Ashley Evan Ross, MD, PhD, dan Ronald Rodriguez, MD, PhD
Fokus pada bab ini adalah pada perkembangan, anatomi, histologi, dan fisiologi prostat dan
vesikula seminalis, kelenjar aksesoris pria yang berkontribusi terhadap isi dari cairan semen.
Pengetahuan secara umum dan molekuler bergantung pada pembentukan dan fungsi
fisiologis dari prostat menjadi meningkat dengan penting disebabkan reaktivasi atau
rekapitulasi proses perkembangan yang tampaknya terjadi saat proses patologis seperti
hiperplasia prostat jinak (BPH) dan perkembangan agresif dari kanker prostat ganas
(Marker, 2008; Schaeffer et al, 2008; Pritchard et al, 2009). Sebagai tambahan, proses
fisiologis dari antigen spesifik prostat (PSA) dan konstituen seluler lainnya dari prostat telah
mulai memainkan peran penting pada perkembangan dari penanda kimiawi klinis prostat
(Mikolajczyk et al, 2004; Vickers et al, 2011; Loeb and Catalona, 2014).
Prostat
Prostat adalah derivat dari endoderm primitif (tuba usus). Diferensiasi regional dari
tuba usus primitif menjadi foregut, midgut, dan hindgut diikuti oleh pembengkakan dari ujung
kaudal yang membentuk kloaka. Kloaka, memiliki arti dalam bahasa Latin “kanal air”,
menerima aliran luaran baik dari traktus urinarius dan intestinal dan menunjukan perbedaan
yang sangat tampak pada unggas, reptil, amfibi, marsupilia dan monotrema. Pada mamalia
plasenta, akan tetapi, kloaka dipisahkan oleh septum urorektal pada saat embriogenesis
untuk membentuk pemisah luaran urinari dan digestif. Kompartemen urinari ventral yang
dinamakan sinus urogenital primitif, yang lebih lanjut membagi segmen yang ada menjadi
kandung kemih pada ujung kranial dan uretra pada terminal kaudal.
Pertunasan Prostat
Pada pria, prostat berkembang pada kaudal dari leher buli melalui proliferasi dari tunas
epitelial yang memanjang dari epitel sinus urogenital. Pertunasan prostat menginvasi lokasi
yang semestinya yang membentuk pola perkembangan lebih lanjut dari lobus prostat dan,
secara potensial, zona yang ada pada manusia. Regio ini menyiapkan invasi pertunasan
epitelial oleh “kondensasi mesenkim”, sebuah proses dimana sel mesenkim sinus urogenital
(sel yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang akan berdiferensiasi menjadi elemen stromal)
menjadi lebih dekat terkumpul bersama (di tinjau oleh Thomson, 2008). Kondensasi ini
terjadi baik pada pria dan wanita dan oleh karena itu bersifat independen terhadap
androgen. Sebaliknya, pertunasan epitelial sangat bergantung pada androgen dan dapat
teridentifikasi pada mikroskop cahaya. Pertunasan prostat memerlukan interaksi epitelial
mesenkimal yang rumit (Gambar 102-1). Pada manusia, pertunasan prostat terjadi saat
minggu ke 10 gestasi. Pada mencit, pertunasan prostat terjadi pada hari ke 17 gestasi, 2
hari sebelum kelahiran. Penting untuk dicatat bahwa paparan androgen tidak hanya penting
tetapi cukup untuk mendorong diferensiasi prostat dan pertumbuhan embrio. Fakta ini,
sepanjang dengan kemampuan untuk secara mudah mesemenpulasi kadar androgen pada
hewan eksperimental, membuat prostat terutama adalah subjek yang cocok dalam
menentukan nasib sel epitelial (Cunha et al, 1987; Schaeffer et al, 2008). Pertunasan prostat
awalnya tumbuh sebagai korda epitelial solid yang secara berturut-turut (hari pascanatal 1-
14 hari pada mencit) bercabang dan mengalami kanalisasi (Sugimura et al, 1986) sebagai
bagian dari program percabangan morfogenesis yang mengagumkan.
Sitodiferensiasi
Pada mencit, epitel sinus urogenital dimulai sebagai kompartemen sel homogen yang
berdiferensiasi (setelah lahirnya mencit) menjadi bagian basal yang berbeda (menempel
pada stroma) dan lapusan luminal (Wang et al, 2001). Campur tangan dari sel epitel,
dinamakan sel intermediet, muncul dan memiliki dua temuan baik dari sel basal dan luminal.
Tipe sel yang keempat, sel neuroendokrin, muncul pada jumlah besar sebelum pertunasa
epitel prostat dan berkurang saat perkembangan embrionik (Aumuller et al, 2001).
Perkembangan dari tipe sel ini saat embriogenesis mencit tidak dipahami dengan baik, dan
sumber dari sel ini secara bervariasi diteorikan berasal dari krista neural atau endoderm
sinus urogenital (Aumuller et al, 2001; Goldstein et al, 2008). Ilustrasi dibutuhkan dalam
mencari tahu gambaran garis silsilah dari fenomena ini pada epitel prostat.
Induksi dari Pertunasan Prostat. Walaupun persinyalan reseptor androgen (AR) melalui
dihidrotestosteron (DHT) adlaah pemicu primer dibalik perkembangan prostat, hal tersebut
spesifik hanya pada waktu kejadian, tidak bergantung pada lokasi. Persinyalan AR adalah
tampak secara difus melalui traktus genitourinari bagian bawah (Takeda et al, 1985; Berman
et al, 1995). Pertunasan kuncup prostat terbentuk pada lokasi yang presisi melalui
mekanisme yang tidak diketahui. Kontrol spasial ini melibatkan gen homeoboks paralog
(Hox) yang merupakan regulator transkripsi yang mengatur ekspresi gen dalam
berdiferensiasi sepanjang kraniokaudal (dari atas menuju bawah) dan aksis proksimodistal
(contoh dari bahu ke ujung jari) pada jaringan yang bervariasi, termasuk traktus genitourinari
(ditinjau pada Beck et al, 2000; Kmita dan Duboule, 2003). Pada vertebrata, gen paralog
Hox muncul pada empat kluster yang serupa (Kluster A, B, C, dan D), tiap-tiapnya terletak
pada kromosom yang terpisah dan mengode gen dimana posisi kromosomal dari 3’ menuju
5’ mencerminkan gambaran ekspresinya dalam embrio. Gen paralog berbeda dari yang lain,
semakin jauh terkait dengan keluarga faktor transkripsi yang juga mengandung motif
homeoboks pengikat DNA, seperti keluarga NK, dimana anggotanya diekpresikan secara
lebih diskret, bersifat spesifik organ (contoh, lihat pembahasan pada Nkx3.1, lebih lanjut).
Gen paralog Hox secara sekuensial diberi di berikan nomor dari 1 hingga 13, dengan angka
tertinggi pada posisi 5’ menunjukan gambaran dari paling distal atau ekspresi kaudal.
Bergantung, Hoxa13, Hoxb13, dan Hoxd13 adalah paralog pada kromosom 7, 17, dan 2,
secara berturut-turut, dan telah mengalami gambaran ekspresi yang tumpang tindih dan
fungsi pada perkembangan traktus genitourinari disal. Elemen regulator Hoxb13 telah
ditandai dengan hambatan fungsi ujung kaudal dari traktus genitourinari dan digestif dan
dapat digunakan untuk ekspresi pengaturan independen androgen dari gen yang dituju
(McMullin et al, 2009). Mutasi homozigos pada gen Hox individual menyebabkan perubahan
bermakna pada gambaran percabangan prostat (Podlasek et al, 1997) dan/atau maturasi
epitel defektif (Economides dan Capecchi, 2003). Mutasi melibatkan lebih dari satu gen
tersebut menyebabkan secara signifikan fenotipe urogenital yang lebih berat, seperti
hipoplasia prostat signifikan pada komponen mutan mencit Hoxd13 / Hoxb13 atau
kegagalan pemisahan keluarnya traktus urinari dan gastrointestinal dalam membentuk
komponen mutan Hoxa 13/ Hoxd13 (Kondo et al, 1997; Warot et al, 1997).
Kondensasi mesenkimal terjadi baik pada pria dan wanita, sehingga tidak cukup
untuk mendorong perkembangan prostat tetapi dapat cukup. Kondensasi dari pedal
mesenkimal ventral adalah defektif pada mencit yang kurang terhadap gen Noggin (lihat
bagian dari keluarga transforming growth factor – β [TGF-β], lebih lanjut untuk pembahasan
peran dari Noggin pada perkembangan prostat), yang mengantagonis ligasi ikatan pada
protein morfogenetik tulang (BMP) terhadap reseptor (Cook et al, 2007). Observasi ini
menunjukan bwha persinyalan BMP meningkatkan kondensasi mesenkimal, baik pada aksi
langsung pada mesenkim atau melalui regulasi dari faktor yang berasal dari epitel yang
penting pada proses ini. Kondensasi mesenkimal sangat kaya terhadap ekspresi faktor
pertumbuhan fibroblas (FGF) yang penting pada pertumbuhan kuncup epitelial. Sebagai
contoh, mencit dengan mutasi yang diprogram dari faktor pertumbuhan spesifik mesenkim
gen Fgf10 membentuk tunas epitel kecil abortif dan gagal untuk menumbuhkan prostat
(Donjacour et al, 2003).
Pertunasan Epitelial. Kejadian dini yang tampak pada epitelial saat perkembangan
prostat tampak menalami peningkatan regulasi pada regio penentu seksual dari Y- boks 9
(Sox9), faktor transkripsi bergantung androgen, diinduksi melalui persinyalan dependen
mesenkimal FGF (Huang et al, 2012). Sox9 tampak penting terhadap inisiasi terhadap garis
perkembangan epitel prostat. Setelah ini, terdapat peningkatan ekspresi epitel dari NK
homoeboks yang merupakan keluarga dari transkripsi homeoboks Nkx3.1. Faktor transkripsi
ini mempengaruhi derajat percabangan dari prostat tikus yang matur, dimana juga bertindak
sebagai penekan tumor (Bieberich et al, 1996; Bhatia-Gaur et al, 1999; Abate-Shen et al,
2008).
Mutasi pada regulator transkripsional p63 (TP63) (Signoretti et al, 2000) atau pada
aksis persinyalan AR (ditinjau oleh Cunha et al, 1987) juga dapat menghentikan induksi
prostat. Perlu dicatat, aspek penting dari induksi pertunasan epitel prostat adalah temuan
dari Cunha dan Lung (1978) dimana persinyalan AR diperlukan pada mesenkim tetapi
terdispensi dalam epitel. Sehiingga aksi andogen tampak tidak langsung, memicu pada
hipotesis dimana sel mesenkim mensekresikan faktor induktif sebagai respon terhadap
androgen yang dinamakan andromedins (Yan et al, 1992). TP63 memiliki penekan faktor
ranskripsi dan aktivitas aktivator yang menyeimbangkan diferensiasi dan fungsi sel
progrenitor dan punca pada epitelial (McKeon, 2004). Target transkripsional dari TP63 pada
sel epitel prostat (PrEC) tetap dijelaskan (Grisanzio dan Signoretti, 2008).
Mutasi noggin secara selektif mengganggu pertunasan lobus ventral dari prostat,
meninggalkan pertunasan anterior dan dorsolateral tidak terganggu (Cook et al, 2007).
Secara keseluruhan, akan tetapi, proses ini tampak kuat, dengan bukti dari pembentukan
pertunasan epitel prostat yang menetap pada keberadaand dari mutasi genetik yang
bervariasi yang mempengaruhi tahapan lebih lanjut pada morfogenesis duktal prostat,
terutama pada percabangan morfogenesis.
Sekali ditentukan pada pergerakan, pertumbuuhan dan homeostasis prostat
memerlukan androgen seumur hidup, dan kebutuhan ini tampak berlanjut secara tidak
langsung, melalui persinyalan AR pada mesenkimal atau stromal. Morfogenesis
percabangan epitelial dan stromal terjadi melalui kaskade persinyalan yang menghambat
pertumbuhan lebih lanjut sepanjang aksis panjang dari perluasan kuncup epitelail dimana
menstimulasi pertumbuhan lateral pada ujungnya (Hogan, 1999). Melalui delesi gen yang
diatur pada mencit transgenik, beberapa gen individu dan komponen dari jalur morfogenetik
klasik telah menunjukan memerlukan cabang dari morfogenesis. Tentu, aberasi morfologi
terlihat pada gangguan dari jalur seluler merupakan pengukuran paling sensitif bagi jalur
regulasi pertumbuhan prostat. Bergantung pada hal tersebut, variasi luas dari gen dan jalur
telah secara kuat berimplikasi pada percabangan morfogenesis prostat, hanya beberapa
yang dibahas disini. Untuk perspektif yang lebih menyeluruh, termasuk tambahan jalur
seperti yang di tekankan disekitar protein Notch dan Forkhead, pembaca diarahkan untuk
tinjauan lebih lanjut (Leong dan Gao, 2008; Matusik et al, 2008).
Nkx3.1 dan Sox9. Nkx3.1 membantu menentukan pola percabangan prostat, sebagaimana
ditunjukan dengan reduks jumlah dari ujung duktus yang terlihat pada mencit dengan delesi
terprogram Nkx3.1 (Bhatia-Gaur et al, 1999). Hal ini relatif terhadpa perubahan fenotipik
yang penting, akan tetapi, sebagaimana diindikasikan oleh penurunan dramatis pada
kemampuan dari prostat Nkx3.1 mutanuntuk memproduksi protein sekretori matur (Bhatia-
Gaur et al, 1999). Sebagai tambahan terhadap perannya pada inisiasi perkembangan
prostat, Sox9 tampak diperlukan untuk pertumbuhan tunas dan percabangan sebagaimana
pertumbuhan duktal (Thomsen et al, 2008).
Fakrot Pertumbuhan Fibroblas. Keluarga FGF terkait dengan pemicu pertumbuhan
peptida pada sel resipien dengan ikatan terhadap reseptor permukaan sel dan mengaktivasi
kaskade intraselular penanda kedua. Percabangan morfogenesis epitel, pada paru, kelenjar
saliva, kelenjar mammae, atau prostat, memerlukan persinyalan untuk diproses. Dari FGF,
Fgf-7 (faktor pertumbuhan keratinosit) dan Fgf-10 telah dipelajari secara luas pada
perkembangan prostat. Baik pada ligan secara ikatan preferensial terhadap Fgfr-2
sepanjang 3 anggota keluarga lainnya (Fgfr 1,3, dan 4) ditinjau pada Thomson, 2001, 2008).
Ikatan ligan mengaktivasi jalur mikrotubulus intraseluler terkait dengan protein kinase
(MAPK), memicu pada peningkatan aktivitas faktor transkripsi pemicu pertumbuhan dan
peningkatan proliferasi.
Fgfr-2 diekspresikan pada PrECs yang sedang berkembang, dimana dapat
berinteraksi dengan koreseptor Frs-2α. Fgf-7 dan Fgf-10, sebaliknya disekresikan oleh
mesenkim prostat. Penyusunan ini, sepnjanag dengan pertumbuhan independen androgen
dari kultur asal prostat yang dipaparkan dengan ligan ini, telah memicu pada wacana bahwa
mereka bertindak sebagai andromedins (Yan et al, 1992; Lu et al, 1999). Menurut penelitian,
mencit dengan defisiensi Fgf-10 memiliki kegagalan yang hampir lengkap pada
perkembangan prostat, dan mencit yang kurang akan Fgfr-2 atau Frs-2α menunjukan
hipoplasia prostat dan penurunan percabangan epitelial (Donjacour et al, 2003).
Jalur Persinyalan Hedgehog. Bergantung pada organ yang berbeda, gabungan dari ligan
hedgehog yang disekresi (Hh) (Sonic hedgehog, India hedgehog, dan hedgehog padang
pasir) oleh sel epitelial dan penerimaan pada mesenkim sekitr yang dikoordinasikan dengan
aktivitas protein keluarga Gli dalam regulasi dari gen target jalur persinyalan hedgehog.
Pada mesenkim dari prostat yang sedang berkembang, beberapa gen target Hh telah
diidentifikasi (Yu et al, 2009), termasuk sitokin Cxcl14, faktor pertumbuhan seperti insulin -
ikatan protein terhadpa ligan lgfbp3, dan faktor pertumbuhan seperti delta/notch – terkait
reseptor Dner. Peran dari gen ini pada perkembangan prostat masih tidak meyakinkan,
tetapi, secara keseluruhan, gen target jalur Hh telah diimplikasikan dengan perlekatan
pertunasan epitel prostat dan pada percabangan dan pertumbuhan duktus. Terutama,
kuncup terbentuk pada ketiadaan dari ligan Hh dominan pada prostat (Berman et al, 2004)
tetapi kesalahan lokasi pada prostat mencit membawa mutasi dari jalur efektor kebawah,
yakni protein Gli (Doles et al, 2006). Lebih lanjut pada perkembangannya, ligan Hh
meningkatkan pertumbuhan dan percabangan epitelial (Freestone et al, 2003), yang
berlanjut pada abnormalitas organ prostat yang dikultur yang diberikan antagonis jalur Hh
(Lamm et al, 2002; Freestone et al, 2003; Berman et al, 2004). Pada hewan dewasa jalur ini
dapat memainkan peran penting pada homeostasis, sebagaimana diindikasikan pada
kegagalan prostat untuk mengalami regeneasi setelah pemberian antibiotik pada hewan
atau molekul kecil yang menghambat sinyal Hh (berman et al, 2004). Bersama dengan itu,
data ini mengindikasikan peran dari pemicu pertumbuhan terhadap jalur dari epitle prostat,
satu dimana dapat memiliki relevansi klinis pada pertumbuhan prostat patologis (ditinjau
pada Shaw dan Bushman, 2007).
Superfamili Transforming Growth Factor – β. Anggota superfamili TGF- β termasuk TGF-
β itu sendiri, sebagaimana pertumbuhan dan faktor diferensiasi (GDF) dan BMP. Faktor ini
bekerja melalui reseptor transmembran dan keluarga SMAD dari protein transduksi
persinyalan intraseluler (Schmierer dan Hill, 2007). Sedikit diketahui mengenai GDF pada
prostat, tetapi baik TGF dan BMP memainkan peran penting. Pada organogenesis dari
superfamili ini diketahui paling baik sebagai mediator mesenkimal dari penekan
pertumbuhan epitel, tetapi (lebih jarang) mereka juga dapat menstimulasi pertumbuhan
dan/atau diproduksi oleh sel epitelial. TGF- β1 menghambat pertumbuhan bersih dari prostat
tetapi dapat menstimulasi pertumbuhan dari beberapa bagian kelenjar, terutama pada ujung
distal dari bagian ventral prostat (Tomlinson et al, 2004a). Walaupun mekanisme terhadap
pemicu pertumbuhan oleh TGF- β1 tidak jelas, efek penekan pertumbuhan dapat secara
beralasan terkait dengan kemampuannya dalam menekan kadar dari faktor pertumbuhan
mesenkimal lainnya, FGF-10 (Tomlinson et al, 2004b) (lihat bagian FGF, lsebelumnya).
Mekanisme serupa dapat menetap ditempat pada lelaki dewasa, dimana TGF- β
memberikan persinyalan pada duktus proksimal dipercaya membantu mempertahnakan sel
punca epitelial prostat pada keadaan tenang (pertumbuhan tertekan) (Salm et al, 2005).
BMP-4 dan BMP-7 memberikan aktivitas penekan pertumbuhan terlokalisir yang kaut dan
penting pada perkembangan prostat yang membantu percabangan morfogenesis dan
mencegah produksi berlebih dan disorganisasi dari pertumbuhan epitelial. Seperti TGF- β,
BMP sangat aktif saat pertunasan epitelial dan percabangan prostat bertahap (Lamm et al,
2001; Tomlinson et al, 2004a; Grishina et al, 2005) (hari embrionik ke 17 hingga hari post
natal ke 5 pada menciy). Aktivasi dari persinyalan BMP menekan percabangan
morfogenesis, sebagaimana diindikasikan oleh tambahan eksperimental dari protein BMP-4
atau BMP-7 eksogen untuk kultur otgan prostat (Lamm et al, 2001; Grishina et al, 2005) atau
oleh delesi genetik dari inhibitor BMP Noggin (Cook et al, 2007). Inaktivasi BMP dapat
menunjukan efek berlawanan, sebagaimana pertumbuhan berlebih epitelial pada prostat
dengan delesi genetik BMP-7 (Grishina et al, 2005).
Tabel 102-1 Ringaksan dari Anatomi dan Biologi Seluler dari Kelenjar Prostat
Komponen Penjelasan
Perkembangan
Vesikula Seminalis Dari duktus wolffian melalui stimulasi testosteron
Zona Prostat dan Anatomi Lobar. Prostat dari tikus dibagi menjadi lobus sepasang
anterior, dorsolateral, dan ventral. Tiap-tiapnya bermuara ke uretra dan dipisah pada bagian
proksimal terujung, dengan ujung distal mengapung secara bebas dalam kavitas pelvis.
Sebaliknya, prostat manusia, seperti kebanyaka spesies primata dan kaninus, tumbuh
sebagai organ tunggal yang mengelilingi uretra. Zona prostat individual, akan tetapi, memiliki
temuan arsitektural dan molekular berbeda dan memiliki propensitas untuk berkembang
menjadi patologi berbeda (Tabel 102-1). Sebagai contoh, zona transisional yang
mengelilingi uretra memiliki kecenderungan untuk menjadi BPH, menyebabkan pria rentan
terhadap obstruksi saluran kemih, dimana pada zona perifer, yang mengandung
kebanyakan elemen glandular dari prostat, adalah tempat tersering dari kanker prostat.
Pada tikus, lobus anterior, ventral dan dorsolateral di beri nama untuk lokasi yang berbeda
dari uretra dari tempat mereka berasal. Tiap lobus juga memiliki pola percabangan yang
berbeda dengan gambaran histologis yang berbeda. Perbedaan ini, ditinjau oleh Timms
(2008), telah dihubungkan dengan zona berebeda pada prostat manusia secara histologis
(Price, 1963), secara molekuler (Berquin et al, 2005; Thielen et al, 2007), dan pada
terminologi propensitas untuk dipengaruhi oleh penyakit (dorsolateral prostat, sebagai
contoh, adalah paling serupa dengan zona perifer manusia). Pada mencit, transkripsi mRNA
untuk protein pengikat spermin, probasin, dan renin-1 adalah spesifik terhadap lobus ventral,
dorsolateral, dan anterior, secara berturut-turut (Cook et al, 2007); dimana ekspresi gen
spesifik pada zona prostat manusia belum diketahui dengan baik.
Walaupun pola ekspresi gen pada zona prostat manusia individual belum dipelajari
secara luas, telah terdapat usaha untuk menandai zona distribusi dari protein yang disekresi
oleh prostat, terutama PSA, setidaknya pada prostat dewasa. sebagai contoh, Mikolajczyk
dan kolega mendeskripsikan BPSA (BPH terkait PSA) sebagai bentuk PSA yang tidak
terikat yang meningkat pada zona transisi prostat (Mikolajczyk et al, 2000a). Sebaliknya,
zimogen proPSA (sebuah prekursor PSA) telah ditemukan secara preferensial terdeteksi
pada zona perifer (Mikolajczyk et al, 2000b).
Gambar 102-2. Diferensiasi sel secara hipotetikal pada prostat dewasa. Sel basal (biru
sedang) mengekspresikan protein sel basal, termasuk protein sitokeratin (CK) 5 dan
14, p63, CD49f, dan Sca1. Sel punca didalam kompartemen sel basal (biru gelap)
mengekspresikan protein sel basal, sebagaimana Tacstd2 dan c-kit. Sel punca basal
menetap pada kompartemen sel basal (biru medium) dan tidak terkecuali sel
intermediet (biru terang). Sel intermediet berproliferasi dan berdiferensiasi kedalam
sel luminal yang tenang (jingga). Sel neuroendokrin (ungu) juga dipercaya berasal
dari sel punca epitelial. Pelacakan penurunan sel secara formal belum pernah
dilakukan pada semua tipe sel; sehingga diferensiasi jalur yang benar masih perlu
ditentukan (Dimodifikasi dari Wang Y, Hayward S, Cao M, et al. Cell differentiation
lineage in the prostate. Differentiation 2001; 68[4-5]:270–9.)
Sel epitel luminal adalah “pekerja utama” dari kelenjar prostat, bertanggung jawab
terhadap integritas pelindung epitelial dan produksi dari sekresi prostat. Sel Luminal terdiri
dari kebanyakan epitel prostat. Sel epitel sekretori kolumnar tinggi (10-20 µm) secara
terminal berdiferensiasi dan memiliki indeks proliferatif yang rendah (De Marzo et al, 1998a);
mereka secara mudah dibedakan secara temuan morfologis dan jumlah granul dan enzim
sekretori yang banyak. Sel sekretori memproduksi berbagai protein yang ditandai dengan
diferensiasi prostat, termasuk PSA, asam fosfatase, AR, peptidase amino leusin, dan 15-
lipoksigenase-2 (Shappell et al, 1999; Bhatia et al, 2003). Mereka juga kaya akan filamen
keratin (subtipe 8 dan 18) (van Leenders dan Schalken, 2003). Sel sekretori juga tampak
berbaris seperti pagar dengan sel yang terhubung dengan sebelahnya melalui molekul
adhesi sel (CAM); aspek apikal dari sel ini berproyeksi kedalam lumen, dengan dasar
melekat pada membran basal melalui reseptor integrin (Knox et al, 1994). Nukleus pada
basal juga berada dibawah zona jerinh (2-8 µm) dengan aparatus Golgi yang banyak, dan
selular perifer atas yang kaya akan enzim dan granul sekretori. Membran plasma apikal
yang menghadap ke lumen terdiri dari mikrovili, dan sekresi yang bergerak menuju rongga
pengumpul terbuka pada asinus. Sel epitel ini mengelilingi bagian perifer dari asinus dan
memproduksi sekresi kedalam asini yang bermuara kedalam duktus penghubung menuju
uretra.
Sel Basal
Sel basal (ditinjau oleh De Marzo et al; 1998a) adalah sel epitel terkecil. Mereka
memiliki indeks mitotik terendah dan merupakan populasi minor, terdiri dari kurang 10% total
jumlah sel. sel basal mengekspresikan profil subtipe keratin(subtipe 5 dan 14) dibandingkan
dengan sel epitel kolumnar (subtipe 8 dan 18). Sel ini secara umum berbentuk piramid
dengan sitoplasma yang relatid sedikit dan kromatin terkondensasi. Sel basal yang terletak
pada membran basal melekat diantara basis dari sel sekitar, sel panjang dan sel epitel
kolumnar. Sel kompartemen basal telah lama dipertimbangkan sebagai sumber dari sel
punca epitel dari prostat karena mereka relatif tidak berdiferensiasi dengan indeks proliferatif
yang rendah (kurang lebih 1%) dan hampir tanpa produk sekretori, seperti PSA dan asam
fosfatase prostatik (PAP) (lihat gambar 102-2). Tentu, ketika mencit dikebiri setelah
implantasi dengan prostat primer manusia xenograft dan kemudian direstimulasi dengan
testosteron, populasi sel basal sangat tinggi direpresentasikan, konsisten dengan konsep
bahwa kompartemen basal manusia juga mengandung sel punca epitelial prostat (Huss et
al, 2004).
Uji eksperimental terkini dari tikus telah menyediakan bukti fungsional dari populasi
sel punca dalam prostat, melokalisir mereka kedalam kompartemen basal, terutama pada
bagian proksimal dari duktus prostatik. Eksperimen ini digunakan secara in vivo dalam
pemeriksaan graft asing untuk menunjukan karakteristik sel punca kritis termasuk
kemampuan sebagai sel dengan usia panjang untuk mengalami proliferasi yang tidak dapat
terdefinisikan dan memberikan pengetahuan terhadap fenotipe yang berdiferensiasi.
Tsujimura dan kolega menunjukan label DNA – PrECs yang dipertahankan dengan
proliferasi potensial yang secara terlokalisir terletak pada segmenproksimal dari duktus
prostatikus pada laki-laki dewasa (Tsujimura et al, 2002). Studi lebih lanjut telah memetakan
properti dari sel duktus proksimal terhadap antigen sel punca tikus Sca1, sel basal integrin
α6 (Itga6 atau CD49f), transduser sinyal tumor terkait kalsium Tascstd2 (juga diketahui
sebagai Trop2), dan faktor reseptor sel punca c-kit (Burger et al, 2005; Xin et al, 2005;
Lawson et al, 2007; Goldstein et al, 2008; Leong and Gao, 2008).
Sel Intermediet
Sel Neuroendokrin
Stroma non selular dan jaringan penghubung dari prostat membentuk apa yang
dinamakan substansi dasar dan matriks ekstraselular pada apa yang awalnya ditunjukan
oleh Arcadi (1954) untuk memainkan peran penting dalam fungsi prostat dan penyakit.
Matriks ekstraselular telah lama dikenal sebagai komponen infuksi penting saat
perkembangan normal dari banyak tipe sel yang berbeda. (Cunha, 1976; Hay, 1981; Bissell
et al, 1982; Getzenberg et al, 1990; Risbridger et al, 2005). Eksperimen rekombinasi
jaringan klasik oleh Cunha dan kolega (1987) telah secara jelas menunjukan kepentingan
langsung dari mesenkim embrionik terisolasi terhadap induksi diferensiasi dari sel epitel
prostat normal (lihat pembahasan sebelumnya).
