REFERAT
UNIVERSITAS ANDALAS
Oleh:
Yudo Siswo Utomo
PPDS OBSTETRI GINEKOLOGI
Pembimbing:
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR TABEL
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
mekanisme fibrinolisis. Secara khusus, terdapat peningkatan secara signifikan
dari fibrinopeptida A, tromboglobulin β, platelet faktor 4, dan produk degradasi
fibrinogen-fibrin. Gerbasi dkk (1990) menyimpulkan bahwa hal tersebut
merupakan mekanisme kompensasi dimana peningkatan koagulasi
intravaskular ditujukan untuk mempertahankan sirkulasi
uteroplasenta.(Cunningham et al, 2010)
Banyak kasus KID berhubungan dengan kehamilan. KID disebabkan
oleh preeklampsia/eklampsia, perdarahan post partum, sepsis, solusio
plasenta, missed septic abortion, ruptur uterus, emboli air ketuban, intra
uterine fetal death (IUFD), penyakit trofoblas, dan Sickle Cell Crisis. Namun,
penyebab obstetri terbanyak pada KID adalah solusio plasenta. (SOGC, 2001;
2007)
2
BAB II
HEMOSTASIS NORMAL
2010)
A. Hemostasis Primer
Pada hemostasis primer trombosit memegang peranan yang sangat
penting. Trombosit membentuk platelet plug pada tempat luka dan juga
menghasilkan tromboksan-A2 dan serotonin yang menyebabkan konstriksi
pembuluh darah lokal. (Miller A, 1997)
1. Konstriksi vaskular
Saat dinding pembuluh darah mengalami kerusakan, otot polos
dinding pembuluh darah secara cepat mengalami konstraksi. Proses ini
menyebabkan penurunan aliran darah pada pembuluh darah yang
mengalami kerusakan tersebut. Mekanisme konstraksi ini sebagai hasil
dari spasme miogenik lokal, faktor autakoid lokal dari jaringan trauma
dan platelet, dan adanya refleks saraf. Refleks saraf diinisiasi oleh
3
impuls saraf nyeri ataupun impuls sensoris lainnya yang berasal dari
pembuluh darah atau jaringan sekitar yang mengalami trauma.
Meskipun demikian, penyebab vasokonstriksi mungkin lebih
dikarenakan adanya kontraksi miogenik lokal dari pembuluh darah
yang diinisiasi oleh kerusakan langsung pada pembuluh darah.
Sedangkan untuk pembuluh darah kapiler, platelet lebih bertanggung
jawab terhadap proses vasokonstriksi dengan melepaskan substansi
vasokonstriktor tromboksan A2. (Guyton dan Hall, 2006)
Semakin parah kerusakan pada pembuluh darah, maka akan
semakin besar pula derajat spasme pembuluh darah. Spasme tersebut
dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa jam,
memberikan waktu untuk terjadinya proses pembentukan platelet plug,
sampai proses koagulasi darah mengambil alih. (Guyton dan Hall, 2006)
Hall, 2006)
B. Hemostasis Sekunder
Proses koagulasi segera terjadi setelah reaksi adhesi dan agregasi
trombosit. Pada luka pembuluh darah yang sangat kecil tidak diperlukan
hemostasis sekunder. Proses koagulasi ini pada dasarnya dibagi atas 3
jalur: (Drews dan Weinberger, 2000; Tambunan,2001)
1. Jalur intrinsik: jalur ini dimulai dengan aktivasi faktor XII sampai
terbentuknya faktor X. Pada jalur ini proses koagulasi dimulai pada
terjadinya kontak antara faktor XII dengan jaringan kolagen atau
komponen subendotelial yang lain. Selanjutnya faktor XII aktif akan
mengubah faktor XI aktif menjadi faktor XI aktif. Kemudian faktor XI
aktif akan mengubah faktor IX menjadi faktor IX aktif. Akhirnya faktor IX
aktif bersama faktor VIIIc, faktor-3-trombosit (PF3), dan kalsium serum
mengubah faktor X menjadi faktor X aktif.
2. Jalur ekstrinsik: jalur ini dimulai dari aktivasi faktor VII sampai
terbentuknya fakktor X aktif. Jalur ini dimulai dengan tromboplastin
jaringan (suatu lipoprotein yang berasal dari sel yang rusak) akan
mengubah faktor VII menjadi faktor VII aktif. Faktor VII aktif ini secara
langsung dapat mengubah faktor X menjadi faktor X aktif.
3. Jalur bersama (common pathway): jalur ini mulai dari aktivasi faktor X
sampai terbentuknya fibrin yang stabil. Pada jalur ini faktor X aktif
bersama dengan PF3, faktor V dan kalsium serum akan mengubah
protrombin menjadi trombin. Selanjutnya trombin akan mengubah
fibrinogen menjadai fibrin dan fibrin ini diubah oleh faktor XIII menjadi
fibrin yang stabil dengan demikian terbentuklah gumpalan darah yang
stabil.
Perlu diketahui pula bahwa jalur intrinsik dan ekstrinsik itu saling
menunjang. Defisiensi salah satu faktor pada jalur intrinsik atau jalur
5
ekstrinsik mengakibatkan terjadinya diatesis hemoragik. (Levi dan Cate, 1999)
Weinberger, 2000)
Ada dua mekanisme yang telah dikenal pada saat ini yaitu: (Lee dan Richard,
6
C. Proses Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah proses pelarutan fibrin secara enzimatik oleh
suatu zat yang dinamakan plasmin. Bagan proses ini dapat dilihat pada
gambar (1). (Suharti, 2006; Sukrisman, 2006)
Trombin berperan memecah fibrinogen menjadi fibrinopeptida A
dan B, serta menghasilkan fibrin monomer yang selanjutnya mengalami
polimerisasi membentuk fibrin polimer. Trombin dengan ion kalsium
selanjutnya mengaktifkan faktor XIII menjadi XIII aktif yang mengubah
fibrin polimer menjadi fibrin cross-linked. (Romero, 1983; Setiabudy dan Loho, 2007)
10
dependent glycoprotein) yang menghambat aktivasi faktor X. Quack
Loetscher beserta rekan (2005) melaporkan peningkatan protein tersebut
sebanyak 20% selama kehamilan. Kadar antitrombin relatif konstan
selama kehamilan dan awal nifas. (Cunningham et al, 2010)
11
BAB III
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA
12
demikian, istilah koagulasi intravaskular diseminata dirasa lebih mewakili
sindroma tersebut karena kata koagulasi mencakup proses perdarahan dan
trombosis. (Ho et al, 2005)
KID merupakan keadaan yang termasuk dalam kategori kedaruratan
medik, sehingga memerlukan tindakan medis dan penanganan segera.
Tindakan dan penanganan yang diberikan tergantung dari patofisiologi
penyakit yang mendasarinya, apakah terjadi secara akut atau memang sudah
ada penyakit yang sudah lama diderita. Namun yang utama dalam
memberikan penanganan tersebut adalah mengetahui proses patologi KID itu
sendiri, sepeti telah disebutkan sebelumnya, yakni terjadinya proses
trombosis mikrovaskular dan kemungkinan terjadi perdarahan (diatesa
hemoragik) secara bersamaan. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Tanda-tanda yang dapat dilihat pada penderita KID yang disertai
dengan perdarahan misalnya: petekie, ekimosis, hematuria, melena,
epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi, penurunan kesadaran hingga terjadi
koma yang disebabkan oleh perdarahan otak. Sementara tanda-tanda yang
dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan aliran darah
yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada
kegagalan fungsi organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut,
iskemia fokal, gangren pada kulit. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Berikut ini adalah kondisi klinik yang dapat menyebabkan terjadinya
KID: (Guidelines DIC, 2009; Kusuma dan Schulz, 2009)
1. Sepsis
2. Trauma : Cedera jaringan berat, cedera kepala, emboli lemak
3. Kanker : Myeloproliferative disorder, tumor padat
4. Komplikasi Obstetrik : Emboli cairan amnion, abruptio placentae,
preeclampsia/eklampsia, abortus
5. Kelainan pembuluh darah : Giant hemangioma, aneurisma aorta
6. Reaksi terhadap toksin
7. Gagal hepar berat
8. Kelainan Imunologik : Reaksi alergi yang berat, reaksi hemolitik pada
transfuse, rejeksi pada transplant, gigitan ular
13
MASSIVE TRAUMA
BURNS
GIANT ABRUTIO
HEMANGIOMAS PLACENTAE
INTRAUTERINE
TISSUE FETAL DEATH
INJURY
PROMYELOCYTIC
LEULEMIA
MASSIVE
ENDOTHELIAL
CELL INJURY Platelet
OR Adhesion &
ACTIVATION aggregation AMNIOTIC FLUID
Tissue EMBOLISM
Contact Factor
activation
XII
Platelet
ENDOTOXIN XI Factor 3
S
IX
VIII
X NEOPLASMS
Fibrinogen
Fibrin
A. Patogenesis
Pada pasien dengan KID, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin
yang diaktivasi oleh faktor jaringan. Faktor jaringan, berupa sel
mononuklear dan sel endotel yang teraktivasi, mengaktivasi faktor VII.
Kompleks antara faktor jaringan dan faktor VII yang teraktivasi tersebut
14
akan mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan cara mengaktivasi faktor IX dan VIII. Faktor X yang teraktivasi
bersama dengan faktor V akan mengubah protrombin menjadi trombin. Di
saat yang bersamaan terjadi konsumsi faktor antikoagulan seperti
antitrombin III, protein C dan jalur penghambat-faktor jaringan,
mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Patogenesis terjadinya KID meliputi peningkatan pembentukan
trombin, penurunan mekanisme fisiologis antikoagulan, dan terhambatnya
proses fibrinolisis. Antikoagulan fisiologis meliputi antitrombin III, protein C
dan TFPI (tissue factor pathway inhibitor). Pada KID kadar antitrombin III,
yang merupakan inhibitor trombin utama menurun sebagai respon
terhadap proses koagulasi yang sedang berlangsung, degradasi oleh
elastase yang dikeluarkan oleh neutrofil aktif, dan gangguan sintesis
antitrombin III. (Foley dan Strong, 1997)
Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan
penghancuran fibrin yang adekuat, karena sistem fibrinolisis endogen
(plasmin) tertekan oleh penghambat-aktivasi plasminogen tipe 1 yang
kadarnya tinggi di dalam plasma menghambat pembentukan plasmin dari
plasminogen. Kombinasi antara meningkatnya pembentukan fibrin dan
tidak adekuatnya penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis
intravaskular yang menyeluruh. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Penurunan fungsi sistem protein C disebabkan oleh penurunan
aktifitas trombomodulin, penurunan kadar fraksi bebas protein S (kofaktor
esensial protein C), disamping penurunan sintesis. Penurunan aktivitas
fibrinolitik diperantarai oleh peningkatan inhibitor aktivator plasminogen
tipe 1, penghambat utama sistem fibrinolitik, dan penelitian klinik
menunjukkan meskipun terdapat aktivitas fibrinolitik, pada KID aktivitasnya
terlalu lemah dibandingkan aktivitas pembentukan fibrin. (Levi dan Cate,1999)
B. Gambaran Klinik
Manifestasi klinik yang terjadi berupa kelainan akibat KID, penyakit
dasar, atau keduanya. Pasien datang dengan gejala dan simptom akibat
sekunder kerusakan organ yaitu trombosis mikrovaskular atau sebagai
15
tendensi perdarahan. Pola yang sering dari KID sesuai dengan
karakteristik penyakit sistemik yang mendasari. Sebagai contoh, pasien
dengan keganasan terjadi peningkatan risiko tromboemboli dan KID
kronik derajat rendah. Sebaliknya pada pasien sepsis atau pada wanita
dengan solusio plasenta atau emboli cairan amnion lebih menunjukkan
gejala akut, KID berat dan diatesis perdarahan. Evaluasi pasien dengan
kedua manifestasi trombosis atau perdarahan adalah sangat penting.
(Hilman et al, 2005; Kusuma dan Schulzt, 2009) Manifestasi klinik tergantung kepada
proses proteolitik yang dominan (koagulasi atau fibrinolisis). Faktor penting
yang menentukan gejala klinik, termasuk besar dan lamanya cetusan
rangsangan, kemampuan fungsi retikuloendotelial terutama hati
memproduksi faktor koagulasi, perubahan aktivitas faktor-faktor koagulasi,
fibrinogen/fibrin, kompleks imun, kemampuan sumsum tulang
memproduksi trombosit. (Lazarchick, 2002)
16
hipovolemia yang mengakibatkan azotemia pre renal. Kejadian gagal
ginjal yang terjadi adalah berupa nekrosis tubular akut. (Nash et al, 2005)
Disfungsi serebral terjadi lebih sering sebagai manifestasi
perubahan nonspesifik seperti gangguan kesadaran, kejang, koma,
daripada lesi fokal. Lesi patologik mempengaruhi fungsi serebral,
termasuk oklusi pembuluh darah besar, perdarahan subarakhnoid,
perdarahan korteks multipel, dan batang otak mengikuti oklusi
mikrovaskular. (Marder et al, 2006)
2004)
2008)
C. Gambaran Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoriumnya Owen dkk (1973)
dan Cooper dkk (1974) membagi KID dalam tiga tipe, yaitu: (Lazarchick, 2002;
Setiabudy, 2007)
17
1. Dekompensata
Ditandai dengan keadaan deplesi yaitu turunnya jumlah trombosit,
faktor V, faktor VIII, dan meningginya FDP disertai tes protamin dan
etanol glasial yang positif.
2. Kompensata
Semua kriteria diatas terpenuhi, tetapi salah satu faktor pembekuan
yang seharusnya turun didapati normal. Hal ini terjadi akibat
kompensasi tubuh terhadap berkurangnya faktor tersebut. Nilai yang
tersering normal didapat pada fibrinogen, faktor VIII, atau trombosit.
3. Over kompensata
Pada keadaan ini terjadi reaksi kompensasi yang berlebihan terhadap
proses KID yang berlangsung, sehingga didapat paling sedikit satu
faktor berikut kadarnya meninggi yaitu fibrinogen, faktor V, faktor VIII,
atau trombosit.
D. Diagnosis
Diagnosis KID tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan satu tes
laboratorium, karena itu biasanya digunakan beberapa hasil pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan berdasarkan kondisi klinik pasien. Dalam
praktik klinik diagnosis KID dapat ditentukan atas dasar temuan sebagai
berikut: (Sukrisman, 2006)
1. Adanya penyakit yang mendasari terjadinya KID.
2. Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm³.
3. Pemanjangan waktu pembekuan (PT, APTT).
4. Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma (ditandai dengan
peningkatan D-dimer).
5. Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)
Peningkatan FDP
Tidak meningkat :0
500 – 1000 μg/L : meningkat sedang :2
> 1000 μg/L : meningkat kuat :3
19
Fibrinogen
> 100 mg/dl :0
< 100 mg/dl :1
20
5. Fibrinogen
6. sFM (soluble fibrin monomer)
7. D-dimer: meningkat
8. FDP: meningkat
9. Antitrombin: menurun
21
BAB IV
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA PADA
KOMPLIKASI OBSTETRI
22
berdarah, atau yang lebih dramatis terjadinya perdarahan aktif dari luka
operasi dan perdarahan post partum. Perdarahan bisa berupa hematuria,
perdarahan gastrointestinal, intrakranial dan internal bleeding. (Miller dan Hanretty,
1997) Gejala sisa adanya trombosis jarang ada pada KID yang terjadi secara
akut, gejala lebih banyak ditutupi oleh kecenderungan terjadinya perdarahan.
Manifestasi adanya trombosis adalah disfungsi ginjal, hepar, dan paru. (Kusuma
dan Schulz, 2009)
24
Koagulasi intravaskular diseminata bukanlah merupakan bentuk
lain dari sindrom HELLP, meskipun sama-sama menimbulkan anemia
hemolitik mikroangiopati, namun terdapat perbedaan yang bermakna
diantara keduanya. Pada sindrom HELLP ditemukan nilai normal
pemeriksaan Prothrombin Time (PT), Activated Partial Thromboplastin
Time (APTT), dan kadar fibrinogen, tetapi pada KID ditemukan PT dan
APTT memanjang dan fibrinogen menurun. Penilaian penanda yang lebih
sensitif pada KID adalah seperti plasminogen, fibrin monomer, D-dimer,
fibrinopeptida A, antitrombin III, alfa-2 antiplasmin, ditemukan nilai berbeda
antara KID dan sindrom HELLP. (Pokharel et al, 2008)
Schulz, 2009)
26
monitoring intensif dilakukan selama 48 jam sesudah persalinan. (Foley dan Strong,
1997)
Heparin barangkali tidak selalu bermanfaat pada pasien dengan KID, oleh
karena kadar antitrombin III bervariasi pada tiap pasien, bahkan kadarnya
bisa berkurang, terutama pada KID yang terjadi secara akut. Penelitian lebih
lanjut pemakain terapi pengganti antitrombin III secara randomisasi sedang
berlangsung. (Drews dan Weinberger, 2000)
Pemberian heparin terutama direkomendasikan pada kasus KID kronik
seperti IUFD, dan tidak direkomendasikan pada pasien dengan perdarahan
yang masif. Epsilon aminocaproic acid (EACA) menghambat perubahan
plasminogen menjadi plasmin, dan digunakan untuk mencegah proses
sekunder fibrinolisis. Namun pemakaiannya tidak direkomendasikan. Masih
diragukan penggunaan kedua agen itu dibenarkan atau tidak untuk mengatasi
KID. Pemakaiannya hanya pada tingkatan teori, pemakaian praktis
penggunaannya masih kurang. (Kusuma dan Schulz, 2009)
Terapi logis ke depan yang bisa dipikirkan pada kasus KID adalah
penghambatan aktifitas faktor jaringan. Salah satu penghambatnya adalah
nematode rekombinan antikoagulan protein C2, yang merupakan inhibitor
spesifik yang kuat terhadap pembentukan komplek dari faktor jaringan dan
faktor VII a dengan faktor Xa. Pemberian TFPI juga dapat menghambat
aktivitas faktor jaringan sehingga dapat mencegah aktifasi sistem koagulasi.
28
Pemberian protein C mungkin juga akan memberikan manfaat, seperti yang
ditemukan pada binatang dengan kelainan ini. (Levi dan Cate, 1999)
29
BAB VI
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
31
Levi, M., Cate, H.T., Disseminated intravascular coagulation.
Nejm:1999;341:586-91.
32
Sukrisman, L. Koagulasi Intravaskuler Diseminata. Sudoyo, AW (ed). Pusat
Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2006 : 777 - 9.
33