Anda di halaman 1dari 18

TUTORIAL UROLOGI

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


( BPH )

Presentan :
Devintha Tiza Ariani

Pembimbing :
dr. Chaidir A , SpU

Subbagian Urologi
Departemen Ilmu Bedah
FKUI/RSUPN-CM
April 2008

PENDAHULUAN
Pembesaran Prostat Jinak atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada pria
yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau Benign Prostatic Hyperplasia sebenarnya merupakan
istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.
BPH bisa disertai LUTS, maupun tanpa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas
gejala obstruksi (voiding symptoms) dan gejala iritasi (storage symptoms ). BPH simptomatik
dapat menyebabkan bladder outlet obstruction (BOO), yakni obstruksi pada leher buli dan urethra
yang jika dibiarkan dapat menyebabkan perubahan struktur buli maupun ginjal. 1
Dengan meningkatnya usia harapan hidup , meningkat pula prevalensi BPH. Hiperplasia
prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70 % pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90 % pada pria berusia di atas 80 tahun.BPH ada yang asimptomatik
sedangkan prevalansi BPH simptomatik ditemukan pada 15% pria usia 40-49 tahun , 25% pria
usia 50-59 tahun , dan 43% pria usia 60 tahun. 1
BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di indonesia setelah batu
saluran kemih.Hospital prevalence BPH di RSCM 423 kasus september 1994 agustus 1997)
dan RS Sumber Waras pada periode yang sama mencapai 617 kasus. 2
Pengobatan BPH tergantung pada berat ringannya keluhan , komplikasi yang terjadi ,
ketersediaan fasilitas , dan pilihan terapi yang dikehendaki pasien. 1

ANATOMI
Prostat secara anatomi memiliki bentuk seperti kerucut terbalik. Secara embriologi prostat
yang merupakan organ kompleks yang terdiri dari unsur kelenjar, stroma dan otot polos atau
fibromioglanduler yang mulai terbentuk pada kehamilan minggu ke 12 dengan pengaruh hormon
androgen yang berasal dari testis fetus. Sebagian besar kompleks prostat berasal dari sinus
urogenitalis tetapi mungkin sebagian dari duktus ejakulatorius, sebagian verumontanum dan
sebagian dari bagian asiner prostat (zona sentral ) berasal dari duktus wolfii. 2
Prostat normal memiliki berat 18 g dan berukuran 3,4 cm panjang dan 4,4 cm lebar dan
ketebalan 2,6 cm dan dilalui oleh uretra pars prostatika. Prostat memiliki permukaan anterior,
posterior, dan lateral dengan puncak yang sempit dibagian bawah dan dasar yang luas dibagian
atas, prostat terbungkus oleh kapsul kolagen dan elastin dan otot . 3

1.

gambar 1. anatomi prostat (Mc Vary K.T.Management of benign prostate hypertrophy. New jersey Humana press:2004;p 3)

Gambar 2 Bagan skematik pembagian prostat menurut Mc Neal.

Menurut Mc Neal prostat dibagi menjadi bagian yang glanduler yaitu yang berada pada
daerah luar yang disebut zona perifer (periferal zone) dan zona sentral yang kecil (central zone)
yang keduanya kira-kira merupakan 95% dari seluruh kelenjar. 2
Zona transisional yang terletak periurethral sekitar verumontanum yang merupakan hanya
5% dari seluruh volume prostat dan tampaknya bagian ini yang dapat mengalami pembesaran
prostat jinak. Sedang keganasan prostat 60-70% berasal dari zona perifer. 2
Mc Neal yakin bahwa pembesaran prostat jinak tidak terjadi pada zona periferal dan juga
berpendapat bahwa sebagian besar karsinoma prostat yang berasal dari zona transisional,
biasanya jenis karsinoma dengan gradasi rendah (low grade). 2

zona periferal dan zona transisional berasal dari sinus urogenitalis, sedangkan zona
sentralis berasal dari duktus wolfii.Zona fibromuskuler memiliki

serat otot polos sehingga

mempunyai peranan pada tekanan uretra (urethral pressure). 2


Apabila terjadi pembesaran prostat jinak yang biasanya berasal dari zona transisional
maka biasanya terjadi pertumbuhan ke lateral dan kranial sehingga jaringan pembesaran prostat
jinak itu mendesak jaringan prostat lain ke perifer dan kelenjar prostat menonjol ke dalam, vesika,
menjadi lobus medius. Pada waktu trans uretral resection ot the prostate (TUR-P) atau
prostatektomi. Maka yang dikerok atau di enukleasi adalah jaringan adenomatosa yang berasal
dari kelenjar periurethral sedang kapsul bedah (surgical capsule) tetap dibiarkan intak. 2

STRUKTUR
Prostat terdiri dari 70% elemen glanduler dan 30% element stroma fibromuskuler. Stroma
melanjutkan diri dengan kapsul yang terdiri dari kolagen dan otot polos yang melimpah yang
mengelilingi prostat dan kelenjarnya, jaringan tersebut akan berkontraksi selama ejakulasi untuk
mengeluarkan sekret prostat kedalam uretra. 3
Uretra berjalan didalam dari prostat dan biasanya lebih dekat kebagian anterior dari
prostat. Uretra ini di tutupi oleh epitel transisional dan dibagian luar dikelilingi oleh otot polos
longitudinal interna dan sirkular eksterna. Krista uretra menonjol kedalam dari garis tengah
posterior berjalan sepanjang uretra prostatika dan menghilang sfingter uretra striata, pada pinggir
krista terbentuk sinus sinus prostatika dimana seluruh elemen glanduler mengalir. Pada segment
ini prostat mengalami angulasi 35O ke depan, tapi bisa bervariasi 0-90O. Sudut ini membagi uretra
prostatika menjadi segment proksimal (preprostatika) dan distal (prostatika) yang mana secara
anatomi dan fungsional berbeda, proksimal bagian otot polos menebal membentuk sfingter uretra
interna yang involunter, diatasnya dengan sedikit kelenjar periuretral yang melanjutkan diri
menjadi serabut dari otot polos longitudinal untuk kemudian ditutupi oleh otot sirkuler sfingter
preprostatika. Meskipun kelenjar ini hanya 1% dari element sekresi prostat tapi dapat
memberikan kontribusi signifikan terhadap volume prostat pada orang tua dan merupakan salah
satu sisi asal mula dari BPH3

ETIOLOGI
Etiologi molekuler yang pasti dari proses hyperplasia pada BPH masih belum jelas.
Peningkatan jumlah sel mungkin disebabkan proliferasi stroma dan epitel prostat maupun
gangguan pada proses kematian sel terprogram (Apoptosis). Androgen , estrogen , interaksi
stroma-epitel , faktor-faktor pertumbuhan , dan neurotransmitter dapat berperan dalam proses
hiperplasia ini , baik secara tunggal maupun bersama-sama. 4

Peran androgen
Androgen tidak menyebabkan BPH , namun perkembangan BPH memerlukan androgen
testis dalam proses perkembangan prostate, pubertas , dan proses menua. Pada prostate enzim
5-alfa reduktase yang terikat pada membrane inti sel mengubah testosterone menjadi
dihidrotestosteron (DHT) , suatu androgen utama pada jaringan ini (90%). DHT bersifat lebih
poten daripada testosteron dengan afinitas terhadap reseptor androgen yang lebih tinggi.
Androgen reseptor kemudian berikatan dengan DNA spesifik pada inti sel , meningkatkan
transkripsi gen-gen yang tergantung androgen yang akhirnya menyebabkan peningkatan sintesis
protein. Prostat , tidak seperti organ-organ tergantung androgen lainnya mempertahankan
kemampuannya merespons androgen sepanjang kehidupan. Kadar reseptor androgen pada
prostat tetap tinggi sepanjang proses menua. Konsentrasi DHT intraprostat dipertahankan tetapi
tidak meningkat. Pada studi imunohistokimia ditemukan enzim 5 reduktase tipe 2 lebih berperan
dalam proses ini. 4

Peran estrogen
Kadar estrogen serum meningkat pada pria seiring bertambahnya umur. Pada pasien
BPH ternyata kadar estrogen intraprostat juga meningkat. Pasien dengan volume BPH yang
besar cenderung memiliki kadar estradiol yang lebih tinggi pada sirkulasi perifer.. Walaupun
didukung oleh fakta-fakta di atas namun peranan estrogen sesungguhnya pada perkembangan
BPH manusia belum sepenuhnya dipahami. 4

Regulasi kematian sel terprogram (apoptosis)


Androgen ( testosteron dan DHT) menekan kematian sel terprogram pada jaringan
prostat. Diduga hal ini terjadi akibat pengaruh androgen terhadap faktor-faktor pertumbuhan lokal
dan reseptor faktor pertumbuhan yang menyebabkan meningkatnya proliferasi dan menurunnya
apoptosis. 4

Interaksi stroma-epitel
Diduga BPH terjadi akibat adanya defek pada salah satu komponen stroma yang pada
keadaan normal berfungsi menghambat proliferasi sel. Lebih jauh proses pembentukan kelenjar
baru pada BPH menyiratkan suatu proses reawakening proses embrionik yang mana stroma
prostat menginduksi pertumbuhan sel epitel. 4

Growth factor
Pada BPH faktor-faktor pemicu pertumbuhan , seperti basic fibroblastic growth factor
( bFGF ) , epidermal growth factor (EGF) , keratinocyte growth factor (KGF) , dan insulin-like
growth factor (IGF) berperan dalam proliferasi sel dengan DHT berfungsi memodulasi efek faktorfaktor pertumbuhan tersebut. Sebaliknya pada BPH transforming growth factor beta (TGF) yang
berfungsi menghambat laju proliferasi epitel ditekan fungsinya.

Peran sel-sel inflamasi dan sitokin


Sel-sel limfosit T yang ditemukan pada kelenjar prostat mampu menghasilkan mitogenmitogen stroma dan epitel yang akan memicu hiperplasia kelenjar dan stroma. 4

Faktor genetik dan familial


Terdapat beberapa bukti bahwa BPH memiliki komponen genetik yang diturunkan. Pada
suatu penelitian ditemukan bahwa pada 50% pria yang menjalani prostatektomi pada usia < 60
tahun dan pada 9% pria yang menjalani prostatektomi pada usia > 60 tahun , dapat diprediksi
adanya risiko familial untuk BPH. Populasi dengan riwayat anggota keluarga dengan prostat
membesar dan BPH memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gejala LUTS sedang
sampai berat. BPH yang bersifat familial dicirikan dengan ukuran prostat yang besar
dibandingkan dengan BPH sporadik. 4

Faktor-faktor etiologik lainnya


Terdapat beberapa faktor etiologik lain yang diduga berperan dalam pertumbuhan kelenjar
prostat pada BPH , seperti substansi nonandrogen dari testis , mikrotrauma pada ejakulasi dan
proses miksi , serta prolaktin. 4

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi

BPH

sangatlah

kompleks.

BPH

meningkatkan

resistensi

urethra

menyebabkan perubahan-perubahan pada fungsi buli untuk mengkompensasi kondisi ini. Namun
tekanan detrusor yang meningkat yang diperlukan untuk mempertahankan aliran urin pada
resistensi outflow yang meningkat memerlukan fungsi penyimpanan buli yang normal. Perubahan
fungsi detrusor akibat obstruksi bersama dengan penurunan fungsi buli dan persarafan seiring
bertambahnya usia akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala LUTS. 4
Pada prostat manusia terdapat kapsul prostat yang diduga berperan menghantarkan
tekanan yang dihasilkan oleh ekspansi jaringan prostat ke urethra , menyebabkan peningkatan
resistensi urethra. Sehingga gejala klinis BPH disebabkan peningkatan ukuran prostat dan
struktur anatomik yang unik dari prostat manusia. Tindakan transurethral incision of the prostate
(TUIP) mengurangi hambatan outflow urin secara signifikan meskipun tidak mengurangi volume
prostat. 2
Ukuran prostat tidak berkorelasi dengan derajat obstruksi. Pada sejumlah kasus
pertumbuhan predominan dari nodul-nodul periurethra di leher buli menyebabkan timbulnya lobus
medius yang juga meskipun berukuran kecil dapat menimbulkan BOO. Juga faktor resistensi
urethra yang bersifat dinamik (kontraksi otot polos prostat ) yang diregulasi oleh sistem
persarafan adrenergik turut berperan meningkatkan resistensi urethra pars prostatika. 4

Gejala LUTS pada BPH berhubungan dengan perubahan fungsi buli akibat obstruksi , yang
dibagi menjadi 2 tipe , yaitu :
1. perubahan-perubahan yang menyebabkan terjadinya instabilitas detrusor atau penurunan
compliance ( klinis : urgensi dan frekuensi )
2. perubahan-perubahan yang menyebabkan penurunan kontraktilitas detrusor [ klinis :
perburukan pancaran urin , hesitansi , intermitensi , dan peningkatan post voiding residual
urine (PVR) ]
Respons awal detrusor terhadap obstruksi adalah hipertrofi otot polos yang berhubungan dengan
perubahan intra dan ekstraseluler pada otot polos yang berakhir pada terjadinya instabilitas
detrusor. Obstruksi yang tidak diatasi menyebabkan penambahan kolagen detrusor. Peningkatan
kolagen detrusor menyebabkan timbulnya trabekulasi. Trabekulasi berat berhubungan dengan
PVR yang signifikan , tampak pada penyakit yang sudah lanjut. Juga terdapat bukti-bukti bahwa
obstruksi mempengaruhi respons saraf-detrusor yang berakibat berkurangnya kontraktilitas buli ,
dan terganggunya sensasi berkemih. 4

Patofisiologi BPH4

DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis digali keluhan yang dirasakan oleh pasien dan sudah berapa lama
keluhan itu mengganggu , riwayat cedera , infeksi , dan operasi traktus urogenital , keadaan
kesehatan pasien secara umum dan fungsi seksual pasien , obat-obatan yang sedang
dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi , dan juga tingkat kebugaran pasien. 1
Salah satu piranti guna menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat
adalah International Prostat Symptom Score (IPSS) yang telah disahkan oleh WHO dan AUA.

Sistem skoring ini meliputi 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0-5 dengan nilai
maksimum 35. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan menjadi :

skor 0-7

: gejala ringan

skor 8-19

: gejala sedang

skor 20-35

: gejala berat

Selain 7 pertanyaan tersebut juga terdapat 1 pertanyaan mengenai kualitas hidup ( quality of life
atau QoL).

Namun sistim skoring AUA / IPSS ini agak sulit diterapkan pada pasien di Indonesia, dimana
penderita umumnya berusia tua dan sulit untuk mengisi jawaban yang sifatnya self assessment,
sehingga sering digunakan scoring menurut Madsen Iverson. Pembagian gejala menurut Madsen
Iverson :

Skor 0 9

Skor 10 20 : gejala sedang

Skor 21 27 : gejala berat

: gejala ringan

Pemeriksaan Fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan fisik yang
mutlak pada BPH di samping pemeriksaan regio suprapubik guna mencari kemungkinan adanya
distensi buli. Pada DRE ditentukan pembesaran prostat , konsistensi , dan ada/tidaknya nodul
pada prostat. Sensitifitas DRE untuk mendeteksi karsinoma prostat hanya 33%.
Status neurologis , status mental secara umum, dan neuromuskuler ekstremitas bawah
juga perlu dinilai. Pada DRE juga ditentukan tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang
dapat menunjukkan adanya kelainan lengkung refleks di daerah sakral. 1

Urinalisis
Urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria , biasanya pada BPH
dengan komplikasi ISK , batu buli , dan penyakit lain penyebab kelainan miksi , misalnya striktur
urethra dan karsinoma buli in situ. Pada kecurigaan adanya ISK perlu dilakukan kultur urin dan
pada kecurigaan karsinoma buli perlu diperiksa sitologi urin. Pada pasien BPH dengan retensi
urin yang telah memakai kateter seringkali sudah ditemukan leukosituria dan eritrosituria. 1

Pemeriksaan fungsi ginjal


Pemeriksaan fungsi ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya pencitraan traktus
urinarius bagian atas. Pasien LUTS yang di-USG didapatkan pelebaran sistem pelviokalises 0,8%
jika kadar kreatinin serum normal dan 18,9% jika kadar kreatinin serum meningkat. 1

Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal
menyebabkan risiko terjadinya komplikasi pasca bedah lebih sering dibandingkan dengan tanpa
disertai gagal ginjal dan mortalitas menjadi 6 kali lebih banyak. 1

Prostate Specific Antigen (PSA)


Kadar PSA serum dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit BPH. Jika kadar PSA
tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih cepat , keluhan akibat BPH atau laju pancaran
urin lebih jelek dan lebih mudah terjadi retensi urin akut. Makin tinggi kadar PSA maka makin
cepat laju pertumbuhan prostat.
Kadar PSA serum juga meningkat pada inflamasi , pasca manipulasi prostat ( biopsi atau
TURP ), retensi urin akut , kateterisasi , kanker prostat , dan usia pasien yang makin tua. Rentang
kadar PSA normal menurut usia adalah :

40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml

50-59 tahun : 0-3,5 ng/ml

60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml

70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml1


Pada kadar PSA >10 ng/ml 50-88% terbukti kanker , pada kadar 4-10 ng/ml 20% terbukti

kanker , dan pada kadar < 4ng/ml 9-27% terbukti kanker. Maka dari itu dianjurkan biopsi pada
kadar PSA > 10 ng/ml atau terabanya nodul pada colok dubur. Terdapat beberapa modifikasi nilai
PSA serum yang dapat digunakan untuk meningkatkan spesifisitas PSA untuk deteksi dini kanker
prostat :

PSA density : PSA serum/ volume prostat total ( dari hasil transrectal ultrasonography )
indikasi biopsi pada PSA density > 0,15 ng/ml/ml

PSA velocity : peningkatan PSA serum / tahun


indikasi biopsi pada PSA velocity > 0,75 ng/ml/tahun

Age adjustment PSA : kadar PSA normal menurut umur indikasi biopsi : PSA >2,5 ng/ml
pada laki-laki usia 40-49 tahun , PSA >3,5 ng/ml pada laki-laki usia 50-59 tahun , PSA >
4,5 ng/ml pada laki-laki usia 60-69 tahun , PSA > 6,5 ng/ml pada laki-laki usia > 70
tahun4,5