Sel epitelial terletak pada lamina dasar atau membran, yang merupakan struktur
kompleks yang terdiri, berupa, kolagen tipe IV dan V, glikosaminoglikan, kompleks
polisakarida, dan glikolipid. Lapisan ini membentuk penhubung antarmuka dengan
kompartemen stromal yang menyediakan hubungan struktural terhadap sel basal dan
progenitornya. Hal tersebut terdiri dari matriks ekstraselular, substansi dasar, dan variasi
dari sel stromal, termasuk fibroblas, kapiler dan sel endotelial limfatik, sel otot polos, sel
neuroendokrin, dan akson (ditinjau pada Taylor dan Risbridger, 2008).
Sitomatrkis (skeleton sitoplasma) mengalami terminasi pada bagian tengah dari sel
dengan perlekatan langsung pada matriks nukleus. Sel epitel prostat oleh karena itu
memiliki struktur penghubung langsung melalui sistem matriks dari DNA kedalam membran
plasma. Sitomatriks kemudian membentuk kontak langsung dengan membran basal, matriks
ekstraselular, dan substansi dasar dari strma. Keseluruhan lipatan jaringan yang terikat satu
sama lain atau superstruktur ini dinamakan matriks jaringan dan dapat memiliki properti
dinamis dalam mengurutkan dan mengontrol proses biologis sebagaimana pada transport
sekresi dari jaringan aksesoris seksual (Getzenberg et al, 1990; Konety dan Getzenberg,
1999; Etienne-Manneville, 2004; Miner dan Yurchenco, 2004; Hallmann et al, 2005).
Pengertian terhadap komponen biologis dari sistem matriks jaringan didalam jaringan
aksesoris seksual adalah penting dalam mengerti fisiologis yang ada. Protein laminin adalah
glikoprotein dari matriks ekstraselular yang memediasi perlekatan sel terhadap kolagen tipe
IV dari membran basal (Miner dan Yurchenco, 2004; Yurchenco et al, 2004; Hallmann et al,
2005). Laminin diproduksi oleh sel epitelial tetapi bukan oleh fibroblas; merupakan molekul
besar (kurang lebih 800kD) dengan domain molekul yang berinteraksi dengan kolagen tipe
IV pada membran basal dan reseptro tipe integrin didalam sel permukaan glikokaliks dari sel
epitelial (Aumailley et al, 2005). Laminin adalah filamen penahan mayor dari membran basal
sel epitel yang menstabilkan perlekatan dari hemidesmosom melalui integrin α6β4 (Brar et al,
2003; Miner dan Yurchenco, 2004). Properti kunci fungsional dari laminin adalah sel
adhesi, proliferasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan migrasi. Laminin mengelilingi
membran basal dari sel epitel asinar prostat, kapiler, otot polos, dan serabut saraf tetapi
bukan limfatik, limfosit, atau fibroblas; struktur laminin dan distribusinya terganggu pada
BPH, dan neoplasia intraepitelial prostat derajat tinggi dan neoplasma prostat derajat yang
lebih tinggi (Sinha et al, 1989; Brar et al, 2003; Miner and Yurchenco, 2004).
Sebagai kesimpulan, perkembangan dan pemeliharaan prostat terjadi melalui
keadaan dependen androgen dan secara tinggi meregulasi morfogenesis jaringan
pada proses yang melibatkan diferensiasi sel epitelial, proliferasi, dan apoptosis
(Cunha et al, 2004). Komunikasi melalui interaksi sejumlah ekstraselular diarahkan
langsung pada sitoskeleton intraselular dan kemudian pada matriks nukleus, yang
secara kuat meregulasi fungsi transkripsi sel yang bervariasi yang mengontrol
kualitas fenotipik kritis seperti ukuran dan bentuk sel, motilitas sel, kematian sel
epitel, proliferasi, dan diferensiasi (Getzenberg et al, 1990; Pienta et al, 1993; Miner dan
Yurchenco, 2004).
.
Gambar 102-3. Simplifikasi endokrinologi dari prostat. Hormon pelepas – hormon
luteinisasi (LNRH), juga diketahui sebagai hormon pelepas gonadotropin (GnRH),
menstimulasi pituitari untuk melepas hormon luteinisasi gonadotropin (LH) dan
hormon penstimulasi folikel (FSH), yang menstimulasi sel Leydig dari testes untuk
mensintesis testosteron. Testosteron adalah androgen serum utama yang
menstimulasi pertumbuhan prostat. Konversi perifer dari testosteron oleh bentuk
aromatisasi dari estrogen pada pria. Kelenjar adrenal dibawah stimulasi dari hormon
adrenokortikotropik (ACTH) dan melepaskan androgen minor, seperti androstenedion,
yang juga dikonversi secara perifer menjadi estrogen. Prolaktin juga telah ditunjukan
memiliki efek minor dalam stimulasi androgen yang menginduksi pertumbuhan
prostat. Prostat dapat memproduksi faktor pertumbuhannya sendiri (autokrin atau
parakrin) atau berespon terhadap faktor pertumbuhan yang bersirkulasi.
Tabel 102-2 Kadar Plasma Rerata dari Steroid Seks pada Manusia Laki-laki Sehat
5α-Androstane 3β,17β-
diol (3β androstanediol)
Androsteron 54 ± 32 9 0.28 53
Dehidroepiandrosteron 501 ± 98 81 29 15
Progesteron 30 4.5
Gambar 102-4. Penilaian kuantitatif dari biosintesis testikular, transport plasma, dan
metabolisme testosteron. Testosteron plasma terikat pada seks steroid pengikat
globulin (SSBG), albumin serum manusia (HSA), dan globulin pengikat kortisol (CBG).
Seluruh jumlah dari nilai rerata untuk nilai normal pada laki-laki dewasa. DHT,
dihidrotestosteron; TeBG, globulin pengikat testosteron.
Androgen Adrenal
Reseptor estorgen (ER) secara diferensial diekspresikan pada prostat. Pada tikus,
ER-α diekspresikan dini (1 minggu) dalam stroma dari prostat ventral tetapi dalam 2 minggu
secara preferensial diekspresikan pada epitelial, dan ER-α absen bersamaan dengan
prostat ventral dalam 4 minggu. Sebaliknya, ER-β ada pada kompartemen epitelial
sebagaimana ER dominan pada minggu keempat. Menarik untuk dicatat, akan tetapi, bahwa
tikus yang di keluarkan ER (kedua isoform) mampu membentuk prostat normal, walaupun
fertilitas dapat terbatas pada kelompok ER-α (Couse et al, 2001). Hanya sejumlah kecil dari
estrogen yang diproduksi secara langsung oleh testes. Pada plasma pria manusia sehat
muda, 75% - 90% estrogen berasal dari konversi perifer androstenedion dan testosteron
menjadi estron dan estradiol melalui reaksi aromatase (lihat gambar 102-5) (Horton, 1976;
MacDonald, 1976). Steroid C19 androgenik (testosteron dan androstenedion) dikonversi
menjadi steroid estrogenik C18 awalnya dengan menghilangkan kelompok 19-metil dan
kemudian dengan pembentukan steroid aromatik atau fenolik cincin A (reaksi aromatase),
tampak baik pada estradiol dan estorn. Estradiol terbentuk dari testosteron dan estron dari
androstenedion; kedua estrogen yang dapat saling berkonversi. Produksi harian dari
estradiol pada manusia pria adalah 40-50 µg, dan hanya 5-10 µg (1-% - 25%) dapat
dinayatakan berasal dari sekresi testikular langsung (lihat tabel 102-2).
Kurang dari 2% testosteron total pada plasma manusia adalah bebas atau tidak
terikat, sisa 98% terikat pada beberapa tipe yang berbeda dari protein plasma (Lihat gambar
102-4). Protein plasma yang mengikat steroid termasuk albumin serum manusia, globulin
pengikat hormon seks (dicatat sebagai SSBG atau SHBG), globulin pengikat kortikosteroid
(juga dinamakan transcortin), globulin pengikat progesteron, dan, pada keadaan yang lebih
sedikit, asam glikoprotein-α1. Dibawah kondisi normal, jumlah total dari testosteron yang
terikat pada globulin yang terkiat pada progesteron dan asam glikoprotein-α1 adalah nominal
dan biasanya diabaikan. Kadar SHBG ditekan oleh androgen yang bersirkulasi
sebagaimana steroid anabolik dan dapat berkurang pada diabetes dan obesitas.
Regulasi dari jumlah androgen yang bebas adalah variabel fisiologis yang penting
dan bervariasi pada spesies yang berbeda. Jumlah total dari steroid yang terikat
bergantung pada dua faktor: (1) afinitas steroid untuk berikatan pada protein spesifik
dan (2) kapasitas, dimana ikatan potensial maksimal ketika semua protein yang terikat
menjadi jenuh dengan ikatan steroid. Kapasitas ini diatur oleh jumlah ikatan protein
dalam plasma. Albumin serum memiliki afinitas yang relatif rendah terhadap testosteron,
tetapi dengan jumlahnya, memiliki kapasitas yang tinggi. Sebaliknya, SHBG memiliki afinitas
tinggi pada steroid yang terikat, tetapi protein muncul secara relatif pada konsentrasi yang
rendah; akan tetapi, molaritas plasma pada tiap protein yang berikatan melebihi molaritas
plasma terhadap konsentrasi testosteron total. Mayoritas testosteron berikatan dengan
protein plasma terkait dengan SHBG. Sebagai contoh, Vermeulen (1973) telah menghitung
bahwa dalam pria manusia normal, 57% dari testosteron pada plasma terikat pada SHBG
dan 40% berikatan dengan serum albumin manusia. Kurang dari 1% terikat pada globulin
pengikat kortikosteroid, dan hanya 2% dari testosteron total adalah bebas (liihat gambar
102-4). Plasma normal dari kadar bebas testosteron adalah oleh karenanya 12.1 ± 3.7 ng/dL
atau 0.42 nM; yang tidak protein “testosteron bebas” adalah tersedia untuk berdifusi
kedalam kelenjar seks aksesoris dan kedalam sel liver untuk metabolisme. Sebagai
tamabahan, presentasi luas dari SHBG adalah tersaturasi, dimana hanya fraksi kecil dari
kapasitas total globulin terikat steroid dan albumin yang digunakan pada kondisi normal.
Sebagaimana kadar testosteron meningkat dalam plasma, urutan peningkatan saturasi
plasma dimulai dari SHBG kemudian kortikosteroid terikat globulin hingga albumin. Oleh
karena itu, ikatan androgen adalah kesetimbangan dinamis antara protein serum yang
bervariasi. Karena kurang dari 5% testosteron total muncul dalam bentuk bebas,
pengukuran terpisah dari ikatan dan testosteron bebas secara umum tidak
direkomendasikan, dan secara umum hanya testosteron total yang diukur.
Total dari kadar plasma SHBG dapat dipengaruhi oleh terapi hormonal. Pemberian
testosteron mengurangi kadar SHBG pada plasma, dimana terapi estrogen
menstimulasi kadar SHBG. (Forest et al, 1968; Vermeulen et al, 1969; Burton and
Westphal, 1972). Estrogen juga berkompitisi dengan testosteron untuk berikatan dengan
SHBG, tetapi estrogen hanya memiliki afinitas ikatan sepertiga dari testosteron. Oleh
karena itu, pemberian sejumlah kecil estrogen meningkatkan konsentrasi total SHBG<
dan hal ini secara efektif meningkatkan ikatan testosteron dan kemudian menurunkan
konsentrasi testosteron bebas dalam plasma.
Karena hanya testosteron bebas yang tersedia secara biologis, ikatan testosteron
pada protein plasma menghambat ambilan net testosteron kedalam prostat (Lasnitzki dan
Franklin, 1972). Jelas bahwa aktivitas androgenik diregulasi sebagaian oleh perluasan
ikatan androgen terhadap protein pengikat steroid didalam plasma.
Terdapat kadar multipel dari regulasi pertumbuhan prostat, dimana termasuk aksi
hormon steroid, faktor pertumbuhan, dan komunikasi sel ke sel langsung dan interaksi
dengan matriks ekstraselular. Kontrol pertumbuhan dengan tipe interaktif ini diselesaikan
oleh beberapa sistem tergeneralisasi sebagaimana digambarkan secara skematik pada
gambar 102-6. Termasuk diantaranya:
Faktor endokrin atau sinyal jarak panjang tiba pada prostat oleh transpor serum dari
hormon yang berasal dari sekresi organ jauh; faktor endokrin termasuk hormon
steroid seks seperti testosteron dan estrogen dan hormon peptida serum seperti
prolaktin dan gonadotropin.
Sinyal neuroendokrin berasal dari stimulasi neural, seperti 5-hidroksitriptamin
(serotonin), asetilkolin, dan norepinefrin.
Faktor parakrin atau faktor pertumbuhan jaringan larut yang menstimulasi atau
menghambat pertumbuhan, yang dielaborasi berdasarkan jarak pendek antara sel
yang bertetangga pada kompartemen jaringan prostat (FGFs, faktor pertumbuhan
epidermal).
Faktor autokrin yang diproduksi dan dilepaskan oleh sel dan kemudian diambil
kemabli pada reseptor membran sel eksternal untuk meregulasi pertumbuhan atau
fungsinya sendiri; sebagai contoh, faktor motilitas autokrin.
Faktor intrakrin, yang berfungsi seperti faktor autokrin tetapi bekerja didalam sel.
Faktor matriks ekstraseluler, yang tidak larut dalam sistem matriks jaringan dan
membuat kontak langsung dan berpasangan menjadi melekat melalui integrin dan
molekul adhesin pada membran basal dan pembentukan kelompok sitoskeleton
dengan komponen matriks ekstraseluler, yang termasuk didalamnya
gliksaminoglikan, seperti heparan sulfat (Getzenberg et al, 1990).
Interaksi sel ke sel dari sel stromal atau epitel terjadi melalui hubungan membran
erat pada protein intramembran seperti CAMs (contoh E-cadherin) yang merupakan
sel bertetangga.
Gambar 102-6. Tipe kontrol pertumbuhan. Sinyal endokrin dibawa melalui sirkulasi
dari organ jauh. Sinyal parakrin diproduksi oleh proksimitas sel yang bertetangga.
Sinyal autokrin memberikan umpan balik pada sel yang sama dimana mereka
diproduksi. Sinyal intrakrin adalah subset khusus dari sinyal autokrin yang tidak
pernah meninggalkan sel tetapi bekerja secara lokal didalam sel. sitokin adalah faktor
seperti parakrin (biasanya) yang dibentuk oleh sel imun. Faktor neurokrin dilepaskan
oleh saraf. Molekul adhesi sel secara langsung menhubungkan sel tetangga, sering
melalui hubungan dengan molekul adhesi yang serupa. Sel juga terikat pada matriks
ekstraseluler melalui interaksi dengan molekul adhesi sel lainnya (contoh., integrin).
GF, faktor pertumbuhan.
Dari ketujuh sistem kontrol ini, studi awal yang paling luas pada prostat adalah efek
endokrin dari steroid androgenik, seperti testosteron, pada regulasi perkembangan prostat
melalui perubahan kadar serum testosteron dan konversi menjadi DHT. Akan tetapi,
androgen sendiri tidak cukup untuk menyebabkan pertumbuhan menyeluruh pada prostat.
Pada dua dekade terakhir, progresivitas luas telah dibuat dalam pemahaman terhadap
sistem lainnya, terutama peran interaktif dari faktor pertumbuhan dan reseptornya, pada
keberadaannya, peran dari reseptor ini pada persinyalan seluler terhadap nukleus dan
elemen struktural pada kontrol selular yang melibatkan matriks jaringan sedang
dikembangkan. Mekanisme ini ditinjau selanjutnya, dimulai dengan aksi androgen pada sel
yang dimulai dengan adanya testosteron dalam serum.
Testosteron pada serum tiba pada prostat dalam keadaan terikat albumin dan oleh
globulin pengikat steroid. Dengan difusi, testosteron bebas memasuki sel prostat, dimana
kemudian diarahkan pada variasi dari tahapan metabolik steroid yang meregulasi aktivitas
hormon steroid dan efektor berikutnya. Skemtaik sederhana dari sekuens temporal dari
kejadian intraseluler digambarkan pada Gambar 102-7 dan termasuk hal berikut:
Ambilan selular dari testosteron
Konversi testosteron menjadi DHT oleh metabolisme dari 5α- reduktase
DHT atau testosteron berikatan pada AR spesifik dalam sitoplasma
Dimerisasi dan aktivasi dari reseptor steroid dari variasi langkah pasca translasi,
termasuk sebagai contoh, fosforilasi
Transportasi nukleus aktif dari AR teraktivasi dalam adenosin trifosfat (ATP) –
keadaan bergantung.
Remodelling kromatin melalui interaksi dengan molekul koregulator
Transaktivasi atau transrepresi, melalui interaksi degnan koaktivator atau korepresor
lainnya, dalam proses bergantung histon asetiltransferase
Ikatan dari kompleks koaktivator-reseptor teraktivasi terhadap elemen respon
androgen, yang pendek, sekuens spesifik dari DNA yang dikenali secara spesifik
oleh dimer AR.
Regulasi gen. Reseptor bertindak sebagai faktor transkripsi, dan ketika berikatan
dengan DNA dan matriks pada proksimitas target gen androgen kemudian akan
mengalami peningkatan transkripsi dari RNA polimerase II dari DNA menjadi mRNA.
Pesan yang ditranskripsikan (mRNA) adalah besar dan mengandung intron, ekson,
dan ekor poli-A. Bagian intron dieksisi dari spesies RNA awal, sehingga hanya
bagian ekson yang dipertahankan pada pesan terakhir. Pemotongan dan
pemrosesan mRNA dilengkapi pada matrik nukleus sebagaimana ditranspord melalui
nukleus dan keluar melalui kompleks pori nukleus. mRNA terstabilisasi ditransport
kedalam kompartemen sitoplasmik untuk ditranslasi pada ribosom menjadi protein,
yang kemudian ditransport pada tempat selular spesifik. Bergantung pada gen target,
beberapa protein akan mengalami penyimpanan pada granula sekretorik untuk
disekresi kedalam lumen saat diperintahkan ketika proses fisiologis ejakulasi.
Sel epitel adalah unit primer dari sekresi, tetapi gen spesifik juga teraktivasi pada sel
stromal, dan kejadian ini juga diregulasi oleh testosteron, estrogen dan faktor pertumbuhan
pada rantai kejadian serupa. Akan tetapi, tidak semua sel berespon pada keadaan yang
sama terhadap androgen atau estrogen. Untuk mudahnya, langkah ini didiskusikan terkait
dengan sel epitelial. Androgen dan estrogen, keduanya bersamaan dan secara terpisah,
dapat mempengaruhi sel prostat melalui interaksi dengan reseptor, dan tampaknya bahwa
estrogen dapat memiliki efek primer pada sel stromal.
Gambar 102-7. Skematik yang disederhanakan dari efek testosteron pada aktivasi
target transkripsional pada sel epitelial. Pada plasma, testosteron (T) diikat dengan
serum pengikat globulin (SBG), seperti globulin pengikat testosteron dan albumin.
Testosteron bebas ditranspor oleh difusi pasif menjadi prostat, dimana secara
enzimatik diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT) oleh 5α-reduktase (tipe 2) dan
lebih lanjut dimetabolisme menjadi diol (3α atau 3β) dan secara ireversibel
dimetabolisme menjadi triol yang lebih larut air (6α atau 7α). DHT berikatan pada
reseptor sitoplasma (reseptor androgen) yang teraktivasi dan mengalami translokasi
kedalam nukleus. Disana reseptor androgen terlokalisir pada tempat akseptor matriks
dan secara berturut-turut mengaktivasi atau menekan beberapa gen target dengan
meregulasi produksi dari mRNA nya. RNA kemudian ditransport kedalam sitoplasma,
dimana kemudian ditranslasikan kedalam protein yang bervariasi (contoh., protein
sekretori seperti antigen spesifik prostat).
Setelah testosteron bebas dalam plasma telah memasuki sel prostat melalui difusi,
secara cepat akan dimetabolisme menjadi steroid lainnya melalui seri dari enzim prostatik
(Isaacs et al, 1981, 1983; Isaacs dan Coffey, 1981; Bruchovsky dan Dunstan-Adams, 1985).
Lebih dari 90% testosteron secara ireversibel diubah menjadi DHT androgen prostat utama
(Gambar 102-8) melalui aksi reduksi dari bentuk nikotinamid-adenin dinukleotida fosfat
(NADP) dan enzim 5α – Reduktase yang mengurangi ikatan yang tidak tersaturasi pada
testosteron diantara posisi 4 dan 5 untuk membentuk produk 5α – tereduksi untuk
menghasilkan DHT. Km untuk testosteron adalah 8.3 nM, dan kadar serum testosteron
adalah hanya berjarak dari 0.5 – 3.0 nM, mengindikasikan bahwa enzim ini tidak dapat
disaturasikan karena substrat testosteron akan kurang dari nilai Km. Bruchovsky dan
Dunstan-Adams (1985) melaporkan peningkatan 10 kali lipat pada velositas maksimal dalam
jaringan stromal dibandingkan dengan epitelium. Mereka menilai 262 pmol dari DHT yang
terbentuk dalam 30 menit per miligram protein dari testosteron yang diukur dalam stroma
dan kurang dari 1-% dari jumlah dengan velositas maksimal berupa 19 terhadap epitelium.
Km stromal adalah 76 nM dan Km epitelial adalah 13 nM. Perbedaan ini antara kinetik
stromal dan epitelial digunakan untuk mendeduksikan keberadaan kedua isoenzim yang
berbeda dari 5α – reduktase (Andersson et al, 1991).
Pada manusia, tikus, dan monyet terdapat dua isoenzim dari 5α – reduktase
(tabel 102-3). Isoenzim manusia dan tikus terhadap 5α – reduktase terdiri dari 254 hingga
260 asam amino dengan berat molekular 28 hingga 29 kD. Enzim ini terglikosilasi N- dan O-
dan memiliki presentasi tinggi dari asam amino hidrofobik yang terdistribusi pada enzim
secara keseluruhan. Lokalisasi kromosomal pada gen isoenzim 5α – reduktase manusia
telah dilaporkan; enzim tipe 1 adalah pada ujung ekstrim dari lengan pendek kromosom 5,
dan gen tipe 2 manusia ada pada lengan pendek dari kromosom 2. Terdapat 49% homologi
antara enzim tipe 1 dan 2 pada manusia. Properti dari enzim ini telah dibahas dengan
lengkap oleh Russel dan Wilson (1994), dan efek pada pertumbuhan prostat oleh McConnell
(1995). Efek dari finasteride pada aktivitas 5α – reduktase telah ditinjau oleh Rittmaster
(1994). Enzim tipe 1 adalah pada kulit dan pada kulit kepala dewasa dan dipercaya terlibat
pada pembentukan rambut. Hal tersebut tampak lebih jarang pada epitel prostat dan stroma.
Isoform ditemukan pada kadar normal pada pria dengan defisiensi kongenital dari 5α –
reduktase. Enzim tipe 2 mengalami mutasi pada defisiensi 5α – reduktase dan pada
isoform dominan yang ada pada kelenjar prostat. Enzim tipe 2 tampak pada sel basal
epitelium dan pada sel stromal tetapi tidak ada pada sel epitel sekretori. Hal ini
meningkatkan kemungkinan bahwa stimulasi DHT pada sel epitelial berasal dari DHT yang
dikonversi dalam sel stromal atau basal. Silver dan kawan-kawan (1994) telah mempelajari
ekspresi tipe sel spesifik dari reduktase ini, sebagaimana regulasinya. Tampaknya bahwa
5α – reduktase tipe 2 pada prostat tidak berubah secara dramatis pada individu yang
mengalami ablasi androgen jangka pendek.
Berman dan kolega (1995) telah mempelajari distribusi dari dua isoenzim 5α –
reduktase pada traktus urogenital fetal tikus. Pada 17 hingga 21 hari perkembangan
ekspresi gen tipe 1 yang predominan pada sel epitelial; gen tipe 2 terbatas pada sel
mesenkimal. Hal tersebut benar baik pada keadaan dependen testosteron dan anlagen
dependen DHT pada traktus urogenital. Investigator mengobservasi bahwa androgen dapat
menstimulasi ekspresi darigen tipe 2 pada traktus urogenital tetapi tidak pada gen tipe 1.
Mereka memperkirakan bahwa gen 5α – reduktase tipe 2 menunjukan kontrol umpan balik
positif dimana produk enzim, DHT, dapat menstimulasi ekspresi gen; akan tetapi, tidak ada
bukti regulasi tersebut baik pada gen 5α – reduktase yang terdeteksi pada fetus.
Sebagai kesimpulan, 5α – reduktase memiliki kepentingan yang besar karena
produk DHT adalah penting pada diferensiasi dari prostat saat perkembangan fetus
dan karena mutasi pada 5α – reduktase memberikan peningkatan pada bentuk jarang
dari pseudohermafroditisme. Pada fisiologi prostat, ekspresi dari gen 5α – reduktase
diregulasi oleh androgen baik pada prostat dan liver. Juga dipercaya bahwa 5α –
reduktase terlibat pada pola kebotakan pria, jerawat, dan hirsutisme sebagaimana pada
BPH. 5α – reduktase inhibitor finasteride (inhibitor tipe 2) dan dutasterid (inhibitor tipe
1 dan 2) secara klinis merupakan obat yang bermanfaat dalam terapi BPH dan pola
kebotakan pria ketika diberikan pada pasien yang sesuai.
Setelah DHT terbentuk dari testosteron dalam prostat; kemudian diarahkan pada seri
dari reaksi metabolik berkebalikan untuk membentuk 3α -diol (5α – androstane -3α, 17β-diol)
dan 3β-diol (5α – androstane -3 β, 17β-diol) (lihat gambar 102-8). Enzim yang melakukan
transformasi dari DHT adalah 3α- atau 3β – hidroksisteroid oksidoreduktase. Enzim ini
menggnakan NADP sebagai kofaktor, tetapi sebaliknya 5α – reduktase juga dapat
menggunakan nikotinamid – adenin dinukleotida (NAD). Keseimbangan terhadap
metabolisme dari DHT memungkinkan pembentukan DHT, dimana, kelompok 3-hidroksi dari
3α – diol dan 3β – diol teroksidasi menjadi 3-keton yang tampak pada DHT. Diketahui
bahwa 3α – diol yang diberikan pada hewan adalah androgen kuat melalui konversi cepat
menjadi DHT efektif. Disisi lain, 3β – diol tidak efektif seperti androgen karena secara cepat
dan ireversibel dikonversi menjadi bentuk triol oleh hidroksilasi pada posisi 6α dan 7α (lihat
gambar 102-8). Triol adalah produk akhir dari metabolisme testosteron tetapi larut air dan
inaktif sebagai androgen disebabkan mereka tidak dapat membentuk ulang DHT. Steroid
juga dapat membentuk glukuronid atau konjugat sulfat dan dapat disekresi kedalam bentuk
yang lebih larut. Sebagai kesimpulan, testosteron secara ireversibel dimetabolisme
menjadi DHT yang sebanding dengan reduksi steroid lainnya secara primer melalui
oksidasi dan reduksi pada 3 posisi. Steroid mengalami inaktivasi dengan menjadi
terhidroksilasi secara ireversibel menjadi triol inaktif.
Gambar 102-8. Jalur metabolik untuk testosteron didalam prostat. Testosteron secara
ireversibel dimetabolisme oleh 5α-reduktase menjadi dihidrotestosteron (DHT),
dimana kemudian secara reversibel diubah menjadi 3α – diol dan 3β-diol. 3β-diol
secara ireversibel diinaktivasi mejnadi lebih larut sebagai 6 α – triol dan 7α – triol. 3α
– HSD, 3α – hidroksisteroid dehidrogenase.
Saat ini tampak jelas bahwa terdapat interaksi dinamis dan resiprokal antara fungsi
sel epitelial dan sel stromal (Steiner, 1993; Cunha, 1994; Sikes et al, 1995; Cunha et al,
2003, 2004). Interaksi silang dimediasi melalui organisasi spasial dari elemen matriks
ekstraseluler yang membentuk hubungan membran basal. Hubungan ini ada, menyaring,
dan mengorganisir sinyal dua arah parakrin dan aliran informasi diantara dua kompartemen
selular. Sebagai contoh, cairan, gas, nutrien, hormon, dan banyak faktor pertumbuhan yang
tiba pada prostat melalui sirkulasi dan harus melewati awalnya melalui substansi dasar
stromal, matriks ekstraselular, dan membran basal sebelum mencapai sel epitel sekretori
basal. Awal pada perkembangannya, fungsi dari elemen epitelial dan mesenkimal (stromal)
bervariasi sebagaimana tipe sel, komposisi, properti, dan interaksi. Hal tersebut merupakan
integrasi sistem biologis dari dua elemen jaringan sebagaimana dinamikanya saat penuaan
yang memainkan peting apda dungsi prostat sebagai unit dan kelenjar. Tentu, hal tersebut
merupakan pemecahan dari interaksi jaringan yang merupakan satu penanda dari
pertumbuhan abnormal dari prostat yang dimulai pada awal kehidupan dan diinisiasi pada
beberapa waktu setelah virilasasi makismal, kira-kira pada usia 25 tahun. Prostat sangat
rentan pada gangguan permanen dini pada bentuk dan struktur sebagai konsekuensi
genetik, lingkungan, diet, atau faktor metabolk dengan penuaan (Risbridger et al, 2005).
