Anda di halaman 1dari 103

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Anemia
2.1.1 Definisi Anemia dalam Kehamilan
Anemia adalah suatu kondisi dimana kekurangan sel darah
merah atau haemoglobin. Nilai normal hemoglobin pada wanita
dewasa adalah 12 - 15 g/dL. Anemia dalam kehamilan adalah suatu
keadaan dimana kadar haemoglobin atau hematocrit kurang dari 11
gr% pada trimester 1 dan 3 atau kadar haemoglobin kurang dari
10,5 gr% pada trimester 2. Pada kehamila kebutuhan oksigen lebih
tinggi sehingga memicu peningkatan produksi eritropoietin.
Akibatnya volume plasma bertambah dan sel darah merah
(eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi
dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan
peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi
hemoglobin (Hb) akibat hemodilusi. Pada wanita hamil terjadi
kondisi hemodilusi sehingga terdapat perbedaan nilai batas
hemoglobin normal pada wanita hamil dengan wanita tidak hamil.

Gambar 1: Tabel Nilai batas untuk anemia pada kehamilan


2.1.2 Jenis/Tipe
Menurut Sarwono (2014) klasifikasi anemia pada
kehamilan adalah sebagai berikut :
1. Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi besi adalah defisiensi nutrisi yang paling sering
ditemukan di seluruh dunia. Pada kehamilan kebutuhan besi
meningkat seiring dengan pertumbuhan janin yang cepat.
Namun, hal tersebut tidak diimbangi dengan asupan besi yang
adekuat sehingga anemia dalam kehamilan sering disebabkan
oleh defisiensi besi. Hal ini ditandai dengan penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit yang disertai penurunan cadangan
besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferrin yang
rendah, dan konsentrasi haemoglobin atau nilai hematokrit
yang menurun.
Selama kehamilan, kehilangan besi terjadi karena
pengalihan besi dari ibu kepada janin untuk eritropoiesis,
kehilangan darah saat persalinan, dan laktasi yang jumlah
keseluruhannya dapat mencapai 900 mg atau setara dengan 2
liter darah. Kebutuhan besi ibu selama kehamilan adalah 800
mg. Kebutuhan tersebut dijumlahkan dari kebutuhan untuk
janin plasenta sebesar 300 mg dan kebutuhan untuk
penambahan eritrosit ibusebesar 500 mg.
Zat besi dalam jumlah besar dibutuhkan oleh hasil konsepsi
yaitu janin, plasenta, dan darah untuk pertumbuhannya. Kadar
hemoglobin tidak akan turun secara tiba-tiba apabila tubuh ibu
hamil masih memiliki cadangan besi yang cukup. Oleh karena
sebagian besar perempuan mengawali kehamilan dengan
cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan tambahan ini
berakibat pada anemia defisiensi besi.
2. Anemia Megaloblastik
Anemia Megaloblastik adalah anemia dalam kehamilan
yang disebabkan defisiensi asam folat (pteroyglutamic
acid)dan defisiensi vitamin B12(Cyano balamin) meskipun
jarang terjadi.
a. Defisiensi Asam Folat
Pada kehamilan, terjadi pelepasan cadangan folat
maternal untuk mengirim folat dari ibu ke janin dan
menyebabkan kebutuhan folat meningkat lima sampai
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan keadaan tidak
hamil. Peningkatan kebutuhan yang lebih besar dapat
terjadi pada beberapa keadaan seperti kehamilan multipel,
diet yang buruk, infeksi, anemia hemolitik, atau konsumsi
obat antikonvulsi. Selain itu, absorpsi folat juga dihambat
oleh kadar estrogen dan progesteron yang tinggi selama
kehamilan. Maka dari itu, defisiensi asam folat sangat
sering terjadi pada kehamilan yaitu penyebab kedua
terbanyak setelah defisiensi zat besi.
Kebutuhan asam folat pada wanita dewasa tidak hamil
adalah 50-100µg/hari dan meningkat pada kehamilan
menjadi 400µg/hari.
b. Defisiensi Vitamin B12
Anemia megaloblastik selama kehamilan akibat
kekurangan vitamin B12, yaitu sianokobalamin, sangat
jarang dijumpai. Berdasarkan penilitian, defisiensi vitamin
B12 pada wanita hamil lebih besar kemungkinannya
dijumpai setelah reseksi lambung parsial atau total.
Penyebab-penyebab lain adalah penyakit Crohn, reseksi
ileum dan pertumbuhan berlebihan bakteri di usus halus.
Selama kehamilan, kadar vitamin B12 lebih rendah daripada
kadar tak hamil karena berkurangnya kadar protein-protein
pengikat yang mencakup haptokrin (transkobalamin I dan
III) dan transkobalamin II (Morkbak dkk.,2007). Wanita
yang pernah menjalani gastrektomi total memerlukan 1000
µg vitamin B12 transmuskulus setiap bulannya. Ibu yang
menjalani gastrektomi parsial biasanya tidak memerlukan
terapi ini, tetapi kadar vitamin B12 selama kehamilan perlu
diukur.

3. Anemia Hemolitik
Anemia disebabkan karena penghancuran sel darah merah
berlangsunglebih cepat dari pada pembuatannya. Anemia
hemolitik pada kehamilan yang tidak jelas sebabnya jarang
dijumpai, tetapi merupakan suatu kenyataan yang jelas adanya
hemolysis berat pada awal kehamilan yang mereda beberapa
bulan setelah persalinan. Belum ada bukti berperannya
mekanisme imun atau cacat intra atau ekstraeritrosit. Karena
janin-bayi juga dapat memperlihatkan hemolysis. Apabila
seorang wanita dengan anemia hemolitik hamil, biasanya
anemia yang diderita akan menjadi lebih berat, namun dapat
juga terjadi bahwa kehamilan menyebabkan krisis hemolitik
pada wanita yang sebelumnya tidak menderita anemia
(pergnacy induced hemolytic anemia). Frekuensi anemia
hemolitik dalam kehamilan tidak tinggi. Terbanyak anemia
iniditemukan pada wanita negro yang menderita anemia sel
sabit, anemia sel sabit-hemoglobinC, sel sabit-thalassemia,
atau penyakit hemoglobin C.

2.1.3 Etiologi
Etiologi anemia dalam kehamilan terbagi menjadi dua yaitu:
a. Didapatkan (acquired)
1) Anemia defisiensi besi
2) Anemia karena kehilangan darah secara akut
3) Anemia karena inflamasi atau keganasan
4) Anemia megaloblastik
5) Anemia hemolitik
6) Anemia aplastik
b. Herediter
1) Thalasemia
2) Hemoglobinopati lain
3) Hemoglobinopati sickle cell
4) Anemia hemolitik herediter

1. Anemia defisiensi besi


Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan, yaitu:
a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi dalam
kehamilan menyebabkan peningkatan produksi
eritropoietin. Peningkatan tersebut mengakibatkan volume
plasma bertambah dan sel darah merah meningkat.
Peningkatan sel darah merah yang terjadi lebih kecil
daripada peningkatan volume plasma yang disebut juga
hemodilusisehingga terjadi penurunan konsentrasi
hemoglobin.Perbandingan peningkatan tersebut adalah
plasma darah bertambah 30% sedangkan sel darah merah
bertambah 18%.Anemia yang disebabkan oleh ekspansi
volume plasma tersebut merupakan fisiologis pada
kehamilan. Volume plasma yang meningkat akan
menurunkan kadar hemoglobin, hematokrit dan eritrosit.
Akan tetapi hal tersebut tidak menurunkan jumlah eritrosit
dalam sirkulasi. Adanya penurunan viskositas darah secara
fisiologis ini adalah untuk membantu meringankan kerja
jantung. Selain itu, terdapat teori yang menyatakan bahwa
anemia fisiologis dalam kehamilan bertujuan untuk
menurunkan viskositas darah maternal sehingga
meningkatkan perfusi plasenta dan membantu
penghantaran oksigen serta nutrisi ke janin.
b. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam
makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang
tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan
rendah daging).
c. Kebutuhan besi meningkat seperti pada prematuritas, anak
dalam masa pertumbuhan dan kehamilan
d. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue, atau
koilitis kronik.

2. Anemia Megaloblastik
Anemia Megaloblastik dapat disebabkan metabolisme asam
folat dan vitamin B12 yang tidak efektif:
a. Kurangnya pasokan asam folat dan vitamin B12 dari
makanan
b. Gangguan transport vitamin B12 dan/ atau asam folat atau
gangguan pengikatan vitamin B12 dan/atau asam folat oleh
reseptornya (defisiensi enzim)

3. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang
berbeda yaitu faktor intrinsik & faktor ekstrinsik:
a. Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam
eritrosit itu sendiri. Kelainan karena faktor ini dibagi
menjadi tiga macam yaitu:

Keadaan ini dapat dibagi menjadi 3 bagian antara lain:


1) Gangguan struktur dinding eritrosit
a) Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga
disebabkan oleh kelainan membran eritrosit.
Kadang-kadang penyakit ini berlangsung ringan
sehingga sukar dikenal.
b) Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya
berbentuk oval (lonjong). Dalam keadaan normal
bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-20% saja.
Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut
hukum mendel.
c) A-beta lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk
eritrosit yang menyebabkan umur eritrosit tersebut
menjadi pendek. Diduga kelainan bentuk eritrosit
tersebut disebabkan oleh kelainan komposisi lemak
pada dinding sel.
2) Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding
eritrosit mudah pecah, misalnya pada panmielopatia
tipe fanconi.
Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
a) Defisiensi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-
6PD)
b) Defisiensi Glutation reduktase
c) Defisiensi Glutation
d) Defisiensi Piruvatkinase
e) Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
f) Defisiensi difosfogliserat mutase
g) Defisiensi Heksokinase
h) Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase

3) Hemoglobinopati
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian
terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudian pada
perkembangan selanjutnya konsentrasi HbF akan
menurun, sehingga pada umur satu tahun telah
mencapai keadaan yang normal Sebenarnya terdapat 2
golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin ini,
yaitu:
a) Gangguan struktural pembentukan hemoglobin
(hemoglobin abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-
lain
b) Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai
globin. Misal talasemia

b. FaktorEkstrinsik
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
1) Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat
2) Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh
oleh antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
3) Infeksi, plasmodium

2.1.4 Predisposisi
1. UmurIbu
Menurut Amiruddin (2007), bahwa ibu hamil yang
berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
yaitu 74,1% menderita anemia dan ibu hamil yang berumur
20-35 tahun yaitu 50,5% menderita anemia. Wanita yang
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, mempunyai
resiko yang tinggi untuk hamil, karena akan membahayakan
kesehatan ibu hamil maupun janinnya beresiko mengalami
perdarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia.
2. Paritas
Menurut Herlina (2006), Ibu hamil dengan paritas
tinggi mempunyai resiko 1.454 kali lebih besar untuk
mengalamianemia dibanding dengan paritas rendah. Adanya
kecenderungan bahwa semakin banyak jumlah kelahiran
(paritas), maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia.
3. Kurang Energi Kronis (KEK)
41% (2.0 juta) ibu hamil menderita kekurangan gizi.
Timbulnya masalah gizi pada ibu hamil, seperti kejadian KEK,
tidak terlepas dari keadaan sosial, ekonomi, dan bio sosial
dari ibu hamil dan keluarganya seperti tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan, konsumsi pangan, umur, paritas, dan
sebagainya.
Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) adalah suatu
cara untuk mengetahui resiko Kurang Energi Kronis (KEK)
pada Wanita Usia Subur (WUS). Pengukuran LILA tidak
dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi
dalam jangka pendek. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA)
dapat digunakan untuk tujuan penapisan status gizi Kurang
Energi Kronis (KEK). Ibu hamil KEK adalah ibu hamil yang
mempunyai ukuran LILA<23.5 cm. Deteksi KEK dengan
ukuran LILA yang rendah mencerminkan kekurangan energi
dan protein dalam intake makanansehari hari yang biasanya
diiringi juga dengan kekurangan zat gizi lain, diantaranya
besi. Dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang menderita KEK
berpeluang untuk menderita anemia (Darlina, 2003).
4. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi seperti TBC, cacing usus dan
malaria juga penyebab terjadinya anemia karena
menyebabkan terjadinya peningkatan penghancuran sel darah
merah dan terganggunya eritrosit (Wiknjosastro H, 2004).
5. Jarak kehamilan
Salah satu penyebab yangdapat mempercepat
terjadinya anemia pada ibu hamil adalah jarak kelahiran
pendek. Hal ini disebabkan kekurangan nutrisi yang
merupakan mekanisme biologis dan pemulihan faktor
hormonal dan adanya kecenderungan bahwa semakin dekat
jarak kehamilan, maka akan semakin tinggi angka kejadian
anemia. Banyaknya anak yang dilahirkan seorang ibu
akanmempengaruhi kesehatan dan merupakan faktor resiko
terjadinya BBLR, tumbuh kembang bayi lebih lambat,
pendidikan anak lebih rendah dan nutrisi kurang
(Depkes, 2003).
6. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap
perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan
yang lebih tinggi akan memudahkan sesorang untuk menyerap
informasi-informasidan mengimplementasikannya dalam
perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khusunya tingkat
pendidikan wanita sangat mempengaruhi kesehatannya. (
Depkes, 2004).Hasil penelitian Hendro (2006), mengatakan
ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan
status anemia, karena dengan tingkat pendidikan ibu yang
rendah diasumsikan pengetahuannya tentang gizi rendah,
sehingga berpeluang untuk terjadinya anemia sebaliknya jika
ibu hamil berpendidikan tinggi, maka kemungkinan besar
pengetahuannya tentang gizi juga tinggi, sehingga
diasumsikan kecilpeluangnya untuk terjadi anemia.
7. Pengetahuan
Kebutuhan ibu hamil akan zat besi (Fe) meningkat
0,8 mg pada trimester I dan meningkat tajam pada
trimester III yaitu 6,3 mg sehari. Jumlah sebanyak itu
tidak mungkin tercukupi hanya melali makanan apalagi
didukung dengan pengetahuan ibu hail yang kurang
terhadap peningkatan kebutuhan zat besi (Fe) selama hamil
sehingga menyebabkan anemia pada ibu hamil.Ibu hamil
dengan pengetahuan tentang zat besi (Fe) yang rendah akan
mempengaruhi konsumsi tablet (Fe), dan juga pemilihan
makanan dengan sumber (Fe) yang rendah. Sebaliknya ibu
dengan pengetahuan konsumsi tablet (Fe) yang baik akan
memiliki pola makan yang baik pula dalam pmenuhan zat
besi (Arisman, 2004).

2.1.5 Patofisiologis
1. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi
Konsentrasi hemoglobin normal pada wanita hamil
berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Hal ini disebabkan
karena pada kehamilan terjadi proses hemodilusi atau
pengenceran darah, yaitu terjadi peningkatan volume plasma
dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan
peningkatan eritrosit. hematologi sehubungan dengan
kehamilan, antara lain adalah oleh karena peningkatan
oksigen, perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap
plasenta dan janin, serta kebutuhan suplai darah untuk
pembesaran uterus, sehingga terjadi peningkatan volume darah
yaitu peningkatan volume plasma dan sel darah merah. Namun,
peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih
besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga
terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.
Hemodilusi berfungsi agar suplai darah untuk pembesaran
uterus terpenuhi, melindungi ibu dan janin dari efek negatif
penurunanvenous returnsaat posisi terlentang, dan melindungi
ibu dari efek negatif kehilangan darah saat proses melahirkan.
Hemodilusi dianggap sebagai penyesuaian diri yang
fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita untuk
meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat
dalam masa hamil, karena sebagai akibat hipervolemia cardiac
output meningkat. Kerja jantung lebih ringan apabila viskositas
darah rendah. Resistensi perifer berkurang, sehingga tekanan
darah tidak meningkat. Secara fisiologis, hemodilusi ini
membantu maternal mempertahankan sirkulasi normal dengan
mengurangi beban jantung.
Ekspansi volume plasma di mulai pada minggu ke-6
kehamilan dan mencapai maksimum pada minggu ke-24
kehamilan, tetapi dapat terus meningkat sampai minggu ke-37.
Volume plasma meningkat 45-65 % dimulai pada trimester II
kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke-9 yaitu
meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterem
serta kembali normal tiga bulan setelah partus. Stimulasi yang
meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang
menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron.
Volume plasma yang terekspansi menurunkan
hematokrit, konsentrasi hemoglobin darah, dan hitung eritrosit,
tetapi tidak menurunkan jumlah absolut Hb atau eritrosit dalam
sirkulasi. Penurunan hematokrit, konsentrasi hemoglobindan
hitung eritrosit biasanya tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8
kehamilan, dan terus menurun sampai minggu ke-16 sampai
ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai. Sebab itu, apabila
ekspansi volume plasma yang terus-menerus tidak diimbangi
dengan peningkatan produksi eritropoetin sehingga
menurunkan kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di
bawah batas “normal”, timbullah anemia.
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut
keseimbangan zat besi yang negatif yaitu tahap deplesi besi
(iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan
kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila
kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi
kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini
disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit.
Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total
iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan
reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah
besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu
sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul
anemia mikrositik hipokrom yang disebut sebagai anemia
defisiensi besi (iron deficiency anemia).

2. Patofisiologi Anemia Megaloblastik


Timbulnya megaloblas adalah akibat gangguan
maturasi sel karena terjadi gangguansintesis DNA sel-sel
eritroblast akibat defisiensi asam folat dan vitamin B12,
dimana vitaminB12 dan asam folat berfungsi dalam
pembentukan DNA inti sel dan secara khusus untuk vitamin
B12 penting dalam pembentukan mielin. Akibat gangguan
sintesis DNA pada intieritoblas ini, maka meturasi ini lebih
lambat sehingga kromatin lebih longgar dan sel menjadilebih
besar Karena pembelahan sel yang lambat. Sel eritoblast
dengan ukuran yang lebih besar serta susunan kromatin yang
lebih longgar di sebut sebagaisel megaloblast. Sel megaloblast
ini fungsinya tidak normal,dihancurkan saat masih dalam
sumsum tulang sehingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa
hidup eritrosit lebih pendek yang berujung pada terjadinya
anemia.

