id
SKRIPSI
Disusun oleh
KHAIRUNNISA NOOR ARIFAH
C0105029
i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari
skripsi tersebut.
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul Gugon Tuhon dalam masyarakat
Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suatu
Tinjauan Etnolingustik) dapat selesai. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Soedarno, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam
2. Drs. Imam Sutarjo, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan
kesempatan untuk menulis skripsi ini, memberikan banyak bantuan, dorongan dan
yang telah memberikan bimbingan, bantuan dan ilmu dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum, selaku sekretris jurusan yang telah memberikan
6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sastra Daerah khususnya dan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa pada umumnya yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan
8. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
9. Ibu Sarmi, ibu Suparmi, ibu Nunik, dan masyarakat Desa Nanggulan yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan banyak bantuan dan informasi
10. Mas Bagus, suamiku, yang nrima, sabar, cinta, perhatian, dan semua hal terbaik yang
11. Saga Malik Al-Gusha, anakku, atas keajaiban yang bisa bunda percaya. Terima kasih
untuk menjadikan bunda seorang ibu dan selalu belajar banyak hal.
12. Mas Kun, dik Fajri, Doel, Eri untuk support dan penyemangat dalam situasi pelik.
13. Teman-teman angkatan 2005 atas semua bantuan dan pertemanan yang diberikan.
14. Semua pihak dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhirnya segala puji dan syukur, kuasa serta kemuliaan bagi Allah SWT. Penulis
Penulis.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………………………… i
PERSETUJUAN …………………………………………………………………. ii
PERNYATAAN …………………………………………………………………. iv
PERSEMBAHAN ……………………………………………………………….. v
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
A. Bentuk ……………………………………………………………..……… 31
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
B. Fungsi ……………………………………………………………………. 52
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
A. Daftar Singkatan
1. GT : Gugon tuhon
B. Daftar Tanda
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Khairunnisa Noor Arifah. C0105029. 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada
Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suatu Tinjauan
Etnolinguistik). Skripsi. Jurusan Sastra Daerah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Judul penelitian ini adalah Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita
Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Objek yang dikaji dalam
penelitian ini adalah gugon tuhon tentang wanita hamil dan ibu balita yang berkembang
di masyarakat Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga. Data yang dikumpulkan berupa
data lisan yang dikumpulkan dari para nara sumber.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah
bentuk GTBJ? (2) Bagaimanakah fungsi GTBJ? (3) Makna gramatikal dan kultural
GTBJ. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk, fungsi dan
makna gramatikal serta kultural Gugon Tuhon Jawa.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, data dikumpulkan dan dianalisis untuk
kemudian dideskripsikan. Data dikumpulkan berdasarkan interview dengan nara sumber,
yaitu para warga kecamatan Tingkir yang telah melalui kriteria yang ditetapkan. Dari
data-data yang didapat tersebut kemudian dikelompokkan, untuk kemudian dianalisis
bentuk, fungsi, dan maknanya. Metode analisis data yang digunakan untuk penelitian ini
adalah metode distribusional dan metode padan. Teknik lanjutan yang digunakan adalah
teknik ganti dan teknik lesap. Data dibagi dalam unsur-unsur untuk kemudian suatu unsur
tertentu diganti atau dilesapkan untuk mengetahui kadar keintian unsur tersebut.
Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) kalimat dengan pewatas aja ‘jangan’ saja
tidak dapat dipermutasi letaknya, sedangkan kalimat dengan pewatas aja ‘jangan’ dan
frasa ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat dapat dipermutasi letaknya. Begitu pula
kata nek ‘kalau’, yen ‘kalau’, dan mundhak ‘nanti’ tidak dapat dipermutasi karena akan
menghilangkan bentuk dan makna GTBJ, 2) Fungsi GTBJ mencakup kepercayaan,
etika/moral, dan kesehatan, 3) Makna GTBJ dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
(1) makna gramatikal, dan (2) makna kultural. Makna gramatikal didapat dari korelasi
struktur sedangkan makna kultural diperoleh dari hasil wawancara dengan informan.
