Anda di halaman 1dari 93

RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK

HERAWATY
Jalan Untung Suropati No. 02 RT. 56 Samarinda
Telp. (0541) 272799 / Fax. (0541) 274304

e-mail: rsia_herawaty@yahoo.com

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR


RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK HERAWATY SAMARINDA
Nomor :
TENTANG

KEBIJAKAN HAK PASIEN DAN KELUARGA


RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK HERAWATY SAMARINDA

DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK HERAWATY SAMARINDA

Menimbang : 1. Bahwa seluruh staf bertanggungjawab melindungi dan


mengedepankan hak pasien dan keluarga
2. Bahwa Rumah Sakit Ibu Dan Anak Herawaty Samarinda
menghormati hak pasien dan dalam beberapa situasi hak istimewa
keluarga pasien,
3. Bahwa Hak pasien dan keluarga merupakan elemen dasar dari
semuakontak di rumah sakit, stafnya, serta pasien dan keluarganya.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Kesehatan.


2. Permenkes No. 159 b/1988 tentang Rumah Sakit
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/MenKes/SK/XII/1999
tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit.
4. Surat Edaran Dirjen Pelayanan Medik No. YM.01.04.3.5.2504
tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah
Sakit.
MEMUTUSKAN:

MENETAPKAN : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK


HERAWATY SAMARINDA TENTANG KEBIJAKAN HAK
PASIEN DAN KELUARGA

Kesatu : Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib, peraturan


yang berlaku di Rumah Sakit, tentang hak dan kewajiban pasien

Kedua : Pasien berhak memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, tanpa
diskriminasi; layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;

Ketiga : Pasien berhak Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang


didapatkan;

Keempat : Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

Kelima : Pasien berhak Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya


kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) baik di
dalam maupun luar Rumah Sakit;

Keenam : Pasien berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang


diderita termasuk data-data medisnya;

Ketujuh : Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata
cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatife tindakan, risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

Kedelapan : Pasien berhak memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan


yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang
dideritanya;

Kesembilan : Pasien berhak Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;


Kesepuluh : Pasien berhak Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan
yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

Kesebelas : Pasien berhak Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama


dalam perawatan di Rumah Sakit;

Kedua belas : Pasien berhak Mengajukan usul, saran perbaikan atas perlakuan Rumah
Sakit terhadap dirinya;

Ketiga belas : Pasien berhak Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai
dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

Keempat belas : Pasien berhak Menggugat dan atau menuntut Rumah Sakit apabila
Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

Kelima belas : Pasien berhak Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai
dengan standar pelayanan melalui media cetak dan el,ektronik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keenambelas : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal di tetapkan dengan ketentuan
apabila di kemudian hari terdapat kesalahan akan di perbaharui
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Samarinda
Pada tanggal :
Direktur RSIA Herwaty Samarinda

dr. Giena Tiara Werdhanti


NIP :

Tembusan :

1. Semua unit pelayanan


2. Arsip
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Setiap pasien adalah unik, dengan kebutuhan, kekuatan, nilai-nilai dan kepercayaan
masing-masing. RSIA Herwaty membangun kepercayaan dan komunikasi terbuka
dengan pasien, untuk memahami dan melindungi nilai budaya, psikososial serta nilai
spiritual setiap pasien.
Hasil pelayanan pasien akan bertambah baik bila pasien atau keluarga atau mereka yang
berhak mengambil keputusan, diikutsertakan dalam keputusan pelayanan dan proses yang
sesuai harapan budaya.
Untuk meningkatkan hak pasien di RS, dimulai dengan mendefinisikan hak pasien,
kemudian mendidik pasien dan staf RS tentang hak tersebut.
Pasien diberitahukan hak mereka dan bagaimana harus bersikap. Semua staf tenaga klinik
dan tenaga non klinik dididik untuk mengerti, menyadari akan tanggung jawab agar
memberi pelayanan dengan penuh perhatian dan hormat guna menjaga martabat pasien,
melindungi dan mengutamakan hak pasien secara efektif.
Dengan memahami hak pasien dan keluarganya RSIA Herwaty mengharapkan dapat
mencapai standar RS sebagai berikut :
1. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien
2. Meningkatkan kredibilitas dan akuntabilitas RS
3. Meningkatkan kepercayaan pengguna jasa layanan
4. Melaksanakan kegiatan sesuai kaidah keilmuan dan peraturan yang berlaku
5. Mengikutsertakan pasien dan keluarga dalam proses pelayanan kesehatan yang
akan diterimanya agar terjalin kerja sama yang saling mendukung untuk
mendapatkan layanan kesehatan bermutu tinggi dan aman bagi pasien.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu dibuat pedoman mengenai hak dan
kewajiban pasien sesuai dengan peraturan dan UU yang berlaku.

B. TUJUAN
TUJUAN UMUM
Untuk meningkatkan mutu pelayanan RS dengan mengutamakan hak dan kewajiban
pasien sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

TUJUAN KHUSUS
Agar dapat dipakai sebagai acuan terlaksananya pelayanan sesuai Hak pasien dan
keluarga melalui proses :
1. Mengidentifikasi, melindungi dan meningkatkan hak pasien
2. Memberitahukan pasien tentang haknya pasien
3. Mengidentifikasi, melindungi, menjaga privasi dan kerohanian.
4. Melibatkan keluarga pasien, bila memungkinkan, dalam keputusan tentang
pelayanan pasien
5. Mendapatkan persetujuan tindakan (informed consent)
6. Mendidik staf tentang hak pasien
C. SASARAN
Pedoman hak & kewajiban pasien ini dapat menjadi panduan kepada seluruh petugas
pelayanan kesehatan dan karyawan RSIA Herwaty dalam melaksanakan kegiatan
pemberian hak & kewajiban pasien.

D. DASAR HUKUM
1. UU No 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
2. UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
3. UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
4. UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
5. UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
6. UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
7. UU No 44 Tahun 2009 Tentang RS
8. UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
9. UU No 56 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
10. PP No 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
11. PP No 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
12. Permenkes No 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis
13. Permenkes No 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
14. Permenkes No 129 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal RS
15. Permenkes No 1438 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Kedokteran
16. Permenkes No 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi & Perizinan RS
17. KepMen No 1226 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan
Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di RS
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN & KELUARGA

A. Pengertian
1. Arti Hak ada bermacam-macam diantaranya :
a. Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada
sejak lahir bahkan sebelum lahir.
b. Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya
tergantung pada kita sendiri.
c. Hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan
pribadinya sesuai dengan keadilan , moralitas dan legalitas.
Arti hak yang terakhir yang dipakai pada panduan ini
2. Pasien
Pasien adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di RSIA Herawaty baik dalam
keadaan sehat maupun sakit. Pasien juga merupakan konsumen bagi sebuah RS yang
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan professional. Selain itu
juga pasien berhak mendapatkan perlindungan atas pelayanan yang diterimanya dari
petugas kesehatan. Pasien juga memiliki kewajiban untuk mentaati segala aturan yang
diberlakukan RSIA Herawaty.
3. Keluarga
a. Keluarga pasien merupakan orang terdekat bagi pasien yang selalu mendampingi
pasien selama pasien tersebut mendapatkan pelayanan kesehatan di RSIA
Herawaty. Sehingga keluarga pasien berhak mendapatkan informasi atas pelayanan
yang diberikan RS kepada pasien tersebut. Selain itu keluarga pasien juga harus
mengikuti tata tertib yang diberlakukan oleh RSIA Herawaty sebagai pemberi
pelayanan.
b. Yang dimaksud Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung,
anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
4. Hak Pasien dan Keluarga adalah sesuatu yang harus diperoleh oleh setiap pasien dan
keluarga yang ada di RS maupun tempat pelayanan kesehatan lainnya yang diberikan
oleh tenaga kesehatan.
5. Kewajiban pasien adalah suatu bentuk keharusan yang harus dipenuhi oleh pasien
yang berada di tempat pelayanan kesehatan baik berupa tata tertib, administrasi, serta
prosedur tahapan untuk menerima pelayanan yang telah ditetapkan oleh pihak RS
tempat pelayanan kesehatan lainnya.
6. Dokter
Dokter merupakan seseorang yang memiliki kewenangan dan ijin sebagaimana
mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan khusus, memeriksa dan pengobatan
penyakit dan dilakukan menurut aturan pelayanan kesehatan.
7. Perawat/Bidan
Perawat merupakan seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan
keperawatan baik didalam maupun di luar negeri yang diakui pemerintah Republik
Indonesia,Terregistrasi dan diberi kewenangan untuk melaksanakan praktek
keperawatan sesuai peraturan perundang-undangan.
8. Petugas Kesehatan Lain.
Petugas kesehatan lain adalah semua petugas kesehatan yang tidak termasuk dokter
dan perawat yang mempunyai ijasah pendidikan kesehatan sertaterlibat dalam
memberikan pelayanan selama pasien berobat di RS.
9. Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi yang memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien yang
membutuhkan pengobatan.

B. Hak Pasien dan Keluarga


Hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan pribadinya
sesuai dengan keadilan moralitas dan legalitas. Hak Pasien dan Keluarga adalah sesuatu
yang harus diperoleh oleh setiap pasien dan keluarga yang ada di RS maupun tempat
pelayanan kesehatan lainnya yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
Hak Pasien menurut UU Kesehatan no 44 tahun 2009 pasal 32 meliputi :
1. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
2. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional;
3. Memperoleh pelayanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian
fisik dan materi;
4. Memilih Dokter dan Dokter Gigi serta kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
5. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada Dokter dan Dokter Gigi
lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah
Sakit;
6. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya;
7. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis, alternative tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
8. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh Tenaga
Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
9. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
10. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal tersebut
tidak mengganggu pasien lainnya;
11. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah
Sakit;
12. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
13. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan
yang dianut;
14. mendapatkan perlindungan atas rahasia kedokteran termasuk kerahasiaan rekam medik;
15. Mendapatkan akses terhadap isi rekam medis;
16. Memberikan persetujuan atau menolak untuk menjadi bagian dalam suatu penelitian
kesehatan;
17. Menyampaikan keluhan atau pengaduan atas pelayanan yang diterima;
18. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai standar pelayanan melalui media
cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
19. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.
20. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di RS
21. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien selama rawat inap dan
rawat jalan
22. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur dan tanpa diskriminasi
23. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional RS
24. Memperoleh layanan efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian
fisik dan materi.
25. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan melalui SPO Pengelolaan dan
Penanganan komplain.
26. Pasien boleh memilih dokter sesuai dengan indikasi medis dan dokter yang
terdaftar di RS.
27. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya dari DPJP kepada dokter
yang direkomendasikan dan atau dokter lain dengan spesialisasi yang sama di RS.
28. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya kecuali pihak yang ditunjuk oleh pasien dan atau wali pasien.
29. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis, alternative tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta biaya pengobatan.
30. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan di lakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.
31. Pasien berhak didampingi oleh perwakilan yang ditunjuk oleh pasien (maksimal dua
orang, satu orang dikamar pasien satu orang diruang tunggu).
32. Menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya dengan tidak
mengganggu pasien lainnya.
33. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
RS.
34. Mengajukan usul, saran perbaikan atas perlakuan RS terhadap dirinya.
35. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya.
36. Menggugat dan atau menuntut RS apabila RS diduga memberikan pelayanan yang
tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.
37. Pasien berhak mendapatkan informasi mengenai administrasi biaya RS.

C. Kewajiban pasien dan Keluarga


Kewajiban pasien adalah suatu bentuk keharusan yang harus dipenuhi oleh pasien yang
berada ditempat pelayanan kesehatan baik berupa tata tertib, administrasi, serta prosedur
tahapan untuk menerima pelayanan yang telah ditetapkan oleh pihak RS tempat pelayanan
kesehatan lainnya. Kewajiban itu diantaranya adalah:
1. Menghormati dan mengerti orang lain
a. Mengikuti peraturan-peraturan yang ditetapkan RS sebagai pasien dan pengunjung
b. Memperlakukan staf RS, pasien lainnya, dan pengunjung, dengan sopan dan hormat
c. Menghormati privasi pasien lainnya
d. Bila membuat perjanjian, datang sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Jika tidak
bisa hadir sesuai perjanjian, silakan memberitahukan pihak RS sebelumnya
e. Pasien dan keluarga bertanggung jawab atas keamanan barang-barang berharga dan
barang-barang pribadi selama berada di RS.
f. Menjaga sarana dan prasarana RS sesuai dengan tata tertib RS
g. Menginformasikan ke perawat akan menerima kunjungan religius.
2. Menyelesaikan semua tanggung jawab keuangan selama dirawat
Menyelesaikan semua biaya RS pada saat pasien dinyatakan boleh pulang oleh dokter
sesuai dengan pelayanan dan pengobatan yang disediakan/diberikan selama pasien di RS
3. Memberikan informasi yang diperlukan untuk pengobatan
a. Memberikan informasi yang lengkap dan akurat atas kesehatan diri pasien, termasuk
kondisi terkini, riwayat penyakit, riwayat rawat inap, obat-obatan yang digunakan,
alergi yang diderita dan segala informasi mengenai kesehatan pasien yang patut
untuk diketahui oleh dokter dan pihak RS
b. Memberikan data pribadi secara lengkap dan akurat, seperti nama lengkap, tanggal
lahir, alamat, nomor kontak. Patuh dengan proses identifikasi pasien yang diterapkan
RS demi keamanan dan keselamatan pasien
c. Bertanya bila pasien tidak mengerti diagnosa atau rencana pengobatan yang akan
dijalani. Pasien dan keluarga bertanggung jawab untuk memberitahu pihak RS
apabila tidak mengerti prosedur yang akan dijalankan
d. Memberitahukan perubahan yang terjadi atas kondisi atau dan kesehatan pasien
selama dalam perawatan di RS.
e. Memberitahu pihak RS/dokter bila tidak memerlukan/menolak pengobatan yang
dapat memperpanjang masa kehidupan Anda (do not resuscitate)
f. Mengikuti rekomendasi yang diberikan dokter
g. Berpartisipasi aktif dan patuh terhadap pengobatan, termasuk patuh terhadap
keputusan mengenai rencana pengobatan. Ini termasuk minum obat-obat yang
diberikan dokter, memberitahu dokter/perawat bila mengalami hambatan dengan
rencana pengobatan yang diberikan, timbul masalah/reaksi yang tidak dikehendaki
terhadap obat yang diminum dan pembuatan janji kepada dokter pada kunjungan
berikutnya
h. Bertanggung jawab atas semua konsekuensi yang ada apabila menolak pengobatan
medis, rencana pengobatan, meninggalkan RS atau bertentangan dengan nasehat
medis.
4. Menunjuk wakil/wali/pengampu pasien
Pasien berkewajiban menunjuk seorang pembuat keputusan yang akan mewakili mana
kala pasien dalam situasi tidak mampu berkomunikasi atau secara medis tidak mampu
menentukan sendiri atas :
a. Keputusan pengobatan
b. Untuk berkomunikasi dan atau menyampaikan harapan tentang perawatan kepada
pihak RS dan atau dokter.
Sejak awal perawatan, berkewajiban memberitahu nama wakil pasien tersebut
kepada pihak RS.
D. Peraturan Rumah Sakit
Peraturan Rumah Sakit adalah segala aturan atau tata tertib yang dibuat oleh institusi RS dan
harus dilaksanakan oleh semua pasien maupun keluarga yang berobat di RS. Adapun
peraturan RS meliputi :
1. Pasien, keluarga pasien dan penjenguk wajib mengikuti peraturan dan tata tertib yang
berlaku di RSIA Herawaty.
2. Keluarga/penjenguk pasien dapat bekerja sama dengan segenap staf RS dalam
mengawasi/melayani pasien.
3. Keluarga/penunggu pasien hanya boleh satu orang dan mendapatkan Kartu Ijin Tunggu
(KIT).
4. Disarankan tidak membawa atau menyimpan barang-barang pribadi/berharga, pihak RS
tidak bertanggung jawab terhadap kehilangan barang pribadi/berharga di area RS.
5. Untuk pasien yang akan operasi apabila menggunakan barang berharga, petugas akan
menyerahkan barang berharga kepada keluarga/orang yang ditunjuk oleh pasien.
6. Untuk pasien yang datang dalam keadaan tidak sadar dan tanpa didampingi pengantar,
petugas akan menyerahkan barang tersebut kepada security.
7. Pasien, keluarga atau penjenguk wajib menjaga kebersihan dan ketentraman dengan
ketentuan sbb:
a. Tidak merokok di seluruh area RS.
b. Tidak mengotori ruangan dan RS.
c. Tidak membuat kegaduhan/keributan.
d. Tidak merusak/menghilangkan barang inventaris milik RS.
e. Tidak membuang sampah sembarangan.
f. Keluarga pasien dilarang mencuci alat makan pada wastafel ruangan.
g. Tidak membawa senjata tajam.
8. Petugas RS berhak memberikan teguran/tindakan atas setiap pelanggaran yang
dilakukan.
9. Jam besuk yang berlaku adalah sebagai berikut :
a. Jam kerja :
- Pagi : 11.00 s/d 13.00 WIB.
- Sore : 17.00 s/d 21.00 WIB.
b. Hari Besar:
- Pagi : 10.00 s/d 13.00 WIB.
- Sore : 17.00 s/d 22.00 WIB.
10. Waktu pelayanan
a. Pelayanan Pendaftaran Rawat Inap 24 jam
b. Pelayanan Pendaftaran Poli Rawat Jalan Jam 08.00 s.d 21.00 WIB (khusus pasien
umum)
c. Pelayanan UGD danRawat Inap 24 jam

E. Tata Laksana
1. Tata laksana pemberian hak pasien dan keluarga dengan cara :
a. Mengadakan media seperti spanduk di titik strategis yang memuat hak pasien.
b. Mengadakan diklat atau pelatihan pemberian hak pasien dan keluarga.
c. Sosialisasi SPO pemberian hak pasien dan keluarga
d. Pemberian formulir persetujuan umum (general consent) yang berisi informasi hak
pasien dan keluarga pasien
e. Di setiap nurse station diberi informasi berupa leaflet/tulisan tentang hak pasien
dan keluarga maupun kewajiban pasien dan keluarga
2. Tata Laksana pemberian penjelasan hak pasien dan keluarga :
a. Pasien dan keluarga pasien dijelaskan tentang hak pasien dan keluarga yaitu:
1) Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di RS.
2) Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.
3) Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur dan tanpa diskriminasi.
4) Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional.
5) Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari
kerugian fisik dan materi.
6) Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan.
7) Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan
yang berlaku di RS.
8) Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) di RSIA Herawaty.
9) Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya.
10) Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan.
11) Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.
12) Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
13) Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal
itu tidak mengganggu pasien lainnya.
14) Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di RS.
15) Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan RS terhadap dirinya.
16) Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya.
17) Menggugat dan atau menuntut RS apabila RS diduga memberikan pelayanan
yang tidak sesuai dengan standar baik secaraperdata ataupun pidana.
18) Mengeluhkan pelayanan RS yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui
media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. Setelah dilakukan penjelasan dan memahaminya, pasien/keluarga dipersilakan mengisi
identitas dan tanda tangan di formulir persetujuan umum (General Consent) pada
waktu pasien mau dirawat inap di unit tata rekening .
c. Petugas pemberi informasi wajib tanda tangan di formulir tersebut.
d. Pasien dapat melanjutkan proses pelayanan kesehatannya kembali sesuai dengan
instruksi dokter yang memeriksanya.
3. Tata Laksana Upaya Perlindungan Hak Pasien dan Keluarga di ruang perawatan
a. Petugas mengkonfirmasi kembali pemberian hak-hak pasien dan keluarga selama
dirawat dan menjelaskan semua peraturan dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh
pasien dan keluarga. Bila pasien belum mengerti tentang hak-pasien di reedukasi.
b. Bila pasien dan keluarga tidak puas atas pelayanan yang diterima di RSIA Herawaty
dapat mengajukan komplain tersebut ke penanggung jawab ruangan dan bila tidak
selesai dilanjutkan ke Manager Umum.
c. Pasien dan keluarga berhak untuk menyampaikan saran, pujian, keluhan, konflik, dan
perbedaan pendapat tentang perawatan tanpa khawatir akan pelayanan dan pengobatan
yang akan diterima dan mendapat respon dari RS Keluhan bisa disampaikan secara
tertulis dengan mengisi formulir questioner yang diisi pada saat pasien akan
meninggalkan RS.
d. Memberikan pelayanan kepada pasien secara manusiawi, adil, jujur dan tidak
diskriminatif.
e. Memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dilakukan sesuai dengan Standar
Profesi dan Standar Prosedur Operasional.
f. Memberikan privasi bagi pasien dan menjaga kerahasiaan penyakit pasien selama
pasien dan keluarga berada di RS.
g. Menjelaskan secara lengkap tentang diagnosis, tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis dan perkiraan biaya pengobatan.
h. Mengenal nama dan keahlian dokter yang akan menangani.
i. Mengetahui nama-nama, posisi dan peran dari staf RS yang berpartisipasi dalam
pengobatan.
j. Menjelaskan kepada pasien atau keluarga mengenai barang milik pasien menjadi
tanggung jawab pasien atau keluarga selama menjalani perawatan di RS, untuk pasien
operasi barang berharga yang dimiliki pasien di serahkan ke keluarga untuk disimpan
dan keluarga mengisi formulir serah terima barang ketika pasien akan di operasi.
Setelah dilakukan edukasi/penjelasan kepada pasien dan keluarga dipersilakan mengisi
identitas dan tanda tangan di formulir edukasi pasien dan keluarga.
4. Harga Diri dan Penghormatan
a. Di RSIA Herawaty pasien akan mendapatkan perawatan kesehatan yang sesuai dan
profesional tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku bangsa, agama, kebangsaan,
status sosial , atau memiliki kebutuhan khusus.
b. Pasien akan diperlakukan dengan kasih sayang, harga diri dan hormat.
c. Wali yang sah atau orang yang berwenang menurut hukum akan menyelenggarakan
hak-hak pasien sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Pasien anak-anak berhak atas perawatan medis yang memadai sesuai dengan usia dan
tingkat perkembangan mereka. Apabila informasi medis tidak dapat diberikan pada
pasien yang berusia dibawah umur, informasi akan diberikan pada orang tua atau wali
mereka.
e. Kebutuhan khusus akan dihormati, baik kebutuhan yang memerlukan penerjemah
bahasa maupun bantuan perangkat atau akses, selama masa perawatan pasien.
f. Selama masa perawatan di RS, boleh meminta pelayanan bimbingan atau dukungan
rohani Islam bila pasien membutuhkan, bagi pasien non muslim RS memperkenankan
keluarga membawa rohaniawan sesuai peraturan RSIA Herawaty.
g. Mendapatkan informasi mengenai hak-hak dan tanggung jawab dengan cara dan
bahasa yang dimengerti oleh pasien, untuk pasien warga negara asing RS memberikan
informasi dengan mengunakan bahasa Inggris.
h. Pasien memiliki hak untuk dirawat dengan penuh perhatian, rasa hormat dan kasih
pada akhir kehidupan.
5.Kerahasiaan dan Privasi
a. Informasi medis dan semua aspek perawatan yang dilaksanakan terhadap pasien
disimpan dan dijaga kerahasiaannya. Riwayat medis pasien hanya dapat diakses oleh
pihak yang terlibat dalam perawatan. Riwayat medis ini tidak akan diberikan kepada
siapa pun tanpa izin tertulis dari pasien, kecuali jika disyaratkan oleh hukum atau
pihak ketiga selaku kontrak pembayar.
b. RS dapat memberikan informasi jika diminta oleh pejabat penegak hukum disertai
dengan surat resmi yaitu :
1) Menanggapi perintah pengadilan, panggilan pengadilan, surat perintah, panggilan
atau proses yang serupa.
2) Untuk mengidentifikasi atau menemukan tersangka, buronan, saksi penting, atau
orang hilang.
3) Tentang kematian yang di percaya diduga hasil tindak pidana.
4) Perilaku pidana yang terjadi di RS.
5) RS dapat meminta bantuan kepada pihak yang berwajib apabila terjadi dugaan
tindak pidana/keadaan darurat di RS.
c. RSIA Herawaty dapat menggunakan dan mengungkapkan informasi medis pasien bila
dibutuhkan oleh RS dalam hal validasi data, kelengkapan berkas rekam medis untuk
penilaian kerja, review kompetensi petugas, pelatihan, pembahasan kasus, tinjauan
medis, hukum, audit. Informasi medis digunakan sesuai kebutuhan. Misalnya, RSIA
Herawaty menggunakan informasi medis untuk meninjau pengobatan dan layanan
pasien dan untuk mengevaluasi kinerja staf RS dalam merawat pasien. RSIA Heawaty
juga dapat menggabungkan informasi medis tentang banyak pasien RS untuk
memutuskan apa layanan tambahan setiap bagian penyediaan layanan kesehatan yang
ditawarkan, layanan apa saja yang tidak diperlukan, dan apakah produk layanan
tersebut efektif.
d. Pasien dapat meminta salinan resume medis sesuai dengan kebijakan RS.
e. Berkas Medis pasien disimpan di tempat yang aman dan terlindungi.
6. Menerima Informasi dan Penjelasan tentang Pengobatan
a. Pasien berhak atas informasi mengenai kondisi kesehatan, pengobatan dan
kemungkinan hasil kesehatan yang dibuat dalam bahasa yang di pahami. Hal ini
mencakup informasi tentang kemungkinan risiko, efek samping dan cara pengobatan
alternatif. Informasi yang diberikan akan membantu pasien ikut serta dalam keputusan
yang melibatkan kondisi kesehatan dan kemungkinan pengobatan
b. Pasien berhak mengetahui nama-nama petugas kesehatan yang bertanggung jawab atas
pengobatan dan perawatan pasien.
c. Pasien memiliki hak untuk mendapatkan informasi mengenai pendidikan kesehatan,
perawatan mandiri dan pencegahan penyakit.
d. Pasien berhak mendapatkan pendapat medis kedua (second opinion) atas biaya pasien
sendiri. Pendapat kedua harus diperoleh dengan sepengetahuan dan persetujuan dokter
yang merawat pasien (DPJP). Dokter di RSIA Herawaty
e. Pasien berhak untuk menolak perawatan medis atau pengobatan yang disarankan oleh
RSIA Herawaty. Jika pasien memilih untuk tidak menjalani pengobatan atau
meninggalkan RS yang bertentangan dengan saran dokter, pasien harus menerima
tanggung jawab atas konsekuensi medis apa pun yang ditimbulkan dari keputusan
pasien/keluarga pasien. Pasien/keluarga akan mendapatkan penjelasan mengenai
kemungkinan konsekuensi medis.
7. Informasi Keuangan dan Perkiraan Tagihan
a. Pasien berhak atas informasi keuangan saat pendaftaran rawat inap meliputi tarif
kamar perawatan, biaya visite dokter, biaya tindakan medis.
b. Pasien mendapatkan informasi mengenai uang muka saat akan dilakukan tindakan
medis.
c. Pasien dengan jaminan perusahaan dan asuransi tidak diharuskan memberikan uang
muka selama ada surat jaminan rawat inap dari perusahaan atau asuransi.
d. Pasien diinformasikan mengenai perkiraan tagihan sementara RS setiap 2 (dua) hari
sekali.
BAB III
PELAYANAN ROHANI