Faktanya, peting untuk menghubungkan antara perubahan hormonal (androgen dan
estrogen) yang terjadi saat periode fetal atau neonatal yang menetap dan oleh karena itu
dapat menyebabkan onset gejala pada kehidupan mendatang. Dengan penuaan, saat
periode usia 50 hingga 60 tahun, organ ini berprogesi lamba melalui transisi dari anatomi
histologi zona normal dan berfungsi pada tanda dini dari BPH, atrofi inflamasi prostatik,
hingga neoplasia interepitelial prostat, dan akhirnya beberapa tipe dari adenokarsinoma
prostat. Konsep ini telah dipelajari pada beberapa model tikus (Rajfer dan Coffey, 1978,
1979; Naslund dan Coffey, 1986, 1987; Prins dan Birch, 1995; Singh et al, 1999; Prins et al,
2001; Risbridger et al, 2005).
Tipe 1 Tipe 2
Kromosom 5p12 2p23
Berat molekul 29,000 28,000
Asam amino 259 254
Ekson 4 4
Intron 5 55
Homologi 49% 49%
pH optima Alkalin (6-8.5) Asam (5.0)
Km testosteron (µM) 1.5 0.1-1.0
Ki finasterid (nM) 325 12
Waktu paruh (jam) 20-30 20-30
Defisiensi 5α – reduktase Normal Mutasi
Sel Prostat
Manusia
Epitelial luminal ± -
Epitelial basal - +
Stromal ± +
Kulit + -
Tikus
Sel prostat
Epitelial luminal - -
Epitelial basal + -
Stromal - +
Interaksi matriks ekstraseluler dan sel ke sel menjadi target utama dalam
pemahaman mengenai bagaimana fenotipe sel ini diregulasikan. Reseptor transmembran
pada sel permukaan meluas melalui membran plasma dan membentuk jembatan secara
langsung menghubungkan sitoskeleton dengan protein dan reseptor yang terletak pada
matriks ekstraseluler atau pada sel tetangga. CAM dibagi menjadi 4 tipe utama: (1) integrin,
yang menghubungkan sel dengan membran basal dan komponen matriks ekstraselular
melalui interaksi heterodimer; (2) kadherin, yang menghubungkan sel dengan sel tetangga
melalui polimer homotipik; (3) selektin, yang menghubungkan sel menuju struktur
karbohidrat terutama pada sistem vaskular; dan (4) molekul adhesi superfamili
imunoglobulin (Ig). Studi yang paling luas dari CAM pada prostat berdasarkan urutan
ketertarikannya adalah E-cadherin, yang mengikat PrECs satu sama lain, dan CD71, yang
berikatan dengan transferin, sebagaimana dengan beberapa dari molekul integrin. Ikatan ini
telah disurvei pada garis sel tumor prostat secara in vitro (Rokhlin dan Cohen, 1995), tetapi
kerja yang lebih luas dilakukan secara in vivo dalam prostat yang berkembang normal dan
kanker prostat.
Integrin dibentuk dari dua heterodimer yang berikatan secara kovalen yang
dinamakan subunit α dan β. Integrin ini bertindak secara eksternal untuk mengontak
reseptor matriks esktraselular dari fibronektin, fibrinogen, kolagen dan laminin sebagaimana
glikosaminoglikan dalam proteoglikan dari matriks ekstraselular. Domain reseptor integrin
didalam kompartemen sel bertindak sebagai titik fokal dalam menentukan struktur dan
susunan dari sitoskeleton. Kurang lebih dari 8 subunit α dan β dapat berinteraksi pada
heterodimer yang berbeda dimana spesifik terhadap jaringan dan dapat menjadi beberapa
tipe bahkan pada satu sel. kombinasi berbeda dapat memiliki derajat yang bervariasi dalam
aktivitas ikatannya dengan komponen matriks ekstraselular. Sebagai contoh, α3β1 berikatan
dengan laminin, kolagen, dan fibronektin dan demikian dengan mengenali triplet asam
amino pada protein ini yang dibentuk oleh arginin, glisin, dan asam aspartat (RGD).
Tipe lain dari reseptor transmembran juga meluas dari sel untuk membentuk kontak
langsung sel ke sel dengan sel tetangga dengan mengenali reseptor serupa dan
membentuk ikatan homodimer. Beberapa dimer homofilik yang memerlukan kalsium untuk
interaksi terhadap pembentukan ikatan sel ke sel dengan sel tetangga dinamakan cadherin.
4 dari tipe sel tersebut telah di klon. Sel tersebut mengandung 723 menjadi 748 asam amino
yang tersusun dari peptida tunggal, sebuah regio ekstraselular dengan tiga domain
pengulangan., sebuah regio transmembran hidrofobik dan sebuah ekor panjang sitoplasmik.
Terdapat kurang lebih 50% homologi sepanjang spesies dan diantara integrin. Kadherin
diklasifikasikan kedalam tiga subtipe: E-cadherin, ditemukan pada sel epitel (juga
dinamakan uvomorulin, sel CAM 120/80, ARC-1 atau L-CAM); dan P-cadherin, ditemukan
secara primer pada plasenta dan epitelium (Albeva, 1994). Pada sel prostat, sebagai
contoh, E-cadherin meluas pada permukaan membran membentuk kontak dengan sel
tetangga dan membentuk sebuah homodimer, dan E-cadherin meluas kedalam sel dengan
lewat melalui membran yang akan membentuk pusat terorganisir yang mengikat kompleks
dari tiga protein sitoplasmik yang dinamakan catenins α, β, dan γ. Kompleks ini terlokalisir
pada zonula pelekat pada sel dan berpartisipasi pada pembentukan hubungan dan
stabilisasi sitoskeleton. Sistem matriks yang saling mengunci ini berinteraksi membentuk
jaringan struktural yang meluas secara eksternal dari kontak sel ke sel dan interaksi matriks
ekstraselular dan kemudian secara internal terhadap penyusunan sitoskeleton dan secara
sentral, berakhir dengan kontak langsung dengan matriks nukleus yang membentuk
penyusunan jaringan spesifik DNA.
Interaksi dari matriks jaringan non histon meregulasi banyak aspek dari fungsi DNA
yang terlibat pada pertumbuhan dan diferensiasi. (Getzenberg et al, 1990; Boccardo et al,
2003). Protein non histon seperti kelompok protein mobilitas tinggi (HMG) termasuk HMGI/Y
(HMGA) yang berpartisipasi pada sejumlah proses selular, seperti regulasi dari transkripsi
gen yang diinduksi, integrasi dari retrovirus kedalam kromosom dan induksi dari
transformasi malignan (Reeves dan Beckerbauer, 2003). Melalui interaksi protein-DNA dan
protein-protein, anggota dari keluarga HMGA dapat mempengaruhi pertumbuhan, proliferasi
sel, diferensiasi, dan kematian sel; mereka mempengaruhi dinamik kromosom dengan
bekerja pada faktor transkripsi arsitektur yang mempengaruhi beberapa gen yang memiliki
dampak pada struktur jaringan dan organisasi. Kelas gen ini sering mengalami peningkatan
regulasi pada kanker (Reeves dan Beckerbauer, 2003). Tipe interaksi jaringan matriks ini
adalah penting dalam mengenali interaksi stromal – epitelial karena mereka membentuk
hubungan struktural langsung dan komunikasi antara stroma dan epitel DNA nukleus.
Ringkasannya, dibawah pengaruh hormonal (estrogen dan androgen) dan diet, regulasi dari
struktur kromatin dan penyusunan melalui jalur histon dan non histon yang menggantikan
dan mempertahankan susunan jaringan sebagaimana interaksi pada keadaan sehat dan
sakit.
Diskusi pada titik ini, telah mempertimbangkan elemen yang tidak larut secara primer
yang menginduksi interaksi stromal-epitelial, tetapi hormon larut seperti steroid, vitamin, dan
faktor pertumbuhan juga penting (Sikes et al, 1995). Sel stromal prostat mengandung
reseptor steroid dan berespon baik pada androgen dan estrogen (lihat diskusi sebelumnya).
Androgen dan estrogen dapat mengganggu pembentukan kolagen (Coffey dan Walsh,
1990) dan komponen matriks ekstraselular lainnya, seperti glikosaminoglikan, pada prostat
(DeKlerk et al, 1984; DeKlerk and Human, 1985; Kofoed et al, 1990; Horsfall et al, 1994).
Sebagai ringkasan, komponen yang berbeda pada interaksi matriks dapat baik
memiliki peran inhibisi pada regulasi negatif dari pertumbuhan prostat normal atau
peran positif dalam menegakkan pertumbuhan tumor. Terdapat banyak hipotesis
yang mempertimbangkan mekanisme dari interaksi stromal – epitelial, tetapi mereka
perlu mendapat penyelesaian.
Pada hampir keseluruhan sel dalam tubuh, steroid dapat memasuki nukleus, tetapi
hanya beberapa sel yang dapat mempertahankan steroid ini didalam nukleus pada waktu
yang panjang. Sel yang mempertahankan steroid memiliki reseptor yang spesifik terhadap
steroid, yang dapat mergulasi gen sensitif steroid yang spesifik didalam nukleus untuk
menganggu ekspresi dari beberapa protein. Afinitas AR terhadap sisi akseptor nukleus
dimana berikatan pada nukleus kemungkinan adalah kompilasi dari ikatan terhadap sekuens
spesifik dari DNA (elemen respon androgen) sebagaimana ikatan spesifik jaringan terhadap
faktor koregulator. Ambilan dan ikatan dari AR dalam nukleus diregulasi oleh keberadaan
ligan androgen yang terikat pada reseptor, menyebabkan aktivasi reseptor. Ketika androgen
tidak tampak, reseptor mengurangi afinitasnya terhadap ikatan nukleus dan secara mudah
dihilangkan; tentunya, dibawah kondisi kebiri, reseptor dapat keluar menuju sitoplasma
(Husmann et al, 1990). Teknik imunohistokimia mengindikasikan bahwa keberadaa
androgen dimana AR melokalisasi secara primer terhadap nukleus.
Prostat dan vesikula seminalis mengandung AR yang spesifik steroid dan berafinitas tinggi
(10-9 – 10-10 Kd) tersatuasi (100 – 1000 fmol reseptor per mg DNA ekuivalen terhadap
jaringan) yang pertama kali dideskripsikan oleh Liao dan Fang pada tahun 1969. Terdapat
5000-20.000 molekul dari reseptor ini per sel, lebih dari kemampuan ikatan pada elemen
respon androgen, yang mungkinlebih sedikit dibandingkan 400. Fungsi AR klasik telah
ditandai sebagai proses genomik, dimana beberapa transgen yang pasti diregulasi oleh AR
teraktivasi. Lebih terkini, akan tetapi, perhatian telah difokuskan pada mekanisme non
genomik dari aksi androgen (Benten et al, 1997; Jones et al, 2004). Aksi androgen
nongenomik terjadi melalui AR yang sama uyang terlibat pada regulasi genomik masih perlu
ditentukan. Susunan dan regulasi hormonal dari AR sebagaimana penggunaannya telah
ditinjau dengan detail (Gelmann, 2002; Black and Paschal, 2004; McEwan, 2004).
Reseptor Androgen
Kloning dari AR manusia dan ekspresinya adalah kejayaan dalam studi dari
mekanisme kerja dari androgen (Chang et al, 1988b; Lubahn et al, 1998). Hal ini memicu
pada studi dari sekuens gen dan produk protein – dan bagaimana gangguannya diperoleh
dari sindrom insensitivitas androgen – sebagaimana fungsi reseptor (Chang et al, 1995).
Gen AR adalah pada lengan panjang dari kromosom X pada posisi Xq11.2-q12.
Karena hanya ada satu kromosom X pada pria, hal tersebut merupakan gen kopi tunggal.
Sekuens pengodean untuk gen ini dibagi menjadi 8 ekson yang ditranskripsikan dan
diproses menjadi mRNA dan kemudian berturut-turut ditranslasi menjadi protein. Genomik
total DNA memiliki panjang minimal 80 kilobasa (Marcelli et al, 1990) tetapi membentuk
pesan akhir hanya 10.6 kilobasa, dimana hanya 17% dari gen total, dengan pembuka
cetakan bacaan yang terdiri dari 2757 pasang basa. Hal ini serupa dengan penyusunan dari
banyak reseptor steroid lainnya yang juga mengandung informasi dari 8 ekson, seperti
progesteron dan ER. AR adalah bagian dari superfamili reseptor nukleus, dimana
merupakan kelompok dari faktor transkripsi terinduksi ligan. Superfamili reseptor nukleus
memiliki lebih dari 200 anggota pada saat masuk (Escriva et al, 2004). Keseluruhan reseptor
ini berbagi beberapa temuan struktural yang memungkinkan mereka meregulasi ekspresi
gen, walaupun ligan dari banyak reseptor tersebut untuk diidentifikasi (disebut sebagai
reseptor tiri). Reseptor tersebut termasuk reseptor glukokortikoid, reseptor asam retinoat
(RXR dan RAR), reseptor vitamin D, reseptor estrogen dan progesteron, reseptor
peroksisom yang diaktivasi proliferator (PPAR-γ), dan banyak reseptor tiri. Seperti reseptor
steroid lainnya, AR dibagi menjadi tiga domain berbeda, domain modular: domain terminal
amino, domain pengikat DNA, dan pengikat ligan karboksil-terminal. Meskipun kesamaan
susunan struktural dari keseluruhan reseptor nukleus, aktivasi reseptor berbeda
menyebabkan respon selular bermakna yang berbeda. Analisis mutasional dari AR pada
manusia memungkinkan gambaran detail dari variasi fungsi yang berbeda, dimana diagram
tersebut secara skematik pada gambar 102-9.
Pergerakan (arah 5’) dari tempat inisiasi transkripsi adalah elemen regulator dari gen
yang mengontrol ekspresinya. Biasanya mengandung boks GC dibandingkan dengan klasik
TATA dan CCAAT, yang sering ditemukan pada promotor polimerase II – bergantung gen.
Dekat dengan tempat inisiasi yang terletak hanya pergerakan 70 pasang basa adalah 50
pasang basa regio kaya – purin yang merupakan elemen kerja cis untuk transkripsi AR.
Terdapat elemen kerja cis, termasuk sebuah AP-1 (yang terikat oleh heterodimer c-Fos dan
c-Jun) dan sebuah RARE (asam retinoit elemen respon) sebagaimana elemen respon siklik
adenosin monofosfat (cAMP) (AR/CRE1). Hal ini menunjukan regulasi eksprei dari gen AR
dapat melibatkan cAMP, aktivasi dari c-Fos / c-Jun, atau retinoid (Kuiper et al, 1989; Faber
et al, 1993; Mizokami et al, 1994; Young et al, 1994). Aktivasi dari AR tampak berupa fungsi
dari tahap berlanjut termasuk pembentukan kompleks awal dengan chaperionin tertentu,
ikatan ligan, modifikasi pasca translasional, dimerisasi, lokalisasi nukleus, dan ikatan
dengan reseptor terhadap kompleks koaktivator transkripsi yang mengalami pengulangan
model kromatin, tempat inisiasi target, dan stabilisasi mesin RNA polimerase II terhadap
pengulangan tahapan transkripsi. Untuk setiap temuan dibahas pada konteks temuan
struktrual yang diketahui adalah reseptor yang digambarkan pada gambar 102-10.
Gambar 102-9. Struktur dari protein reseptor androgen manusia. Reseptor androgen
dibagi menjadi beberapa domain fungsional termasuk domain pengikat DNA
(bergantung pada dua jari zink), domain pengikat steroid (terdiri dari sebuah kantong
hidrofobik), motif lokalisasi nukleus, dan beberapa tempat pengikatan koaktivator –
korepresor. Terdapat 3 pengulangan polimorfik dari glisin, prolin, dan glutamin,
dengan variasi ukuran diantara populasi berbeda. Posisi relaitf dari elemen fungsional
ditunjukan dalam skala.
Gambar 102-10. Mekanisme aktivasi reseptor androgen (AR) oleh ligan. Androgen
memasuki membran sel melalui difusi pasif dan berikatan dengan reseptor androgen
didalam sitolasma. AR ada pada keseimbangan dengan kompleks chaperonin, terdiri
dari setidaknya 8 komponen yang berbeda, termasuk Hsp90, Hsp70, Hip, p60, p23,
FKBP51, FKBP52, dan Cyp40. Sekali teraktivasi oleh ikatan ligan, modifikasi post
translasional terjadi, seperti fosforilasi. Secara kontemporer, dimerisasi terjadi, dan
aktivasi dari reseptor modifikasi androgen mengalami translokasi kedalam nukleus
melalui transport aktif.
Ikatan Chaperonin
Segera setelah produksi pada ribosom, bentuk kompleks reseptor dengan beberapa
protein lain seperti chaperonin. Chaperonin ini membentuk kompleks agregat, yang
diketahui sebagai koompleks 8S, pada referensi terhadpa ukuran kompleks pada analisis
sedimentasi gradien sukrosa. Kompleks chaperonin ini termasuk setidaknya 8 komponen
yang diketahui (Hsp90, Hsp70, Hip, p60, p23, FKBP51, FKBP52, dan Cyp40), yang
bertindak sebagai sekuester reseptor terhadap kolam inaktif (lihat gambar 102-10). Dengan
analogi terhadap reseptor progesteron, yang telah memiliki kejelasan bergantung pada
biologi molekuler dari kompleks chaperonin (Nair et al, 1996; Pratt and Toft, 1997; Smith,
2000), AR dapat mengalami disosiasi menjadi bentuk monomerik (4S pada sentrifugasi
gradien sukrosa) yang setara dengan bentuk 8S, dengan spesies yang lebih besar yang ada
pada kompleks chaperonin. Kompleks besar ini dapat terutama oleh aksi massa itu sendiri,
karena protein syok panas dapat ada sebagai protein terbanyak dalam sel. Walaupun AR
tidak kompleks, AR rentan terhadap langkah pemrosesan pasca translasi yang berbeda,
termasuk fosforilasi atau glikosilasi. Interaksi tersebut kemudian dapat menghambat
reasosiasi dengan chaperonin, memicu pada aktivasi bergantung ligan, aktivasi tidak
bergantung ligan, atau inaktivasi reseptor dengan degradasi yang dimediasi proteosom.
Bukti seperti mekanisme yang termasuk pada sekuens PEST seripa dengan satu dari
reseptor vitamin D yang tampak pada regio hinge dari keseluruhan mamalia dengan AR
yang diketahui, menunjukan bahwa hal tersebut dapat berfungsi pada degradasi AR yang
dimediasi proteosom. Lebih lanjut inhibisi proteosom memicu pada peningkatan signifikan
dari isoform AR (Sheflin et al, 2000).
Dekat dengan ujung dari ekson 1 dan memanjang hingga ekson 3 adalah sekuens
pengode dari domain ikatan DNA. Domain ikatan DNA AR terdiri dari 72 asam amino yang
kaya pada sistein dan mengode dua jari motif zink, yang memungkinkan pengenalan
spesifik dari beberapa sekuens DNA yang dirujuk sebagai elemen respon androgen. Elemen
tersebut terutama terdiri dari pengulangan terpisah palindromik oleh tiga spaser nukleotida –
sebagai contoh, GG(A/T)ACAnnnTGTTCT (Roche et al, 1992). Kristalografi sinar X dari
beberapa reseptor steroid (reseptor glukokortikoid dan reseptor progesteron) telah
menunjukan bahwa jari zink pertama mengarahkan sekuens secara spesifik terhadap ikatan
dengan secara langsung mengontak basa DNA pada sulkus mayor; jari zink kedua berfungsi
untuk menstabilkan kompleks protein – DNA dengan mengontak ikatan tulang punggun gula
– fosfat. Walaupun interaksi protein – DNA tampaknya secara luas terbatas pada motif jari
zink, sekuens dari terminal amino yang tampak penting dalam stabilisasi struktur ini karena
mutasi pada regio ini menyebabkan hilangnya afinitas ikatan DNA secara ringan. Domain
ikatan DNA pada jari zink pada reseptor molekul steroid sangat terkonservasi. Pada regio ini
dari ekson 2 ke 3, terdapat 79% homologi dengan reseptor progesteron, sebuah 76%
homologi dengan reseptor glukokortikoid dan sebuah 56% homologi dengan ER (Chang et
al, 1988a, 1988b). homologi terdekat dari AR adalah dengan reseptor porgesteron (Lubahn
et al, 1988; Marcelli et al, 1990). Mutasi asam amino pada area ini dari AR dapat
membentuk reseptor tidak mampu mengaktivasi gen yang sensitif androgen (Govindan,
1990), yang merupakan basis dari satu sindrom insensitivitas androgen yang diturunkan –
feminisasi testikular.
Ikatan domain DNA yang berikatan dengan tempat regulator DNA pengenal, yang
disebut sebagai hormon respon elemen. Hormon respon elemen dapat dibagi menjadi
kelompok berbeda pada dasar dari temuan struktural yang sering dimana keseluruh
kelompok reseptor mampu berikatan. Hormon respon elemen kelas I termasuk reseptor
glukokortikoid, reseptor progesteron, dan reseptor mineralokortikoid dan ditandai dengan
sekuens konsensus setengah letak dari TGTTCT. Hormon respon elemen kelas II termasuk
ER, yang memiliki sekuens separuh letak prototipe berupa TGACC. Hormon respon elemen
dimana AR telah menunjukan ikatan diantara sub kelompok kelas I (Tan et al, 1990).
Sekuens konsensus untuk elemen respon androgen telah ditentukan oleh pemeriksaan
pemilihan letak ikatan RNA dengan fusi protein AR menjadi GG(A/T) ACAnnnTGTTCT
(Roche et al, 1992). Tempat ikatan tersebut ditandai dengan inversi pengulangan
palindromik dengan aksis dyad simetris, mengindikasikan bahwa reseptor berikatan dari
kauda ke kauda. Akan tetapi, elemen respon androgen dari promotor probasin tikus
ditemukan memiliki pengulangan langsung (Schoenmakers et al, 2000). Secara
mengejutkan, data kristalografi sinar X menunjukan bahwa dimer AR berikatan secara
langsung untuk mengulang sekuens target pada keadaan kauda – kauda, mempertahankan
orientasi normal dari sekuens target pengulangan terinversi (Shaffer et al, 2004). Untuk
dicatat, hanya AR yang ditemukan berikatan dengan sekuens target pengulangan langsung
dengan orientasi secara normal yang diharapkan dari pengulangan terbalik. Perbedaan ini
dapat menunjukan satu jalan AR mempertahankan spesifisitas regulasi gen target.
Aktivasi bergantung ligan ditandai dengan dimerisasi reseptor ligan, modifikasi pasca
translasional (Contoh fosforilasi), translokasi nukleus, dan aktivasi gen target bertahap (atau
represi). Dipercaya bahwa ikatan baik DHT atau testosteron terhadap domain pengikat ligan
dapat memfasilitasi proses ini, walaupun afinitas ikatan DHT secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan testosteron. Ikatan androgen terhadap domain ikatan ligan karboksil terminal
yang diperlukan pada saat aktivasi; akan tetapi, delesi dari domain ikatan ligan dapat
memicu secara konstitutif AR aktif. Pada kanker prostat, beberapa isoform spliser telah
diidentifikasi bahwa memicu pada fungsi aktif secara konstitutif (Hu et al, 2011). Sehingga,
setidaknya bagian dari interaksi dengan kompleks chaperonin melibatkan porsi karboksil
dari reseptor (Marcelli et al, 1990). Akan tetapi, mutasi titik kecil dari regio ikatan ligan dapat
memicu perubahan signifikan dari karakteristik aksi AR. Sebagai contoh, mutasi titik tunggal
pada domain ikatan ligan dari AR (codon 877, Thr → Ala) teridentifikasi pada garis sel
LNCaP dari kanker prostat yang memicu kelemahan yang terinduksi dari steroid yang tidak
sesuai seperti progesteron dimana mempertahankan kemampuan untuk menstimulasi
androgen. Marcelli dan kolega (1990) melaporkan bahwa mutasi pada AR dengan asam
amino 587 atau 794 adalah inaktif pada pemeriksaan ikatan androgen dan untuk aktivasi
transkripsional. Akan tetapi, pengembalian asam amino dari 708 pada ujung karboksil pada
917 (contoh keseluruhan domain ikatan ligan) memicu pada sintesis dari reseptor protein
yang tidak mengikat androgen tetapi masih aktif secara konstitutif pada transgen teraktivasi.
Sebagaimana obat baru telah tersedia untuk kanker prostat yakni penekan aksis androgen,
resistensi terhadap agen baru ini (contoh abirateron dan enzalutamid) dapat melibatkan
beberapa isoform splises AR, atau secara potensial bahkan peningkatan regulasi dari
reseptor steroid lainnya (Sharifi, 2014).
Dimerisasi
Identifikasi dari struktur palindromik dari beberapa hormon respon elemen dari
keseluruhan reseptor steroid memicu pada pernyataan bahwa faktor transkripsi ini berikatan
dengan DNA sebagai dimer. Analisis berturut-turut dari interaksi reseptor DNA telah
mengonfirmasikan hipotesis ini dan dimerisasi adalah saat ini diperkirakan untuk
menunjukan langkah penting dalam regulasi dari aksi reseptor steroid. Pengulangan heptad
hidrofobik dimana domain ikatan ligan pada kodon 859 hingga 880 dikonservasi sepanjang
dengan seluruh reseptor steroid dan diperkirakan penting untuk dimerisasi afinitas tinggi,
diasumsikan melalui aksi dari ikatan-DNA jari zink pada elemen respon androgen
palindromik. Penghilangan domain ikatan DNA tidak menghambat dimerisasi afinitas tinggi
yang ada pada domain ikatan ligan. Sinyal dimerisasi kuat tampak terkait dengan
penampakan hidrofobik heliks-α yang terbentuk dari heptad terkonservasi (Centenera et al,
2008).
Sekali AR berikatan dengan ligan steroid dan disosiasi dari kompleks chaperonin, hal
tersebut rentan terhadap variasi modifikasi post translasional, dimana dapat secara
signifikan mempengaruhi fungsi dan kematian reseptor. Sebagai contoh, AR dapat
mengalami asetilasi (Fu et al, 2004) atau fosforilasi (Goueli et al, 1984). Pada bagian ventral
prostat tikus telah dilaporkan bahwa kejadian ini terjadi melalui protein kinase dependen
cAMP nukleus (Kemppainen et al, 1992). Fosforilasi reseptor dapat menjadi sebuah
mekanisme penting dalam translasi nukleus dari reseptor steroid sebagaimana ikatan DNA
dan regulasi transkripsional. Stimulasi fosforilasi tampak optimal dengan ikatan agonis
androgen, karena agen antagonis seperti flutamid tampak menjadi tempat defosforilasi yang
diharapkan, menunjukan bahwa status fosforilasi dapat terkait dengan aktivitas penting dari
reseptor (Wang et al, 1999). Baik residu serin dan tirosin telah ditemukan mengalami
fosforilasi pada reseptor steroid lainnya (Landers and Spelsberg, 1992; Sadar et al, 1999).
Sebagai tambahan terhadap fosforilasi oleh protein kinase A, AR Juga tampak menstimulasi
mitogen teraktivasi protein kinase, yang menyediakan keadaan yang berbeda pada regulasi
aktivitas gen karena kinase tersebut sering dimodulasi oleh faktor transkripsi lainnya, seperti
Elk-1 (Peterziel et al, 1999). Prostat kaya akan sumber asam fosfatase, dan beberapa
menyarankan bahwa enzim ini dapat aktif dalam meregulasi residu fosfotirosil pada AR,
sehingga meminkan peran defosforilasi dan inaktivasi AR (Goldsteyn et al, 1989), walaupun
hubungan ini tentu tidak saling berdampak.
Lokalisasi Nukleus
Setelah aktivasi ikatan oleh ligan steroid AR ditranspor menuju nukleus sepanjang
komples pori nukleus melalui proses yang melibatkan setidaknya persinyalan nukleus
terlokalisasi, satu untuk import dan satu untuk eksport nukleus. Bukti dari translokasi
nukleus bergantung sinyal pada lokalisasi nukleus ditegakkan dengan baik dan dapat
ditemukan bervariasi pada protein nukleus, termasuk antigen T SV40 besar. Pada
kebanyakan kasus hal tersebut terdiri dari regangan asam amino dasar. Lokalisasi
persinyalan prototipe nukleus dari antigen T SV40 besar adalah PKKKRKV, walaupun
beberapa sekuens dasar lainnya telah diimplikasikan pada persinyalan lokalisasi nukleus.
Lokaslisasi nukleus pada AR tampak melibatkan tahap multipel, termasuk ikatan pada
persinyalan lokalisasi nukleus asam amino dasar. Lokalisasi nukleus dari AR tampak
melibatkan langkah multipel, termasuk ikatan pada persinyalan asam amino nukleus dasar
terhadap importin α dan β, terletak pada kompleks importin-cargo menuju lubang nukleus,
translokasi terhadap nukleus dan pelepasan terkait Ran-GTP dari kargo (Rao et al, 2002).