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
“Alah, takhayul!” sebagian besar orang dewasa ini pasti akan berucap demikian
jika diberi nasihat bijak Jawa apalagi jika tidak dijelaskan alasannya. Nasihat-nasihat
seperti “Aja metu wayah wengi, ndhuk!” pasti akan dijawab dengan bantahan. Sering kali
disertai alasan “Ini kan jaman globalisasi, mbok. Setan ora doyan, dhemit ora ndulit!”
padahal maksud nasihat si Mbok, bukan hanya sawan yang akan nyambet, justru setan-
setan berwujud manusia yang akan mengincarnya. Sebenarnya, banyak sekali petuah
yang orang tua kita berikan kepada kita untuk ajaran hidup, bahkan yang tanpa kita sadari
sekalipun. Namun di zaman yang semakin maju dan berkembang ini, semakin banyak
tradisi budaya Jawa hanya sebagai warisan dan gugon tuhon hanya sebagai takhayul yang
dianggap kepercayaan orang Jawa yang kuno. Dengan antusias orang-orang berseru
tetapi kita lebih sibuk mempelajari budaya asing. Bahkan kita lebih memilih belajar
bahasa asing daripada bahasa Jawa itu sendiri. Lebih buruk, mungkin hanya sedikit dari
sekian banyak orang Jawa yang memilih menggunakan krama inggil untuk
berkomunikasi dengan orang tuanya. Selain itu banyak orang tua tidak mengajarkan
bahasa Jawa kepada anak cucunya. Sehingga kesalahan ini bukan sepenuhnya salah si
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
anak, tetapi kita para orang tua yang lebih bertanggung jawab untuk menurunkan
kekayaan Jawa ini kepada anak cucu kita. Sangatlah aneh jika seorang Jawa bahkan tidak
bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Sering kali karena si anak tidak memahami,
justru kita yang akan menuruti si anak dengan selalu menggunakan bahasa Indonesia.
Bukan berarti bahasa Indonesia itu buruk, tetapi tanpa kita berusaha berarti kita sudah
diajarkan berkomunikasai dengan bahasa Indonesia dan bahkan pada beberapa playgroup
menggunakan bahasa Inggris. Tanpa kita sadari, budaya Jawa perlahan mulai luntur dan
hilang dalam kehidupan sehari-hari. Bukan karena pengaruh budaya baru yang memaksa
masuk, tetapi karena kita yang membuangnya. Parahnya kita menolaknya untuk masuk
kembali.
Namun sekarang ini gugon tuhon sudah agak kabur karena banyak hal. Di
antaranya karena perbedaan pola pikir orang zaman dahulu dan zaman sekarang.
Perbedaan ini dapat disebabkan karena perkembangan teknologi yang membuat orang-
orang modern tidak peka lagi dengan alam dan dirinya sendiri. Dahulu, nenek moyang
kita dalam keterbatasan teknologi pada saat itu, dalam prihatinnya selalu berlatih untuk
menajamkan batin mereka. Gelap dan sepi membuat mereka merenungi diri dan alam.
Hal itu membuat batin mereka tajam dan peka terhadap kehidupan. Semua yang mereka
berikan, ajarkan, lakukan adalah karena mereka mengerti bahwa banyak yang harus
berikan ini didapat dari pengalaman mereka selama hidup dan berpikir. Nasihat–nasihat
atau dinamakan gugon tuhon ini diteruskan kepada anak turunnya agar kelak
keturunannya selalu mempunyai akal budi yang baik, tidak seperti hewan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan, mempunyai tatanan untuk membentuk
memudahkan hidup manusia, semua ketajaman batin itu seolah ikut lenyap. Tradisi yang
peralihannya tidak peduli dan tidak menganggap hal ini sesuatu yang dapat dijadikan
ilmu hidup, jadi hanya sedikit dari pendukung kebudayaan Jawa yang tetap
mempertahankannya. Karena hal inilah, sekarang sedikit dari para orang tua yang tahu
dan paham tentang gugon tuhon ini, apalagi mewariskannya kepada anak-cucunya.