2.1.6 Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi dalam kehamilan pada
umumnya baik bagi ibu dan anak. Persalinan dapat berlangsung
seperti biasa tanpa pendarahan banyak atau adanya komplikasi lain.
Anemia berat meningkatkan morbiditas dan mortalitas wanita
hamil. Walaupun bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita
anemia defisiensi besi tidak menunjukkan hemoglobin (Hb) yang
rendah, namun cadangan zat besinya kurangsehingga baru
beberapa bulan kemudian akan tampak sebagai anemia infantum.
Anemia megaloblastik dalam kehamilan mempunyai
prognosis cukup baik tanpa adanya infeksi sistemik, preeklampsi
atau eklampsi. Pengobatan dengan asam folat hampir selalu
berhasil. Apabila penderita mencapai masa nifas dengan selamat
dengan atau tanpa pengobatan maka anemianya akan sembuh dan
tidak akan timbul lagi. Hal ini disebabkan karena dengan lahirnya
anak, kebutuhan asam folat jauh berkurang. Anemia megaloblastik
berat dalam kehamilan yang tidak diobati mempunyai prognosis
buruk.
2.1.7 Gejala Klinis

Gambar 2: Grafik menunjukkan kekurangan asam folat, protein,


zat besi, dapat menyebabkan kekurangan oksigen jaringan dan
mengakibatkan terjadinya anemia

Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia


defisiensi besi sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga
gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol,ataupun bisa
ditemukan gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit
dasarnya.Ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan,
dengan tekanan darah dalam batas normal, perlu dicurigai anemia
defisiensi besi. Dan secara klinis dapat dilihat tubuhyang pucat dan
tampak lemah (malnutrisi).
Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan
anemia adalah pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan dari
berkurangnya volume darah, berkurangnya haemoglobin,
vasokontriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-
organ vital. Warna kulit bukan merupakan indeks yang dapat
dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi pigmentasi kulit, suhu,
dan kedalaman serta distribusi bantalan kapiler. Bantalan kuku,
telapak tangan, dan membrane mukosa mulut serta konjungtiva
merupakan indikator yang lebih baik untuk menilai pucat. Dispnea
(kesulitan bernapas), napas pendek, dan cepat lelah waktu
melakukan aktivitas jasmani merupakan manifiestasi berkurangnya
pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, pingsan, dan tinitus (telinga
berdengung) dapat mencerminkan berkurangnya oksigenasi pada
sistem saraf pusat.
Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh anemia,
penderita defisiensi besi yang berat (besi plasma lebih kecil dari 40
mg/ 100 ml;Hb 6 sampai 7 g/100 ml)mempunyai rambut yang
rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya
berbentuk seperti sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla
lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat, merah
daging, dan meradang dan sakit. Dapat juga timbul stomatitis
angularis, pecah-pecah dengan kemerahan dan rasa sakit di sudut-
sudut mulut.

Pada anemia megaloblastik selain tanda-tanda dari anemia,


penderita anemia megaloblastik yang sekunder akibat defisiensi
asam folat dapat terlihat malnutrisi dan mengalamai glositis berat
(lidah meradang, nyeri), diare, dan kehilangan nafsu makan. Kadar
folat juga menurun (kurang dari 4 ng/ ml).
Pada anemia hemolitik gejala-gejala yang lazim dijumpai ialah
gejala – gejala proses hemolitik, seperti anemia, hemoglobinemia,
hemoglobinuria, hiperbilirubinemia, hiperurobilinuria, dan
sterkobilin lebih banyak dalam feses. Disamping itu terdapat pula
sebagai tanda regenerasi darah seperti retikulositosis dan
normoblastemia, serta hyperplasia erithropoesis dalam sumsum
tulang. Pada hemolisis yang berlangsung lama dijumpai
pembesaran limpa (splenomegali) karena limpa membersihkan sel-
sel yang mati hingga menimbulkan krisis akut dan anemia
hemolitik yang herediter kadang – kadang disertai kelainan pada
tengkorak dan tulang – tulang lain.

2.1.8 Diagnosis
1. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap
diperlukan untuk penegakan diagnosis. Pada anamnesa akan
didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata
berkunag-kunang, dan keluhan sering mual muntah lebih
hebat pada hamil muda. Pada pemeriksaan fisik terlihat
lemah, letih, lesu. Pada inspeksi muka, conjungtiva, bibir, lidah,
selaput lendir dan dasar kuku kelihatan pucat.
Pemeriksaan penunjang awal yang perlu dilakukan
adalah pemeriksaan kadar hemoglobin dan darah tepi.
Pemeriksaan hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan
standar. Pada pemeriksaan laboratorium (kadar Hb) didapatkan
hasil sebagai berikut;
a. Hb ≥11 gr% : Tidak anemia
b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
c. Hb 7-8 gr% : Anemia sedang
d. Hb <7 gr % : Anemia berat

Apabila dicurigai adanya penyebab penyakit kronik seperti


malaria dan tuberkulosis, diperlukan adanya pemeriksaan
khusus seperti pemeriksaan darah tepi dan pemeriksaan sputum.
Pada pemeriksaan apusan darah tepi dapat ditemukan
mikrositosis dan hipokromasia. Anemia yang ringan tidak
selalu menunjukkan ciri-ciri khas tersebut, bahkan banyak yang
bersifat normositik dan normokrom. Hal itu disebabkan karena
defisiensi besi dapat berdampingan dengan defisiensi asam
folat. Sifat lain yang khas bagi defisiensi besi adalah kadar zat
besi serum rendah, ferritin yang rendah, daya ikat zat besi
serum tinggi, protoporfirin eritrosit tinggi, reseptor transferin
yang meningkat, dan tidak ditemukan hemosiderin dalam
sumsum tulang.Selain itu, diperlukan adanya beberapa
pemeriksaan untuk membedakan anemia akibat defisiensi besi,
defisiensi asam folat, dan thalassemia.

2. Diagnosis Anemia Megaloblastik


Diagnosis anemia megaloblastik ditegakkan apabila
ditemukan megaloblas atau promegaloblas dalam darah atau
sumsum tulang. Sifat khas anemia megaloblastik dari apusan
darah tepi adalah makrositik dan hiperkrom yang tidak selalu
dijumpai kecuali apabila anemianya sudah berat. Perubahan-
perubahan dalam leukopoesis seperti hipersegmentasi
granulosit dan polimorfonuklear merupakan petunjuk bagi
defisiensi asam folat. Defisiensi asam folat sering
berdampingan dengan defisiensi zat besi dalam kehamilan.
Standar baku emas untuk penegakan diagnosis anemia
megaloblastik adalah dengan pemeriksaan kadar serum folat
absorption test dan clearance test asam folat.
Dengan pemeriksaan khusus untuk membedakan
dengan defisiensi asam folat dan thalassemia. Pemeriksaan
Mean Corpuscular Volume (MCV) penting untuk
menyingkirkan thalassemia. Bila terdapat batas MCV < 80 uL
dan kadar RDW (red cell distribution width)> 14% mencurigai
akan penyakit ini kadar Hemoglobin Fetal (HbF) >2% dan
HbA2 yang abnormal akan menentukan jenis thalassemia

3. Diagnosis Anemia Hemolitik


Apabila pada ibu ditemukan tanda dan gejala anemia
dan ada pembengkakan pada kelenjar limpa atau splenomegali,
maka akan dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Beberapa
parameter yang di cek adalah sebagai berikut;
a. Jumlah sel darah total, guna mengetahui jumlah sel darah
pada pasien.

b. Bilirubin, guna mengetahui jumlah sel darah merah yang


dihancurkan oleh hati. Pada penderita anemia hemolitik,
konsentrasi bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam tubuh
umumnya di bawah 0,3 mg/L.
c. Hemoglobin, guna mengetahui jumlah sel darah merah
yang masih hidup.
d. Jumlah retikulosit, guna mengetahui banyaknya sel darah
merah yang diproduksi oleh tubuh.
e. Fungsi hati.

Beberapa tes tambahan yang dapat membantu diagnosis


anemia hemolitik adalah:
a. Tes urine, guna mendeteksi keberadaan sel darah dalam
urine.
b. Biopsi sumsum tulang, untuk menentukan jumlah sel darah
merah yang diproduksi beserta bentuknya.
c. Pewarnaan darah (peripheral blood smear).Pewarnaan
darah digunakan untuk melihat bentuk sel darah melalui
pengamatan mikroskopis. Melalui pemeriksaan ini, dokter
dapat mengetahui kematangan sel darah, fragmentasi sel
darah, dan sebagainya. Pewarnaan darah juga dapat
mendeteksi apakah seseorang terkena anemia sel sabit atau
tidak dilihat dari bentuk sel darah merahnya.
d. Studi enzim laktat dehidrogenase. Enzim laktat
dehidrogenase merupakan salah satu indikator penting
dalam menentukan adanya hemolisis pada pasien. Pasien
yang menderita anemia hemolitik dapat didiagnosis dari
peningkatan serum laktat dehidrogenase dalam darah.
Meskipun demikian, beberapa penyakit keganasan (kanker)
lainnya juga dapat meningkatkan kadar serum laktat
dehidrogenase dalam darah.
e. Studi serum haptoglobin. Penurunan serum haptoglobin
dalam darah dapat mengindikasikan adanya anemia
hemolitik menengah hingga berat.

2.1.9 Akibat atau dampak


1. Pengaruh Anemia terhadap Kehamilan
a. Abortus (keguguran)
b. Persalinan premature
c. Ancaman dekompensasi kordis (Hb < 6 gr%)
d. Mudah terjadi infeksi
e. Hyperemesis gravidarum
f. Perdarahan sebelum persalinan
g. Ketuban pecah dini.

2. Pengaruh Anemia terhadap Persalinan


a. Gangguan his
b. Kala II dapat berlangsung lama dan partus lama
c. Kala uri dapat diikuti retensio plasenta dan kelemahan his.

3. Pengaruh Anemia pada saat Nifas


a. Terjadi subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan
post partum
b. Memudahkan infeksi puerpuerium
c. Pengeluaran ASI berkurang
d. Terjadinya dekompensasi kordis.

4. Pengaruh Anemia terhadap Janin


a. Kematian janin dalam kandungan
b. Berat bayi lahir rendah
c. Kelahiran dengan anemia
d. Cacat bawaan
e. Mudah terinfeksi hingga kematian perinatal\
f. Inteligensi yang rendah.

2.1.10 Pengobatan
1. Anemia defisiensi besi
Menurut Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan
a. Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel
darah merah
b. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan
suplementasI besi dan asam folat. Tablet yang saat ini
banyak tersedia di Puskesmasadalah tablet tambah darah
yang berisi 60 mg besi elemental dan 250μg asam folat.
Pada ibu hamil dengan anemia, tablet tersebut
dapatdiberikan 3 kali sehari. Biladalam 90 hari muncul
perbaikan, lanjutkan pemberian tablet sampai 2 hari
pascasalin.Apabila setelah 90 haripemberian tablet besi dan
asam folat kadar hemoglobin tidak meningkat,rujuk pasien
ke pusatpelayanan yang lebih tinggi untuk mencari
penyebab anemia.
c. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan
penyebab anemia berdasarkan hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan apus darah tepi.
d. Anemia mikrositik hipokrom dapat ditemukan pada
keadaan:
Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila
ditemukan kadar ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi
dengan dosis setara 180mg besi elemental per hari. Apabila
kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan TIBC.
e. Anemia makrositik hiperkrom dapat ditemukan pada
keadaan:
Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan
asam folat 1 x 2 mg dan vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg
f. Transfusi untuk anemia dilakukan pada pasien dengan
kondisi berikut:
Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20 %
Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing,
pandangan berkunang-kunang, atau takikardia (frekuensi
nadi >100x per menit)
Pada beberapa orang, pemberian tablet zat besi dapat
menimbulkan gejala-gejala seperti mual, nyeri didaerah
lambung, kadang terjadi diare dan sulit buang air besar, serta
pusing. Selain itu, setelah mengonsumsi tablet tersebut tinja
dapat berwarna hitam, namun hal ini tidak membahayakan.
Frekuensi efek samping tablet zat besi ini bergantung pada
dosis zat besi dalam tablet tersebut, bukan pada bentuk
campurannya. Semakin tinggi dosis yang diberikan maka
kemungkinan efek samping akan semakin besar.
Terapi parenteral zat besi diberikan hanya apabila terdapat
kontraindikasi dengan terapi oral. Zat besi parenteral diberikan
dalam bentuk ferri secara intramuskular, dapat disuntikkan
dekstran besi, Imferon, atau sorbitol besi. Hasilnya akan lebih
cepat tercapai dan penderita hanya merasa nyeri pada tempat
suntikan. Akhir-akhir ini, Imferon banyak pula diberikan
dengan infus dengan dosis total antara 1000-2000 mg unsur zat
besi. Walaupun zat besi intravena dengan infus kadang-kadang
menimbulkan efek samping, namun apabila ada indikasi yang
tepat maka cara ini dapat dilakukan. Efek sampingnya lebih
kurang dibandingkan dengan transfusi darah.

Protokol Iron Dextran


Indikasi :
Pengobatan anemia defisiensi besi pada pasien yang tidak dapat mengabsorbsi zat
besi secara oral.
Kontraindikasi :
1. Hipersensitif pada iron dextran complex
2. Digunakan secara hati-hati pada penderita dengan asma, gangguan hepar,
dan arthritis rheumatoid.
Dosis :
Tes Dosis :
1. 0,5 mL i.v/i.m untuk permulaan terapi
2. Untuk i.v dosis, dilusi 25mg/0,5 mL dalam 50 mL isotonic saline solution
dan infus sekitar 15 menit.
3. Sediakan epinephrine di samping penderita. Observasi penderita selama 30
menit untuk melihat ada tidaknya reaksi anafilaktik.
Dosis (mL) :
1. 0,0476 x berat badan (kg) x (14,8 – observasi Hgb) + (1mL/5kg hingga
maksimum 14mL untuk penyimpanan zat besi)
2. Dosis maksimum i.v = 3000mg (60 mL)
3. Dilusi jumlah dosis di dalam 250-1000mL isotonic saline solution.
Volume yang sering digunakan 500mL
4. Konsentrasi maksimum = 50 mg/mL
5. Infus selama 1-6 jam (kecepatan tidak lebih dari 50mg/min). Batas waktu
infus yang sering digunakan sekitar 2-3 jam. Observasi pasien untuk
25mL yang pertama untuk mengobservasi ada tidaknya reaksi alergik.
Jangan menambah iron dextran pada total nutrisi parenteral.
Efek samping:
1. Kardiovaskular : flushing, hipotensi, kolaps kardiovaskular (<1%)
2. Sistem saraf pusat : pusing, demam, nyeri kepala (>10%), menggigil(<1%)
3. Dermatologik : urtikaria, flebitis (<1%), kelainan pewarnaan pada kulit
(hipopigmentasi, hiperpigmentasi).
4. Gastrointestinal : nausea, muntah, perubahan warna pada urin (1-10%)
5. Respiratorik : diaphoresis (>10%).
Catatan : diaphoresis, urtikaria, demam, menggigil, dan pusing mungkin timbul
24-48 jam pertama setelah diberikan i.v dan 3-4 hari setelah i.m. Reaksi
anafilaktik terjadi dalam menit-menit pertama setelah disuntik.
Observasi : Tekanan darah setiap 5 menit selama tes dosis. Lihat reaksi alergik
dan efek samping 3-4 hari pertama. Cek hemoglobin dan retikulosit.
Gambar 3 : Tabel di atas menunjukkan cara pemberian preparat besi pada wanita
hamil beserta efek sampingnya.

2. Anemia megaloblastik
Pengobatan untuk anemia megaloblastik dalam
kehamilan sebaiknya diberikan terapi oral asam folat bersama-
sama dengan zat besi. Penatalaksanaan defisiensi asam folat
adalah pemberian folat secara oral sebanyak 1 sampai 5 mg per
hari. Pada dosis 1 mg, anemia umumnya dapat dikoreksi
meskipun pasien mengalami pula malabsorpsi. Ibu hamil
sebaiknya mendapat sedikitnya 400 μg.

3. Anemia Hemolitik
Pengobatan anemia hemolitik dalam kehamilan tergantung
pada jenis dan beratnya. Tranfusi darah yang kadang perlu
diulang beberapa kali, diperlukan bila ada anemia berat untuk
meringankan beban ibu dan mengurangi bahaya hipoksia janin.
Splenektomi dianjurkan pada anemia hemolitik bawaan dalam
trimester II atau III. Pada anemia hemolitik sangat perlunya
mencari faktor penyebab dan menyingkirkannya, seperti
penghentian pemberian obat-obatan yang mendepresi sumsum
tulang.

2.1.11 Pencegahan
1. Anemia defisiensi besi
Tablet Fe diberikan pada kelompok sasaran tanpa
pemeriksaan Hb. Diberikan 90 tablet Fe, dosisnya yaitu 1 tablet
(60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat) berturut-turut
selama minimal 90 hari masa kehamilan mulai pemberian pada
waktu pertama kali ibu memeriksa kehamilannya.Pada anemia
defisiensi besi juga dapat dicegah dengan mengkonsumsi
makanan, sayur yang banyak mengandung zat besi seperti
bayam, daging merah, telur, kacang-kacangan dan dapat
disertai dengan mengkonsumsi buah, sayur yang mengandung
vitamin C seperti jeruk, tomat, mangga untuk membantu proses
penyerapan zat besi.
Pada saat mengkonsumsi tablet Fe atau makanan yang
mengandung zat besi jangan bersamaan dengan meminum the,
dikarenakan zat tannin dalam the dapat menghambat proses
penyerapan zat besi.

2. Anemia megaloblastik
Menurut buku Maye’s Midwifery
Pencegahan defisiensi asam folat yaitu dengan
mengkonsumsi sayuran hijau seperti brokoli dan bayam,
gandum, kacang, ikan tuna.
Kejadian kerusakan tabung saraf meningkat pada ibu
dengan defisiensi asam folat. The National Institute for Health
and Clinical Excellence (NICE) merekomendasikan agar
semua wanita yang ingin hamil harus mengkonsumsi 400μg
suplemen asam folat setiap hari sebelum hamil dan selama
trimester pertama.