Dua regio reseptor steroid telah memperoleh perhatian paling banyak sebagai regulator
kepadatan reseptor. Regio pertama adalah regio jari zink terkitat DNA kedua, bersamaan
dengan regio pinggang hinge (NL1) yang terdiri dari sinyal bipartit yang termasuk pada
pinggang leusin dan sinyal inti 628RKLKKLGN (Kemppainen et al, 1992; Ylikomi et al, 1992;
Poukka et al, 2000). Akan tetapi, persinyalan nukleus putatif peptida tidak cukup dengan
sendirinya sebagai translokasi dengan efisiensi tinggi; dan oleh analogi terhadap reseptor
steroid lainnya, sebagai tambahan lokalisasi persinyalan nukleus dapat ada pada domain
ikatan steroid (Kemppainen et al, 1992). NL1 bertindak secara konstitutif dan berpartisipasi
pada import nukleus cepat yang difasilitasi oleh ikatan dengan importin-α (Savory et al,
1999). Sejumlah koregulator dari reseptor steroid yang dimediasi transaktivasi yang
berinteraksi dengan regio yang melibatkan NL1 (Jackson et al, 1997; Moilanen et al, 1998;
Powers et al, 1998; McKenna et al, 1999). Beberapa dari proein ini seperti SNURF dan
Ubc9, kehilangan kemampuannya berinteraksi dengan AR ketika regio bertumpang tindaih
dengan bipartit NL1 yang dihancurkan (Moilanen et al, 1998; Poukka et al, 2000). Sinyal
kedua, NESAR terletak pada domain ikatan ligan (Saporita et al, 2003) dan merupakan sinyal
pengekspor nukleus yang memfasilitasi eksport dari AR ketika tidak terikat dengan ligan.
Antara NL1 dan NESAR, AR secara aktif diacak diantara sitoplasma dan nukleus,
diasumsikan secara ketat diregulasi pada kemampuan intrinsiknya dalam mengaktivasi atau
menekan ekspresi gen.
Gambar 102-11. Mekanisme kerja dari reseptor androgen teraktivasi (AR) – nukleus.
Sekali reseptor androgen telah mengalami translokasi kedalam nukleus akan
mengalami beberapa tahap (banyak yang terjadi secara kontemporer): (1) remodeling
kromatin dalam sebuah adenosin trifosfat (ATP) – bergantung pada kompleks SWI-
SNF; dan (2) agonis (contoh., dihidrotestosteron [DHT]) – dimediasi asetilasi histon
dalam sebuah proses yang melibatkan faktor transmisi multipel termasuk p300, CBP,
dan SRC1. Pada kasus dari beberapa antagonis, deasetilasi histon dapat terjadim dan
aktivasi dari kompleks reseptor nukleus dengan ekspresi gen represor seperti N-CoR
dan SMRT. (3) kompleks reseptor androgen teraktibasi kemudian terkait dengan
faktor γ-trans melalui kompleks TRAP/DRIP (reseptor tiroid – terkait protein / reseptor
D – yang berinteraksi dengan protein) pada sisi yang biasanya mengalami
peningkatan oleh gen target yang diketahui sebagai elemen respon androgen.
Kompleksitas ini kemudian memicu pada aktivasi yang diregulasi androgen perihal
aktivasi ekspresi gen.
Sekali AR telah mencapai lokalisasi aktif kedalam nukleus, harus terjadi pertemuan
dan ikatan dari sekuens target dari genomik DNA. Mekanisme pasti dimana lokalisasi
reseptor ini terjadi pada gen target masih tidak diketahui; akan tetapi, terdapat bukti yang
muncul yang mengindikasikan proses yang sangat teratur (O’Malley, 2008). Sebagai contoh,
diketahui saat ini bahwa yang disebut faktor pionir seperti FOXA1 ditargetkan terhadap
tempat spesifik kromosomal oleh persinyalan epigenetik, dan kemudian ikatan AR pada
tempat ini secara berurutan meregulasi gen target (Lupien et al, 2008). Sekali AR
mengalami lokalisasi yang sesuai dengan tempat target kromatin, harus di koordinaskan
ikatan terhadap sejumlah faktor terkait merujuk sebagai koaktivator dan korepresor yang
secara berturut-turut meregulasi ekspresi gen (Gambar 102-11). Daftar dari koaktivatior
yang teridentifikasi disediakan pada kotak 102-1. Kebanyakan faktor ini berinteraksi secara
menjanjikan dengan reseptor steroid, walaupun faktor AR yang lebih spesifik secara rutin
ditemukan. Karena sejumlah koregulator potensial secara jelas melebihi kapasitas dari
interaksi langsung dari reseptor tunggal, mekanisme tersering adalah aktivasi transkripsional
oleh AR melibatkan faktor multipe yang bekerja baik secara sekuensial dan kombinasi
perilaku dalam mereorganisasi cetakan kromatin (Pollard dan Peterson, 1998). Waktu dan
sekuens yang tepat dari ikatan dengan faktor ini menetap untuk di jelaskan; akan tetapi,
secara umum, salah satu dapat memecah proses secara empiris kedalam kromatin atau
remodelin nukleosomal (proses dependen energi), aktivitas histon asetil transferase, dan
rekrutment berurutan dari faktor terkait - ikatan protein TATA (TBP), keseluruhan dimana
memberikan rerata peningkatan transkripsi gen oleh RNA polimerase II. Dibawah beberapa
kondisi, seperti ikatan dengan antagonis AR (contoh flutamide), aktivitas asetiltransferase
histon terutama dihambat dan transpersi dapat terjadi. Inhibisi ini pada ekspresi gen tampak
terlibat pada protein korepresor nukleus N-CoR dan SMRT (Class dan Rosenfeld, 2000).
Protein lainnya memainkan peran serupa, seperti pada gen HBO1 (Sharma et al, 2000).
Delesi terminal amino pada regio 46-408 menyebabkan penekanan negatif domain pada
aktivasi transgenik yang diinduksi hormon, mengindikasikan bahwa fungsi koaktivator
memerlukan interaksi didalam letak dan dimana ketiadaan regio ini pada reseptor
membentuk kompleks disfungsional didalam kromatin (Palvimo et al, 1993).
Domain transkripsi dariAR dikode pada ekson 1, dimana merupakan ekson terbesar,
mengandung 1607 pasang basa. Analisis dari regio ini menunjukan regio pengulangan
homopolmerik, termasuk pengulangan kemungkinan 20 glutamin, diikuti oleh rongga yang
mengandung 8 protein pengulangan dan 23 unit pengulangan glusin (Lihat gambar 102-11).
Pengulangan glutamin membentuk lembaran β yang membantu membentuk risleting polar,
yang memungkinkan beberapa interaksi protein – protein. Fusi dari tipe pengulangan
glutamin polimerik dengan domain ikatan DNA GAL4 pada ragi menyebabkan peningkatan
langsung GAL4 pada aktivitas transkripsional, menunjukan kepentingan dari regio ini dalam
memicu aktivasi transgenik (Gerber et al, 1994).
Studi menunjukan bahwa pengulangan poliglutamin tampak berinteraksi langsung
dengan karboksil terminus pada faktor transkripsi p160 (Irvine et al, 2000). Pada populasi
normal pengulangan ini bervariasi sepanjang 11 hingga 31 residu, menyebabkan
polimorfisme alel. Hal ini berarti bahwa manusia yang berbeda memiliki alel dari unit
pengulangan varian poliglutamin. Variasi ini secara rasial didefinisikan, dan telah ditunjukan
bahwa hal ini terkait dengan perbedaan pada rerata insifen dari kanker prostat pada
kelompok dengan etnis berbeda. Paling sering pengulangan panjang CAG pada pasien kulit
putih dengan nilai modal 21; pada Afrika-Amerika, hal ini lebih pendek pada 18; dan pada
Asia, lebih panjang pada rerata 23. Semakin panjang pengulangan glutamin, semakin
rendah aktivitas AR pada gen target teraktivasi. Pasien dengan atrofi muskular bulbar dan
spinal terkait kromosom X, dinamakan penyakti Kennedy, memainkan pengulangan
glutamin yang besar pada jaraak 40 hingga 60. AR pada penyakit Kennedy menunjukan
aktivitas transaktivasi yang kurang bermakna (Laspada et al, 1991). Lebih dari itu, pria
dengan faktor infertilitas pria ditemukan lebih panjang dibandingkan rerata polimorfisme AR
dibandingkan kontrol nomrla (Tut et al, 1997). Studi genetik dari penyakit yang diturunkan
yakni insensitivitas androgen dan overvirilasis sebagaimana perubahan pada mutasi AR
terkait dengan kanker prostat dan properti biologis akan menjadi penolong besar dalam
membuka peran dari AR manusia terkait dengan strukturnya.
Bagian jaringan dan spesifisitas gen pada pengenalan reseptor dan DNA dapat
bergantung pada penyusunan DNA didalam nukleus (Getzenberg et al, 1990). Kompleks
reseptor steroid dapat berinteraksi dengan hanya gen dimana rego tersebut “terbuka” atau
pada bentuk aktif secara transkripsional. Studi menunjukan bahwa bukaan regio kromatin ini
(eukromatin) dapat meluas hingga panjang 100.000 pasang basa, atau lebih dari 10 kali
ukuran gen pada umumnya, yang biasanya berjarak dari 1000 hingga 10.000 pasang basa.
Tidak diketahui bagaimana jarak panjang DNA terganggu pada konformasi, tetapi dapat
melalui ikatan dengan struktur seperti matriks nukleus, dimana dapat tersusun sebagai
domain lingkaran besar pada regio 60.000 hingga 120.000 pasang basa. Reseptor nukleus
diperkirakan berinteraksi dengan kompleks remodeling kromatin pada keadaan bergantung
ATP, pada proses yang langsung sebagai bagian dari “faktor pioneer” termasuk FOXA1
(Lupien et al, 2008), dan diantaranya dapat merupakan langkah awal dari regulasi terbaik
dari beberapa gen target (Glass and Rosenfeld, 2000).
Saat pembelahan sel, penyusunan kromosom adalah diregulasi spasial untuk setiap
fase kritis dari mitosis (Williams and Fisher, 2003). Regulasi epigenetik dari struktur
kromosom dan fungsi yang sangat tersusun rapi saat pembelahan sel, diferensiasi, dan
perkembangan (Lam et al, 2005; Margueron et al, 2005). Faktanya, protein kromosomal
diperlukan untuk mempertahankan struktur yang telah disusun mulai dari euchromatin,
heterochromatin, dan kromatin sentromerik untuk mempertahankan fungsi sel dan jaringan
yang normal. Untuk mencapai pengaturan yang teratur, pelindung dari DNA direkayasa
melalui sistem yang teratur dari DNA yang tertutup rapat di sekitar delapan komponen histon
inti yang disebut nukleosom. Inti ini terdiri dari dimer H2A, H2B, H3 dan H4, dimana memiliki
kemampuan untuk memadartkan DNA secara langsung yang diregulasi oleh modifikasi
pasca translasional. Regulasi selektif seperti modifikasi histon pasca-translasi tersebut
merupakan mekanisme pengaturan utama untuk ekspresi gen dan dinamakan sebagai kode
histone (lihat Gambar. 102-11). Modifikasi histone meliputi asetilasi, fosforilasi, ubikuitinilasi,
dan metilasi (Downs and Jackson, 2003; He et al, 2003; Cosgrove et al, 2004; Cosgrove and
Wolberger, 2005; Lam et al, 2005).
AR diketahui berinteraksi dengan komponen struktural dari kompleks penyusun
kromatin. Kompleks tersebut termasuk kompleks SWI-SNF multisubunit manusia, yang
ditunjukan mengalami remodeling cetakan mononukleosom dan polinukleosom pada
keadaan bergantung ATP (Peterson and Tamkun, 1995). Subunit hSWI-SNF ATPase
terisolasi yakni subunit BRG1 dan hBRM juga memiliki aktivitas ini (Phelan et al, 2000).
Aktivasi transkripsional reseptor inti (sel neuroendokrin) memerlukan beberapa faktor
termasuk kompleks SWI-SNF, CPB/p300, dan koaktivator reseptor steroid (SRC), anggota
keluarga yang besar dan mengandung banyak subunit, banyak di antaranya berhubungan
dengan berbagai komponen nukleosom dan matriks inti (Huang et al, 2003). Komponen
tersebut meliputi BAF53a, BAF57, BAF60, BAF110, BAF155, BAF170, BAF250, BRG1,
BRM, dan SNF5. Karena kromatin terkondensasi menyebabkan gen tidak dapat diakses
untuk transkripsi, kombinasi reseptor steroid dan pembentukan kompleks SWI-SNF tampak
penting dalam pembentukan ulang nukleosom yang sesuai untuk memungkinkan gen target
yang tepat dapat diakses untuk regulasi gen. (Sudarsanam and Winston, 2000; Huang et al,
2003). Sekali reseptor kompleks SWI-SNF, CPB/p300, dan mediator lainnya telah “terbuka”
dengan sukses, struktur kromatin yang memungkinkan regulasi transkripsional, AR harus
berinteraksi dengan kumpulan kofaktor yang berbeda. Modifikasi histon pasca-translasi
diperlukan untuk penyusunan ulang kromosom dan ekspresi gen yang optimal (Ewen, 2000;
He et al, 2003). Dalam sebagian besar model yang diuji pada tingkat transkripsi gen
sebenarnya berkorelasi dengan derajat modifikasi histon melalui asetilasi, fosforilasi,
ubikuitinilasi, dan metilasi. Dengan kata lain, daerah histon yang mengalami hiperasetilasi
sesuai dengan daerah transkripsi gen tertinggi, sedangkan daerah histon yang mengalami
hipoasetilasi yang berkorespondensi dengan bagian transkripsional gen yang terendah
(Pazin and Kadonaga, 1997). Sejumlah kompleks histon asetiltransferase telah ditemukan
terkait dengan reseptor nukleus, termasuk AR. Kompleks ini termasuk p/CAF, homolog
terhadap ragi GCN5, yang berpartisipasi dalam kompleks ragi SAGA. Kompleks ini
mencakup faktor-faktor yang memiliki aktivitas tetapi juga TBP dan sejumlah faktor terkait
TBP. Protein p / CAF yang telah ditemukan terkait dengan reseptor asam retinoat dan
mungkin terlibat dengan beberapa reseptor nukleus. Juga diketahui terjadi pengikatan
protein histon asetiltransferase (HAT) lainnya, termasuk CBP / p300, yang diketahui tidak
hanya mengasettilasi histon tetapi juga faktor transkripsi lainnya. Kompleks CBP / p300
adlaah koaktivator penting bagi banyak gen dan dapat tentunya memberikan aktivitas
molekular dalam menstimulasi transkripsi gen (McKenna et al, 1999; Huang et al, 2003;
Marshall et al, 2003). Kompleks tersebut termasuk koaktivator SRC1, diantara mereka.
Baru-baru ini, pengubah kode histon telah berkembang pesat untuk memungkinkan
perubahan canggih yang dimediasi enzim dalam histone yakni H2A, H2B, H3, dan H4 oleh
fosforilasi, ubikuitinilasi, dan metilasi, yang membuka kromatin, memungkinkan perekrutan
faktor transkripsi penting dan memungkinkan fungsi normal sel (Lam et al, 2005; Margueron
et al, 2005). Daftar koaktivator yang terkait dengan reseptor nukleus dan AR khususnya
sangat luas dan hampir pasti tidak lengkap. Daftar singkat faktor yang ditemukan terkait
dengan reseptor pada tingkat regulasi gen ini diberikan dalam Kotak 102-1. Di antara faktor
yang paling penting adalah SRC1, yang memiliki aktivitas HAT ringan dan tampaknya
diperlukan untuk stimulasi optimal transkripsi tergantung steroid. Faktor-faktor tambahan
termasuk aktivator steroid reseptor RNA (SRA), RNA struktural yang diperlukan oleh
kompleks koaktivator agar dapat berfungsi secara optimal (McKenna et al, 1999), dan
coactivator p160, yang tampaknya diperlukan untuk aktivasi bergantung hormon dan untuk
secara langsung berinteraksi dengan asam amino pengulangan poliglutamin yang
ditemukan dalam domain transaktivasi terminal amino (Irvine et al, 2000).
Sebagian besar gen memiliki wilayah regulasi di bagian hulu dari tempat awal
dimulainya transkripsi. Wilayah pengatur dibagi menjadi elemen promotor inti yang ada pada
semua gen serta elemen hulu lainnya yang berfungsi untuk mengatur pola ekspresi gen
keseluruhan. Elemen promotor ini menentukan tempat perlekatan RNA polimerase II yang
akan menempel pada DNA dan akan menentukan titik aktual untuk inisiasi transkripsi. RNA
polimerase akan menyalin atau menyalin kode DNA ke mRNA, suatu proses yang disebut
transkripsi. Area promotor ini dimulai pada nukleotida -16 hingga +32 terletak pada hulu dari
tempat inisiasi gen. Wilayah −32 hingga +16 ini awalnya disebut sebagai kotak Goldberg-
Hogness atau kotak TATA dan memiliki urutan konsensus TATAAAAG. Enzim RNA
polimerase II mengikatkan diri pada kotak TATA ini sebagai salah satu langkah awal dalam
transkripsi. Lebih jauh ke hulu dari kotak TATA adalah gen kedua elemen kontrol secara
umum disebut sebagai hormon respon elemen, yang telah diidentifikasi dalam banyak gen
yang diatur oleh hormon steroid dan merupakan salah satu dari banyak tempat di mana
reseptor berikatan dengan DNA. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, pada gen yang
diregulasi androgen, area ini adalah disebut elemen respons androgen; dalam estrogen,
elemen respons estrogen; dan pada glukokortikoid, elemen respons glukokortikoid. Area
elemen respons hormon ini dapat mengandung beberapa sekuens yang bersifat diskrit,
tetapi peran keseluruhannya adalah untuk memodulasi frekuensi inisiasi interaksi transkripsi
vis-à-vis dengan faktor transkripsi. Dalam analisis independen, reseptor hormon tiroid
ditemukan terkait dengan protein dengan afinitas murni, yang terbukti secara nyata
meningkatkan transkripsi bebas sel yang bergantung pada ligan. Kompleks ini disebut
sebagai TRAP, untuk protein yang terkait reseptor tiroid (Fondell et al, 1996). Dalam
serangkaian percobaan serupa, jenis kompleks yang sama diisolasi untuk reseptor vitamin D
dan disebut DRIP untuk protein yang berinteraksi reseptor-D (Rachez et al, 1998). Analisis
selanjutnya mengungkapkan bahwa keduanya berbagi setidaknya sembilan protein, dan
kompleks kofaktor yang direkrut aktivator ini (TRAP / DRIP / ARC) adalah bagian dari
kompleks koaktivator yang tersusun besar yang digunakan oleh berbagai faktor transkripsi
untuk pengaturan gen target tertentu. Faktor transkripsi semacam itu termasuk protein
pengikat elemen pengatur sterol (SREBP), faktor nuklir-κB (NF-κB), dan VP16 (Sun et al,
1998; Gu et al, 1999; Ito et al, 1999; Naar et al, 1999 ; Ryu et al, 1999).
Sebagai ringkasan, kotak TATA memberi tahu di mana RNA polimerase akan
berikatan dan di mana dimulainya transkripsi dimulai dan elemen respons hormon mengatur
seberapa sering transkrip itu ketika terikat pada reseptor hormon. Hal ini dicapai dengan
adanya kofaktor tertentu di kompleks TRAP / DRIP. Karena unsur dari respon hormon dari
sekuens DNA telah terbukti secara independen dari posisinya atau orientasinya, hal tersebut
akan menyerupai apa yang disebut sebagai unsur penambah transkripsi yang telah
ditemukan pada banyak tipe gen lain. Bagian elemen respon hormon dapat bervariasi di
lokasi hulu dari inisiasi gen mulai dari −20 hingga −6000 untuk berbagai jenis hormon.
Dengan hormon steroid, tampaknya berada sekitar -140 nukleotida di hulu dari tempat
terjadinya inisiasi. Sebagai contoh, dalam elemen pengenal reseptor glukokortikoid, tempat
untuk pengenalan reseptor glukokortikoid diperkirakan −140 dan mengandung sekuens
nukleotida AAAATGGAC. Delesi penghapusan pemetaan telah menunjukkan bahwa domain
pengikatan reseptor yang terletak di elemen respons hormon memang diperlukan untuk
pengikatan reseptor dan diperlukan untuk kontrol transkripsi yang dimediasi steroid.
Setelah DNA ditranskripsi menjadi mRNA, serangkaian unit adenin ditambahkan ke
ujung (disebut ekor poli-A) dan kemudian mRNA dipotong dan disambungkan pada partikel
nukleus kecil (disebut splisiosom) yang terletak pada matriks nukleus, dan pemotong ini
menghapus bagian intron. MRNA akhir dikirim keluar dari nukleus, diyakini terjadi pada
komponen struktural dari matriks nukleus, dan melewati kompleks pori nukleus dan keluar
menuju ribosom di mana mRNA kemudian diterjemahkan ke dalam produk protein, langkah
yang disebut proses translasi. Protein memiliki urutan asam amino spesifik yang
menginstruksikan sel di mana untuk mengirimkan protein dalam kaitannya dengan simpanan
sekretori atau ke area membran. Protein juga dapat dimodifikasi setelah diterjemahkan
dengan penambahan karbohidrat selanjutnya menjadi glikoprotein atau difosforilasi oleh
kinase. Di bawah sinyal yang tepat, seperti kontrol neurologis, protein sekretori kemudian
dapat diekskresikan ke dalam lumen prostat. Hal ini adalah proses yang terjadi ketika
protein sekresi prostat dan vesikula seminalis terbentuk ke dalam cairan ejakulat. Contoh
skematis dari proses ini ditunjukkan pada Gambar 102-7, dan sistem seperti itu akan
mencakup PSA dan asam fosfatase serta banyak produk protein lainnya yang diatur dalam
sintesisnya oleh androgen melalui interaksi reseptor.
Selama perkembangan embrionik, AR muncul pertama kali pada mesenkim prostat
ventral tikus dan vesikula seminalis dan beberapa hari kemudian dalam sel epitel, tetapi
tidak diketahui apa yang mengatur waktu ini. Pada perkembangan vesikula seminalis dan
duktus wolffian, testosteron tampaknya merupakan androgen utama dalam
perkembangan kelenjar, dan pada prostat ventral yang terbentuk dari sinus
urogenital, androgen utamanya adalah DHT. Baik testosteron dan DHT dapat mengikat
AR; Namun, secara molar, DHT adalah 3 hingga 10 kali lebih kuat. Penurunan potensi
testosteron ini diyakini disebabkan oleh laju dari testosteron yang cepat begitu terikat
sehingga keseimbangan menghasilkan ikatan dengan reseptor yang lebih sedikit
dibandingkan dengan DHT pada tingkat jaringan yang sama. Laporan menunjukkan bahwa
dalam beberapa kasus, regulasi transkripsional yang dimediasi AR dapat terjadi bahkan
tanpa adanya interaksi langsung AR dengan elemen respons androgen spesifik (Kallio et al,
1995). Laporan tersebut menyatakan bahwa AR dapat menimbulkan transrepresi dan
transaktivasi tanpa berinteraksi langsung dengan elemen DNA spesifik. Hal ini mungkin
menunjukkan bahwa AR dapat mengikat unit pengatur dalam faktor transkripsi dan dengan
demikian mengubah sifat mereka bahkan tanpa adanya pengikatan DNA langsung ke
elemen respons androgen.
Bagian selanjutnya dari diskusi ini difokuskan pada struktur nukleus, di mana
informasi genetik gen, interaksi AR, dan pemrosesan mRNA terjadi dan terintegrasi. Hal ini
berada dalam struktur yang sangat teratur dari nukleus yang ditentukan oleh kerangka
lipatan residual, yang disebut matriks nukleus, yang menyediakan susunan tiga dimensi
untuk nukleus dan DNA.
DNA dapat identik pada tiap sel pada jaringan yang berbeda pada tubuh, akan tetapi
DNA terorganisasi dalam susunan 3 dimensi yang berbeda pada sel yang berbeda.
Organisasi spasial dari DNA tampaknya ditentukan oleh bagian dalam arsitektur nukleus
dan struktur diatur oleh elemen penyokong yang dikenal sebagai matriks nukleus. Oleh
karena itu, dibutuhkan lebih dari sebuah reseptor steroid dan sekuens DNA dengan elemen
respon androgen untuk menentukan spesifisitas jaringan yang tinggi dari aksi hormon
androgen. Hal ini mungkin membutuhkan regulasi konformasi DNA dan strukturtiga dimensi.
Terdapat bukti yang mendukung keyakinan mengenai komponen struktural nukleus yang
dapat mengorganisasi DNA menjadi beberapa topologi berbeda yang dapat mengijinkan
interaksi reseptor steroid spesifik dengan dirinya sendiri. Matriks nukleus telah diajukan
sebagai elemen struktural yang penting dalam organisasi DNA (Getzenberg et al, 1990;
Boccardo et al, 2003). Matriks memfasilitasi lokasi dari target gen dan konformasinya dan
memfasilitasi ko-interaksi mereka dengan reseptor steroid. Barrack dan Coffey pertama kali
menunjukkan bahwa matriks nukleus merupakan target utama untuk ikatan androgen dan
ER (Barrack and Coffey, 1980; Barrack, 1987). Karena matriks terlibat dalam banyak
peristiwa nukleus yang penting, maka matriks menjadi target ideal untuk aksi androgen.
Matriks nukleus didefinisikan sebagai subkomponen struktural dinamis dari inti yang
mengatur organisasi fungsional DNA ke dalam loop domain dan memberikan lokasi untuk
kontrol spesifik asam nukleat (Nelson et al, 1986; Getzenberg et al, 1990). Secara
konseptual, nukleus dapat disetarakan dengan sitomatriks atau sitoskeleton. Matriks nukleus
mengandung elemen residu nukleus, termasuk pori lamina kompleks, nukleolus residual,
dan jaringan ribonukleoprotein interna yang melekat pada protein fibrosa dinamis yang
berserat(Berezney dan Coffey, 1977). Matriks nukleus dapat diisolasi diisolasi dengan
ekstraksi sekuensial menggunakan deterjen nonionik, pencernaan singkat dengan DNase I,
dan larutan buffer garam hipertonik. Struktur matriks nukleus residual tersebut hanya
mewakili 15% atau kurang dari total massa nuklir asli. Lebih dari 98% dari DNA, 70% dari
RNA, dan 90% protein nukleus telah diekstraksi, dan struktur yang tersisa pada dasarnya
tanpa histones dan lipid.
Matriks nukleus telah dianggap sebagai komponen struktural yang penting dalam
berbagai fungsi biologis. Terdapat kurang lebih 50.000 kumparan DNA pada setiap domain
pada nukleus, di mana masing-masing mengandung 60 kilobase pasang DNA, dan
kumparan ini saling melekat pada bagian dasar dari matriks nuklir (Pardoll et al, 1980;
Vogelstein et al, 1980; Luke dan Coffey, 1994). Susunan loop ini dipertahankan selama
interfase dan sepanjang metafase (Nelson et al, 1986). Topoisomerase II, enzim yang
memodulasi puntiran dan topologi DNA, berkaitan dengan matriks nukleus dan penyokong
kromosom mitosis. Beberapa penelitian dengan berbagai macam sistem telah menunjukkan
bahwa gen aktif berkaitan dengan matriks nuklir, sedangkan transkripsi gen tidak aktif tidak
dekat dengan matriks. Lokasi dari gen aktif pada matriks menyediakan bukti bahwa matriks
memiliki peranan organisasi yang penting dalam diferensiasi, penempatan gen pada
konfigurasi yang berbeda.
Androgen dapat mengaktivasi sintesis DNA dan replikasi sel pada jaringan target.
Matriks nukleus juga berperan penting dalam replikasi DNA. Matriks mengandung lokasi
yang tepat untuk sintesis DNA(Pardoll et al, 1980) yakni pada dasar loop DNA. Sepanjang
sintesis DNA, domain loop DNA digulung ke bawah melalui kompleks replikasi yang
menempel yang terletak pada matriks. Oleh karena itu, garpu replikasi DNA, DNA
polimerase, dan DNA yang baru direplikasi telah terbukti berkaitan dengan matriks nukleus.
Cukup mudah untuk memvisualisasikan bagaimana aksi hormon dan perubahan dalam
struktur matriks nukleus yang dapat mempengaruhi regulasi androgen dari sintesis DNA dan
pertumbuhan dalam sel prostat.
Matriks nukleus juga berkaitan dengan sintesis mRNA selama proses transkripsi. Ciejek
and colleagues (1982) melakukan pengamatan pada lebih dari 95% prekursor mRNA yang
tidak terproses untuk ovalbumin berkaitan dengan matriks nukleus dari oviduk ayam. Saat
porsi intron RNA terpecah, mRNA dewasa dilepaskan dari matriks nukleus. Hal ini
menyebabkan keterliatan matriks nukleus terlibat dan proses RNA. Marriman dan van
Venrooij (1985) melaporkan bahwa keseluruhan produk pemecahan RNA dan proses RNA
intermediate berikatan dengan kuat pada matriks nukleus. Adanya perubahan pada struktur
matriks dengan interaksi reseptor steroid dapat merubah tahapan penting dalam transkripsi
dan proses RNA. Matriks nukleus mengandung lokasi tautan untuk partikel small
ribonucleoprotein yang merupakan bagian dari sistem splicesosome sentral pada proses
nukleus RNA untuk menjadi mRNA final yang dibawa keluar ke sitoplasma agar dapat
diterjemahkan.
Ahmed dan kolega telah melaksanakan seri penelitian yang ekstensif tentang fosforilasi
matriks nuklear dan protein yang berkaitan pada prostat ventral dari tikus setelah stimulasi
dan penarikan androgen (Ahmed and Goueli, 1987; Ahmed et al, 1993; Tawfic et al, 1993,
1994). Dari penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa matriks nukleus dapat difosforilasi
oleh casein kinase 2 (CK-2). Salah satu target dari fosforilasi ini adalah nucleolin, yang
merupakan nucleolar phosphoprotein yang berlebih yang terlibat dalam sintesis RNA
ribosom dan diregulasi dengan baik oleh androgen (Tawfic et al, 1994). Protein lainnya yang
penting dalam fungsi nukleolar yang dibutuhkan untuk pertumbuhan adalah B23, yang juga
diregulasi oleh CK-2(Tawfic et al, 1993).
