Anda di halaman 1dari 20

ABSTRAK

SURVEI BUDAYA KESELAMATAN PASIEN


SEBAGAI MODAL DASAR
PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN
DI RUMAH SAKIT RIZANI

Foni Istiana Dewi, Dian Emi, Puput Pitasari, M. Sarif Hidayatullah


Komite Mutu dan Keselamatan Pasien

Abstrak

Tujuan :
Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien di tingkat rumah sakit dan unit kerja di
Rumah Sakit Rizani.
Metode:
Penelitian potong lintang dengan menggunakan kuesioner Hospital Survey on Patient Safety
Culture ( HSoPSC) yang telah terstandarisasi terhadap seluruh pegawai yang memenuhi
kriteria secara stratified random sampling.
Hasil :
Kesimpulan :
Kata Kunci :
survei , budaya keselamatan pasien , rumah sakit.

Survei Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien ii


Survei Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien ii
DAFTAR ISI
Hal

Halaman Judul
Abstrak i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I LATAR BELAKANG 1
1. Latar Belakang 1
2. Tujuan 2
3. Rumusan Masalah 2
4. Manfaat Penelitian 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
1. Budaya Keselamatan Pasien 4
2. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien 6
BAB III METODE PENELITIAN 10
1. Rancangan Penelitian 10
2. Populasi Penelitian 10
3. Kriteria Subyek Penelitian 10
4. Besar Sampel Penelitian 10
BAB IV HASIL DAN P 12
4.1 KUALIFIKASI STAF DAN PIMPINAN BIDANG
KEPERAWATAN
4.2 POLA KETENAGAAN
4.3 DATA STAF DAN PIMPINAN
4.4 PENGATURAN JADWAL DINAS
4.5 SUPERVISOR
4.6 EVALUASI KINERJA BIDANG KEPERAWATAN
4.7 KEBIJAKAN KEWENANGAN STAF DAN PIMPINAN
BAB V FASILITAS DAN PERALATAN 21
5.1 SARANA FISIK BIDANG KEPERAWATAN
5 KEBIJAKAN PENGOPERASIAN FASILITAS DAN PERAL
BAB VI KEBIJAKAN DAN PROSEDUR 24
6.1 KEBIJAKAN
6.2 STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
BAB VII PENGEMBANGAN STAF DAN PROGRAM PENDIDIKAN
7.1 RENCANA PENGEMBANGAN STAF
7.2 PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Keselamatan dan mutu terus berkembang dalam suatu lingkungan yang mendukung kerja sama
dan rasa hormat terhadap sesama, tanpa melihat jabatan di rumah sakit. Rumah sakit merupakan
tempat yang sangat kompleks, terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, berbagai alat
dan teknologi, bermacam profesi dan non profesi yang memberikan pelayanan pasien selama 24
jam secara terus-menerus, dimana keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak
dikelola dengan baik dapat terjadi kejadian tidak diharapkan ( KTD ) , dimana KTD merupakan
kejadian yang akan mengancam keselamatan pasien ( Depkes RI,2006 ). WHO (World Health
Organitation) tahun 2004 mengumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara
yaitu amerika, inggris, Denmark dan Australia dan ditemukan KTD (Kejadian Tidak Diharapkan)
dengan rentang 3,2% - 16,6 %. Data tersebut menjadi pemicu diberbagai Negara untuk melakukan
penelitian dan pengembangan sistem keselamatan pasien (Depkes, 2006).
Keselamatan pasien merupakan langkah kritis pertama untuk memperbaiki kualitas pelayanan.
Tercermin dari laporan Institute Of Medicine (IOM) tahun 2000 tentang KTD (adverse event) di
rumah sakit kota Utah dan Colorado sebesar 2,9% dan 6,6% KTD berupa meninggal dunia. Di kota
New York KTD (adverse event) sebesar 3,7% dan 13,6% KTD berupa meninggal dunia. Angka
kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di Amerika adalah 33,6 juta di tahun 1997, di kota
Utah dan Colorado berkisar 44.000, sementara di New York 98.000 per tahun (IOM, 2000).
Laporan tersebut mencerminkan bahwa keselamatan pasien kurang diterapkan, sehingga banyak
KTD yang akhirnya menciptakan pelayanan kesehatan yang kurang bermutu. Menanggapi hal ini
Indonesia telah mendirikan KKP-RS (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) oleh PERSI
(Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia) (Depkes, 2008).
Powell (2004) menyatakan bahwa budaya keselamatan merupakan faktor dominan dalam
upaya keberhasilan keselamatan dan kunci bagi terwujudnya pelayanan yang bermutu dan aman.
Kedisiplinan, ketaatan terhadap standar, prosedur dan protokol, bekerja dalam tim,
kejujuran, keterbukaan, saling menghargai adalah nilai dasar yang harus dijunjung tinggi.
Manajemen diperlukan dalam untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Seluruh tingkatan
manajer dituntut untuk memiliki kemampuan kepemimpinan dan menjalankan fungsi manajerial.
Pemimpin bertugas membangun visi, misi, mengkomunikasikan ide perubahan, menyusun strategi
sehingga setiap komponen dalam organisasi akan bekerja dengan memperhatikan keselamatan
(Cahyono, 2008).
Survei budaya keselamatan pasien telah dilakukan sejak tahun 2000. Sebagian besar penelitian
dilakukan terhadap beberapa rumah sakit dalam wilayah tertentu diantaranya adalah di Belgia
( Hellings et al, 2007 ), Virginia (Chtistine et al,2008), United States (Singer et al, 2009 ),
Netherland ( Smiths et al, 2009 ), Saudi Arabia ( Alahmadi, 2010 ) , Lebanon (El Jardali dan Jafar ,
2010) dan Jepang ( Fujita S et al, 2014). Penelitian yang lain dilakukan di satu rumah sakit
diantaranya yaitu di Riyadh ( El Jardali , 2014), China ( Gu dan Itoh, 2011), Taiwan ( Chen dan
Li, 2010) , RS Hasan Sadikin ( Bea IF, Pasinringi AS, Noor B, 2013) , RS Masmitra ( Puspitasari
M, 2012) dan RSUP DR. Soeradji Tirtonegoro ( Farkhati, Muslikhah, Wachid, Siswi, 2019).
Meskipun pada penelitian tersebut sebagian besar sampel terdiri dari berbagai profesi yang
dianggap mewakili seluruh komponen RS, namun hanya satu penelitian yang menyebutkan dengan
jelas cara pengambilan sample secara strafified random sampling (Davoodi et al, 2013). Sisanya
dengan cara simple random sampling dan convenient sampling . Beberapa penelitian tidak
menyebutkan cara pengambilan sampelnya. Di Rumah Sakit Rizani sendiri penelitian seperti ini
belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data mengenai
budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit Rizani.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut: Bagaimana gambaran budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit Rizani.

3. Tujuan Penelitian
3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit Rizani
3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien di unit kerja di Rumah Sakit
Rizani yang langsung berhubungan langsung dengan pasien
2. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien dalam masing – masing dimensi
budaya keselamatan pasien
3. Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pelaporan insiden keselamatan pasien
di Rumah Sakit Rizani

4. Manfaat Pennelitian
1) Manfaat bagi pasien, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan dan
keselamatan pasien.
2) Manfaat bagi rumah sakit, penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dan
sekaligus evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien di Rumah Sakit Rizani sehingga
dapat digunakan sebagai dasar bagi pembuatan kebijakan keselamatan pasien di Rumah
Sakit Rizani
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Budaya Keselamatan Pasien


Keselamatan pasien merupakan komponen penting dari kualitas kesehatan. Bahkan dengan
kewaspadaan terus menerus, penyedia layanan kesehatan menghadapi banyak tantangan di
lingkungan perawatan kesehatan dalam usaha untuk selalu menjaga pasien tetap aman. Studi
tentang keselamatan pasien sekarang menjadi subjek yang diharapkan untuk dapat memberikan
umpan balik melalui penerapan langkah-langkah perbaikan berdasarkan identifikasi masalah.
Evolusi kesehatan yang berjalan terus menerus meningkatkan kepedulian tentang pentingnya
membangun dan mempertahankan budaya keselamatan pasien. Budaya keselamatan pasien
didefinisikan sebagai sebuah produk dari nilai-nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi,
kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen dan gaya serta kemampuan untuk
mengatur kesehatan dan keselamatan dalam organisasi ( Sammer , 2010 ). Oleh karena itu
penelitian pada budaya keselamatan dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran tentang peran
budaya dalam mempromosikan lingkungan yang aman (Doweri et al, 2013).
Hellings et al ( 20017) menjelaskan bahwa bahwa tantangan terbesar kearah sistem kesehatan
yang lebih aman adalah mengubah budaya dari menyalahkan seseorang karena kesalahan/error yang
dianggap sebagai kegagalan individu menjadikannya sebagai peluang untuk memperbaiki sistem
dan mencegah cedera. Dengan demikian mengembangkan budaya keselamatan merupakan salah
satu pilar bagi kegiatan keselamatan pasien. Penerapan dari hal tersebut harus tersurat didalam
organisasi, menjadi prioritas utama dalam kegiatan dan didorong oleh prinsip kepemimpinan
( Sammer et al, 2010 ).
Keselamatan pasien adalah sebuah transformasi budaya, dimana budaya yang diharapkan
adalah budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan, budaya lapor dan budaya belajar. Dalam
proses ini diperlukan upaya transformasional yang menyangkut intervensi multi tingkat dan multi
dimensional yang terfokus pada misi dan strategi organisasi, leadership style, serta budaya
organisasi (Kirk et al, 2010).
Menurut Carthey &Clarke (2010), organisasi kesehatan akan memiliki budaya keselamatan
pasien yang positif, jika memiliki dimensi budaya sebagai berikut :
1. Budaya keterbukaan (open culture)
Budaya ini menggambarkan semua staf RS merasa nyaman berdiskusi tentang insiden
yang terjadi ataupun topik tentang KP dengan teman satu tim ataupun dengan manajernya.
Staf merasa yakin bahwa fokus utama adalah keterbukaan sebagai media pembelajaran dan
bukan untuk mencari kesalahan ataupun menghukum. Komunikasi terbuka dapat juga
diwujudkan pada saat serah terima pasien, briefing staff maupun morning report.
2. Budaya keadilan (just culture)
Merupakan budaya membawa atmosfer “trust” sehingga anggota bersedia dan memilki
motivasi untuk memberikan data dan informasi serta melibatkan pasien dan keluarganya
secara adil dalam setiap pengambilan keputusan terapi. Perawat dan pasien diperlakukan
secara adil saat terjadi insiden dan tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu tetapi
lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Lingkungan
terbuka dan adil akan membantu staf membuat pelaporan secara jujur mengenai kejadian
yang terjadi dan menjadikan insiden sebagai pelajaran dalam upaya meningkatkan
3. Budaya pelaporan (reporting culture)
Budaya dimana staf siap untuk melaporkan insiden atau near miss, sehingga dapat dinilai
jenis error dan dapat diketahui kesalahan yang biasa dilakukan oleh staf serta dapat diambil
tindakan sebagai bahan pembelajaran organisasi. Organisasi belajar dari pengalaman
sebelumnya dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi faktor risiko terjadinya
insiden sehingga dapat mengurangi atau mencegah insiden yang akan terjadi.
4. Budaya belajar (learning culture)
Setiap lini dari organisasi baik sharp end (yang bersentuhan langsung dengan pelayanan)
maupun blunt end (manajemen) menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar.
Organisasi berkomitmen untuk mempelajari insiden yang telah terjadi, mengkomunikasikan
kepada staf dan senantiasa mengingatkan staf.
5. Budaya informasi (informed culture)
Organisasi mampu belajar dari pengalaman masa lalu sehingga memiliki kemampuan
untuk mengidentifikasi dan menghindari insiden yang akan terjadi karena telah belajar dan
terinformasi dengan jelas dari insiden yang sudah pernah terjadi, misalnya dari pelaporan
kejadian dan investigasi.

Konsep tentang pelaksanaan budaya keselamatan di sebuah rumah sakit membutuhkan


sebuah kerangka pikir yang komprehensif terhadap elemen – elemen yang terlibat di dalamnya.
Sammer ( 2010 ) melalui reviewnya menjelaskan bahwa terdapat tujuh subkultur yang terlibat
dalam ruang lingkup budaya keselamatan pasien. Kerangka tersebut terlihat dalam gambar 1 yaitu :
1. Kepemimpinan , dimana pemimpin mengakui lingkungan kesehatan adalah lingkungan
berisiko tinggi dan berusaha untuk menyelaraskan visi / misi, kompetensi staf , dan sumber
daya fiskal dan manusia
2. Kerja sama tim , yaitu semangat kolegialitas, kolaborasi dan kerjasama ada di antara
eksekutif, staf dan praktisi independen dengan hubungan yang berdasar keterbukaan , rasa
aman , hormat dan fleksibel
3. Evidence based memberikan kepastian bahwa pemberian layanan pada pasien berdasar pada
bukti ilmiah. Standarisasi yang dilakukan akan mengurangi variasi sehingga reliabilitas
tinggi dapat dicapai
4. Komunikasi , yaitu sebuah penjaminan bahwa seluruh staf mempunyai hak dan kewajiban
untuk berbicara tentang segala sesuatu tentang kepentingan pasien
5. Pembelajaran terhadap kesalahan yang dilakukan dengan dilanjutkan dengan mencari
peluang perbaikan. Hal ini berlaku bagi seluruh staf termasuk diantaranya adalah staf medik
6. Keadilan yaitu setiap kesalahan diartikan sebagai kesalahan sistem dan bukan pada
kesalahan indivisu
7. Pelayanan berpusat pada pasien memberikan kesempatan pada pasien bukan hanya aktif
dalam pengobatan dirinya namun juga berperan sebagai penghubung antara rumah sakit dan
masyarakat

2. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien


Telah diketahui dengan jelas bahwa pembentukan budaya keselamatan adalah elemen utama
dalam peningkatan mutu dan keselamatan pasien ( Weaver et al, 2013). Namun saat ini organisasi
pemberi layanan kesehatan masih mempunyai keterbatasan dalam pendekatan untuk memahami
apakah budaya keselamatan di unitnya telah berubah. Nieva dan Sorra ( 2003 ) menyebutkan bahwa
cara terbaik untuk mengetahui adanya transformasi budaya keselamatan adalah dengan melakukan
penilaian sebelum dan sesudah dilakukan intervensi program keselamatan pasien. Adanya tren
dalam hasil survei budaya dari waktu ke waktu menentukan perubahan dalam budaya keselamatan .
Ini merupakan area yang penting sebagai fokus pada penilaian dan perbaikan di rumah sakit
(AHRQ, 2009).
AHRQ telah mengajukan program Team SSTEPS dengan tujuan perubahan budaya
keselamatan melalui penggunaan tim dan strategi dalam rencana aksi tiga fase (AHRQ, 2010). Pada
awal proses ini, fokus organisasi adalah untuk menilai budaya keselamatan menggunakan sebuah
metode survei yang dipilih dan diikuti dengan perencanaan dan tindakan lanjut . Pada tahap
pemeliharaan , penilaian budaya berikutnya dilakukan dengan menggunakan alat yang sama untuk
mengukur tingkat perubahan budaya keselamatan. Satu studi oleh Stead et al. (2009) yang
mengikuti program Team SSTEPS dan evaluasi menemukan peningkatan yang signifikan pada dua
dari 12 skor komposit pada termasuk pelaporan acara dan pembelajaran organisasi. AHRQ (2009)
menguraikan bahwa perubahan sebesar 5% baik positif atau negatif dalam survei pra dan pasca
survei menunjukkan adanya perubahan pada budaya keselamatan,
Beberapa alat ukur yang sering digunakan dalam penilaian budaya keselamatan pasien di
rumah sakit adalah :
1. Hospital Survey on Patient Safety Culture
Alat ukur berupa kuesioner ini dikembangkan oleh Agency for Healthcare Research and
Quality Care ( AHRQ). Kuesioner terdiri dari 12 dimensi budaya keselamatan dan 42 item.
Kekuatan dari alat ukur ini adalah:
1) Dapat menilai budaya organisasi
2) Dapat melihat perubahan budaya yang terjadi
3) Dapat untuk melakukan evaluasi pasca intervensi
4) Dapat menilai pada tingkat individu , unit dan organisasi
5) Dapat membandingkan dengan data negara lain
Di samping kekuatan, kelemahan yang ada pada alat ukur ini adalah penggunaannya terbatas
pada konteks rumah sakit dan adanya beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa tidak semua
item valid, reliabel dan dapat digeneralisir. Alat ukur ini digunakan pertama kali di United States
dan secara luas telah digunakan pada survei di berbagai negara. Terjemahan dalam berbagai bahasa
telah divalidasi termasuk di antaranya ke dalam bahasa Indonesia.

2. Manchester Patient Safety Culture Assesment Tool


Alat ini dikembangkan di Inggris oleh National Patient Safety Agency ( NPSA ) untuk
menilai kematangan budaya keselamatan di organisasi . Terdapat 10 dimensi penilaian meliputi
perbaikan berkesinambungna, prioritas pada keselamatan, kesalahan sistem dan tanggung jawab
individu, pelaporan insiden, evaluasi insiden, perubahan dari pembelajaran, komunikasi,
manajemen, pendidikan staf dan kerjasama tim. Kekuatan dari alat ukur ini adalah
1) Mampu menilai lima tingkat kematangan organisasi
2) Dapat digunakan pada tingkat organisasi atau tim
3) Dapat menunjukkan area prioritas untuk perbaikan
Beberapa item dalam kuesioner ini sulit untuk dinilai sehingga membutuhkan waktu lebih lama
untuk melengkapi. Dan meskipun telah digunakan di Inggris ,namun tidak banyak penelitian yang
melaporkan penggunaan dari kuesioner ini.

3. Safety Attittude Questionare (SAQ)


Alat ukur ini merupakan derivat dari Flight Attitude Management Questionare ( FAMQ)
yaitu metode yang dikembangkan untuk mengukur faktor manusai dalam budaya di kokpit
penerbangan komersial. Alat ini dapat digunakan pada semua unit di rumah sakit. Kelebihan yang
sangat menonjol dari kuesioner ini adalah cara pengisiannya yang cepat dan singkat. Selain itu
dapat digunakan sebagai alat evaluasi pasca intervensi. Saat ini SAQ baru digunakan di US.
Kelemahan dari alat ukur ini adalah ketidak mampuannya untuk merinci perbedaan yang terjadi di
antara staf klinis dan manajer.
Berikut adalah penjelasan mengenai dimensi-dimensi budaya keselamatan pasien dari AHRQ :
1) Keterbukaan komunikasi
Dengan adanya keterbukaan komunikasi diharapkan staf medis dapat berkomunikasi
dengan baik dan benar pada saat serah terima/pengoperan pasien yang meliputi keluhan
pasien, terapi yang sudah maupun akan diberikan serta insiden terkait keselamatan
pasien jika ada dan juga merasa bebas untuk bertanya kepada yang lebih berwenang.
Keterbukaan komunikasi juga harus dilakukan antara manajer dengan staf selain diantara
sesama staf untuk peningkatan keselamatan pasien
2) Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan
Diartikan sebagai sejauh mana staf diberitahu tentang kesalahan yang dilakukan,
menerima umpan balik masukan dari staf dan mendiskusikan upaya untuk mencegah
kesalahan tidak terulang kembali.
3) Respons non-punitive (tidak menghukum) terhadap kesalahan
Organisasi kesehatan harus mampu menciptakan lingkungan yang non punitive yang
tujuannya adalah supaya setiap elemen staf tidak takut untuk melaporkan kejadian.
Ketika sistem punishment dijalankan, maka staf akan enggan melaporkan insiden.
Kejadian yang tidak dilaporkan membuat organisasi tidak belajar dari kesalahan dan
kurang peduli terhadap pelayanan (Hamdani, 2007).
4) Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan
Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta
mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi (Kreitner, 2007). Diartikan sejauh
mana kesalahan akan membawa perubahan positif yang selalu dievaluasi efektifitasnya
sehingga menghasilkan perbaikan yang berkelanjutan.
5) Staffing
Salah satu prinsip yang direkomendasikan IOM dalam laporannya ”To Err is
Human” (2000) untuk implementasi patient safety di RS adalah mendesain pekerjaan
dengan memperhatikan faktor manusia. Ini berarti dalam penataannya harus
memperhitungkan jam kerja, beban kerja, rasio staffing dan juga sistem shift dengan
memperhatikan faktor kelelahan, siklus tidur, dan lain-lain. Mendesain pekerjaan untuk
safety juga termasuk melakukan training, memberi tugas pada orang yang tepat dan
memposisikan seseorang pada posisi yang tepat.
6) Harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan
Diartikan sejauh mana supervisor/manajer mempertimbangkan saran staf untuk
peningkatan keselamatan , tidak mengabaikan masalah keselamatan dan memberi
penghargaan pada staf yang menerapkan pelaksanaan keselamatan .
7) Kerjasama dalam unit
Diartikan sejauh mana staf saling mendukung satu sama lain dan bekerjasama
sebagai sebuah tim untuk pelaksanaan keselamatan pasien
8) Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
Diartikan sejauh mana manajemen RS menyediakan budaya kerja yang
mempromosikan keselamatan pasien dan berpedoman bahwa keselamatan pasien adalah
prioritas utama.
9) Serah terima dan transisi
Diartikan sejauh mana proses serah terima berjalan baik yang memuat penyampaian
informasi penting yang berkaitan dengan keselamatan pasien kepada staf lain.
10) Kerjasama antar unit
Diartikan sejauh mana setiap unit dalam RS saling bekerjasama dan berkoordinasi
antar unit dengan tujuan yang sama yaitu memberikan pelayanan yang terbaik bagi
pasien.
11) Frekuensi pelaporan kejadian
Diartikan sejauh mana kesalahan berikut dilaporkan . Kesalahan yang diketahui dan
dikoreksi sebelum mempengaruhi pasien.Kesalahan yang tidak berpotensi
membahayakan pasien. Kesalahan yang dapat merugikan pasien tetapi tidak terjadi
12) Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien
Diartikan persepsi dari seluruh staf berkaitan dengan KP termasuk pemahaman
tentang prosedur dan sistem yang baik untuk mencegah kesalahan.
BAB III
METODE PENELITIAN

1. Rancangan Penelitian
Penelitian deskriptif dilakukan dengan menggunakan rancang potong lintang (cross sectional)
untuk mencari gambaran budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit Rizani.

2. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai Rumah Sakit Rizani tanpa memandang status
kepegawaian yang terdiri Pegawai Tetap dan Pegawai Kontrak.

3. Kriteria Subyek Penelitian


Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pegawai tersebut telah bekerja selama ≥ 6 bulan di
RSST dan menandatangani surat persetujuan sebagai responden.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
1. Karyawan dengan jam kerja di RS ≤ 30 jam sesuai kebijakan , surat tugas maupun surat
keputusan Direktur yaitu : dokter tamu, pegawai yang menjalani pendidikan di luar RS,
pegawai yang sedang menjalani cuti panjang ( cuti sakit > 3 bulan, cuti melahirkan, cuti
besar )
2. Tidak ada satu sesi kuesioner yang diisi dengan dengan lengkap
3. Kuesioner terisi kurang dari separuh item penilaian
4. Kuesioner diisi dengan jawaban yang sama

4. Besar Sampel Penelitian


Sampel diperoleh dengan cara stratified random sampling yaitu pegawai di bagi berdasar
unit kerja setingkat instalasi. Kelompok lain di luar instalasi adalah kelompok struktural , komite
medis ( klinisi ), pegawai administrasi . Dengan menggunakan perbandingan proporsi jumlah
pegawai di masing – masing unit tersebut didapatkan jumlah sampel di unit kerja. Stratifikasi dan
randomisasi dilanjutkan di dalam unit kerja hingga diperoleh sampel yang mewakili masing –
masing profesi di dalam unit kerja . Bila terdapat pegawai yang mempunyai tugas rangkap di
beberapa unit, maka pegawai tersebut dikelompokkan ke dalam unit di mana pegawai tersebut
bekerja dengan proporsi waktu terbesar. Pembagian unit kerja terlihat di tabel 1. Estimasi besar
sampel penelitian ini menggunakan rumus untuk data deskriptif. Penentuan jumlah sampel untuk
setiap unit dihitung secara proporsional dengan menggunakan rumus :
n
s= XS
N

Keterangan :
S = Jumlah seluruh sampel yang didapat
s = jumlah sampel setiap unit secara proporsional
N = Jumlah populasi
n = jumlah masing-masing unit populasi

Tabel 1. Jumlah Staf di setiap unit


INSTALASI/ UNIT Jumlah Staf (n) s = (n/N) x S Jumlah Sampel
BIDANG PELAYANAN MEDIS
1 Instalasi Farmasi 14 1,72 2
2 Instalasi Laboratorium 6 0,74 1
3 Instalasi Radiologi 4 0,49 1
4 Instalasi Rehabilitasi Medik 1 0,12 1
BIDANG KEPERAWATAN
5 Instalasi Rawat Jalan 5 0,61 1
6 Instalasi Rawat Inap : 0,00
a) Ruang Arafah Mina 14 1,72 2
b) Ruang Multazam 10 1,23 2
c) Ruang King Abdul Aziz 9 1,11 1
d) Ruang VK 7 0,86 1
e) ruang PONEK 4 0,49 1
7 Instalasi Gawat Darurat 14 1,72 2
8 Instalasi Bedah Sentral 10 1,23 1
9 Instalasi Rawat Intensif 0,00
10 Instalasi HCU : 0,00
a) Ruang HCU Dewasa & IRI 5 0,61 1
b) Ruang HCU Anak 5 0,61 1
11 Unit Hemodialisis 5 0,61 1
BIDANG PENUNJANG
1 Instalasi Gizi 12 1,48 2
2 Instalasi Rekam Medis 7 0,86 1
3 Instalasi CSSD dan Laundry 5 0,61 1
4 Instalasi Ambulance 6 0,74 1
5 Instalasi Pemulasaran
Jenazah 0,00
6 Administrasi 8 0,98 1
MANAJEMEN
1 Bagian Keuangan 6 0,74 1
2 Sub. Bag. Casemix 4 0,49 1
3 Sub. Bag. Asuransi 2 0,25 1
INSTALASI/ UNIT Jumlah Staf (n) s = (n/N) x S Jumlah Sampel
4 Bagian Umum 5 0,61 1
5
Sub. Bag. SDM 2 0,25 1
6
Bagian Renbang 1 0,12 1
7
Sub. Bag. Humas &
Marketing 1 0,12 1
8 SIMRS 2 0,25 1
9 Komite PPI 1 0,12 1
12 mutu 1 0,12 1
13 Kasir 5 0,61 1
14 CS 24 2,95 3
15 IPS 3 0,37 1
16 Satpam 7 0,86 1
17 Dokter 29 3,57 4
Total (N) 244 45
Keterangan :
S = 30

5. Variabel , Cara Pengukuran Variabel dan Definisi Operasional


Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner budaya keselamatan pasien dari Agency
for Healthcare Research and Quality ( AHRQ) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
dan disetujui penggunaannya oleh PERSI. Kuesioner yang terdiri dari 50 pertanyaan , yang
mencakup 29 pertanyaan untuk dimensi tingkat unit, 11 pertanyaan untuk dimensi rumah sakit, 4
pertanyaan untuk dimensi output, dan 6 pertanyaan untuk variabel latar belakang responden.
Kuesioner ini menggunakan skala Likert untuk 5 pilihan jawaban mulai dari “sangat tidak setuju”,
sampai “ sangat setuju” atau mulai “tidak pernah” sampai “selalu”. Hasil skala Likert dalam
kuesioner dibagi atas pernyataan positif ( “setuju” dan “sangat setuju” atau “ selalu” dan “sering” )
serta pernyataan negatif (“sangat tidak setuju” dan “tidak setuju” atau “ tidak pernah” dan
“jarang” ). Dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu untuk kuesioner yang akan
digunakan. Definisi operasional masing – masing variabel dari item penilaian kuesioner terdapat
pada tabel 2.
Tabel 2. Definisi operasional dimensi Budaya Keselamatan Pasien (diadaptasi dari AHRQ Publication, 2007)
No Variabel : Pernyataan Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Keterbukaan Komunikasi Staf bebas berbicara bila melihat Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
sesuatu yang dapat berdampak 75%
negative pada pasien, dan merasa  Sedang : jika persepsi positif
bebas bertanya kepada mereka yang antara >50% dan <75%
memiliki otoritas lebih tinggi  Kurang :jika persepsi positif
<50 %
2 Umpan balik dan komunikasi Staf diinformasikan tentang Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
tentang insidens keselamatan kesalahan yang terjadi, diberikan 75%
pasien umpan balik tentang implementasi  Sedang : jika persepsi positif
perubahan, dan mendiskusikan cara antara >50% dan <75%
untuk mencegah kesalahan.  Kurang :jika persepsi positif
<50 %
3 Dukungan manajemen terhadap Manajemen RS menyediakan iklim Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
keselamatan pasien kerja yang mempromosikan AHRQ 75%
keselamatan pasien dan  Sedang : jika persepsi positif
menunjukkan bahwa keselamatan antara >50% dan <75%
pasien adalah prioritas utama.  Kurang :jika persepsi positif
<50 %
4 Respons non – punitive terhadap Staf merasa bahwa kesalahan dan Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
kesalahan laporan kejadian tidak dipakai untuk AHRQ 75%
menyalahkan mereka dan tidak  Sedang : jika persepsi positif
dicatat dalam dokumen pribadi antara >50% dan <75%
mereka.  Kurang :jika persepsi positif
<50 %
5 Pembelajaran organisasi dan Terdapat budaya belajar di mana Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
perbaikan berkelanjutan kesalahan membawa perubahan AHRQ 75%
positif dan dilakukan evaluasi  Sedang : jika persepsi positif
terhadap efektivitas perubahan . antara >50% dan <75%
 Kurang :jika persepsi positif
<50 %
6 Staffing Terdapat staf dalam jumlah yang Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
cukup untuk menangani beban kerja AHRQ 75%
dan jumlah jam kerja yang sesuai  Sedang : jika persepsi positif
untuk menyediakan pelayanan antara >50% dan <75%
terbaik bagi pasien  Kurang :jika persepsi positif
<50 %
7 Harapan staf terhadap sikap dan Sikap positif atau negatif dari Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
tindakan supervisor/manajer supervisor/manajer terhadap upaya AHRQ 75%
dalam mendorong KP KP  Sedang : jika persepsi positif
antara >50% dan <75%
 Kurang :jika persepsi positif
<50 %
8 Kerjasama dalam unit Staf saling mendukung, saling Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
menghargai dan bekerja sebagai AHRQ 75%
sebuah tim  Sedang : jika persepsi positif
antara >50% dan <75%
 Kurang :jika persepsi positif
<50 %
9 Frekuensi pelaporan kejadian Tipe kesalahan yang dilaporkan : Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
1)kesalahan ditemukan dan dikoreksi AHRQ 75%
sebelum mempengaruhi pasien  Sedang : jika persepsi positif
2)kesalahan tanpa potensi antara >50% dan <75%
mencederai pasien 3)kesalahan yang  Kurang :jika persepsi positif
dapat mencederai pasien namun <50 %
tidak terjadi cedera
10 Persepsi keseluruhan tentang Persepsi staf terhadap prosedur dan Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
keselamatan system dalam mencegah terjadinya AHRQ 75%
kesalahan dan mengurangi masalah  Sedang : jika persepsi positif
KP antara >50% dan <75%
 Kurang :jika persepsi positif
<50 %
11 Serah terima dan transisi Informasi penting tentang asuhan Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
pasien disampaikan pada saat AHRQ 75%
transfer pasien antar satu unit ke unit  Sedang : jika persepsi positif
lain dan atau selama pergantian shift antara >50% dan <75%
 Kurang :jika persepsi positif
<50 %
12 Kerjasama antar unit Unit-unit di RS bekerjasama dan Kuesioner  Baik : jika persepsi positif Ordinal
berkoordinasi satu sama lain untuk AHRQ 75%
menghasilkan pelayanan yang  Sedang : jika persepsi positif
terbaik bagi pasien antara >50% dan <75%
 Kurang :jika persepsi positif
<50 %

Anda mungkin juga menyukai