2.1.12 Rujukan
Pada ibu hamil dengan anemia, tablet Fe dapat diberikan 3 kali
sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan, lanjutkan pemberian
tablet sampai 2 hari pascasalin. Apabila setelah 90 hari pemberian
tablet besi dan asam folat kadar hemoglobin tidak meningkat, rujuk
pasien ke pusat pelayanan yang lebih tinggi untuk mencari penyebab
anemia.
Pada ibu inpartu dengan Hb <10 gr% rujuk ibu ke pusat
pelayanan yang lebih tinggi seperti rumah sakit.

2.2 Kelainan Darah (ABO, Resus, ACA)


2.2.11 Kelainan darah sistem ABO
1. Definisi
Dr.Karl Landsteiner dengan rekannya Donath
menggolongkan darah menjadi empat macam. Penggolongan
darah yang mereka lakukan disebut dengan penggolongan
darah sistem ABO. Penggolongan yang dilakukan oleh
Landsteiner berdasarkan keberadaan antigen sehingga hanya
ada empat kemungkinan yaitu A, B, AB dan O.

Golongan Darah A Antigen A Antibodi B


Golongan Darah B Antigen B Antibodi A
Golongan Darah AB Antigen A dan B Antibodi -
Golongan Darah O Antigen - Antibodi A dan O

Inkompatibilitas ABO merupakan salah satu penyebab dari


penyakit hemolitik pada neonatus yaitu kondisi sel darah merah
yang tidak memiliki masa hidup lebih pendek. Biasanya, kasus
ini terjadi pada janin dengan golongan darah A atau B dari ibu
yang bergolongan darah O, Karena antibodi yang ditemukan
pada golongan darah O ibu adalah dari kelas IgG yang dapat
menembus plasenta. Pada inkompatibilitas ABO, jika tidak
ditangani menjadi cukup berat dan menyebabkan ikterus
bahkan kematian. Tetapi, hanya 10% - 20% dari janin dengan
inkompatibilitas ABO yang mengalami ikterus.

2. Etiologi kelainan sistem ABO


a. Inkompabilitas ABO pada Kesalahan Tranfusi Darah
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO
disebabkan karena ketidaksesuaian golongan darah antara
penerima dan pendonor. Ketidaksesuaian ini
mengakibatkan adanya reaksi penghancuran pada sel darah
merah donor oleh antibodi penerima. Keadaan ini disebut
lethal tranfusion reaction (Joyce Poole, 2001)
Keadaan ini terjadi karena kurang hati-hati dan teliti
dalam memberikan transfusi darah pada:
1) Golongan A, B, atau AB kepada penerima yang
bergolongan darah O
2) Golongan darah A atau AB kepada penerima yang
bergolongan darah B
3) Golongan darah B atau AB kepada penerima yang
bergolongan darah A (Joyce Poole, 2001)

b. Inkompabilitas pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)


Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO
disebabkan oleh ketidakcocokan dari golongan darah ibu
dengan golongan darah janin, dimana umumnya ibu
bergolongan darah O dan janinnya bergolongan darah A,
atau B, atau AB. Dikarenakan dalam kelompok golongan
darah O, terdapat antibodi anti-A dan anti-B (IgG) yang
muncul secara natural, dan dapat melewati plasenta. Pada
inkompatibilitas ABO, jika tidak ditangani menjadi cukup
berat dan menyebabkan ikterus bahkan kematian. Situasi ini
dapat juga disebabkan oleh karena robekan pada membran
plasenta yang memisahkan darah maternal dengan darah
fetal, sama halnya seperti pada previa plasenta, abruptio
placenta, trauma, dan amniosentesis. (Joyce Poole, 2001)
3. Patofisiologi
a. Inkompatibilitas ABO pada transfusi darah
Terjadinya inkompatibilitas ABO pada transfusi
darah disebabkan karena kesalahan transfusi yaitu
kesalahan dalam pemberian darah dimana golongan darah
resipien berbeda dengan golongan darah pendonor. Hal ini
mengakibatkan antibodi didalam golongan darah resipien
akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel.
Reaksi hemolitik pada kejadian inkompatibilitas ABO
dapat terjadi secara akut dan secara lambat(Rizky
Adriansyah, 2009).
Reaksi hemolitik akut pada transfusi merupakan
masalah yang serius karena terjadi dengan sangat cepat (
kurang dari 24 jam ). Umumnya dikarenakan kesalahan
dalam mencocokan sample darah resipien dan donor.
Proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah
(intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II.
Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan
antigen yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien.
Reaksi hemolitik lambat terjadi saat plasma donor
yang mengandung eritrosit antigen berinteraksi dengan IgG
atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah
diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di
hati.

b. Inkompatibilitas ABO pada Neonatus


Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa
insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu, bila
antigen ibu beda dengan janin, maka ibu akan distimulasi
untuk membentuk imun antibodi. Dimanaimun antibodi
tipe IgG sendiri bisa menembus melewati plasenta, untuk
kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga
sel-sel eritrosit janin akan diselimuti dengan antibodi
tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang
kemudian akan menyebabkan anemia. Hal ini akan
dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi
dan melepaskan eritroblas secara berlebihan dan
menyebabkan pembesaran hati serta limpa yang selanjutnya
dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.

2.2.12 Kelainan darah Rhesus


a. Definisi
Inkompatibilitas Rhesus adalah penyakit hemolitik isoimun
yang menyebabkan anti bodi IgG melawan anti gen sel darah
merah fetus.
Dimana jika wanita dengan rhesus (-) menikah dengan pria
rhesus (+) anak akan terlahir dengan rhesus (+). Jika Ab-Rh
digunakan pada manusia akan terbentuk dua respon yaitu
individu dengan respon positif hal itu menandakan individu
tersebut memiliki Ag-Rh, artinya terjadi aglutinasi eritrosit
waktu di uji dengan Ab-Rh (+). Reaksi yang kedua adalah
reaksi negatif yang berarti individu tersebut tidak memiliki Ag-
Rh.
b. Etiologi
Etiologi kelainan Rh bisa disebabkan oleh kesalahan saat
melakukan transfusi darah dimana wanita dengan darah Rh (-)
ditransfusi dengan Rh (+), maka darah wanita itu dipicu untuk
membentuk Ab-Rh.Selain karena transfusi adanya perkawinan
wanita dengan Rh (-) dengan peria Rh (+) akan menghasilkan
janin dengan Rh (+). Atau disebut juga perkawinan antara peria
dan wanita yang berbeda Rh.

c. Patofisiologi
Proses terjadinya hemolisis pada penyakit isoimun akibat
inkompatibilitas Rh adalah sebagai berikut:
Pada kasus donor darah dimana dimana wanita dengan
darah Rh (-) ditransfusi dengan Rh (+), maka darah wanita itu
dipicu untuk membentuk Ab-Rh. Akibatnya semula serum
darah wanita yang bersih dari Ab-Rh kini mengandung Ab-Rh,
kini mengandung Ab-Rh terlebih lagi jika sering dilakukan
transfusi.
Sementara untuk proses penurunan Rh dari ibu ke janin
yang berdampak untuk janin berlangsung ketika Ibu dengan Rh
negatif sementara fetus Rh positif, hal itu menyebabkan
masuknya eritrosit fetus ke sirkulasi maternal melalui proses
perdarahan fetomaternal, kemudianterjadi sensitisasi maternal
oleh antigen Ddari eritrosit fetus, setelah terbentuk anti D
maternal sebagai respon terhadap anti gen D fetus, Kemudian
anti D maternal secara transplasental masuk kedalam sirkulasi
fetus, anti bodi tersebut melekat pada eritrosit fetus dan
menyebabkan aglutinasi kemudian eritrosit tersebut menjadi
lisis.Setelah bayi lahir terdapat eritrosit fetus yang mengandung
Rh + dalam aliran darah ibu, jadi bayi yang pertama lahir
dengan selamat. Pada kehamilan berikutnya ketidakcocokan Rh
akan terulang. Reksi Ag-Rh dengan Ab-Rh ibu berlangsung
dalam eritrosit fetus dan menyebabkan eritrosit fetus rusak,
sehingga bayi akan merespon dengan menghasilkan banyak
eritroblas yang jika terlalu berlebihan akan merusak
perkambangan otak bayi. EBF akan menyebabkan bayi
abortus, lahir mati, atau hidup beberapa hari saja. Penyakit
hemolitik karena inkompatibilitas Rh jarang terjadi pada
kehamilan pertama tetapi resikonya menjadi lebih tinggi pada
kehamilan berikutnya.

d. Diagnosis
Diagnosis inkompatibilitas Rh ditegakkan dengan riwayat
kehamilan dan persalinan sebelumnya, penetapan golongan
darah Rh ibu dan janin, Uji Coombs langsung darah janin /
bayi.

e. Antisipasi
Pencegahan untuk mengurangi bahaya berkembangnya Ab-
Rh yaitu dengan jalan memberi injeksi yang dapat menghalangi
terbentuknya Ab-Rh dalam darah ibu. Pemberian
imunoglobulin yang mengandung anti D kepada ibu dapat
mengikat eritrosit janin yang masuk kedalam sirkulasi
maternal. Penyuntikan di lakukan dengan dosis 300 ug anti D
dalam waktu 72 jam setelah kelahiran atau kejadian abortus.(3)

2.2.13 Kelainan Daran ACA


1. Definisi
ACA (Anticardiolipin Antibody) adalah suatu protein dalam
darah yang membuat tubuh membentuk reaksi kekebalan
hingga terjadi APS (Antiphospholid Syndrome). ACA adalah
penyakit yang menyebabkan darah menjadi kental. Itulah
mengapa penyakit ini sering disebut sindrom darah kental.
Tubuh sebenarnya memiliki kemampuan alamiah untuk
mencegah terjadinya pembekuan darah yang tidak wajar.
Namun dalam kasus ini, terdapat suatu protein darah yang
menyebabkan darah menjadi lebih kental dan cepat beku.
Sindrom ini bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan di
mana saja.

2. Epidemiologi
Antibodi antifospolipid dijumpai sejak usia muda,
prevalensi ACA dan LA pada subyek kontrol sehat adalah 1-
5%. Sebagaimana autoantibodi lainnya, prevelensi antibodi
antifosfolipid meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
khususnya di antara pasien usia lanjut dengan penyakit kronis
sebagai penyerta. Sindrom antifosfolipid yang tampak pada
penduduk hampir sama dengan pada golongan penyakit
jaringan ikat.
Golongan yang paling sering menderita adalah perempuan
usia subur. Pada yang sekunder perbandingan antara
perempuan terhadap pria adalah 7 sampai 9:1 dengan yang
terjadi pada Lupus Eritomatosus Sistemik, sedangkan yang
primer lebih rendah yaitu 4:1.
Biasanya, orang-orang yang mengalami gejala akan
lakukan bertahun-tahun sehingga antara usia 18 dan 40.
Namun, kadang-kadang mereka dapat berkembang sangat dini
pada masa kecil.

3. Etiologi
Saat ini belum ada penelitian yang menemukan secara pasti
penyebab ACA, yang pasti ACA bukan penyakit keturunan
dan tidak menular.
Dugaan sementara dari para ahli ACA disebabkan oleh pola
hidup yang tidak sehat, misalnya mengkonsumsi makanan
instan, merokok, DM.
Pada penderita ACA inilah yang disebut penderita APS.
Antiphospholipid Antibody Syndrome (APS) adalah
gangguan autoimun. Gangguan autoimun terjadi jika sistem
kekebalan tubuh membuat antibodi yang menyerang dan
merusak jaringan atau sel.
Pada penderita ACA inilah yang disebut penderita APS
Antiphospholipid Antibody Syndrome (APS) adalah
gangguan autoimun. Gangguan autoimun terjadi jika sistem
kekebalan tubuh membuat antibodi yang menyerang dan
merusak jaringan atau sel.

APS/ACA dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan:


a. Stroke
b. serangan jantung
c. kerusakan ginjal
d. Trombosis
e. gangguan autoimun/rematik seperti lupus.
f. keguguran
g. kelahiran prematur akibat eklampsia

4. Akibat/Dampak
a. Pengaruh Kelainan Darah Pada Ibu Hamil
ACA atau juga disebut sindrom anticardiolipin
terjadi karena darah lebih cepat membeku dibandingkan
dengan kondisi normal pada umumnya. Mengentalnya
darah yang terlalu cepat ini akan menyebabkan gangguan
pada metabolisme tubuh dan dapat menyebabkan gagal
jantung ataupun stroke. Bahkan akibat ACA yang tidak
terpantau akan berujung pada kematian karena peredaran
darah yang tidak lancar atau tidak tersuplai ke seluruh
tubuh sebagaimana mestinya
Jika darah yang ada di dalam tubuh mengental,
maka semua aliran oksigen dan nutrisi dalam tubuh akan
terganggu. Efeknya dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi utama ginjal, penyumbatan paru-paru,
migren, serangan jantung, serangan stroke.
Bagi ibu hamil, sindrom ini dapat menjadi penyebab
janin meninggal dalam kandungan, keguguran berulang
kali, dan bayi yang lahir meninggal
Bila darah yang mengalir dalam tubuh kental
tentunya akan sulit dialirkan keseluruh tubuh, akibatnya
sirkulasi darah berjalan tidak lancar. Akibatnya, seseorang
yang menderita sindrom ACA akan mengalami penurunan
daya ingat, penyakit jantung, stroke, sampai kematian di
usia dewasa muda atau sebelum 40 tahun.
Bagi ibu hamil, sindrom ini dapat menjadi penyebab
janin meninggal dalam kandungan, keguguran berulang
kali, dan bayi yang lahir meninggal.

b. Pengaruh ACA pada post partum


ACA menyerang pembuluh darah dan
mengakibatkan tingginya kadar kekentalan darah.
Selain berdampak pada bayi, ACA juga memiliki
banyak resiko terhadap sang ibu. Oleh sebab itu, apabila
ACA Anda tinggi, disarankan untuk tidak hamil terlebih
dahulu hingga kadarnya kembali normal. Jika sudah
terlanjur hamil, Anda pun harus menjalani pengobatan
ACA secara intensif, salah satunya dengan pemberian obat
atau suntikan heparin/fraksiparin, yang berfungsi
mengencerkan darah. Pengobatan melalui suntikan ini
umumnya dilakukan 2 kali sehari di bawah kulit pusar.
suntikan heparin dapat berpengaruh bagi bayi dan
ibu. Pada bayi, suntikan dapat membuat berat badan bayi
berkurang. Namun, hal tersebut tidak akan mengganggu
perkembangan fisik bayi. Sementara itu, suntikan juga
dapat menimbulkan gatal, biru, atau lebam di sekitar bekas
suntikan. Jika kadar ACA ibu dibiarkan semakin tinggi
tanpa pengobatan dapat menimbulkan risiko stroke, tuli,
daya penglihatannya berkurang, dan kebutaan.

5. Patofisiologi
Manifestasi klinis sindrom antiphospolipid terjadi
akibat adanya thrombosis dan emboli yang tersebar pada
pembuluh darah besar dan kecil yang menyebabkan iskemia
bahkan infark pada jaringan, penyakit jantung coroner, stroke,
ancaman abortus pada janin,dan gangguan tumbuh kembang
janin.
Diketahui ada beberapa mekanisme yang dapat
menyebabkan thrombosis tersebut, seperti penurunan
produksi prostasiklin. Pada sel endotel pembuluh darah
terjadi metabolisme asam arakidonat melalui
cyclooxygenase pathway untuk menghasilkan prostasiklin.
Dan sebaliknya terjadi metabolisme asam arakidonat
untuk menghasilkan tromboksa A2 (TXA2) pada sel-sel
platelet.
Prostasiklin merupakan vasodilator yang dapat meghambat
agregasi dari trombosit, sedangkan efek dari tromboksan
adalah kebalikannya. Dengan begitu penurunan prostasiklin
akibat kerusakan endotel berpotensi menimbulkan thrombosis
melalui agregasi trombosit dan vasokonstriksi pembuluh darah.
Ada beberapa mekanisme lain yang diduga dapat
menyebabkan thrombosis, sepertipenurunan protein C yang
teraktivasi, peningkatan pelepasan tissue factor, penurunan anti
thrombin III, penurunan fibrinolysis, dan peningkatan agregasi
platelet.