Dapat disimpulkan, matriks nukleus adalah struktur modulator yang penting dalam
regulasi nukleus dan merupakan target ideal untuk regulasi hormonal. Pada kenyataannya,
matriks nukleus adalah situs utama pengikatan reseptor hormon steroid (Barrack dan
Coffey, 1982; Donnelly et al, 1983; Wilson dan Colvard, 1984; Alexander et al, 1987;
Barrack, 1987; Metzger dan Korach, 1990; Luke dan Coffey, 1994). Pada prostat, lebih dari
60% dari semua AR nukleus terkait dengan matriks nuklir (Barrack dan Coffey, 1982).
Matriks ini juga menjadi target bagi banyak jenis interaksi regulator lainnya, termasuk produk
nukleus dari protein onkogen dan viral yang dapat juga menginduksi regulasi pertumbuhan
mirip dengan pertumbuhan yang diinduksi hormon. Misalnya, matriks nukleus dilaporkan
menjadi target seluler untuk protein onkogen retrovirus Myc dan antigen polyoma large T.
Semua protein transformasi ini yang berikatan dengan nukleus diyakini sebagai peristiwa
molekuler awal dalam karsinogenesis atau transformasi. Oleh karena itu, pengamatan
bahwa AR berinteraksi dengan matriks didahului dengan matriks sebagai target umum
dalam faktor-faktor yang mengatur struktur dan fungsi sel.
Plasma semen yang dibentuk utamanya dari sekresi jaringan aksesori seksual, yang
menyediakan lingkungan yang sesuai untuk keberlangsungan hidup dan fungsi
spermatozoa. Jaringan aksesoris seksual mencakup epididimis, ampula, vesika seminalis,
prostat, kelenjar Cowper (bulbourethral) dan kelenjar Littre. Rata-rata volume ejakulat
manusia normal adalah 3 mL, berkisar antara 2-6 mL, dan memiliki 2 komponen:
spermatozoa dan plasma semen. Spermatozoa yang mencakup kurang dari 1% total
ejakulat, ditemukan dalam kisaran 100 juta/mL. Kontribusi utama volume dari plasma semen
(rata-rata 3 mL) berasal dari vesika seminasil (1,5 hinga 2 L), dari prostat (0,5 mL), dan dari
kelenjar Cowper dan kelenjar Littre (0,1 hingga 0,2 mL). Selama ejakulasi sekresi dari
kelenjar ini dilepaskan secara sekuensial (Amelar, 1962; Amelar and Hotchkiss, 1965;
Tauber and Zaneveld, 1976; Zaneveld and Tauber, 1981). Fraksi pertama dari ejakulat
manusia kaya akan sperma dan sekresi prostat seperti asam sitrat. Kadar fruktosa, yang
menggambarkan produk sekresi utama dari vesika seminalis, mengalami peningkatan pada
fraksi akhir ejakulat. Baru-baru ini, albumin semen ditemukan pada plasma semen dan
penulis menemukan hubungan dengan morfologi sperma tetapi tidak dengan parameter
semen lainnya (Elzanaty et al, 2007).
Komposisi kimia keseluruhan sekresi prostat manusia dan tikus normal dan plasma
semen telah dipelajari secara luas, dan hasilnya telah diringkas dalam ulasan yang sangat
baik (Mann dan Mann, 1981; Zaneveld dan Tauber, 1981; Aumuller dan Seitz, 1990; Daniels
dan Grayhack, 1990; Chow et al, 1993; Gonzalez et al, 1993; Elzanaty et al, 2007). Analisis
sekresi prostat yang diekspresikan dalam kohort pada kelompok pria mengungkapkan
bahwa sitrat, myo-inositol, dan pengukuran metabolit spermin berpotensi membedakan
kelompok kontrol dengan kelompok pria dengan kanker prostat (Serkova et al, 2008),
dengan analisis jaringan juga menunjukkan bahwa sperma dan sitrat dapat membedakan
pembesaran prostat jinak dengan prostat kanker (Giskeødegård et al, 2013).
Dalam hubungannya dengan cairan tubuh lain, plasma semen cukup berbeda karena
memiliki konsentrasi tinggi kalium, zinc, asam sitrat, fruktosa, fosforilkolin, sperma, asam
amino bebas, prostaglandin, dan enzim (terutama asam fosfatase, diamin oksidase, β-
glukuronidase, laktat dehidrogenase (LDH), α-amilase, PSA, dan proteinase seminal).
Asam Sitrat
Salah satu anion utama dalam plasma semen manusia adalah sitrat (rata-rata, 376
mg/dL), dengan kisaran 20 mM atau 60 mEq/L. Dibandingkan dengan ion klorida (155 mg /
dL) dengan kisaran 40 mM. Sitrat adalah pengikat ampuh ion logam, dan konsentrasi sitrat
plasma semen, 20 mM, sebanding dengan total logam divalen pada 13,6 mM (kalsium, 7
mM; magnesium, 4,5 mM; zinc, 2,1 mM). Kadar sitrat prostat mencapai 15,8 mg/mL
(Zaneveld and Tauber, 1981), dan nilai untuk sekresi asam sitrat vesikula seminalis hampir
100 kali lipat lebih sedikit, hanya 0,2 mg/mL. Asam sitrat terbentuk dalam prostat pada
konsentrasi 100 kali lebih tinggi daripada yang terlihat pada jaringan lunak lain (misal pada
jaringan prostat, 30.000 nmol/g; jaringan lain, kisaran 150 hingga 450 nmol/g). Konsentrasi
sitrat pada ejakulat adalah 500 hingga 1000 kali lebih tinggi dari pada plasma. Sel epitel
sekretori prostatik membentuk sitrat dari asam aspartat dan glukosa. Konsentrasi tinggi
pada prostat adalah sebagian dari hasil ketidakmampuan sel mitokondria prostat untuk
mengoksidasi sitrat segera setelah terbentuk; oleh karena itu, laju sintesis sitrat jauh
melebihi laju oksidasi sitrat (Costello dan Franklin, 1989, 1994; Kavanagh, 1994).
Fruktosa
Sumber fruktosa pada plasma semen manusia adalah dari vesika seminalis (Mann dan
Mann, 1981). Pasien yang tidak memiliki vesika seminalis sejak lahir tidak ditemukan
kandungan fruktosa dalam ejakulatnya (Phadke et al, 1973). Sekresi vesika seminalis
mengandung sejumlah kecil gula bebas lain seperti glukosa, sorbitol, ribosa, dan fruktosa,
dan gula ini biasanya berjumlah kurang dari 10 mg/dL. Sebagai perbandingan, konsentrasi
fruktosa gula pereduksi adalah sekitar 300 mg/dL dalam sekresi semeni manusia, dan
memiliki kadar 200 mg/dL dalam plasma semen. Fruktosa dari plasma semen tampaknya
menjadi sumber energi anaerob dan aerob untuk spermatozoa (Mann dan Mann, 1981) dan
telah secara tidak langsung dikaitkan dengan motilitas sperma ke depan dan viskositas
semen (Gonzalez et al, 1993; Fabiani et al, 1995).
Kadar fruktosa berada di bawah regulasi androgenik, tetapi banyak faktor, seperti
penyimpanan, frekuensi ejakulasi, kadar glukosa darah, dan status gizi, juga dapat
memengaruhi konsentrasi plasma semen (Mann dan Mann, 1981); pertimbangan ini dapat
menjelaskan variasi luas yang ditemukan pada semen yang diambil pada waktu yang
berbeda sampel dari pasien yang sama. Selain itu, kadar androgen dalam plasma tidak
selalu berkorelasi dengan kadar fruktosa plasma seminalis; oleh karena itu kadar ini tidak
menunjukkan indeks androgenik yang handal. Level fruktosa seminalis juga telah
dipertimbangkan berada di bawah kendali simpatis (Lamano-Carvalho et al, 1993; Kempinas
et al, 1995).
Polyamines
Polyamines adalah molekul organik kecil yang paling dasar (bermuatan positif) di alam.
Mereka muncul hampir di setiap jaringan pada konsentrasi tinggi dan diyakini terlibat dalam
beragam proses fisiologis yang berbagi hubungan dengan proliferasi dan pertumbuhan sel.
Memang, polyamines dapat berfungsi sebagai faktor pertumbuhan untuk sel dan bakteri
mamalia yang dikultur dan sebagai penghambat enzim, termasuk protein kinase.
Peran pasti polyamines pada tingkat molekuler masih sulit dipahami, tetapi mereka
mewakili senyawa biologis penting dan ditemukan pada level tinggi dalam ejakulat.
Polyamines dapat memengaruhi gating dan transportasi zat melalui saluran membran. Dari
sudut pandang klinis, polyamines (spermidine dan sperma) telah diselidiki sebagai penanda
terapi deprivasi androgen pada pria dengan kanker prostat stadium lanjut (Cipolla et al,
1994). Peneliti lain (Heston, 1991; Kadmon, 1992; Madhubala dan Pegg, 1992; Love et al,
1993) telah menyelidiki peran polyamines dalam patofisiologi kanker prostat. Langkah
pertama dan tahap pembatasan kecepatan dalam sintesis polyamines dalam prostat
dikendalikan oleh enzim ornithine decarboxylase (ODC). Ekspresi gen ODC telah terbukti
meningkat pada jaringan BPH (Liu et al, 2002). ODC dapat dihambat oleh
difluoromethylornithine (DMFO), yang pada gilirannya menghambat sintesis polyamines.
DMFO telah diusulkan sebagai agen untuk kemoprevensi kanker prostat (Kadmon, 1992).
Kadar spermin dalam plasma semen manusia normal berkisar antara 50 hingga 350
mg/dL dan utamanya berasal dari kelenjar prostat, yang merupakan sumber spermin terkaya
dalam tubuh. Spermine [NH–(CH2)3–NH–(CH2)4–(CH2)4–NH–(CH2)3-NH2] adalah polyamines
alifatik dasar dan, karena empat muatan positifnya, berikatan kuat dengan asam atau
molekul bermuatan negatif seperti ion fosfat, asam nukleat, dan fosfolipid. Ketika semen
dibiarkan pada suhu kamar, asam fosfatase secara enzimatis menghidrolisa fosforilkolin
seminalis untuk membentuk ion fosfat anorganik bebas, yang kemudian berinteraksi dengan
sperma bermuatan positif dan mengendapkan kristal garam translucent dari spermin fosfat..
Polyaminesjuga dapat membentuk ikatan amide dan membuat tambahan kovalennya pada
kelompok protein karboksilat (Williams-Ashman et al, 1975), dan modifikasi ini mungkin
terlibat dalam fungsi pengaturan.
Telah banyak minat pada spermin dan polyamines terkait lainnya, seperti spermidine
dan putrescine, karena perubahan kadar dan rasio yang cepat dan dramatis terkait dengan
banyak jenis sel yang diinduksi ke dalam pertumbuhan. Williams-Ashman dan rekannya
telah menyelidiki secara rinci biosintesis dan regulasi polyamines tersebut dalam saluran
reproduksi pria dan telah mengkarakterisasi reaksi enzimatik yang berkembang dari
ornithine menjadi putrescine menjadi spermidine dan kemudian menjadi spermin (Williams-
Ashman et al, 1969, 1972, 1975). Poliamina dioksidasi secara enzimatis oleh diamine
oksidase (ditemukan dalam plasma semen) untuk membentuk senyawa aldehid yang sangat
reaktif yang dapat menjadi racun bagi sperma dan bakteri (Le Calvé et al, 1995).
Pembentukan produk-produk aldehida ini menghasilkan bau semen yang khas. Aldehida
atau poliamina ini mungkin dapat melindungi saluran genitourinari dari agen infektif.
Hubungan antara kadar sperma dalam plasma semen dan jumlah sperma dan motilitas juga
telah diteliti (Stamey et al, 1968; Fair dan Parrish, 1981; Fair et al, 1993; Le Calvé et al,
1995). Seperti sitrat, spermin juga dapat diukur dalam jaringan prostat dengan magnetic
resonance spectroscopy (van der Graaf et al, 2000).
Phosphorylcholine
Amine bermuatan positif lainnya berada pada konsentrasi tinggi dalam komponen
ejakulat, termasuk kholin dan fosforilkholin, yang biasanya ditemukan sebagai komponen
lipid atau sebagai faktor lipotropik. Semen mamalia kaya akan kholin [(CH3)3-N+-(CH2)2–OH].
Pada manusia, fosforilkholin mendominasi, sedangkan pada sebagian besar spesies lain
tingkat α-gliseril-fosforilkolin jauh lebih tinggi, mencapai lebih dari 1 g/dL plasma semen.
Seligman dan rekan (1975) telah menunjukkan bahwa fosforilkholin adalah substrat yang
sangat spesifik untuk PAP, yang juga aktif dalam plasma semen. Hasil dari aktivitas
enzimatik ini adalah pembentukan kholin bebas dengan cepat pada ejakulat pertama.
Sebaliknya, α-glycerylphosphorylcholine disekresi terutama di epididimis dan tidak mudah
terhidrolisis oleh asam fosfatase. Untuk alasan ini, Mann dan Mann (1981) telah
menyimpulkan bahwa tingkat α-glycerylphosphorylcholine dapat digunakan sebagai indeks
untuk menilai kontribusi sekresi epididimis pada ejakulat. Sekresi epididimis juga di bawah
kendali androgenik. Fungsi senyawa kholin ini tidak diketahui; tampaknya mereka tidak
dimetabolisme oleh spermatozoa, juga tidak mempengaruhi respirasi sperma (Dawson et al,
1957).
Prostaglandin
Sumber terkaya prostaglandin pada manusia adalah vesika seminalis (Pourian et al,
1995). Prostaglandin hadir dalam plasma semen dengan konsentrasi total 100 hingga 300
μg/mL. Von Euler (1934) mengusulkan nama prostaglandin untuk komponen aktif dalam
plasma semen dengan keyakinan bahwa mereka berasal dari kelenjar prostat, tetapi
Eliasson (1959) menetapkan bahwa sumber utama prostaglandin adalah vesika seminalis,
bukan prostat; namun, nama aslinya tetap bertahan. Prostaglandin memiliki distribusi luas di
jaringan mamalia tetapi pada konsentrasi yang jauh lebih rendah daripada di vesika
seminalis (Vane dan Botting, 1995).
Ada lebih dari 90 prostaglandin berbeda yang ada pada manusia, dengan 15
prostaglandin ditemukan dalam semen manusia, dan semuanya tersusun dari 20-carbon
hydroxy fatty acids dengan cincin siklopentana yang memiliki dua rantai samping; karena itu,
mereka adalah turunan dari asam prostanoat. Ke-15 jenis prostaglandin dalam prostat
dibagi menjadi empat kelompok besar, yakni A, B, E, dan F sesuai dengan struktur five-
membered cyclopentane ring.
Masing-masing kelompok ini dibagi lagi sesuai dengan posisi dan jumlah ikatan rangkap
dalam rantai samping (oleh karena itu, PGE3 menunjukkan prostaglandin tipe E dengan tiga
ikatan rangkap di rantai samping). Kelompok E prostaglandin adalah komponen utama pada
saluran reproduksi pria, sedangkan kelompok F dominan pada sistem wanita. Fuchs dan
Chantharaski (1976) telah merangkum tingkat prostaglandin plasma semen manusia yang
dilaporkan dan melaporkan nilai rata-rata berikut (μg/mL): PGE1, 20; PGE2, 15; (PGE1 +
PGE2) − 19-OH, 100; PGA1 + PGA2, 9; (PGA1 + PGA2) − 19-OH1, 31; PGB1 + PGB2, 18;
(PGB1 + PGB2) − 19-OH, 13; PGF1α, 3; dan PGF2α, 4.
Senyawa-senyawa ini adalah agen farmakologis yang kuat yang telah terlibat dalam
berbagai peristiwa biologis pada pria, termasuk ereksi, ejakulasi, dan pergerakan dan
transportasi sperma, serta dalam kontraksi testis dan penis. Selain itu, prostaglandin dari
cairan semen yang tersimpan di vagina telah dilaporkan mempengaruhi lendir serviks,
sekresi vagina, dan transportasi sperma di saluran genital wanita. Prostaglandin E telah
dikaitkan dengan efek imunosupresif dari plasma semen yang dimediasi melalui organel
ekstraseluler, atau "prostasom" (Kelly). et al, 1991).
Zinc
Tingginya kadar zinc dalam plasma semen manusia (140 μg/mL) tampaknya berasal
dari sekresi kelenjar prostat (488 ± 18 μg/mL) (Bedwal dan Bahuguna, 1994). Prostat
memiliki konsentrasi zinc tertinggi (50 mg/100 g berat kering) dibanding organ lainnya. Byar
(1974) telah meninjau banyak eksperimen dan konsep awal yang berkaitan dengan zinc
dalam saluran reproduksi. Kadar zinc akan meningkat atau stabil pada BPH, sedangkan
penurunan kadar zinc dikaitkan dengan adenokarsinoma prostat. Lokalisasi zinc-65 dalam
prostat manusia dengan radioautografi tampak berada di antara sel epitel; namun, dalam
prostat lateral tikus, sejumlah besar zinc juga ditemukan pada stroma dan khususnya pada
membran basal dan komponen protein elastin (Chandler et al, 1977). Asupan oral zinc tidak
mengubah kadar zinc dalam cairan prostat.
Banyak peran fisiologis telah dipostulatkan untuk zinc sejak studi klasik Gunn dan rekan
(1956, 1965), yang mengkorelasikan efek endokrin pada penyerapan zinc dan konsentrasi
dalam prostat dari tikus. Ada banyak zinc-containing metalloenzymes yang berperan
penting, tetapi konsentrasi zinc dalam prostat mungkin melebihi yang ada pada zinc-
associated enzymes. Zinc diketahui dapat berikatan pada banyak protein (Sansone et al,
1991). Johnson dan rekannya (1969) mengkarakterisasi protein pengikat seng dalam
sekresi prostat anjing, pada hidrolisis, hanya terdapat delapan jenis asam amino. Heathcote
dan Washington (1973) menggambarkan protein pengikat zinc pada BPH manusia yang
kaya histidin dan alanin. Jonsson dan rekan (2005) mengemukakan bahwa kemungkinan
salah satu peran zinc dalam semen adalah untuk mengatur aktivitas PSA dengan berikatan
pada semenogelins I dan II dan fragmennya. Ada penelitian lain tentang protein pengikat
zinc dari prostat (Reed dan Stitch, 1973; Fair et al, 1976), dan informasi tambahan tentang
protein ini masih diperlukan.
Peran penting zinc dalam sekresi prostat telah dipostulasikan dalam studi Fair dan
rekan (1976), yang menunjukkan peran langsung zinc sebagai faktor antibakteri prostat.
Dalam studi terhadap 36 pria normal yang bebas dari infeksi prostat bakteri, nilai kadar zinc
dalam sekresi prostat adalah sekitar 350 mg/mL, dengan variasi yang luas antara 150
hingga 1000 μg/mL. Sebagai perbandingan, cairan prostat yang diperoleh dari 61 spesimen
yang dikumpulkan dari 15 pasien dengan prostatitis bakteri kronis yang didokumentasikan
kadar zinc yang lebih rendah hingga 80% dengan rata-rata hanya 50 μg/mL, dengan kisaran
0 hingga 139 μg/mL. Penulis telah mengusulkan batas bawah normal yakni 150 μg/mL.
Selain itu, pada studi in vitro ion zinc bebas pada konsentrasi normal ditemukan dalam
cairan prostat telah mengkonfirmasi aktivitas bakterisidal zinc terhadap berbagai bakteri
gram positif dan gram negatif. Namun, sebagian besar zinc dalam prostat tampaknya terikat
dengan protein seperti, seperti metallothionein, dan masih belum jelas bagaimana protein ini
dapat mengubah sifat biologis zinc (Suzuki et al, 1994, 1995).
Yan dan rekan (2008) melaporkan bahwa penilaian penurunan kadar zinc pada PrEC
manusia normal secara in vitro menyebabkan peningkatan pemecahan single-strand DNA
(Comet assay) dan ekspresi diferensial dari beberapa gen (Affymetrix HG-U133A gene
chips) yang terlibat dalam perkembangan siklus sel, apoptosis, transkripsi, dan respons
serta perbaikan kerusakan DNA. Oleh karena itu, defisiensi zinc dapat mengganggu
integritas DNA dalam prostat. Pada kanker prostat kemampuan sel-sel prostat untuk
mengakumulasi zinc hilang selama perkembangan penyakit dan mungkin sebagian
disebabkan oleh perubahan genetik dan epigenetik yang dihasilkan oleh deplesi zinc.
Protein sekresi dominan dari jaringan aksesori seks telah diteliti (Lilja dan
Abrahamsson, 1988; Aumuller dan Seitz, 1990; Aumuller et al, 1990; Lilja, 1993a, 1993b;
Rittenhouse et al, 1998; Saedi et al, 2001; Diamandis dan Yousef, 2002; Yousef dan
Diamandis, 2002). Profil elektroforesis dua dimensi dengan resolusi tinggi dari marker
protein sekresi utama dari ejakulat manusia, plasma semen, dan sekresi prostat telah
dilaporkan (Edwards et al, 1981; Carter dan Resnick, 1982; Rui et al, 1984; Tsai et al, 1984;
Dube et al, 1987; Aumuller dan Seitz, 1990).
Berkaitan dengan prostat, beberapa protein sekretori ditemukan dalam jumlah besar
dan memiliki signifikansi klinis. Salah satunya adalah PSA (human kallikrein 3 [hK3, protein;
atau KLK3, gen]) dan human kallikrein 2 (hK2 atau KLK2), tetapi juga prostase/KLK-L1
(Yousef et al, 1999; Lwaleed et al, 2004; Clements, 2008) , PAP, dan prostate specific
protein (PSP-94), juga disebut β-microseminoprotein (β-MSP). Tabel 102-4 mencantumkan
beberapa karakteristik protein sekresi utama dalam jaringan aksesori seks.
TABEL 102-4 Protein Utama yang Disekresikan oleh Jaringan Aksesori Seks
Berat
Protein atau Identifikasi Plasma Semen
Molekul Aktivitas
Gen (mg/nL)
(kD)
Tabel 102-5 menggambarkan jumlah sampel, median, dan rentang komponen sekresi
prostat di antara parameter reproduksi pria normal.
TABEL 102-5 Komponen Sekresi Prostat
DFI, DNA fragmentation index; FSH, follicle-stimulating hormone; HDS, high DNA stainability; LH,
luteinizing hormone; NAG, N-acetylglucosamine; PSA, prostate-specific antigen; SHBG, sex hormone
binding globulin. Sumber Elzanaty S, Erenpreiss J, Becker C. Seminal plasma albumin: origin and
relation to male reproductive parameters. Andrologia 2007;39:60–5.
Prostate-Specific Antigen
PSA adalah serine protease yang disekresikan, pertama kali ditemukan dalam jaringan
prostat manusia pada tahun 1970 (Ablin dan Soanes, 1970), ditemukan dalam plasma
semen pada tahun 1971 (Hara et al, 1971), dimurnikan dari jaringan prostat pada tahun
1979 (Wang et al, 1979), diukur dalam serum pria pada 1980 (Kuriyama et al, 1980),
dikloning pada tingkat gen pada 1987 (Lundwall dan Lilja 1987), dan banyak digunakan
sebagai penanda klinis kanker prostat pada tahun 1988 (Seamonds et al, 1986; Chan et al,
1987; Stamey et al, 1987; Oesterling et al, 1988).
Penemuan PSA berawal dari analisa ejakulat dan cairan prostat dengan metode
imunopresipitasi untuk menemukan protein spesifik dalam bidang forensik. Pada tahun
1971, pekerja Jepang mengisolasi, dari plasma semen, protein yang terbukti spesifik
terhadap antigenik untuk semen; mereka melaporkan karakteristik kimia dan fisika dan
menyebutnya γ-seminoprotein (Hara et al, 1971). Beberapa tahun kemudian, dalam upaya
mengembangkan protein ini lebih jauh sebagai marker forensik untuk identifikasi semen, γ-
seminoprotein dimurnikan dari plasma semen manusia. Protein seminal ini, awalnya disebut
γ-seminoprotein, sekarang telah ditunjukkan memiliki sekuens yang sama dengan PSA.
PSA adalah glikoprotein yang bertindak sebagai serine protease dengan berat molekul
33 kD yang mengandung 7% karbohidrat (Watt et al, 1986) dan ditemukan hampir secara
eksklusif di sel epitel prostat (Armbruster, 1993; Rittenhouse et al, 1998). PSA terdiri dari
rantai polipeptida tunggal dan mengandung 240 asam amino dan rantai samping O-linked
carbohydrate yang melekat pada residu serin (Watt et al, 1986). PSA bertindak secara
fisiologis seperti serine protease dan arginine esterase dengan aktivitas seperti
chymotrypsin dan trypsin. Sekuens dari protein ini mirip dengan kallikrein lain (Rittenhouse
et al, 1998) yang terlibat dalam mekanisme regulator sel prostat. Lilja (1985) dan Watt dan
rekan kerja (1986) melaporkan bahwa salah satu protein struktural cairan seminal,
semenogelin, menyebabkan ejakulasi menggumpal. Semenogelin adalah protein yang
disekresikan vesika seminal dominan dan salah satu substrat fisiologis untuk PSA. Salah
satu peran biologis yang mungkin dari PSA adalah melisiskan bekuan dalam ejakulasi,
tetapi saat ini tidak diketahui mengapa mekanisme pembekuan dan lisis ini penting untuk
fisiologi reproduksi.
Gen PSA (hKLK3) adalah bagian dari famili gen jaringan kallikrein manusia yang
mencakup hKLK1, hKLK2, hKLK3, dan KLK-L1 (Lundwall, 1989; McMullen et al, 1991; Berg
et al, 1992; Carbini et al, 1993 ; Clements, 1994; McCormack et al, 1995; Rittenhouse et al,
1998; Nelson et al, 1999; Yousef dan Diamandis, 2003). Hingga saat ini ada lebih dari 15
kallikreins manusia yang berbeda, dengan ekspresi yang tercatat pada kanker prostat,
payudara, ovarium, dan testis (Obiezu dan Diamandis, 2005). Gen-gen ini semuanya
terletak pada kromosom 19 (Reigman et al, 1992; Yousef et al, 1999; Yousef dan
Diamandis, 2003). Ekspresi ektopik PSA telah dilaporkan dalam konsentrasi yang lebih kecil
pada jaringan tumor payudara ganas (Yu et al, 1994a, 1994b, 1994c), jaringan payudara
normal, ASI, serum wanita, dan karsinoma adrenal dan ginjal; namun, untuk tujuan praktis
dan klinis, PSA merupakan penanda khusus-androgen dan bergantung pada organ prostat
(tetapi bukan khusus kanker). Keterbatasan PSA sebagai penanda tumor ditunjukkan pada
tumpang tindih substansial dalam nilai antara penyakit prostat jinak dan ganas (Oesterling et
al, 1988; Partin et al, 1990).
Sebagian besar penelitian mengenai biologi molekuler dan biokimia PSA didasarkan
pada studi ekstensif protein murni dari cairan semen di mana konsentrasi PSA hampir satu
juta kali lipat lebih tinggi daripada yang ditemukan secara rutin dalam serum (McCormack et
al, 1995). Konsentrasi yang ditemukan dalam kisaran plasma seminal 0,5-5,0 mg/mL,
sedangkan kisaran konsentrasi serum normal pada pria berusia 50 hingga 80 tahun tanpa
adanya penyakit prostat dari 1,0 hingga 4,0 ng/L (Catalona et al, 1991).
PreproPSA (261 asam amino) diproses dalam retikulum endoplasma sel epitel prostat,
di mana sekuens pemimpin 17-peptida dibelah untuk membentuk proPSA. Tujuh peptida
lainnya kemudian dibelah dari propeptida untuk membentuk peptida PSA aktif (Rittenhouse
et al, 1998). Pembelahan prekursor PSA yang tidak aktif (zymogen) dilakukan terutama in
vivo oleh hK2 (Lilja, 1985; Villoutreix et al, 1994; Rittenhouse et al, 1998). Selain
pembelahannya pada residu −7, proPSA juga dapat dibelah pada residu −2 atau −5 untuk
menghasilkan PSA yang tidak aktif secara katalis yang disebut [−2] proPSA dan [−5]
proPSA. Akhirnya, bentuk tambahan PSA tidak aktif dapat dibentuk oleh pembelahan
internal di berbagai lokasi dalam PSA (mungkin terjadi dalam cairan semen setelah PSA
disekresi). Isoform yang terpecah ini terdiri dari BPSA.
Sebagian kecil PSA yang aktif berdifusi ke dalam sirkulasi, di mana ia cepat terikat atau
kompleks oleh perlekatan kovalen terhadap protease inhibitor (paling umum, α1-
antichymotrypsin) (Lilja et al, 1991; Stenman et al, 1991; Christensson et al, 1993 ; Lilja,
1993a; McCormack et al, 1995; Partin dan Carter, 1996; Polascik et al, 1999). PSA yang
tidak aktif juga bisa masuk ke aliran darah, dimana ia akan beredar dalam keadaan tidak
terikat sebagai PSA bebas (fPSA).