Kecamatan Tingkir tentang gugon tuhon khususnya gugon tuhon tentang kehamilan dan
menurunkan sastra lisan ini kepada anak-cucunya. Sehingga diharapkan nantinya mereka
mau meneruskannya kepada keturunannya. Selain itu kepada para pemuda agar lebih
dapat mengerti dan memahami tentang gugon tuhon Jawa ini, sehingga sastra lisan ini
dapat dilestarikan.
anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
suatu sistem tanda. Tanda-tanda ini saling berhubungan membentuk struktur. Menurut
Wikipedia: bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga
membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4. Suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara
5. Suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan
dan kalimat).
6. Suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.
12.02 WIB)
Bahasa bisa didapat dari alat ucap manusia ataupun melalui sistem tanda. Yang
yaitu pragmatik dan magis (dalam Halliday, 1992: 20). Pragmatik sendiri adalah:
3. Studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang
dituturkan
Sedangkan konteks adalah teks yang menyertai teks (Halliday, 1992: 6). Jadi,
ada maksud yang menyertai tuturan. Pragmatik mencakup konteks karena pragmatik akan
menelusur apa yang dimaksud oleh suatu wacana lebih jauh, dengan banyak unsur yang
budaya Jawa yang sedang dimaksudkan oleh penutur dan mitra tutur, memahami budaya
dan masyarakatnya terlebih dahulu. Barulah kita tahu apa yang sebenarnya sedang
terjadi.
Etnolinguistik sendiri terbentuk dari dua kata, etnologi dan linguistik. Istilah
„etnolinguistik‟ berasal dari kata „etnologi‟ yang berarti ilmu yang mempelajari tentang
suku-suku tertentu dan „linguistik‟ berarti ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa
keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa yang lahir karena adanya
penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini
yang luhur. Kebudayaan atau tradisi ini diwariskan secara turun-temurun oleh nenek
moyang kita hingga sekarang. Masyarakat Jawa mempunyai banyak ajaran kebudayaan
dalam berbagai hal, misalnya ketika seorang wanita melaksanakan tugasnya sebagai ibu,
baik ketika masih mengandung maupun dalam merawat anak. Orang tua Jawa
mau berpikir dan menelaah apa yang dikatakan orang tuanya. Petuah yang dihaluskan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
penyampaiannya ini disebut dengan gugon tuhon. Menurut Purwadi, gugon tuhon yaitu
Gugon tuhon berasal dari dua kata „gugon‟ dan „tuhon‟. Kata „gugon‟ berasal
dari kata „gugu‟ yang mendapat akhiran [-an], yang mempunyai arti sifat yang mudah
percaya kepada ucapan ataupun cerita, sedangkan „tuhon‟ berasal dari kata dasar „tuhu‟
dan mendapat akhiran [-an] yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai ucapan
orang lain (terjemahan dari Subalidinata, 1968 :13). Gugon tuhon yaitu:
„Gugon tuhon sebenarnya mengandung ajaran, tetapi ajaran itu tidak jelas,
pantas atau tidak baik lantas takut untuk melanggar, maka larangan itu
Ketika menginjak dewasa, para orang tua mulai banyak memberi bekal nasihat
kepada anak-anaknya untuk mengarungi rumah tangganya, terlebih pada anak gadis
karena wanitalah yang akan mengajarkan moral pada anak ketika anak belum belajar dari
lingkungan luar. Setelah menikah, wanita akan mengemban tugas penting yaitu menjadi
ibu. Semenjak bayi masih dalam kandungan hingga lahir akan ada banyak petuah yang
diberikan dari ibu maupun ibu mertua kepada anak wanitanya. Nasihat-nasihat ini
dimaksudkan agar sang calon ibu selalu menjaga tingkah lakunya agar kelak bayi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dilahirkan sehat dan mempunyai moral yang baik. Nasihat ini misalnya aja mateni
kewan, mundhak bocah sing lair kaya kewane „ jangan membunuh hewan, nanti anak
yang lahir seperti hewan itu‟, aja mbunteti leng tikus, mundhak nglairkene angel „ jangan
menutup lubang tikus, nanti melahirkannya sulit‟, aja adus bengi, mundhak kembar
banyu „jangan mandi malam, nanti ketubannya jadi banyak‟, aja nyingkirake barang
nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang (sikil dhisik sing metu) „jangan
menyingkirkan sesuatu menggunakan kaki, nanti bayi yang lahir dari kakinya dahulu‟,
kudu nyingkirake regedan sing tinemu ing ndalan supaya nglairkene lancar ora ana
lancar tidak ada halangan‟, bayi kudu digendhong yen surup „bayi harus digendong kalau
magrib‟, yen nggendhong bayi aja disawung „ kalau menggendong anak jangan tidak
memakai selendang‟, dll. Nasihat-nasihat ini walaupun alasan yang disampaikan kurang
masuk akal, namun jika ditelaah lebih lanjut ada alasan yang lebih logis.
1. Suwanti, 2008, yang berjudul “Gugon Tuhon Bahasa Jawa” yang mengkaji
2. Wahyu Adi nugroho, 2010, yang berjudul “Gugon Tuhon Daur hidup Manusia
(Kajian Resepsi Sastra). Skripsi ini tidak hanya mengkaji bentuk-bentuk gugon
tuhon, makna dan fungsinya saja, tetapi juga mengkaji profil masyarakat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Skripsi saudara Suwanti ini mengumpulkan GTBJ yang ada dalam literatur,
akan penulis lakukan ini mengumpulkan data dari para informan daerah setempat untuk
maknanya. Dalam penelitian Suwanti, bentuk GTBJ ini selalu menggunakan pewatas aja,
frasa ora ilok, dan kata mundhak yang menyatakan hubungan sebab akibat. Sedangkan
dalam penelitian ini bentuknya dapat tidak hanya menggunakan pewatas aja, frasa ora
ilok, maupun kata mundhak saja, namun juga ada kata yen, nek atau tidak meggunakan
1. Penelitian GT dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di
2. Gugon tuhon masyarakat Jawa ini adalah tradisi yang perlu dilestarikan.
3. Agar para anak muda penerus tradisi ini mau menerima ajaran ini, maka perlu
dijelaskan makna dari orang tua sehingga para anak muda dapat memahami
budayanya.
4. Setiap gugon tuhon yang diajarkan mempunyai ajaran yang adiluhung dan
B. Pembatasan Masalah
Penelitian yang berjudul “Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita
Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga“ ini dikaji menggunakan teori
etnolinguistik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Agar penelitian ini tidak melebar dari masalah perlu diadakan pembatasan
masalah, yaitu pada bentuk, fungsi, makna gramatikal dan makna kultural gugon tuhon
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk kalimat gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita
2. Apakah fungsi gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu
balita?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas, dapat dijelaskan tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan bentuk gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil
2. Mendeskripsikan fungsi gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil
E. Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat menberikan manfaat secara teoretis dan praktis.
1. Manfaat Teoretis.
mengenai gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.
2. Manfaat Praktis.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan makna leksikal dan
kultural bagi masyarakat yang bersangkutan sehingga budaya Jawa lebih menarik
F. Kerangka Pikir
Data gugon tuhon yang diteliti dalam penelitian ini menggunakan data lisan
sebagai data primer dan data tulis sebagai data sekunder. GT biasanya menyatakan
larangan atau dihaluskan menjadi nasihat. Bentuk GT dapat menngunakan pewatas „aja‟ ,
frasa „ora ilok‟ atau tidak menggunakan keduanya sama sekali. Fungsi GT ditelaah dari
pemaknaan yang didapat dari masyarakat. Makna gramatikal adalah makna yang dapat
kultural adalah makna yang menyangkut makna secara kultural suatu budaya tertentu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
KERANGKA PIKIR
GTBJ
Lisan
(Data Primer)
Bentuk GTLBJ G.
