan personal proteksi seperti kelambu, repelen
nyamuk, serta pakaian yang melindungi.
2.5.11 Rujukan
Bila menemukan ibu hamil dengan gejala malaria berat,
maka lakukan pemeriksaan laboratorium malaria (dengan
mikroskop).
Bila terbukti hasilnya positif malaria, yang perlu dilakukan adalah :
1. Rujuk ibu ke rumah sakit/fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap.
2. Sebelum merujuk, berikan satu dosis artemeter IM (untuk
ibu hamil trimester II – III) atau kina hidroklorida IM (untuk
ibu hamil trimester I).
3. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB secara IM.
Jika tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter, maka
untuk ibu dengan berat badan sekitar 50 kg berikan suntikan
IM sejumlah 2 ampul.
4. Kina hidroklorida IM diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB.