Anda di halaman 1dari 37

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA

PADA KOMPLIKASI OBSTETRI

REFERAT

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh:
Yudo Siswo Utomo
PPDS OBSTETRI GINEKOLOGI

Pembimbing:

DR. Dr. H. Joserizal Serudji, SpOG(K)

BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FK. UNAND / RSUP Dr. M. DJAMIL
PADANG
2011
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... i


DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................ii
DAFTAR TABEL .........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II HEMOSTASIS NORMAL ............................................................................. 3
A. Hemostasis Primer .............................................................................. 3
B. Hemostasis Sekunder ......................................................................... 5
C. Proses Fibrinolisis ............................................................................... 7
D. Fungsi Hemostasis pada Kehamilan Normal ...................................... 8
BAB III KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA .................................... 12
A. Patogenesis ...................................................................................... 14
B. Gambaran Klinik ................................................................................ 15
1. Koagulasi Intravaskular Diseminata Akut .......................................... 16
2. Koagulasi Intravaskular Diseminata Kronik ....................................... 17
C. Gambaran Laboratorium ................................................................... 17
D. Diagnosis .......................................................................................... 18
BAB IV KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA PADA
KOMPLIKASI OBSTETRI ................................................................. 22
A. Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Solusio Plasenta ............. 23
B. Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Emboli Cairan Amnion ..... 24
C. Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Sindrom HELLP............... 24
D. Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Missed Abortion............... 25
BAB V MANAJEMEN KID PADA KEHAMILAN .................................................. 26
BAB VI KESIMPULAN.............................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 31

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sistem Koagulasi, Inhibitor, dan Fibrinolisis ................................... 6


Gambar 2. Aktivitas Trombin............................................................................ 7
Gambar 3. Proses Pembentukan D-Dimer ...................................................... 8
Gambar 4. Kondisi Klinik yang dapat Menyebabkan KID ............................... 14

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perubahan Hemostasis dalam Kehamilan ......................................... 9


Tabel 2. Sistem Skor untuk KID ..................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Koagulasi intravaskular diseminata (KID) merupakan kondisi patologis


terjadinya aktivasi koagulasi di dalam pembuluh darah secara luas dan terus
menerus yang mengakibatkan terbentuknya deposit fibrin dalam pembuluh
darah dan mikrovaskular. Proses tersebut menjadikan aliran darah terganggu
sehingga terjadi kerusakan pada banyak organ tubuh. Pada saat yang
bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor
pembekuan sehingga terjadi perdarahan. (Hambleton et al, 2002)
Secara fisiologis pembentukan sumbat hemostasis terlokalisir dan
pembentukan trombin terbatas pada pembuluh darah yang mengalami
kerusakan. Kondisi KID merupakan akibat kegagalan mekanisme pengaturan
dan inhibisi pembentukan trombin serta proses pembekuan darah, sehingga
manifestasi yang timbul pada KID merupakan akibat aktivitas yang berlebihan
dari trombin. (Liebman dan Weitz 2005; Marder et al, 2006)

Banyak penyakit yang dapat mencetuskan terjadinya sindroma ini


sehingga menimbulkan gejala klinis yang bervariasi tergantung penyakit
dasarnya. Oleh karena itu banyak istilah yang dipakai untuk sindroma ini,
yaitu koagulopati konsumtif, sindroma defibrinasi, sindroma hiperfibrinolisis,
dan sindroma trombohemoragik. (Miller dan Hanretty, 1997; Sukrisman, 2006) Namun
demikian, istilah koagulasi intravaskular diseminata dirasa lebih mewakili
sindroma tersebut karena kata koagulasi mencakup proses perdarahan dan
trombosis. (Ho et al, 2005)
Kehamilan secara normal menyebabkan peningkatan konsentrasi dari
faktor-faktor koagulasi, seperti faktor I (fibrinogen), VII, VIII, IX, dan X. Hal ini
dapat dilihat pada organ apendiks. Faktor koagulasi lainnya dan trombosit
tidak berubah secara drastis. Walaupun kadar plasminogen dapat dikatakan
meningkat, namun aktivitas plasmin antepartum secara normal menurun bila
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Pada saat yang sama,
terdapat peningkatan aktivasi dari trombosit, proses pembekuan, dan

1
mekanisme fibrinolisis. Secara khusus, terdapat peningkatan secara signifikan
dari fibrinopeptida A, tromboglobulin β, platelet faktor 4, dan produk degradasi
fibrinogen-fibrin. Gerbasi dkk (1990) menyimpulkan bahwa hal tersebut
merupakan mekanisme kompensasi dimana peningkatan koagulasi
intravaskular ditujukan untuk mempertahankan sirkulasi
uteroplasenta.(Cunningham et al, 2010)
Banyak kasus KID berhubungan dengan kehamilan. KID disebabkan
oleh preeklampsia/eklampsia, perdarahan post partum, sepsis, solusio
plasenta, missed septic abortion, ruptur uterus, emboli air ketuban, intra
uterine fetal death (IUFD), penyakit trofoblas, dan Sickle Cell Crisis. Namun,
penyebab obstetri terbanyak pada KID adalah solusio plasenta. (SOGC, 2001;

Cunningham et al, 2010)

Koagulasi Intravaskular Diseminata selalu berhubungan dengan


tinginya angka morbiditas dan mortalitas. Ahli obstetri kadang gagal mencari
penyebab klinis definitifnya ketika berusaha mengobati KID tersebut. Deteksi
dini penyebab KID penting untuk menatalaksana pasien sehingga dapat
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun bayinya. (Ounjai,

2007)

Untuk membahas hal tersebut, penulis tertarik untuk membahas


tentang penatalaksanaan KID, terutama yang berhubungan dengan
komplikasi obstetri.

2
BAB II
HEMOSTASIS NORMAL

Hemostasis adalah usaha tubuh agar tidak kehilangan darah terlalu


banyak bila terjadi luka pada pembuluh darah dan agar darah tetap cair serta
aliran darah berlangsung secara lancar. (Drews dan Weinberger, 2000; Tambunan, 2006)

Teori yang paling diterima mengenai koagulasi darah dipopulerkan oleh


Ratnoff dan Bennett (1973) dan dikenal dengan cascade theory. (Cunningham et al,

2010)

Mekanisme hemostasis normal terdiri atas 3 fase, yaitu hemostasis


primer, hemostasis sekunder dan proses fibrinolisis. Mekanisme hemostasis
tersebut berupa : konstriksi pembuluh darah lokal, pembentukan platelet plug,
pembentukan fibrin dan proses fibrinolisis. Proses vasokontriksi lokal dan
pembentukan platelet plug dinamakan hemostasis primer, sedangkan proses
koagulasi hingga terbentuknya fibrin stabil dinamakan hemostasis sekunder.
Proses fibrinolisis berusaha agar tidak terbentuk trombus berlebihan yang
dapat mengganggu aliran darah. (Drews dan Weinberger, 2000; Tambunan, 2006)

A. Hemostasis Primer
Pada hemostasis primer trombosit memegang peranan yang sangat
penting. Trombosit membentuk platelet plug pada tempat luka dan juga
menghasilkan tromboksan-A2 dan serotonin yang menyebabkan konstriksi
pembuluh darah lokal. (Miller A, 1997)

1. Konstriksi vaskular
Saat dinding pembuluh darah mengalami kerusakan, otot polos
dinding pembuluh darah secara cepat mengalami konstraksi. Proses ini
menyebabkan penurunan aliran darah pada pembuluh darah yang
mengalami kerusakan tersebut. Mekanisme konstraksi ini sebagai hasil
dari spasme miogenik lokal, faktor autakoid lokal dari jaringan trauma
dan platelet, dan adanya refleks saraf. Refleks saraf diinisiasi oleh

3
impuls saraf nyeri ataupun impuls sensoris lainnya yang berasal dari
pembuluh darah atau jaringan sekitar yang mengalami trauma.
Meskipun demikian, penyebab vasokonstriksi mungkin lebih
dikarenakan adanya kontraksi miogenik lokal dari pembuluh darah
yang diinisiasi oleh kerusakan langsung pada pembuluh darah.
Sedangkan untuk pembuluh darah kapiler, platelet lebih bertanggung
jawab terhadap proses vasokonstriksi dengan melepaskan substansi
vasokonstriktor tromboksan A2. (Guyton dan Hall, 2006)
Semakin parah kerusakan pada pembuluh darah, maka akan
semakin besar pula derajat spasme pembuluh darah. Spasme tersebut
dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa jam,
memberikan waktu untuk terjadinya proses pembentukan platelet plug,
sampai proses koagulasi darah mengambil alih. (Guyton dan Hall, 2006)

2. Pembentukan platelet plug


Trombosit berasal dari fragmentasi sitoplasma-megakariosit di
sumsum tulang. Tiap megakariosit menghasilkan kurang lebih 4000
trombosit. Jumlah trombosit di darah tepi 150.000 – 400.000 mm3. (Miller

A, 1997) Umur trombosit di darah tepi berkisar antara 7 sampai 10 hari,


berbentuk cakram, diameternya 1-2 μm, sedangkan volumenya rata-
rata 5-8 fl. Dalam keadaan normal, sepertiga dari jumlah trombosit itu
ada di limpa. Jumlah trombosit di darah tepi selalu kurang lebih
konstan. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kontrol oleh bahan
humoral yang disebut trombopoetin. Bila jumlah trombosit menurun,
tubuh akan mengeluarkan trombopoetin lebih banyak yang
merangsang trombopoesis. Tempat pembuatan trombopoetin ini masih
belum diketahui jelas. (Suparman,1993; Drews dan Weinberger, 2000; Tambunan, 2001)
Kerusakan pada dinding pembuluh darah akan menyebabkan
penempelan platelet pada permukaan pembuluh darah yang rusak
tersebut. Platelet tersebut kemudian akan menarik platelet-platelet lain
untuk ikut menempel, sehingga membentuk platelet plug. Formasi ini
pada awalnya merupakan ikatan yang mudah lepas (loose plug),
namun cukup efektif untuk mencegah kehilangan darah apabila
4
kerusakan dinding pembuluh darah berukuran kecil. Kemudian, dengan
adanya proses hemostasis selanjutnya, terbentuklah anyaman fibrin.
Anyaman ini akan mengikat kuat platelet plug pada dinding. (Guyton dan

Hall, 2006)

B. Hemostasis Sekunder
Proses koagulasi segera terjadi setelah reaksi adhesi dan agregasi
trombosit. Pada luka pembuluh darah yang sangat kecil tidak diperlukan
hemostasis sekunder. Proses koagulasi ini pada dasarnya dibagi atas 3
jalur: (Drews dan Weinberger, 2000; Tambunan,2001)
1. Jalur intrinsik: jalur ini dimulai dengan aktivasi faktor XII sampai
terbentuknya faktor X. Pada jalur ini proses koagulasi dimulai pada
terjadinya kontak antara faktor XII dengan jaringan kolagen atau
komponen subendotelial yang lain. Selanjutnya faktor XII aktif akan
mengubah faktor XI aktif menjadi faktor XI aktif. Kemudian faktor XI
aktif akan mengubah faktor IX menjadi faktor IX aktif. Akhirnya faktor IX
aktif bersama faktor VIIIc, faktor-3-trombosit (PF3), dan kalsium serum
mengubah faktor X menjadi faktor X aktif.
2. Jalur ekstrinsik: jalur ini dimulai dari aktivasi faktor VII sampai
terbentuknya fakktor X aktif. Jalur ini dimulai dengan tromboplastin
jaringan (suatu lipoprotein yang berasal dari sel yang rusak) akan
mengubah faktor VII menjadi faktor VII aktif. Faktor VII aktif ini secara
langsung dapat mengubah faktor X menjadi faktor X aktif.
3. Jalur bersama (common pathway): jalur ini mulai dari aktivasi faktor X
sampai terbentuknya fibrin yang stabil. Pada jalur ini faktor X aktif
bersama dengan PF3, faktor V dan kalsium serum akan mengubah
protrombin menjadi trombin. Selanjutnya trombin akan mengubah
fibrinogen menjadai fibrin dan fibrin ini diubah oleh faktor XIII menjadi
fibrin yang stabil dengan demikian terbentuklah gumpalan darah yang
stabil.

Perlu diketahui pula bahwa jalur intrinsik dan ekstrinsik itu saling
menunjang. Defisiensi salah satu faktor pada jalur intrinsik atau jalur

5
ekstrinsik mengakibatkan terjadinya diatesis hemoragik. (Levi dan Cate, 1999)

Terhadap hemostasis sekunder ini ada suatu mekanisme kontrol khusus.


Walaupun hemostasis sekunder ini diperlukan untuk menghentikan
perdarahan namun proses koagulasi yang berlebihan akan mengakibatkan
terbentuknya trombosis yang kelebihan pula yang menggangu lancarnya
aliran darah. Untuk menghindari terjadinya trombosis patologis ini, tubuh
mempunyai mekanisme kontrol terhadap proses koagulasi ini. (Drews dan

Weinberger, 2000)

Ada dua mekanisme yang telah dikenal pada saat ini yaitu: (Lee dan Richard,

1993; Tambunan, 2001)

1. Adanya inhibitor terhadap faktor-faktor pembekuan yang aktif itu. Salah


satu inhibitor terhadap faktor pembekuan aktif yang poten adalah
antitrombin-III. Antirombin-III ini menghambat faktor-faktor aktif seperti
trombin, faktor Xa, faktor VIIa, faktor IXa, faktor XIa dan faktor XIIa.
Dengan demikian koagulasi yang berlebihan dapat dihambat dan
trombosis berlebihan juga dapat dihambat.
2. Adanya clearance dari faktor-faktor aktif oleh sel-sel hati dan retikulo
endotelial. Dengan berkurangnya faktor-faktor aktif ini koagulasi yang
berlebihan juga dapat dihambat.

Gambar 1. Sistem Koagulasi, Inhibitor, dan Fibrinolisis


(Sumber : Sukrisman, 2006)

6
C. Proses Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah proses pelarutan fibrin secara enzimatik oleh
suatu zat yang dinamakan plasmin. Bagan proses ini dapat dilihat pada
gambar (1). (Suharti, 2006; Sukrisman, 2006)
Trombin berperan memecah fibrinogen menjadi fibrinopeptida A
dan B, serta menghasilkan fibrin monomer yang selanjutnya mengalami
polimerisasi membentuk fibrin polimer. Trombin dengan ion kalsium
selanjutnya mengaktifkan faktor XIII menjadi XIII aktif yang mengubah
fibrin polimer menjadi fibrin cross-linked. (Romero, 1983; Setiabudy dan Loho, 2007)

Gambar 2. Aktivitas Trombin


(Sumber: Guyton dan Hall, 2006)

Plasminogen disintesis oleh sel-sel hati. Salah satu aktivator


palsminogen dikeluarkan pula oleh sel-sel endotel yang rusak. Aktivator
tersebut mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin merupakan
enzim proteolitik yang dapat memecahkan fibrinogen/fibrin menjadi
fibrinogen/fibrin degradation product (FDP). Plasmin memecahkan
fibrinogen menjadi fragmen X dan selanjutnya menjadi fragmen Y dan
fragmen D. Fragmen Y dipecah lagi menjadi fragmen D dan E. Kerja
plasmin terhadap fibrin adalah pada fibrin yang mengalami cross-link
sehingga menghasikan D-dimer. (Setiabudy dan Loho, 2007) Plasmin inilah yang
menghidrolisis fibrinogen dan fibrin menjadi fibrin degradation product
(FDP). FDP sendiri mempunyai sifat antikoagulan dan dengan demikian
7
juga dapat menghambat proses koagulasi yang berlebihan. (Foley dan Strong,

1997) Kelebihan plasmin dapat dinetralisasi oleh antiplasmin yaitu suatu


glikoprotein yang tempat sintesisnya masih belum diketahui dengan jelas.
Dengan dilarutkannya fibrin ini maka hambatan aliran darah dapat
dicegah. (Levi dan Cate, 1999)

Gambar 3. Proses Pembentukan D-Dimer


(Sumber: Dowall, 2006)

D. Fungsi Hemostasis pada Kehamilan Normal


Selama kehamilan, baik proses koagulasi maupun fibrinolisis, terjadi
peningkatan namun keduanya masih seimbang. Hal ini ditujukan untuk
tetap menjaga hemostasis. Kedua proses tersebut akan lebih meningkat
pada kehamilan multifetus. Terjadinya aktivasi faktor-faktor koagulasi
tersebut termasuk peningkatan konsentrasi dari semua faktor pembekuan,
kecuali faktor XI dan XIII, dan peningkatan kadar kompleks high-
molecular-weight fibrinogen. Waktu pembekuan darah tidak berbeda
secara signifikan pada wanita yang hamil. Fibrinogen plasma (faktor I)
pada wanita yang tidak hamil kadarnya sekitar 300 mg/dL dan nilai rujukan
normalnya 200 – 400 mg/dL. Selama kehamilan, kadar fibrinogen
8
meningkat hingga 50% pada akhir kehamilan, dengan nilai rujukan
normalnya 300 – 600 mg/dL. Persentase high-molecular-weight fibrinogen
tidak berubah. Hal-hal tersebut berperan besar terhadap peningkatan
erythrocyte sedimentation rate. Perubahan karena kehamilan ini bisa
didapatkan juga pada pemberian tablet kontrasepsi estrogen plus
progestin pada wanita yang tidak hamil. (Cunningham et al, 2010)

Tabel 1. Perubahan Hemostasis dalam Kehamilan

(Sumber: Cunningham et al, 2010)

Hasil akhir dari kaskade koagulasi adalah pembentukan formasi


fibrin, dan fungsi utama dari sistem fibrinolitik adalah untuk membuang
kelebihan fibrin. Tissue plasminogen activator (tPA) mengubah
plasminogen menjadi plasmin, menyebabkan proses fibrinolisis berjalan
dan menghasilkan fibrin degradation product (FDP) seperti D-dimer.
Penelitian mengenai sistem fibrinolisis pada kehamilan menghasilkan
kesimpulan yang saling bertentangan. Walaupun demikian, sebagian
besar menyimpulkan bahwa aktivitas fibrinolisis menurun pada saat
kehamilan. Sebagai contoh, aktivitas tPA secara bertahap menurun
selama kehamilan. Terlebih lagi, plasminogen activator inhibitor type 1
(PAI-1) dan type 2 (PAI-2), yang menghambat tPA dan mengatur
degradasi fibrin melalui plasmin, kadarnya meningkat selama kehamilan.
Holmes dan Wallace (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan
9
perubahan tersebut, dimana terlihat bahwa sistem fibrinolisis terganggu,
diimbangi oleh peningkatan kadar plasminogen dan penurunan kadar

inhibitor plasmin lainnya, α2 antiplasmin. Perubahan-perubahan ini

menjaga keseimbangan hemostatik selama kehamilan. (Cunningham et al, 2010)


Jumlah trombosit selama kehamilan juga mengalami perubahan.
Dalam penelitian terhadap 7000 wanita sehat yang hamil aterm, Boehlen
bersama rekannya (2000) menemukan bahwa rata-rata jumlah trombosit
sedikit menurun selama kehamilan menjadi 213.000 /mm 3 dibandingkan
dengan 250.000 /mm3 pada wanita yang tidak hamil. Mereka
mendefinisikan kondisi trombositopenia apabila jumlahnya di bawah 2.5
persentil, yaitu kurang dari 116.000 /mm3. Penurunan konsentrasi
trombosit ini sebagian dikarenakan oleh hemodilusi. Namun
bagaimanapun juga, penurunan ini juga dikarenakan peningkatan
konsumsi trombosit, sehingga lebih banyak terdapat trombosit muda yang
berukuran lebih besar. Penelitian yang mendukung konsep ini
dikemukakan oleh Hayashi bersama rekan (2002) dimana mereka
menemukan saat awal pertengahan usia kehamilan, produksi tromboksan
A2, yang memicu adanya agregasi trombosit, meningkat secara
progresif.(Cunningham et al, 2010)
Koagulasi memiliki beberapa inhibitor alami, yaitu protein C, S, dan
Z, serta antitrombin. Kekurangan protein regulator alami tersebut baik
secara herediter maupun didapat, seringkali menyebabkan tromboemboli
saat kehamilan. (Cunningham et al, 2010)
Protein C teraktivasi, bersama dengan kofaktor protein S dan faktor
V, berfungsi sebagai antikoagulan dengan cara menetralisasi faktor
prokoagulan Va dan faktor VIIIa. Pada saat bersamaan, resistensi
terhadap protein C teraktivasi meningkat secara progresif dan
berhubungan dengan penurunan protein S bebas dan peningkatan faktor
VIII. Antara trimester pertama dan ketiga, kadar protein C teraktivasi
menurun dari 2.4 menjadi 1.9 U/ml, dan protein S bebas menurun dari 0.4
menjadi 0.16 U/ml. Kontrasepsi oral juga menurunkan kadar protein S
bebas. Protein Z adalah glikoprotein-tergantung-vitamin K (vitamin-K

10
dependent glycoprotein) yang menghambat aktivasi faktor X. Quack
Loetscher beserta rekan (2005) melaporkan peningkatan protein tersebut
sebanyak 20% selama kehamilan. Kadar antitrombin relatif konstan
selama kehamilan dan awal nifas. (Cunningham et al, 2010)

11
BAB III
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA

Koagulasi intravaskular diseminata (KID) merupakan kondisi patologis


terjadinya aktivasi koagulasi di dalam pembuluh darah secara luas dan terus
menerus yang mengakibatkan terbentuknya deposit fibrin dalam pembuluh
darah dan mikrovaskular. Proses tersebut menjadikan aliran darah terganggu
sehingga terjadi kerusakan pada banyak organ tubuh. Pada saat yang
bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor
pembekuan sehingga terjadi perdarahan. (Hambleton et al, 2002)
Pada KID terdapat koagulasi yang berlebihan dan melampaui batas
oleh karena lepasnya tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Hal ini
menyebabkan konsumsi faktor koagulasi berlebihan, menurunkan kadar
faktor pembekuan, sehingga terjadi kecenderungan untuk berdarah. Sebagai
respon terhadap koagulasi yang luas dan penumpukan fibrin pada
mikrovaskular, proses fibrinolisis menjadi teraktivasi. Ini meliputi perubahan
plasminogen menjadi plasmin, yang memecah fibrin menjadi fibrin
degradation products (FDP). FDP mempunyai sifat antikoagulan,
menghambat fungsi trombosit dan kerja trombin, sehingga memperburuk
kelainan koagulasi. (SOGC, 2001) KID ditandai dengan proses aktivasi dari sistem
koagulasi yang menyeluruh yang menyebabkan pembentukan fibrin di dalam
pembuluh darah sehingga terjadi oklusi trombotik di dalam pembuluh darah
berukuran sedang dan kecil. Proses tersebut menjadikan aliran darah
terganggu sehingga terjadi kerusakan pada banyak organ tubuh. Pada saat
yang bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor
pembekuan sehingga terjadi perdarahan. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Banyak penyakit yang dapat mencetuskan terjadinya sindroma ini
sehingga menimbulkan gejala klinis yang bervariasi tergantung penyakit
dasarnya. Oleh karena itu banyak istilah yang dipakai untuk sindroma ini,
yaitu koagulopati konsumtif, sindroma defibrinasi, sindroma hiperfibrinolisis,
dan sindroma trombohemoragik. (Miller dan Hanretty, 1997; Sukrisman, 2006) Namun

12
demikian, istilah koagulasi intravaskular diseminata dirasa lebih mewakili
sindroma tersebut karena kata koagulasi mencakup proses perdarahan dan
trombosis. (Ho et al, 2005)
KID merupakan keadaan yang termasuk dalam kategori kedaruratan
medik, sehingga memerlukan tindakan medis dan penanganan segera.
Tindakan dan penanganan yang diberikan tergantung dari patofisiologi
penyakit yang mendasarinya, apakah terjadi secara akut atau memang sudah
ada penyakit yang sudah lama diderita. Namun yang utama dalam
memberikan penanganan tersebut adalah mengetahui proses patologi KID itu
sendiri, sepeti telah disebutkan sebelumnya, yakni terjadinya proses
trombosis mikrovaskular dan kemungkinan terjadi perdarahan (diatesa
hemoragik) secara bersamaan. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Tanda-tanda yang dapat dilihat pada penderita KID yang disertai
dengan perdarahan misalnya: petekie, ekimosis, hematuria, melena,
epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi, penurunan kesadaran hingga terjadi
koma yang disebabkan oleh perdarahan otak. Sementara tanda-tanda yang
dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan aliran darah
yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada
kegagalan fungsi organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut,
iskemia fokal, gangren pada kulit. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Berikut ini adalah kondisi klinik yang dapat menyebabkan terjadinya
KID: (Guidelines DIC, 2009; Kusuma dan Schulz, 2009)
1. Sepsis
2. Trauma : Cedera jaringan berat, cedera kepala, emboli lemak
3. Kanker : Myeloproliferative disorder, tumor padat
4. Komplikasi Obstetrik : Emboli cairan amnion, abruptio placentae,
preeclampsia/eklampsia, abortus
5. Kelainan pembuluh darah : Giant hemangioma, aneurisma aorta
6. Reaksi terhadap toksin
7. Gagal hepar berat
8. Kelainan Imunologik : Reaksi alergi yang berat, reaksi hemolitik pada
transfuse, rejeksi pada transplant, gigitan ular

13
MASSIVE TRAUMA
BURNS

GIANT ABRUTIO
HEMANGIOMAS PLACENTAE

INTRAUTERINE
TISSUE FETAL DEATH
INJURY
PROMYELOCYTIC
LEULEMIA
MASSIVE
ENDOTHELIAL
CELL INJURY Platelet
OR Adhesion &
ACTIVATION aggregation AMNIOTIC FLUID
Tissue EMBOLISM
Contact Factor
activation
XII
Platelet
ENDOTOXIN XI Factor 3
S
IX

VIII
X NEOPLASMS

SNAKE VENOMS Prothrombin

Fibrinogen

Fibrin

Gambar 4. Kondisi Klinik yang dapat Menyebabkan KID


(Sumber: Lee dan Richard, 1993)

A. Patogenesis
Pada pasien dengan KID, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin
yang diaktivasi oleh faktor jaringan. Faktor jaringan, berupa sel
mononuklear dan sel endotel yang teraktivasi, mengaktivasi faktor VII.
Kompleks antara faktor jaringan dan faktor VII yang teraktivasi tersebut
14
akan mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan cara mengaktivasi faktor IX dan VIII. Faktor X yang teraktivasi
bersama dengan faktor V akan mengubah protrombin menjadi trombin. Di
saat yang bersamaan terjadi konsumsi faktor antikoagulan seperti
antitrombin III, protein C dan jalur penghambat-faktor jaringan,
mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Patogenesis terjadinya KID meliputi peningkatan pembentukan
trombin, penurunan mekanisme fisiologis antikoagulan, dan terhambatnya
proses fibrinolisis. Antikoagulan fisiologis meliputi antitrombin III, protein C
dan TFPI (tissue factor pathway inhibitor). Pada KID kadar antitrombin III,
yang merupakan inhibitor trombin utama menurun sebagai respon
terhadap proses koagulasi yang sedang berlangsung, degradasi oleh
elastase yang dikeluarkan oleh neutrofil aktif, dan gangguan sintesis
antitrombin III. (Foley dan Strong, 1997)
Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan
penghancuran fibrin yang adekuat, karena sistem fibrinolisis endogen
(plasmin) tertekan oleh penghambat-aktivasi plasminogen tipe 1 yang
kadarnya tinggi di dalam plasma menghambat pembentukan plasmin dari
plasminogen. Kombinasi antara meningkatnya pembentukan fibrin dan
tidak adekuatnya penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis
intravaskular yang menyeluruh. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Penurunan fungsi sistem protein C disebabkan oleh penurunan
aktifitas trombomodulin, penurunan kadar fraksi bebas protein S (kofaktor
esensial protein C), disamping penurunan sintesis. Penurunan aktivitas
fibrinolitik diperantarai oleh peningkatan inhibitor aktivator plasminogen
tipe 1, penghambat utama sistem fibrinolitik, dan penelitian klinik
menunjukkan meskipun terdapat aktivitas fibrinolitik, pada KID aktivitasnya
terlalu lemah dibandingkan aktivitas pembentukan fibrin. (Levi dan Cate,1999)

B. Gambaran Klinik
Manifestasi klinik yang terjadi berupa kelainan akibat KID, penyakit
dasar, atau keduanya. Pasien datang dengan gejala dan simptom akibat
sekunder kerusakan organ yaitu trombosis mikrovaskular atau sebagai

15
tendensi perdarahan. Pola yang sering dari KID sesuai dengan
karakteristik penyakit sistemik yang mendasari. Sebagai contoh, pasien
dengan keganasan terjadi peningkatan risiko tromboemboli dan KID
kronik derajat rendah. Sebaliknya pada pasien sepsis atau pada wanita
dengan solusio plasenta atau emboli cairan amnion lebih menunjukkan
gejala akut, KID berat dan diatesis perdarahan. Evaluasi pasien dengan
kedua manifestasi trombosis atau perdarahan adalah sangat penting.
(Hilman et al, 2005; Kusuma dan Schulzt, 2009) Manifestasi klinik tergantung kepada
proses proteolitik yang dominan (koagulasi atau fibrinolisis). Faktor penting
yang menentukan gejala klinik, termasuk besar dan lamanya cetusan
rangsangan, kemampuan fungsi retikuloendotelial terutama hati
memproduksi faktor koagulasi, perubahan aktivitas faktor-faktor koagulasi,
fibrinogen/fibrin, kompleks imun, kemampuan sumsum tulang
memproduksi trombosit. (Lazarchick, 2002)

1. Koagulasi Intravaskular Diseminata Akut


Perdarahan merupakan manifestasi klinik yang hampir selalu
terjadi. Secara umum ekimosis, petekie, dan perdarahan dari tempat
punksi vena yang sebelumnya intak atau sekitar jarum intravena, atau
kateter pasien. Perdarahan pada gingiva, epistaksis, perdarahan
gastrointestinal, perdarahan paru, dan hematuria dapat terjadi. Jika
pasien sedang menjalani operasi terjadi perdarahan pada luka sayatan
operasi. (Labelle dan Kitchens, 2005; Nash et al, 2005)
Oklusi trombosis terjadi sebagai akibat mikrotrombi dari fibrin
dan trombosit yang menyumbat mikrosikulasi dari organ. Trombi
terbentuk pada sirkulasi atau in situ pada arteriol, kapiler dan venula.
Obstruksi sirkulasi mengakibatkan hipoperfusi ke organ dan
menimbulkan iskemik, infark, dan nekrosis organ. Prosesnya terjadi
menyeluruh sepanjang mikrosirkulasi sehingga semua organ
berpotensi untuk terkena. (Hambleton et al, 2002)
Disfungsi ginjal pada pasien KID penyebabnya sering
multifaktorial, biasanya dihubungkan dengan komplikasi KID dan

16
hipovolemia yang mengakibatkan azotemia pre renal. Kejadian gagal
ginjal yang terjadi adalah berupa nekrosis tubular akut. (Nash et al, 2005)
Disfungsi serebral terjadi lebih sering sebagai manifestasi
perubahan nonspesifik seperti gangguan kesadaran, kejang, koma,
daripada lesi fokal. Lesi patologik mempengaruhi fungsi serebral,
termasuk oklusi pembuluh darah besar, perdarahan subarakhnoid,
perdarahan korteks multipel, dan batang otak mengikuti oklusi
mikrovaskular. (Marder et al, 2006)

2. Koagulasi Intravaskular Diseminata Kronik


Koagulasi intravaskular diseminata kronik dikenal juga sebagai
KID kompensata, akibat aktivitas stimulus yang lemah persisten dan
intermiten. Pada KID kronis gejala yang muncul ringan. Hal ini terjadi
karena mekanisme kompensasi tubuh mampu mengatasi peningkatan
pemakaian faktor koagulasi dan trombosis. Pada kondisi ini kelainan
laboratorium sudah mulai ditemukan. (Setiabudy, 2007; Somashekhar, 2008)
Pada ekstremitas terjadi ekimosis superfisial tapi luas, sering
tanpa ptekie, dapat berkembang secara intermiten atau persisten.
Episode yang berulang dari epistaksis atau menjadi perdarahan
mukosa yang serius terjadi pada kelainan ini. Tromboplebitis dapat
terjadi pada lokasi yang tidak biasa seperti pada vena axilaris, dan
dapat terjadi berulang setelah penghentian terapi antikoagulan. (Rodgers,

2004)

Koagulasi intravaskular kronik terjadi pada retensi janin mati,


karsinomatosis, penyakit hati, aneurisma atau hemangioma, hematom
hepar, hematom subdural, dan post biopsi hematom renal. (Somashekhar,

2008)

C. Gambaran Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoriumnya Owen dkk (1973)
dan Cooper dkk (1974) membagi KID dalam tiga tipe, yaitu: (Lazarchick, 2002;

Setiabudy, 2007)

17
1. Dekompensata
Ditandai dengan keadaan deplesi yaitu turunnya jumlah trombosit,
faktor V, faktor VIII, dan meningginya FDP disertai tes protamin dan
etanol glasial yang positif.

2. Kompensata
Semua kriteria diatas terpenuhi, tetapi salah satu faktor pembekuan
yang seharusnya turun didapati normal. Hal ini terjadi akibat
kompensasi tubuh terhadap berkurangnya faktor tersebut. Nilai yang
tersering normal didapat pada fibrinogen, faktor VIII, atau trombosit.

3. Over kompensata
Pada keadaan ini terjadi reaksi kompensasi yang berlebihan terhadap
proses KID yang berlangsung, sehingga didapat paling sedikit satu
faktor berikut kadarnya meninggi yaitu fibrinogen, faktor V, faktor VIII,
atau trombosit.

D. Diagnosis
Diagnosis KID tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan satu tes
laboratorium, karena itu biasanya digunakan beberapa hasil pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan berdasarkan kondisi klinik pasien. Dalam
praktik klinik diagnosis KID dapat ditentukan atas dasar temuan sebagai
berikut: (Sukrisman, 2006)
1. Adanya penyakit yang mendasari terjadinya KID.
2. Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm³.
3. Pemanjangan waktu pembekuan (PT, APTT).
4. Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma (ditandai dengan
peningkatan D-dimer).
5. Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)

Rendahnya trombosit pada KID menandakan adanya aktivasi


trombin yang terinduksi dan penggunaan trombosit. Memanjangnya waktu
pembekuan menandakan menurunnya jumlah faktor pembekuan yang
18
tersedia seperti vitamin K. Pemeriksaan kadar penghambat pembekuan
(AT III atau protein C) berguna untuk memberikan informasi prognostik.
Pemeriksaan hasil degradasi fibrin seperti D-dimer, akan membantu untuk
membedakan KID dengan kondisi lain yang memiliki gejala serupa,
pemanjangan waktu pembekuan dan turunnya trombosit, seperti pada
penyakit hati kronik. (Sukrisman, 2006)
Pada KID berat semua hasil laboratorium untuk menilai fungsi
koagulasi dan fibrinolisis menjadi abnormal, sedangkan pada kasus yang
lebih ringan hasilnya bervariasi. Uji laboratorium untuk diagnosis KID
terdiri atas uji tapis dan uji penentu. Uji tapis meliputi hitung trombosit,
prothrombin time (PT), partial thromboplastin time, masa trombin,
fibrinogen, sedangkan uji penentu adalah pemeriksaan fibrin monomer
terlarut (soluble fibrin monomer), D-dimer, fibrin degradation product dan
anti trombin. Dalam pertemuan Scientific and Standardization Comittee
International Society on Thrombosis and Haemostasis ke-47, Juli 2001 di
Paris disusun sistem skor untuk KID. (Tambunan, 2006)

Tabel 2. Sistem Skor untuk KID

1. Penilaian resiko : Apakah terdapat kelainan dasar / etiologi yang


berkaitan dengan KID? (jika tidak, penilaian tidak dilanjutkan)

2. Uji koagulasi : hitung trombosit, protrombin time, fibrinogen, FDP / D-


dimer
Skor
Trombosit
> 100.000 / mm3 :0
50.000 – 100.000 / mm3 :1
< 50.000 /mm 3 :2

Peningkatan FDP
Tidak meningkat :0
500 – 1000 μg/L : meningkat sedang :2
> 1000 μg/L : meningkat kuat :3

Pemanjangan prothrombin time (PT)


< 3 detik :0
4 – 6 detik :1
> 6 detik :2

19
Fibrinogen
> 100 mg/dl :0
< 100 mg/dl :1

3. Jumlah skor ≥ 5 sesuai KID, skor diulang tiap hari


Jumlah skor < 5 sugestif KID, skor diulang dalam 1-2 hari

(Sumber: Tambunan, 2006)

Angka trombosit rendah, atau turun sangat rendah, hal ini


disebabkan kadar faktor VII dari sel endotelial sering meningkat. Partial
thromboplastin time bervariasi dan mungkin hanya memanjang pada
proses akhir, ketika faktor pembekuan turun sangat rendah. Prothrombin
time menjadi memanjang, oleh karena hampir semua faktor koagulasi
ekstrinsik turun (terutama II, V, VII, dan X). (Foley dan Strong, 1997) Thrombin
time biasanya memanjang. Kadar fibrinogen pada kondisi kehamilan
normal meningkat 400 – 650 mg/dl, pada KID kadarnya turun seperti pada
kadar normal orang tidak hamil. Pada KID berat kadar fibrinogen biasanya
kurang dari 150 mg/dl. Kadar FDP 80 ë/ml mendukung diagnosis KID,
kadar ini akan menetap tinggi selama 24 – 48 jam setelah KID terkontrol.
Sediaan apus darah akan menunjukkan bentuk abnormal, dan sel darah
merah yang pecah (Schistocytes), yang terbentuk akibat melalui lubang
fibrin pada kapiler yang tersumbat. (Sukrisman, 2006)
Kriteria minimal untuk diagnosis KID adalah didapatkan keadaan
atau gambaran klinik yang dapat menyebabkan KID dengan manifestasi
perdarahan, tromboemboli atau keduanya, disertai dengan pemeriksaan
laboratorium trombositopenia dan gambaran eritrosit sel Burr atau D-dimer
positif. Jika fasilitas laboratorium memungkinkan dapat digunakan kriteria
menurut Bick atau berdasarkan skor KID dari ISTH 2001. Kriteria
laboratorium KID menurut Konsensus Nasional Tatalaksana KID pada
Sepsis tahun 2001: (Sukrisman, 2006)
1. Hitung trombosit: trombositopeni pada 98% KID
2. PT: memanjang pada 50 – 70% KID
3. APTT: memanjang pada 50 – 60% KID
4. Masa trombin : memanjang

20
5. Fibrinogen
6. sFM (soluble fibrin monomer)
7. D-dimer: meningkat
8. FDP: meningkat
9. Antitrombin: menurun

Kriteria Laboratorium KID menurut Bick: (Sukrisman, 2006)


1. Aktivasi prokoagualan: PF1+2, TAT, D-dimer, fibrinopeptide
2. Aktivasi fibrinolitik: D-dimer, FDP, plasmin, PAP
3. Konsumsi inhibitor: AT III, TAT, PAP, Protein C & S
4. Kerusakan/kegagalan organ: LDH, kreatinin, pH, pO2

21
BAB IV
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA PADA
KOMPLIKASI OBSTETRI

Komplikasi obstetri dapat menimbulkan KID baik akut maupun kronik.


Beberapa komplikasi obstetri yang menyebabkan KID akut dapat terjadi pada
solusio plasenta, emboli cairan amnion, dan sindrom HELLP, sedangkan yang
kronik dapat terjadi pada retensi janin mati intrauterin. (Selighson dan Hoot, 2004)
Pada kasus obstetri KID selalu merupakan akibat adanya proses yang
lain. Aktifasi sistem koagulasi terjadi dengan cara: (Miller dan Hanretty, 1997)
1. Pelepasan sistem tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal dari plasenta
dan jaringan desidua. Mekanisme ini terjadi secara cepat pada kasus
solusio plasenta, emboli air ketuban, ruptur uteri, dan terjadi secara
perlahan dan membahayakan pada kasus IUFD dan missed abortion.
2. Kerusakan pada sel endotelial membuka kolagen utama ke dalam plasma
dan mengaktifkan faktor koagulasi. Eklampsia dan preeklampsia termasuk
dalam kategori ini.
3. Kerusakan pada sel darah merah dan trombosit melepaskan pospolipid.
Hal ini terjadi pada reaksi transfusi.

Kesalahan memperkirakan jumlah perdarahan pada persalinan dengan


cairan pengganti yang tidak adekuat dengan kristaloid atau koloid
menyebabkan terjadinya vasospasme, menyebabkan kerusakan endotel, dan
memicu terjadinya KID. Hipotensi menurunkan perfusi sehingga terjadi
hipoksia lokal dan asidosis pada tingkat jaringan memicu terjadinya KID. KID
bisa dihindari dengan mengganti cairan yang cukup, meskipun pada anemia
yang berat. (Foley dan Strong, 1997)
Gambaran klinis KID pada kehamilan seringkali gejala dan tanda
komplikasi obstetri yang mendasari terjadinya KID. Manifestasi perdarahan
yang muncul bisa berupa hematom, purpura, epistaksis, bekas injeksi yang

22
berdarah, atau yang lebih dramatis terjadinya perdarahan aktif dari luka
operasi dan perdarahan post partum. Perdarahan bisa berupa hematuria,
perdarahan gastrointestinal, intrakranial dan internal bleeding. (Miller dan Hanretty,

1997) Gejala sisa adanya trombosis jarang ada pada KID yang terjadi secara
akut, gejala lebih banyak ditutupi oleh kecenderungan terjadinya perdarahan.
Manifestasi adanya trombosis adalah disfungsi ginjal, hepar, dan paru. (Kusuma
dan Schulz, 2009)

A. Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Solusio Plasenta


Plasenta merupakan organ yang kaya dengan tromboplastin
/Tissue Factor (TF). (Liebman dan Weitz, 2004) Pada saat plasenta terlepas, terjadi
perdarahan retroplasenta. Hematom retroplasenta yang terbentuk
mengakibatkan pelepasan tromboplastin ke dalam pembuluh darah ibu,
yang dapat mengaktifkan faktor koagulasi. Jika aktivasi faktor koagulasi
terjadi berlebihan maka akan menimbulkan KID. Terjadinya KID pada
solusio plasenta adalah dengan masuknya tromboplastin yang terdapat
pada plasenta yang terlepas ke sirkulasi darah ibu mengaktifkan faktor VII
sehingga terjadi aktivasi koagulasi jalur ekstrinsik. (Selighson dan Hoot, 2004)
Selama terjadi proses koagulasi, trombin banyak terbentuk,
sehingga terjadi peningkatan perubahan fibrinogen menjadi fibrin oleh
trombin, akibatnya berkurang fibrinogen dalam sirkulasi dan terjadi kondisi
hipofibrinogenemia. Pada saat terbentuknya bekuan retroplasenta faktor
koagulasi banyak terpakai, sehingga juga menimbulkan kondisi
hipofibrinogenemia. (Cunningham et al, 2010)
Koagulopati kemungkinan lebih sering pada solusio yang
tersembunyi karena tekanan intrauterin lebih tinggi, sehingga lebih banyak
tromboplastin masuk ke sistem vena ibu. Pada kasus dengan janin masih
bertahan, defek koagulopati berat jarang terlihat. Suatu penelitian
menunjukkan jika terjadi perkembangan koagulopati yang berat, gambaran
solusio plasenta jelas terlihat. Dengan solusio plasenta berat akan
menyebabkan kematian janin, yang ditemukan peningkatan kadar FDP
dan D-dimer pada serum ibu. Kadar faktor koagulasi menurun karena
terpakai. (DeCherney et al, 2006)
23
B. Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Emboli Cairan Amnion
Emboli cairan amnion hampir selalu dihubungkan dengan KID.
Etiologi koagulopati dihubungkan dengan emboli cairan amnion belum
diketahui secara jelas. (DeCherney et al, 2006) Pada emboli cairan amnion
pencetus timbulnya KID kemungkinan adalah substansi yang ada pada
cairan amnion yang berefek sebagai tromboplastin. Cairan amnion saja
tidak berefek sebagai tromboplastin, tetapi substansi yang terdapat di
dalamnya seperti verniks kaseosa, lanugo, debris janin yang masuk ke
sirkulasi ibu berperan sebagai TF merangsang aktivasi faktor koagulasi
jalur ekstrinsik. Sejumlah besar partikel masuk ke sirkulasi secara
mendadak. Cairan amnion mengandung plasminogen proaktivator dengan
konsentrasi tinggi, tetapi kurang plasminogen aktivator inhibitor. Obstruksi
mekanik pembuluh darah paru oleh debris janin, mekonium, dan bahan
partikel lain pada cairan amnion meningkatkan pembentukan trombus
trombosit-fibrin lokal dan proses fibrinolisis. Diagnosis koagulopati
bermakna dengan adanya hipofibrinemia, waktu pembekuan memanjang,
peningkatan FDP, dan hemolisis mikroangiopati. (Selighson dan Hoots, 2004)

C. Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Sindrom HELLP


Kerusakan endotel pembuluh darah dan aktivasi trombosit,
hemolisis dan kerusakan hati merupakan gambaran patofisiologi dasar
dari sindrom HELLP, masing-masing menjadi predisposisi terjadi KID.
Patofisiologi sindrom HELLP menimbulkan KID adalah akibat kerusakan
endotel, yang mengaktifkan faktor koagulasi (melalui jalur intrinsik) dan
meningkatkan pemakaian trombosit. (Selighson dan Hoots, 2004)
Pada studi cohort retrospektif 38% kehamilan dengan sindrom
HELLP berkembang jadi KID dengan jumlah trombosit <100.000/mm 3,
fibrinogen serum menurun < 3 g/L, kadar FDP >40 µg/dl. Konsentrasi
antitrombin menurun karena disfungsi hepar sehingga sintesisnya
menurun, dan meningkatnya pemakaian akibat proses koagulasi yang
terus menerus. (Haram et al, 2009)

24
Koagulasi intravaskular diseminata bukanlah merupakan bentuk
lain dari sindrom HELLP, meskipun sama-sama menimbulkan anemia
hemolitik mikroangiopati, namun terdapat perbedaan yang bermakna
diantara keduanya. Pada sindrom HELLP ditemukan nilai normal
pemeriksaan Prothrombin Time (PT), Activated Partial Thromboplastin
Time (APTT), dan kadar fibrinogen, tetapi pada KID ditemukan PT dan
APTT memanjang dan fibrinogen menurun. Penilaian penanda yang lebih
sensitif pada KID adalah seperti plasminogen, fibrin monomer, D-dimer,
fibrinopeptida A, antitrombin III, alfa-2 antiplasmin, ditemukan nilai berbeda
antara KID dan sindrom HELLP. (Pokharel et al, 2008)

D. Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Missed Abortion


Mekanisme yang mencetuskan timbulnya KID pada sindrom ini
adalah pelepasan faktor jaringan (TF) dari janin mati yang memasuki
sirkulasi darah ibu yang semakin hari semakin meningkat. Prosesnya
berlangsung lambat dan kronik yang mengakibatkan penurunan faktor
koagulasi secara bertahap. Sindrom janin mati terjadi jika konsentrasi
fibrinogen turun di bawah normal pada kehamilan saat janin mati dalam
uterus. Sindrom ini berkembang lambat, terkompensasi atau dalam bentuk
KID derajat rendah. Insidensi meningkat dengan lamanya janin tertahan
dalam uterus selama lima minggu atau lebih. (Rodgers, 2004)
Koagulopati terjadi dengan pelepasan secara lambat faktor jaringan
dari unit fetoplasenta ke sirkulasi ibu. Aktivasi jalur ekstrinsik dari
koagulasi menimbulkan pembentukan trombin yang berlebihan sebagai
kondisi yang mendasari KID. Proses patologi ini diawali dengan derajat
rendah, kemudian berkembang lebih berat dan pembentukan trombin
terus menerus yang dapat mengubah KID kompensata menjadi kondisi
dekompensata. (Romero, 1983)
Kejadian KID berhubungan dengan lamanya kematian janin
tertahan pada kavum uteri. Penelitian Pritcard lebih dari 100 pasien yang
janinnya mati lebih dari satu minggu tidak ditemukan penurunan
fibrinogen <150 mg/dl. Dengan kematian lebih dari 5 minggu, sepertiga
dari pasien memiliki konsentrasi fibrinogen <150 mg/dl. (Romero,1983)
25
BAB V
MANAJEMEN KID PADA KEHAMILAN

Pada kehamilan KID berlangsung sangat cepat. Terapi harus


diutamakan. Proses dan perkembangan KID sangat dinamis sehingga hasil
laboratorium mungkin tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya. Namun
ini tidak berarti tidak harus mengikuti hasil laboratorium dan pertolongan dari
ahli hematologi bila memang tersedia. Bagaimanapun tanpa hasil hematologi
yang lengkap, harus punya rencana manajemen yang dapat mengatasi
masalah yang bisa menimbulkan komplikasi yang membahayakan. (Kusuma dan

Schulz, 2009)

Prinsip utama dalam penanganan KID adalah mengatasi penyakit


dasar (underlying disease) dari KID tersebut. Semakin cepat penyakit dasar
diatasi maka kemungkinan KID teratasi juga akan semakin besar. Apabila
infeksi merupakan penyakit dasar dari KID, pemberian antibiotik yang tepat
merupakan terapi utama. Pada kasus dimana masalah obstetri merupakan
kausa dari KID, manajemen yang utama adalah dengan jalan melahirkan
produk kehamilan, (Ho et al, 2005) kemudian dilanjutkan dengan menjaga perfusi
organ. (Foley dan Strong,1997)
Pada pasien yang direncanakan dilakukan terminasi secara seksio
sesarea pada kondisi trombositopeni berat terdapat beberapa saran. Jika
secara klinis terdapat tanda-tanda perdarahan nyata dilakukan insisi linea
mediana, namun jika tidak dapat dilakukan insisi pfanensteal, penggunaan
kauter boleh dilakukan lebih bebas, tutup uterus dengan 2 lapis, membiarkan
plika vesikouterina tetap terbuka, peritoneum ditutup untuk mencegah
perdarahan dari pembuluh darah yang kadang tidak terlihat dan memberikan
tempat untuk pemasangan drain, pemakaian skin staples, tutup luka dengan
balut tekan pada tempat insisi. Selain hal diatas Sibai menambahkan perlunya
dipilih anestesi secara general anestesi, pemberian trombosit 10 unit sebelum
operasi bila angka trombosit <50.000/µL, penutupan luka secara sekunder
atau pemasangan drain subkutan, transfusi diberikan sesuai kebutuhan dan

26
monitoring intensif dilakukan selama 48 jam sesudah persalinan. (Foley dan Strong,

1997)

Pada pasien dimana penyebab dan gejala KID adalah perdarahan,


perfusi organ merupakan hal yang sangat penting, infus cepat dengan ringer
laktat atau NaCl, dan mengganti perdarahan dengan whole blood. Fresh
whole blood merupakan yang terbaik karena mengandung faktor koagulasi
dan trombosit. Oksigenasi dengan sungkup atau intubasi endotracheal
diberikan untuk mencapai oksigenasi arterial yang memuaskan. Monitoring
dengan pemasangan CVP untuk menjaga produksi urin 30-60 ml/jam dan
hematokrit >30%. (SOGC, 2001) Penggantian faktor koagulasi sebaiknya
dilakukan oleh ahli hematologi. Fresh frozen plasma (FFP) mengganti hampir
semua faktor pembekuan dan mempunyai risiko paling rendah menularkan
hepatitis. Satu unit diberikan setelah 4-6 unit whole blood, dilanjutkan 1 unit
tiap 2 unit whole blood yang diperlukan. FFP diberikan dengan indikasi
perdarahan masif, defisiensi faktor koagulasi tertentu, melawan pemberian
warfarin sebelumnya, defisiensi antitrombin III, imunodefisiensi dan purpura
trombositopeni. (Cunninghum FG et al, 2010) FFP diberikan bila prothrombin time lebih
dari 1,5 kali nilai kontrol normal. Tujuan transfusi FFP sampai menjaga angka
prothrombin time dalam selisih 2-3 detik dari kontrol FFP mengandung semua
faktor koagulan, tidak mengandung trombosit. (Miller dan Hanretty, 1997)
Cryoprecipitates mungkin diperlukan bila fibrinogen sangat rendah
(fibrinogen <100 mg/dl). Sepuluh unit cryopresipitat biasanya diberikan
sesudah pemberian 2-3 unit plasma. (Foley dan Strong, 1997) Cryopresipitates
mengandung fibrinogen, faktor VIII, XIII. (Miller dan Hanretty, 1997) Trombosit dapat
ditransfusi pada kondisi trombositopenia berat, dimana satu unit dapat
menaikkan angka trombosit 5.000 /µL – 10.000/µL. Transfusi trombosit
diberikan apabila terdapat perdarahan aktif dengan angka trombosit < 50.000
/µL, atau pada kondisi angka trombosit <50.000 /µL pada pasien dengan
rencana dilakukan tindakan operasi (seksio sesarea), dan sebagai tindakan
profilaktik dengan angka trombosit 20.000 /µL -30.000 /µL. Trombosit
biasanya diberikan 1-3 unit/10 kg/hari. (Cunningham et al, 2010) Vitamin K dan folat
diberikan mengingat pasien dengan KID seringkali kekurangan kedua vitamin
ini. Sedang berkembang bukti pemberian antitrombin III konsentrat pada
27
pasien KID dapat memperbaiki kondisi dan mempercepat
penyembuhan.(Kusuma dan Schulz, 2009)
Penggunaan heparin merupakan metode untuk menghentikan proses
KID. Heparin dipertimbangkan apabila terdapat disfungsi ginjal berat,
gangrene jari-jari. Heparin diberikan pada dosis 5000-10.000 unit per jam
intravena, dengan dosis awal 5000 unit. Kontrol untuk terapi heparin sulit
dilakukan, namun kecuali jika fibrinogen sangat rendah dan terapi adekuat
diperoleh dengan melihat peningkatan thrombin time atau partial
thromboplastin time satu sampai satu setengah kali dari kontrol. (Miller dan Hanretty,
1997)

Heparin merupakan suatu mukopolisakarida sulfat yang mampu


mengikatkan diri dengan antitrombin III, sehingga sifat antikoagulan molekul
Antitrombin III dilipatgandakan (dipercepat sampai 2000 kali). (Suparman,1993)

Heparin barangkali tidak selalu bermanfaat pada pasien dengan KID, oleh
karena kadar antitrombin III bervariasi pada tiap pasien, bahkan kadarnya
bisa berkurang, terutama pada KID yang terjadi secara akut. Penelitian lebih
lanjut pemakain terapi pengganti antitrombin III secara randomisasi sedang
berlangsung. (Drews dan Weinberger, 2000)
Pemberian heparin terutama direkomendasikan pada kasus KID kronik
seperti IUFD, dan tidak direkomendasikan pada pasien dengan perdarahan
yang masif. Epsilon aminocaproic acid (EACA) menghambat perubahan
plasminogen menjadi plasmin, dan digunakan untuk mencegah proses
sekunder fibrinolisis. Namun pemakaiannya tidak direkomendasikan. Masih
diragukan penggunaan kedua agen itu dibenarkan atau tidak untuk mengatasi
KID. Pemakaiannya hanya pada tingkatan teori, pemakaian praktis
penggunaannya masih kurang. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Terapi logis ke depan yang bisa dipikirkan pada kasus KID adalah
penghambatan aktifitas faktor jaringan. Salah satu penghambatnya adalah
nematode rekombinan antikoagulan protein C2, yang merupakan inhibitor
spesifik yang kuat terhadap pembentukan komplek dari faktor jaringan dan
faktor VII a dengan faktor Xa. Pemberian TFPI juga dapat menghambat
aktivitas faktor jaringan sehingga dapat mencegah aktifasi sistem koagulasi.

28
Pemberian protein C mungkin juga akan memberikan manfaat, seperti yang
ditemukan pada binatang dengan kelainan ini. (Levi dan Cate, 1999)

29
BAB VI
KESIMPULAN

1. KID merupakan akibat kegagalan mekanisme pengaturan dan inhibisi


pembentukan trombin serta proses pembekuan darah, sehingga
menimbulkan manifestasi klinik berupa trombosis dan perdarahan
2. Kewaspadaan terhadap kondisi obstetri yang dapat menimbulkan KID
penting dilakukan.
3. Prinsip utama dalam penanganan KID adalah mengatasi penyakit dasar
(underlying disease) dari KID tersebut.
4. Pemberian Heparin terutama direkomendasikan pada kasus KID kronik
seperti IUFD, dan tidak direkomendasikan pada pasien dengan
perdarahan yang masif.

30
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham et al. Williams Obstetrics 23rd Ed, McGraw-Hill Companies,


2010.

DeCherney et al. “Critical Care” in Current Diagnosis & Treatment


Obstetrics & Gynecology, 8thEd, editor: DeCherney AH, Nathan L,
Murphy Goodwin, Laufer, N. McGraw Hill Fibrotek. 2006.

Drews, R.E., Weinberger, S.E., Thrombocytopenic Disorder in Critically Ill


Patients. Am J Respir Crit Care Med: 2000; 162: 347-351.

Foley, M.R., Strong, T.H., Obstetric Intensive Care, WB Saunders, 1997

Guyton AC, Hall JE. Hemostasis and Blood Coagulation in Textbook of


Medical Physiology. Editor: Hall JE. 11th edition. 2006: 457 - 468

Guidelines for the Diagnosis and Management of Disseminated Intravascular


Coagulation. British Journal of Haematology. Blackwell Publishing Ltd.
2009, 154 : 24-33

Hambleton J, Leung LL, Levi M. Coagulation : Consultative Hemostasis.


American Society of hematology. 2002: 335-339.

Haram K, Svensen E, and Abildgaard, U. The HELLP Syndrome: Clinical


issues and Management. BMC Pregnancy and Childbirth. 2009: 11-13.

Ho LWW, Kam PCA, Thong CL. Disseminated Intravascular Coagulation.


Current Anaesthesia and Critical Care. 2005 : 151 – 161.

Kusuma, B. Schulz, TK. Acute Disseminated Intravascular Coagulation.


Hospital Physician. Turner White Communication Inc. Wayne, PA
March/April 2009 : 35-40

Lee. G., Richard. M. D. Acquired Coagulation Disorders. In : Wintrobe’s


Clinical Hematology 9th ed. Editor: Lee. G., Richard. M. D. Philadelphia;
1993; 1473 – 1502.

31
Levi, M., Cate, H.T., Disseminated intravascular coagulation.
Nejm:1999;341:586-91.

Liebman, HA & Weitz IC. Disseminated Intravascular Coagulation in


Hematology Basic Principle and Practice, editor: Hoffman, R, Benz, EJ,
Shattil, J, Furie, B, Cohen, HJ, Mcglave, P, 5th eds, 2004 : 2169-2175.

Marder VJ, Feinstein DI, Colman RW, Levi M. Consumptive


Thrombohaemorrhagic Disorders, in Hemostasis and Thrombosis Basic
Principles and Clinical Practice. Editor: Coldman, RW, Clowes, AW,
Goldhaber SZ, Marder, VJ, George, JM. 5th eds, Lippincott William &
Wilkins, Philadelphia. 2006: 1571-1581.

Miller A, Hanretty K. Coagulation Failure In Pregnancy, In Obstetrics Illustrted


Fifth Edition , Churcill Lvingstone, 1997 : 122-24.

Ounjai, K, Arnuparp, L. Overt Disseminated Intravascular Coagulation in


Obstetric Patients. Journal Medicine Association Thailand. Vol 90, No 5.
2007 : 857-62

Pokharel SM, Chattopadhyay, SK, Jaiswal, R, and Shakya, P. HELLP


Syndrome a Pregnancy Disorder with Poor Prognosis, in Nepal Medical
College Journal. vol.10, no.4. 2008 : 260-203.

Rodgers GM. Acquired Coagulation Disorders’ in Wintrobe’S Clinical


Hematology, editor Greer, JP, Foester J, Luken JN, Rodgers, GM,
Paraskevas, F, Glader, B. 11edth Lippincott Williams & Wilkins. 2004:
1676-1687.

Romero, R. The Management of Acquired Hemostatic Failure during


Pregnancy in Critical Care of the Obstetric Patient, editor: Berkowitz, RL,
Churchill Livingstone, 1983: 247-253.

Seligsohn U, Hoots, WK. Disseminated Intravascular Coagulation in William


Hematology 7th editor: Licthnam, MA, Beutler, E, Kipss, TJ, Seligsohn,
Kaushanky K,Prchal JT. Mc Graw Hill. New York. 2004: 2189-2196.

Setiabudy RD, Loho T. Pemeriksaan Laboratorium Pada DIC dan Fibrinolisis


dalam Hemostasis dan Trombosis, editor: Setiabudy, RD, edisi 3,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 120-126.

Suharti, C. Dasar-dasar Hemostasis. Sudoyo, AW (ed). Pusat Penerbitan


Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2006 : 759 - 64.

32
Sukrisman, L. Koagulasi Intravaskuler Diseminata. Sudoyo, AW (ed). Pusat
Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2006 : 777 - 9.

Suparman, Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran


Indonesia, cetakan III, Jakarta, 1993.

Tambunan, KL. Patogenesis Trombosis. Sudoyo, AW (ed). Pusat Penerbitan


Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2006 : 765 - 8

The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada, Alarm


International, second edition, Ontario, 2001.

33

Anda mungkin juga menyukai