2.3 Leukimia
2.3.1 Definisi
Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang
menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang
(bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam tubuh
manusia memproduksi tiga type sel darah diantaranya sel darah
putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel
darah merah (berfungsi membawa oxygen kedalam tubuh) dan
trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses
pembekuan darah).Leukemia umumnya muncul pada diri
seseorang sejak dimasa kecilnya, Sumsum tulang tanpa diketahui
dengan jelas penyebabnya telah memproduksi sel darah putih yang
berkembang tidak normal atau abnormal.
Normalnya, sel darah putih me-reproduksi ulang bila tubuh
memerlukannya atau ada tempat bagi sel darah itu sendiri. Tubuh
manusia akan memberikan tanda/signal secara teratur kapankah sel
darah diharapkan be-reproduksi kembali.Pada kasus Leukemia
(kanker darah), sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal
yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak
terkontrol (abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat
ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah
putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi
normal sel lainnya.
2.3.2 Jenis/tipe
1. Leukemia Akut
Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang
yang berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh
komponen darah abnormal yang disertai dengan penyebaran
organ-organ lain. leukemia akut memiliki perjalanan klinis
yang cepat, tanpa pengobatan penderita akan meninggal rata-
rata dalam 4 sampai 6 bulan.
a. Leukemia Limfositik Akut
Leukemia Limfositik Akut merupakan jenis
leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan
akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfatik yang
mengakibatkan ergonomically (pembesaran alat-alat dalam)
dan kegagalan organ. Leukemia Limfositik Akut lebih
sering ditemukan pada anak-anak 82% daripada umur
dewasa 18%. Insiden Leukemia Limfositik Akut akan
mencapai puncaknya pada umur 3 sampai 7 tahun. Dampak
pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2 sampai 3
bulan Setelah diagnosis terutama diakibatkan oleh
kegagalan dari sumsum tulang.

b. Leukemia Mielositik Akut


Leukemia Mielositik Akut merupakan leukemia
yang mengenai sel stem hematopoetik yang akan
berdiferensiasi ke semua sel mieloid. Leukemia Mielositik
Akut merupakan leukimia limfositik yang paling sering
terjadi. Leukemia Mielositik Akut atau leukimia non
limfositik akut lebih sering ditemukan pada orang dewasa
85% dibandingkan anak-anak 15%. Permulaannya
mendadak dan progresif dalam masa 1-3 bulan dengan
durasi gejala yang singkat. Jika tidak diobati, Leukemia
Mielositik Akut fatal dalam 3 sampai 6 bulan

2. Leukemia Kronik
Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai
proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau
terjadi karena keganasan hematologi.
a. Leukemia Limfosit Kronis
Leukemia Limfosit Kronis adalah suatu keganasan
klonal limfosit B (jarang pada limfosit T). Perjalanan
Penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi progresif
yang berjalan lambat dari limfosit kecil yang berumur
panjang. Cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang
menyerang individu yang berusaha berusia 50 sampai 70
tahun dengan perbandingan 2:1 untuk laki-laki.

b. Leukemia Granulositik Kronik


Leukemia Granulositik Kronik adalah gangguan
myeloproliferative yang ditandai dengan produksi
berlebihan sel mieloid (sel granulosit) yang relatif matang.
Leukemia Granulositik Kronik mencakup 20% leukimia
dan paling sering dijumpai pada orang dewasa usia
pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas genetik yang
dinamakan kromosom Philadelphia ditemukan pada 90-
95% penderita Leukemia Granulositik Kronik. Sebagian
besar penderita Leukemia Granulositik Kronik Apakah
meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut fase
krisis blastik yaitu produksi berlebihan sel muda leukosit.
Biasanya berupa mieloblast atau promielosit, disertai
produksi neutrofil trombosit dan sel darah merah yang amat
kurang

2.3.3 Etiologi dan predisposisi


Walaupun penyebab dasar leukemia tidak diketahui,
predisposisinya adalah genetik maupun faktor-faktor lingkungan.
Jarang ditemukan leukimia familial, tetapi insiden leukimia lebih
tinggi pada saudara kandung anak-anak yang terserang, dengan
insiden yang meningkat sampai 20% pada kembar monozigot
(identik). Individu dengan kelainan kromosom, seperti sindrom
down, mempunyai insiden leukemia akut 20 kali lipat.
Faktor lingkungan berupa paparan dengan radiasi pergion
dosis tinggi disertai manifestasi leukemia yang timbul bertahun-
tahun kemudian. zat-zat kimia seperti benzen, arsen, peptisida,
kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen antineoplastik) dikaitkan
dengan frekuensi yang meningkat, khususnya agen-agen alkil.
Kemungkinan leukemia meningkat pada penderita yang diobati
baik dengan radiasi atau kemoterapi. Setiap keadaan sumsum
tulang hipoplastik keliatannya merupakan predispososi terhadap
leukemia. Pasien dengan sindrom mielodisplastik (gangguan sel
induk dengan manifestasi adanya blas dan pansitopenia yang
ditemukan pada orang dewasa tua) sering berkembang menjadi
leukimia nonlimfositik akut.

2.3.4 Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai
pertahanan tubuh terhadap infeksi. Sel darah ini secara normal
berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol sesuai dengan
kebutuhan tubuh. Leukimia meningkatkan produksi sel darah
putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat
berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti
biasanya. Leukimia memblok produksi sel darah normal, merusak
kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemia juga merusak
produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah
merah di mana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen
pada jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan
mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan
leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka,
yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau
perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali),
delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau
lebih mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang
berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukimia terjadi jika proses pematangan dari stem sel
menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan
perubahan kearah keganasan. Perubahan tersebut seringkali
melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan
genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom mengganggu
pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah
tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel sel ini
menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel
yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga
bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati, limpa,
kelenjar getah bening, ginjal, dan otak.

2.3.5 Gejala Klinis


Gejala klinis dari leukimia pada umumnya adalah anemia,
trombositopenia, neuropatia, infeksi kelainan organ yang terkena
infiltrasi dan hiperhematabolisme.
1. Leukemia Limfositik akut
Gejala Leukemia Limfositik Kronik sangat bervariasi.
Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum tulang. Gejala
klinis berhubungan dengan anemia seperti (mudah lelah,
letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan pendarahan.
Selain itu juga ditemukan anorexic, nyeri tulang dan sendi,
hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa dijumpai terutama pada
sternum, Tibia, dan femur.

2. Leukemia Mielositik Akut


Gejala utama Leukemia Mielositik Akut adalah rasa lelah,
perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom
kegagalan sumsum tulang. Perdarahan biasanya terjadi dalam
bentuk purpura atau petekia. Penderita Leukemia Mielositik
Akut dengan leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100.000 /
mm3) biasanya mengalami gangguan kesadaran, sesak nafas,
nyeri dada. Selain itu juga menimbulkan gangguan
metabolisme yaitu hiperurisemia dan hipoglikemia.

3. Leukemia Limfositik Kronik


Sekitar 25% penderita Leukemia Limfositik Kronik tidak
menunjukkan gejala. Penderita Leukemia Limfositik Kronik
mengalami gejala biasanya ditemukan limfadenopati
generalisata, penurunan berat badan, dan kelelahan. Gejala lain
yaitu hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan dalam
melakukan aktifitas berlebih. Demam, keringat keluar di malam
hari dan infeksi akan semakin parah sejalan dengan perjalanan
penyakitnya.

4. Leukemia Granulositik Kronik


Leukemia Granulositik Kronik memiliki tiga fase yaitu fase
kronik, fase akselerasi dan fase Krisis blas. Pada fase kronik
ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat kenyang akibat
desakan limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi
setelah penyakit berlangsung lama. Pada fase akselerasi
ditemukan keluhan anemia yang bertambah berat, petekie,
ekimosis, dan demam yang disertai infeksi.

2.3.6 Pengobatan
1. Kemotrapi
a. Kemotrapi pada penderita Leukemia Limfositik Akut
Pengobatan umum terjadi secara bertahap,
Meskipun tidak semua fase yang digunakan untuk semua
orang.
1) Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk
membunuh sebagian besar sel sel leukemia di dalam
darah dan sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi
biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang
panjang, karena obat menghancurkan banyak sel darah
normal dalam proses membunuh sel leukemia. Pada
tahap ini memberikan kemoterapi kombinasi yaitu
dengan daunorubisin, vincristin, prednison, dan
asparaginase.

2) Tahap 2 (Terapi Konsilidasi atau Intensifikasi)


Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan
terapi intensifikasi yang bertujuan untuk mengeliminasi
sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga
timbulnya sel yang resisten terhadap obat. Terapi ini
dilakukan setelah 6 bulan kemudian.
3) Tahap 3 (Profilaksis Sistem Saraf Pusat)
Profilaksis Sistem Saraf Pusat diberikan untuk
mencegah kekambuhan pada Sistem Saraf Pusat.
Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering
diberikan pada dosis yang lebih rendah. Pada tahap ini
menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-
kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk
mencegah leukimia memasuki otak dan sistem saraf
pusat.

4) Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)


Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan
masa remisi. Tapi ini biasanya memerlukan waktu 2
sampai 3 tahun. Angka harapan hidup yang membaik
dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95%
anak dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi
sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai remisi
lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup
jangka panjang, yang dicapai dengan kemoterapi
agresif yang diarahkan pada sumsum tulang dan Sistem
Saaf Pusat.

b. Kemoterapi pada penderita Leukemia Mielositik Akut


1) Fase induksi
Fase induksi adalah regiment kemoterapi yang
intensif, bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukimia
secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit.
Walaupun remisi komplit telah tercapai, masih tersisa
sel sel leukemia di dalam tubuh penderita tetapi tidak
dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi
menyebabkan kekambuhan di masa yang akan datang.
2) Fase konsolidasi
Fase konsolidasi dilakukan sebagai tindak lanjut
dari fase induksi. Kemoterapi konsolidasi biasanya
terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan
menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama
atau lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase
induksi. Dengan pengobatan modern angka remisi 50-
75%, tetapi angka rata-rata hidup masih 2 tahun dan
yang dapat hidup lebih dari 5 tahun hanya 10%.

c. Kemoterapi pada penderita Leukemia Limfositis


Kronik
Drajat penyakit Leukemia Limfositis Kronik harus
ditetapkan karena menentukan strategi terapi dan prognosis.
Salah satu sistem pembelajaran yang dipakai ialah
Klasifikasi Rai:
1) Stadium 0 : limpositosis darah tepi dan sumsum tulang
2) Stadium 1 : limfositosis dan limfadenopati
3) Stadium 2 : limfositosis dan splenomegali atau
hepatomegali
4) Stadium 3 : leukositosis dan anemia (Hb < 11 gr/dl)
5) Stadium 4 : leukositosis dan trombositopenia
(<100.000/mm3) dengan atau tanpa gejala pembesaran
hati, limpa, kelenjar.

Terapi untuk Leukemia Limfositis Kronik jarang


mencapai kesembuhan. Karena tujuan terapi bersifat
konvensional, terutama untuk mengendalikan gejala.
Pengobatan tidak diberikan kepada penderita tanpa gejala
karena tidak memperpanjang hidup. Pada stadium 1 dan 2,
pengamatan atau kemoterapi adalah pengobatan biasa. Pada
Stasiun 3/4 diberikan kemoterapi intensif
d. Kemotrapi pada penderita Leukemia Granulositik
Kronik
1) Fase kronik
Busulfan dan hidroksiurea merupakan obat pilihan
yang mampu menahan pasien bebas dari gejala untuk
jangka waktu yang lama. Regiment dengan bermacam
obat yang intensif merupakan terapi pilihan fase kronis
Leukemia Granulositik Kronik yang tidak diarahkan
pada tindakan transplantasi sumsum tulang.

2) Fase Akselerasi
Sama dengan terapi leukemia akut tetapi respon
sangat rendah.

2. Radioterapi
Radioterapi yang menggunakan sinar berenergi tinggi untuk
membunuh sel-sel leukimia. Sinar berenergi tinggi ini
ditunjukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh tempat
menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi
gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray, dan
sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika
terdapat keluhan karena pembengkakan kelenjar getah bening
setempat.

3. Transplantasi Sumsum tulang


Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti
sumsum tulang yang rusak dengan sumsum tulang yang sehat.
Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi
kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum
tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak
karena kanker. Pada penderita Leukemia Mielositik Kronik,
hasil terbaik dicapai jika menjalani transplantasi dalam waktu 1
tahun setelah terdiagnosis dengan donor Human lymphocytic
antigen yang sesuai. Pada penderita Leukemia Mielositik
Kronik transplantasi bisa dilakukan pada penderita yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita
usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap
pengobatan.

4. Terapi suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat
yang ditimbulkan penyakit leukimia dan mengatasi efek
samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita
leukimia dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk
mengatasi perdarahan, dan antibiotik untuk mengatasi infeksi.

2.3.7 Pencegahan
1. Pencegahan terhadap pemaparan sinar radio aktif
Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan
pasien yang penatalaksanaan medis nya menggunakan radiasi.
Untuk petugas radiologi dapat dilakukan dengan menggunakan
baju khusus anti radiasi, mengurangi paparan terhadap radiasi,
Dan pergantian atau rotasi kerja. Untuk pasien dapat dilakukan
dengan memberikan pelayanan diagnostic radiology serendah
mungkin sesuai kebutuhan klinis.

2. Pengendalian terhadap pemaparan lingkungan kimia


Pencegahan ini dilakukan pada pekerja yang sering terpapar
dengan benzen dan zat aditif serta senyawa lainnya. Dapat
dilakukan dengan memberikan pengetahuan atau informasi
mengenai bahan bahan karsinogen agar pekerja dapat bekerja
dengan hati-hati. Hindari paparan langsung terhadap zat-zat
kimia tersebut.

3. Mengurangi frekuensi merokok


Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok perokok berat
agar dapat berhenti dan mengurangi merokok. Karena satu dari
empat kasus Leukemia Mielositik Akut disebabkan oleh
merokok. Pencegahannya dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan tentang bahaya merokok yang bisa menyebabkan
kanker termasuk leukimia.

4. Pemeriksaan Kesehatan pranikah


Pencegahan ini lebih ditunjukkan pada pasangan yang akan
menikah. Pemeriksaan ini memastikan status kesehatan
masing-masing calon mempelai. Apabila masing-masing
pasangan atau salah satu dari pasangan tersebut mempunyai
riwayat keluarga yang menderita Down Syndrome atau
kelainan gen lainnya. Dianjurkan untuk konsultasi dengan ahli
hematologi. Jadi pasangan tersebut dapat memutuskan untuk
tetap menikah atau tidak.

2.3.8 Leukemia dalam kehamilan dan persalinan


Leukemia selama kehamilan adalah suatu kejadian yang cukup
jarang. Molonev pada tahun 1964 berhasil menemukan 267 kasus
yang membandingkan leukemia akut dan kronik pada kehamilan.
Leukemia akut merupakan kejadian yang amat sangat tidak
diharapkan oleh ibu. Pengaruhnya ke janin bergantung kepada
waktu munculnya. Apakah penyakit tersebut bermanifestasi di
awal atau di akhir kehamilan. Leukemia kronik pada kehamilan
lebih mempunyai prognosis yang baik. Meskipun begitu, pada
leukemia masih terdapat resiko leukostasis yang dapat
mengakibatkan insufisiensi uteroplasenta sehingga akan
meningkatkan kejadian: pertumbuhan janin yang terhambat,
kelahiran premature dan meningkatkan kematian perinatal.
1. Penatalaksanaan Leukemia dalam kehamilan
Sebelum 1970, laju kematian maternal pada leukemia
sebesar 100%. Namun dengan terapi kontemporer remisi
selama kehamilan menjadi umum ditemukan. Kemotrapi
induksi diikuti secara agresif dengan tujuan meraih remisi
sempurna. Setelahnya, terapi postremisi diharuskan untuk
mencegah relaps, yang bila terjadi, biasanya di obati dengan
transplantasi sumsum tulang. Pada beberapa leukemia kronik
kemungkinan terapi dapat ditunda hingga setelah persalinan.
Kombinasi rejimen kemotrapi merupakan hal yang kompleks,
dan toksisitas umum terjadi. Biasanya di pertimbangkan
eksposur terhadap janin. Baru baru ini antibody monoclonal
digunakan untuk mengobati beberapa leukemia. Ault dkk
menggambarkan 19 kehamilan terjadi pada pasangan yang
salah satu atau keduanya dalam terapi imatinib untuk leukemia
myeloid kronik. Efek fetal obat ini saat ini belum diketahui.
Tidak ada bukti bahwa terminasi memperbaiki prognosis.
Abortus dapat dipertimbangkan pada kehamilan awal untuk
mencegah efek teratogenik kemoterapi. Dan karena dapat
menyederhanakan menejemen akut penyakit ini pada wanita,
abortus tetap dipertimbangkan pada usia sebelum janin viable.
Infeksi dan perdarahan adalah komplikasi signifkan yang harus
diantisipasi terjadi pada wanita dengan penyakit akut, terutama
infeksi purpural. Greenlund dkk mengulas adanya harapan
hidup membaik pada wanita dengan leukemia mielogenik
kronik.
Tatalaksana terapi Leukemia Granulositik Kronik selama
kehamilan memiliki beberapa dilema dikarenakan potensi efek
teratogenic terapi. Beberapa tipe terapi yang sudah digunakan
pada pasien Leukemia selama kehamilan meliputi obat obat
sitotoksik, interferon aloha, dan leukafaresis. Hydroxyurea
(HU) merupakan agen sitotoksik yang memiliki potensi
mutagenik terendah dibandingkan obat sitotoksik lainnya. Pada
beberapa tempat dimana luekafaresis dan interferon tidak
tersedia, dan terminasi kehamilan tidak dapat diterima,
mayoritas pasie leukemia ditangani dengan pemberian HU.

a. Interferon
Interferon telah digunakan sebagai terapi Leukemia
dengan kesuksesan yang beragam. Bukti laboratorium
menunjukan bahwa interferon dapat melewati plasenta
dan meningkatkan insiden abortus pada monyet rhesus,
efek samping pada kehamilan dan pertumbuhan janin
belum dilaporkan, tetapi ada laporan bayi yang terlahir
normal dari ibu yang diberikan terapi interferon selama
kehamilan. Namun terapi dengan interferon aloha dapat
menimbulkan fertilitas sebagai akibat penurunan kadar
estradiol dan serum progeteron.

b. Leukafaresis
Leukafaresis telah sukses digunakan pada leukemia
akut dan kronik untuk menurunkan sel darah putih yang
tinggi pada pasien dengan ancaman hambatan
vaskularisasi, terapi leukafaresis yang telah dilakukan
pada pasien hamil dengan leukemia dapat ditoleransi
dengan baik oleh ibu dan janin, dan tidak ditemukan efek
samping yang berarti. Leukafaresis dapat dipertimbangkan
sebagai terapi pada pasien dengan leukemia pada trimester
pertama kehamilan dan dapat dilanjutkan selama
kehamilan berlangsung. Oleh karna efek samping dan efek
teratogenik yang rendah, terapi ini merupakan terapi yang
optimal pada pasien hamil dengan Leukemia yang dapat
mentolerir dan merespon terhadap prosedur ini.

c. Hydroxurea
Terapi Hydroxurea pada pasien hamil dengan Leukemia
meliputi pencegahan terhadap insufusiensi plasenta dan
komplikasi lainnya akibat dari hiperleukositis dengan
mengontrol sel darah putih pada kehamilan, dengan cara
menghindari paparan obat obat yang bersifat sitotoksik
terhadap janin. Busulphan dan hydroxyurea menghambat
sintesis DNA dan dapat menyebabkan aborsi, malformasi
dan reterdasi pertumbuhan janin. Malformasi kongenital
telah ditemukan selama pemberian busulphan selama
kehamilan. Preeklamsi, pertumbuhan janin terhambat, bayi
lahir mati ditemukan selama terapi HU selama kehamilan.
Meskipun tidak dapat diketahui bahwa HU sebagai
penyebab secara pasti.
Pemberian terapi HU pada wanita hamil usia kehamilan
27 minggu tidak memiliki efek samping pada ibu dan
janin. Meskipun begitu, pertumbuhan dan perkembangan
bayi harus tetap dipantau, karena potensi dan resiko
jangka panjang obat ini masih belum diketahui. Hingga
saat ini terapi HU yang diberikan setelah trimester 2
kehamilan terbukti aman dan efektif untuk terapi
Leukemia selama kehamilan, data tambahan tetap masih
dibutuhkan sebelum HU ditetapkan sebagai terapi pilihan
pada pasien yang sedang hamil. HU berguna dan
merupakan alternative yang lebih murah dibandingkan
dengan interferon pada pasien hamil dengan Leukemia
dalam situasi dimana leukopharesis tidak tersedia.

Proses persalinan pada pasien dengan LGK, dari beberapa


laporan kasus. Pasen dapat melahirkan secara pervaginam, dengan
syarat selama kehamilan berlangsung pasien telah diberi terapi baik
dengan interferon alpha. Leukafaresis dan hydroxyvurea, sehingga
angka sel darah putih terkontrol dengan baik. Persalinan
perabdominal dipilih apabila terdapat indikasi obstetik lainnya.

1. Pengaruh pengobatan Leukemia terhadap kehamilan


Terapi ditunjukan untuk mencapai remisi lengkap. Baik
remisi hematologic, remisi sitogenik, maupun remisi
biomolekuler. Begitu mencapai remisi hematologis dilanjutkan
dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang.
Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat obat
yang bersifat mielosupresif, misalnya hydroxyurea.
Hydroxyurea merupakan obat terpilih karena efektif dan
relative singkat menyebabkan mielosupresi (beberapa hari
sampai seminggu). Dosis 30 mg/kgBB/hari diberikan sebagai
dosis tunggal atau dibagi 2 – 3 dosis. Apabila leukosit >
300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai 2,5mg/hari.
Penggunaan dihentikan bila leukosit < 100.000/mm3. Hati hati
bila digunakan bersama 5 – FU karena dapat timbul
neurotoksisitas.
Agen lain yang dapat digunakan untuk mencapai remisi
adalah busulfan. Dosis 4- 8 mg/hari dapat dinaikkan sampai 12
mg/hari hentikan bila leukosit 10 – 20.000 / mm3, dimulai
kembali setelah leukosit > 50.000/mm3. Tidak boleh diberikan
pada wanita hamil. Bila hitung leukosit sangat tinggi, berikan
allopurinol dan hidrasi yang baik. Waspadai resiko fibrosis baru
dan supresi sum sum tulang berkepanjangan.
Terapi Leukemia pada kehamilan dapat dilakukan berupa
kemoterapi dengan menggunakan golongan tirosin dan terapi
interferon alfa. Golongan tirosin kinase inhibitor seperti
imanitib dan dasanitib digunakan sebagai terapi leukemia
granulositik kronik. Penelitian penelitian yang ada belum jelas
menerangkan adanya efek samping bila golongan tirosin kinase
inhibitor ini diguakan pada wanita hamil. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa golongan ini dapat diberikan walaupun
efeknya belum jelas jika diberikan pada kehamilan trimester
pertama dimana masih berlangsung proses organogenesis.
Tetapi bagaimanapun pegobatan terapi keganasan dengan
kemoterapi mengguanakn golongan tirosin kinase inhibitor
merupakan protocol standar yang banyak diberikan. Laporan
menyebutka bahwa terapi dengan menggunakan agen agen
untuk pengobatan leukemia granulositik kronik tidak
menyebabkan terjadinya efek sitotoksik pada kehamilan. Satu
kasus pengobatan mengguanakan dasanitib dan interferon alfa
berhasil melahirkan bayi pada usia 33 minggu dengan seksio
sesaria tanpa adanya kelainan pada bayinya
Untuk mengevaluasi potensial teratogenik pada pengobatan
kanker, termasuk leukemia granulositik kronik, dilihat paa 43
anak yang menerima kemoterapi pada kehamilan karena
keganasan hematologi. 19 dari anak tersebut menerima
kemoterapi pada trimester pertama, ternyata didapatkan bahwa
kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan, status imunologi,
hematologi, dan citogenetik juga dievaluasi. Usia anak anak
tersebut antara 3 – 19 tahun
Pada anak anak tersebut dilakukan anamnesa dan
pemeriksaan fisik dengan hati hati untuk mendeteksi tanda
tanda atau gejala gejala abnormal dan riwayat kemoterapi ibu
dicatat dengan baik. Pada semua anak tersebut, fisik,
neurologis, psikososial dan hematologi serta system imun dan
sitogenik didapatkan normal.
Hasil tersebut menunjukan bahwa kemoterapi bisa
dilakukan selama kehamilan, meskipun pada trimester pertama,
karena tidak berbahaya pada fetus. Meskipun demikian , studi
ini tidak cukup menyingkirkan kemungkinan teratogenesis dan
masih dibutuhkan banyak laporan untuk pengobatan terbaik
terhadap kanker selama kehamilan.

2.4 Talasemia
2.4.1 Definisi
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai
dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya
lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya
penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya
pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu
makan hilang, dan infeksi berulang.Thalasemia terjadi akibat
ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang
dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana
mestinya. Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang
berada di dalam sel darah merah dan berfungsi sangat penting
untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian
tubuh yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi
hemoglobin berkurang atau tidak ada, maka pasokan energi
yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat
terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak
mampu lagi menjalankan aktivitasnya secara normal.Thalasemia
adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat
dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat
rantai asam amino yang membentuk hemoglobin. Thalasemia
adalah penyakit yang sifatnya diturunkan. Penyakit ini,
merupakan penyakit kelainan pembentukan sel darah merah.

2.4.2 Jenis atau tipe


Berdasarkan Jenis Rantai Globin yang Terganggu:
1. Talasemia Alfa
Pada talasemia alfa, terjadi penurunan sintesis dari
rantai alfa globulin dan kelainan ini berkaitan dengan delesi
pada kromosom 16. Akibat dari kurangnya sintesis rantai
alfa, maka akan banyak terdapat rantai beta dan gamma
yang tidak berpasangan dengan rantai alfa. Maka dapat
terbentuk tetramer dari rantai beta yang disebut HbH dan
tetramer dari rantai gamma yang disebut Hb Barts.
Talasemia alfa sendiri memiliki beberapa jenis antara lain :

a. Delesi pada empat rantai alfa


Dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya
terdapat banyak Hb Barts. Gejalanya dapat berupa
ikterus, pembesaran hepar dan limpa dan janin yang
sangat anemis. Biasanya, bayi yang mengalami
kelainan ini akan meninggal beberapa jam setelah
kelahirannya atau dapat juga janin meninggal dalam
kandungan pada minggu ke 36 – 40. Bila dilakukan
pemeriksaan seperti dengan elektroforesis didapatkan
kadar Hb adalah 80 – 90% Hb Barts, tidak ada HbA
maupun HbF.
b. Delesi pada tiga rantai alfa
Dikenal juga sebagai HbH disease biasa disertai
dengan anemia hipokromik mikrositer. Dengan banyak
terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi
dalam eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat
dihancurkan. Jika dilakukan pemeriksaan mikroskopis
dapat dijumpai adanya Heinz Bodies.

c. Delesi pada dua rantai alfa


Dijumpai adanya anemia hipokromik mikrositer
yang ringan. Terjadi penurunan dari HbA2 dan
peningkatan dari HbH.
d. Delesi pada satu rantai alfa
Disebut sebagai silent carrier karena tiga lokus
globin yang ada masih bisa menjalankan fungsi normal.

2. Talasemia Beta
Disebabkan karena penurunan sintesis rantai beta.
Dapat dibagi berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu
talasemia mayor, intermedia dan karier. Pada kasus
talasemia mayor Hb sama sekali tidak diproduksi. Mungkin
saja pada awal kelahirannya, anak – anak talasemia mayor
tampak normal tetapi penderita akan mengalami anemia
berat mulai usia 3 – 18 bulan. Jika tidak diobati, bentuk
tulang wajah berubah dan warna kulit menjadi hitam.
Selama hidupnya penderita akan tergantung pada transfusi
darah. Setelah ditransfusi, penderita talasemia menjadi
segar kembali. Kemudian darah yang sudah ditransfusikan
tadi setelah beberapa waktu akan hancur lagi. Kembali
terulang penderita kekurangan oksigen, timbul gejala lagi,
perlu transfusi lagi, demikian berulang – ulang seumur
hidup. Bisa tiap minggu penderita memerlukan transfusi
darah, bahkan bisa lebih sering. Lebih membahayakan lagi,
darah yang ditransfusi terus – menerus tadi ketika hancur
akan menyisakan masalah besar yaitu zat besi dari darah
yang hancur tadi tidak bisa dikeluarkan tubuh. Akan
menumpuk, kulit menjadi hitam, menumpuk di organ
dalam penderita misalnya di limpa, hati, jantung.
Penumpukan di jantung sangat berbahaya, jantung menjadi
tidak bisa memompa lagi dan kemudian penderita talasemia
meninggal.

a. Talasemia Beta Mayor


Merupakan penyakit yang ditandai dengan
kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya,
penderita kekurangan darah merah yang bisa
menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel – sel
darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun
sangat pendek, sehingga memerlukan transfusi darah
untuk memperpanjang hidupnya. Penderita talasemia
mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3
– 18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia.
Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti jantung
berdetak lebih kencang dan facies cooley. Penderita
talasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian
lebih khusus. Pada umumnya, mereka harus menjalani
transfusi darah dan pengobatan seumur hidupnya.
Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia
mayor hanya dapat bertahan sekitar 1 – 8 bulan.
Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi
– lagi tergantung dari berat ringannya penyakit.
Semakin berat penyakitnya, maka sering pula si
penderita harus menjalani transfusi darah.

b. Talasemia Beta Minor


Individu hanya membawa gen penyakit talasemia,
namun individu hidup normal, tanda – tanda penyakit
talasemia tidak muncul. Walaupun talasemia minor tak
bermasalah, namun bila ia menikah dengan talasemia
minor juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25%
anak mereka menderita talasemia mayor. Pada garis
keturunan pasangan ini akan muncul penyakit talasemia
mayor dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak
menjadi anemia, lemas, loyo dan sering mengalami
pendarahan. Talasemia minor sudah ada sejak lahir dan
akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tetapi
tidak memerlukan transfusi darah di sepanjang
hidupnya.

c. Thalasemia Beta Intermedia


Thalasemia Intermedia merupakan level
pertengahan antara thalasemia mayor dan minor.
Thalasemia intermedia juga mengakibatkan dampak
anemia yang cukup berat dibandingkan dengan
thalasemia minor namun pada penderita thalassemia
Intermedia ketergantungan transfusi darah tidak begitu
besar dibandingkan dengan thalasemia mayor.
2.4.3 Etiologi
Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak
dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri
yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik
(Suriadi, 2001). Thalassemia bukan penyakit menular melainkan
penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit
ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta
yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom
selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang
mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk
hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang
mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta.
Talasemia diakibatkan adanya variasi atau hilangnya gen
ditubuh yang membuat hemoglobin. Hemoglobin adalah protein
sel darah merah (SDM) yang membawa oksigen. Orang dengan
talasemia memiliki hemoglobin yang kurang dan SDM yang
lebih sedikit dari orang normal.yang akan menghasilkan suatu
keadaan anemia ringan sampai berat.
Ada banyak kombinasi genetik yang mungkin
menyebabkan berbagai variasi dari talasemia. Talasemia adalah
penyakit herediter yang diturunkan dari orang tua kepada
anaknya. Penderita dengan keadaan talasemia sedang sampai
berat menerima variasi gen ini dari kedua orang tuannya.
Seseorang yang mewarisi gen talasemia dari salah satu orangtua
dan gen normal dari orangtua yang lain adalah seorang
pembawa (carriers). Seorang pembawa sering tidak punya
keluhan selain dari anemia ringan, tetapi mereka dapat
menurunkan varian gen ini kepada anak-anak mereka.
Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat,
sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal
(dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat
thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen
globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita
thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit
tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing
membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak
hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah
lagi dari ayahnya.
Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat
thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat
beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak
mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia)
dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia.
Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia
dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini.
Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin beta
normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia
adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak
diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap
thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik.Jika kedua orang
tua tidak menderita Thalassaemia trait/pembawasifat
Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka menurunkan
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau
Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-
anak mereka akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang
lainnya tidak, maka satu dibanding dua (50%) kemungkinannya
bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-
anak mereka akan menderita Thalassaemia mayor. Orang
dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah
sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut
kepada anak-anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-
sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia, maka anak-anak mereka
mungkin akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang normal,
atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia mayor.

2.4.4 Predisposisi
Faktor Predisposisi
Penyakit thalasemia disebabkan oleh adanya kelainan atau
perubahan mutasi pada gen globinalpha atau beta sehingga
produksi rantai globin tersebut kurang atau tidak ada.Akibat
produksi Hbberkurang dan eritrosit mudah sekali rusak atau
umumnya lebih pendek dari eritrosit normal.
Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut gen
globin beta. Pada manusia kromosomditemukan berpasangan.
Jika hanya sebelah saja akan mengalami kelainan disebut
thalassemiacarrier (pembawa sifat thalassemia). Jika kelainan
terjadi di kedua kromosom, dinamakan penderitathalassemia
mayor atau heterozigot. Gen ini didapat dari kedua orangtuanya
yang membawa sifatthalassemia (carrier ).

Faktor Presipitasi
Gizi buruk, gizi buruk dapat memperparah keadaan
penderita thalassemia yang seharusnyamembutuhkan nutrisi
yang cukup. Konsumsi makanan yang mengandung banyak zat
besi, zat besi dapat mengakibatkan limfa dan hati membesar
karena penderita diberi transfusi maka penderita jangan diberi
makanan yangmengandung zat besi. Melakukan aktivitas yang
terlalu berat, dapat menyebabkan penderita bertambah lelah.
Personal hygiene yang kurang, kebersihan diutamakan,
karena penderita mudah terkena penyakityang sebabkan oleh
virus, protozoa, atau bakteri.
Taraf ekonomi yang rendah, sebagian penderita thalassemia
berasal dari keluarga ekonomi rendah,tidak ada biaya
merupakan salah satu faktor karena untuk mentransfusi darah
dibutuhkan dana yang tidak sedikit

2.4.5 Patofisiologi
Penyakit thalassemia disebabkan oleh adanya kelainan atau
perubahan atau mutasi pada gen globin alpha atau gen globin
beta sehingga produksi rantai globin tersebut berkurang atau
tidak ada. Didalam sumsum tulang mutasi thalasemia
menghambat pematangan sel darah merah sehingga eritropoiesis
dan mengakibatkan anemia berat. Akibatnya produksi Hb
berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau
umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari).
(Kliegman,2012)
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan
polipeptida rantai alpa dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia
yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta thalasemia yaitu
tidak adanya atau kekurangan rantai beta dalam molekul
hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan ertrosit
membawa oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat
dalam rantai alpa, tetapi rantai beta memproduksi secara terus
menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defictive. Ketidak
seimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan
disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi
hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta
dan kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia
alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi,
yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri
dari hemoglobin tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit
dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin
menstimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi
RBC(Red Blood Cell) diluar menjadi eritropik aktif.
Kompensator produksi RBC secara terus menerus pada suatu
dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,menimbulkan
tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan
edstruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan
mudah pecah atau rapuh. (Suriadi, 2001 )

2.4.6 Gejala klinis


Tampak pucat dan lemah karena kebutuhan jaringan akan
oksigen tidak terpenuhi yang disebabkan hemoglobin pada
thalasemia (HbF) memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen
Facies thalasemia yang disebabkan pembesaran tulang
karena hiperplasia sumsum hebat
Hepatosplenomegali yang disebakan oleh penghancuran sel
darah merah berlebihan, hemopoesis ekstramedular, dan
kelebihan beban besi.
Sebagai sindrom klinik penderita thalassemia mayor
(homozigot) yang telah agak besar menunjukkan gejala-gejala
fisik yang unik berupa hambatan pertumbuhan, anak menjadi
kurus bahkan kurang gizi, perut membuncit akibat
hepatosplenomegali dengan wajah yang khas mongoloid, frontal
bossing, mulut tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik,
maloklusi gigi.

2.4.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosa suatu thalassemia, dapat didasari dari:
1. Anamnesa
a. Riwayat pucat
b. Gangguan pertumbuhan
c. Riwayat keluarga
d. Perut membesar karena pembesaran hepar dan lien
(pada umumnya keluhan ini muncul mulai usia 6 bulan)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pucat
b. Facies Cooley pada anak yang lebih besar
c. Gangguan pertumbuhan
d. Ikterik ringan
e. Hepatosplenomegali tanpa limfadenopati
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pengukuran eritrosit
Dalam mengevaluasi kelainan eritrosit, dibutuhkan
pengukuran eritrosit secara kuantitatif dan evaluasi.
Dalam pengukuran eritrosit, dihitung pula hematokrit
dan konsentrasi hemoglobin. Selain itu, indeks eritrosit
yang sering diperiksa yaitu MCV, MCH, dan MCHC.
b. Serum Iron & Total Iron Binding Capacity
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan anemia terjadi karena
defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan
menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.
c. Tes Fungsi Hepar
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat
sampai 2-4 mg%. bila angka tersebut sudah terlampaui
maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT
dan SGPT akan meningkat dan menandakan adanya
kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan
berakibat juga terjadi kelainan dalam faktor pembekuan
darah.
d. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan
eleltroforesis hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya
ditujukan pada penderita thalassemia saja, namun juga
pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada.
Pemeriksaan ini untuk melihat jenis hemoglobin dan
kadar HbA2. Petunjuk adanya thalassemia α adalah
ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada thalassemia β
kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam
keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
e. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses
eritropoesis yang sangat aktif sekali. Ratio rata-rata
antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan
normal biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.
f. Pemeriksaan rontgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan
eritropoesis. Bila tidak mendapat tranfusi dijumpai
osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian
tranfusi darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak
optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan
dari korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik
pada tulang. Tulang terngkorak memberikan gambaran
yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu
menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada anak
besar.

2.4.8 Akibat atau dampak


Dampak Transfusi Berulang Pada Thalasemia Mayor

Hati merupakan organ intestinal terbesar yang terletak


dalam rongga perut sebelah kanan atas tepatnya di bawah
diafragma dan disamping kirinya terletak organ limpa. Hati
terbagi atas dua bagian besar yaitu lobus kanan dan kiri, juga
satu bagian kecil ditengah yaitu lobus asesorius. Hati tersusun
atas tiga jarinagn yang meliputi saluran empedu, susunan
pembuluh darah dan sel parenkim. Hati juga memiliki dua suplai
darah yang berasal dari saluran cerna dan limfa melalui vena
porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Hati terdiri
atas bermacam-macam sel, 60 % adalah hepatosit dan sisanya
terdiri dari sel-sel epithelial system empedu dan sel-sel
parenkimal yang termasuk di dalamnya endotelium, sel kupffer
dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Sel-sel lain yang
terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik. Sel kupffer
yang merupakan bagian penting sistem retikuloendothellial dan
lebih mudah dilalui sel-sel makro. Sel stellata memiliki aktifitas
yang dapat membantu pengaturan aliran darah. Sel-sel hati
menghasilkan bilirubin dan serum-serum yang digunakan
sebagai pemantau fungsi hati. Hati sebagai pusat metabolisme
tubuh (Fathoni 2008 dan Sudoyo dkk 2006).
Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur
hidup untuk mengatasi anemia. Transfusi diberikan apabila
kadar Hb < 8 gr/dl dan diusahakan kadar Hb diatas 10 gr/dl
namun dianjurkan tidak melebihi 15 gr/dl dengan tujuan agar
suplai oksigen ke jaringan-jaringan cukup juga mengurangi
hemopoesis yang berlebihan dalam sumsum tulang dan
mengurangi absorbsi Fe dari traktus digestivus. Transfusi
diberikan sebaiknya dengan jumlah 10-20 ml/kg BB dan dalam
bentuk PRC (paked read cells) (Priyantiningsih R.D. 2010).
Tindakan transfusi yang dilakukan secara rutin selama
hidup selain untuk mempertahankan hidup juga dapat
membahayakan nyawa penderita karena berisiko terinfeksi
bakteri dan virus yang berasal dari darah donor seperti infeksi
bakteri Yersinia enterocolitica, virus hepatitis C, hepatitis B dan
HIV (Herdata N.H. 2009 dan Kartoyo P.dkk 2003).
Transfusi yang berulang-ulang setiap bulan akan
mengakibatkan penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti
hati, jantung, pankreas, ginjal. Akumulasi zat besi pada jaringan
hati mulai terjadi setelah dua tahun mendapat transfusi.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998, melaporkan didapat
gangguan faal hati yang terjadi pada transfusi ke 20 hingga 30,
dengan jumlah total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750 ml
pada usia penderita 2-9 tahun (Priyantininsih R.D. 2010).
Penimbunan zat besi pada jaringan sangat berbahaya dan apabila
tidak dilakukan penanganan yang serius dapat berakibat
kematian. Mengurangi penimbunan dapat dilakukan dengan
terapi khelasi besi, yang sering digunakan adalah deferoksamin,
deferipron dan deferasirox. Pemberian obat ini pada usia 3 tahun
yang melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral.
Penimbunan zat besi pada jaringan akan menyebabkan
terjadinya hemosiderosis dan hemokromatosis (Herdata
N.H.2008 dan Priyantiningsih R.D.2010).
Penimbunan besi yang kronis, mengakibatkan transferin
plasma menjadi jenuh dengan besi sehingga sejumlah besi tidak
diikat oleh transferin (non-transferin bound iron). Non-transferin
bound iron (NTBI) ini selanjutnya mengalami ambilan (uptake)
yang cepat oleh hati berkisar 70%.Pada keadaan penimbunan
besi, ambilan ini diduga ikut berperan dalam proses kerusakan
hati karena NTBI bersifat toksik akibat zat oksigen reaktif yang
dihasilkannya. Selain itu pada keadaan penimbunan besi,
senyawa radikal bebas seperti superoksid radikal (O2-)
menyebabkan pelepasan besi dari feritin sehingga besi terdapat
dalam bentuk ion fero (Fe2+).7 Dengan terdapatnya zat-zat
reduktan seperti superoksid dan hidrogen peroksida, maka besi
dalam bentuk NTBI (non-transferin bound iron) atau besi yang
dilepaskan dari feritin berperan dalam pembentukan senyawa
hidroksil radikal (OH-) melalui reaksi Fenton, Selanjutnya
senyawa hidroksil radikal ini menyebabkan peroksidasi lipid,
yang mengakibatkan kerusakan membran dan terbentuknya
bermacam-macam produk peroksida yang reaktif dan bersifat
toksik. Disamping itu juga terjadi perubahan struktur membran
yang mengakibatkan gangguan fungsi selular organel.
Fibrosis dan sirosis merupakan manifestasi utama
penimbunan besi yang kronis di hati.Terjadinya fibrosis dan
sirosis diduga akibat peroksidasi lipid hepatoselular yang
menyebabkan kerusakan dan atau kematian sel. Sel-sel hati yang
rusak dan atau yang mati ini kemudian difagositosis oleh sel
Kupffer. Selanjutnya sel Kupffer menjadi teraktivasi dan
melepaskan sitokin-sitokin profibrogenik seperti TGFb1 yang
bersama-sama dengan sitokin profibrogenik lainnya meng-
aktivasi sel Stellate hati sehingga mengakibatkan peningkatan
produksi kolagen.Fibrosis dan sirosis merupakan manifestasi
utama penimbunan besi yang kronis di hati.Terjadinya fibrosis
dan sirosis diduga akibat peroksidasi lipid hepatoselular yang
menyebabkan kerusakan dan atau kematian sel. Sel-sel hati yang
rusak dan atau yang mati ini kemudian difagositosis oleh sel
Kupffer. Selanjutnya sel Kupffer menjadi teraktivasi dan
melepaskan sitokin-sitokin profibrogenik seperti TGFb1 yang
bersama-sama dengan sitokin profibrogenik lainnya meng-
aktivasi sel Stellate hati sehingga mengakibatkan peningkatan
produksi kolagen.Kerusakan oksidasi besi pada protein yang
dibuktikan melalui percobaan invitro, menunjukkan hilangnya
aktivitas enzimatik sehingga fungsi selular terganggu.
Sementara itu, interaksi besi dengan DNAmenyebabkan mutasi.
Kerusakan DNA akibat besi merupakan faktor awal/penentu
untuk terjadinya karsinoma hepatoselular pada penderita yang
mengalami penimbunan besi.
Hemosiderosis
Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang
karena dalam 1 liter darah terkandung 750 mikrogram zat besi.
Zat besi tersebut akan menambah jumlah zat besi dalam tubuh.
Manusia normal zat besi plasma terikat pada trasnferin,
kemampuan transferin mengikat zat besi sangat terbatas
sehingga apabila terjadi kelebihan zat besi maka seluruh
transferin berada dalam keadaan tersaturasi. Besi dalam plasma
berada dalam bentuk tidak terikat atau NTBI (non-transferrin
bound plasma iron) yang dapat menyebabkan pembentukan
radikal bebas hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid
membran in vitro. Kelebihan zat besi terbanyak terakumulasi
dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi di jantung
karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat
gagal jantung yang berperan pada kematian awal penderita.
Penimbunan besi di hati yang berkelebihan berakibat pada
gangguan fungsi hati. (Priyantiningsih R.D.2010).

Hemokromatosis
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat
dari penimbunan zat besi dan saturasi transferin.
Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar feritin serum >
1000 µg/L. Ferritin merupakan suatu protein darah yang
kenaikannya berhubungan dengan jumlah besi yang tersimpan
dalam tubuh. Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada
infeksi-infeksi tertentu seperti hepatitis virus dan peradangan
lain dalam tubuh. Kenaikan ferritin tidak spesifik untuk
mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain untuk
mendiagnosa hemokromatosis adalah TIBC dan transferi
saturation. TIBC adalah suatu pengukuran jumlah total besi
yang dapat dibawa dalam serum oleh transferrin. Transferrin
saturation adalah suatu jumlah yang dihitung dengan membagi
serum besi oleh TIBC, hasil angka yang mencerminkan
besarnya persentase dari transferrin yang sedang dipakai untuk
mengangkut besi. Hasil transferrin saturation pada manusia
sehat antara 20 dan 50 %. Penderita dengan hemokromatosis
keturunan, serum besi dan transferrin saturation hasilnya di atas
normal. Tes yang paling akurat untuk mendiagnosis
hemokromatosis adalah dengan biopsi jaringan hati sehingga
dapat melihat langsung seberapa besar kerusakan hati. Gejala
klinis yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali, pada
stadium lanjut dapat terjadi sirosis yang ditandai dengan
splenomegali, ikterus, asites dan edema. Sirosis dapat
mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko
terkena hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat
besi pada hati.

2.4.9 Pengobatan
Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl.
Komplikasi dari pemberian transfusi darah yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut
hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan
pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk
mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating
agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk
mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam. Transfusi darah
diberikan bila kadar Hb rendah sekali (kurang dari 6 gr%) atau
anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu makan.Atasi anemia
dengan tranfusi PRC (packed red cell). Tranfusi hanya diberikan
bila Hb < 8 g/dL. Sekali diputuskan untuk diberi tranfusi darah,
Hb harus selalu dipertahankan diatas 12 g/dL dan tidak melebihi
15 g/dL. Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah
merah. Terapi ini merupakan terapi utama bagi orang – orang
yang menderita talasemia sedang atau berat. Transfusi darah
dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel darah
merah dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan
keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara rutin
karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus
untuk penderita beta talasemia intermedia, transfusi darah hanya
dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta
talssemia mayor (cooley’s anemia) harus dilakukan secara
teratur (2 atau 4 minggu sekali). Penderita thalassemia akan
mengalami anemia sehingga selalu membutuhkan transfusi
darah seumur hidupnya. Jika tidak, maka akan terjadi
kompensasi tubuh untuk membentuk sel darah merah. Organ
tubuh bekerja lebih keras sehingga terjadilah pembesaran
jantung, pembesaran limpa, pembesaran hati, penipisian tulang-
tulang panjang, yang akirnya dapat mengakibakan gagal
jantung, perut membuncit, dan bentuk tulang wajah berubah dan
sering disertai patah tulang disertai trauma ringan.Akibat
transfusi yang berulang mengakibatkan penumpukan besi pada
organ-organ tubuh. Yang terlihat dari luar kulit menjadi
kehitaman , sementara penumpukan besi di dalam tubuh
umumnya terjadi pada jantung, kelenjar endokrin, sehingga
dapat megakibatkan gagal jantung, pubertas terlambat, tidak
menstruasi, pertumbuhan pendek, bahkan tidak dapat
mempunyai keturunan.Akibat transfusi yang berulang,
kemungkinan tertular penyakit hepatitis B, hepatitis C, dan HIV
cenderung besar. Ini yang terkadang membuat anak thalassemia
menjadi rendah diri. Karena thalassemia merupakan penyakit
genetik, maka jika dua orang pembawa sifat thalassemia
menikah, mereka mempunyai kemungkinan 25% anak normal/
sehat, 50% anak pembawa sifat/ thalassemia minor, dan 25%
anak sakit thalassemia mayor.
1. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada
abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah
yang berasal dari suplemen (transfusi).
2. Pemberian Roborantia, hindari preparat yang mengandung
zat besi.
3. Pemberian Desferioxamin untuk menghambat proses
hemosiderosis yaitu membantu ekskresi Fe. Untuk
mengurangi absorbsi Fe melalui usus dianjurkan minum teh.
4. Transplantasi sumsum tulang (bone marrow) untuk anak
yang sudah berumur diatas 16 tahun. Di Indonesia, hal ini
masih sulit dilaksanakan karena biayanya sangat mahal dan
sarananya belum memadai.Transplantasi sumsum tulang
prinsipnya ialah memberikan stem cells (sel punca) normal
donor yang mempunyai kompatibilitas sama kepada
penderita thalassemia. Transplantasi sumsum tulang lebih
efektif daripada transfusi darah, namun memerlukan sarana
khusus dan biaya yang tinggi. Terdapat hasil
menguntungkan transplantasi stem cells dari anggota
keluarga dengan HLA (Human Leucocyte Antigen) yang
identik pada pasien thalasemia berat. Penundaan
transplantasi terlalu lama atau bila sudah timbul kerusakan
hati dan jantung karena penimbunan besi akan mengurangi
kemungkinan keberhasilan transplantasi. Jadi pada pasien
thalasemia yang mempunyai donor HLA identik untuk
sesegera mungkin menjalani transplantasi. Darah tali pusat
sebagai sumber stem cells, mampu menyusun kembali
sumsum tulang pada pasien thalassemia setelah terapi
persiapan (mielo-ablasi prekondisional). Manfaat utama
darah tali pusat dibandingkan sumber stem cells lainnya
adalah kemampuan menembus sawar HLA, dan terdapat
bukti lebih sedikit terjadi reaksi penolakan. Penggunaan
donor stem cells darah tali pusat berhubungan dengan
ketidaksesuaian 1-3 antigen HLA harus dipertimbangkan
sebelumnya untuk keberhasilan transplantasi. Sumber stem
cells yang lain adalah dari hewan kelinci yang
dikembangbiakkan secara khusus (xenotransplantasi).
Sumber stem cells ini menguntungkan karena tak pernah
ditemukan bukti penularan virus yang berbahaya (retrovirus)
dari kelinci ke manusia dan tak pernah ditolak tubuh yang
memerlukan obat-obat penekan reaksi imun (imunosupresi).
Transplantasi sumsum tulang prinsipnya ialah memberikan
stem cells (sel punca) normal donor yang mempunyai
kompatibilitas sama kepada penderita thalassemia.
Transplantasi sumsum tulang lebih efektif daripada transfusi
darah, namun memerlukan sarana khusus dan biaya yang
tinggi. Terdapat hasil menguntungkan transplantasi stem
cells dari anggota keluarga dengan HLA (Human Leucocyte
Antigen) yang identik pada pasien thalasemia berat.
Penundaan transplantasi terlalu lama atau bila sudah timbul
kerusakan hati dan jantung karena penimbunan besi akan
mengurangi kemungkinan keberhasilan transplantasi. Jadi
pada pasien thalasemia yang mempunyai donor HLA identik
untuk sesegera mungkin menjalani transplantasi. Darah tali
pusat sebagai sumber stem cells, mampu menyusun kembali
sumsum tulang pada pasien thalassemia setelah terapi
persiapan (mielo-ablasi prekondisional). Manfaat utama
darah tali pusat dibandingkan sumber stem cells lainnya
adalah kemampuan menembus sawar HLA, dan terdapat
bukti lebih sedikit terjadi reaksi penolakan. Penggunaan
donor stem cells darah tali pusat berhubungan dengan
ketidaksesuaian 1-3 antigen HLA harus dipertimbangkan
sebelumnya untuk keberhasilan transplantasi. Sumber stem
cells yang lain adalah dari hewan kelinci yang
dikembangbiakkan secara khusus (xenotransplantasi).
Sumber stem cells ini menguntungkan karena tak pernah
ditemukan bukti penularan virus yang berbahaya (retrovirus)
dari kelinci ke manusia dan tak pernah ditolak tubuh yang
memerlukan obat-obat penekan reaksi imun (imunosupresi).
5. Terapi khelasi besi (Iron Chelation)
Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi
yang kaya protein. Apabila melakukan transfusi darah
secara teratur dapat mengakibatkan penumpukan zat besi
dalam darah. Kondisi ini dapat merusak hati, jantung dan
organ – organ lainnya. Untuk mencegah kerusakan ini,
terapi khelasi besi diperlukan untuk membuang kelebihan
zat besi dari tubuh. Pada penderita thalassemia diberikan
pula tambahan vitamin C, E, dan calcium
6. Suplemen Asam Folat
Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu
pembangunan sel – sel darah merah yang sehat. Suplemen
ini harus tetap diminum di samping melakukan transfusi
darah ataupun terapi khelasi besi.

2.4.10 Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya talasemia pada anak, pasangan
yang akan menikah perlu menjalani tes darah, baik untuk
melihat nilai hemoglobinnya maupun melihat profil sel darah
merah dalam tubuhnya. Peluang untuk sembuh dari talasemia
memang masih tergolong kecil karena dipengaruhi kondisi fisik,
ketersediaan donor dan biaya.
Cara memcegahnya antara lain :
1. Penapisan (skrining) pembawa sifat thalassemia
2. Konsultasi genetik (genetic counseling)
3. Diagnosis prenatal.

Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif


dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif
pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai
wilayah, sedangkan secara retrospektif ialah menemukan
pembawa sifat melalui penelusuran keluarga penderita
thalassemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan
informasi dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa
depannya. Suatu program pencegahan yang baik untuk
thalassemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut.
Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan
baik terutama di negara-negara sedang berkembang, karena
pendekatan prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas
dasar itu harus dibedakan antara usaha program pencegahan di
negara berkembang dengan negara maju. Program pencegahan
retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di negara
berkembang daripada program prospektif.
Konsultasi genetik meliputi skrining pasangan yang akan
kawin atau sudah kawin tetapi belum hamil. Pada pasangan
yang berisiko tinggi diberikan informasi dan nasehat tentang
keadaannya dan kemungkinan bila mempunyai anak.
Diagnosis prenatal meliputi pendekatan retrospektif dan
prospektif. Pendekatan retrospektif, berarti melakukan
diagnosis prenatal pada pasangan yang telah mempunyai anak
thalssemia, dan sekarang sementara hamil. Pendekatan
prospektif ditujukan kepada pasangan yang berisiko tinggi yaitu
mereka keduanya pembawa sifat dan sementara baru hamil.
Diagnosis prenatal ini dilakukan pada masa kehamilan 8-10
minggu, dengan mengambil sampel darah dari villi khorialis
(jaringan ari-ari) untuk keperluan analisis DNA.
Dalam rangka pencegahan penyakit thalassemia, ada
beberapa masalah pokok yang harus disampaikan kepada
masyarakat, ialah : (1) bahwa pembawa sifat thalassemia itu
tidak merupakan masalah baginya; (2) bentuk thalassemia
mayor mempunyai dampak mediko-sosial yang besar,
penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian; (3)
kelahiran bayi thalassemia dapat dihindarkan.
Karena penyakit ini menurun, maka kemungkinan
penderitanya akan terus bertambah dari tahun ke tahunnya.
Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan sebelum menikah
sangat penting dilakukan untuk mencegah bertambahnya
penderita thalassemia ini. Sebaiknya semua orang Indonesia
dalam masa usia subur diperiksa kemungkinan membawa sifat
thalassemia.
Pemeriksaaan akan sangat dianjurkan bila terdapat riwayat :
(1) ada saudara sedarah yang menderita thalassemia, (2) kadar
hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl walaupun sudah
minum obat penambah darah seperti zat besi, (3) ukuran sel
darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb
normal.

2.4.11 Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi
pada penderita thalassemia.
1. Komplikasi Jantung
Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi
dapat menyebabkan penurunan kekuatan pompa jantung,
gagal jantung, aritmia atau detak jantung yang tidak
beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan jantung.
Ada beberapa pemeriksaan rutin yang harus
dilakukan penderita thalasemia beta mayor, yaitu
pemeriksaan tiap enam bulan sekali untuk memeriksa
fungsi jantung, dan setahun sekali pemeriksaan menyeluruh
untuk memeriksa konduksi aliran listrik jantung
menggunakan electrocardiogram oleh dokter spesialis
jantung.
Perawatan untuk meningkatkan fungsi jantung dapat
dilakukan dengan terapi khelasi yang lebih menyeluruh dan
mengonsumsi obat penghambat enzim konversi
angiotensin.

2. Komplikasi pada Tulang


Sumsum tulang akan berkembang dan memengaruhi tulang
akibat tubuh kekuerangan sel darah merah yang sehat.
Komplikasi tulang yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
a. Nyeri persendian dan tulang
b. Osteoporosis
c. Kelainan bentuk tulang
d. Risiko patah tulang meningkat jika kepadatan tulang
menjadi rendah.

3. Pembesaran Limpa (Splenomegali)


Pembesaran limpa terjadi karena limpa sulit untuk
mendaur ulang sel darah yang memiliki bentuk tidak
normal dan berakibat kepada meningkatnya jumlah darah
yang ada di dalam limpa, membuat limpa tumbuh lebih
besar.
Transfusi darah yang bertujuan meningkatkan sel
darah yang sehat akan menjadi tidak efektif jika limpa telah
membesar dan menjadi terlalu aktif, serta mulai
menghancurkan sel darah yang sehat. Splenectomy atau
operasi pengangkatan limpa merupakan satu-satunya cara
untuk mengatasi masalah ini.
Vaksinasi untuk mengatasi potensi infeksi yang
serius, seperti flu dan meningitis, disarankan untuk
dilakukan jika anak Anda telah melakukan operasi
pengangkatan limpa, hal ini dikarenakan limpa berperan
dalam melawan infeksi. Segera temui dokter jika anak
Anda memiliki gejala infeksi, seperti nyeri otot dan demam,
karena bisa berakibat fatal.
4. Komplikasi pada Hati
Kerusakan hati akibat terlalu banyak zat besi dapat
menyebabkan terjadinya beberapa hal, seperti fibrosis atau
pembesaran hati, sirosis hati atau penyakit degeneratif
kronis di mana sel-sel hati normal menjadi rusak, lalu
digantikan oleh jaringan parut, serta hepatitis. Oleh karena
itu, penderita thalassemia dianjurkan untuk memeriksa
fungsi hati tiap tiga bulan sekali.
Pencegahan infeksi hati dapat dilakukan dengan
mengonsumsi obat antivirus, sedangkan mencegah
kerusakan hati yang lebih parah dapat dilakukan terapi
khelasi.
5. Komplikasi pada Kelenjar Hormon
Sistem hormon diatur oleh kelenjar pituitari yang
sangat sensitif terhadap zat besi. Para penderita thalassemia
beta mayor, walaupun telah melakukan terapi khelasi, dapat
mengalami gangguan sistem hormon.Perawatan dengan
terapi pergantian hormon mungkin diperlukan untuk
mengatasi pertumbuhan dan masa pubertas yang terhambat
akibat kelenjar pituitari yang rusak. Ada beberapa
komplikasi pada kelenjar hormon yang dapat terjadi usai
pubertas seperti berikut ini:
a. Kelenjar tiroid – hipertiroidisme atau hipotiroidisme
b. Pankreas – diabetes

Pemeriksaan dengan mengukur berat dan tinggi


badan harus dilakukan anak-anak penderita thalassemia tiap
enam bulan sekali untuk mengukur pertumbuhannya.
Sementara itu, pemeriksaan pertumbuhan pada para remaja
yang sudah memasuki masa pubertas dilakukan tiap satu
tahun sekali.

2.4.12 Rujukan
Sedapat mungkin rujuk ibu ke rumah sakit jika sudah
terdapat tanda dan gejala atau memiliki sifat pewaris atau
pembawa talasemia denganmelakukanskriningsecaradiniuntuk
mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat untuk buah hati
memperpanjang kehidupannya.
Saat pasangan berisiko memiliki keturunan dengan
talasemia mayor, dilakukan konseling untuk dilakukannya
diagnosis prenatal untuk mengetahui apakah janin memang
benar terkena. Diagnosis prenatal meliputi:
1. Fetal sampling, denganteknik
a. Chorionic Villus Sampling (CVS)
Teknik ini dapat dilakukan pada usia kehamilan 10-
14 minggu. Korion frondosum dilihat dengan USG
kemudian diambil sedikit dengan forcep biopsy atau
syringe berisi media dengan tekanan negatif yang
dihubungkan dengan jarum spinal secarasteril. Korion
ini berasal dari zigot sehingga dianggap mewakili sel
fetus. Setelah dibersihkan dari darah dan desi dua ibu
kemudian dilakukan tes laboratorium. Hasilnya
kemudian dibandingkan dengan hasil analisa karakter
dan mutasi DNA orangtua. CVS berisiko 0,5-1%
menimbulkan kematian janin.
b. Amniosentesis
Teknik ini dapat dilakukan pada usia kehamilan 16-
20 minggu. Dengan USG dilihat kantong cairan amnion
kemudian diambil dengan syringe yang dihubungkan
dengan jarum spinal dengan steril. Cairan amnion
mengandung amniosit yang merupakan sel deskuamasi
dari kulit, saluran pernafasan, gastrointestinal
dangenitourinariajanin. Ekstraksidananalisa DNA
kemudian dapat dilakukan dari amniosit ini.
Amniosentesisberisiko 0,5%
menimbulkankematianjanin.
c. Fetal blood sampling atau kordosentesis atau
percutaneous umbilical cord sampling (PUBS)
Dapat dilakukan pada usia kehamilan 18-22
minggu. Dengan panduan USG dicari tali pusat
kemudian diambil 1-2 ml darah janin sehingga
memungkinkan untuk dilakukan hemoglobin typing
dananalisa DNA. Prosedur ini lebih menguntungkan
CVS dan amnio sentesis karena hemoglobin typing
hanya memerlukan waktu singkat untuk mendapatkan
hasil tes.
d. Penanganan Talasemia Dalam Kehamilan
Kebutuhan transfusi akan meningkat selama
kehamilan. Pasien yang tidak tergantung dengan
transfusi seperti pada talasemia intermedia atau
Hemoglobin H menjadi perlu transfusi saat hamil hingga
setelah melahirkan. Hemoglobin harus tetap terjaga ≥ 10
g/dl pada talasemia β mayor. Observasi pasien dilakukan
terhadap fungsi jantung dan USG serial untuk
mengetahui kesejahteraan janin. Pemberian kelasi besi di
luar kehamilan biasanya menggunakan desferrioxamin
mesilat (Desferal) yang diberikan perinfus subkutan
selama 12 jam 5-7 hari seminggu. Bila terapi dilanjutkan
saat kehamilan berisiko kelainan tulang pada
janin.Sebaiknya kelasi besi dioptimalkan sebelum
kehamilan kemudian saat kehamilan tidak dilakukan
terapi kelasi besi terutama pada trimester pertama.
2.4.13 Persalinan terhadap Talasemia
Manajemen intrapartum
Waktu dan cara persalinan harus disesuaikan untuk jenis-
jenis thalassemia karena kursus penyakit yang tidak rumit tidak
boleh dianggap sebagai indikasi yang tepat untuk CS.
Jika persalinan per vaginam diputuskan, manajemen aktif
pada tahap ketiga persalinan dianjurkan, karena intervensi ini
seharusnya mengurangi kehilangan darah.
Hipoksia janin biasa terjadi pada persalinan dan dengan
demikian pemantauan janin elektronik secara kontinyu
dianjurkan. Wanita transfusi-dependent yang tidak dikelatakan
memiliki konsentrasi tinggi zat besi tanpa transferrin dalam
serum, bentuk besi akan beracun, yang dapat menyebabkan
disritmia jantung yang dikombinasikan dengan stress kerja. Oleh
karena itu, DFO intravena - 2 g lebihdari 24 jam –
direkomendasikan pada saat persalinan

Manajemen pasca partum


Selama tahap postpartum, ada risiko tinggi tromboemboli
vena untuk wanita dengan talasemia, dan profilaksis heparin
berat molekul rendah harus dilakukan di rumah sakit, diikuti
dengan pengobatan selama 7 hari pasca-kelahiran setelah
persalinan per vaginam atau pengobatan selama 6 minggu.
Kemudian harus dirujuk keahli jantung setelah persalinan,
karena komplikasi jantung pasca persalinan. Kemudian
pemberian asi dapat dilakukan kembali. Chelation postpartum
yang menggunakan DFO aman, Suplemen kalsium dan vitamin
D harus dilanjutkan selama menyusui, namun bifosfonat harus
dilanjutkan setelah berhenti menyusui.

2.5 Malaria
2.5.1 Definisi
Malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh
parasit Plasmodium dan disebarkan melalui gigitan nyamuk.
Infeksi malaria disebabkan oleh adanya parasit plasmodium
didalam darah atau jaringan yang dibuktikan dengan pemeriksaan
mikroskopik yang positif, adanya antigen malaria dengan tes cepat,
ditemukan DNA/RNA parasit pada pemeriksaan PCR. Infeksi
malaria dapat memberikan gejala berupa demam, menggigil,
anemia dan splenomegali.
Penyakit malaria ialah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi parasit plasmodium didalam eritrosit dan biasanya disertai
dengan gejala demam.
Penyakit ini dapat menyerang semua individu tanpa
membedakan umur dan jenis kelamin dan tidak terkecuali wanita
hamil. Wanita hamil termasuk golongan yang rentan untuk terkena
malaria sehubungan dengan penurunan imunitas di masa
kehamilan. Malaria pada kehamilan dapat menimbulkan berbagai
keadaan patologi pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya.

2.5.2 Jenis / Tipe


1. Malaria tertiana
(paling ringan), yg disebabkan Plasmodium vivax gejala
demam dpt terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama
terjadi (dpt terjadi selama dua minggu stlah infeksi).
2. Demam rimba (jungle fever)
Malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika,
disebabkan plasmodium falciparum merupakan penyebab
sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini
sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma,
mengigau dan kematian.
3. Malaria kuartana
Disebabkan Plasmodium malariae, masa inkubasi lebih
lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala
pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah
infeksi terjadi. Gejala kemudian akan terulang lagi tiap tiga
hari.
4. Malaria pernisiosa
Disebabkan oleh Plasmodium falcifarum, gejala dapat
timbul sangat mendadak, mirip Stroke, koma disertai gejala
malaria yang berat.

2.5.3 Etiologi
Penyakit malaria disebabkan oleh bibit penyakit yang hidup di
dalam darah manusia. Bibit penyakit tersebut termasuk binatang
bersel satu, tergolong amuba yang disebut plasmodium.

1. Plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika,


yaitu penyakit malaria dengan tanda-tanda parah, dan
menyebabkan banyak kematian.
2. Plasmodium vivax, yang menyebabkan malaria tersinanya,
yaitu penyakit malaria yang sukar disembuhkan dan sering
kambuh
3. Plasmodium malariae yang menyebabkan penyakit malaria
quartana. Di Indonesia penyakit tersebut tidak banyak
ditemukan lagi.
4. Plasmodium ovale yang menyebabkan penyakit malaria ovale
yang tidak terdapat di Indonesia.

Plasmodium tersebut hidup dalam darah manusia dan merusak


sel sel darah merah. Dalam darah manusia, plasmodium
berkembang biak secara membelah diri dan hidup dalam tubuh
nyamuk Anopheles. Di dalam tubuh nyamuk, plasmodium malaria
juga dapat berkembang biak.

Penularan dan Penyebaran Penyakit Malaria


Penularan malaria dari orang yang sakit kepada orang yang
sehat, sebagian besar melalui gigitan nyamuk. Bibit penyakit
malaria dalam darah manusia dapat terhisap oleh nyamuk,
berkembang biak dalam tubuh nyamuk dan ditularkan lagi kepada
orang yang sehat lewat gigitan nyamuk tersebut.
Penularan cara lain misalnya melalui trasfusi darah (yaitu
pemindahan darah kepada orang yang kekurangan darah). Namun
penularan cara ini sangat kecil kemungkinannya. Nyamuk
penyebar penyakit malaria adalah nyamuk jenis Anopheles atau
nyamuk malaria. Di Indonesia ada lebih kurang 25 jenis di Jawa
ada 3 jenis yang menjadi nyamuk perantara (vector) untama yaitu :
1. Anopheles Sundaicus, nyamuk perantara (vector) malaria
daerah pantai.
2. Anopheles Aconitus, vector malaria daerah persawahan.
3. Anopheles Maculatus, vector malaria daerah perkebunan,
kehutanan dan pegunungan.
Oleh karena itu penyebaran penyakit malaria terutana terjadi di
daerah rawa-rawa sepanjang pantai dan daerah perdesaan yang
terdapat banyak sawah, perkebunan, dan kehutanan.

2.5.4 Predisposisi
1. Faktor lingkungan (endemis)
2. Kontak dengan vektor malaria

2.5.5 Patofisiologi
Manusia akan terjangkit penyakit malaria saat nyamuk
Anopheles yang membawa sporozoit malaria menggigit orang
yang sehat. Sporozoit malaria masuk ke dalam aliran darah
manusia mengikuti sekresi saliva nyamuk yang dibutuhkan untuk
mencegah pembekuan darah saat menghisap darah korbannya.
Sporozoit akan yang mengikuti aliran darah terbawa ke hati dan
menginginfeksi sel-sel hati dalam beberapa jam setelah gigitan.
Pada saat ini belum ada gejala klinis yang kelihatan karena jumlah
kuman yang masih terbatas. Sporozoit akan memasuki sel-sel hati
dan akan mengalami replikasi aseksual, siklus eksoeritrositer
primer, selama 10-14 hari di mana terjadi perkembangan dari
sporozoit menjadi schizon yang menghasilkan banyak merozoit
yang kembali akan menginfeksi sel hati di sekitarnya. Setelah
beberapa siklus replikasi di dalam sel hati, merozoit akan mulai
masuk ke dalam aliran darah dan menginfeksi sel darah merah
(eritrosit). Dalam 10-14 hari, jumlah plasmodium yang
menginfeksi eritrosit sudah cukup banyak untuk menimbulkan
gejala klinis. Periode sejak gigitan nyamuk yang infektif sampai
timbulnya gejala klinis dikenal sebagai masa inkubasi intrinsik.
Merozoit yang menginfeksi eritrosit akan berkembang
menjadi parasit dengan bentuk cincin karena adanya vakuola di
dalam sel parasit yang mendorong inti selnya ke tepi sel. Bentuk
cincin ini dikenal sebagai bentuk tropozoit. Tropozoit muda akan
berkembang menjadi tropozoit tua yang lebih besar sehingga
bentuk cincin kelihatan lebih tebal. Pada Pl. vivax tropozoit tua
biasanya mempunyai bentuk yang lebih irregular menyerupai
amuba dengan pseudopodia, sementara Pl. malariae sering
ditemukan berbentuk memanjang seperti pita di dalam eritrosit,
sementara Pl. palcifarum biasanya terdapat lebih dari satu tropozoit
cincin di dalam satu eritrosit.
Tropozoit kemudian bereplikasi aseksual dengan
pembelahan inti menjadi schizon yang terdiri dari 10-30 inti
bergantung species parasitnya. Setiap inti akan menjadi parasit
baru yang akan keluar dari sel dengan melisiskan sel eritrosit dan
keluar sebagai merozoit yang pada akhirnya akan menginfeksi
kembali eritrosit yang lain. Demam yang timbul pada pasien
malaria mengikuti siklus replikasi di dalam sel eritrosit ini yang
dikenal sebagai siklus eritrositer, dimana demam terjadi pada akhir
siklus saat eritrosit pecah bersamaan dan mengeluarkan merozoit
secara serentak.
Setelah beberapa siklus replikasi seksual di darah, sebagian
tropozoit tidak menjadi schizon tapi berkembang menjadi gamet
jantan dan gamet betina. Gamet ini akan terisap bersama sel-sel
eritrosit lainnya saat nyamuk menghisap darah. Di dalam usus
nyamuk, gamet akan keluar dari sel darah yang lisis dan akan
melakukan fertilisasi membentuk zigot, sehingga bentuk replikasi
seksual parasit justru terjadi di dalam tubuh nyamuk. Zigot akan
berkembang menjadi oosit yang akan menembus dinding usus dan
menempel pada permukaan luar dinding usus dan mengalami
pematangan. Setiap oosit akan menghasilkan ribuan sporozoit baru
yang akan mengikuti endolimf (cairan tubuh) nyamuk untuk
menyebar ke bagian tubuh lainnya termasuk ke dalam kelenjar
ludah nyamuk. Waktu yang dibutuhkan oleh sel-sel gamet yang
terisap dan berkembang menjadi zigot untuk sampai ke dalam
kelenjar ludah nyamuk disebut dengan masa inkubasi ekstrinsik
yang berkisar antara 12-14 hari di dalam tubuh nyamuk. Setelah
sporozoit berada di dalam air liur nyamuk, maka nyamuk
Anopheles akan menjadi infektif seumur hidupnya dan siap
menularkan parasit malaria ke orang sehat lainnya.

2.5.6 Gejala Klinis


1. Gejala umum
a. Dimulai dengan dingin dan sering sakit kepala. Penderita
menggigil atau gemetar selama 15 menit sampai 1 jam
b. Dingin diikuti dengan demam, sering mencapai 40C atau
lebih. Penderita lemah, kulitnya kemerahan dan mengigau.
c. Akhirnya penderita mulai berkeringat dan suhunya
menurun. Setelah serangan itu berakhir penderita merasa
lemah tetapi keadaannya tidak mengkhawatirkan.
2. Tanda dan gejala malaria tanpa komplikasi
a. Demam
b. Menggigil/kedinginan/kaku
c. Sakit kepala
d. Nyeri otot/persendian
e. Pembesaran limpa
f. Pembesaran hati

3. Tanda dan gejala malaria berat:


a. Penurunan kesadaran dalam berbagai derajat, dengan
manifestasi seperti: kebingungan, mengantuk, sampai
penurunan kesadaran yang dalam
b. Pucat di bagian dalam kelopak mata, bagian dalam mulut,
lidah dan telapak tangan
c. Kelemahan umum (tidak bisa duduk/berdiri)
d. Demam sangat tinggi >400C
e. Ikterik

2.5.7 Diagnosis
1. Anamnesis
a. demam, menggigil (dapat disertai mual, muntah diare,nyeri
otot, pegal)
b. Riwayat sakit malaria, tinggal daerah endemik, transfusi
darah, minum obat malaria 1 bulan lalu

2. Pemeriksaan Fisik
a. Demam
Demam secara periodik berhubungan dengan waktu
pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit
yang masuk dalam aliran darah (sporulasi). Dimulai dengan
gejala prodromal yaitu lesu, sakit kepala, tidak nafsu
makan, kadang-kadang disertai dengan mual dan muntah.
Selanjutnya bisa Menggigi ,puncak demam,berkeringat.

b. Splenomegali
Kondisi ini dapat turut memengaruhi fungsi limpa
jika tidak segera diobati. Beberapa fungsi dasar limpa yang
dapat ikut terganggu, yaitu kemampuan menyaring sel
darah sehat dari sel darah yang rusak, dan sebagai
penyimpanan sel darah merah dan platelet. Sel darah merah
dan platelet berperan dalam proses pembekuan darah.
Jumlah sel darah merah yang berlebihan dalam limpa dapat
menyumbat limpa, merusak, atau menghancurkan beberapa
bagian di dalam limpa.
Dengan begitu, splenomegali dapat berujung kepada
kondisi lain yang mengancam kesehatan penderita, seperti
mudah terkena infeksi dan pendarahan.
Splenomegali dapat tidak disertai dengan
kemunculan gejala pada diri penderita. Namun, pada
sebagian penderita, dapat teraba sebuah benjolan pada area
kiri atas perut dan mungkin menimbulkan rasa sakit.
Benjolan ini berisiko melebar ke arah perut, dada, hingga
bahu kiri pasien. Gejala lain yang mungkin dirasakan,
antara lain:
1) Merasa kenyang tanpa sebab atau setelah mengonsumsi
makanan dalam porsi kecil. Hal ini disebabkan oleh
pembesaran limpa yang menekan area perut.
2) Kelelahan.
3) Anemia.
4) Lebih sering mengalami infeksi akibat terganggunya
fungsi organ limpa.
5) Lebih mudah mengalami pendarahan.
6) Rasa sakit bertambah buruk ketika bernapas.

c. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang
menyebabkannya. Jenis anemia pada malaria adalah
hemolitik, normokrom dan normositik. Pada serangan akut
kadar hemoglobin turun secara mendadak.

3. Pemeriksaan Mikroskopik
Baku emas untuk diagnosis malaria adalah konfirmasi
gejala klinis dengan hasil pemeriksaan mikroskopis sediaan
apusan darah tepi untuk melihat jumlah parasit permikroliter
darah dan juga species plasmodiumnya. Selain itu dapat juga
diperiksa antigen parasit malaria menggunakan Rapid
Diagnostic Test (RDT) yang telah dilapisi antibody anti
malaria, atau menggunakan ELISA. Pemeriksaan molecular
adalah pemeriksaan yang lebih sensitif dengan menggunakan
polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA dari
parasit malaria, atau dilanjutkan dengan gene sequencing untuk
melihat species maupun variasi genetik parasit.

4. Penegakan Diagnosa
a. Malaria Ringan
1) Anamnesis
a) Berasal dari daerah endemis
b) Riwayat prjalanan ke daerah endemis 2 mgg
terakhir
c) Pernah mndptkan pengobatan malaria
2) Pemeriksaan fisik
a) Suhu > 37,5 °C.
b) Dapat ditemukan pembesaran limpa.
c) Dapat ditemukan anemi.
d) Gejala klasik malaria khas
b. Malaria Berat
1) Gangguan kesadaran sampai koma (malaria serebral)
2) Anemi berat (Hb < 5 g%, Ht < 15 %)
3) Hipoglikemi (kadar gula darah < 40 mg%)
4) Udem paru / ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome)
5) Kolaps sirkulasi, syok, hipotensi (sistolik < 70 mmHg
pada dewasa dan < 50 mmHg pada anak-anak), algid
malaria dan septikemia.
6) Gagal ginjal akut (ARF/ Acute Renal Failure)
7) Jaundice (bilirubin > 3 mg%)
8) Kejang umum berulang ( > 3 kali/24 jam)
9) Asidosis metabolic
10) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam-
basa.
11) Perdarahan abnormal dan gangguan pembekuan darah.
12) Hemoglobinuri
13) Kelemahan yang sangat (severe prostration)
14) Hiperparasitemi
15) Hiperpireksi (suhu > 40 °C)

2.5.8 Akibat / Dampak


1. Ibu Hamil
a. Parasitemia
b. Spleen rates
c. Morbiditas
1) Anemia
2) Ever ilness
3) Malaria serebral
4) Sepsis puerperal
d. Mortalitas
1) Penyakit berat
2) Perdarahan

2. Janin
a. Abortus
b. Lahir mati
c. Infeksi kongenital
d. Malaria Plasenta.
Plasenta (ari-ari) merupakan organ penghubung
antara ibu dan janinnya. Fungsi plasenta antara lain :
1) memberi makanan kejanin (nutrisi)
2) mengeluarkan sisa metabolisme (ekskresi)
3) memberi O2 dan mengeluarkan CO2
4) membentuk hormon dan
5) mengeluarkan anti bodi kejanin.

Plasenta juga berfungsi sebagai “Barrier”


(penghalang) terhadap bakteri, parasit dan virus. Karena
itu ibu terinfeksi parasit malaria, maka parasit akan
mengikuti peredaran darah sehingga akan ditemukan pada
plasenta bagian maternal.
Bila terjadi kerusakan pada plasenta, barulah parasit
malaria dapat menembus plasenta dan masuk kesirkulasi
darah janin, sehingga terjadi malaria kongenital. Beberapa
penelitii menduga hal ini terjadi karena adanya kerusakan
mekanik, kerusakan patologi oleh parasit, fragilitas dan
permeabilitas plasenta yang meningkat akibat demam
akut dan akibat infeksi kronis.
Kekebalan ibu berperan menghambat transmisi
parasit kejanin. Oleh sebab itu pada ibu-ibu yang tidak
kebal atau dengan kekebalan rendah terjadi transmisi
malaria intra-uretrin ke janin, walaupun mekanisme
transplasental dari parasit ini masih belum diketahui.
Abortus, kematian janin, bayi lahir mati dan
prematuritas dilaporkan terjadi pada malaria berat dan apa
yang menyebabkan terjadinya kelainan tersebut diatas
masih belum diketahui. Malaria maternal dapat
menyebabkan kematian janin, karena terganggunya
tarnsfer makanan secara transplasental, demam yang
tinggi (hiper-pireksia) atau hipoksia karena anemia.
Pada semua daerah, malaria maternal dapat
dihubungkan dengan berkurangnya berat badan lahir,
terutama pada kelahiran anak pertama. Hal ini mungkin
akibat gangguan pertumbuhan intra-uretrin, persalinan
prematur atau keduanya. Selama epidemi telah dilaporkan
kelahiran prematur yang tinggi, mungkin hal ini
berhubungan dengan gejala infeksi akut. Pertumbuhan
lambat intra-uretrin pada malaria maternal berhubungan
dengan malaria plasenta dan hal ini disebabkan oleh
berkurangnya transfer makanan dan oksigen dari ibu ke
janin. Tetapi hal ini biukan suatu mekanisme yang
menghambat pertumbuhan intra uretrin, karena berat
badan lahir rendah (BBLR) dilaporkan pada daerah
dengan pervalensi malaria plasenta rendah. Laporan
terakhir menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara BBLR dengan malaria plasenta. Hal ini berarti
bahwa patofisiologi pertumbuhan lambat intra-uretrin
pada malaria adalah multifactor. Sebagai contoh, anemia
maternal berhubungan dengan BBLR baik di daerah
endemi maupun pada daerah non-endemi.

3. Bayi Baru Lahir


a. Berat lahir rendah
b. Prematuritas
c. IUGR
d. Penyakit malaria
e. Mortalitas

2.5.9 Pengobatan
1. Tatalaksana Umum (Terapi malaria tanpa komplikasi)
a. Malaria falsiparum
1) Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 3×2 tablet
selama 7 hari atau 3x10mg/kgBB selama 7 hari
ditambah dengan Klindamisin 2x300mg atau
2x10mg/kgBB selama 7 hari. Dapat
DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap 6 jam bila
demam.
2) Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP
(dihidroartemisininpiperakuin) 1 x 3 tablet (BB 41-59
kg) / 1×4 tablet (BB ≥60 kg) selama 3 hari ATAU
artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet
selama 3 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet
tiap 6 jam bila demam.

b. Malaria vivaks
1) Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 3 x 2
tablet selama 7 hari atau 3 x 10mg/kgBB selama 7 hari.
Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap 6 jam bila
demam.
2) Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP 1 x 3
tablet (BB 41-59 kg) / 1×4 tablet (BB ≥60 kg) selama 3
hariATAU artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4
tablet selama 3 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1
tablet tiap 6 jam bila demam.

Anjuran untuk malaria tanpa komplikasi


a. Minum obat sesudah makan atau perut tidak dalam
keadaan kosong.
b. Apabila memungkinkan awasi pasien secara langsung
pada waktu minum obat.
c. Anjurkan pasien untuk meneruskan minum tablet zat besi
dan asam folat serta mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat besi.
d. Anjurkan pasien untuk menggunakan kelambu setiap
malam di rumah atau di kebun.
e. Pastikan semua obat yang diberikan dihabiskan, meskipun
ibu hamil sudah merasa mulai membaik.
f. Catat informasi dalam kartu pelayanan antenatal dan
rekam medis.
g. Informasikan kepada pasien untuk kembali ke Puskesmas,
Pustu, atau Polindes segera jika dia merasa tidak lebih
baik setelah menyelesaikan pengobatan.
h. Informasikan kepada pasien dan keluarganya untuk
kembali ke Puskesmas, Pustu, atau Polindes segara bila
ada 1 atau lebih tanda-tanda bahaya selama pengobatan,
yaitu:
1) Tidak dapat makan/minum
2) Tidak sadar
3) Kejang
4) Muntah berulang
5) Sangat lemah (tidak dapat duduk atau berdiri)

2. Tatalaksana Khusus (Tatalaksana malaria berat)


a. Lakukan stabilisasi dan rujuk ibu segera jika menunjukkan
gejala malaria berat.
b. Tentukan usia kehamilan ibu dan periksa tanda-tanda vital
(suhu, tekanan darah, pernapasan, nadi).
c. Segera cari pertolongan tenaga kesehatan lain dan jangan
biarkan ibu sendirian.
d. Lindungi ibu dari cedera, tetapi jangan secara aktif
mengekangnya.
e. Jika ibu tidak sadarkan diri, periksa jalan napasnya dan
posisikan ibu dalam keadaan miring kiri dengan 2 bantal
menyangga bagian punggungnya.
f. Jika ibu kejang, baringkan ibu dalam posisi miring untuk
mengurangi risiko aspirasi apabila ibu muntah dan untuk
memastikan bahwa jalan napas terbuka. Pastikan bahwa
kejang tidak disebabkan oleh eklampsia. Lakukan
pemeriksaan berikut untuk menentukan penyebab kejang.
g. Bila menemukan ibu hamil dengan gejala malaria berat,
maka lakukan pemeriksaan laboratorium malaria (dengan
mikroskop).

h. Bila terbukti hasilnya positif malaria, yang perlu dilakukan


adalah :
1) Rujuk ibu ke rumah sakit/fasilitas kesehatan yang
lebih lengkap.
2) Sebelum merujuk, berikan satu dosis artemeter IM
(untuk ibu hamil trimester II – III) atau kina
hidroklorida IM (untuk ibu hamil trimester I).
3) Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB secara
IM. Jika tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg
artemeter, maka untuk ibu dengan berat badan sekitar
50 kg berikan suntikan IM sejumlah 2 ampul.
4) Kina hidroklorida IM diberikan dengan dosis 10
mg/kgBB.

Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan


dilanjutkan dengan pemberian dosis lengkap artemeter IM.

Pengobatan malaria berat di RS:


1) Untuk kehamilan trimester pertama, berikan:
Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan
dalam 500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan
selama 4 jam pertama. Selanjutnya selama 4 jam
kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl
0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis
rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dekstrose
5 % atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya,
hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
Setelah itu diberikan dosis rumatan seperti di
atas sampai penderita dapat minum kina per oral. Bila
sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti
dengan kina tablet dengan dosis 10 mg/kgBB/kali
diberikan tiap 8 jam. Kina oral diberikan
bersama doksisiklin, tetrasiklin pada orang dewasa
atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina
selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus
yang pertama

2) Untuk kehamilan trimester kedua dan ketiga, berikan:


a) Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4
mg/kgbb IV sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24.
Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB IV setiap 24
jam sampai penderita mampu minum obat.
Pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin (ACT lainnya) +
primakuin, ATAU
b) Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB
IM, dilanjutkan pada hari berikutnya 1,6 mg/kgBB
IM satu kali sehari sampai penderita mampu
minum obat. Bila penderita sudah dapat
minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan
regimen dihydroartemisininpiperakuin ( ACT
lainnya) + primakuin.

2.5.10 Pencegahan
Tindakan pencegahan yang dapat diambil :
Usahakan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dengan cara :
1. Tidur dengan kelambu, rumah anti nyamuk dengan memakai
kawat kasa, pemakai obat nyamuk bakar, penyemprotan ruang
tidur dengan semprotan nyamuk dan lain sebagainya. Atau
kombinasi keduanya (obat dan kelambu adalah cara terbaik
cegah hihitan nyamuk malaria)
2. Usahakan pengobatan pencegahan secara berkala, terutama di
daerah daerah endemis malaria dengan obat dari puskesmas,
dari took-toko obat seperti kina, chloroquine dan sebagainya.
3. Kebersihan lingkungan terhadap sarang nyamuk, seperti
membersihkan ruang tidur, semak-semak sekitar rumah, air
tergenang, kandang – kandang ternak dan sebagainnya.
4. Usaha penyemprotan rumah dengan DDT yang diusahakan
oleh Pemerintah. Usaha ini tidak jarang menimbulkan keluhan
dari penduduk karena mereka harus menutup semua alat-alat
rumah tangga dan menjauhkan makanan agar tidak terkena
DDT. Tetapi hendaknya penduduk membantu menerima
petugas dan merelakan rumahnya untuk disemprot, mengingat
pentingnya pencegahan terhadap penyakit malaria.
5. Untuk pencegahan malaria bagi orang yang berkunjung ke
daerah endemis, obat yang direkomendasikan bagi yang
melakukan kunjungan singkat (<4 bulan) ke daerah endemis:
Doxycyclin, dengan dosis 100 mg/hari diminum 1-2 hari
sebelum berangkat, selama kunjungan, dan 4 minggu setelah
pulang. Untuk kunjungan yang lebih lama disarankan
menggunakan personal proteksi seperti kelambu, repelen
nyamuk, serta pakaian yang melindungi.

2.5.11 Rujukan
Bila menemukan ibu hamil dengan gejala malaria berat,
maka lakukan pemeriksaan laboratorium malaria (dengan
mikroskop).
Bila terbukti hasilnya positif malaria, yang perlu dilakukan adalah :
1. Rujuk ibu ke rumah sakit/fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap.
2. Sebelum merujuk, berikan satu dosis artemeter IM (untuk
ibu hamil trimester II – III) atau kina hidroklorida IM (untuk
ibu hamil trimester I).
3. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB secara IM.
Jika tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter, maka
untuk ibu dengan berat badan sekitar 50 kg berikan suntikan
IM sejumlah 2 ampul.
4. Kina hidroklorida IM diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB.

Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan


dengan pemberian dosis lengkap artemeter IM.

Pengobatan malaria berat di RS:


1. Untuk kehamilan trimester pertama, berikan:
Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam
500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam
pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan
cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina
dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml
dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya,
hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah
itu diberikan dosis rumatan seperti di atas sampai penderita
dapat minum kina per oral. Bila sudah dapat minum obat
pemberian kina IV diganti dengan kina tablet dengan dosis 10
mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam. Kina oral diberikan
bersama doksisiklin, tetrasiklin pada orang dewasa atau
klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina selama 7 hari
dihitung sejak pemberian kina per infus yang pertama
2. Untuk kehamilan trimester kedua dan ketiga, berikan:
a. Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb IV
sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4
mg/kgBB IV setiap 24 jam sampai penderita mampu
minum obat. Pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin (ACT lainnya) + primakuin,
ATAU
b. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB IM,
dilanjutkan pada hari berikutnya 1,6 mg/kgBB IM satu kali
sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita
sudah dapat minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan
regimen dihydroartemisininpiperakuin ( ACT lainnya) +
primakuin.

Anda mungkin juga menyukai