Catatan Harian Miksi ( voiding diaries )


Dengan mencatat berapa jumlah asupan cairan dan berapa jumlah urin yang dikemihkan
dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik , instabilitas detrusor akibat obstruksi
infravesika atau karena poliuria akibat asupan cairan berlebih. Guna mendapat hasil yang baik
sebaiknya pencatatan dilakukan 7 hari berturut-turut. 1

Uroflometri
Uroflometri merupakan pencatatan tentang pancaran urin selama miksi secara elektronik
guna mendeteksi obstruksi traktus urinarius bagian bawah secara noninvasif sebelum dan
sesudah terapi. Dari pemeriksaan ini dapat diperoleh data tentang volume miksi , pancaran
maksimum (Qmax) , pancaran rata-rata (Qave), waktu untuk mencapai pancaran maksimum ,
dan lama pancaran.
Uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab kelainan pancaran urin sebab pancaran
lemah dapat disebabkan BOO atau kelemahan detrusor. Qmax normal pun belum tentu tidak ada
BOO. korelasi antara Qmax dan BOO adalah : Qmax < 10 ml/detik 90% BOO , Qmax 10-14
ml/detik 67% BOO , dan Qmax > 15 ml/detik 30% BOO.
Q max dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua dengan LUTS dan
Qmax normal biasanya bukan karena BPH dan keluhan tidak berkurang pascaoperasi. Pasien
dengan Qmax< 10 ml/detik biasanya disebabkan oleh obstruksi dan akan berespons baik dengan
pembedahan.
Untuk menentukan adanya BOO digunakan kombinasi skor IPSS , volume prostat , dan
Qmax. Nilai Qmax dipengaruhi oleh usia , jumlah urin yang dikemihkan, serta variasi individual.
Hasil uroflometri baru bermakna jika volume urin > 150 ml dan diperiksa berulang kali pada
kesempatan berbeda ( untuk menilai adanya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran
urin 4 kali ). 1,4

Pemeriksaan urin residual (post voiding residual urin , PVR )


PVR adalah sisa urin yang tertinggal di dalam buli setelah miksi. Orang normal
mempunyai PVR tidak lebih dari 12 ml. Pemeriksaan PVR dapat dilakukan secara invasif dengan
kateterisasi urethra pasca berkemih spontan atau noninvasif dengan USG. Pasien yang diukur
PVR-nya pada waktu yang berlainan menunjukkan perbedaan volume PVR yang cukup
bermakna. Variasi ini tampak nyata pada PVR > 150 cc. Peningkatan volume PVR tidak selalu
menunjukkan bera
tnya gangguan pancaran urin atau beratnya obstruksi. Namun adanya PVR menunjukkan
telah terjadi gangguan miksi.
Jika PVR cukup banyak biasanya watchful waiting akan gagal. Bila PVR > 350 cc
seringkali sudah terdapat disfungsi buli sehingga terapi medikamentosa kurang berhasil.
Pemeriksaan PVR ( dengan USG transabdominal ) sebaiknya dilakukan > 1 kali mengingat
variasi intraindividual yang cukup tinggi. 1

Pencitraan traktus urinarius


Pencitraan di sini meliputi pencitraan traktus urinarius atas dan bawah dan prostat.
Pencitraan traktus urinarius bagian atas pada pasien BPH dilakukan bila pada pemeriksaan awal

ditemukan adanya hematuria , ISK , insufisiensi renal ( dengan USG ) , riwayat urolithiasis , dan
riwayat operasi traktus urogenital. Sistografi masih berguna pada BPH dengan retensi urin ,
demikian pula urethrografi dilakukan pada kecurigaan adanya striktur urethra.
USG prostat dapat menilai bentuk , besar prostat , dan mencari kemungkinan karsinoma
prostat. Menilai bentuk dan ukuran prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal
ulrasonography ( TAUS) maupun transrectal ultrasonography (TRUS). TRUS dikerjakan jika
terdapat peningkatan kadar PSA serum guna mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. 1

Urethrosistoskopi
Pemeriksaan ini berguna untuk menilai kondisi buli dan urethra pars prostatika.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan
transurethral resection of the prostate (TURP) atau transurethral incision of the prostate (TUIP)
atau prostatektomi terbuka , juga pada kasus dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma
buli guna mencari lesi pada buli. 1