FUNGSI MAKNA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Sistematika Penulisan
Bab II : Landasan teori, yang meliputi penjelasan dari gugon tuhon, pengertian kalimat,
Bab III : Metode penelitian, yang meliputi sifat penelitian, lokasi penelitian, data dan
sumber data, alat penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode
Bab IV : Analisis data yang memuat tentang analisis dari bentuk, fungsi, makna
Bab V : Penutup, yang berisi tentang simpulan dan saran dari hasil penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori adalah dasar atau landasan yang bersifat teoretis yang relevan
dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori digunakan
sebagai kerangka pikir untuk mendekati permasalahan dan bekal untuk menganalisis
objek kajian.
A. Gugon Tuhon
Gugon tuhon berasal dari kata ‘gugu’ dan ‘tuhu’. Kata ‘gugu’ mendapat akhiran
–an yang berarti sifat yang mudah percaya kepada ucapan ataupun cerita, sedangkan kata
‘tuhon’ berasal dari kata ‘tuhu’ yang juga mendapat akhiran –an, yang mempunyai arti
sifat yang mudah mempercayai ucapan orang lain (terjemahan dari Subalidinata, 1968:
13). Purwadi mengatakan gugon tuhon yaitu percaya pada adat dan takhayul (Purwadi,
2004: 139). Takhayul berarti percaya pada hantu-hantu atau hal supranatural lainnya.
Oleh karena itu para ahli folklore modern lebih suka menggunakan istilah kepercayaan
rakyat (folk belief) (James Danandjaja, 1984: 153). Padahal takhayul sendiri mencakup
(experience), ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Brunvand
dalam Danandjaja, 1984: 153). Sedangkan dalam kenyataannya, tidak ada seorangpun
yang bagaimanapun modernnya, dapat bebas dari takhayul, baik dalam hal kepercayaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Takhayul (atau GT) memiliki beberapa syarat, yang terdiri dari tanda-tanda
(signs), atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan akan ada akibatnya (results)
(James Danandjaja, 1984: 154). Sedangkan menurut Dundes, takhayul adalah ungkapan
tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat; beberapa dari syaratnya
bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat sebab (Danandjaja, 1984: 155).
Gugon tuhon dibagi menjadi tiga, yaitu 1) gugon tuhon salugu, 2) gugon tuhon
yang berisi pitutur sinandi, dan 3) gugon tuhon yang berbentuk pepali atau wewaler.
Dalam penelitian ini dikhususkan pada gugon tuhon yang berisi pitutur sinandi. Pitutur
Kalimat (1) dan (2) merupakan contoh GTBJ yang menggunakan pewatas aja
‘jangan’. Kalimat (1) mengandung pesan jangan membunuh binatang jika sedang hamil.
Pesan ini berlaku tidak hanya untuk si ibu hamil, tetapi juga untuk suami, karena
dikhawatirkan jabang bayi yang akan lahir bisa menyerupai binatang yang dibunuh
atupun disakiti. Misalnya jika membunuh atau menyiksa kera, si anak bisa mempunyai
bulu yang banyak atau berwajah seperti kera. Sedangkan pada kalimat (2) mempunyai
pesan jangan menutup lubang rumah tikus jika sedang hamil. Seperti pada kalimat (1),
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
aturan ini juga berlaku untuk suami istri. Jika dilanggar, dikhawatirkan si ibu akan
Gugon tuhon juga mempunyai bentuk dengan frasa ora ilok ‘tidak pantas’,
seperti
(4) Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane.
GTBJ pada kalimat (3) dan (4) merupakan bentuk yang menggunakan frasa ora
ilok ‘tidak pantas’. Pada kalimat (3) terdapat suatu nasihat bahwa tidak baik jika memuji
bayi karena si anak dapat tumbuh menjadi anak yang tinggi hati karena biasa dipuji
dalam keluarganya. Sedangkan pada kalimat (4) mengandung nasihat jika bayi tidak
boleh dipanggul karena selain membahayakan jiwa si bayi, menurut kepercayaan Jawa
hal itu juga akan membuat si bayi akan berani melawan orang tuanya kelak jika dewasa
Dilihat dari kalimat (1), (2), (3), dan (4) dapat disimpulkan bahwa GT adalah
pendidikan budi pekerti dalam mendidik anak bahkan sebelum si anak dilahirkan. Sejak
dalam kandungan ikatan batin antara ibu dan anak sudah terikat begitu kuat, maka jika si
ibu mempunyai suasana hati tertentu, besar kemungkinan akan menjadi sifat bayi yang
akan dilahirkan. Orang tua yang sudah tentu pengalaman dalam mendidik anak pasti akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
memberi nasihat agar cucu yang akan dilahirkan kelak mempunyai sifat dan budi pekerti
yang luhur.
B. Kalimat
Salah satu unsur bahasa adalah kalimat. Kalimat adalah bagian terkecil ujaran
atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan.
Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh
intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau
Kalimat terbentuk dari beberapa unsur: kata, intonasi dan makna. Kalimat tidak
ditentukan dari jumlah suku kata. Dengan begitu, satu kata saja dapat didefinisikan
sebagai kalimat jika disertai dengan intonasi yang benar dan maknanya dapat dimengerti.
C. Fungsi
Fungsi bahasa yang sangat dasar adalah sebagai alat komunikasi. Dalam
bahasa yang benar harus disertai etika tutur kata, moral yang dikandung, dan disampaikan
sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan
beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk
1. Etika
Etika berarti ilmu yang mempelajari apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang
adat-istiadat (Bertens, 1997: 4). Semua suku bangsa pastilah mempunyai etika.
berdasarkan banyak hal, salah satunya adalah stratifikasi sosial. Penting untuk
menempatkan diri dalam tataran yang tepat dan menyadari tingkatan mereka,
sehingga manusia Jawa dituntut untuk luwes dan dapat menempatakn diri pada
2. Moral
Moral adalah kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait
dikatakan baik jika sesuai dengan adat kebiasaan budi pekerti. Moralitas adalah
kualitas dalam perbuatan kemanusiaan yang benar atau salah, yang baik atau
buruk. Pada dasarnya moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai
peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis, tentang bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak agar menjadi lebih baik (Franz Magnis-Suseno, 2001:
15).
3. Sopan-santun
Norma sopan-santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan
Sopan-santun diatur menurut tempat, lingkungan, ataupun waktu. Maka norma ini
dengan orang tua atau orang yang baru dikenal. Atau di Barat, memakai baju yang
terbuka adalah hal yang lumrah terkait privasi dan otonomi tubuh mereka untuk
berekspresi, tetapi jika kita memakainya di Timur, pastilah kita akan kena tegur
D. Makna
dengan arti (meaning) di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada diantara
unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna menurut Palmer (1976: 30)
hanya menyangkut intrabahasa. Makna kultural adalah makna yang terdapat dalam
masyarakat pada sebuah wacana. Namun demikian, makna kultural yang komplek ini
tidak akan dapat dijalankan dengan sempurna jika kita tidak memahami konteks budaya,
1. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang dapat berubah sesuai dengan konteks
2. Makna Kultural
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi adalah cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam
yang bersistem dalam pelaksanaan suatu kegiatan untuk mempermudah mencapai tujuan
penelitian. Sedangkan metode penelitian adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik
yang perlu diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan dianalisis. Dalam melakukan
suatu penelitian, sebaiknya digunakan suatu metode yang tepat untuk menentukan
langkah – langkah dalam penelitian. Dalam metodologi penelitian ini akan dijelaskan
jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, populasi, sampel,
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai untuk mengkaji GTBJ ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Maksud dari penelitian ini adalah mendiskripsikan dan menjelaskan
fenomena yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data dianalisis serta hasilnya
berbentuk deskriptif, fenomena yang tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan
kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka atau frekuensi (H. B.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Penelitian gugon tuhon ini mengumpulkan data berupa ujaran lisan dan
penyajian datanya berupa deskripsi dari olahan data gugon tuhon tersebut.