Bergantung pada antibodi monoklonal yang digunakan untuk mengukur serum PSA,
jumlah PSA yang bebas dan kompleks, serta isoform proPSA, dapat dideteksi. Hal ini
memiliki kepentingan klinis yang tinggi karena berbagai turunan PSA berkaitan dengan
jaringan prostat jinak dan kanker. Pada kanker prostat, hilangnya arsitektur kelenjar dan sel-
sel basal menghasilkan penurunan dalam proses luminal dari proPSA menjadi PSA aktif
(dan dengan demikian meningkatkan proPSA) dan di samping itu penurunan dalam
pemrosesan PSA aktif menjadi BPSA (sehingga menurunkan jumlah fPSA). Sehingga,
peningkatan kadar BPSA dalam serum ditemukan pada penyakit jinak, sedangkan proPSA
(dan khususnya [-]2] proPSA) dan PSA yang terikat berhubungan dengan kanker prostat
(ditinjau dalam Balk et al, 2003 dan Tosoian dan Loeb, 2010).
Human Kallikrein 2
Human kallikrein 2 (hK2 [protein] atau KLK2 [gen])merupakan serin protease spesifik
terhadap prostat yang terkait erat dengan PSA (Rittenhouse et al, 1998). hK2 pertama kali
ditunjukkan dari low-stringency hybridization screen dari human liver genomic library
manusia pada tahun 1992, dan sekuens asam amino diprediksi memiliki 80% homologi
dengan PSA (hK3, KLK3) (Young et al, 1992). Homologi yang mencolok antara kedua
protein "spesifik prostat" ini menunjukkan hubungan fisiologis yang erat. Baru-baru ini, hK2
rekombinan telah dapat diekspresikan dan dimurnikan (Kumar et al, 1996; Mikolajczyk et al,
1998). Tidak seperti PSA, hK2 menunjukkan sifat seperti trypsin dengan pembelahan
selektif pada residu arginin dan memiliki potensi aktivitas protease lebih tinggi (20.000 kali
lipat lebih besar dari PSA) (Mikolajczyk et al, 1998). Antibodi monoklonal terhadap hK2 telah
dikembangkan dan memiliki insiden rendah bereaksi silang dengan PSA (Finlay et al, 1998).
Seperti disebutkan sebelumnya, secara fisiologis, hK2 memecah proPSA untuk
menghasilkan bentuk PSA yang aktif secara enzimatik dalam prostat (Kumar et al, 1996).
Studi imunohistokimia telah menunjukkan hK2 mengalami peningkatan dalam ekspresinya
dari normal ke metastasis, epitel prostat yang berdiferensiasi buruk (Darson et al, 1997), dan
studi hK2 dalam serum pria dengan kanker prostat telah menunjukkan kepentingan klinis
untuk deteksi dini kanker prostat ( Partin et al, 1999; Vickers et al, 2010).
Human Kallikrein L1
Human Kallikrein 11
Human kallikrein 11 (hK11) adalah serine protease yang memiliki kesamaan dengan
human kallikrein 3 (hK3) atau PSA dengan homologi signifikan pada level nukleotida dan
struktur protein (Diamandis dan Yousef, 2002). Lokalisasi hK11 dalam sel epitel berbagai
organ telah ditunjukkan secara imunohistokimia, dan hK11 telah terdeteksi dalam cairan
ketuban, ASI, cairan serebrospinal, cairan folikel, dan sitosol kanker payudara. Kadar hK11
tertinggi diamati dalam ekstrak jaringan prostat dan plasma semen, di mana ia memiliki
kadar 300 kali lipat lebih rendah dari PSA. Peningkatan kadar serum hK11 ditemukan pada
60% pria dengan kanker prostat; rasio hK11 terhadap total PSA mampu mengurangi jumlah
biopsi yang dibutuhkan, dan memiliki data yang sama dengan yang diperoleh dari tes fPSA
(Diamandis dan Yousef, 2002; Nakamura et al, 2003).
Human Kallikrein 14
Prostate-Specific Transglutaminases
Semenogelins I dan II
Pengkodean gen PSMA terletak pada kromosom 11p11-12 dan kode untuk glikoprotein
membran tipe II (berat molekul sekitar 100.000 Da) dengan intraseluler (1 hingga 18 asam
amino), transmembran (19 hingga 43 asam amino), dan ekstraseluler besar (44 hingga 750
asam amino) domain (Israeli et al, 1994; Ghosh dan Heston, 2004; Davis et al, 2005). cDNA
(2,65 kb nomor GenBank M99487) yang mengkode PSMA pertama kali dilaporkan oleh
Israeli dkk pada tahun 1993 dan telah ditemukan sekuens asam aminonya (Israeli et al,
1994). Hal tersebut mengkode 750-asam amino protein dengan massa molekul yang
diprediksi 84 kD (tidak termasuk karbohidrat). Asam amino hidrofobik yang ditemukan pada
residu asam amino 20 hingga 43 menunjukkan bahwa protein ini adalah protein membran
integral tipe II dengan domain intraseluler kecil dan domain ekstraseluler besar (Fair et al,
1997). Promotor untuk PSMA telah dikloning (Good et al, 1999), dan PSMA telah
diekspresikan dan dimurnikan dari sistem ekspresi baculovirus (Lodge et al, 1999).
Sebagian dari domain transmembran protein ini (residu asam amino 1250 hingga 1700)
berbagi 57% homologi dengan mRNA reseptor transferrin manusia (Mahadevan dan
Saldanha, 1999). Varian splicing alternatif dari PSMA (protein PSM′-PSA domain
ekstraseluler) sedang diselidiki untuk lebih memahami signifikansi klinis dari protein
membran penting ini yang ditemukan dalam prostat (Liu et al, 1997; Grauer et al, 1998;
Murphy et al, 1998; Ghosh dan Heston, 2004; Rajasekaran et al, 2005). PSMA telah
dikristalisasi dan strukturnya dideduksi pada resolusi 3,5 Å. Analisis ini mengungkapkan
homodimer dengan kesamaan struktural dengan reseptor transferin, reseptor untuk iron-
loaded transferrin yang tidak memiliki aktivitas protease (Davis et al, 2005). Namun, tidak
seperti reseptor transferin, domain protease PSMA (glutamat carboxypeptidase II)
mengandung situs zinc binuklear, residu katalitik, dan substrate-binding arginine patch.
PSMA diekspresikan dengan kuat pada prostat dan diregulasi pada kanker prostat dan
pada neovaskularisasi dari tumor lain (Silver et al, 1997; Chang et al, 1999b, 2001). Dalam
prostat ada tiga varian PSMA alternatif. Namun, hanya satu dari isoform ini (PSM ′ terletak di
ujung terminal 5’ dari PSMA cDNA) diketahui secara berbeda diekspresikan dalam jaringan
normal, BPH, dan kanker prostat (Elgamal et al, 2000; Rajasekaran et al, 2005). Ekspresi
mRNA PSMA dalam kanker prostat berada dalam kondisi hormonedeprived state,
bertentangan dengan mRNA PSA, yang sering menunjukkan ekspresi yang lebih rendah,
bahkan tidak menunjukkan hormonedeprived state (Henttu et al, 1992; Israeli et al, 1994;
Wright et al, 1995; Rajasekaran et al, 2005). Asosiasi PSMA dengan kanker prostat
menjadikannya target yang menguntungkan untuk pengembangan molekul pencitraan dan
terapi (Lupold dan Rodriguez, 2004; Davis et al, 2005; Chandran et al, 2008).
Terlepas dari namanya, PSMA juga diekspresikan dalam banyak jaringan nonprostatik,
termasuk ginjal, usus kecil, dan sistem saraf. PSMA dalam sistem saraf pusat melakukan
metabolisme neurotransmitter otak N-acetyl-aspartyl-glutamate atau NAAG (dinamakan
NAALADase). Dalam usus, PSMA ditemukan di usus kecil proksimal, di mana ia
menghilangkan γ-linked glutamates dari poly-γ-glutamated folate (folate hydrolase 1), atau
sebagai carboxypeptidase, glutamate carboxypeptidase II.
Reiter dan rekan (1998) mengidentifikasi prostate stem cell antigen (PSCA), antigen
permukaan sel yang diekspresikan dalam prostat (pada jaringan lain ditemukan pada
kandung kemih). Gen PSCA mengkode 123-asam amino glikoprotein, dengan 30%
homologi untuk antigen stem cell 2 (Sca-2). Seperti Sca-2, PSCA adalah anggota keluarga
Thy-1/Ly-6 dan ditambatkan oleh tautan glycosylphosphatidylinositol. Dengan menggunakan
hibridisasi mRNA in situ, ekspresi PSCA terlokalisasi pada prostat normal ke epitel sel basal,
kompartemen putative stem cell dari epitel prostat; sehingga, PSCA dapat menjadi penanda
sel prostat atau sel progenitor. Hara dkk (2002) melakukan analisis tingkat mRNA PSA,
PSMA, dan PSCA pada darah tepi dengan metode RT-PCR pada 58 pasien dengan kanker
prostat dan 71 pasien dengan penyakit non-ganas. Hasilnya adalah 7 dari 58 (12,1%) untuk
PSA, 12 dari 58 (20,7%) untuk PSMA, dan 8 dari 58 (13,8%) untuk PSCA; nol sampel positif
untuk penyakit yang tidak ganas. Ringkasan hirarkis dari nilai prognostik untuk tiga
biomarker adalah sebagai berikut: PSCA lebih tinggi dari PSA, yang lebih tinggi dari PSMA
untuk RT-PCR dari 58 pasien dengan kanker prostat. Perlu diperhatikan bahwa pada
kelompok pasien ini, ketika hasil RT-PCR positif untuk PSCA, pasien disease progression–
free survival yang lebih rendah dibandingkan dengan dua biomarker lainnya. Ekspresi PSCA
meningkat seiring dengan peningkatan skor Gleason dan stadium kanker serta dengan
progresi metastasis dan dapat menjadi biomarker yang berguna untuk stadium kanker
prostat (Hara et al, 2002). Han dan rekan (2004) melakukan analisis imunohistokimia PSCA
dari microarray jaringan 246 pasien; hasil mengungkapkan bahwa intensitas pewarnaan
PSCA 3.0 berkorelasi dengan fitur prognostik yang merugikan termasuk skor Gleason 7.0 (P
= .001), invasi vesikula seminalis (P = .005), dan keterlibatan kapsul (P = .033). Namun,
setelah analisis multivariat, PSCA tidak bertahan sebagai prediktor independen dari
rekurensi PSA. Zhigang dan Wenlv (2004) mempelajari BPH, low-grade prostatic
interepithelial neoplasia (LGPIN), highgrade prostatic interepithelial neoplasia (HGPIN), dan
kanker prostat pada tingkat jaringan oleh imunohistokimia dan tingkat mRNA dengan
hibridisasi in situ. Pada BPH dan LGPIN pewarnaan protein PSCA dan mRNA lemah atau
negatif dan kurang intens dan seragam daripada di HGPIN dan kanker prostat. Terdapat
protein PSCA sedang hingga kuat serta ekspresi mRNA di 8 dari 11 (72,7%) HGPIN dan
pada 40 dari 48 (83,4%) spesimen kanker prostat yang diperiksa oleh imunohistokimia dan
analisis hibridisasi in situ. Ketika spesimen kanker prostat diperiksa oleh imunohistokimia
dan analisis hibridisasi in situ dibandingkan dengan sampel BPH (20%) dan LGPIN (22,2%),
hasilnya signifikan secara statistik (masing-masing <0,05). Ekspresi PSCA mengalami
peningkatan seiring dengan stadium Gleason yang tinggi, stadium lanjut, dan progresi ke
arah independensi androgen (P <.05, masing-masing). Selain itu, dalam penelitian ini,
immunostaining protein dan pewarnaan mRNA hibridisasi in situ menunjukkan tingkat
korelasi yang tinggi antara protein PSCA dan peningkatan ekspresi mRNA pada kanker
prostat, yang mendukung potensi PSCA sebagai biomarker prognostik. Sehingga, nilai
protein ini untuk biologi morfogenesis jaringan epitel prostat dan juga sebagai biomarker
yang baru untuk diagnosis dan pengobatan kanker prostat dapat direalisasikan.
Aktivitas asam fosfatase adalah 200 kali lebih sering dibandingkan pada jaringan
prostat dibandingkan jaringan lainnya dan adalah sumber dari kadar tinggi jaringan lainnya
dan sumber dari kadar tinggi asam fosfatase pada ejakulat. Enzim fosfatase menghidrolisis
banyak tipe dari ester monofosfat organik menjadi fosfat inorganik dan alkohol. Banyak
enzim fosfatase memberikan aktivitas optimal secara in vitro didalam keadaan asam (pH 4
hingga 6) atau alkalin (pH 8-11) dan diklasifikasikan secara luas sebagai asam atau alkali
fosfatase.
Aktivitas asam fosfatase dapat didefinisikan lebih lanjut oleh faktor-faktor yang
menghambat aktivitas enzimatisnya. Misalnya, asam eritrosit fosfatase yang sangat sensitif
terhadap penghambatan oleh formaldehida 0,5% atau ion tembaga (0,2 mM), sedangkan
aktivitas PAP jauh lebih sensitif terhadap penghambatan oleh ion florida (1 mM) atau L-
tartrate (1 mM).
Osteoklas juga kaya akan asam fosfatase tartrat yang tidak sensitif. Peningkatan
minor dalam kadar asam fosfatase serum dapat menyertai penyakit Paget,
osteoporosis, metastasis tulang nonprostatik, dan kondisi lain dari peningkatan
resorpsi tulang serta kanker prostat metastatik. Semua asam fosfatase menghidrolisis
berbagai fosfomonoester alami dan sintetis, dan ini telah menyediakan berbagai macam
sistem uji dan ekspres aktivitas unit yang berbeda, tergantung pada pengujian. Substrat
sintetis ini meliputi, sebagian, fenilfosfat (Gutman dan Gutman, 1938); fenolftalein fosfat;
paranitrophenyl fosfat, juga disebut Sigma 104; dan timolftalein fosfat (Roy et al, 1971).
Spesifisitas substrat ini bervariasi dengan jenis dan sumber asam fosfatase; Tampaknya
timolftalein fosfat mungkin merupakan substrat yang paling spesifik untuk menguji kadar
serum fosfatase asam prostat-spesifik, tetapi antibodi spesifik saat ini tersedia untuk
pengukuran imunologis. Ketertarikan pada tes asam fosfatase dalam serum sebagai ukuran
metastasis kanker prostat sebelum terapi definitif menurun dengan ketersediaan tes PSA
yang lebih sensitif dan spesifik (Burnett et al, 1962).
Substrat alami untuk PAP dapat berupa fosforilkolin fosfat, yang dihidrolisis dengan
cepat dalam semen (Seligman et al, 1951). Fungsi biologis dari enzim ini dan reaksinya
tidak diketahui, tetapi penting bahwa PAP dapat menghidrolisis ester protein tirosin fosfat,
produk alami dari banyak protein kinase tirosin onkogen (Li et al, 1984; Lin dan Clinton,
1986). Dengan teknik spektroskopi resonansi magnetik, telah ditunjukkan bahwa rasio kolin
intraseluler terhadap tingkat sitrat dalam prostat dapat membantu membedakan dari jaringan
prostat yang mengalami kanker dan normal (Scheidler et al, 1999). Diperlukan uji klinis lebih
lanjut sebelum temuan ini akan memengaruhi praktik klinis. Tidak diketahui apakah asam
fosfatase merupakan faktor pengaturan dalam sistem protein kinase tirosil yang sangat
penting sebagai mekanisme pensinyalan dalam fungsi faktor pertumbuhan.
PAP manusia adalah dimer glikoprotein dengan berat molekul 102.000 dan
mengandung sekitar 7% karbohidrat berdasarkan berat, terdiri dari 15 residu per mol
gula netral (fruktosa, galaktosa, dan manosa), 6 residu per mol asam sialat, dan 13
residu N -acetylglucosamine (Chu et al, 1977). Protein dapat dipisahkan menjadi dua
subunit 50 kD. Aktivitas enzim manusia yang dimurnikan adalah 723 U / mg dengan α-naftil
fosfat, dan plasma semen mengandung 0,3 hingga 1 g / L atau 177 hingga 760 U / mL.
Aktivitas enzimatik yang tinggi dari PAP bukan merupakan karakteristik jaringan aksesori
pada banyak spesies lain; tingkatannya 1000 kali lebih tinggi per gram jaringan di prostat
manusia dibandingkan prostat tikus. Aspek klinis PAP ditinjau oleh Romas dan Kwan (Lowe
dan Trauzzi, 1993; Romas dan Kwan, 1993).
Protein 16-kD utama, kaya sistein, nonglikosilasi yang mengandung 94 asam amino
telah ditemukan dalam sekresi prostat dan bernama protein khusus prostat 94 (PSP-94); hal
tersebut adalah salah satu dari tiga protein dominan yang disekresikan di kelenjar prostat
dan ditemukan dalam cairan semen bersama dengan PSA dan PAP. Protein ini sebelumnya
telah didesain untuk β-inhibin dan juga β-MSP (Dube et al, 1987; Ulvsback et al, 1989).
Transkrip mRNA untuk protein ini juga telah diidentifikasi dalam jaringan nongenital
(Ulvsback et al, 1989). Gen manusia untuk PSP-94 telah dipetakan ke dalam kromosom 10
(q11.2), dan ada tiga elemen respons glukokortikoid dan satu elemen respons estrogen di
daerah promotor intron pertama. Berdasarkan pengamatan ini gen tersebut kemungkinan
diatur oleh hormon pada manusia (Nolet et al, 1991; Ochiai et al, 1995) karena hal ini juga
dilaporkan dalam penelitian prostat lateral tikus (Kwong et al, 2000). Juga, Valtonen-Andre
dan rekan (2008) menunjukkan bahwa pada laki-laki muda dan sehat, kadar PSP-94 dalam
serum berkorelasi baik didalam plasma semen (r = 0,50, P <0,001). Pemeriksaan imunologis
otomatis dilakukan dengan AutoDELFIA 1235 (Wallac) dan menghasilkan nilai rata-rata
PSP-94 pada 205 pria muda dengan kadar 12 mg / L (persentil 2,5 hingga 97,5, 4,9 hingga
26 mg / L) dalam serum dan 0,53 g / L (persentil 2.5 hingga 97.5, 0.13 hingga 2.0 g / L) atau
1.8 mg (persentil 2.5 hingga 97.5, 0.32 hingga 6.6 mg) dalam plasmasSemen. Data ini
memberikan dasar yang kuat untuk evaluasi biomarker baik pada pria sehat dan pada
mereka yang menderita kanker prostat.
Salah satu fungsi biologis utama PSP-94 adalah penghambatan hormon
perangsang folikel (Garde et al, 1999). Sementara hormon perangsang folikel dibuat oleh
kelenjar hipofisis, prostat telah terbukti menjadi sumber hormon perangsang folikel
ekstrapituitari. Terdapat reseptor hormon perangsang folikel di prostat, dan tampaknya
regulasi autokrin atau parakrin dari hormon ini memengaruhi proliferasi epitel prostat (Ben-
Josef et al, 1999; Porter et al, 2001). Juga, Chan dan rekan (1999) menggunakan hibridisasi
in situ untuk mempelajari ekspresi PSP-94 pada prostat manusia. Mereka menemukan
bahwa prostat janin pada 6 sampai 7 bulan mensintesis PSA dan PAP tetapi tidak PSP-94,
dan pengamatan ini tampaknya berhubungan dengan perkembangan kelenjar prostat.
Distribusi anatomi zonal PSP-94 pada prostat dewasa menunjukkan bahwa protein
diekspresikan sebagian besar di asinus zona perifer daripada zona sentral atau transisi.
Anahi Franchi dkk (2008) mempelajari PSP-94 dan interaksi potensinya dengan
spermatozoa manusia dan kemungkinan perannya dalam kesuburan. Menggunakan PSP-94
murni, mereka menunjukkan interaksi spesifik pada permukaan sperma. Juga,
menggunakan teknologi ELISA dual-antibodi, para penulis mencatat bahwa dari 62 pasien
yang dinilai untuk kesuburan, pria subur memiliki konsentrasi protein yang lebih rendah
daripada pria subfertil dan menyarankan bahwa kualitas semen mungkin dipengaruhi oleh
konsentrasi PSP-94. Fungsi lain dari PSP-94 mungkin untuk berinteraksi langsung
dengan spermatozoa dengan cara yang dapat mempengaruhi kualitas struktur dan
fungsi sperma.
Di bidang kanker, Chan dan rekan kerja (1999) menemukan bahwa ekspresi PSP-94
secara nyata diturunkan fungsinya dengan meningkatnya kadar Gleason dari kanker prostat.
Selanjutnya, Shukeir dan rekan kerja (2003) menunjukkan penurunan yang signifikan dalam
pertumbuhan subline Dunning R3327 yang sangat metastasis pada model prostat tikus
MatLyLu prostat diberikan dengan protein terkait hormon paratiroid dengan pengobatan
dengan berbagai dosis PSP-94 komersial yang dimurnikan dari plasma semen manusia (0,
0,1, 1,0, dan 10 μg / kg / hari). Kadar serum protein terkait hormon dan kalsium paratiroid
digunakan untuk memantau keberhasilan pengobatan dengan PSP-94. Oleh karena itu,
PSP-94 adalah penghambat efektif metastasis kanker prostat hormon independen dan
terbaru dalam model hewan Dunning MatLyLu ini. Molekul PSP-94 ini belum
dikristalisasi; Namun, Joshi dan Jyothi (2002), dalam model molekul yang disimulasikan
komputer, telah memprediksi strukturnya dan menghitung aktivitas pengikatannya dan
aktivitas biologinya yang terkait (penghambatan hormon perangsang folikel) dan sifat
imunogenik. Menggunakan struktur tiga dimensi yang dibangun oleh resonansi magnetik
nuklir (NMR), Ghasriani dan rekan (2006, 2009) telah menunjukkan molekul PSP-94 terdiri
dari dua domain berbeda yang membentuk struktur yang agak panjang. Dua domain
terhubung satu sama lain oleh tulang punggung peptida, satu ikatan disulfida, dan interaksi
antara amino dan karboksil termini dan berorientasi untuk memberikan molekul struktur yang
agak panjang. Selain itu, Ghasriani dan rekan (2009) telah menunjukkan interaksi molekuler
spesifik PSP-94 dengan protein sekretori yang kaya akan sistein 3 (CRISP-3) dengan
menerapkan NMR multidimensi. Protein CRISP tersebar di antara organisme dan racun ular,
dan mereka dilaporkan sebagai penghambat saluran ion kalsium; Namun, relevansi
pengamatan interaksi protein-protein ini dengan plasma seminal belum ditentukan.
Inhibitor Protein C
Semen manusia mengandung beberapa enzim dan penghambat sistem koagulasi
hemostatik (Lwaleed et al, 2004; Fernandez dan Heeb, 2007). Dalam semen manusia, PSA
muncul sebagai kompleks molekul dengan protein C inhibitor (PCI), dan yang terakhir
memberikan beberapa konsekuensi penghambatan untuk aksi dari PSA itus sendiri. Protein
struktural dominan dari semen terkoagulasi adalah protein yang disekresikan oleh vesikula
seminalis termasuk semenogelin I dan II dan fibronektin, dan protein ini tetap stabil dalam
sekresi vesikula seminalis hingga 20 jam pada suhu 37° C tetapi dengan cepat membelah
menjadi peptida kecil pada pencampuran dengan protease (misalnya, PAP, hKLK2 [PSA],
hKLK3, hKLK14) dari sekresi prostat (Lwaleed et al, 2004; Fernandez dan Heeb, 2007). Gen
PCI manusia terletak di kromosom 14q32.1 dan merupakan inhibitor protease serin yang
sesuai dengan daerah yang mengandung gen serpins terkait (SERPINA5) (Suzuki et al,
1987; Fernandez dan Heeb, 2007; Suzuki et al, 2007) . PCI adalah penghambat protein aktif
(APC) yang bergantung pada heparin yang secara imunologis dan fungsional identik dengan
inhibitor urokinase yang bergantung pada heparin (penghambat aktivator plasminogen tipe
3). PCI juga menghambat beberapa faktor pembekuan darah dan fibrinolitik lainnya (mis.,
FXa, FXI, plasma kallikrein) (Lwaleed et al, 2004; Espana et al, 2007; Fernandez dan Heeb,
2007; Fernandez dan Heeb, 2007; Suzuki et al, 2007). Suzuki dan rekan (2007) juga
menunjukkan bahwa pencernaan koagulasi semen manusia dengan PSA melepaskan
kompleks PCI dan PSA-PCI dari koagulan ke dalam fase larut, menunjukkan adanya PCI
aktif dalam koagulan semen. PCI kemudian membentuk "kompleks protein tersier" dengan
PSA dan semenogelin II dalam plasma semen. Pengikatan semenogelin II dengan PSA dan
PCI dipengaruhi oleh lingkungan mikromolekuler, termasuk pH, kekuatan ionik, heparin,
dekstran sulfat bermuatan negatif, kation divalen, dan khususnya oleh seng. Pengamatan ini
menunjukkan bahwa pengikatan PCI dengan semenogin dalam vesikula seminalis mengatur
degradasi semenogelin yang dikatalisis oleh PSA dalam plasma seminal; pembentukan
kompleks antara PCI, PSA, dan semenogelin dimodulasi oleh beberapa faktor dalam plasma
semen. Espana dan rekan (2007) menetapkan bahwa PCI disekresikan pada kadar yang
sangat tinggi dalam vesikula seminalis dalam bentuk aktif dan juga terjadi dalam konsentrasi
tinggi dalam plasma semen. Konsentrasi PCI dalam 40 sampel plasma seminal berkisar
antara 2,2 hingga 3,7 mM (yaitu, sekitar 220 mg / L), dan 45% PCI semen aktif secara
fungsional ketika diuji segera setelah ejakulasi. Khususnya, pria infertil telah secara
signifikan menurunkan kadar PCI semen (0,6 hingga 3,2 mM). Namun, konsentrasi PSA
dalam plasma seminal jauh melebihi kapasitas PCI untuk menghambat molekul ini dan
karenanya peran biologis PCI dalam plasma seminal. Espana dan rekan (2007)
menggunakan PCI murni untuk menilai beberapa aspek fungsional PCI, dan bukti
menunjukkan bahwa PCI terlibat dalam reproduksi manusia pada beberapa langkah kunci,
termasuk fertilisasi. Oleh karena itu, PCI yang jumlahnya banyak didalam cairan semen dan
memainkan peran kunci dalam interaksi antara semenogelin, PSA, dan kemungkinan protein
lain dalam semen, menghasilkan interaksi protein-protein yang penting untuk koagulasi dan
pencairan semen. Keseimbangan protein koagulatif cairan semen, enzim aktif, dan metabolit
diperlukan untuk mempengaruhi motilitas sperma dan keberhasilan pembuahan (Lwaleed et
al, 2004; Espana et al, 2007; Fernandez dan Heeb, 2007; Suzuki et al, 2007).
Aminopeptidase Leusin
Leucine aminopeptidase adalah produk dari sel epitel prostat (Niemi et al, 1963) dan
disekresikan ke dalam lumen asini (Kirchheim et al, 1964; Vafa et al, 1993). Rackley dan
rekannya (1991) menunjukkan bahwa ekstrak dari karsinoma prostat mengandung lebih
sedikit aktivitas leusin aminopeptidase daripada jaringan yang diperoleh dari BPH.
Laktat Dehidrogenase
Rasio isoenzim LDH dalam semen manusia dapat berubah pada pasien dengan
kanker prostat (Oliver et al, 1970; Grayhack et al, 1977). LDH (berat molekul 150 kD) terdiri
dari empat subunit (masing-masing 35 kD) dari hanya memiliki dua jenis protein yang
berbeda, dilambangkan M dan H. LDH otot memiliki empat unit M, dan jantung memiliki
empat unit H. Lima isoenzim LDH dapat ditemukan dalam jaringan dengan komposisi
empat-subunit sebagai berikut: LDH I, MMMM; LDH II, MMMH; LDH III, MMHH; LDH IV,
MHHH; dan LDH V, HHHH. Subunit M dan H tampak sama di semua jaringan, tetapi jumlah
LDH I hingga V dapat bervariasi. Denis dan Prout (1963) mengamati peningkatan kadar
LDH IV dan V dalam jaringan kanker prostat. Beberapa peneliti telah mengamati
peningkatan rasio LDH V / LDH I pada kanker prostat manusia (Elhilali, 1968; Oliver et al,
1970; Flocks dan Schmidt, 1972).
Cairan prostat yang dilaporkan mengandung sejumlah besar komponen komplemen C3,
ada dengan kadar 1,82 mg / dL, dan meningkat hampir 10 kali lipat dalam cairan yang
dikumpulkan dari pasien dengan adenokarsinoma prostat ke tingkat 16,9 mg / dL (Grayhack
dan Lee, 1981). Prostatitis juga telah terbukti berhubungan dengan C3 pada pria dengan
prostatitis kronis (Blenk dan Hofstetter, 1991). Prostatitis dan BPH hanya meningkatkan
kadar sekitar dua kali lipat. Dengan cara yang sama, transferrin, protein pembawa zat besi,
meningkat, naik dari level 5,3 mg / dL dalam cairan prostat normal menjadi 42,4 mg / dL
pada karsinoma prostat (Grayhack dan Lee, 1981).