Pemeriksaan urodinamik
Pemeriksaan urodinamik mampu membedakan apakah pancaran urin yang lemah
disebabkan oleh BOO atau kelemahan detrusor di mana tindakan desobstruksi tidak akan
bermanfaat. Indikasi pemeriksaan urodinamik pada BPH adalah usia pasien < 50 tahun atau > 80
tahun dengan PVR > 300 cc, Qmax>10ml/detik , pasca pembedahan radikal daerah pelvis , gagal
dengan terapi BPH invasif , atau kecurigaan akan adanya neurogenic bladder. 1

PILIHAN TERAPI
Watchful waiting
Pada watchful waiting pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan
penyakit dan keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan ini ditujukan pada pasien BPH
dengan skor IPSS<7 , yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien
dengan IPSS>7 , Qmax< 12 ml/detik , dan prostat > 30 gram tidak dianjurkan untuk watchful
waiting. Pasien dianjurkan untuk tidak banyak minum dan tidak mengonsumsi kopi/alkohol
setelah makan malam , mengurangi konsumsi makanan/minuman yang menyebabkan iritasi pada
buli (kopi/coklat) , membatasi penggunaan obat-obat influenza yang banyak mengandung
fenilpropanolamin , mengurangi makanan pedas dan asin , dan tidak menahan kencing terlalu
lama.
Setiap 6 bulan pasien diminta untuk kontrol untuk menilai ulang IPSS , Qmax , PVR. Jika
terjadi perburukan mungkin diperlukan pilihan terapi lain. 1,4

10

Medikamentosa
Jika IPSS>7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain.
Tujuan terapi medikamentosa adalah mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen
dinamik atau mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis-jenis obat yang
digunakan adalah sebagai berikut :
1. antagonis reseptor adrenergik alfa :
- preparat nonselektif : fenoksibenzamin
- preparat selektif masa kerja pendek : prazosin , afluzosin , indoramin
- preparat selektif masa kerja lama : tamsulosin , doksazosin , dan terazosin
2. inhibitor 5-alfa reduktase : finasteride , dutasteride
3. fitofarmaka
Antagonis reseptor adrenergik alfa
Pengobatan dengan antagonis reseptor adrenergik alfa bertujuan menghambat kontraksi
otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli dan urethra. Fenoksibenzamin
adalah preparat pertama golongan ini yang bersifat nonselektif , di mana ia bekerja pula pada
reseptor

adrenergik

alfa-2 sehingga

menyebabkan

hipotensi

vaskuler

dan komplikasi

kardiovaskuler lainnya. Kemudian ditemukan preparat yang bekerja pada reseptor adrenergik
alfa-1 , misalnya prazosin yang diberikan 2 kali sehari dan tamsulosin, terazosin , dan doksazosin
yang diberikan satu kali sekali ( dua obat terakhir mulanya dipakai sebagai obat antihipertensi ).
Rata-rata golongan obat ini mampu memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin
skor IPSS dan Qmax hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi. Juga belum
ditemukan intoleransi dan takifilaksis sampai pemberian 6-12 bulan. Dikatakan bahwa obat ini
lebih efektif dibandingkan golongan 5-alfa reduktase dan pemberian obat ini secara tunggal atau
dikombinasikan dengan 5-alfa reduktase terbukti sama efektifnya. Pemberian obat ini pun tidak
perlu memperhatikan ukuran prostat serta kadar PSA seperti halnya dengan sebelum pemberian
5-alfa reduktase.
Efektifitas masing-masing obat golongan ini hampir sama namun mereka mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap kardiovaskuler yang berbeda. Penyulit terhadap sistem
kardiovaskuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini bersifat superselektif yaitu
bekerja pada reseptor adrenergik alfa-1a. Komplikasi

non kardiovaskuler yang dapat timbul

antara lain ejakulasi retrograd ( pada 4,5-10% kasus dengan pemakaian tamsulosin).
Makin tinggi dosis obat antagonis adrenergik alfa , makin nyata efek yang diinginkan namun
komplikasi kardiovaskuler pun semakin nyata sehingga dosis harus ditingkatkan perlahan-lahan
(titrasi), kecuali tamsulosin yang tidak memerlukan titrasi dan masih tetap aman dan efektif
walaupun diberikan hingga 6 tahun. 1,4

11

Inhibitor 5 alfa-reduktase
Finasteride adalah obat inhibitor 5 reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati
BPH. Obat ini bekerja dengan menghambat konversi DHT dari testosteron, yang dikatalisis oleh
enzim 5 reduktase di dalam sel-sel prostat.Obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga
20-30% meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin dan meningkatkan
pancaran urin. Efek maksimum setelah 6 bulan. Pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4
tahun ternyata mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urin, menurunkan
kejadian retensi urin akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40cm3. Efek samping yang terjadi minimal ,
yaitu: impotensi , penurunan libido, ginekomastia atau timbul bercak-bercak kemerahan dikulit.
Finasteride dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga
perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. 1
Fitofarmaka
Fitoterapi kemungkinan bekerja sebagai antiestrogen , antiandrogen , menurunkan kadar
sex hormone binding globulin , inhibisi basic fibroblast growth factor dan epidermal growth factor ,
mengacaukan metabolisme prostaglandin , efek antiinflamasi , menurunkan outflow resistence ,
dan memperkecil volume prostat. Namun data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif
yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Contoh fitoterapi : Pygeum africanum , Serenoa repens , Hypoxis rooperi , Radix urtica. 1