A. Pengertian
1. Agama menurut etimologi, terminologis,
a. Agama dan Religi (Etimologi) Agama dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan
peraturan. Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta ‘a’ berarti tidak dan ‘gamma’
berarti kacau, agama berarti tidak kacau.
b. Pengertian Agama secara Terminologis menurut Harun Nasution adalah suatu
system kepercayaan dan tingkahlaku yang berasal dari suatu kekuatan yang
ghaib.Menurut Al Syahrastani, agama adalah kekuatan dan kepatuhan yang
terkadang biasa diartikan sebagai pembalasan dan perhitungan (amal perbuatan
akhirat). (M. Ali Yatim Abdullah, 2004:5)
c. Menurut Prof. Dr. Bouqet mendefinisikan agama adalah hubungan yang tetap
antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan supernatur,
dan yang bersifat berada dengan sendirianya dan yang mempunyaikekuasaan
absolute yang disebutTuhan.(Abu Ahmadi, 1984:14).Agama menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepadaTuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkunganya.
d. Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta, agama yang berarti “tradisi”.
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsepini adalah religi yang berasal dari
bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat
kembali” Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepadaTuhan.
e. Emile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu system yang terpadu yang
terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita
sebagai ummat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan
keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna
kesuciannya.

2. Pengertian agama menurut berbagai agama:


a. Agama menurut agama Islam adalah kata Islam berasal dari kata salam yang
artinya selamat, aman sentosa, sejahtera yaitu aturan hidup yang dapat
menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
b. Agama menurut agama Kristen ialah segala bentuk hubungan manusia dengan
yang suci. Terhadap yang suci ini manusia tergantung, takut karena sifatnya yang
dahsyat dan manusia tertarik karena sifat-sifatnya yang mempesona.
c. Agama menurut agama Hindu adalah satya, arta, diksa, brahma dan yajna.
Satya berarti kebenaran yang absolute, Arta adalah dharma atau perundang-
undangan yang mengatur hidup manusia. Diksa adalah penyucian, Tapa adalah
semua perbuatan suci. Brahma adalah doa atau kebenaran abadi yang mencakup
seluruh jalan kehidupan manusia. Jadi, agama menurut agama Hindu adalah
kepercayaan hidup pada ajaran-ajaran suci dan diwahyukan oleh Sang Hyang Widi
yang kekal abadi.
d. Agama menurut agama Budha adalah suatu kepercayaan atau persujudan manusia
akan adanya daya pengendalian yang istimewa dan terutama dari suatu manusia
yang harus ditaati dan pengaruh pemujaan di atas perilaku manusia.
e. Pengertian lain dari agama lain adalah suatu badan dari ajaran kesusilaan dan
filsatat juga pengakuan berdasarkan keyakinan terhadap pelajaran yang diakui baik
yang ajaran Budha yang sangat mulia. Dalam pengertian yang lain bahwa agama
adalah cara tertentu untuk pemujaan kepada para dewa, Dewa Agung yaitu adanya
kekuatan Zat tak terlihat yang mengusai alam semesta.

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penggunaan panduan pelayanan kerohanian RSIA Herawaty hanya pada
pasien di ruang rawat inap, dan atas permintaan pasien/keluarga. Rohaniawan yang dapat
disediakan oleh RSIA Andhika hanya agama Islam. Pelaksanaan pelayanan kerohanian
pasien dikoordinir oleh penanggung jawab kerohanian yang ditunjuk oleh RS. Apabila
pasien atau keluarga pasien menghendaki pelayanan kerohanian dilakukan oleh
rohaniawan yang ditunjuk mewakili keluarga, maka RS menyediakan perangkat
kerohanian yang diperlukan pada saat perawatan pasien.

C. Tata laksana
1. Pasien atau keluarga pasien meminta pelayanan kerohanian melalui perawat/bidan di
ruang rawat inap RSIA Herawaty.
2. Pasien atau keluarga pasien mengisi formulir permintaan pelayanan kerohanian dan
Perawat/bidan menerangkan poin – poin dalam formulir tersebut.
3. Formulir Permintaan Pelayanan Kerohanian harus di tanda tangani oleh
pasien/keluarga dan perawat ruangan.
4. Perawat/bidan menghubungi penanggung jawab via telpon dengan
- (08)
- (08)
5. Perawat/bidan meyiapkan perangkat pelayanan kerohanian yang dibutuhkan
6. Penanggung jawab menghubungi rohaniawan
7. Penanggung jawab mengantarkan rohaniawan ke ruang perawatan
8. Pelayanan kerohanian dilaksanakan
D. Alur Pelayanan Kerohanian

Pasien/keluarga

Pasien/kel. Meminta pelayanan kerohanian kepada


perawat/bidan ruangan

Pasien /kel. Mengisi formulir permintaan pelayanan


kerohanian yang disediakan RSIA Herawaty

Perawat ruangan menghubungi penanggung jawab untuk


permintaan pelayanan kerohanian

Penanggung Jawab menghubungi rohaniawan sesuai


agama pasien (Islam)

Perawat ruangan menyediakan perangkat


kerohanian yang diperlukan

Rohaniawan mendatangi pasien dan melaksanakan


pelayanan kerohanian

Pasien/kel. Menandatangani persetujuan


telah dilakukan pelayanan kerohanian
BAB IV
PANDUAN PERLINDUNGAN PASIEN DARI KEKERASAN FISIK

A. Pengertian
1. Perlindungan Pasien
Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi hak-hak pasien selama dalam perawatan
di RS dari segala bentuk ancaman dan tindakan yang akan mengancam fisik, mental dan
emosional.
2. Kekerasan fisik adalah
Semua bentuk tindakan atau perlakuan yang dapat menyakitkan secara fisik yang
mengakibatkan cedera ringan sampai pada dampak yang mengakibatkan kematian.
3. Keamanan adalah.
Kondisi atau keadaan dimana seseorang merasa nyaman , tentram.

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pedoman Perlindungan Pasien dari Kekerasan Fisik ini meliputi Kriteria yang
dapat digolongkan sebagai tindakan kekerasan, upaya-upaya yang dilakukan RSIA Herawaty
dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan fisik serta prosedur pelaporan bila dijumpai
tindak kekerasan fisik pada pasien, di UGD, rawat jalan maupun rawat inap.

C. Tata Laksana
1. Daftar kelompok beresiko (yang mendapatkan perlindungan) dari tindak kekerasan,
a. Pasien bayi/anak-anak
b. Pasien wanita
c. Pasien lanjut usia
d. Pasien gangguan jiwa
e. Pasien Koma (kesadaran menurun), operasi (UGD yang tidak ada keluarganya)
f. Pasien dengan gangguan komunikasi.
2. Kriteria kekerasan fisik di lingkungan RS terdiri atas:
a. Pelecehan seksual
b. Pemukulan
c. Penelantaran
d. Pemaksaan fisik terhadap pasien baik yang dilakukan oleh penunggu/pengunjung
pasien maupun petugas.
e. Penculikan bayi dan anak
Kecuali terdapat indikasi, petugas kesehatan dapat melakukan pemaksaan fisik (seperti
pengekangan) sesuai standar medis dan etika RS yang berlaku.
3. Upaya-upaya perlindungan kekerasan fisik
Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di RSIA Herawaty yang berorientasi pada
perlindungan pasien dari kekerasan fisik, perlu adanya upaya-upaya sebagai berikut :
a. Di Rekam medis bagian Pendaftaran rawat jalan
1) Menentukan sistem antrian yang mudah diakses oleh pasien.
2) Mencatat seluruh identitas pasien secara lengkap
b. Di Ruang Periksa
1) Tenaga kesehatan yang bertugas di ruang periksa memperkenalkan diri dan
mengecek kembali indentitas pasien
2) Pasien didampingi oleh keluarga
3) Menandatangani informed consent
4) Pemeriksaan tindakan sesuai SPO
5) Catat di rekam medis hasil pemeriksaan yang dilakukan
c. Di Ruang Perawatan
1) Tenaga kesehatan yang bertugas di ruang rawat inap memperkenalkan diri dan
mengecek indentitas pasien kembali
2) Pasien di ruang rawat inap didampingi oleh 2 (dua) orang pendamping pasien.
3) Pemasangan gelang pasien sesuai identifikasi yang telah di tetapkan RSIA
Herawaty
4) Segala bentuk tindakan dilaksanakan sesuai SPO
5) Catat semua kegiatan/asuhan yang diberikan kepada pasien selama di ruang
rawat inap sesuai ketentuan.
d. Keamanan
Untuk melindungi pasien dari tindakan kekerasan fisik baik dari petugas RS
maupun pasien lain serta pengunjung maka beberapa hal yang perlu dilaksanakan
adalah :
1) Petugas
a) Setiap petugas menggunakan seragam dan tanda pengenal sesuai dengan
peraturan RSIA Herawaty.
b) Petugas harus memperkenalkan diri kepada pasien dengan menyebutkan
nama, menunjukkan tanda pengenal yang dilengkapi dengan tanda jabatan
di RSIA Herawaty.
c) Setiap petugas RS harus sudah mengetahui dan terlatih untuk menangani
bila terjadi tindak kekerasan terhadap pasien.
d) Security mempunyai daftar nama pasien rawat inap.
e) Optimalkan petugas kemanan security di RS.
2) Tindakan Medis
a) Setiap tindakan medis yang beresiko harus dilaksanakan sesuai prosedur
tetap dengan persetujuan keluarga dan menggunakan lembar Informed
Consent
b) Pelayanan medis diberikan kepada semua pasien tanpa membeda-
bedakan(diskriminasi) sesuai indikasi medis pasien.
c) Catat seluruh tindakan medis yang akan dilaksanakan dan sesudah
dilaksanakan dalam rekam medis pasien. (sesuai ketentuan)
d) Untuk pasien khusus (anak, psikiatri) atau yang berkebutuhan khusus
tindakan medis yang dilakukan bukan dikategorikan sebagai tindakan
kekerasan pada pasien, melainkan upaya untuk mempermudah dalam
proses tindakan medis.
3) Ruang Perawatan
a) Ruang rawat inap harus terpisah dengan ruang rawat jalan.
b) Setiap petugas di ruang rawat inap harus bertanggung jawab menjaga
keamanan dan kenyamanan pasien.
c) Ruang perawatan bayi baru lahir dan ruang perawatan anak
pengamanannya lebih diperketat dengan cara :
(1) Pintu masuk pasien dan petugas terpisah dan setiap saat dalam
keadaan terkunci kecuali saat jam besuk pintu masuk pasien
diperbolehkan dibuka.
(2) Setiap pengunjung bayi, waktu kunjungan disamakan dengan waktu
kunjungan pasien umum.
(3) Terdapat pantauan monitor CCTV, untuk dipantau oleh petugas yang
ditunjuk
(4) Setiap bayi/anak yang keluar perawatan harus memenuhi prosedur
(SPO) yang telah ditetapkan.
(5) Untuk pencegahan terjadinya kehilangan pasien bayi atau anak, maka
RSIA Herawaty memberlakukan pengawasan yang ketat terhadap
pengunjung diantaranya dengan:
(a) Terdapat pantauan CCTV diruang bayi.
(b) Hanya dapat melihat pasien.
(c) Hanya orang tua pasien bayi yang dapat masuk ke ruang bayi
untuk membesuk.
(d) Adanya ruang bayi dilengkapi dengan pintu yang berlapis dan
selalu terkunci.
(6) Jika diketahui atau dicurigai adanya pasien bayi atau anak yang
hilang segera laporkan ke unit terkait
e. Pengunjung
1) Pengunjung hanya dapat berkunjung pada jam besuk pasien.
2) Pengunjung harus menyebutkan identitas pasien yang akan di besuk
(Nama dan alamat Pasien).
3) Jumlah pengunjung maksimal 2 (dua) orang bergantian
4) Waktu besuk harus sesuai jadwal jam besuk yang ditetapkan RSIA
Herawaty.
5) Apabila diluar jam besuk maka pengunjung harus mengisi identitas pada
daftar pengunjung diluar jam besuk dengan mencocokan foto padakartu
identitas dengan yang bersangkutan.

4. Alur Pelaporan Insiden Kekerasan


INSIDEN /KEJADIAN

KA UNIT Perawat jaga

(di luar jam kerja)

SECURITY

Datangi TKP INVESTIGASI


OLAH TKP

TUTUP TKP

Manajer Umum

Kepolisian
(jika perlu)
BAB V
PANDUAN PERLINDUNGAN KERAHASIAAN INFORMASI PASIEN

A. Pengertian
Pelayanan terhadap informasi pasien yang bersifat rahasia adalah suatu upaya dari RSIA
Herawaty untuk melindungi data pasien yang bersifat rahasia dari pihak lain terhadap
penyalahgunaan data atau penyalahgunaan informasi pasien dari orang yang tidak berhak
atasnya.

B. Ruang Lingkup
Secara umum persetujuan membuka informasi yang dilakukan di RSIA Herawaty
dilakukan di Unit Gawat Darurat, Unit Rawat Jalan, Unit Rawat Inap, bagian Rekam
Medis dengan maksud dan tujuan adalah sebagai berikut :
1. Maksud
Agar dapat dipakai sebagai pedoman atau prosedur tetap yang harus ditaati bagi
petugas pelayanan kesehatan dan unit terkait
2. Tujuan
a. Memberikan informasi secara benar terhadap pengunjung dan pasien
b. Agar terlaksana pelayanan kesehatan yang memuaskan
c. Terjalin komunikasi yang baik antara RS dengan pengunjung dan Pasien.

C. Tata Laksana
1. Menjaga kebersihan ruangan sebelum dan sesudah bekerja setiap harinya.
2. Mempersiapkan perangkat kerja (leaflet RS, daftar tarif, daftar ruangan, daftar praktek
dokter, daftar perusahaan kerjasama).
3. Pelaksanaan kegiatan :
a. Tata Rekening
Sebagai pelaksanaan kerja petugas informasi
1) Memberikan informasi kepada pengunjung/pasien tentang pelayanan
kesehatan dan fasilitas yang dimiliki RS meliputi (tarif, daftar dokter, fasilitas
ruangan, alur pasien berobat dll)
2) Menjalin dan meningkatkan serta memelihara hubungan dengan pelanggan RS
baik yang sudah ada maupun yang akan bekerjasama.
3) Menjaga keamanan ruangan

b. Pendaftarn Rawat Jalan


Memberikan informasi kepada pengunjung dan pasien tentang :
1) Arah poli yang dituju
2) Prosedur berobat bagi pasien.
3) Memberikan informasi kepada keluarga pasien/pembesuk tentang posisi
pasien rawat inap yang diinginkan.
4) Melayani komplain pasien baik secara langsung maupun mengisi questioner
5) Memberikan stempel Surat Istirahat Dokter
6) Melayani permintaan Asuransi dan Surat Keterangan
BAB VI
PANDUAN KOMUNIKASI EFEKTIF

A. Pengertian
Komunikasi adalah aktifitas atau proses untuk mengekspresikan ide dan perasaan atau
pemberian informasi (Oxford - Advanced Learner’s Dictionary).
Komunikasi yang efektif
Adalah Suatu komunikasi yang singkat, jelas, lengkap, akurat, tepat waktu dan mudah
dipahami oleh penerima, sehingga akan mengurangi kesalahan dan dapat menghasilkan
peningkatan keselamatan pasien.
Komunikasi itu dapat secara elektronik, lisan atau tertulis. Komunikasi yang paling mudah
mengalami kesalahan adalah perintah yang diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui
telepon, bila diperbolehkan dengan peraturan perundangan. Komunikasi lain yang mudah
terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium
klinis melalui unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera/cito.
Komunikasi yang efektif ini terutama ditujukan untuk para pemberi layanan (tenaga medis,
tenaga penunjang medis dan tenaga non medis yang terkait)di RSIA Herawaty.

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pelaksanaan komunikasi yang efektif antar para pemberi layanan, yaitu antara
dokter dengan pasien, dokter dengan dokter, dokter dengan perawat, perawat dengan pasien
dan pasien dengan tenaga pemberi kesehatan lainnya RSIA Andhika.