John dan rekan (2003) melakukan studi prospektif pada ejakulasi dari 88 pasien dengan
prostatitis kronis dengan mensurvei IgG, IgA, dan IgM dan interleukin-1a, reseptor
interleukin-2 yang larut, dan interleukin-6. Kelompok kontrol terdiri dari 96 ejakulasi normal
sesuai dengan kriteria WHO. Ejakulasi pasien dengan prostatitis kronis meningkat selama
gejala dan mereda ketika gejala klinis menurun. Para penulis mengamati bahwa kombinasi
dari perubahan imun humoral (IgA dan interleukin-6) dan infiltrat yang kaya sel-T adalah
sugestif dari komponen autoimun penyakit ini. Alexander dan rekan kerja (2004)
mempelajari sekelompok pasien dengan prostatitis granulomatosa kronis yang terdiri dari
perubahan inflamasi nonspesifik yang menyebar secara histologis yang meliputi histiosit
epiteloid dan sel raksasa multinuklear yang terkadang dicampur dengan limfosit dan sel
plasma. Mereka telah mengidentifikasi hubungan antara antigen lokus histokompatibilitas
utama HLA-DRB2*1501 dan prostatitis granulomatosa dan telah menyarankan kemungkinan
bahwa hal tersebut mungkin adalah suatu penyakit autoimun.
Pada plasma semen, Glikoprotein Zink-α2 (ZAG), disintesis oleh PrEC dan disekresi
kedalam cairan seminal (Ding et al, 2007), dan terdiri dari 30% protein yang muncul pada
cairan seminal (Poortmans dan Schmid, 1968). Glikoprotein ZAG ditemukan pada banyak
cairan tubuh dengan massa molekular 41 kD, dan struktur kristal yang serupa dengan
kompleks histokompatibilitas kelas I mayor (Burgi and Schmid, 1961; Burgi et al, 1989;
Sanchez et al, 1999; Delker et al, 2004; Hassan et al, 2008a, 2008b). Sebagai tambahan,
ZAG ditugaskan menuju kromosom 7q22.1 berdasarkan karyotiping hibridisasi fluoresen
(Hassan et al, 2008a). Struktur kristal ZAG terdiri dari alur besar analog dengan kompleks
ikatan peptida pengikat histocompatibilitas mayor kelas I, dan struktur dan lingkungan
menunjukan alur perannya dalam imunoregulasi dan katabolisme lipid (Sanchez et al, 1999;
Hassan et al, 2008b). ZAG muncul secara alami dalam darah, keringat, cairan mani, cairan
kista payudara, cairan serebrospinal, dan urin dan juga ditemukan dalam sel epitel sekresi
hati dan saluran pencernaan (Tada et al, 1991; Hassan et al, 2008a, 2008b). Secara
biokimia, ZAG menstimulasi degenerasi lipid pada adiposit dan tampaknya terlibat dalam
cachexia, suatu sindroma wasting yang dapat mempengaruhi orang-orang dengan kanker,
diperoleh dari sindrom imunodefisiensi, dan penyakit terminal lainnya (Hirai et al, 1998; Bing
et al, 2004; Russell dan Tisdale , 2005; Hassan et al, 2008b). Pemurnian dan karakterisasi
ZAG dari plasma semen manusia mengungkapkan bahwa hal tersebut terikat dengan
kompleks yang diinduksi prolaktin (PIP) (Hassan et al, 2008a). Dengan menggunakan ZAG
tryptic peptida sebagai standar dan uji kromatografi cair aliran tinggi – massa tandem
spektrometri, kadar serum pada enam pria sehat dihitung 3,65 (0,71) mg / L (Bondar et al,
2007). Lebih lanjut, konsentrasi ZAG dan PIP telah dilaporkan meningkat secara dramatis
pada karsinoma; oleh karena itu telah dianggap sebagai biomarker yang baik untuk
karsinoma prostat, payudara, oral, dan epidermal (Hassan et al, 2008b). Sehingga ZAG
adalah protein yang diatur oleh glukokortikoid dan memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi pembuahan dan mobilisasi lipid (adipokin).
Selain itu, kolesterol dan vesikel yang mirip-eksosom dengan ukuran kecil yang kaya
sphingomielin yang kecil dan kaya lipid telah diisolasi dari sperma manusia, dan struktur ini
menyediakan sumber tambahan beberapa ratus protein yang cukup penting untuk
sepenuhnya memahami biologi reproduksi. serta meningkatkan pengetahuan kita tentang
sistem koagulasi dan pencairan semen (Ronquist dan Brody, 1985; Arienti et al, 1999;
Poliakov et al, 2009). Prostasom mengandung banyak protein yang dapat mempengaruhi
kesuburan, meningkatkan motilitas sperma, dan menstabilkan reaksi akrosom (Delves et al,
2007). Proteosom dengan purifikasi gradien sukrosa telah diamati dengan mikroskop
elektron, dan komposisinya telah ditinjau setelah pencernaan trypsin dengan kromatografi
cair - spektroskopi massa (Poliakov et al, 2009). Keragaman protein struktural dan
fungsional yang terlibat dalam pembuahan, adhesi sel, apoptosis, imunitas, metabolisme,
transduksi sinyal, transportasi, angiogenesis, dan sebagainya telah diidentifikasi dalam
prostasom dan telah membuka sumber baru penyelidikan ilmiah urologis untuk mengejar
biomarker baru dari penyakit dan menjelaskan mekanisme kesuburan (Delves et al, 2007;
Poliakov et al, 2009).
Dalam 5 menit setelah ejakulasi, semen manusia terkoagulasi menjadi gel semipadat.
Pada posisi lebih lanjut untuk periode 5 hingga 20 menit, bekuan itu secara spontan mencair
untuk membentuk cairan kental (Huggins dan Neal, 1942; Tauber dan Zaneveld, 1976;
Mann dan Mann, 1981). Zat pengikat kalsium, seperti natrium sitrat dan heparin, tidak
menghambat proses koagulasi, juga tidak diperlukan protrombin, fibrinogen, atau faktor XII
karena tidak didapatkan didalam plasma seminal (Mann dan Mann, 1981). Gumpalan semen
terbentuk dari serat dengan lebar 0,15 hingga 10 nm, dan penampilan morfologinya berbeda
dari gumpalan fibrin darah (Huggins dan Neal, 1942; Tauber dan Zaneveld, 1976; Mann dan
Mann, 1981). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembekuan darah tidak mengatur
viskositas semen (Amelar, 1962). Dari pengamatan ini dan lainnya, tampak bahwa koagulasi
semen manusia berbeda dari darah.
Secara singkat, tampak bahwa koagulasi dan pencairan plasma seminal berada di
bawah kendali enzimatik tetapi tujuan biologis dari proses ini belum terpecahkan. Beberapa
enzim kunci (mis., HKLK2 [PSA], hKLK3, hKLK14, PAP) dan protein (mis., Semenogelin,
PSP-94, ZAG) dari vesikula seminalis dan kelenjar prostat terlibat dalam sistem koagulasi
dan pencairan. Terdapat laporan bahwa beberapa pria tidak subur mungkin mengalami
penurunan proses pencairan (Bunge dan Sherman, 1954; Bunge, 1970; Eliasson, 1973;
Amelar dkk, 1977; Jonsson dkk, 2006; de Lamirande, 2007; de Lamirande, 2007; Anahi
Franchi et al, 2008; Hassan et al, 2008b; Poliakov et al, 2009).
Aumuller dan Seitz (1990) telah meninjau mekanisme sekretori untuk jaringan
aksesori seks. Isaacs (1983) juga meninjau konsep-konsep yang berkaitan dengan sifat-sifat
transportasi cairan dan obat dari prostat dan vesikula seminalis dan telah membandingkan
komposisi dan volume sekresi prostat di bawah stimulasi basal dan di bawah stimulasi
neurologis selama ejakulasi atau stimulasi pilokarpin eksternal. Isaacs menghitung bahwa di
bawah stimulasi neurologis terdapat peningkatan 205 kali lipat total kalium, klorida, dan
keluaran natrium melebihi laju sekresi basal, dan telah ditunjukkan bahwa prostat mampu
mensekresi lima kali total kandungan natrium dan klorida selama sekresi aktif ini. Temuan ini
menunjukkan kekuatan transportasi yang luar biasa dari sistem ini. Smith dan Hagopian
(1981) telah mempelajari perubahan tegangan transepitel selama sekresi prostat pada
anjing dan telah menyimpulkan bahwa meskipun natrium dapat bergerak secara pasif
melalui plasma dalam cairan prostat selama ejakulasi, pergerakan ion kalium dan klorida
melibatkan transportasi transelular aktif. Isaacs dan rekan (1983) telah menunjukkan bahwa
sekresi yang diinduksi androgen dapat dihambat dengan adanya estrogen, meskipun sifat
pertumbuhan dan sifat biologis androgen pada prostat tidak berubah secara nyata. Hal ini
akan mensugestikan efek langsung estrogen dalam menghalangi sistem transportasi utama
dalam prostat
Hanya beberapa senyawa, termasuk etanol, yodium, dan beberapa antibiotik, yang
mampu memasuki semen dengan difusi sederhana (Reeves, 1982). Obat-obatan yang
memasuki sekresi prostat telah menarik karena prevalensi prostatitis dan kebutuhan
modalitas kemoterapi baru. Sebelumnya, Stamey dan koleganya telah membuat studi
ekstensif tentang kemampuan agen kemoterapi untuk berkonsentrasi dalam cairan prostat
manusia dan anjing (Hessl dan Stamey, 1971; Stamey et al, 1973), dan banyak peneliti lain
yang juga berkontribusi pada pengetahuan ini ( Madsen et al, 1968, 1976, 1978; Fowler et
al, 1982). Beberapa obat mencapai konsentrasi dalam sekresi prostat yang mendekati atau
melampaui konsentrasi mereka di dalam darah, tetapi beberapa pengecualian adalah
eritromisin dan makrolida dasar, sulfonamid, kloramfenikol, tetrasiklin, klindamisin,
trimethoprim, dan fluorokuinolon (Reeves, 1982).
Secara umum, obat-obat ini diasumsikan melewati membran dengan difusi nonionik,
kemungkinan oleh kelarutan lemak, melalui membran; ketika mereka mencapai cairan
prostat yang lebih asam, mereka terprotonasi dan memperoleh muatan yang lebih positif.
Dengan demikian obat-obatan yang dibebankan menjadi relatif terjebak dalam sekresi
prostat. Beberapa faktor sangat penting, termasuk pKa obat dan pH sekresi prostat, serta
obat yang mengikat protein di setiap kompartemen. Obat-obatan dasar akan lebih positif
terisi dalam cairan prostat asam daripada dalam darah. Perubahan pH yang sedikit dapat
memiliki efek besar pada difusi nonionik ini. Sampel sekresi prostat dari manusia sangat
bervariasi dalam pH dari 6 hingga 8, dengan nilai rata-rata 6,6; Namun, dengan peradangan
prostat pH cenderung 7 atau lebih tinggi (White, 1975). Meskipun sekresi prostat sedikit
asam, pH semen manusia yang baru mengalami ejakulasi sedikit bersifat basa (pH 7,3
hingga 7,7); saat berdiri, semen pertama menjadi lebih basa dengan hilangnya karbon
dioksida dan kemudian menjadi asam karena penumpukan asam laktat. Obat-obatan dapat
dikembangkan di masa depan yang diangkut ke prostat sebagai agen terapi, sebagai
kemoprotektor, atau sebagai rute menuju semen untuk mengatur kesuburan; namun, lebih
banyak yang harus dipelajari tentang sistem transportasi mendasar masuk dan keluar dari
saluran reproduksi pria sebelum pendekatan semacam itu dimungkinkan.
Balk SP, Ko YJ, Bubley GJ. Biology of prostate-specific antigen. J Clin Oncol
2003;21(2):383–91.
Campisi J. Senescent cells, tumor suppression, and organismal aging: good citizens,
bad neighbors. Cell 2005;120:513–22.
Clement JA. Reflections on the tissue kallikrein and kallikrein-related peptidase family—
from mice to men—what have we learnt in the last two decades? Biol Chem 2008;389:1447–
54.
Cunha GR, Ricke W, Thomson A, et al. Hormonal, cellular, and molecular regulation of
normal and neoplastic prostatic development. J Steroid Biochem Mol Biol 2004;92:221–36.
De Marzo AM, Nelson WG, Meeker AK, et al. Stem cell features of benign and
malignant prostate epithelial cells. J Urol 1998;160:2381–92.
Diamandis EP, Yousef GM. Human tissue kallikreins: a family of new cancer
biomarkers. Clin Chem 2002;48:1198–205.
Dinant C, Houtsmuller AB, Vermeulen W. Chromatin structure and DNA damage repair.
Epigenetics Chromatin 2008;1(1):9.
Lawson DA, Xin L, et al. Prostate stem cells and prostate cancer. Cold Spring Harb
Symp Quant Biol 2005;70:187–96.
Luke MC, Coffey DS. The male sex accessory tissues: structure, androgen action and
physiology. In: Knobil E, Neill JD, editors. The physiology of reproduction. 2nd ed. New York:
Raven Press; 1994. p. 1435–87.
Matusik RJ, Jin RJ, Sun Q, et al. Prostate epithelial cell fate. Differentiation
2008;76:682–98.
Pollard KJ, Peterson CL. Chromatin remodeling: a marriage between two families?
Bioessays 1998;20:771–80.
REFERENSI
Abate-Shen C, Shen MM, et al. Integrating differentiation and cancer: the Nkx3.1
homeobox gene in prostate organogenesis and carcinogenesis. Differentiation
2008;76(6):717–27.
Ablin RJ, Soanes WA, et al. Precipitating antigens of the normal human prostate. J
Reprod Fertil 1970;22(3):573–4.
Abrahamsson PA. Neuroendocrine cells in tumour growth of the prostate. Endocr Relat
Cancer 1999;6(4):503–19.
Alexander RB, Greene GL, et al. Estrogen receptors in the nuclear matrix: direct
demonstration using monoclonal antireceptor antibody. Endocrinology 1987;120(5):1851–7.
Alexander RB, Propert KJ, et al. Ciprofloxacin or tamsulosin in men with chronic
prostatitis/chronic pelvic pain syndrome: a randomized, doubleblind trial. Ann Intern Med
2004;141(8):581–9.
Amelar RD, Dubin L, et al. Male infertility practice and Orthodox Jewish law. Urology
1977;10(2):177–80.
Amelar RD, Hotchkiss RS. The split ejaculate: its use in the management of male
infertility. Fertil Steril 1965;16:46–60.
Arcadi JA. Role of the ground substance in atrophy of normal and malignant prostatic
tissue following estrogen administration and orchiectomy. J Clin Endocrinol Metab
1954;14(10):1113–25.
Arienti G, Saccardi C, et al. Distribution of lipid and protein in human semen fractions.
Clin Chim Acta 1999;289(1–2):111–20.
Aumuller G, Seitz J. Protein secretion and secretory processes in male accessory sex
glands. Int Rev Cytol 1990;121:127–231.
Barrack ER. Steroid hormone receptor localization in the nuclear matrix: interaction with
acceptor sites. J Steroid Biochem 1987;27(1–3):115–21.
Barrack ER, Coffey DS. The specific binding of estrogens and androgens to the nuclear
matrix of sex hormone responsive tissues. J Biol Chem 1980;255(15):7265–75.
Barrack ER, Coffey DS. Biological properties of the nuclear matrix: steroid hormone
binding. Recent Prog Horm Res 1982;38:133–95.
Benten WP, Lieberherr M, et al. Testosterone induces Ca2+ influx via nongenomic
surface receptors in activated T cells. FEBS Lett 1997;407(2): 211–4.
Berg T, Bradshaw RA, et al. A common nomenclature for members of the tissue
(glandular) kallikrein gene families. Agents Actions Suppl 1992;38(Pt 1):19–25.
Berman DM, Desai N, et al. Roles for hedgehog signaling in androgen production and
prostate ductal morphogenesis. Dev Biol 2004;267(2): 387–98.
Berman DM, Tian H, et al. Expression and regulation of steroid 5 alphareductase in the
urogenital tract of the fetal rat. Mol Endocrinol 1995;9(11):1561–70.
Berquin IM, Min Y, et al. Expression signature of the mouse prostate. J Biol Chem
2005;280(43):36442–51.
Bhatia-Gaur R, Donjacour AA, et al. Roles for Nkx3.1 in prostate development and
cancer. Genes Dev 1999;13(8):966–77.
Birckbichler PJ, Bonner RB, et al. Loss of tissue transglutaminase as a biomarker for
prostate adenocarcinoma. Cancer 2000;89(2):412–23.
Bissell MJ, Hall HG, et al. How does the extracellular matrix direct gene expression? J
Theor Biol 1982;99(1):31–68.
Black BE, Paschal BM. Intranuclear organization and function of the androgen receptor.
Trends Endocrinol Metab 2004;15(9):411–7.
Borgono CA, Grass L, et al. Human kallikrein 14: a new potential biomarker for ovarian
and breast cancer. Cancer Res 2003;63(24):9032–41.
Brambilla DJ, Matsumoto AM, et al. The effect of diurnal variation on clinical
measurement of serum testosterone and other sex hormone levels in men. J Clin Endocrinol
Metab 2009;94(3):907–13.
Brar PK, Dalkin BL, et al. Laminin alpha-1, alpha-3, and alpha-5 chain expression in
human prepubertal benign prostate glands and adult benign and malignant prostate glands.
Prostate 2003;55(1):65–70.
Bunge RG. Some observations on the male ejaculate. Fertil Steril 1970;21(9):639–44.
Bunge RG, Sherman JK. Liquefaction of human semen by alpha-amylase. Fertil Steril
1954;5(4):353–6.
Burger PE, Xiong X, et al. Sca-1 expression identifies stem cells in the proximal region
of prostatic ducts with high capacity to reconstitute prostatic tissue. Proc Natl Acad Sci U S A
2005;102(20):7180–5.
Burgi W, Schmid K. Preparation and properties of Zn-alpha 2-glycoprotein of normal
human plasma. J Biol Chem 1961;236:1066–74.
Burnett AL, Chan DW, et al. The value of serum enzymatic acid phosphatase in the
staging of localized prostate cancer. J Urol 1962;148(6): 1832–4.
Byar DP. Zinc in male sex accessory organs: distribution and hormonal response. New
York: Academic Press; 1974. p. 161–71.
Carbini LA, Scicli AG, et al. The molecular biology of the kallikrein-kinin system: III. The
human kallikrein gene family and kallikrein substrate. J Hypertens 1993;11(9):893–8.
Carter DB, Resnick MI. High resolution analysis of human prostatic fluid by two-
dimensional electrophoresis. Prostate 1982;3(1):27–33.
Centenera MM, Harris JM, et al. The contribution of different androgen receptor
domains to receptor dimerization and signaling. Mol Endocrinol 2008;22(11):2373–82.
Chan DW, Bruzek DJ, et al. Prostate-specific antigen as a marker for prostatic cancer: a
monoclonal and a polyclonal immunoassay compared. Clin Chem 1987;33(10):1916–20.
Chan PS, Chan LW, et al. In situ hybridization study of PSP94 (prostatic secretory
protein of 94 amino acids) expression in human prostates. Prostate 1999;41(2):99–109.
Chandler JA, Timms BG, et al. Subcellular distribution of zinc in rat prostate studied by
x-ray microanalysis: I. Normal prostate. Histochem J 1977;9(1): 103–20.
Chang C, Saltzman A, et al. Androgen receptor: an overview. Crit Rev Eukaryot Gene
Expr 1995;5(2):97–125.
Chang CS, Kokontis J, et al. Molecular cloning of human and rat complementary DNA
encoding androgen receptors. Science 1988a;240(4850): 324–6.
Chang CS, Kokontis J, et al. Structural analysis of complementary DNA and amino acid
sequences of human and rat androgen receptors. Proc Natl Acad Sci U S A
1988b;85(19):7211–5.
Chang SS, Reuter VE, et al. Five different anti–prostate-specific membrane antigen
(PSMA) antibodies confirm PSMA expression in tumor-associated neovasculature. Cancer
Res 1999b;59(13):3192–8.
Chang SS, Reuter VE, et al. Metastatic renal cell carcinoma neovasculature expresses
prostate-specific membrane antigen. Urology 2001;57(4): 801–5.
Chow PH, Chan CW, et al. Contents of fructose, citric acid, acid phosphatase, proteins
and electrolytes in secretions of the accessory sex glands of the male golden hamster. Int J
Androl 1993;16(1):41–5.
Chu TM, Wang MC, et al. Enzyme markers in human prostatic carcinoma. Cancer Treat
Rep 1977;61(2):193–200.
Ciejek EM, Nordstrom JL, et al. Ribonucleic acid precursors are associated with the
chick oviduct nuclear matrix. Biochemistry 1982;21: 4945–53.
Clements JA. The human kallikrein gene family: a diversity of expression and function.
Mol Cell Endocrinol 1994;99(1):C1–6.
Coffey DS, Walsh PC. Clinical and experimental studies of benign prostatic hyperplasia.
Urol Clin North Am 1990;17(3):461–75.
Cook C, Vezina CM, et al. Noggin is required for normal lobe patterning and ductal
budding in the mouse prostate. Dev Biol 2007;312(1): 217–30.
Cosgrove MS, Boeke JD, et al. Regulated nucleosome mobility and the histone code.
Nat Struct Mol Biol 2004;11(11):1037–43.
Cosgrove MS, Wolberger C. How does the histone code work? Biochem Cell Biol
2005;83(4):468–76.
Costello LC, Franklin RB. Prostate epithelial cells utilize glucose and aspartate as the
carbon sources for net citrate production. Prostate 1989; 15(4):335–42.
Costello LC, Franklin RB. Effect of prolactin on the prostate. Prostate 1994;24(3):162–6.
Couse JE, Mahato D, et al. Molecular mechanism of estrogen action in the male:
insights from the estrogen receptor null mice. Reprod Fertil Dev 2001;13(4):211–9.
Cunha GR. Epithelial-stromal interactions in development of the urogenital tract. Int Rev
Cytol 1976;47:137–94.
Cunha GR, Alarid ET, et al. Normal and abnormal development of the male urogenital
tract: role of androgens, mesenchymal-epithelial interactions, and growth factors. J Androl
1992;13(6):465–75.
Cunha GR, Donjacour AA, et al. The endocrinology and developmental biology of the
prostate. Endocr Rev 1987;8(3):338–62.
Cunha GR, Hayward SW, et al. Role of the stromal microenvironment in carcinogenesis
of the prostate. Int J Cancer 2003;107(1):1–10.
Cunha GR, Ricke W, et al. Hormonal, cellular, and molecular regulation of normal and
neoplastic prostatic development. J Steroid Biochem Mol Biol 2004;92(4):221–36.
Curry PT, Atherton RW. Seminal vesicles: development, secretory products, and fertility.
Arch Androl 1990;25(2):107–13.
Daniels GF Jr, Grayhack JT. Physiology of prostatic secretions. Sci Found Urol
1990;3:351–8.
Darson MF, Pacelli A, et al. Human glandular kallikrein 2 (hK2) expression in prostatic
intraepithelial neoplasia and adenocarcinoma: a novel prostate cancer marker. Urology
1997;49(6):857–62.
Davis MI, Bennett MJ, et al. Crystal structure of prostate-specific membrane antigen, a
tumor marker and peptidase. Proc Natl Acad Sci U S A 2005; 102(17):5981–6.
Davis NS. Determination of serotonin and 5-hydroxyindoleacetic acid in guinea pig and
human prostate using HPLC. Prostate 1987;11(4): 353–60.
De Marzo AM, Meeker AK, et al. Prostate stem cell compartments: expression of the
cell cycle inhibitor p27Kip1 in normal, hyperplastic, and neoplastic cells. Am J Pathol
1998a;153(3):911–9.
De Marzo AM, Nelson WG, et al. Stem cell features of benign and malignant prostate
epithelial cells. J Urol 1998b;160(6 Pt 2):2381–92.
DeKlerk DP, Human HJ. Fluctuations of prostatic glycosaminoglycans during fetal and
pubertal growth. Prostate 1985;6:169–75.
DeKlerk DP, Lee D, Human HJ. Glycosaminoglycans in human prostate cancer. J Urol
1984;131:1008–12.
Delker SL, West AP Jr, et al. Crystallographic studies of ligand binding by Zn-alpha2-
glycoprotein. J Struct Biol 2004;148(2):205–13.
Delves GH, Stewart AB, et al. Prostasomes, angiogenesis, and tissue factor. Semin
Thromb Hemost 2007;33(1):75–9.
Denis LJ, Prout GR Jr. Lactic dehydrogenase in prostatic cancer. Invest Urol
1963;96:101–11.
Diamandis EP, Yousef GM. Human tissue kallikreins: a family of new cancer
biomarkers. Clin Chem 2002;48(8):1198–205.
Donjacour AA, Thomson AA, et al. FGF-10 plays an essential role in the growth of the
fetal prostate. Dev Biol 2003;261(1):39–54.
Donnelly BJ, Lakey WH, et al. Estrogen receptor in human benign prostatic hyperplasia.
J Urol 1983;130(1):183–7.
Downs JA, Jackson SP. Cancer: protective packaging for DNA. Nature
2003;424(6950):732–4.
Dubbink HJ, Cleutjens KB, et al. An Sp1 binding site is essential for basal activity of the
human prostate-specific transglutaminase gene (TGM4) promoter. Gene 1999;240(2):261–7.
Dube JY, Frenette G, et al. Isolation from human seminal plasma of an abundant 16-
kDa protein originating from the prostate, its identification with a 94-residue peptide originally
described as beta-inhibin. J Androl 1987;8(3):182–9.
Economides KD, Capecchi MR. Hoxb13 is required for normal differentiation and
secretory function of the ventral prostate. Development 2003;130(10):2061–9.
Elgamal AA, Holmes EH, et al. Prostate-specific membrane antigen (PSMA): current
benefits and future value. Semin Surg Oncol 2000;18(1): 10–6.
Eliasson R. Parameters of male infertility. New York: Harper & Row; 1973. p. 39–51.
Elzanaty S, Erenpreiss J, et al. Seminal plasma albumin: origin and relation to the male
reproductive parameters. Andrologia 2007;39(2):60–5.
Emami N, Deperthes D, et al. Major role of human KLK14 in seminal clot liquefaction. J
Biol Chem 2008;283(28):19561–9.
Epstein JI, Netto G. Prostate biopsy interpretation. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007.
Escriva H, Bertrand S, et al. The evolution of the nuclear receptor superfamily. Essays
Biochem 2004;40:11–26.
Espana F, Navarro S, et al. The role of protein C inhibitor in human reproduction. Semin
Thromb Hemost 2007;33(1):41–5.
Ewen ME. Where the cell cycle and histones meet. Genes Dev 2000;14(18): 2265–70.
Faber PW, van Rooij HC, et al. Two different, overlapping pathways of transcription initiation
are active on the TATA—less human androgen receptor promoter: the role of Sp1. J Biol
Chem 1993;268(13):9296–301.
Fair WR, Couch J, et al. Prostatic antibacterial factor: identity and significance. Urology
1976;7(2):169–77.
Fair WR, Couch J, et al. The purification and assay of the prostatic antibacterial factor
(PAF). Biochem Med 1993;8(2):329–39.
Fair WR, Parrish RF. Antibacterial substances in prostatic fluid. Prog Clin Biol Res
1981;75A:247–64.
Farnsworth WE, Brown JR. Testosterone metabolism in the prostate. Natl Cancer Inst
Monogr 1963;12:323–9.
Fernandez JA, Heeb MJ. Role of protein C inhibitor and tissue factor in fertilization.
Semin Thromb Hemost 2007;33(1):13–20.
Finlay JA, Evans CL, et al. Development of monoclonal antibodies specific for human
glandular kallikrein (hK2): development of a dual antibody immunoassay for hK2 with
negligible prostate-specific antigen crossreactivity. Urology 1998;51(5):804–9.
Flocks RH, Schmidt JD. Lactate dehydrogenase isoenzyme patterns of prostatic cancer
and hyperplasia. J Surg Oncol 1972;4(2):161–7.
Fondell JD, Brunel F, et al. Unliganded thyroid hormone receptor alpha can target
TATA-binding protein for transcriptional repression. Mol Cell Biol 1996;16(1):281–7.
Fowler JE Jr, Kaiser DL, et al. Immunologic response of the prostate to bacteriuria and
bacterial prostatitis. I. Immunoglobulin concentrations in prostatic fluid. J Urol
1982;128(1):158–64.
Freestone SH, Marker P, et al. Sonic hedgehog regulates prostatic growth and epithelial
differentiation. Dev Biol 2003;264(2):352–62.
Friberg J, Tilley-Friberg I. Antibodies in human seminal fluid. In: Hafez ESE, editor.
Human semen and fertility regulation in men. St. Louis: Mosby; 1976. p. 258–64.
Fu M, Rao M, et al. The androgen receptor acetylation site regulates cAMP and AKT but
not ERK-induced activity. J Biol Chem 2004;279(28): 29436–49.
Fuchs AR, Chantharaski U. Prostaglandins and male fertility. In: Hafez ESE, editor.
Human semen and fertility regulation in men. St. Louis: Mosby; 1976. p. 187–97.
Gahankari DR, Golhar KB. An evaluation of serum and tissue bound immunoglobulinsin
prostatic diseases. J Postgrad Med 1993;39(2):63–7.
Garde SV, Basrur VS, et al. Prostate secretory protein (PSP94) suppresses thegrowth
of androgen-independent prostate cancer cell line (PC3) andxenografts by inducing
apoptosis. Prostate 1999;38(2):118–25.
Getzenberg RH, Pienta KJ, et al. The tissue matrix: cell dynamics andhormone action.
Endocr Rev 1990;11(3):399–417.
Ghosh A, Heston WD. Tumor target prostate specific membrane antigen(PSMA) and its
regulation in prostate cancer. J Cell Biochem 2004;91(3):528–39.
Goldstein AS, Lawson DA, et al. Trop2 identifies a subpopulation of murineand human
prostate basal cells with stem cell characteristics. Proc NatlAcad Sci U S A
2008;105(52):20882–7.