Terapi Intervensi
Terapi intervensi dibagi menjadi 2 , yaitu :
1. teknik ablasi jaringan prostat ( pembedahan ): Pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP,
Laser prostatektomi.
2. teknik instrumentasi alternatif: interstisial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon,
dan stent urethra.
Pembedahan
Indikasi pembedahan adalah BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya:
1.

Retensi urin karena BPO

2.

Infeksi saluran kemih berulang karena BPO

3.

Hematuria makroskopik karena BPE

4.

Batu buli karena BPO

5.

Gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO

6.

Divertikel buli yang cukup besar karena BPO1

12

Di beberapa negara terapi pembedahan diindikasikan pada pasien BPH dengan keluhan
sedang hingga berat, tidak ada perbaikan setelah pemberian terapi nonbedah, dan pasien yang
menolak terapi medikamentosa. Ada 3 macam teknik pembedahan yang dianjurkan, yaitu
prostatektomi terbuka, TUIP, danTURP.
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling efisien
dan memberikan perbaikan gejala BPH 98%. Pembedahan dikerjakan melalui pendekatan
transvesika (Hrynschack) dan pendekatan retropubik (Millin). Pendekatan transvesika hingga saat
ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu buli multipel, divertikel besar,
dan hernia inguinalis. Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat dengan volume lebih dari 80100cm3. Dilaporkan bahwa prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktur urethra dan
inkontinensia urin lebih sering dibandingkan dengan TURP ataupun TUIP.
Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada pasien
BPH. Pada pasien dengan keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful
waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan
memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala
BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urin hingga 100.
Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan tersering adalah
perdarahan . Komplikasi biasanya terjadi pada reseksi prostat >45 gram, usia > 80 tahun, ASA IIIV, dan lama reseksi > 90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1%.
Komplikasi lanjut adalah inkontinensia stress <1% maupun inkontinensia urge 1,5%,
striktura urethra 0,5-6,3%, kontraktur leher buli (lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran
kecil 0,9-3,2 %), dan disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari pertama adalah
0,4% pada pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84 tahun.
Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif (termasuk anestesi) yang lebih baik
pada dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi berangsurangsur menurun.
TUIP atau bladder neck incision ( Orandi, 1973 ) dianjurkan pada prostat < 30 cm3 ,
tanpa pembesaran lobus medius , dan tidak ada kecurigaan adanya karsinoma prostat. Insisi
dilakukan secara tunggal atau bilateral mulai dari muara ureter , leher buli , sampai
verumontanum , diperdalam sampai kapsul prostat. Lama operasi lebih singkat dengan
komplikasi serta perbaikan keluhan dan Qmax lebih sedikit dibandingkan TURP.
Elektrovaporisasi prostat mirip dengan TURP menggunakan roller ball spesifik dan mesin
diatermi yang cukup kuat.Perdarahan tidak banyak dan rawat inap lebih singkat. 1
Prostatektomi dengan laser
Terdapat 4 jenis laser yang dipakai yaitu Neodymium (Nd):YAG , Holmium:YAG ,
KTP:YAG , dan dioda yang dapat dipancarkan melalui bare fibre , right angle fibre , atau
interstisial fibre. Prinsip kerja laser adalah menimbulkan koagulasi ( pada suhu 60-65 0C ) dan

13

vaporisasi ( pada suhu > 1000C ). Komplikasi laser lebih sedikit dengan penyembuhan lebih cepat
namun perbaikan gejala dan Qmax tidak sebaik pada TURP. Juga dalam 1 tahun diperlukan
terapi ulang pada 2% kasus dan tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan PA ( kecuali
pada Holmium:YAG ). Pemakaian Nd:YAG menunjukkan hasil hampir sama dengan TURP
namun efek lebih lanjut dari laser masih perlu diteliti lebih lanjut.
Teknik laser ini dianjurkan pada pasien dengan terapi antikoagulan jangka panjang dan
pasien yang kesehatannya tidak memungkinkan untuk TURP. 1
Instrumentasi alternatif
Termoterapi
Termoterapi prostat menggunakan pemanasan > 450C guna menimbulkan nekrosis koagulasi
jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan dari :
1. transurethral microwave thermotherapy (TUMT)
2. transurethral needle ablation (TUNA)
3. Laser
Keuntungan termoterapi :