C. Tata Laksana Komunikasi Efektif dan Terapeutik


Telah disebutkan sebelumnya bahwa komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang
terstruktur dan memiliki tahapan-tahapan. Stuart G.W, 1998 menjelaskan bahwa dalam
prosesnya komunikasi terapeutik terbagi menjadi empat tahapan yaitu tahap persiapan atau
tahap pra-interaksi, tahap perkenalan atau orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi.
1. Tahap Persiapan/Pra-interaksi
Dalam tahapan ini perawat menggali perasaan dan menilik dirinya dengan cara
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini juga perawat mencari
informasi tentang klien sebagai lawan bicaranya. Setelah hal ini dilakukan perawat
merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien. Tahapan ini dilakukan oleh
perawat dengan tujuan mengurangi rasa cemas atau kecemasan yang mungkin dirasakan
oleh perawat sebelum melakukan komunikasi terapeutik dengan klien.
Kecemasan yang dialami seseorang dapat sangat mempengaruhi interaksinya dengan
orang lain (Ellis, Gates dan Kenworthy, 2000 dalam Suryani, 2005). Hal ini disebabkan
oleh adanya kesalahan dalam menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh lawan
bicara. Pada saat perawat merasa cemas, dia tidak akan mampu mendengarkan apa yang
dikatakan oleh klien dengan baik (Brammer, 1993 dalam Suryani, 2005) sehingga tidak
mampu melakukan active listening (mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian).
Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:
a. Mengeksplorasi perasaan, mendefinisikan harapan dan mengidentifikasi kecemasan.
b.Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri.
c. Mengumpulkan data tentang klien.
d.Merencanakan pertemuan pertama dengan klien.
2. Tahap Perkenalan/Orientasi
Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali pertemuan dengan klien dilakukan. Tujuan
dalam tahap ini adalah memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat
sesuai dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang telah lalu
(Stuart.G.W, 1998).
Tugas perawat dalam tahapan ini adalah :
a. Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan dan komunikasi terbuka.
b. Merumuskan kontrak (waktu, tempat pertemuan, dan topik pembicaraan) bersama-
sama dengan klien dan menjelaskan atau mengklarifikasi kembali kontrak yang telah
disepakati bersama.
c. Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien yang umumnya
dilakukan dengan menggunakan teknik komunikasi pertanyaan terbuka.
d. Merumuskan tujuan interaksi dengan klien.
Sangat penting bagi perawat untuk melaksanakan tahapan ini dengan baik karena
tahapan ini merupakan dasar bagi hubungan terapeutik antara perawat dan klien.
3. Tahap Kerja
Tahap kerja merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik
(Stuart,G.W,1998). Tahap kerja merupakan tahap yang terpanjang dalam komunikasi
terapeutik karena didalamnya perawat dituntut untuk membantu dan mendukung klien
untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya dan kemudian menganalisa respons
ataupun pesan komunikasi verbal dan non verbal yang disampaikan oleh klien. Dalam
tahap ini pula perawat mendengarkan secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga
mampu membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien,
mencari penyelesaian masalah dan mengevaluasinya.
Dibagian akhir tahap ini, perawat diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya
dengan klien. Teknik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan
menegaskan hal-hal penting dalam percakapan, dan membantu perawat dan klien
memiliki pikiran dan ide yang sama (Murray,B. & Judith,P,1997 dalam Suryani,2005).
Dengan dilakukannya penarikan kesimpulan oleh perawat maka klien dapat merasakan
bahwa keseluruhan pesan atau perasaan yang telah disampaikannya diterima dengan
baik dan benar-benar dipahami oleh perawat.
4. Tahap Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien. Tahap terminasi dibagi
dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir (Stuart,G.W,1998). Terminasi
sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan
perawat dan klien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan
kontrak waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir dilakukan oleh
perawat setelah menyelesaikan seluruh proses keperawatan.
Tugas perawat dalam tahap ini adalah:
a. Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan (evaluasi
objektif). Brammer dan McDonald (1996) menyatakan bahwa meminta klien untuk
menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan merupakan sesuatu yang sangat
berguna pada tahap ini.
b. Melakukan evaluasi subjektif dengan cara menanyakan perasaan klien setelah
berinteraksi dengan perawat/bidan.
c. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut
yang disepakati harus relevan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau dengan
interaksi yang akan dilakukan selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap
orientasi pada pertemuan berikutnya.
5. Teknik-teknik komunikasi terapeutik
a. Setiap klien tidak sama perlakuannya, oleh karena itu di perlukan penerapan teknik
berkomunikasi yang berbeda pula.
b. Mendengar aktif dengan penuh perhatian. Adapun beberapa keterampilan
mendengarkan penuh perhatian, yaitu:
1) Pandang klien dan keluarga ketika sedang berbicara.
2) Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan.
3) Sikap tubuh yang menunjukkan perhatian.
4) Tidak menyilangkan kaki dan tangan.
5) Menghindari gerakan yang tidak perlu.
6) Menganggukkan kepala apabila klien membicarakan hal yang penting atau
memerlukan umpan balik.
7) Condongkan tubuh ke arah lawan bicara.
Dua macam teknik mendengar adalah sebagai berikut:
a) Mendengar pasif.
Kegiatan mendengar dengan pesan non verbal untuk klien misalnya dengan
kontak mata, menganggukkan kepala, dan juga keikut sertaan secara verbal.
Mendengar pasif akan dapat memberdayakan diri kita saat kita mendengar
dengan pasif karena kita kurang memahami perasaan orang lain
b) Mendengar aktif.
Kegiatan mendengar yang menyediakan pengetahuan bahwa kita tahu perasaan
orang lain dan mengerti mengapa dia merasakan hal tersebut.
Keuntungan yang di peroleh jika mampu mengembangkan keterampilan
mendengar aktif adalah sebagai berikut:
(1) Pasien dan keluarga merasa di dengar dan di pahami maksudnya.
(2) Pasien dan keluarga merasa dirinya berharga dan penting
(3) Pasien dan keluarga merasa nyaman dengan keadaan tersebut
(4) Pasien dan keluarga mampu berkomunikasi
6. Menunjukkan penerimaan
Menerima di sini diartikan bahwa kita bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa
menunjukkan keraguan atau tidak setuju.
Berikut ini adalah sikap perawat/bidan yang menyatakan penerimaan
a. Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan.
b. Memberikan umpan balik verbal yang menampakkan pengertian.
c. Memastikan bahwa isyarat nonverbal cocok dengan komunikasi verbal.
7. Mengajukan pertanyaan yang berkaitan
Tujuan seorang perawat/bidan mengajukan suatu pertanyaan adalah untuk
mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh pasien dan
kelurganya. Lebih baik jika pertanyaan tersebut dikaitkan dengan topik yang di
bicarakan dan gunakan kata-kata dalam konteks sosial budaya klien.
a. Pertanyaan terbuka
Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban “Ya” dan “Mungkin”, tetapi
pertanyaan memerlukan jawaban yang luas sehingga pasien dapat mengemukakan
masalahnya, perasaannya dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberiakan
informasi yang di perlukan.
b. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri
Mengulang kembali pikiran utama yang telah diekspresikan oleh klien dan keluarga
memberitahukan bahwa perawat/bidan telah memberikan umpan balik sehingga
klien dan keluarga mengetahui bahwa pesannya di mengerti dan mengharapkan
komunikasi berlanjut.Namun, perawat/bidan perlu berhati-hati ketika menggunakan
metode ini karena pengertian bisa menjadi rancu apabila pengucapan ulang
mempunyai arti yang berbeda.
c. Pertanyaan klarifikasi.
Berupaya untuk menjelaskan ide atau pikiran pasien yang tidak jelas atau meminta
pasien menjelaskan artinya.Apabila terjadi kesalahpahaman, perawat/bidan perlu
menghentikan pembicaraan untuk mengklarifikasi dengan menyamakan pengertian
karena informasi sangat penting dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan
atau kebidanan yang optimal.Supaya pesan dapat sampai dengan benar, seorang
perawat/bidan perlu memberikan contoh yang konkrit dan mudah untuk di mengerti
oleh klien.
d. Memfokuskan
Metode ini di lakukan dengan tujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga
lebih spesifik dan dapat di mengerti.Perawat/bidan tidak seharusnya memutuskan
pembicaraan klien ketika menyampaikan masalah yang penting, kecuali jika
pembicaraan berlanjut tanpa informasi yang baru.
e. Menyampaikann hasil observasi
Seorang perawat/bidan perlu memberikan suatu umpan balik kepada klien dan
keluarga dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga dapat di ketahui
apakah pesan dapat di terima dengan benar. Perawat/bidan menguraikan kesan yang
di timbulkan oleh syarat nonverbal klien.
f. Menawarkan informasi
Memberikan tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang lebih baik
bagi klien terhadap keadaannya. Memberikan tambahan informasi merupakan
pendidikan kesehatan klien. Selain itu, hal ini akan menambah rasa percaya klien
terhadap perawat/bidan itu sendiri. Jika terdapat informasi yang di tutupi oleh
dokter, perawat/bidan perlu mengklarifikasi alasannya. Perawat/bidan tidak boleh
memberikan nasihat kepada klien ketika memberikan suatu informasi, tetapi di
harapkan dapat memfasilitasi klien untuk membuat suatu keputusan untuk dirinya
sendiri.
g. Diam
Sikap diam akan memberikan kesempatan kepada perawat/bidan dan klien untuk
mengorganisir pikirannya. Penggunaan metode diam memerlukan keterampilan dan
ketetapan waktu, jika tidak maka akan dapat menimbulkan perasaan yang tidak
enak. Sikap diam yang memungkinkan klien untuk dapat berkomunikasi secara
internal dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan memproses
informasi yang di dapatkannya.Keadaan diam ini juga dapat bermanfaat pada saat
klien dan keluarga harus mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
h. Meringkas
adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. Metode
ini bermanfaat untuk membantu topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pada
pembicaraan yang berikutnya. Meringkas pembicaraan membantu bidan mengulang
aspek penting dalam interaksinya sehingga dapat melanjutkan pembicaraan dengan
topik yang berkaitan .
i. Memberikan penghargaan
Memberi salam pada klien dan keluarga dengan menyebut namanya menunjukkan
kesadaran tentang perubahan yang terjadi , untuk menghargai klien dan keluarga
sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas dirinya
sendiri sebagai individu.Penghargaan tersebut diupayakan jangan sampai menjadi
beban yang berat baginya, dalam arti bahwa jangan sampai klien berusaha keras dan
melakukan segalanya demi mendapatkan suatu pujian atau persetujuan dari
perbuatan atau tindakan yang dilakukannya.Hal ini tidak dimaksudkan untuk
menyatakan bahwa ini bagus dan sebaliknya bahwa ini buruk.
j. Menawarkan
Bukan tidak mungkin bahwa klien belum siap untuk berkomunikasi secara verbal
dengan orang lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti.
Tidak dipungkiri lagi bahwa sering kali perawat/bidan hanya menawarkan
kehadirannya.Teknik komunikasi ini harus di lakukan tanpa pamrih dalam arti tidak
mengharapkan balasan apa-apa yang telah di lakukannya untuk klien tersebut.
Perawat/bidan menyediakan diri tanpa respons bersyarat atau respons yang di
harapkan.
k. Memberikan kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan
Memberikan kesempatan kepada klien untuk memiliki inisiatif dalam memilih topik
atau masalah pembicaraan . Dalam berinteraksi , perawat/bidan dapat menstimulasi
klien yang merasa ragu-ragu dan tidak pasti tentang perannya untuk mengambil
inisiatif dan merasakan bahwa ia sangat di harapkan untuk membuka pembicaraan.
l. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Teknik ini menganjurkan klien untuk mengarahkan hampir seluruh
pembicaraanyang mengindikasikan bahwa klien sedang mengikuti apa yang sedang
dibicarakan dan merasa tertarik dengan apa yang akan di bicarakan selanjutnya .
Perawat/bidan lebih berusaha untuk menafsirkan dari pada mengarahkan
diskusi/pembicaraan.
Menempatkan kejadian secara teratur akan menolong perawat dan klien untuk
melihatnya dalam suatu perspektif. Kelanjutan dari sebuah kejadian secara teratur
akan menolong perawat/bidan dan klien untuk melihat kejadian berikutnya sebagai
akibat kejadian yang pertama. Perawat akan dapat menentukan pola kesukaran
interpersonal dan memberikan data tentang pengalaman yang memuaskan dan
berarti bagi klien dalam memenuhi kebutuhannya.
m. Menganjurkan klien untuk menguraikan persepsinya
Meminta klien untuk memastikan pengertian perawat tentang apa yang sedang
dipikirkan dan dirasakan oleh klien. Apabila perawat ingin mengerti klien,maka ia
harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien tersebut. Klien harus bebas
untuk menguraikan persepsinya kepada perawat. Ketika menceritakan
pengalamannya , perawat harus waspada akan timbulnya gejala ansietas atau marah.
n. Refleksi
Mengarahkan kembali ide, perasaan ,pertanyaan , dan isi pembicaraan kepada klien.
Refleksi menganjurkan klien untuk mengemukakan dan menerima ide serta
perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Jika klien bertanya apa yang harus
ia pikirkan dan kerjakan atau rasakan ,maka perawat dapat menjawab “Bagaimana
menurut anda ?”. Jadi, dengan demikian perawat mengindikasikan bahwa pendapat
klien adalah berharga dan klien memiliki hak untuk dapat melakukan hal tersebut,
maka klienpun akan dapat berpikir bahwa dirinya adalah manusia yang mempunyai
kapasitas dan kemampuan sebagai individu yang terintegrasi dan bukan sebagai
bagian dari orang lain.
o. Asertif
Asertif adalah kemampuan dengan secara meyakinkan dan nyaman untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai orang lain.
Kemampuan asertif antara lain : berbicara jelas , mampu menghadapi manipulasi
pihak lain tanpa menyakiti hatinya (berani mengatakan tidak tanpa merasa bersalah)
serta melindungi diri dari kritik.
p. Humor
Humor sebagai hal yang penting dalam komunikasi verbal, ini dikarenakan tertawa
mengurangi ketegangan dan rasa sakit akibat stress dan meningkatkan keberhasilan
dalam asuhan kebidanan. Sullivan – Deane (2008) menyatakan bahwa humor
merangsang katekolamin sehingga merasa sehat. Hal ini juga akan meningkatkan
toleransi nyeri, mengurangi kecemasan , serta memfasilitasi relaksasi dan
meningkatkan metabolisme.
BAB VII
PANDUAN SECOND OPINION

A. Pengertian
1. Adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pasien untuk mendapatkan informasi
mengenai berbagai suatu kondisi sakit/penyakit yang berbeda dengan informasi yang
diperoleh dari dokter sebelumnya.
2. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP).
3. Suatu usaha untuk memohon pendapat dari Dokter spesialis lain yang berkompetensi
sama, sehubungan dengan manajemen penatalaksanaan seorang pasien.

B. Ruang Lingkup
Second opinion dapat diminta oleh pasien/keluarga pasien atau atas saran DPJP. Second
Opinion dapat dilaksanakan internal RS maupun eksternal RS, dengan memilih dokter
dari dalam maupun luar RS yang mempunyai kompetensi yang sama, atau
pasien/keluarga mempunyai dokter pilihan sendiri

C. Tata laksana
1. Hal –hal yang dapat diajukan second opinion antara lain :
a. Permintaan Pasien dan atau keluarga.
b. Tindakan dan diagnosis dirasa tidak lazim dan tidak sesuai oleh pasien
c. Pasien dan atau keluarga meminta pendapat dokter lain tentang penyakitnya
d. Second opinion harus seizin dari DPJP
2. Permintaan Second Opinion di RSIA Herawaty dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Dokter/Perawat/Bidan menerima keinginan dan permintaan pasien/keluarganya untuk
mendapatkan second opinion dari dokter lain yang tidak merawat dengan kompetensi
yang sama baik di dalam maupun di luar RSIA Herawaty.
b. RSIA Herawaty tidak menghalangi pasien/keluarganya untuk melakukan second opinion
dan pasien boleh mencari sendiri namun diarahkan dari rumah sakit agar sesuai dengan
riwayat penyakit dan diagnosis yang dialami oleh pasien.
c. Dokter/Perawat/Bidan yang menerima permintaan dari pasien/keluarga kemudian :
1. DPJP menjelaskan kepada pasien/keluarga tenaga dokter yang mempunyai kompetensi
yang sama.
2. DPJP mempersilahkan pasien/keluarga menentukan dokter untuk second opinion baik
di dalam maupun di luar RSIA Herawaty.
3. Pasien/keluarga mengisi formulir second opinion yang ditanda tangani oleh
pasien/keluarga dan disetujui oleh DPJP.
4. Perawat/bidan mendokumentasikan formulir second opinion yang sudah diisi dan
ditanda tangani ke dalam rekam medis.
BAB VIII
PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN
A. Pengertian
Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapatkan informasi dan
consent berarti persetujuan yang dimaksud dengan informed consent dalam profesi
kedokteran adalah pernyataan setuju atau ijin dari seorang pasien yang diberikan bebas,
rasional, tanpa paksaan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya
sesudah mendapatkan informasi cukup tentang kegiatan kedokteran yang dimaksud.
Definisi/pengertian berikut ini adalah yang terkait dengan pelaksanaan Persetujuan
Tindakan Kedokteran (Informed Consent).

B. Tujuan
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/menkes /per/ III/2008 pasal 3).
a. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
b. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau
rehabilitative yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
c. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun
di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
d. Tindakan Kedokteran adalah tindakan yang bersifat diagnostik terapentik yang
dilakukan kepada pasien.
e. Tindakan Invasif adalah tindakan kedokteran langsung yang dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh.
f. Dokter adalah dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis yang
bekerja di RSIA Herawaty.
g. Orang Tua adalah ayah dan ibu ;
1) Ayah : a) Ayah kandung.
b) Ayah angkat yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan atau
hukum adat.
2) Ibu : a) Ibu kandung.
b) Ibu angkat yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan
atau hukum adat.
c) Memberikan persetujuan/penolakan apabila ayah tidak ada atau
berhalangan
Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3) Suami adalah seorang laki-laki yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang
wanita berdasarkan peraturan Undang-Undang yang berlaku.
4) Istri adalah seorang wanita dalam ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki
berdasarkan peraturan Undang-Undang yang berlaku. Apabila yang bersangkutan
mempunyai lebih dari satu istri, persetujuan/penolakan dapat dilakukan oleh salah
satu dari mereka.
5) Wali adalah orang yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum
dewasa, untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut
hukum menggantikan kedudukan orang tua.
6) Induk Semang adalah orang yang wajib mengawasi dan ikut bertanggung jawab
terhadap pribadi orang lain seperti pemimpin asrama anak perantauan atau kepala
rumah tangga dari seorang pembantu rumah tangga yang belum dewasa.
7) Gangguan mental adalah sekelompok gejala psikologis atau perilaku yang secara
klinis menimbulkan penderitaan dan gangguan dalam fungsi kehidupan seseorang,
meliputi gangguan mental berat, retardasi mental sedang, retardasi mental berat,
dementia senilis.
8) Pasien Gawat Darurat adalah pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat
atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan
menjadi cacat) bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya.
9) Pengampu adalah orang atau badan yang ditetapkan pengadilan sebagai pihak yang
mewakili kepentingan seseorang tertentu (dalam hal ini pasien) yang dinyatakan
berada di bawah pengampuan (curatele).

C. Ruang Lingkup
1. Dasar Hukum
Dasar hukum yang terkait dengan pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran
adalah :
a. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
b. Peraturan pemerintah No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
c. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 159b/Menkes/SK/PER/II/1988 tentang
RS.
d. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 585/Menkes/SK/VI/1993 Tentang
berlakunya Standar Pelayanan RS dan Standar Pelayanan Medis di RS.
e. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749 a/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam
Medis/Medical record.
f. Peraturan Menteri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/ IX /1989 tentang Persetujuan
Tindakan medis.
g. Kep Menkes No 1507/Menkes/SK/ X /2005 tentang Pedoman Pelayanan
Konseling Testing HIV/AIDS secara sukarela
h. Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran
i. Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medik nomor HK.00.06.3.5.1866 tentang
Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medik.
j. Konsil Kedokteran Indonesia, Buku Penyelenggaraan Praktik Kedokteran yang
Baik, Jakarta, 2006.
2. Penggunaan Persetujuan Informed consent dilihat dari berbagai aspek pada hubungan
antara dokter dan pasien, diantaranya:
a. Kerahasiaan dan pengungkapan informasi
Dokter membutuhkan persetujuan pasien untuk dapat membuka informasi pasien,
misalnya kepada kolega dokter, pemberi kerja atau perusahaan asuransi.
Prinsipnya tetap sama, yaitu pasien harus jelas terlebih dahulu tentang informasi
apa yang akan diberikan dan siapa saja yang akan terlibat.
b. Pemeriksaan skrining
Memeriksa individu yang sehat, misalnya untuk mendeteksi tanda awal dari
kondisi yang potensial mengancam nyawa individu tersebut, harus dilakukan
dengan perhatian khusus.
c. Pendidikan
Pasien dibutuhkan persetujuannya bila mereka dilibatkan dalam proses belajar-
mengajar. Jika seorang dokter melibatkan mahasiswa (co-ass) ketika sedang
menerima konsultasi pasien, maka pasien perlu diminta persetujuannya. Demikian
pula apabila dokter ingin merekam, membuat foto ataupun membuat film video
untuk kepentingan pendidikan.

3. Yang berhak memberikan informasi/penjelasan


a. Tanggung Jawab utama untuk memberikan informasi/penjelasan adalah dokter
yang akan melakukan tindakan medik bila berhalangan dapat diwakilkan ke
dokter lain, tetap menjadi tanggung jawabnya.
b. Apabila pasien memiliki keluarga dokter, maka dokter dari pihak RSIA Herawaty
yang merawat pasien tersebut dapat menyampaikan kepada dokter dari keluarga
tersebut tentang nasehat medis dan resiko berkenaan dengan pengobatan yang
tidak adekuat yang dapat berakibat cacat permanen atau kematian. Dan bila pasien
tetap menolak nasihat medis, maka dokter RSIA Herawaty akan memberikan
pesan untuk perawatan lanjutan di rumah.
c. Untuk pasein yang memerlukan tindakan bukan bedah (non invasif), informasi/
penjelasan bisa diwakilkan

4. Yang berhak memberikan persetujuan/penolakan


a. Pasien sendiri yang sudah dewasa yaitu umur lebih 21 tahun atau sudah menikah,
dalam keadaan sadar, sehat mental, tanpa paksaan.
b.Pasien dewasa yang berada dibawah kemampuan (Curatelle), persetujuan/
penolakan dilakukan oleh wali (curator)nya.
c. Pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan/penolakan dilakukan oleh
mereka sesuai urutan hak sebagai berikut :
1) Ayah atau ibu kandung.
2) Wali yang sah.
3) Saudara-saudara kandung.
d. Pasien yang sudah menikah, persetujuan/penolakan dilakukan oleh mereka sesuai
urutan hak sebagai berikut :
1) Suami atau istri.
2) Ayah atau ibu kandung.
3) Anak-anak kandung.
4) Saudara-saudara kandung.
5) Pasien dengan usia dibawah 21 tahun, persetujuan/penolakan diberikan oleh
mereka sesuai urutan hak sebagai berikut :
a) Ayah atau ibu kandung.
b) Saudara-saudara kandung yang sudah dewasa.
6) Pasien dengan usia dibawa 21 tahun, tidak mempunyai orang tua atau
berhalangan hadir, persetujuan/penolakan diberikan oleh mereka sesuai urutan
hak sebagai berikut :
a) Ayah/Ibu angkat.
b) Saudara-saudara kandung yang sudah dewasa.
c) Keluarga terdekat.
d) Induk Semang.
5. Informasi/Penjelasan
a. Informasi/penjelasan tentang tindakan medik yang akan dilakukan harus adequat
(cukup) dan disampaikan dengan bahasa yang mudah difahami/dimengerti.
Informasi/penjelasan dianggap adequate apabila meliputi :
1) Diagnosa dan prognose penyakit
2) Tujuan/alasan tindakan medik yang akan dilakukan dan prospek kebersihan.
3) Resiko, manfaat, komplikasi dan side effect (akibat ikutan) yang mungkin
terjadi. Resiko-resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang
dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :
a) Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut
b) Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
4) Prognose penyakit bila tindakan medis dilakukan atau tidak
dilakukan
5) Alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan resiko masing-
masing
b. Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran adalah :
1) Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera
bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2) Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi
situasi dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes No 290/Menkes/Per/III/ 2008.
6. Macam-macam persetujuan Pasien :
a. Pernyataan Persetujuan Rawat Inap
adalah persetujuan yang diberikan pasien apabila pasien setuju untuk di rawat inap
dan mengijinkan dokter/perawat melakukan tindakan/pengobatan tanpa persetujuan
pasien selama di rawat inap, tindakan tersebut adalah: Injeksi, infus/transfuse, ECG,
Rontgen, Sunction, Nebulizer, pemberian oksigen, bilas lambung, skin test,
pengambilan sampling darah, pemasangan monitor,RJP, perawatan luka,
pemeriksaan tanda-tanda vital.
b. Persetujuan umum (General Consent)
Adalah Persetujuan pasien yang diperoleh setelah pasien bersedia untuk dirawat
inap di RSIA Herawaty. Formulir tersebut berisi tentang pemberian informasi dan
penjelasan mengenai : hak dan kewajiban pasien, persetujuan pelayanan kesehatan,
hak untuk membuka rahasia kedokteran maupun kerahasiaanya, berhak
mendapatkan privasi, persetujuan mahasiswa kesehatan berpartisipasi dalam
perawatan pasien, persetujuan untuk tidak membawa barang-barang berharga
selama dirawat, persetujuan untuk membayar biaya perawatan sesuai tarif dan
ketentuan RS (untuk pasien umum),persetujuan untuk membayar uang muka untuk
7 hari, persetujuan untuk membayar selisih biaya perawatan apabila naik kelas atas
permintaan sendiri (untuk pasien asuransi)
c. Persetujuan atau penolakan tindakan medis
1) Hanya untuk tindakan medis yang spesifik.
2) Diberikan oleh pasien tanpa paksaan.
3) Diberikan oleh pasien yang sehat mental (Voluntary) atau pihak yang memang
berhak sesuai hukum.
4) Diberikan oleh pasien setelah mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup
(adequat).
7. Persetujuan tertulis diperlukan pada keadaan-keadaan sbb:
a. Bila tindakan teraputik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau efek samping
yang bermakna.
b. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi
c. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan
kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien
8. Pasal 45 UU Praktik Kedokteran memberikan batasan minimal informasi yang
selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Dengan mengacu kepada kepustakaan, KKI melalui buku manual ini memberikan 12
kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien :
1) Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak diobati
2) Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) termasuk
pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan
3) Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya, termasuk
pilihan untuk tidak diobati
4) Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan, rincian dari prosedur atau
pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan nyeri,
bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan diri, rincian apa yang akan dialami
pasien selama dan sesudah tindakan, termasuk efek samping yang biasa terjadi dan
yang serius
5) Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang kelebihan/keuntungan dan
tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi tentang kemungkinan risiko yang
serius atau sering terjadi, dan perubahan gaya hidup sebagai akibat dari tindakan
tersebut
6) Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih eksperimental
7) Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor atau
dinilai kembali
8) Nama dokter yang bertanggungjawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut,
serta bila mungkin nama-nama anggota tim lainnya
9) Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka
sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang akan dilakukan
10) Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap waktu. Bila
hal itu dilakukan maka pasien bertanggungjawab penuh atas konsekuensi pembatalan
tersebut.
11) Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain
12) Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya.

D. Tata Laksana
1. Umum
a. Masalah kesehatan setiap orang adalah tanggung jawab masing-masing. Sepanjang
keadaan kesehatannya tidak mengganggu orang lain maka keputusan untuk mengobati
atau tidak mengobati dirinya, sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.
b. Tindakan kedokteran yang dilakukan dokter untuk meningkatkan atau memulihkan
kesehatan seseorang, hanya merupakan upaya yang tidak wajib diterima oleh yang
bersangkutan. Sesungguhnya dalam pelayanan kedokteran tidak seorangpun yang dapat
memastikan hasil akhirnya. Oleh karena itu tidak pada tempatnya bila penerimaannya
dipaksakan.
c. Tindakan kedokteran akan lebih berhasil guna dan berdaya guna bila terjalin kerjasama
yang baik antara dokter dan pasien. Penjelasan yang cukup (adequat) tentang penyakit
pasien merupakan kewajiban dokter dan hak pasien.
2. Tata Laksana Pemberian Informasi dan Persetujuan Umum (General Concent)
a. Setelah pasien bersedia/setuju untuk dirawat inap atas perintah dokter yang merawatnya
(dari poliklinik UGD), Pasien/keluarga diarahkan ke bagian informasi dan registrasi
rawat inap.
b. Tata laksana informasi/penjelasan di ruang informasi/ registrasi rawat inap sebagai
berikut :
1) Petugas informasi ucap salam, perkenalkan diri
2) Memastikan/ mengecek ulang identitas pasien & persyaratan rawat inap
3) Memberikan informasi & penjelasan tentang :
a) Jenis pelayanan di RS
b) Jenis tindakan pelayanan di RS
c) Informasi Dokter yang ada di RS
d) Fasilitas kamar/ruangan perawatan
e) Jam pelayanan dan jam berkunjung di RS
f) Tarif Pasien
4) Meminta pasien untuk mengisi blanko administrasi sesuai data terbaru/yang masih
berlaku.
5) Memberikan informasi/penjelasan mengenai form informasi & persetujuan umum
yang berisi :
a) Hak & kewajiban pasien, tata tertib dan peraturan RS
b) Persetujuan pelayanan kesehatan tertentu
c) Hak untuk membuka rahasia kedokteran maupun kerahasiaanya
d) Hak mendapatkan privasi
e) Persetujuan mahasiswa kesehatan berpartisipasi dalam perawatannya
f) Persetujuan untuk tidak membawa barang-barang berharga selama dirawat
g) Persetujuan untuk membayar biaya perawatan sesuai tarif dan ketentuan RS
(untuk pasien umum)
6) Memverifikasi kembali informasi yang sudah diberikan kepada pasien/keluarga
7) Memberikan formulir general consent untuk di ditandatangani pasien/ keluarga
8) Menginformasikan nomor telepon yang bisa dihubungi jika sewaktu-waktu
diperlukan.
9) Menanyakan kembali apakah informasi pelayanan pasien ada yang belum
dimengerti.
10) Mengucapkan terimakasih dan ucapkan salam kepada pasien setelah selesai
memberikan informasi
3. Tata Laksana Pemberian Informed Consent
a. Setelah diagnosa ditegakkan, pasien diberi informasi/penjelasan yang cukup
(adequat).
b. Apabila pasien menolak maka harus menandatangani Form Pemberian Informasi dan
Pernyataan Penolakan Operasi/Tindakan Medik/Tindakan Diagnostik .
c. Apabila pasien menyetujui maka harus menandatangani Form Pemberian Informasi
dan Pernyataan Persetujuan Operasi/Tindakan Medis/Tindakan diagnostic , terutama
untuk tindakan yang beresiko tinggi.
d. Untuk tindakan yang tidak beresiko tinggi, persetujuan dapat dinyatakan secara lisan
(Oral Consent).
e. Tanda tangan dapat diganti dengan cap ibu jari tangan kiri pada form yang
disediakan.
f. Sebelum ditanda tangani, form persetujuan/penolakan sudah diisi lengkap oleh dokter
yang akan melakukan tindakan atau yang diberi delegasi, kemudian pasien diminta
membacanya atau bila perlu dibacakan.
g. Apabila pasien yang berhak menyetujui menolak untuk diberi penjelasan dan
menyerahkan penuh pada keputusan dokter maka orang tersebut dianggap telah
menyetujui apapun yang akan dilakukan dokter
h. Perluasan tindakan medis, selain tindakan medis yang telah disetujui tidak dibenarkan
dengan alasan apapun, kecuali bila terpaksa harus dilakukan untuk keselamatan jiwa
pasien.
i. Pasien yang menikah dan bisa memberikan persetujuan untuk dirinya sendiri maka
suami /istri tidak ikut menanda tangani persetujuan tindakan medik, kecuali untuk
tindakan KB yang sifatnya Irreversible yaitu Vasektomi/Tubektomi.
j. Persetujuan yang sudah diberikan dapat ditarik kembali (dicabut) setiap saat, kecuali
tindakan medik yang direncanakan sudah sampai pada tahapan pelaksanaan yang
tidak mungkin lagi dibatalkan.
k. Dalam hal persetujuan tindakan medik diberikan keluarga, maka yang berhak
menarik kembali (mencabut) adalah anggota keluarga tersebut atau anggota keluarga
lainnya yang kedudukan hukumnya lebih berhak sebagai wali.
l. Penarikan kembali (pencabutan) persetujuan tindakan medik harus diberikan secara
tertulis sebelum tindakan dimulai.
m. Semua hal-hal yang sifatnya luar biasa dalam proses mendapatkan persetujuan
tindakan medik harus dicatat dalam rekam medik.
n. Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan medik harus disimpan dalam berkas
rekam medik yang bersangkutan.
o. Demi kepentingan pasien, informed consent tidak diperlukan bagi pasien gawat
darurat dalam keadaan sadar dan tidak didampingi oleh keluarga pasien yang berhak
memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis.
p. Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP pasal 351 (trepass, battery,
bodily assault)
4. Tata Laksana Pembukaan Informasi
a. Pembukaan informasi pasien kepada pihak lain harus ada permintaan tertulis/
memerlukan persetujuan pasien.
b. Pembukaan informasi tidak memerlukan persetujuan pasien pada keadaan:
1) Untuk kepentingan kesehatan pasien
2) Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, misalnya dalam bentuk visum et repertum
3) Atas permintaan pasien sendiri
4) Berdasarkan ketentuan undang-undang, misalnya UU Wabah dan UU Karantina
5) Setelah memperoleh persetujuan pasien maka dokter tetap diharapkan memenuhi
prinsip “need to know”, yaitu prinsip untuk memberikan informasi kepada pihak
ketiga tersebut hanya secukupnya – yaitu sebanyak yang dibutuhkan oleh
peminta informasi
5.Tata Laksana Pemeriksaan HIV
a. Pemeriksaan terhadap kasus HIV-AIDS tidak dibenarkan atas dasar epidemiologi
ataupun aspek kesehatan masyarakat. Tetapi setiap orang harus dapat mempunyai
akses untuk menjalani test HIV AIDS.
b. Test skrining harus berdasarkan kemauan sendiri serta dengan persetujuan tertulis.
Penjelasan sebelum dilakukan test harus menjelaskan segala implikasinya jika kelak
ditemukan positif menderita (konseling).
c. Terhadap populasi tertentu, petugas kesehatan dapat meminta persetujuan pemeriksaan
skrining tanpa konseling terlebih dahulu (provider initiative testing conselling),
konseling dilakukan kemudian.
d. Sebelum tindakan pembedahan pasien hanya dapat dibenarkan untuk dilakukan test
HIV AIDS bila terdapat indikasi kliniknya.
e. Jika pasien dalam keadaan gawat darurat dan pasien tidak dapat atau menolak untuk
memberikan persetujuan sebelum dilakukan test maka dia harus diperlakukan sebagai
kasus yang terinfeksi.
f. Test harus dilakukan pada donor darah dan organ untuk kepentingan transplantasi.
g. Aturan pemberian persetujuan lainnya mengikuti tatacara aturan umum.
6. Tata laksana Pemberian Informasi
a. Informasi diberikan dalam konteks nilai, budaya dan latar belakang mereka. Sehingga
menghadirkan seorang interpreter mungkin merupakan suatu sikap yang penting, baik
dia seorang profesional ataukah salah seorang anggota keluarga. Ingat bahwa
dibutuhkan persetujuan pasien terlebih dahulu dalam mengikutsertakan interpreter bila
hal yang akan didiskusikan merupakan hal yang bersifat pribadi.
b. Menggunakan alat bantu, seperti leaflet atau bentuk publikasi lain apabila hal itu dapat
membantu memberikan informasi yang bersifat rinci. Pastikan bahwa alat bantu
tersebut sudah berdasarkan informasi yang terakhir. Misalnya, sebuah leaflet yang
menjelaskan tentang prosedur yang umum. Leaflet tersebut akan membuat jelas
kepada pasien karena dapat ia bawa pulang dan digunakan untuk berpikir lebih lanjut,
tetapi jangan sampai mengakibatkan tidak ada diskusi.
c. Apabila dapat membantu, tawarkan kepada pasien untuk membawa keluarga atau
teman dalam diskusi atau membuat rekaman dengan tape recorder
d. Memastikan bahwa informasi yang membuat pasien tertekan (distress) agar diberikan
dengan cara yang sensitif dan empati. Rujuk mereka untuk konseling bila diperlukan.
e. Mengikutsertakan salah satu anggota tim pelayanan kesehatan dalam diskusi, misalnya
perawat/bidan, baik untuk memberikan dukungan kepada pasien maupun untuk turut
membantu memberikan penjelasan
f. Menjawab semua pertanyaan pasien dengan benar dan jelas.
g. Memberikan cukup waktu bagi pasien untuk memahami informasi yang diberikan, dan
kesempatan bertanya tentang hal-hal yang bersifat klarifikasi, sebelum kemudian
diminta membuat keputusan
7. Tata Laksana Skrining
a. Persetujuan dilakukannya uji skrining harus didahului dengan penjelasan yang tepat
dan layak, serta pada keadaan tertentu memerlukan tindak lanjut, misalnya dengan
konseling dan support group
b. Skrining dapat merupakan upaya yang penting untuk dapat memberikan tindakan yang
efektif.
c. Terdapat kemungkinan bahwa uji skrining tersebut memiliki ketidakpastian, misalnya
false positive dan false negative
d. Beberapa uji skrining tertentu berpotensi mengakibatkan hal yang serius bagi pasien
dan keluarganya, tidak hanya dari segi kesehatan, melainkan juga segi sosial dan
ekonomi.

8. Tindakan Pembedahan & Tindakan Invasive yang memerlukan Informed Consent


1 KSM BEDAH 1. Apendektomi
2. Apendektomi dgn penyulit major
3. Apendektomi dgn penyulit minor

2 KSM PEDIATRI 1. Intubasi Endotrakea


ILMU KESEHATAN 2. Kanulasi vena perifer
ANAK
3. Vena sectie
4. Pungsi lumbal
5. Pungsi Pleura

3 KSM OBGYN 1. Cauter Serviks


2. Eksplorasi vagina
3. Extripasi=kuret polip endoserviks
4. Ekxtripasi geboren mioma
5. Extripasi geboren mioma+kuretasi
6. Histerectomy pada mola
7. Histerectomy radikal
8. Kistektomi
9. Konisasi serviks
10. Kuret abortus incompletes
11. Laparaskopi myomektomi
12. Laparoskopi (Kistektomi Ovarioum,Salphigektomi, Ahdesiolisis
13. Laparoskopi histerektomi
14. Laparoskopi steril
15. Laparoskopik diagnostik
16. Laparotomi dengan penyulit mayor
17. Laparotomi dengan penyulit minor
18. Laparotomi tanpa penyulit
19. Micro kutetase DUB
20. Mikrokuret
21. Miomectomy
22. Neovagina
23. Overectomi
24. Persalinan normal
25. Persalinan normal dengan penyulit
26. Persalinan pervaginam tindakan operatif
27. Persalinan sungsang
28. Rekanalisasi
29. Rekanalisasi tuba
30. Salfingektomi unilateral
31. Salvingoovarectomi unilateral
32. Seksio Cesaria
33. Seksio Cesaria dengan penyilit penyulit
34. Sirklase serviks
35. Seksio Cesaria dengan penyulit penyulit
36. Sirklase serviks
37. Supra vagina hyterectomy
38. Surgical staging
BAB IX
PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI
A. Pengertian
DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan tenaga medis
untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter,perawat, dan tenaga
emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergency bila pernapasan maupun
jantung pasien berhenti.
CPR atau cardiopulmonary resuscitation adalah suatu prosedur medis yang digunakan
untuk mengembalikan fungsi jantung (sirkulasi) dan pernapasan spontan pasien bila
seorang pasien mengalami kegagalan jantung maupun pernapasan. CPR melibatkan
ventilasi paru (resusitasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung) dan kompresi dinding
dada untuk mempertahankan perfusi ke jaringan organ vital selama dilakukan upaya-
upaya untuk mengembalikan respirasi dan ritme jantung yang spontan. CPR lanjut
melibatkan DC shock,insersitube untuk membuka jalan napas, injeksi obat-obatan ke
jantung dan untuk kasus-kasus ekstrim pijat jantung langsung (melibatkan operasi bedah
toraks).
Perintah DNR untuk pasien harus tertulis baik di catatan medis pasien maupun di catatan
yang dibawa pasien sehari-hari, di RS atau Keperawatan, atau untuk pasien di rumah.
Perintah DNR di RS memberitahukan kepada staf medis untuk tidak berusaha
menghidupkan pasien kembali sekalipun terjadi henti jantung. Bila kasusnya terjadi di
rumah, maka perintah DNR berarti bahwa staf medis dan tenaga emergency tidak perlu
melakukan usaha resusitasi maupun mentransfer pasien ke RS untuk CPR.

B. Ruang lingkup
Ruang lingkup Panduan penolakan resuscitate/DNR ini meliputi pengertian tentang
DNR, tentang indikasi pasien yang memenuhi untuk dilakukan DNR, alasan-alasan
pentingnya DNR dan tata cara pelaksanaan serta mengatur kewenangan yang
memberikan persetujuan penolakan resuscitate.

C. Tata laksana
1. Tata Laksana Umum
a. Menghormati keinginan pasien dan keluarganya :
1) Kecuali perintah DNR dituliskan oleh dokter untuk seorang pasien, maka
dalam kasus-kasus henti jantung dan henti napas, tenaga emergency wajib
melakukan tindakan resusitasi
2) Ketika memutuskan untuk menuliskan perintah DNR, dokter tidak boleh
mengesampingkan keinginan pasien maupun walinya
3) Perintah DNR dapat dibatalkan (atau gelang DNR dapat dilepaskan)
b. Kriteria DNR
1) Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten mengambil
keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang
dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat,
atau wali yang sahyang ditunjuk oleh pengambil keputusan dalam keluarga.
2) Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi bahan
diskusi perihal DNR dengan pasien/walinya:
a) Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau
CPR hanya menunda proses kematian yang alami
b) Pasien tidak sadar secara permanen
c) Pasien berada pada kondisi terminal
d) Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian
dibanding keuntungan jika resusitasi dilakukan
c. Mengapa DNR penting?
CPR bila berhasil, akan mengembalikan denyut jantung dan pernapasan sekaligus
kehidupan pasien. Kesuksesan suatu CPR bergantung pada keadaan keseluruhan
pasien. Umur sendiri tidak menentukan apakah CPR akan berhasil, meskipun
penyakit dan kecacatan pasien yang umumnya sudah tua biasanya membuat CPR
kurang berhasil. Ketika pasien sakit berat atau berada pada kondisi terminal, CPR
bisa tidak berhasil atau hanya berhasil sebagian, dan meninggalkan pasien dengan
kerusakan otak atau pada kondisi medis yang lebih buruk daripada sebelum
jantungnya berhenti. Pada kasus-kasus ini, beberapa pasien memilih untuk dirawat
tanpa usaha agresif resusitasi sampai kematian mereka terjadi secara natural.
1) Hak pasien yang berhubungan dengan DNR
Perintah DNR hanyalah sebuah keputusan mengenai CPR dan tidak terkait
dengan usaha pengobatan lainnya.
2) Etik dalam DNR
DNR sudah dikenal secara luas oleh tenaga kesehatan, kuasa hukum, pengacara,
dan lainnya bahwa DNR adalah sah secara medis dan etik dengan ketentuan
tertentu. Untuk beberapa pasien, CPR justru mendatangkan lebih banyak
masalah daripada keuntungan, dan dapat bertentangan dengan keinginan atau
harapan pasien itu sendiri.
3) DNR membutuhkan consent atau persetujuan pasien
Dokter berkewajiban bicara dan menjelaskan kepada pasien sebelum pasien
dapat memutuskan DNR (bila pasien kompeten untuk mengambil keputusan),
kecuali dokter yakin bahwa mendiskusikan hal tersebut dengan pasien tersebut
justru akan menimbulkan dampak negatif terhadap pasien itu. Dalam kasus
emergency di mana tidak diketahui apa keputusan pasien mengenai CPR dan
DNR, dianggap bahwa semua pasien memberikan persetujuan untuk CPR.
Bagaimanapun juga, hal itu tidak berlaku bila seorang dokter memutuskan
bahwa CPR tidak akan berhasil.
4) Pasien memberitahukan keinginannya mengenai DNR
Seorang pasien dewasa dapat memberikan consent atau persetujuan untuk DNR
secara oral atau tertulis (seperti surat wasiat) kepada seorang dokter dengan
setidaknya hadir 2 (dua) saksi. Sebelum memutuskan tentang CPR, pasien harus
bicara terlebih dahulu dengan dokternya tentang kesehatannya secara
keseluruhan dan keuntungan serta kerugian dari CPR terhadap dirinya. Diskusi
secara menyeluruh lebih awal akan memastikan bahwa keinginan pasien
sepenuhnya diketahui.
5) Dokter menghargai hak pasien tentag DNR
Jika seorang pasien tidak menginginkan CPR dan meminta DNR, seorang dokter
harus menyetujui atau jika tidak setuju, dokter dapat :
a. Konsultasi pasien ke dokter spesialis yang kompeten sesuai dengan bidang
ilmunya
Keputusan pasien untuk DNR harus diputuskan oleh minimal 2 (dua) dokter.
Dokter harus memberitahukan hasilnya kepada pasien dan pasien berhak untuk
menyatakan keberatan. Jika seorang pasien sudah dinilai tidak kompeten untuk
memutuskan tentang CPR dan tidak memberitahukan tentang keinginannya
sebelumnya, perintah DNR dapat ditulis dengan consent dari seseorang yang
dipilih oleh pasien, oleh anggota keluarga (pasangan hidup, orang tua, anak,
maupun saudara kandung) atau teman terdekat atau orang yang ditunjuk dari
pengadilan secara hukum.
Dalam keadaan apa seorang anggota keluarga atau teman terdekat dapat
mengambil keputusan tentang DNR? Anggota keluarga atau teman terdekat
dapat memberikan persetujuan atau consent untuk DNR hanya jika pasien tidak
mampu memutuskan bagi dirinya sendiri dan pasien belum memutuskan/memilih
orang lain untuk mengambil keputusan tersebut. Antara lain :
 Pasien dalam kondisi sakit terminal
 Pasien yang tidak sadar secara permanen
 CPR tidak akan berhasil (medical futility)
 CPR akan menyebabkan kondisi akan menjadi lebih buruk
□ CPR tidak diberikan pada kondisi klinis di bawah ini:
 Persistent vegetative state
 Syok septik
 Stroke akut
 Cencer metastasis (stadium 4)
 Pneumonia berat
Siapapun yang mengambil keputusan bagi pasien harus mendasarkan
keputusannya pada keinginan personal pasien, meliputi agama dan keyakinan
dan kepercayaan moral pasien. Atau bila keinginan tidak diketahui, keputusan
harus selalu didasarkan pada kepentingan pasien.
Bagaimana bila ada anggota keluarga yang tidak setuju? Dalam RS atau rumah
perawatan, keluarga pasien dapat meminta untuk memediasi ketidak setujuan.
Dokter dan meminta mediasi bila ia menemukan adanya ketidaksetujuan atau
kesepakatan di antara anggota keluarga pasien.
Siapa yang bisa memberikan persetujuan atau consent tentang DNR pada
anak?
Orang tua pasien atau wali pasien anak tersebut. Jika seorang anak telah cukup
umurnya untuk mengerti dan memutuskan tentang CPR, maka persetujuan dibuat
atas consent anak yang bersangkutan.
Bagaimana bila pasien berubah keputusan setelah DNR ditulis? Pasien atau
siapapun yang memberikan consent tentang DNR tersebut dapat membatalkan
atau mencabut consentnya dengan memberitahu dokter atau perawat atau
siapapun tentang keputusannya. Selama pada saat mengubah keputusan tersebut,
pasien dalam keadaan kompeten yang berarti mampu berpikir rasional dan
memberitahukan keinginannya dengan jelas.Perubahan itu sebaiknya disahkan
secara hukum dan diketahui pula oleh dokter dan anggota keluarga.
Bagaimana bila pasien ditransfer ke tempat perawatan lain? DNR tetap berlaku
sampai dokter yang memeriksa memutuskan lain. Bila hal itu terjadi, dokter
tersebut wajib memberitahukan hal tersebut kepada pasien atau siapapun yang
berwenang memutuskan untuk pasien untuk mendapatkan persetujuan. Di RSIA
Herawaty sudah ada aturan yang mewajibkan pasien mengunakan PIN warna
Ungu tentang keputusannya apakah memilih CPR atau DNR.
2. Prosedur yang direkomendasikan:
a. Meminta informed consent dari pasien atau walinya
b. Mengisi formulir DNR. Tempatkan kopi atau salinan pada rekam medis pasien
dan serahkan juga salinan pada pasien atau keluarga.
c. Memakaikanpin DNR warna ungu di pergelangan tangan atau kaki (jika
memungkinkan)
d. Untuk kasus tertentu (misalnya luka bakar, trauma amputasi dll) yang tidak
memungkinkan dikenakan gelang dan pin DNR pada tangan atau kaki maka
dipasangkan sesuai dengan kondisi pasien.
e. Tinjau kembali status DNR secara berkala dengan pasien atau walinya, revisi bila
ada perubahan keputusan yang terjadi dan catat dalam rekam medis. Bila
keputusan DNR dibatalkan, catat tanggal terjadinya dan pin DNR dimusnahkan
f. Perintah DNR harus mencakup hal-hal di bawah ini:
1) Diagnosis
2) Alasan DNR
3) Kemampuan pasien untuk membuat keputusan berdasarkan penilaian 2
(dua) dokter
4) Dokumentasikansecara lengkap
g. Perintah DNR dapat dibatalkan dengan keputusan pasien sendiri atau dokter yang
merawat, atau oleh wali yang sah. Dalam hal ini, catatan DNR di rekam medis
harus pula dibatalkan dan pin DNR (jika ada) harus dimusnahkan.
BAB X
PANDUAN MANAJEMEN NYERI
A. Pengertian
1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan
jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang
merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan.(International Association for the Study
of Pain).
2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan
temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik
adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering
sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti.

B. Ruang Lingkup
1. Ada beberapa faktor dalam penanganan nyeri yaitu :
a. Tipe Nyeri
Pada tahun 1986, the National Institutes of Health Consensus Conference on Pain
mengkategorikan nyeri menjadi 3 (tiga) tipe yaitu
1) Nyeri akut merupakan hasil dari injuri akut, penyakit atau pembedahan
2) Nyeri kronik non keganasan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam
masa penyembuhan atau tidak progresif
3) Nyeri kronik keganasan adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau
proses penyakit lain yang progresif.
b. Respon terhadap Nyeri
Respon terhadap nyeri meliputi respon fisiologis dan respon perilaku. Untuk nyeri
akut repon fisiologisnya adalah adanya peningkatan tekanan darah (awal), peningkatan
denyut nadi, peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, dan keringat dingin. Respon
perilakunya adalah gelisah, ketidakmampuan berkonsentrasi, ketakutan dan distrees.
Sedangkan pada nyeri kronis respon fisiologisnya adalah tekanan darah normal,
denyut nadi normal, respirasi normal, pupil normal, kulit kering, dan respon
perilakunya berupa mobilisasi.
c. Ketidakaktifan fisik, menarik diri, dan putus asa, karena tidak ditemukan gejala dan
tanda yang mencolok dari nyeri kronis ini maka tugas tim kesehatan, perawat
khususnya menjadi tidak mudah untuk dapat mengidentifikasinya.
d. Hambatan dalam memberikan Manajement Nyeri yang tepat.
Ada 2 hambatan dalam manajemen nyeri yaitu :
1) Ketakutan akan timbulnya adiksi.
Seringkali pasien, keluarga, bahkan tenaga kesehatanpun mempunyai asumsi akan
terjadinya adiksi terhadap penggunaan analgetik bagi pasien yang mengalami nyeri,
adiksi sering persepsikan sama dengan pengertian toleransi dan ketergantungan
fisik. Ketergantungan fisik adalah munculnya sindrom putus zat akibat penurunan
dosis zat psikoaktif atau penghentian zat psikoaktif secara mendadak. Toleransi
adalah kebutuhan untuk terus meningkatkan dosis zat psikoaktif guna mendapatkan
efek yang sama, sedangkan adiksi adalah suatu perilaku yang merujuk kepada
penggunaan yang berulang dari suatu zat psikoaktif, meskipun telah diketahui
adanya efek yang merugikan.Ketakutan tersebut akan lebih nyata pada pasien atau
keluarga dengan riwayat penyalahgunaan alkohol atau zat psikoaktif lainnya,
mereka biasanya takut untuk mendapatkan pengobatan nyeri dengan menggunakan
analgetik apalagi bila obat itu merupakan golongan narkotika. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan mengenai hal itu,
sebagai bagian dari tim yang terlibat dalam pelayanan kesehatan perawat
semestinya mempunyai kapasitas yang cukup hal tersebut diatas.
2) Pengetahuan yang tidak adekuat dalam manajemen nyeri.
Pengetahuan yang tidak memadai tentang manajemen nyeri merupakan alasan yang
paling umum yang memicu terjadinya manjemen nyeri yang tidak memadai
tersebut, untuk itu perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan sehingga
tercipta tenaga kesehatan yang handal, salah satu terobosan yang sudah dilakukan
adalah dengan masuknya topik nyeri dalam modul PBL dalam pendidikan
keperawatan, hal ini diharapkan dapat menjadi percepatan dalam pendidikan profesi
keperawatan menuju kepada perawat yang profesional.Dalam penanganan nyeri,
pengkajian merupakan hal yang mendasar yang menentukan dalam kualitas
penanganan nyeri, pengkajian yang terus menerus harus dilakukan baik pada saat
awal mulai teridentifikasi nyeri sampai saat setelah intervensi, mengingat nyeri
adalah suatu proses yang bersifat dinamik, sehingga perlu dinilai secara berulang-
ulang dan berkesinambungan. Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk
menilai nyeri yaitu Simple Descriptive Pain Distress Scale, Visual Analog Scale
(VAS), Pain Relief Visual Analog Scale, Percent Relief Scale serta 0 – 10 Numeric
Pain Distress Scale , diantara kelima metode tersebut diatas 0 – 10 Numeric Pain
Distress Scale yang paling sering digunakan, dimana pasien diminta untuk
“merating” rasa nyeri tersebut berdasarkan skala penilaian numerik mulai angka 0
yang berarti tidak ada nyeri sampai angka 10 yang berarti puncak dari rasa nyeri,
sedangkan 5 adalah nyeri yang dirasakan sudah bertaraf sedang.

C. Tata laksana
1. Anamnesis.
a. Riwayat penyakit sekarang.
1) Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
2) Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar,
tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
3) Pola penjalaran/penyebaran nyeri
4) Durasi dan lokasi nyeri
5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual/muntah, atau gangguan keseimbangan/kontrol motorik.
6) Faktor yang memperberat dan memperingan
7) Kronisitas
8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respons terapi
9) Gangguan/kehilangan fungsi akibat nyeri/luka
10) Penggunaan alat bantu
11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar
(activity of daily living)
12) Singkirkan kemungkinan potensi emergency pembedahan, seperti adanya
fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan
dengan sindrom kauda ekuina.
b. Riwayat pembedahan/penyakit dahulu.
c. Riwayat psiko-sosial.
1) Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
2) Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien
3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri
4) Pembatasan/restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi
menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
5) Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan
program penanganan/manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan
masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi/psikofarmaka.
6) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien/keluarga.
d. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda
berat, membungkuk atau memutar; merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan
dengan nyeri punggung.
e. Obat-obatan dan alergi
1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu
studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS mengkonsumsi suplemen/
herbal, dan 36% mengkonsumsi vitamin)
2) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan
efek samping.
3) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan
dengan efek samping kognitif dan fisik.
f. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
g. Asesmen sistem organ yang komprehensif
1) Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal, neurologi,
reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan muskuloskeletal)
2) Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat
malam, dan sebagainya.
h. Asesmen nyeri
Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric Rating Scale
1) Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
2) Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
a) 0 = tidak nyeri
b) 1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
c) 4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
d) 7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)3
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri Ringan Sedang Berat

Numeric Rating Scale

i. Wong Baker FACES Pain Scale


1) Indikasi: Pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen
2) Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana yang paling
sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri
a) 0 - 1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
b) 2 – 3 = sedikit nyeri
c) 4 – 5 = cukup nyeri
d) 6 – 7 = lumayan nyeri
e) 8 – 9 = sangat nyeri
f) 10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

Wong Baker FACES Pain Scale :

Wong Baker FACES Pain Scale


j. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang, asesmen
dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa ekspresi
tubuh atau verbal akan rasa nyeri.
k. Asesmen ulang nyeri, dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam
dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
1) Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan pemeriksaan
fisik pada pasien
2) Dilakukan pada, pasien yang mengeluh nyeri, 1 (satu) jam setelah tatalaksana
nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang
menjalani prosedur menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien
pulang dari RS.
3) Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang
setiap 5 (lima) menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena
4) Pada nyeri akut /kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 (tiga puluh) menit – 1
(satu) jam setelah pemberian obat nyeri.
l. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai
menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau
bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
1) Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
3) Periksa apakah terdapat lesi/luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi,
hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
4) Perhatikan juga adanya ketidak semetrisan tulang (malalignment), atrofi otot,
fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
b. Status mental
1) Nilai orientasi pasien
2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
3) Nilai kemampuan kognitif
4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada
harapan, atau cemas.
c. Pemeriksaan sendi
1) Selalu periksa ke 2 (dua) sisi untuk menilai kesimetrisan
2) Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan
gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
3) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal/ dikeluhkan
oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak,
raut wajah meringis, atau asimetris.
4) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah ini.

Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan
kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak/bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak
mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi/palpasi), tidak menghasilkan
pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot

e. Pemeriksaan sensorik
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick), getaran, dan
suhu.
f. Pemeriksaan neurologis lainnya
1) Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau
servikal dan sakit kepala
2) Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan
klonus membutuhkan kontraksi > 4 (empat) otot.

Refleks Segmen spinal


Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medial L5
Achilles S1

3) Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi
upper motor neuron)
4) Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan melakukan
tes dismetrik (tes pergerakan jari ke hidung, pergerakan tumit ke tibia), tes
disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi).
g.Pemeriksaan khusus
1) Terdapat 5 (lima) tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi
tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 (lima)
tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
2) Kelima tanda ini adalah:
a) Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
b) Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
c) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
d) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes/pemeriksaan nyeri.
e) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat gerakan
yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi)
h. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
1). Membantu mencari penyebab nyeri akut/kronik pasien
2). Mengidentifikasi area persarafan/cedera otot fokal atau difus yang terkena
3). Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan dengan
rehabilitasi, injeksi, pembedahan, atau terapi obat.
4). Membantu menegakkan diagnosis
5). Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respons
terhadap terapi
6). Indikasi: kecurigaan saraf terjepit, mono-/poli-neuropati, radikulopati.
i. Pemeriksaan sensorik kuantitatif
1). Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
2). Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
3). Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
4). Pemeriksaan sensasi persepsi

j. Pemeriksaan radiologi
1). Indikasi:
a) Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
b) Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang,
penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
c) Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
d) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
e) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik
nyeri.
2) Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur, ketidaksegarisan
vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
3) MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi diskus,
stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi tulang
belakang, infeksi)
4) CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis spinal.
5) Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan metabolisme
tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang kecil/minimal,
keganasan primer, metastasis tulang)
k. Asesmen Psikologi
1) Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
2) Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
3) Nilai adanya dukungan sosial, interaksi social

3. Farmakologi Obat Analgesik


a. Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5%
1) Berisi lidokain 5% (700 mg).
2) Mekanisme kerja: memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal.
3) Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa adanya efek
anestesi (baal), bekrja secara perifer sehingga tidak ada efek samping sistemik
4) Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia pasca-herpetik,
neuropati diabetik, neuralgia pasca-pembedahan), nyeri punggung bawah, nyeri
miofasial, osteoarthritis
5) Efek samping: iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya lidokain
6) Dosis dan cara penggunaan: dapat memakai hingga 3 patches di area yang paling
nyeri (kulit harus intak, tidak boleh ada luka terbuka), dipakai selama <12 jam
dalam periode 24 jam.
b. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA)
1) Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%
2) Indikasi: anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak dan pada
membrane mukosa genital untuk pembedahan minor superfisial dan sebagai pre-
medikasi untuk anestesi infiltrasi.
3) Mekanisme kerja: efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal natrium saraf
sensorik.
4) Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anesthesia lokal
pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan menetap
selama 1-2 jam setelah kassa dilepas.
5) Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.
6) Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit dan
tutuplah dengan kassa oklusif.
c. Parasetamol
1) Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat dikombinasikan
dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih besar.
2) Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa dapat
diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
d. Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
1) Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang, anti-
piretik
2) Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema, dan
urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid.
3) Efek samping: gastrointestinal (erosi/ulkus gaster), disfungsi renal, peningkatan
enzim hati.
4) Ketorolak:
a) Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif untuk
nyeri sedang-berat
b) Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan dengan
opioid untuk mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek samping opioid
(depresi pernapasan, sedasi, stasis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi
multi-analgesik.
e. Efek analgesik pada Antidepresan
1) Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin
sehingga meningkatkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan aktivasi
neuron inhibisi nosiseptif.
2) Indikasi: nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik, cedera saraf
perifer, nyeri sentral)
3) Contoh obat yang sering dipakai: amitriptilin, imipramine, despiramin: efek
antinosiseptif perifer. Dosis: 50 – 300 mg, sekali sehari.
f. Anti-konvulsan
1) Carbamazepine: efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping: somnolen, gangguan
berjalan, pusing. Dosis: 400 – 1800 mg/hari (2-3 kali perhari). Mulai dengan dosis
kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.
2) Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik.
Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4
kali sehari).
g. Antagonis kanal natrium
1) Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi
2) Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan 1-
3mg/kgBB/jam titrasi.
3) Prokain: 4-6,5 mg/kgBB/hari.
h. Antagonis kanal kalsium
1) Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai
analgesik. Dosis: 1-3ug/hari. Efek samping: pusing, mual, nistagmus,
ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek samping ini bergantung dosis dan
reversibel jika dosis dikurangi atau obat dihentikan.
2) Nimodipin, Verapamil: mengobati migraine dan sakit kepala kronik. Menurunkan
kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan eskalasi dosis morfin.

i. Tramadol
1) Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping
yang lebih sedikit/ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi OAINS.
2) Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker,
osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia
pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi.
3) Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
4) Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral.
5) Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg dalam
24 jam.
6) Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama
digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terhadap
pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.
Jadwal titrasi tramadol
Protokol Dosis inisial Jadwal titrasi Direkomendasikan
Titrasi untuk
Titrasi 10-hari 4 x 50mg 2 x 50mg selama 3 hari.  Lanjut usia
selama 3 Naikkan menjadi 3 x 50mg selama 3 Risiko jatuh
hari hari.  Sensitivitas
 Lanjutkan dengan 4 x 50mg. medikasi
 Dapat dinaikkan sampai tercapai efek
analgesik yang diinginkan.
Titrasi 16-hari 4 x 25mg 2 x 25mg selama 3 hari.  Lanjut usia
selama 3 Naikkan menjadi 3 x 25mg selama 3 Risiko jatuh
hari hari.  Sensitivitas
 Naikkan menjadi 4 x 25mg selama 3 medikasi
hari.
 Naikkan menjadi 2 x 50mg dan 2 x
25mg selama 3 hari.
 Naikkan menjadi 4 x 50mg.
 Dapat dinaikkan sampai tercapai efek
analgesik yang diinginkan.

j. Opioid
1) Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat ditiadakan oleh
nalokson.
2) Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil, meperidin.
3) Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
4) Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk penatalaksanaan
nyeri akut.
5) Efek samping:
a) Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
(1) Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian secara
infus, opioid long acting
(2) Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin,antihistamin, antiemetik
tertentu)
(3) Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia,
gangguan respirasi dan peningkatan tekanan intrakranial.
(4) Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten
b) Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan menggunakan
skor sedasi, yaitu:
(1) 0 = sadar penuh
(2) 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
(3) 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah dibangunkan
(4) 3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
(5) S = tidur normal
c) Sistem Saraf Pusat:
(1) Euforia, halusinasi, miosis, kekakukan otot
(2) Pemakai MAOI : pemberian petidin dapat menimbulkan koma
d) Toksisitas metabolit
(1) Petidin (norpetidin) menimbulkan tremor, twitching, mioklonus
multifokal, kejang
(2) Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk penatalaksanaan
nyeri pasca-bedah
(3) Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal, terutama
pada pasien usia > 70 tahun
e) Efek kardiovaskular :
(1) Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume intravascular;
serta level aktivitas simpatetik
(2) Morfin menimbulkan vasodilatasi
(3) Petidin menimbulkan takikardi
f) Gastrointestinal: Mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah: hidrasi dan
pantau tekanan darah dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca-
bedah, atasi kecemasan pasien, obat antiemetic.
Perbandingan Obat-Obatan Anti-Emetik
Kategori Metoklopramid Droperidol, Ondansetron Proklorperazin,
butirofenon fenotiazin
Durasi (jam) 4 4-6 (dosis rendah) 8-24 6
24 (dosis tinggi)
Efek samping:
 Ekstrapiramidal ++ ++ - +
 Anti-kolinergik - + - +
 Sedasi + + - +
Dosis (mg) 10 0,25-0,5 4 12,5
Frekuensi Tiap 4-6 jam Tiap 4-6 jam Tiap 12 jam Tiap 6-8 jam
Jalur pemberian Oral, IV, IM IV, IM Oral, IV Oral, IM
a. Pemberian Oral:
1) Sama efektifnya dengan pemberian parenteral pada dosis yang sesuai.
2) Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
b. Injeksi intramuscular:
1) merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
2) Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya tidak dapat
diandalkan.
3) Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
c. Injeksi subkutan
1) Injeksi intravena:
2) Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
3) Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus (melalui infus).
4) Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis.
d. Injeksi supraspinal:
1) Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalic periaqueductal gray (PAG).
2) Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.
3) Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada pasien
kanker.
e. Injeksi spinal (epidural, intratekal):
1) Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis
spinal.
2) Sangat efektif sebagai analgesik.
3) Harus dipantau dengan ketat
f. Injeksi Perifer
1) Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek anestesi
lokal (pada konsentrasi tinggi).
2) Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi.
4. Klasifikasi Nyeri
a. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu.
b. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang.
c. Tentukan mekanisme nyeri:
1) Nyeri somatik:
a) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat
kima dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui
nosiseptor kulit.
b) Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat
tajam, menusuk, atau seperti ditikam.
c) Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
2) Nyeri visceral:
a) Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika
terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat
difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.
b) Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme otot
polos, distensi organ berongga/lumen.
c) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi,
bradikardia, berkeringat.
3) Nyeri neuropatik:
a) Berasal dari cedera jaringan saraf
b) Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat
disentuh), hiperalgesia.
c) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya)
d) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi
diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi/radioterapi.

5.Tata laksana pengukuran intesitas nyeri


Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang di pengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang
sulit.
a. Pengkajian nyeri pada pasien neonates (NIPS)
PENGKAJIAN NYERI
Ekspresi wajah
0- Otot-otot relaks Wajah tenang,ekspresi netral
1- Meringis Otot wajah tegang,alis berkerut,dagu dan rahang
tegang (ekspresi wajah negative-hidung,mulut alis)
Menangis
0-tidak menangis Tenang,tidak menangis
1-mengerang Merengek ringan, kadang-kadang
2-menangis keras Berteriak kencang,menaik,melengking,terus
menerus(catatan:menangis lirih mungkin di nilai jika
bayi intubasi yang di buktikan melalui gerakan mulut
dan wajah yang jelas)
Pola pernapasan
0-bernapas relak Pola bernapas bayi yang normal
1-perubahan pola pernapasan Tidak teratur,lebih cepat dari biasa, tersedak, napas
tertahan.
Lengan
0-relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot,gerakan tangan acak sekali-
sekali
1-fleksi/ekstensi Tegang,lengan lurus, kaku, dan atau ekstensi cepat
ekstensi, fleksi.
Kaki
0-relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot,gerakan kaki acak sekali-
sekali
1-fleksi/ekstensi Tegang, kaki lurus, kaku dan atau ekstensi cepat
ekstensi,fleksi.
Keadaan kesadaran
0-tidur/terjaga Tenang,tidur damai atau gerakan kaki acak yang
terjaga
1-rewel Terjaga,gelisah,meronta-ronta
b. Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut

Apakah pasien nyeri sedang/berat? tidak


Observasi rutin

ya tidak
 Saat dosis telah diberikan, lakukan
Apakah diresepkan opioid IV?
monitor
dak setiap 5 menit selama Minta untuk diresepkan
minimal 20 menit.
 Tunggu hingga 30 menit dari
ya
pemberian dosis terakhir sebelum
 Gunakan spuit 10ml
mengulangi siklus.
 Ambil 10mg morfin sulfat dan
 Dokter mungkin perlu untuk
campur dengan NaCl 0,9%
meresepkan dosis ulangan
hingga 10ml (1mg/ml)
 Berikan label pada spuit
Siapkan NaCl ATA
Ya, tetapi telah diberikan U
dosis total  Gunakan spuit 10ml
ya  Ambil 100mg petidin dan
campur dengan NaCl 0,9%
hingga 10ml (10mg/ml)
Observasi rutin  Berikan label pada spuit
tidak

Skor sedasi 0 atau 1?  Minta saran ke dokter senior


Nyeri
 Tunda dosis hingga skor sedasi <2
dan kecepatan pernapasan > 8
ya kali/menit.
ya  Pertimbangkan nalokson IV
tidak
Kecepatan pernapasan > 8 kali/menit? (100ug)
ya

Tunggu selama Tekanan darah sistolik ≥ 100 mmHg?*


tidak
5 menit ya Minta saran
kali/menit?Usia pasien < 70 tahun?

ya tidak
 Jika skor nyeri 7-10: berikan 2ml
 Jika skor nyeri 7-10: berikan 3ml
 Jika skor nyeri 4-6: berikan 1 ml
 Jika skor nyeri 4-6: berikan 2 ml
Keterangan:
Skor nyeri: Skor sedasi: *Catatan:
0 = tidak nyeri 0 = sadar penuh  Jika tekanan darah sistolik
1-3 = nyeri ringan 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah < 100mmHg: haruslah
4-6 = nyeri sedang dibangunkan dalam rentang 30% tekanan
7-10 = nyeri berat 2 = sedasi sedang, sering secara konstan darah istolik normal pasien
mengantuk, mudah dibangunkan (jika diketahui), atau carilah
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan saran/bantuan.
S = tidur normal

c. Algoritma Asesmen Nyeri Akut


Pasien mengeluh nyeri

Anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Asesmen nyeri

Apakah etiologi nyeri Prioritas utama: identifikasi


bersifat reversibel? ya dan atasi etiologi nyeri

tidak
Apakah nyeri berlangsung  Lihat manajemen nyeri
> 6 minggu? kronik.
ya
 Pertimbangkan untuk merujuk
tidak ke spesialis yang sesuai

Tentukan mekanisme nyeri (pasien


dapat mengalami > 1 jenis nyeri)

Nyeri somatic Nyeri viseral Nyeri neuropatik

Nyeri bersifat tajam, menusuk, Nyeri bersifat difus, seperti Nyeri bersifat menjalar, rasa
terlokalisir, seperti ditikam ditekan benda berat, nyeri terbakar, kesemutan, tidak
tumpul spesifik.
d. Algoritma Manajemen Nyeri Akut

3.3 Nyeri somatic Nyeri visceral Nyeri neuropatik


 Parasetamol
3.4  Kortikosteroid  Antikonvulsan
 3.5packs
Cold  Anestesi lokal intraspinal  Kortikosteroid
 3.6
Kortikosteroid  OAINS  Blok neuron
 3.7 lokal (topical / infiltrasi)
Anestesi  Opioid  OAINS
 3.8
OAINS  Opioid
 Opioid  Antidepresan trisiklik
 Stimulasi taktil (amitriptilin)

Pilih alternatif terapi yang


lainnya

 Lihat manajemen Pencegahan


nyeri kronik.
tidak  Edukasi pasien
 Pertimbangkan
ya  Terapi farmakologi
untuk merujuk ke
 Konsultasi (jika perlu)
spesialis yang Apakah nyeri >  Prosedur pembedahan
sesuai 6 minggu?  Non-farmakologi
ya
tidak

Kembali ke kotak
Mekanisme
‘tentukan
nyeri sesuai? Analgesik adekuat?
mekanisme nyeri’

tidak ya

ya
Efek samping Manajemen
pengobatan? efek samping

tidak

Follow-up /
nilai ulang
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy)
Skor Faktor Penjelasan
Diagnosis 1 = kondisi kronik ringan dengan temuan objektif minimal atau tidak
adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya: fibromyalgia, migraine,
nyeri punggung tidak spesifik.
2 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi nyeri
sedang menetap dengan temuan objektif medium. Misalnya: nyeri
punggung dengan perubahan degeneratif medium, nyeri neuropatik.
3 = kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif nyata.
Misalnya: penyakit iskemik vascular berat, neuropati lanjut, stenosis
spinal berat.
Intractability 1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara minimal dalam
(keterlibatan) manajemen nyeri
2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak sepenuhnya
terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat hambatan (finansial,
transportasi, penyakit medis)
3 = pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi respons
terapi tidak adekuat.
Risiko (R) R = jumlah skor P + K + R + D
Psikologi 1 = disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang
mempengaruhi terapi. Misalnya: gangguan kepribadian, gangguan afek
berat.
2 = gangguan jiwa / kepribadian medium/sedang. Misalnya: depresi,
gangguan cemas.
3 = komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau gangguan
jiwa yang signifikan
Kesehatan 1 = penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol berlebihan,
penyalahgunaan obat.
2 = medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat remisi psikofarmaka
3 = tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan.
Reliabilitas 1 = banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja / jadwal control,
komplians buruk
2 = terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi secara
keseluruhan dapat diandalkan
3 = sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal control, dan terapi)
Dukungan 1 = hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman dekat,
social kehilangan peran dalam kehidupan normal
2 = kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan dalam sosisl
3 = keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam kerja/sekolah,
tidak ada isolasi social
Efikasi 1 = fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski dengan
penggunaan dosis obat sedang-tinggi
2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak menggunakan opioid
dosis sedang-tinggi)
3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai dengan
dosis yang stabil.
Skor total =D+I+R+E

Keterangan:
Skor 7-13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik:

e. Algoritma Asesmen Nyeri Kronik


Pasien mengeluh nyeri

Asesmen nyeri
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan fungsi
 Pasien dapat mengalami jenis
Tentukan mekanisme nyeri nyeri dan faktor yang
mempengaruhi yang beragam

Nyeri neuropatik Nyeri otot Nyeri inflamasi Nyeri mekanis/kompresi

 Perifer (sindrom nyeri regional Nyeri miofasial  Artropati inflamasi  Nyeri punggung bawah
kompleks, neuropati HIV, (rematoid artritis)  Nyeri leher
gangguan metabolik)  Infeksi  Nyeri musculoskeletal
 Sentral (Parkinson, multiple  Nyeri pasca-oparasi (bahu, siku)
sclerosis, mielopati, nyeri pasca-  Cedera jaringan  Nyeri viseral
stroke, sindrom fibromyalgia)

tidak
Apakah nyeri kronik? Pantau dan observasi

ya

Apakah etiologinya dapat ya Atasi etiologi nyeri sesuai


dikoreksi / diatasi? indikasi

tidak

Asesmen lainnya
 Masalah pekerjaan dan disabilitas
 Asesmen psikologi dan spiritual
 Faktor yang mempengaruhi dan
hambatan
Algoritma Manajemen Nyeri
Kronik

f. Algoritma Menejemen Nyeri kronik

Prinsip level 1

 Buatlah rencana dan tetapkan tujuan

 Rehabilitasi fisik dengan tujuan fungsional

Manajemen level 1: Manajemen


Manajemenlevel
psikososial
1: dengan tujuan fungsional
Manajemen level 1: Manajemen level 1: Nyeri
mekanis/kompresi
Nyeri neuropatik Nyeri otot Nyeri inflamasi

Manajemen level 1 lainnya

 Farmakologi (skor DIRE)

 Intervensi

 Layanan primer
Pelengkap untuk mengukur
/ tambahan
pencapaian tujuan dan meninjau ulang
rencana perawatan

Tujuan terpenuhi? tidak Telah melakukan ya Manajemen level 2


manajemen level 1
 Fungsi dengan adekuat?

 Kenyamanan  Rujuk ke tim


interdisiplin, atau
ya
 hambatan tidak
 Rujuk ke klinik khusus
Rencana perawatan selanjutnya oleh manajemen nyeri
pasien

Asesmen hasil
g .Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik
1) Asesmen nyeri pada anak
 Nilai karakteristik nyeri
 Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
 Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosiseptif dan
neuropatik
 Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak

2) Diagnosis penyebab primer dan sekunder

 Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini


 Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada
 Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku

3) Pilih terapi yang sesuai

Obat Non-obat
 Analgesik  Kognitif
 Analgesik adjuvant  Fisik
 anestesi  perilaku

4) Implementasi rencana manajemen nyeri

 Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri kepada orang tua
(dan anak)
 Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
 Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
 Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
 Revisi rencana jika diperlukan
Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering digunakan untuk anak:
Obat-obatan non-opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal
4-6 jam dan hematologi minimal
Ibuprofen 5-10mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien
6-8 jam dengan gangguan hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen 10-20mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien
terbagi dalam 2 dosis dengan disfungsi renal. Dosis maksimal
1g/hari.
Diklofenak 1mg/kgBB oral, setiap 8- Efek antiinflamasi. Efek samping sama
12 jam dengan ibuprofen dan naproksen. Dosis
maksimal 50mg/kali.

Terapi non-obat10
Kognitif Perilaku Fisik
 Informasi  Latihan  pijat
 Pilihan dan control  terapi relaksasi  fisioterapi
 Distraksi dan atensi  umpan balik positif  stimulasi termal
 Hypnosis  modifikasi gaya hidup/perilaku  stimulasi sensorik
 Psikoterapi  akupuntur
 TENS (transcutaneous
electrical nerve stimulation)

Functional Pain Scale


Skala nyeri Keterangan
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas edikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon,
menonton TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton
TV, atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
*Skor normal/yang diinginkan : 0-2
4). Langkah-langkah penatalaksanaan nyeri
a) Medakamentosa
b) Intervensi pain manajemen
c) Surgical
d) Dokter yang berwenang
(1) Non opiate : yang berwenang DPJP (dokter penanggung jawab pasien )
(2) Opiate : yang berwenang dokter anastesi
5) Edukasi nyeri
Edukasi nyeri dapat diberikan kepada pasien/keluarga:
a) Penjelasan penyebab rasa nyeri,metode pengkajian,pilihan pengobatan dan -
tujuan,penggunaan obat-obat analgesic dan mengajarkan tehnik-tehnik self-help.
b) Secara teratur mempekuat konten edukjasi.
c) Memberikan edukasi tertentu sebelum perawatan khusus dan atau prosedur.
6) Evaluasi nyeri
a) Untuk kategori nyeri berat (penilaian berskala nyeri 7-10) perawat melakukan
evaluasi nyeri setiap 1 jam setelah DPJP menatalaksana nyeri pada pasien. Jika pasien
masih mengeluh nyeri perawat melaporkan ke dokter jaga untuk mengkonsultasikan
ke dokter Anastesi/DPJP.
b) Untuk kategori nyeri sedang (penilaian skala nyeri 4-6 ) perawat akan melakukan
evaluasi nyeri setiap 2 jam setelah DPJP menatalaksana nyeri pada pasien. Jika pasien
masih mengeluh nyeri perawat melaporkan ke dokter jaga.
c) Untuk kategori nyeri ringan (penilaian skala nyeri 1-3) atau tidak ada nyeri perawat
akan melakukan evaluasi nyeri setiap 8 jam sekali (setiap shif).
7) Prosedur pengelolaan nyeri di rawat inap atau rawat jalan.
a) Mengindentifikasi rasa nyeri setiap pasien yang masuk ke RSIA Herawaty oleh
dokter atau perawat atau bidan.
b) Pengkajian awal nyeri dilakukan pada saat pengkajian fisik pasien yang menjadi
pengkajian awal.
c) Pengkajian ulang dilakukan sesuai dengan skala nyeri pasien dan setiap terjadi
perubahan kondisi pasien.
d) Penatalaksanaan terhadap semua pasien (dewasa, neonates, anak atau pasien tidak
sadar) dilakukan sesuai skala penilaian derajat nyeri masing-masing.
e) Pelaksanaan evaluasi nyeri berat dilakukan setelah 1 jam DPJP mengelola rasa nyeri
pasien.
f) Pelaksanaan evaluasi sedang dilakukan setelah 2 jam DPJP mengelola rasa nyeri
pasien.
g) Pelaksanaan evalusai ringan dilakukan setelah 8 jam DPJP mengelola rasa nyeri
pasien.
h) Pelaporan ke DPJP atau dokter jaga oleh perawat,bila penilaian nyeri pasien belum
mengalami perubahan nyeri berat evaluasi setelah 1 jam,nyeri sedang evaluasi setelah
2 jam,nyeri ringan evaluasi setelah 8 jam untuk melakukan konsultasi ke dokter jaga
anastesi melalui DPJP.
i) Penanganan nyeri oleh dokter anastesi dilaksanakan sampai nyeri berkurang dengan
skor nyeri < 4.
j) Penatalaksanaan kembali ke no.3,jika pasien kembali mengalami nyeri.
k) Pendokumentasian : skala nyeri, lokasi nyeri, jenis tatakelola nyeri oleh
perawat/dokter,efektifitas dari tatakelola yang telah dilakukan.
l) Pelaksanaan edukasi dilakukan oleh perawat dan didokumentasikan dalam rekam
medis.
8) Unit yang terkait
a) UGD
b) Rawat Jalan
c) Rawat Inap
d) Komite Medic
BAB XI
PANDUAN PELAYANAN PASIEN TERMINAL
A. Pengertian
1. Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi bagi si
sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu
kecelakaan.
2. Menjelang Ajal (dying)
Secara etiologi berasal dari kata “dying” yang berarti mendekati kematian.Menjelang
ajal (dying) adalah proses ketika individu mendekati akhir hayatnya atau disebut
kematian.
3. Meninggalatau Kematian
Meninggal adalah pasien yang didiagnosa telah meninggal oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung terhenti. (P.J.M.Stevens,
dkk, 282, 1999)
Pasien pada tahap terminal (proses meninggal) mempunyai kebutuhan khusus untuk dilayani
penuh hormat dan kasih. Pemberian pelayanan pada pasien tahap terminal termasuk :
a. Pemberian pengobatan yang sesuai dengan gejala dan permintaan pasien dan keluarga.
b. Menghargai nilai yang dianut pasien, agama dan preferensi budaya.
c. Mengikutsertakan pasien dan keluarganya dalam semua aspek pelayanan.
d. Memberi respon pada hal psikologis, emosional, spiritual dan budaya dari pasien dan
keluarganya.
RS memastikan pemberian asuhan yang tepat bagi pasien yang kesakitan atau dalam proses
kematian dengan cara :
a. Melakukan intervensi untuk mengurangi rasa nyeri dan gejala primer atau sekunder
b. Mencegah gejala-gejala dan komplikasi sejauh yang dapat diupayakan
c. Melakukan intervensi dalam masalah psikososial, emosional dan spiritual dari pasien
dan keluarga, menghadapi kematian dan kesedihan.
d. Melakukan intervensi kepada pasien dan keluarga didasarkan pada agama/ kepercayaan
dan budaya.
e. Pasien dan keluarga terlibat dalam mengambil keputusan terhadap asuhan.

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari panduan pasien terminal menjelang ajal dan meninggal meliputi :
1. Unit Terkait
2. Tahapan pasien Terminal
3. Tanda – tanda klinik menjelang kematian.
4. Asuhan keperawatan pasien terminal
5. Hak-hak pasien terminal
6. Bantuan Perawat untuk pasien terminal
7. Faktor – faktor yang perlu dikaji oleh perawat
8. Diagnosa Keperawatan
9. Intervensi
10. Evaluasi
11. Setelah Kematian
C. Tata Laksana
1. Ruang Rawat Inap
Pada Unit Rawat Inap, perawatan pasien terminal dilaksanakan oleh perawat dengan
keluarga pasien. Rohaniwan dibutuhkan atas permintaan pasien dan/atau keluarga pasien.
Pasien yang diidentifikasi akan mengalami kematian adalah pasien yang mengalami
penurunan fungsi otak yang hebat, disertai penurunan fungsi organ yang lainnya. Apabila
pasien tidak mengizinkan pemberi pelayanan kesehatan untuk mencoba menyelamatkan
hidup mereka, maka keputusan ini harus dihormati, tetapi fokus memberi pelayanan
(dokter, perawat, dst)tetap pada usaha penyembuhan.
2. Tahap – tahap Pasien Terminal
Menurut Kubler – Rosa (1969), tahap – tahap menjelang ajal (dying) ada 5 tahap, yaitu :
a. Menolak/Denial
Pada fase ini, pasien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi, dan
menunjukkan reaksi menolak.
b. Marah/Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi pasien mengancam kehidupannya dengan segala hal
yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita – citanya.
c. Menawar/Bargaining
Pada tahap ini kemarahan biasanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan
kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.
d. Kemurungan/Depresi
Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis.Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien yang
sedang melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
e. Menerima/Pasrah/Acceptance
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh pasien dan keluarga tentang
kondisi yang terjadi dan hal – hal yang akan terjadi yaitu kematian.Fase ini sangat
membantu apabila klien dapat menyatakan reaksi – reaksinya atau rencana – rencana
yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya : ingin bertemu dengan keluarga
terdekat, menulis surat wasiat.
3. Tanda – Tanda Klinik Menjelang Kematian.
a. Kehilangan Tonus Otot, ditandai :
1) Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
2) Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
3) Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai : nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi, dsb.
4) Penurunan control spinkter urinary dan rectal.
5) Gerakan tubuh yang terbatas.
b. Kelambatan dalam sirkulasi, ditandai :
1) Kemunduran dalam sensasi.
2) Cyanosis pada daerah ekstermitas.
3) Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
c. Perubahan – perubahan dalam tanda – tanda vital.
1) Nadi lambat dan lemah.
2) Tekanan darah turun.
3) Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
d. Gangguan Sensoria.
1) Penglihatan kabur.
2) Gangguan penciuman dan perabaan.
e. Perubahan fisik saat menjelang kematian :
1) Sirkulasi melambat/ekstremitas dingin.
2) Tonus otot menurun.
3) Perubahan TTV.
4) Berkemih dan defekasi dengan tidak sengaja.
5) Pasien kurang responsif.
6) Kulit memucat.
7) Pendengaran adalah indera yang terakhir.
8) Petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu :
a) Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b) Tidak adanya gerak dari otot, khususnya paernafasan.
c) Tidak ada reflek.
d) Gambaran mendatar pada EKG.
4. Asuhan Keperawatan PasienTerminal
Asuhan keperawatan pasien terminal dengan memperhatikan :
a. Peningkatan Kenyamanan.
1) Kenyamanan pasien menjelang ajal termasuk pengenalan dan peredaan distres
psikobiologis.
2) Perawat memberi berbagai tindakan penenangan pasien terminal. Kontrol nyeri
terutama penting karena nyeri mengganggu tidur, nafsu makan, mobilitas, dan
fungsi psikologis.
3) Higiene personal adalah bagian rutin dari mempertahankan kenyamann pasien
dengan penyakit terminal.
b. Pemeliharaan Kemandirian.
1) Mengizinkan pasien untuk melakukan tugas sederhana seperti mandi dan
makan,untuk mempertahankan martabat dan rasa makna diri.
2) Ketika pasien tidak mampu secara fisik untuk melakukan perawatan diri, perawat
dapat memberikan dorongan dengan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
untuk memberikan rasa kontrol diri pasien.
3) Perawat mencari isyarat non-verbal yang menunjukan ketidakinginan
berpartisipasi dalam perawatan.
4) Perawat tidak boleh memaksakan partisipasi, terutama jika ketidakmampuan
secara fisik membuat partsipasi menjadi sulit.
c. Pencegahan Kesepian dan Isolasi.
1) Untuk mencegah kesepian dan penyimpangan sensori, perawat mengintervensi
untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
2) Pasien menjelang ajal tidak harus secara rutin ditempatkan dalam ruang tersendiri
di lokasi yang sangat jauh.
3) Pasien merasakan keterlibatan ketika dirawat bersama dan memperhatikan
aktivitas perawat.
4) Pasien menjelang ajal dapat merasa sangat kesepian terutama pada malam hari
dan mungkin merasa lebih aman jika seseorang tetap menemaninya di samping
tempat tidur.
5) Perawat harus mengetahui cara menghubungi anggota keluarga jika kunjungan
diperlukan atau kondisi pasien memburuk.
6) Pasien harus ditemani oleh seseorang ketika terjadi kematian.
7) Perawat tidak boleh merasa bersalah jika tidak dapat selalu memberikan
dukungan ini.
8) Perawat harus mencoba untuk berada bersama pasien menjelang kematian ketika
diperlukan dan memperlihatkan perhatian dan keharuan
d.Peningkatan Ketenangan Spiritual.
1) Memberikan ketenangan spiritual mempunyai arti lebih besar dari sekedar
kunjungan rohaniawan.
2) Perawat memberi dukungan kepada pasien dalam mengekspresikan filosofi
kehidupan.
3) Perawat dan keluarga mendengarkan dan mendorong pasien untuk
mengekspresikan tentang nilai dan keyakinan.
4) Perawat dan keluarga berkomunikasi, bersimpati, berdoa, membaca literatur yang
memberi inspirasi, serta memainkan musik.
5) Perawat harus mengenali nilai anggota keluarga sebagai sumber dan membantu
mereka untuk tetap berada dekat pasien menjelang ajal.
e. Hak – Hak Pasien Terminal
Dalam memberikan pelayanan pasien terminal, perawat harus memperhatikan hak
hakpasien yaitu :
1) Hak diperlakukan sebagaimana manusia yang hidup sampai ajal tiba,
2) Hak mempertahankan harapannya, tidak peduli apapun perubahan yang terjadi,
3) Hak mendapatkan perawatan yang dapat mempertahankan harapannya, apapun
yang terjadi.
4) Hak mengekspresikan perasaan dan emosinya sehubungan dengan kematian yang
sedang dihadapinya,
5) Hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan denganperawatan,
6) Hak memperoleh perhatian dalam pengobatan dan perawatan secara
berkesinambungan, walaupun tujuan penyembuhannya harus diubah menjadi
tujuan memberikan rasa nyaman,
7) Hak untuk tidak meninggal dalam kesendirian,
8) Hak untuk bebas dari rasa sakit,
9) Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaannya secara jujur,
10) Hak untuk memperoleh bantuan dari perawat atau medis untuk keluarga yang
ditinggalkan agar dapat menerima kematiannya.
f. Bantuan Perawat untuk Pasien Terminal
Yang dilakukan oleh perawat pada pasien terminal, adalah
1) Bantuan Emosional
a) Pada Fase Denial
Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
menanyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaannya.
b) Pada Fase Marah
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya
yang marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih
merupakan hal yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang
kamatian. Akan lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai
orang yang dapat dipercaya, memberikan rasa aman dan akan menerima
kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien
dalam menumbuhkan rasa aman.
c) Pada Fase Menawar
Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong
pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut
yang tidak masuk akal.
d) Pada Fase Depresi
Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal
yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non
verbal dari pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
e) Pada Fase Penerimaan
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai.Kepada keluarga dan
teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima
keadaanya dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program
pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya sendiri sebatas
kemampuannya.
g. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
1) Kebersihan Diri
Kebersihan dilibatkan untuk mampu melakukan kebersihan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan, dan sebagainya.
2) Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan sakit
terminal, seperti morphin, heroin, dan lainnya.Pemberian obat ini diberikan sesuai
dengan tingkat toleransi nyeri yang dirasakan pasien.Obat-obatan lebih baik
diberikan Intra Vena dibandingkan melalui Intra Muskular/Subcutan, karena
kondisi sistem sirkulasi sudah menurun.
3) Membebaskan Jalan Nafas
Untuk pasien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan
pengeluaran sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas,
sedangkan bagi pasien yang tidak sadar, posisi yang baik adalah dengan dipasang
drainase dari mulut dan pemberian oksigen.
4) Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, pasien dapat dibantu untuk bergerak, seperti:
turun dari tempat tidur, ganti posisi tidur (miring kiri, miring kanan) untuk
mencegah decubitus dan dilakukan secara periodik, jika diperlukan dapat
digunakan alat untuk menyokong tubuh pasien, karena tonus otot sudah menurun.
5) Nutrisi
Pasien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik.Dapat
diberikan anti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta
pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin.Karena terjadi tonus otot
yang berkurang, terjadi dysphagia, perawat perlu menguji reflek menelan klien
sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau Intra
Vena/Invus.
6) Eliminasi
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinen urin dan feses.Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah
konstipasi.Pasien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur
atau dipasang duk yang diganti setiap saat atau dilakukan kateterisasi.Harus dijaga
kebersihan pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan
salep.
h. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial
Pasien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi kebutuhan
kontak sosialnya, perawat dapat melakukan:
1) Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan pasien
dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau anggota
keluarga lain.
2) Menggali perasaan-perasaan pasien sehubungan dengan sakitnya dan perlu
diisolasi.
3) Menjaga penampilan pasien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan teman-
teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan pasien untuk membersihkan diri dan
merapikan diri.
4) Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak orang
lain dan membawa buku-buku bacaan bagi pasien apabila pasien mampu
membacanya.
i. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual
1) Menanyakan kepada pasien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana
pasien selanjutnya menjelang kematian.
2) Menanyakan kepada pasien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk
memenuhi kebutuhan spiritual.
3) Membantu dan mendorong pasien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya.
4) DPJP mengadakan family meeting dengan keluarga pasien di ruangan.
j. Faktor – faktor yang perlu dikaji oleh perawat
1) Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal pasien diharapkan pada berbagai masalah
pada fisik.Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain perubahan pada penglihatan,
pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda – tanda vital, mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada pasien, pasien
mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan – bulan sebelum terjadi
kematian.Perawat harus respek terhadap peru perubahan fisik yang terjadi pada
pasien terminal karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan
kemampuan pasien dalam pemeliharaan diri.
2) Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus
peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali tahap
– tahap menjelang ajal yang terjadi pada pasien terminal.
3) Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien dalam kondisi terminal, karena
pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak ingin
berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya. Ketidak yakinan
dan keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat harus bisa
mengenali tanda pasien mengisolasi diri, sehingga pasien dapat memberikan
dukungan sosial bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu
menemani pasien.
4) Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan pasien akan proses kematian,
bagaimana sikap pasien menghadapi saat – saat terakhirnya, apakah semakin
mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat
juga harus mengetahui di saat – saat seperti ini apakah pasien mengharapkan
kehadiran tokoh agama untuk menemani disaat saat terakhirnnya.
Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian pasien terminal nilai,
sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang
mempengarui reaksi pasien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi
individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi kematian atau
menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien terminal
berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus
dihindari.Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi
dukungan. Perawat harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan –
keyakinan spiritual. Perawat harus sensitif terhadap kebutuhan ritual pasien yang
akan menghadapi kematian, sehingga kebutuhan spiritual pasien menjelang
kematian dapat terpenuhi.
k. Diagnosa Keperawatan
1) Asientas (ketakutan individu, keluarga) yang berhubungan diperkirakan dengan
situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut
akan kematian dan efek negatif pada gaya hidup.
2) Berduka yang berhubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi,
penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
3) Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
keluarga, takut akan hasil (kematian) dengan lingkungannya penuh dengan stress
(tempat perawatan).
4) Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari sistem
pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam
menghadapi ancaman kematian.
l. Evaluasi
1) Pasien merasa nyaman dan mengekspresikan perasaannya pada perawat.
2) Pasien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan.
3) Pasien selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu bertawakal
4) Pasien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa akan kembali
kepadanya.
m. Setelah kematian
Setelah dokter mengatakan pasien tersebut sudah dinyatakan meninggal, dokter
memberikan penjelasan kepada keluarga pasien dan perawat mendekati keluarga dan
memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mendekati jenazah dan setelah itu
melakukan perawatan jenazah, selanjutnya dikirim ke kamar jenazah sesuai SPO dan
diagnosa dari pasien tersebut.
BAB XII
PANDUAN KOMPLAIN DI RSIA HERAWATY

A. Pengertian
1. Pasien
Pasien merupakan konsumen bagi sebuah RS yang berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan professional.Selain itu juga pasien berhak mendapatkan
perlindungan atas pelayanan yang diterimanya dari petugas kesehatan. Pasien juga
memiliki kewajiban untuk mentaati segala aturan yang diberlakukan RS, pasien RSIA
Herawaty adalah masyarakat umum.
2. Komplain/Keluhan
Adalah saran dan masukan berupa kritikan dan atau keberatan yang disampaikan secara
lisan ataupun tertulis dari pihak eksternal maupun internal RS mengenai kinerja yang
dihasilkan oleh RS
3. Pasien Komplain
adalah Suatu tindakan/keluhan yang dilakukan pasien berkaitan dengan :
a. Pelayanan Medik
b. Pelayanan dan etika keperawatan
c. Pelayanan sarana dan prasarana system dll

B. Ruang lingkup
1. Identifikasi keluhan, pencarian alternatif solusi, pemilihan solusi, penerapan solusi dan
penyelesaian keluhan yang terkait dengan pelayanan rawat inap, rawat jalan, IGD dan
pelayanan unsur pendukung RS atau pelayanan di RSIA Herawaty secara menyeluruh.
2. Media yang membantu dalam menjembatani komplain antara pasien dan RS, misal :
a. Melalui media angket, selebaran, kuisioner
b. Proses distribusi dilakukan oleh Unit Marketing dan diletakkan di Rekam Medis
(Pendaftaran Rawat Jalan), setiap ruangan Rawat Inap , di UGD, Rawat Jalan
3. Unit Marketing yang melakukan pengelolaan data.
4. Unit Marketing yang melakukan atau bertugas untuk penyelesaian komplain
5. Dalam pelaksanaan penyelesaian komplain yang melakukan proses Identifikasi keluhan,
pencarian alternative solusi, pemilihan solusi, penerapan solusi dan penyelesaian
keluhan untuk Pelayanan yang terjadi di Rawat Inap, Rawat Jalan dan UGD,
dilaksanakan oleh unit Marketing.
6. Pelaksanaan penyelesaian komplain pelanggan, dapat dilakukan dan ditangani dalam
kurun waktu 24 jam atau waktu tertentu saja.

C. Tata Laksana
1. Prinsip Komplain
RSIA Herawaty, harus selalu siap dalam menghadapi komplain dari pasien, hal ini untuk
memperoleh pelayanan yang bermutu serta memberikan kepuasan pasien dalam
pelayanan RS maka prinsip dalam pengelolaan komplain adalah :
a. Menyediakan sarana untuk penyampaian komplain berupa email ke Manager
Marketing, kotak saran atau formulir untuk pengisian komplain yang diserahkan
kebagian Pendaftaran.
b. Komplain segera ditindak lanjuti dengan bagian yang berkonflik
c. Seluruh komplain dilaporkan kepada Pimpinan RS
Cara pandang yang positif, bahwa complain adalah suatu bentuk kepedulian
pasien, untuk memperoleh pelayanan yang bermutu
2. Bentuk/Klasifikasi komplain (Keluhan)
a. Keluhan yang disebabkan oleh pelayanan Medik
b. Keluhan yang disebabkan oleh pelayanan keperawatan (Etik Keperawatan)
c. Keluhan yang disebabkan oleh sarana, prasarana (Umum)
3. Alasan terjadinya komplain yaitu berupa :
a. Ketidak tahuan
b. Ketidak pastian
c. Kesalahpahaman
d. Ketidakpuasan
e. Melanggar aturan yang dibuat RSIA Andhika
4. Penyampaian komplain dapat melalui :
a. Secara lisan dapat berupa :
1) Telepon
2) Langsung datang
b. Secara tulisan dapat melalui :
1) Kotak saran
2) Surat lewat pos
c. SMS
d. EmaiL
e. Media masa (Koran, majalah)
5. Strategi menghadapi komplain
a. Dengarkan
1) Biarkan pasien melepaskan kemarahannya. Cari fakta inti permasalahannya,
jangan lupa bahwa pada tahap ini kita berurusan dengan perasaan dan
emosi, bukan suatu yang rasional. Emosi selalu menutupi maksud pasien
yang sesungguhnya.
2) Dengarkan dengan empati, bayangkan kita berada dalam posisi pasien yang
lelah, gelisah, sakitkhawatir akan vonis dokter, dll.
3) Tatap mata pasien dan fokus, jauhkan semua hal yang merintangi
konsentrasi kita pada pasien (telepon, terima tamu dll)
4) Ulangi setiap fakta yang dikemukakan pasien, sebagai tanda kita benar-
benar mendengarkan mereka.
b. Berusaha sependapat dengan pasien
Bukan berarti kita selalu membenarkan pasien, namun sebagai salah satu taktik
meredakan marahnya pasien, kita mencari point-point dalam pernyataan pasien
yang bias kita setujui. Misalnya, “Ya Pak, saya sependapat bahwa tidak
seharusnya pasien menunggu lama untuk bisa mendapat kamar. Tapi saat ini
kamar perawatan kami memang sedang penuh, kami berjanji akan mencarikan
jalan keluarnya dan melaporkannya pada Bapak sesegera mungkin, “.
c. Tetap tenang dan kuasai diri,
1) Ingatlah karakteristik pasien diRS adalah mereka yang sedang cemas,
gelisah dan khawatir akan kondisi diri atau keluarganya, sehingga sangat
bisa dimengerti bahwa dalam kondisi seperti itu seseorang cenderung
bertindak emosional.
2) Berhati-hati dengan nada suara, harus tetap rendah, positif dan
menenangkan. Jangan terbawa oleh nada suara pasien yang cenderung tinggi
dan cepat.
3) Sampaikan informasi dengan sopan dan pelan-pelan.
4) Tetap gunakan kata-kata hormat seperti silakan, terima kasih atas
masukkannya, dan sebut pasien dengan namanya.
d. Mengakui kemarahan pasien.
Gunakan kata-kata seperti, “Saya mengerti kalau Ibu menjadi marah. Ibu benar.
Kalau saya jadi Ibu, mungkin saya juga akan marah. Saya berjanji hal seperti ini
tidak akan terjadi lagi di kemudian hari”
e. Permohonan maaf.
1) Dalam rangka meredakan marah pasien kita harus meminta maaf apapun
yang terjadi.
2) Permohonan maaf dapat dapat disampaikan tanpa harus mengakui
kesalahan, karena seringkali terjadi kesalahan justru ada pada pasien yang
belum memahami peraturan.
Misalnya, “Saya mohon maaf atas kesalah pahaman ini,”, “Saya mohon
maaf atas kesulitan yang telah Ibu alami,”.
f. Perlihatkan empati.
1) Simpati: Berhenti pada rasa kasihan. “Saya simpati dengan korban bencana
alam.”
2) Empati: Memahami masalah pasien dan berusaha melakukan sesuatu untuk
memperbaiki.
3) Pahami persepsi pasien dan tempatkan diri pada posisi pasien.
g. Yang Tidak Boleh Dilakukan:
1) Jangan berdebat.
2) Ingat bahwa saat ini kita masih dalam proses meredakan kemarahan pasien.
3) Kesempatan untuk menjelaskan fakta dan kebenaran akan datang setelah
pasien reda dan menjadi lebih logis dan rasional.
4) Jangan bertanya “Kenapa?”.
“Kenapa Ibu tidak datang lebih pagi?”
“Kenapa kartu pasien Ibu bisa hilang?”
5) Pertanyaan seperti itu cenderung meningkatkan kemarahan pasien karena
mereka merasa disalahkan.
6) Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan atau mematuhi persepsi kita.
Ingat-ingat konsep 12 (Dua Belas) Tabu
7) Menyalahkan Pasien. “Jangan marah-marah dulu dong Bu, Ibu sendiri kan
yang datang terlambat,”
8) Sarkastik (sinis). “Bisa saja hal ini kita lakukan, tapi biayanya cukup besar
lho Pak,”
9) Menjelekkan pihak lain. “Iya, memang perawat itu orangnya judes,”
10) Memotong pembicaraan pasien.
11) Memberikan isyarat non-verbal yang berlawanan dengan perkataan (verbal).
“Ya, saya kan membantu semaksimal mungkin,” dengan ekspresi datar atau
jemu.
12) Melempar ke pihak lain. “Wah itu urusan bagian billing Bu.”.
13) Menggunakan kata-kata klise. “Ini peraturan bakunya,”. RS lain pasti lebih
sulit,”
14) Hindari humor. Humor bisa dilakukan nanti saat masalah sudah selesai dan
emosipasien sudah sepenuhnya reda.
15) Minta dikasihani. “Mohon maklum Bu, saya sedang ada masalah keluarga,”.
“Kalauatasan saya tahu, saya bisa kehilangan pekerjaan,”
16) Pukul rata masalah dan menganggap complain tersebut adalah hal biasa.
Pasienakan merasa heran karena perusahaan mengambil langkah untuk
memperbaiki masalah yang sudah biasa ini.
17) Mencari-cari kesalahan pasien. “Ya memang kami lalai begini, tapi kan
Bapak juga nggak lapor dulu,”
18) Memakai istilah medis yang tidak dimengerti orang awam.
h. Memecahkan Permasalahan
1) Identifikasi
a) Tentukan Pokok Permasalahan, coba dapatkan detilnya untuk membantu
mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Cara yang paling efektif
adalah dengan bertanya langsung. “Jam berapa appointment yang Ibu
buat?”, “Berapa nomor antrian yang Ibu dapatkan?”
b) Pada akhir pembicaraan seharusnya sudah ada jawaban atas tiga
pertanyaan berikut:
(1) Apa yang terjadi sehingga pasien marah?
(2) Perlakuan apa yang diterima pasien?
(3) Apa yang pasien inginkan?
2) Akses
Pada tahap ini kita sudah memahami permasalahan pasien dan sudah bisa
membayangkan bagaimana pemecahannya. Yang perlu dipertimbangkan
adalah:
a) Pengaruh munculnya masalah ini pada orang banyak dan pada RS.
b) Resiko cost: biaya, waktu dan tenaga
c) Ketidaknyamanan pasien
3) Negosiasi
Lakukan komunikasi dengan pasien tentang hal-hal yang mungkin bisa
disepakati antara pihak RS dan pasien yang menjadi permasalahan atau yang
di komplain
4) Aksi
Proses ini berdasar pada “APA dan KAPAN”.
Pasien harus tahu “apa” yang akan terjadi pada keluhan mereka setelah
mereka menyampaikan keluhannya, dan “kapan” hal itu akan dilaksanakan.
Tentukan jangka waktu yang realistis, lebih baik kita mempunyai banyak
waktu dalam merealisasikan janji kita. Bila ternyata sampai pada deadlinenya
janji belum bisa terealisasi, segera hubungi pasien dan jelaskan
permasalahannya
D. Pengelolaan Komplain
1. Keluhan/pengaduan Pasien (keluarganya) umumnya diterima lebih dahulu oleh
pihak yang berhubungan dengan pasien seperti Rekam Medis (Pendaftaran
Rawat Jalan), ruang rawat inap, ruang rawat jalan, UGD, dll . Dilanjutkan ke
Kepala Unit (bila pada jam kerja) dan kemudian diteruskan ke Bagian Marketing
bila masalah tidak selesai. Marketing memilah dari jenis komplain untuk Medis
akan di teruskan ke Manager Pelayanan Medis dan Non Medis ke Manager
Marketing
a. Keluhan disampaikan pasien secara langsung, maka terima pasien dengan baik,
tanyakan identitas, maksud dan tujuannya terlebih dahulu serta persilakan duduk di
ruang tunggu kemudian beritahukan hal tersebut kepada Bagian Marketing agar
dapat segera ditangani.
b. Keluhan disampaikan pasien melalui telepon, maka terima telepon dari pasien
dengan baik tanyakan identitas, maksud dan tujuannya terlebih dahulu dan
informasikan keluhan tersebut kepada Bagian Marketing agar dapat segera ditangani.
c. Keluhan disampaikan pasien melalui surat, terima surat dari pasien dan teruskan
surat tersebut sesuai dengan tujuannya ke Bagian Marketiing .Jika keluhan pasien
melalui kotak saran, kotak saran harus terkunci dan hanya dapat dibuka oleh petugas
yang berwenang (bagian Marketing). Setiap hasil kotak saran dikumpulkan dan
diseleksi oleh bagian Marketing.
d. Inventarisasi permasalahannya yang disampaikan pasien kedalam beberapa
klasifikasi keluhan sebagai berikut :
1) Keluhan yang disebabkan oleh proses Operasional (Kwalitas produk, Pendaftaran
Pasien).
2) Keluhan yang disebabkan oleh proses pelayanan (Time delivery, administrasi dan
umum)
3) Keluhan Lain-lain.
2. Unit Marketing mencatat setiap keluhan pasien ke dalam buku regitrasi keluhan
pasien, untuk ditemukan solusinya.
3. Pasien atau keluarga mengisi formulir keluhan pasien dan menyerahkan ke Penata
Rekening.
4. Serahkan Formulir Penanganan Keluhan yang dilampirkan bersama-sama dengan
berkas dokumen pendukungnya kepada Bagian Marketing agar dapat dilakukan dan
ditindak lanjuti.
5. Menerima Laporan dari unit pelayanan pasien berikut
dengan berkas pendukungnya serta memeriksa dan
mengindentifikasi pokok permasalahannya.
6. Mendistribusikan permasalahan tersebut kepada pihak-pihak terkait untuk
mendapatkan alternatif solusi
a. Medis akan di teruskan ke Manager Pelayanan Medis dan dilaporkan ke
Direktur Medis
b. Non Medis akan diteruskan ke Manager Marketing dan Manager Terkaitdi
teruskan ke Direktur Umum dan Keuangan.
7. Memutuskan solusi terbaik yang dapat ditempuh dan menyerahkan kepada Direktur
Utama RS untuk diperiksa
8. Menerima dan memeriksa laporan penanganan keluhan serta melakukan analisa
permasalahan yang ada.
9. Menjalankan penyelesaian masalah sesuai dengan keputusan yang telah diambil,
serta menyerahkan jawaban tertulis mengenai penanganan keluhan kepada
pasien terkait untuk mendapatkan umpan balik.
10. Mendapatkan umpan balik dari Pasien terkait mengenai tindakan penyelesaian
masalah tersebut, sebagai alat mencegah terjadinya masalah yang sama dan sebagai
bahan masukan untuk perbaikan kinerja RS secara lebih lanjut.
11. Melakukan Pencatatan Penilaian Pasien ke dalam formulir Survey Kepuasan Pasien
dan pengarsipan atas Dokumen penanganan keluhan serta umpan balik pasien dari
berkas terkait lainnya
ALUR PENANGANAN KOMPLAIN PASIEN
RSIA HERAWATY

Keluhan Pasien dan Keluarga


 Secara Lisan
 Secara Tertulis melalui SMS, Quisioner, Surat,
atau email

KEPALA UNIT
( Perawat Ruangan)

Selesai Tidak
Selesai

Marketing
Selesai dalam
1 hari kerja
Selesai Tidak
Selesai

Manager Marketing & Manager


Manager Terkait Pelayanan Medis
(non medis) (medis)

Selesai Tidak Selesai Tidak


Selesai Selesai
Direktur Umum Direktur
dan Keuangan Medis

Selesai Selesai Tidak Selesai Tidak


dalam 1 hari Selesai Selesai
kerja

Direktur Utama

Selesai Tidak
Selesai

Konsultan

Selesai Tidak
Selesai

Mediasi

Selesai Tidak
Selesai

Pengadilan
BAB XIII
PANDUAN PERSETUJUAN/PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN
(INFORMED CONSENT/IC)
A. Pengertian
Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapatkan informasi dan
consent berarti persetujuan yang dimaksud dengan informed consent dalam profesi
kedokteran adalah pernyataan setuju atau izin dari seorang pasien yang diberikan bebas,
rasional, tanpa paksaan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya
sesudah mendapatkan informasi cukup tentang kegiatan kedokteran yang dimaksud.
Definisi/pengertian berikut ini adalah yang terkait dengan pelaksanaan Persetujuan tindakan
Kedokteran (Informed Consent ).
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Tindakan kedokteran yang selanjutnya adalah suatu tindakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitative yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien.
3. Dokter adalah dokter, dokter spesialis, lulusan pendidikan Kedokteran baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
4. Tindakan Kedokteran adalah tindakan yang bersifat diagnostik terapeutik yang dilakukan
kepada pasien.
5. Tindakan Invasif adalah tindakan kedokteran langsung yang dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh.
6. Dokter adalah dokter umum, dokter spesialis, yang bekerja di RSIA Herawaty.
7. Orang Tua adalah ayah dan ibu ;
a. Ayah : • Ayah kandung.
 Ayah angkat yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Ibu : • Ibu kandung.
• Ibu angkat yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan.
• memberikan persetujuan/penolakan apabila ayah tidak ada atau
berhalangan
c. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
8. Suami adalah seorang laki-laki yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang wanita
berdasarkan peraturan Undang-Undang yang berlaku.
9. Istri adalah seorang wanita dalam ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki
berdasarkan peraturan Undang-Undang yang berlaku. Apabila yang bersangkutan
mempunyai lebih dari satu istri, persetujuan/penolakan dapat dilakukan oleh salah satu
dari mereka.
10. Wali adalah orang yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa,
untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum
menggantikan kedudukan orang tua.
11. Induk Semang adalah orang yang wajib mengawasi dan ikut bertanggung jawab
terhadap pribadi orang lain seperti pemimpin asrama anak perantauan atau kepala rumah
tangga dari seorang pembantu rumah tangga yang belum dewasa.
12. Gangguan mental adalah sekelompok gejala psikologis atau perilaku yang secara klinis
menimbulkan penderitaan dan gangguan dalam fungsi kehidupan seseorang, meliputi
gangguan mental berat, retardasi mental sedang, retardasi mental berat, dementia senilis.
13. Pasien Gawat Darurat adalah pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau
akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi
cacat) bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya.
14. Pengampu adalah orang atau badan yang ditetapkan pengadilan sebagai pihak yang
mewakili kepentingan seseorang tertentu (dalam hal ini pasien) yang dinyatakan berada
di bawah pengampuan (curatele).