Goldsteyn ME, Hsieh JT, von Eschenbah AC. Phosphorylation status of thenuclear
cytosolic androgen receptors in the rat ventral prostate. Prostate1989;14:91–101.
Gonzalez GF, Kortebani G, Mazzolli AB. Hyperviscosity and hypofunctionof the seminal
vesicles. Arch Androl 1993;30:63–88.
Goueli SA, Holtzman JL, et al. Phosphorylation of the androgen receptor bya nuclear
cAMP-independent protein kinase. Biochem Biophys ResCommun 1984;123(2):778–84.
Grayhack JT, Lee C. Evaluation of prostatic fluid in prostatic pathology. ProgClin Biol
Res 1981;75A:231–46.
Grayhack JT, Wendel EF, et al. Analysis of specific proteins in prostatic fluidfor
detecting prostatic malignancy. J Urol 1979;121(3):295–9.
Grishina IB, Kim SY, et al. BMP7 inhibits branching morphogenesis in theprostate gland
and interferes with Notch signaling. Dev Biol 2005;288(2):334–47.
Gunn SA, Gould TC. The relative importance of androgen and estrogen inthe selective
uptake of Zn65 by the dorsolateral prostate of the rat. Endocrinology1956;58(4):443–52.
Gunn SA, Gould TC, et al. The effect of growth hormone and prolactinpreparations on
the control by interstitial cell-stimulating hormone ofuptake of 65-Zn by the rat dorsolateral
prostate. J Endocrinol 1965;32:205–14.
Hammond GL. Endogenous steroid levels in the human prostate from birthto old age: a
comparison of normal and diseased tissues. J Endocrinol1978;78(1):7–19.
Han KR, Seligson DB, et al. Prostate stem cell antigen expression is associatedwith
Gleason score, seminal vesicle invasion and capsular invasionin prostate cancer. J Urol
2004;171(3):1117–21.
Hay ED. The cell biology of the extracellular matrix. New York: PlenumPress; 1981.
Heathcote JG, Washington RJ. Analysis of the zinc-binding protein derivedfrom the
human benign hypertrophic prostate. J Endocrinol 1973;58:421–3.
Hessl JM, Stamey TA. The passage of tetracyclines across epithelial membraneswith
special reference to prostatic epithelium. J Urol 1971;106(2):253–6.
Heston WD. Prostatic polyamines and polyamine targeting as a newapproach to therapy
of prostatic cancer. Cancer Surv 1991;11:217–38.
Higgins JR, Gosling JA. Studies on the structure and intrinsic innervation ofthe normal
human prostate. Prostate 1989;(Suppl. 2):5–16.
Horton RJ. Androgen hormones and prehormones in young and elderlymen. In:
Grayhack JT, Wilson JD, Scherbenske MJ, editors. Benign prostatichyperplasia.
Proceedings of a workshop sponsored by the KidneyDisease and Urology Program of the
NIAMDD. Washington (DC): U.S.Government Printing Office; 1976. p. 183–8.
Huang Z, Hurley PJ, et al. Sox9 is required for prostate development andprostate
cancer initiation. Oncotarget 2012;3(6):651–63.
Husmann DA, Wilson CM, et al. Antipeptide antibodies to two distinctregions of the
androgen receptor localize the receptor protein to thenuclei of target cells in the rat and
human prostate. Endocrinology1990;126(5):2359–68.
Huss WJ, Gray DR, et al. Evidence of pluripotent human prostate stem cellsin a human
prostate primary xenograft model. Prostate 2004;60(2):77–90.
Isaacs JT. Prostatic structure and function in relation to the etiology of prostaticcancer.
Prostate 1983;4(4):351–66.
Isaacs JT, Barrack ER, et al. The relationship of cellular structure and function:the
matrix system. Prog Clin Biol Res 1981;75A:1–24.
Isaacs JT, Brendler CB, et al. Changes in the metabolism of dihydrotestosteronein the
hyperplastic human prostate. J Clin Endocrinol Metab1983;56(1):139–46.
Ito M, Yuan CX, et al. Identity between TRAP and SMCC complexes indicatesnovel
pathways for the function of nuclear receptors and diverse mammalianactivators. Mol Cell
1999;3(3):361–70.
Jackson TA, Richer JK, et al. The partial agonist activity of antagonistoccupiedsteroid
receptors is controlled by a novel hinge domain-bindingcoactivator L7/SPA and the
corepressors N-CoR or SMRT. Mol Endocrinol1997;11(6):693–705.
Johnson L, Wikstrom S, et al. The vehicle for zinc in the prostatic secretionof dogs.
Scand J Urol Nephrol 1969;3(1):9–11.
Jonsson M, Linse S, et al. Semenogelins I and II bind zinc and regulate theactivity of
prostate-specific antigen. Biochem J 2005;387(Pt 2):447–53.
Joshi RR, Jyothi S. Ab initio structure of human seminal plasma prostaticinhibin gives
significant insight into its biological functions. J Mol Model(Online) 2002;8(2):50–7.
Kavanagh JP. Isocitric and citric acid in human prostatic and seminal fluid:implications
for prostatic metabolism and secretion. Prostate 1994;24(3):139–42.
Kelly RW, Holland P, et al. Extracellular organelles (prostasomes) are
immunosuppressivecomponents of human semen. Clin Exp Immunol1991;86(3):550–6.
Kempinas WG, Petenusci SO, et al. The hypophyseal-testicular axis and sexaccessory
glands following chemical sympathectomy with guanethidineof pre-pubertal to mature rats.
Andrologia 1995;27(2):121–5.
Kmita M, Duboule D. Organizing axes in time and space; 25 years of collinear tinkering.
Science 2003;301(5631):331–3.
Knox JD, Cress AE, et al. Differential expression of extracellular matrix moleculesand
the alpha 6-integrins in the normal and neoplastic prostate.Am J Pathol 1994;145(1):167–74.
Kofoed JA, Tumilasci OR, et al. Effects of castration and androgens uponprostatic
proteoglycans in rats. Prostate 1990;16(2):93–102.
Konety BR, Getzenberg RH. Nuclear structural proteins as biomarkers ofcancer. J Cell
Biochem Suppl 1999;32–33:183–91.
Kuiper GG, Faber PW, et al. Structural organization of the human androgenreceptor
gene. J Mol Endocrinol 1989;2(3):R1–4.
Kumar A, Goel AS, et al. Expression of human glandular kallikrein, hK2, inmammalian
cells. Cancer Res 1996;56(23):5397–402.
Kwong J, Xuan JW, et al. A comparative study of hormonal regulation ofthree secretory
proteins (prostatic secretory protein-PSP94, probasin, andseminal vesicle secretion II) in rat
lateral prostate. Endocrinology 2000;141(12):4543–51.
Lam AL, Pazin DE, et al. Control of gene expression and assembly of
chromosomalsubdomains by chromatin regulators with antagonistic functions.Chromosoma
2005;114(4):242–51.
Lamano-Carvalho TL, Favaretto AL, et al. Prepubertal development of ratprostate and
seminal vesicle following chemical sympathectomy withguanethidine. Braz J Med Biol Res
1993;26(6):639–46.
Lamm ML, Catbagan WS, et al. Sonic hedgehog activates mesenchymal Gli1expression
during prostate ductal bud formation. Dev Biol 2002;249(2):349–66.
Lawson DA, Xin L, et al. Isolation and functional characterization of murineprostate stem
cells. Proc Natl Acad Sci U S A 2007;104(1):181–6.
Leong KG, Gao WQ. The Notch pathway in prostate development andcancer.
Differentiation 2008;76(6):699–716.
Liao S, Fang S. Receptor-proteins for androgens and the mode of action ofandrogens
on gene transcription in ventral prostate. Vitm Horm 1969;27:17–90.
Lin MF, Clinton GM. Human prostatic acid phosphatase has phosphotyrosylprotein
phosphatase activity. Biochem J 1986;235(2):351–7.
Liu AY, Nelson PS, et al. Human prostate epithelial cell-type cDNA librariesand prostate
expression patterns. Prostate 2002;50(2):92–103.
Loeb S, Catalona WJ. The Prostate Health Index: a new test for the detectionof prostate
cancer. Ther Adv Urol 2014;6(2):74–7.
Lowe FC, Trauzzi SJ. Prostatic acid phosphatase in 1993: its limited clinicalutility. Urol
Clin North Am 1993;20(4):589–95.
Lubahn DB, Joseph DR, et al. Cloning of human androgen receptor complementaryDNA
and localization to the X chromosome. Science 1988;240(4850):327–30.
Luke MC, Coffey DS. The male sex accessory tissues: structure, androgenaction and
physiology. In: Knobil E, Neill JD, editors. The physiology ofreproduction. 2nd ed. New York:
Raven; 1994. p. 1435–87.
Lundwall A. Characterization of the gene for prostate-specific antigen, ahuman
glandular kallikrein. Biochem Biophys Res Commun 1989;161(3):1151–9.
Lwaleed BA, Greenfield R, et al. Seminal clotting and fibrinolytic balance: apossible
physiological role in the male reproductive system. ThrombHaemost 2004;92(4):752–
66.MacDonald PC. Origin of estrogen in men. In: Grayhack JT, Wilson JD,
Madsen PO, Kjaer B, et al. Antimicrobial agents in prostatic fluid and tissue.Infection
1976;4(Suppl. 2):154–6.
Mann T, Mann CL. Male reproductive function and semen. New York:Springer-Verlag;
1981.
Marcelli M, Tilley WD, et al. Definition of the human androgen receptorgene structure
permits the identification of mutations that cause androgenresistance: premature termination
of the receptor protein at aminoacid residue 588 causes complete androgen resistance. Mol
Endocrinol1990;4(8):1105–16.
Marriman EC, van Venrooij WJ. The nuclear matrix and RNA processing: useof human
antibodies. New York: Alan R. Liss; 1985. p. 315–9.
Marshall TW, Link KA, et al. Differential requirement of SWI/SNF for androgenreceptor
activity. J Biol Chem 2003;278(33):30605–13.
Matusik RJ, Jin RJ, et al. Prostate epithelial cell fate. Differentiation2008;76(6):682–98.
McConnell JD. Prostatic growth: new insights into hormonal regulation. BrJ Urol
1995;76(Suppl. 1):5–10.
McKenna NJ, Lanz RB, et al. Nuclear receptor coregulators: cellular andmolecular
biology. Endocr Rev 1999;20(3):321–44.
McKeon F. p63 and the epithelial stem cell: more than status quo? GenesDev
2004;18(5):465–9.
Metzger DA, Korach KS. Cell-free interaction of the estrogen receptor withmouse
uterine nuclear matrix: evidence of saturability, specificity, andresistance to KCl extraction.
Endocrinology 1990;126(4):2190–5.
Mikolajczyk SD, Millar LS, et al. BPSA, a specific molecular form of freeprostate-specific
antigen, is found predominantly in the transition zoneof patients with nodular benign prostatic
hyperplasia. Urology 2000a;55(1):41–5.
Miner JH, Yurchenco PD. Laminin functions in tissue morphogenesis. AnnuRev Cell
Dev Biol 2004;20:255–84.
Mobbs BG, Johnson IE, et al. Influence of the adrenal gland on prostaticactivity in adult
rats. J Endocrinol 1973;59(2):335–44.
Murphy GP, Elgamal AA, et al. Current evaluation of the tissue localizationand
diagnostic utility of prostate specific membrane antigen. Cancer1998;83(11):2259–69.
Nair SC, Toran EJ, et al. A pathway of multi-chaperone interactions commonto diverse
regulatory proteins: estrogen receptor, Fes tyrosine kinase, heatshock transcription factor
Hsf1, and the aryl hydrocarbon receptor. CellStress Chaperones 1996;1(4):237–50.
Naslund MJ, Coffey DS. The differential effects of neonatal androgen, estrogenand
progesterone on adult rat prostate growth. J Urol 1986;136(5):1136–40.
Naslund MJ, Coffey DS. Benign prostatic hyperplasia. U.S. Department ofHealth and
Human Services, NIH publication 2(87–2881). Bethesda(MD): National Institutes of Health;
1987. p. 73–83.
Obiezu CV, Diamandis EP. Human tissue kallikrein gene family: applicationsin cancer.
Cancer Lett 2005;224(1):1–22.
Oesterling JE, Chan DW, et al. Prostate specific antigen in the preoperativeand
postoperative evaluation of localized prostatic cancer treated withradical prostatectomy. J
Urol 1988;139(4):766–72.
Oesterling JE, Epstein JI, et al. The inability of adrenal androgens to stimulatethe adult
human prostate: an autopsy evaluation of men with hypogonadotropichypogonadism and
panhypopituitarism. J Urol 1986;136(5):1030–4.
Oliver JA, el-Hilali MM, et al. LDH isoenzymes in benign and malignantprostate tissue:
the LDH V-I ratio as an index of malignancy. Cancer1970;25(4):863–6.
Palvimo JJ, Kallio PJ, et al. Dominant negative regulation of trans-activationby the rat
androgen receptor: roles of the N-terminal domain and heterodimerformation. Mol Endocrinol
1993;7(11):1399–407.
Pardoll DM, Vogelstein B, et al. A fixed site of DNA replication in eukaryotic cells. Cell
1980;19(2):527–36.
Partin AW, Carter HB. The use of prostate-specific antigen and free/totalprostate-
specific antigen in the diagnosis of localized prostate cancer. UrolClin North Am
1996;23(4):531–40.
Partin AW, Carter HB, et al. Prostate specific antigen in the staging of localizedprostate
cancer: influence of tumor differentiation, tumor volumeand benign hyperplasia. J Urol
1990;143(4):747–52.
Partin AW, Catalona WJ, et al. Use of human glandular kallikrein 2 for thedetection of
prostate cancer: preliminary analysis. Urology 1999;54(5):839–45.
Pazin MJ, Kadonaga JT. SWI2/SNF2 and related proteins: ATP-driven motorsthat
disrupt protein-DNA interactions? Cell 1997;88(6):737–40.
Peter A, Lilja H, et al. Semenogelin I and semenogelin II, the major gelformingproteins in
human semen, are substrates for transglutaminase.Eur J Biochem 1998;252(2):216–21.
Phadke AM, Samant NR, et al. Significance of seminal fructose studies inmale infertility.
Fertil Steril 1973;24(11):894–903.
Phelan ML, Schnitzler GR, et al. Octamer transfer and creation of stablyremodeled
nucleosomes by human SWI-SNF and its isolated ATPases.Mol Cell Biol 2000;20(17):6380–
9.
Pienta KJ, Murphy BC, et al. The tissue matrix and the regulation of geneexpression in
cancer cell. Adv Mol Cell Biol 1993;7:131–56.
Podlasek CA, Duboule D, et al. Male accessory sex organ morphogenesis isaltered by
loss of function of Hoxd-13. Dev Dyn 1997;208(4):454–65.
Polascik TJ, Oesterling JE, et al. Prostate specific antigen: a decade ofdiscovery—what
we have learned and where we are going. J Urol1999;162(2):293–306.
Porter AT, Ben-Josef E. Humoral mechanisms in prostate cancer: a role forFSH. Urol
Oncol 2001;6(4):131–8.
Poukka H, Karvonen U, et al. The RING finger protein SNURF modulatesnuclear
trafficking of the androgen receptor. J Cell Sci 2000;113(Pt17):2991–3001.
Pourian MR, Kvist U, et al. Rapid and slow hydroxylators of seminal Eprostaglandins
among men in barren unions. Andrologia 1995;27(2):71–9.
Pratt WB, Toft DO. Steroid receptor interactions with heat shock protein
andimmunophilin chaperones. Endocr Rev 1997;18(3):306–60.
Prins GS, Birch L. The developmental pattern of androgen receptor expressionin rat
prostate lobes is altered after neonatal exposure to estrogen.Endocrinology
1995;136(3):1303–14.
Prins GS, Birch L, et al. Estrogen imprinting of the developing prostate glandis mediated
through stromal estrogen receptor alpha: studies withalphaERKO and betaERKO mice.
Cancer Res 2001;61(16):6089–97.
Rachez C, Suldan Z, et al. A novel protein complex that interacts with thevitamin D3
receptor in a ligand-dependent manner and enhances VDRtransactivation in a cell-free
system. Genes Dev 1998;12(12):1787–800.
Rackley RR, Yang B, et al. Differences in the leucine aminopeptidase activityin extracts
from human prostatic carcinoma and benign prostatic hyperplasia.Cancer 1991;68(3):587–
93.
Raff AB, Gray A, et al. Prostate stem cell antigen: a prospective therapeuticand
diagnostic target. Cancer Lett 2009;277(2):126–32.
Rajfer J, Coffey DS. Effects of neonatal steroids on male sex tissues. InvestUrol
1979;17(1):3–8.
Rao MA, Cheng H, et al. RanBPM, a nuclear protein that interacts with andregulates
transcriptional activity of androgen receptor and glucocorticoidreceptor. J Biol Chem
2002;277(50):48020–7.
Reed MJ, Stitch SR. The uptake of testosterone and zinc in vitro by thehuman benign
hypertrophic prostate. J Endocrinol 1973;58(3):405–19.
Reeves DS. Pharmacology of the prostate. In: Chisholm GD, Williams DI,editors.
Scientific foundations of urology. 2nd ed. London: WilliamHeinemann; 1982. p. 514–20.
Reeves R, Beckerbauer LM. HMGA proteins as therapeutic drug targets. ProgCell Cycle
Res 2003;5:279–86.
Reigman PH, Vliestra RJ, et al. Characterization of the human kallikreinlocus. Genomics
1992;14:6–11.
Reiter RE, Gu Z, et al. Prostate stem cell antigen: a cell surface marker overexpressedin
prostate cancer. Proc Natl Acad Sci U S A 1998;95(4):1735–40.
Risbridger GP, Almahbobi GA, et al. Early prostate development and itsassociation with
late-life prostate disease. Cell Tissue Res 2005;322(1):173–81.
Rittenhouse HG, Finlay JA, et al. Human kallikrein 2 (hK2) and prostatespecificantigen
(PSA): two closely related, but distinct, kallikreins in theprostate. Crit Rev Clin Lab Sci
1998;35(4):275–368.
Roche PJ, Hoare SA, et al. A consensus DNA-binding site for the androgenreceptor.
Mol Endocrinol 1992;6(12):2229–35.
Rokhlin OW, Cohen MB. Expression of cellular adhesion molecules onhuman prostate
tumor cell lines. Prostate 1995;26(4):205–12.
Romas NA, Kwan DJ. Prostatic acid phosphatase: biomolecular features andassays for
serum determination. Urol Clin North Am 1993;20(4):581–8.
Ronquist G, Brody I. The prostasome: its secretion and function in man.Biochim Biophys
Acta 1985;822(2):203–18.
Russell DW, Wilson JD. Steroid 5 alpha-reductase: two genes/two enzymes.Annu Rev
Biochem 1994;63:25–61.
Russell ST, Tisdale MJ. The role of glucocorticoids in the induction of zincalpha2-
glycoprotein expression in adipose tissue in cancer cachexia. Br JCancer 2005;92(5):876–
81.
Ryu S, Zhou S, et al. The transcriptional cofactor complex CRSP is requiredfor activity
of the enhancer-binding protein Sp1. Nature 1999;397(6718):446–50.
Saedi MS, Zhu Z, et al. Human kallikrein 2 (hK2), but not prostatespecificantigen (PSA),
rapidly complexes with protease inhibitor 6(PI-6) released from prostate carcinoma cells. Int
J Cancer 2001;94(4):558–63.
Salm SN, Burger PE, et al. TGF-β maintains dormancy of prostatic stem cellsin the
proximal region of ducts. J Cell Biol 2005;170(1):81–90.
Sanchez LM, Chirino AJ, et al. Crystal structure of human ZAG, a fatdepletingfactor
related to MHC molecules. Science 1999;283(5409):1914–9.
Schalken JA, van Leenders G. Cellular and molecular biology of the prostate:stem cell
biology. Urology 2003;62(5 Suppl. 1):11–20.
Serkova NJ, Gamito EJ, et al. The metabolites citrate, myo-inositol, andspermine are
potential age-independent markers of prostate cancer inhuman expressed prostatic
secretions. Prostate 2008;68(6):620–8.
Shaffer PL, Jivan A, et al. Structural basis of androgen receptor binding toselective
androgen response elements. Proc Natl Acad Sci U S A 2004;101(14):4758–63.
Signoretti S, Waltregny D, et al. p63 is a prostate basal cell marker and isrequired for
prostate development. Am J Pathol 2000;157(6):1769–75.
Sikes RA, Kao C, Chung LW. Autocrine and paracrine mediators for prostategrowth in
cancer progression. Adv Urol 1995;8:21–60.
Silver DA, Pellicer I, et al. Prostate-specific membrane antigen expressionin normal and
malignant human tissues. Clin Cancer Res 1997;3(1):81–5.
Silver RI, Wiley EL, et al. Cell type specific expression of steroid 5 alphareductase2. J
Urol 1994;152(2 Pt 1):438–42.
Smith ER, Hagopian M. Uptake and secretion of carcinogenic chemicals bythe dog and
rat prostate. Prog Clin Biol Res 1981;75B:131–63.
Sugimura Y, Cunha GR, et al. Morphogenesis of ductal networks in the mouse prostate.
Biol Reprod 1986;34(5):961–71.
Sun X, Zhang Y, et al. NAT, a human complex containing Srb polypeptides that
functions as a negative regulator of activated transcription. Mol Cell 1998;2(2):213–22.
Syner FN, Moghissi KS, et al. Isolation of a factor from normal human semen that
accelerates dissolution of abnormally liquefying semen. Fertil Steril 1975;26(11):1064–9.
Tauber PF, Zaneveld LJ. Coagulation and liquefaction of human semen. In: Hafez ES,
editor. Human semen and fertility regulation in men. St. Louis: Mosby; 1976.
Tauber PF, Zaneveld LJ, et al. Components of human split ejaculates. I. Spermatozoa,
fructose, immunoglobulins, albumin, lactoferrin, transferrin and other plasma proteins. J
Reprod Fertil 1975;43(2):249–67.
Tauber PF, Zaneveld LJ, et al. Components of human split ejaculates. II. Enzymes and
proteinase inhibitors. J Reprod Fertil 1976;46(1): 165–71.
Tawfic S, Goueli SA, et al. Androgenic regulation of the expression and phosphorylation
of prostatic nucleolar protein B23. Cell Mol Biol Res 1993;39(1):43–51.
Taylor RA, Risbridger GP. Prostatic tumor stroma: a key player in cancer progression.
Curr Cancer Drug Targets 2008;8(6):490–7.
Thielen JL, Volzing KG, et al. Markers of prostate region-specific epithelial identity
define anatomical locations in the mouse prostate that are molecularly similar to human
prostate cancers. Differentiation 2007;75(1): 49–61.
Thomsen MK, Butler CM, et al. Sox9 is required for prostate development. Dev Biol
2008;316(2):302–11.
Thomson AA. Role of androgens and fibroblast growth factors in prostatic development.
Reproduction 2001;121(2):187–95.
Tisell LE. Effect of cortisone on the growth of the ventral prostate, the dorsolateral
prostate, the coagulating glands and the seminal vesicles in castrated adrenalectomized and
castrated non-adrenalectomized rats. Acta Endocrinol (Copenh) 1970;64(4):637–55.
Tomlinson DC, Freestone SH, et al. Differential effects of transforming growth factor-
beta1 on cellular proliferation in the developing prostate. Endocrinology 2004a;145(9):4292–
300.
Tomlinson DC, Grindley JC, et al. Regulation of Fgf10 gene expression in the prostate:
identification of transforming growth factor-beta1 and promoter elements. Endocrinology
2004b;145(4):1988–95.
Tosoian J, Loeb S. PSA and beyond: the past, present, and future of investigative
biomarkers for prostate cancer. Scientific World Journal 2010;10: 1919–31.
Tsai YC, Harrison HH, et al. Systematic characterization of human prostatic fluid
proteins with two-dimensional electrophoresis. Clin Chem 1984;30(12 Pt 1):2026–30.
Tsujimura A, Koikawa Y, et al. Proximal location of mouse prostate epithelial stem cells:
a model of prostatic homeostasis. J Cell Biol 2002;157(7): 1257–65.
Tullner WW. Hormonal factors in the adrenal-dependent growth of the rat ventral
prostate. Natl Cancer Inst Monogr 1963;12:211–23.
Tut TG, Ghadessy FJ, et al. Long polyglutamine tracts in the androgen receptor are
associated with reduced trans-activation, impaired sperm production, and male infertility. J
Clin Endocrinol Metab 1997;82(11):3777–82.
Vafa AZ, Grover PK, et al. Study of activities of arginase, hexosaminidase, and leucine
aminopeptidase in prostate fluid. Urology 1993;42(2):138–43.
van der Graaf M, Schipper RG, et al. Proton MR spectroscopy of prostatic tissue
focused on the detection of spermine, a possible biomarker of malignant behavior in prostate
cancer. MAGMA 2000;10(3):153–9.
van Leenders GJ, Schalken JA. Epithelial cell differentiation in the human prostate
epithelium: implications for the pathogenesis and therapy of prostate cancer. Crit Rev Oncol
Hematol 2003;46(Suppl.):S3–10.
Verhagen AP, Ramaekers FC, et al. Colocalization of basal and luminal celltype
cytokeratins in human prostate cancer. Cancer Res 1992;52(22): 6182–7.
Serio M, Maratini L, editors. The endocrine function of the human testes, vol. 1. New
York: Academic Press; 1973. p. 157–70.
Vermeulen A, Vrdonck L, et al. Capacity of the TeBG in human plasma and influence of
specific binding of testosterone on its metabolic clearance rate. J Clin Endocrinol Metab
1969;29:1470–80.
Vickers AJ, Cronin AM, et al. A four-kallikrein panel predicts prostate cancer in men with
recent screening: data from the European Randomized Study of Screening for Prostate
Cancer, Rotterdam. Clin Cancer Res 2010; 16(12):3232–9.
Vickers AJ, Gupta A, et al. A panel of kallikrein marker predicts prostate cancer in a
large, population based cohort followed for 15 years without screening. Cancer Epidemiol
Biomarkers Prev 2011;20(2):255–61.
Villoutreix BO, Getzoff ED, et al. A structural model for the prostate disease marker,
human prostate-specific antigen. Protein Sci 1994;3(11): 2033–44.
Vogelstein B, Pardoll DM, et al. Supercoiled loops and eucaryotic DNA replication. Cell
1980;22(1 Pt 1):79–85.
Von Euler US. Zur Kenntnis der pharmakologischen Wirkungen von Natirsekreten und
Extrackten mannkicher accessorischer Geschlechtsdrusen. Arch Pathol Pharmakol
1934;175:78–84.
Walsh PC, Gittes RF. Inhibition of extratesticular stimuli to prostatic growth in the
castrate rat by antiandrogens. Endocrinology 1970;87(3):624–7.
Wang MC, Valenzuela LA, et al. Purification of a human prostate specific antigen. Invest
Urol 1979;17(2):159–63.
Wang Y, Hayward S, et al. Cell differentiation lineage in the prostate. Differentiation
2001;68(4–5):270–9.
Watt KW, Lee PJ, et al. Human prostate-specific antigen: structural and functional
similarity with serine proteases. Proc Natl Acad Sci U S A 1986;83(10):3166–70.
Williams RR, Fisher AG. Chromosomes, positions please! Nat Cell Biol 2003;5(5):388–
90.
Williams-Ashman HG, Pegg AE, et al. Mechanisms and regulation of polyamine and
putrescine biosynthesis in male genital glands and other tissues of mammals. Adv Enzyme
Regul 1969;7:291–323.
Wilson EM, Colvard DS. Factors that influence the interaction of androgen receptors
with nuclei and nuclear matrix. Ann N Y Acad Sci 1984; 438:85–100.
Wilson JD, Griffin JE, et al. The role of gonadal steroids in sexual differentiation. Recent
Prog Horm Res 1981;37:1–39.
Xin L, Lawson DA, et al. The Sca-1 cell surface marker enriches for a
prostateregenerating cell subpopulation that can initiate prostate tumorigenesis. Proc Natl
Acad Sci U S A 2005;102(19):6942–7.
Young CY, Andrews PE, et al. Tissue-specific and hormonal regulation of human
prostate-specific glandular kallikrein. Biochemistry 1992;31(3): 818–24.
Young CY, Murtha PE, et al. Antagonism of androgen action in prostate tumor cells by
retinoic acid. Prostate 1994;25(1):39–45.
Yousef GM, Diamandis EP. Expanded human tissue kallikrein family—a novel panel of
cancer biomarkers. Tumour Biol 2002;23(3):185–92.
Yousef GM, Diamandis EP. An overview of the kallikrein gene families in humans and
other species: emerging candidate tumour markers. Clin Biochem 2003;36(6):443–52.
Yousef GM, Obiezu CV, et al. Prostase/KLK-L1 is a new member of the human
kallikrein gene family, is expressed in prostate and breast tissues, and is hormonally
regulated. Cancer Res 1999;59(17):4252–6.
Yurchenco PD, Amenta PS, et al. Basement membrane assembly, stability and activities
observed through a developmental lens. Matrix Biol 2004;22(7):521–38.
Zaneveld LJ, Tauber PF. Contributions of prostatic fluid components to the ejaculate.
Prog Clin Biol Res 1981;75A:265–77.
Zhigang Z, Wenlv S. Prostate stem cell antigen (PSCA) expression in human prostate
cancer tissues and its potential role in prostate carcinogenesis and progression of prostate
cancer. World J Surg Oncol 2004;2(1):13.