tidak memerlukan rawat inap

tidak banyak menimbulkan perdarahan

Kerugian termoterapi :

masih harus memakai kateter dalam jangka waktu lama

kurang efektif dibandingkan TURP1

TUMT
Energi yang digunakan berasal dari gelombang mikro (panjang gelombang 300-3000
MHz) , disalurkan melalui kateter ke dalam prostat sehingga menyebabkan kerusakan jaringan
prostat. Makin tinggi frekuensi yang digunakan makin tinggi energi yang dihasilkan namun
penetrasi jaringannya lebih rendah.
Jaringan prostat mengalami koagulasi bila terpapar suhu > 450C selama > 30 menit.
Jaringan lain dilindungi dengan sistem pendingin ( ambang rasa nyeri urethra adalah pada suhu
450C). Morbiditas tindakan ini rendah dan tidak memerlukan anestesi. TUMT energi rendah
digunakan pada prostat kecil dan obstruksi ringan , sedangkan TUMT energi tinggi pada prostat
yang besar dan obstruksi yang lebih berat.
Kontraindikasi TUMT : pembesaran lobus medius ( relatif ) , riwayat TURP sebelumnya ,
implan metal , prosthesis penis , penyakit striktur urethra berat , sfingter urinarius buatan , pasien
dengan alat pacu jantung.

14

Komplikasi : retensi urin pasca tindakan , iritasi , hematuria , perdarahan urethra , dan
hematospermia.
TUNA
Energi yang dipakai berasal dari frekuensi radio dengan panas yang ditimbulkan
mencapai 1000C sehingga menyebabkan nekrosis prostat. Kateter TUNA dihubungkan dengan
generator yang membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz , lalu dimasukkan dengan
sistoskopi dengan anestesi topikal.
Komplikasi TUNA : hematuria , disuria , retensi urin , dan epididimoorkhitis. 1,2
Stent
Stent dipasang di dalam lumen urethra pars prostatika di antara leher buli dan proksimal
verumontanum secara temporer (6-36 bulan) atau permanen. Stent tidak diindikasikan untuk
terapi pada pembesaran lobus medius. Alat ini berguna pada pasien risiko tinggi karena dapat
dipasang dalam anestesi lokal.
Komplikasi stent : tidak dapat berkemih spontan pasca pemasangan stent , enkrustasi ,
obstruksi , nyeri perineum , dan disuria. 1,2

Pengawasan berkala
Setiap pasien BPH setelah mendapat terapi watchfull waiting perlu mendapatkan
pengawasan berkala (follow up) untuk mengetahui hasil terapi serta perjalanan penyakitnya
sehingga dapat dilakukan pemilihan terapi lain atau terapi ulang. Secara rutin dilakukan
pemeriksaan IPSS dan uroflowmetri. Pasien yang menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan
pemeriksaan kultur urin untuk mengetahui kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat
tindakan tersebut. Berikut itu adalah gambaran jadwal tindakan pengawasan berkala : 1
Terapi

6 minggu

12 minggu

6 bulan

Watchfull waiting
Antagonis adrenergik -
Inhibitor 5- reduktase
Operasi
Invasif minimal

+
+
+

+
+
+

+
+
+
+
+

Evaluasi
tahunan
+
+
+
+
+

15

Daftar Pustaka
1. Panduan

Penatalaksanaan

(Guidelines)

BPH

di Indonesia.

Ikatan Ahli Urologi

Indonesia.2003.
2.

Djoko Rahardjo, Prostat. Kelainan-kelainan jinak, diagnosis dan penanganan. Asian


Medical,1999. Hal 1-59.

3.

Mc Vary K.T.Management of benign prostate hypertrophy. New jersey Humana press:2004


;1-20.

4.

Roehrborn CG , McConnell JD.Etiology , pathophysiology , epidemiology , and natural


history of benign prostatic hyperplasia, evaluation and non surgical management of benign
prostatic hyperplasia. Dalam : Campbells Urology.edisi ke-9.editor : Wein AJ,kavoussi
LR,Novvick AC,Partin AW,Petters AC. Philadelphia :WB Saunders Co.2007;HTML;section
XVI;Ch 85-87.

5.

Zeman PA , Siroky MB , Babayan RK. Lower urinary tract symptoms. Dalam : Handbook
of Urology. Edisi ke-3.Editor : Siroky MB , Oates RD , Babayan RK.Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins , 2004:98-120.

16

17

Anda mungkin juga menyukai