B. Tujuan
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/menkes/per/ III/2008 pasal 3).

C. Ruang Lingkup
a. Ruang lingkup panduan ini meliputi :
1) Dasar hukum.
2) Tujuan persetujuan tindakan kedokteran (Informed Consent).
3) Yang berhak memberikan informasi/penjelasan.
4) Yang berhak memberikan persetujuan/penolakan.
5) Informas /Penjelasan.
6) Syarat persetujuan tindakan kedokteran.
7) Dasar Hukum
b. Dasar hukum yang terkait dengan pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran adalah :
1) Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
2) Peraturan pemerintah No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
3) Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 159b/Menkes/SK/PER/II/1988 tentang RS.
4) Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 585/Menkes/SK/VI/1993 Tentang berlakunya
Standar Pelayanan RS dan Standar Pelayanan Medis di RS.
5) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749 a/Menkes/Per/ IX /1989 tentang Rekam
Medis/Medical record.
6) Peraturan Menteri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan medis.
7) Kep Menkes No.1507/Menkes/SK/X/ 2005 tentang Pedoman Pelayanan Konseling
Testing HIV / AIDS secara sukarela
8) Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran
9) Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medik nomor HK.00.06.3.5.1866 tentang
Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medik.
10) Konsil Kedokteran Indonesia, Buku Penyelenggaraan Praktik Kedokteran yang Baik,
Jakarta, 2006.
11) Surat keputusan direktur RSIA Herawaty No.13/SK/Dir/RSIA Herawaty Tanggal 01
November 2014 tentang kebijakan sistim pelayaanan rekam medis di RSIA Herawaty
Penggunaan Persetujuan Informed consent dilihat dari berbagai aspek pada hubungan
antara dokter dan pasien, diantaranya:
a) Kerahasiaan dan pengungkapan informasi
Dokter membutuhkan persetujuan pasien untuk dapat membuka informasi pasien,
misalnya kepada kolega dokter, pemberi kerja atau perusahaan asuransi.
Prinsipnya tetap sama, yaitu pasien harus jelas terlebih dahulu tentang informasi
apa yang akan diberikan dan siapa saja yang akan terlibat.
b) Pemeriksaan skrining
Memeriksa individu yang sehat, misalnya untuk mendeteksi tanda awal dari
kondisi yang potensial mengancam nyawa individu tersebut, harus dilakukan
dengan perhatian khusus.
c. Yang berhak memberikan informasi/penjelasan
1) Tanggung Jawab utama untuk memberikan informasi/penjelasan adalah dokter yang
akan melakukan tindakan medik bila berhalangan dapat diwakilkan ke dokter lain,
tetap menjadi tanggung jawabnya.
2) Apabila pasien memiliki keluarga Dokter, maka Dokter dari pihak RSIA Herawaty
yang merawat pasien tersebut dapat menyampaikan kepada Dokter dari keluarga
tersebut tentang nasehat medis dan resiko berkenaan dengan pengobatan yang tidak
adekuat yang dapat berakibat cacat permanen atau kematian. Dan bila pasien tetap
menolak nasihat medis, maka Dokter RSIA Herawaty akan memberikan pesan untuk
perawatan lanjutan di rumah.
3) Untuk pasien yang memerlukan tindakan bukan bedah (non invasif),
informasi/penjelasan bisa diwakilkan.
d. Yang berhak memberikan persetujuan/penolakan
1) Pasien sendiri yang sudah dewasa yaitu umur lebih dari 17 tahun atau sudah
menikah, dalam keadaan sadar, sehat mental, tanpa paksaan. Khusus pasien VCT
(Voluntary Counselling And Testing) berdasarkan Kepmenkes RI No.
1507/Menkes/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing
HIV/AIDS Secara Sukarela yaitu bagi laki-laki umur 19 tahun dan wanita 16 tahun.
2) Pasien dewasa yang berada dibawah kemampuan (Curatelle), persetujuan/penolakan
dilakukan oleh wali (curator)nya.
3) Pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan/penolakan dilakukan oleh
mereka sesuai urutan hak sebagai berikut :
a) Ayah atau ibu kandung.
b) Wali yang sah.
c) Saudara-saudara kandung.
4) Pasien yang sudah menikah, persetujuan/penolakan dilakukan oleh mereka sesuai
urutan hak sebagai berikut :
a) Suami atau istri.
b) Ayah atau ibu kandung.
c) Anak-anak kandung.
d) Saudara-saudara kandung.
5) Pasien dengan usia dibawah 17 tahun, persetujuan/penolakan diberikan oleh mereka
sesuai urutan hak sebagai berikut :
a) Ayah atau ibu kandung.
b) Saudara-saudara kandung yang sudah dewasa.
6) Pasien dengan usia dibawah 17 tahun, tidak mempunyai orang tua atau berhalangan
hadir, persetujuan/penolakan diberikan oleh mereka sesuai urutan hak sebagai
berikut:
a) Ayah/Ibu angkat.
b) Saudara-saudara kandung yang sudah dewasa.
c) Keluarga terdekat.
d) Pengampu.
e. Informasi/Penjelasan
1) Informasi/penjelasan tentang tindakan medik yang akan dilakukan harus adequat
(cukup) dan disampaikan dengan bahasa yang mudah difahami/ dimengerti.
Informasi/penjelasan dianggap adequate apabila meliputi :
a) Diagnosa dan pronose penyakit
b) Tujuan/alasan tindakan medik yang akan dilakukan dan prospek kebersihan.
c) Resiko, manfaat, komplikasi dan side effect (akibat ikutan) yang mungkin terjadi.
Resiko-resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran :
(1) Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut
(2) Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
d) Prognose penyakit bila tindakan medis dilakukan atau tidak dilakukan
e) Alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan resiko masing-masing
2) Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran adalah :
a) Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera
bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
b) Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi
situasi dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes No.290/Menkes/Per/III/2008.
f. Macam-macam persetujuan Pasien :
1) Pernyataan Persetujuan Rawat Inap
adalah persetujuan yang diberikan pasien apabila pasien setuju untuk di rawat inap
dan mengijinkan dokter/perawat melakukan tindakan/pengobatan tanpa persetujuan
pasien selama di rawat inap, tindakan tersebut adalah: Injeksi, infus/transfuse, ECG,
Rontgen, Sunction, Nebulizer, pemberian oksigen, bilas lambung, skin test,
pengambilan sampling darah, pemasangan monitor,RJP, perawatan luka, pemeriksaan
tanda-tanda vital.
2) Persetujuan umum (General Consent)
Adalah Persetujuan pasien yang diperoleh setelah pasien bersedia untuk dirawat inap
di RSIA Herawaty. Formulir tersebut berisi tentang pemberian informasi dan
penjelasan mengenai : hak dan kewajiban pasien, persetujuan pelayanan kesehatan,
hak untuk membuka rahasia kedokteran maupun kerahasiaanya, berhak mendapatkan
privasi, persetujuan mahasiswa kesehatan berpartisipasi dalam perawatan pasien,
persetujuan untuk tidak membawa barang-barang berharga selama dirawat,
persetujuan untuk membayar biaya perawatan sesuai tarif dan ketentuan RS (untuk
pasien umum),persetujuan untuk membayar uang muka untuk 7 (tujuh) hari,
persetujuan untuk membayar selisih biaya perawatan apabila naik kelas atas
permintaan sendiri (untuk pasien BPJS/UMUM).
3) Persetujuan atau penolakan tindakan medis
a) Hanya untuk tindakan medis yang spesifik.
b) Diberikan oleh pasien tanpa paksaan.
c) Diberikan oleh pasien yang sehat mental (Voluntary) atau pihak yang memang berhak
sesuai hukum.
d) Diberikan oleh pasien setelah mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup
(adequat).
4) Persetujuan tindakan kedokteran untuk pemberian transfusi darah.
Pemberian transfusi darah memindahkan atau memasukkan darah yang berasal dari
donor kedalam tubuh pasien melalui vena. Tujuan dari transfusi melaksanakan tindakan
pengobatan dan memenuhi kebutuhan pasien akan darah sesuai dengan program
pengobatan. Pemberian persetujuan tindakan transfusi darah didapat sebelum
penggunaan darah atau produk darah.
5) Persetujuan untuk tindakan dan pengobatan yang beresiko tinggi.
Menurut Permenkes No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang persetujuan tindakan
kedokteran pasal 3 ayat 1 berbunyi setiap tindakan kedokteran yang mengandung resiko
tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak
memberikan pesetujuan.
Keputusan Direktur RSIA Herawaty tentang daftar pelayanan Resiko Tinggi. Berikut
daftar tindakan dan pengobatan lain yang berisiko tinggi :
a) Pelayanan Pasien Gawat Darurat
b) Pelayanan Pasien Dengan Resusitasi
c) Pelayanan Darah dan Produk Darah
d) Pelayanan Pasien Koma dengan Alat Bantu Hidup
e) Pelayanan Pasien dengan Penyakit Menular
f) Pelayanan Pasien dengan Haemodialisa
g) Pelayanan Pasien Restraint
h) Pelayanan Pasien Usia Lanjut
i) Pelayanan Pasien dengan Kemoterapi
Pemberian persetujuan didapat sebelum pelaksanaan tindakan dan pengobatan yang
beresiko tinggi.
6) Persetujuan tertulis diperlukan pada keadaan-keadaan sbb:
a) Bila tindakan terapetik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau efek samping
yang bermakna.
b) Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi
c) Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan
kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien
7) Pasal 45 UU Praktik Kedokteran memberikan batasan minimal informasi yang
selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu :
a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c) Alternatif tindakan lain dan risikonya
d) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Dengan mengacu kepada kepustakaan, KKI melalui buku manual ini memberikan
12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien :
1) Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak diobati
2) Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) termasuk
pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan
3) Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya, termasuk
pilihan untuk tidak diobati
4) Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan; rincian dari prosedur atau
pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan
nyeri, bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan diri, rincian apa yang akan
dialami pasien selama dan sesudah tindakan, termasuk efek samping yang biasa
terjadi dan yang serius
5) Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang kelebihan/keuntungan
dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi tentang kemungkinan risiko
yang serius atau sering terjadi, dan perubahan gaya hidup sebagai akibat dari
tindakan tersebut
6) Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih eksperimental
7) Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor atau
dinilai kembali
8) Nama dokter yang bertanggungjawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut,
serta bila mungkin nama-nama anggota tim lainnya
9) Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka
sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang akan dilakukan
10) Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap waktu.
Bila hal itu dilakukan maka pasien bertanggungjawab penuh atas konsekuensi
pembatalan tersebut.
11) Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain
12) Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya.

D. Tata Laksana
1.Umum
a. Masalah kesehatan setiap orang adalah tanggung jawab masing-masing.
Sepanjang keadaan kesehatannya tidak mengganggu orang lain maka keputusan
untuk mengobati atau tidak mengobati dirinya, sepenuhnya menjadi tanggung
jawabnya.
b. Tindakan kedokteran yang dilakukan dokter untuk meningkatkan atau
memulihkan kesehatan seseorang, hanya merupakan upaya yang tidak wajib
diterima oleh yang bersangkutan.Sesungguhnya dalam pelayanan kedokteran
tidak seorangpun yang dapat memastikan hasil akhirnya. Oleh karena itu tidak
pada tempatnya bila penerimaannya dipaksakan.
c. Tindakan kedokteran akan lebih berhasil guna dan berdaya guna bila terjalin
kerjasama yang baik antara dokter dan pasien. Penjelasan yang cukup (adequat)
tentang penyakit pasien merupakan kewajiban dokter dan hak pasien.
2. Tata Laksana Pemberian Informasi dan Persetujuan Umum (General Concent)
a. Setelah pasien bersedia/setuju untuk dirawat inap atas perintah dokter yang
merawatnya (dari poliklinik/UGD), Pasien/keluarga diarahkan ke bagian
informasi dan registrasi rawat inap.
b. Tata laksana informasi/penjelasan di ruang informasi/registrasi rawat inap
sebagai berikut :
1) Petugas informasi ucap salam, perkenalkan diri,
2) Memastikan/mengecek ulang identitas pasien & persyaratan rawat inap
3) Memberikan informasi & penjelasan tentang :
a) Jenis pelayanan di RS
b) Jenis tindakan pelayanan di RS
c) Informasi Dokter yang ada di RS
d) Fasilitas kamar/ruangan perawatan
e) Jam pelayanan dan jam berkunjung di RS
f) Tarif Pasien
4) Meminta pasien untuk mengisi blanko admisi sesuai data terbaru/yang
masih berlaku.
5) Memberikan informasi/penjelasan mengenai formulir informasi &
persetujuan umum yang berisi :
a) Hak & kewajiban pasien, tata tertib dan peraturan RSIA Herawaty.
b) Persetujuan pelayanan kesehatan tertentu
c) Hak untuk membuka rahasia kedokteran maupun kerahasiaanya,
d) Hak mendapatkan privasi,
e) Persetujuan mahasiswa kesehatan berpartisipasi dalam perawatannya
f) Persetujuan untuk tidak membawa barang-barang berharga selama
dirawat,
g) Persetujuan untuk membayar biaya perawatan sesuai tarif dan
ketentuan RS (untuk pasien umum)
6) Memverifikasi kembali informasi yang sudah diberikan kepada
pasien/keluarga
7) Memberikan formulir general consent untuk di ditandatangani
pasien/keluarga .
8) Menginformasikan nomor telepon yang bisa dihubungi jika sewaktu-waktu
diperlukan.
9) Menanyakan kembali apakah informasi pelayanan pasien ada yang belum
dimengerti.
10) Mengucapkan terimakasih dan ucapkan salam kepada pasien setelah selesai
memberikan informasi.
3. Tata Laksana Pemberian Informed Consent
a. Setelah diagnosa ditegakkan, pasien diberi informasi/penjelasan yang cukup
(adequat).
b. Apabila pasien menolak maka harus menandatangani Form Pemberian Informasi
dan Pernyataan Penolakan operasi/tindakan medic/tindakan diagnostik .
c. Apabila pasien menyetujui maka harus menandatangani Form Pemberian
Informasi dan Pernyataan Persetujuan Operasi/Tindakan Medis/Tindakan
diagnostic , terutama untuk tindakan yang beresiko tinggi.
d. Untuk tindakan yang tidak beresiko tinggi, persetujuan dapat dinyatakan secara
lisan (Oral Consent).
e. Tanda tangan dapat diganti dengan cap ibu jari tangan kiri pada form yang
disediakan.
f. Sebelum ditanda tangani, form persetujuan/penolakan sudah diisi lengkap oleh
dokter yang akan melakukan tindakan atau yang diberi delegasi, kemudian pasien
diminta membacanya atau bila perlu dibacakan.
g. Apabila pasien yang berhak menyetujui menolak untuk diberi penjelasan dan
menyerahkan penuh pada keputusan dokter maka orang tersebut dianggap telah
menyetujui apapun yang akan dilakukan dokter
h. Perluasan tindakan medis, selain tindakan medis yang telah disetujui tidak
dibenarkan dengan alasan apapun, kecuali bila terpaksa harus dilakukan untuk
keselamatan jiwa pasien.
i. Pasien yang menikah dan bisa memberikan persetujuan untuk dirinya sendiri
maka suami/istri tidak ikut menanda tangani persetujuan tindakan medik, kecuali
untuk tindakan KB yang sifatnya Irreversible yaitu Vasektomi/Tubektomi.
j. Persetujuan yang sudah diberikan dapat ditarik kembali (dicabut) setiap saat,
kecuali tindakan medik yang direncanakan sudah sampai pada tahapan
pelaksanaan yang tidak mungkin lagi dibatalkan.
k. Dalam hal persetujuan tindakan medik diberikan keluarga, maka yang berhak
menarik kembali (mencabut) adalah anggota keluarga tersebut atau anggota
keluarga lainnya yang kedudukan hukumnya lebih berhak sebagai wali.
l. Penarikan kembali (pencabutan) persetujuan tindakan medik harus diberikan
secara tertulis sebelum tindakan dimulai.
m. Semua hal-hal yang sifatnya luar biasa dalam proses mendapatkan persetujuan
tindakan medik harus dicatat dalam rekam medis.
n. Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan medik harus disimpan dalam
berkas rekam medis yang bersangkutan.
o. Demi kepentingan pasien/informed consent/tidak diperlukan bagi pasien gawat
darurat dalam keadaan sadar dan tidak didampingi oleh keluarga pasien yang
berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis.
p. Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP pasal 351 (trepass, battery,
bodily assault)
4. Tata Laksana Pembukaan Informasi
a. Pembukaan informasi pasien kepada pihak lain harus ada permintaan
tertulis/memerlukan persetujuan pasien.
b. Pembukaan informasi tidak memerlukan persetujuan pasien pada keadaan:
1) untuk kepentingan kesehatan pasien
2) memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, misalnya dalam bentuk visum et repertum
3) atas permintaan pasien sendiri
4) berdasarkan ketentuan undang-undang, misalnya UU Wabah dan UU
Karantina
c. Setelah memperoleh persetujuan pasien maka dokter tetap diharapkan memenuhi
prinsip “need to know”, yaitu prinsip untuk memberikan informasi kepada pihak
ketiga tersebut hanya secukupnya –yaitu sebanyak yang dibutuhkan oleh peminta
informasi
5. Tata Laksana Pemeriksaan HIV
a. Pemeriksaan terhadap kasus HIV-AIDS tidak dibenarkan atas dasar epidemiologi
ataupun aspek kesehatan masyarakat. Tetapi setiap orang harus dapat mempunyai
akses untuk menjalani test HIV AIDS.
b. Test skrining harus berdasarkan kemauan sendiri serta dengan persetujuan tertulis.
Penjelasan sebelum dilakukan test harus menjelaskan segala implikasinya jika
kelak ditemukan positip menderita (konseling).
c. Terhadap populasi tertentu, petugas kesehatan dapat meminta persetujuan
pemeriksaan skrining tanpa konseling terlebih dahulu (provider initiative testing
conselling), konseling dilakukan kemudian.
d. Sebelum tindakan pembedahan pasien hanya dapat dibenarkan untuk dilakukan
test HIV AIDS bila terdapat indikasi kliniknya.
e. Jika pasien dalam keadaan gawat darurat dan pasien tidak dapat atau menolak
untuk memberikan persetujuan sebelum dilakukan test maka dia harus
diperlakukan sebagai kasus yang terinfeksi.
f. Test harus dilakukan pada donor darah dan organ untuk kepentingan transplantasi.
g. Aturan pemberian persetujuan lainnya mengikuti tatacara aturan umum.
6. Tata laksana Pemberian Informasi
a. Informasi diberikan dalam konteks nilai, budaya dan latar belakang mereka.
Sehingga menghadirkan seorang interpreter mungkin merupakan suatu sikap yang
penting, baik dia seorang profesional ataukah salah seorang anggota keluarga.
Ingat bahwa dibutuhkan persetujuan pasien terlebih dahulu dalam
mengikutsertakan interpreter bila hal yang akan didiskusikan merupakan hal yang
bersifat pribadi.
b. Menggunakan alat bantu, seperti leaflet atau bentuk publikasi lain apabila hal itu
dapat membantu memberikan informasi yang bersifat rinci. Pastikan bahwa alat
bantu tersebut sudah berdasarkan informasi yang terakhir. Misalnya, sebuah
leaflet yang menjelaskan tentang prosedur yang umum. Leaflet tersebut akan
membuat jelas kepada pasien karena dapat ia bawa pulang dan digunakan untuk
berpikir lebih lanjut, tetapi jangan sampai mengakibatkan tidak ada diskusi.
c. Apabila dapat membantu, tawarkan kepada pasien untuk membawa keluarga atau
teman dalam diskusi atau membuat rekaman dengan tape recorder
d. Memastikan bahwa informasi yang membuat pasien tertekan (distress ) agar
diberikan dengan cara yang sensitif dan empati. Rujuk mereka untuk konseling
bila diperlukan.
e. Mengikutsertakan salah satu anggota tim pelayanan kesehatan dalam diskusi,
misalnya perawat, baik untuk memberikan dukungan kepada pasien maupun
untuk turut membantu memberikan penjelasan
f. Menjawab semua pertanyaan pasien dengan benar dan jelas.
g. Memberikan cukup waktu bagi pasien untuk memahami informasi yang
diberikan, dan kesempatan bertanya tentang hal-hal yang bersifat klarifikasi,
sebelum kemudian diminta membuat keputusan
7. Tata Laksana Skrining
a. Persetujuan dilakukannya uji skrining harus didahului dengan penjelasan yang
tepat dan layak, serta pada keadaan tertentu memerlukan tindak lanjut, misalnya
dengan konseling dan support group.
b. Skrining dapat merupakan upaya yang penting untuk dapat memberikan tindakan
yang efektif.
c. Terdapat kemungkinan bahwa uji skrining tersebut memiliki ketidakpastian,
misalnya false positive dan false negative
d. Beberapa uji skrining tertentu berpotensi mengakibatkan hal yang serius bagi
pasien dan keluarganya, tidak hanya dari segi kesehatan, melainkan juga segi
sosial dan ekonomi.
BAB XIV
PANDUAN DOKTER PENANGGUNG JAWAB PELAYANAN

A. Pengertian
1. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan Pasien (DPJP)
adalah seorang dokter (petugas medis) yang memiliki tanggung jawab dan wewenang
untuk mengelola rangkaian asuhan medis pasien (diagnosis, informasi terapi, perawatan
pasien, rencana perawatan selanjutnya,permintaan pemeriksaan penunjang lainnya,
rujukan dan pemulangan) dan mengupayakan keselamatan pasien serta mencegah
terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).
2. Macam-Macam DPJP
a. DPJP Utama
adalah Dokter Penanggung Jawab utama terhadap asuhan keperawatan Pasien saat
berobat di RS yang meliputi Poli Rawat Jalan, UGD, ruang rawat inap,kamar operasi
dan ruang tindakan lainnya.
b. DPJP konsulen
adalah Dokter yang menerima/menjawab konsultasi dari DPJP Utama baik berupa
konsultasi sesaat maupun permintaan rawat bersama, karena pasien juga memiliki
diagnosis diluar kompetensi DPJP Utama. DPJP konsulen bertanggung jawab terhadap
asuhan keperawatan pasien yang sesuai dengan kompetensinya (keahliannya). Contoh:
DPJP Jantung, DPJP Neurologi, DPJP Paru dan lainlain.
3. Serah terima DPJP
a. Serah terima DPJP adalah suatu kesepakatan untuk serah terima pasien dari DPJP
Utama kepada DPJP konsulen bila DPJP Utama menilai bahwa pasien tersebut sudah
tidak adalagi perawatan khusus yang membahayakan, tapi penyakit lain yang ditangani
oleh DPJP konsulen masih memerlukan penanganan yang serius/khusus.
b. Kedua belah pihak harus mengisi blangko “Serah Terima DPJP” dan diparaf oleh
kedua belah pihak. Selanjutnya DPJP konsulen ini menjadi DPJP Utama yang baru.

B. Ruang Lingkup
Panduan ini dipakai di seluruh Departemen untuk semua pasien yang di rawat di Poli Rawat
Jalan, UGD, ruang rawat inap, kamar operasi dan ruang tindakan lainnya.

C. Tata Laksana
1. Pada saat pasien diindikasikan untuk di rawat inap maka harus ditentukan DPJP sebelum
pasien dibawa ke ruang rawat inap
2. Untuk pasien rawat jalan dan UGD, DPJP Utama adalah dokter yang merawat pasien saat
itu.
3. Untuk pasien rawat inap yang berasal dari Unit Gawat Darurat, DPJP utama adalah
dokter konsulen pada waktu pasien berobat di UGD sesuai dengan diagnosis utama
4. Jika pasien berobat ke unit rawat jalan untuk menentukan pasien tersebut dirawat atau
tidak adalah DPJP
5. Untuk pasien rawat inap yang berasal dari unit rawat jalan, DPJP adalah dokter yang
memeriksa pasien tersebut di unit rawat jalan.
6. Dalam hal tertentu,pasien atau keluarga pasien yang bersangkutan diperbolehkan memilih
dokter DPJP utama, dengan persetujuan managemen RS dan sepanjang tidak
membahayakan keselamatan pasien.
7. DPJP Utama melaksanakan pengelolaan serangkaian asuhan medis pasien, seperti:
a. Melakukan evaluasi/follow up untuk menentukan diagnosis/perkembangan pasien
b. Memberi informasi terapi kepada pasien dan atau keluarganya
c. Merencanakan pemeriksaan selanjutnya
d. Membuat permintaan pemeriksaan penunjang lainnya atau pemeriksaan ulang
e. Mengkonsulkan kepada teman sejawat yang kompetensinya sesuai bila ditemukan
hal-hal diluar kompetensinya, dengan menulis lembar konsul, untuk rawat bersama
atau hanya konsul untuk saat ini
f. Merujuk dan memulangkan pasien.
g. Melengkapi file pasien secepatnya:
1) bila pulang dalam keadaan hidup : dalam 24 jam.
2) bila pulang dalam keadaan meninggal : dalam 48 jam.
7. DPJP konsulen :
a. Melakukan pemeriksaan pasien sesuai dengan permintaan dari DPJP Utama.
b. Menuliskan jawaban hasil pemeriksaan dilembar konsul.
c. Memberikan usul atau saran kepada DPJP Utama, baik terapi, rawat bersama atau
lainnya.
d. Melakukan follow up bila diminta atau disetujui untuk rawat bersama.
8. Serah terima DPJP :
a. Kedua belah pihak saling mendiskusikan keadaan pasien.
b. Kesepakatan untuk serah terima pasien dari DPJP Utama kepada DPJP konsulen
dibuktikan dengan mengisi blangko “Serah Terima DPJP” dan diparaf oleh kedua
belah pihak.
c. Selanjutnya DPJP konsulen menjadi DPJP Utama yang baru.
9. Dalam hal perawatan bersama, seorang DPJP hanya memberikan asuhan medis sesuai
dengan bidang keahliannya.
BAB XV

PENUTUP

Puji Syukur yang tak terhingga kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas terselesaikannya Buku Pedoman Pelayanan Instalasi Rekam Medis RSIA
Herawaty Samarinda. Buku ini adalah sebagai acuan didalam setiap kegiatan proses
pelayanan Instalasi Rekam Medis RSIA Herawaty Samarinda demi tercapainya tertib
administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan yang prima di RSIA
Herawaty Samarinda. Tanpa di dukung suatu sistem pengelolaan rekam medis yang baik
dan benar, mustahil dapat dicapai suatu pelayanan rekam medis yang relevan

Tidak lupa juga ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada semua pihak
yang telah memberikan suport dan doanya, terutama kepada semua staf Rekam Medis dan
Admission RSIA Herawaty Samarinda, juga kepada semua pihak yang tidak bisa kami
sebutkan satu persatu yang terlibat di dalam penyusunan buku Pedoman Pelayanan
Instalasi Rekam Medik RSIA Herawaty Samarinda.

Kami Menyadari bahwa penyusunan buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat memembangun sangat kami harapkan demi
tercapainya pedoman suatu pelayanan yang optimal. Semoga Buku ini bermanfaat bagi
kita semua.

Ditetapkan : Samarinda

Pada Tanggal :

Direktur RSIA Herawaty Samarinda

dr. Giena Tiara Werdhanti

Anda mungkin juga menyukai