Data adalah bahan penelitian itu sendiri, dan bahan yang dimaksud bukan bahan
mentah, melainkan bahan jadi. Atau dengan rumusan lain data pada hakikatnya adalah
digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan yang didapat dari narasumber di
kecamatan Tingkir, Salatiga. Sumber data adalah pencipta atau penghasil data yang
sekaligus tentu saja si penghasil atau pencipta data yang dimaksud, biasanya disebut nara
sumber (Sudaryanto, 1990: 35). Data dan sumber data dibagi dalam dua kelompok, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun data dan sumber data dalam
penelitian ini:
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah penduduk terpilih Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga yang dipandang mengetahui dan paham tentang gugon tuhon
kehamilan dan merawat bayi. Sedangkan datanya adalah ujaran tentang gugon tuhon
Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku dan literatur yang relevan
dengan penelitian ini. Sedangkan data sekunder dari penelitian ini adalah keterangan-
keterangan yang diambil dari buku-buku dan literatur yang terkait dengan penelitian
ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Sumber data dari penelitian ini adalah penduduk Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Desa ini dipilih karena sebagian besar
mempercayai dan mematuhi GT tersebut. Sumber data lisan berasal dari informan yang
3. Berusia 21-70 tahun yang dirasa betul-betul mengerti dan memahami GTBJ.
C. Alat Penelitian
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian
ini adalah peneliti sendiri. Alat bantu dalam penelitian terdiri dari bolpoint, tipe-x, buku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
catatan, sedangkan alat bantu elektronik berupa komputer, flasdisk, alat rekam berupa
mp3 player.
individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 1991: 32). Adapun populasi dalam
penelitian ini adalah masyarakat yang mengetahui ujaran tentang GTBJ mengenai
langsung yang mewakili populasi atau mewakili populasi secara keseluruhan (Edi
kepentingan dan tujuan berdasarkan data yang ada (Edi Subroto, 1991: 25). Sampel
dalam penelitian ini adalah ujaran yang mengandung GTBJ yang menyangkut nasihat
untuk wanita hamil dan merawat bayi yang diucapkan oleh informan. Informan diambil
yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini. Sembilan orang informan diambil dari
kecamatan Tingkir secara random, yaitu dari desa Nanggulan, Kalibening, Celong,
karyawan, bidan, dukun bayi, guru, entertainer, dan ibu rumah tangga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136). Data dikumpulkan dengan metode dasar
yaitu teknik sadap. Untuk mendapatkan data pertama-tama si peneliti harus menyadap
pembicaraan seseorang atau beberapa orang (Sudaryanto, 1993: 133). Adapun mengenai
teknik lanjutannya menggunakan teknik simak libat cakap (SLC), teknik rekam, dan
teknik catat. Teknik SLC ialah di mana peneliti menyimak pembicaraan calon data dan
menggali informasi yang berupa penjelasan munculnya fakta atu fenomena tersebut
(Gunawan dalam Mahsun, 2005: 228). Untuk mengabsahkan data yang diucapkan dari
para informan tersebut, maka perlu dilakukan teknik rekam agar data yang diperoleh
dapat dianalisis dengan baik. Selain itu dapat juga dibantu dengan teknik catat untuk
mencatat fenomena yang tidak dapat ditangkap dalam teknik rekam untuk
1. Metode Distribusional
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
adalah metode analisis data yang alat penentunya unsur dari bahasa itu sendiri
Teknik yang digunakan adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik ini
digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur
yang bersangkutan dipandang sebagai bagian langsung membentuk satuan lingual yang
dimaksud (Sudaryanto, 1993: 42). Jika unsur yang dilesapkan membuat kalimat menjadi
tidak gramatikal, berarti unsur tersebut mempunyai kadar keintian yang tinggi, sehingga
tidak dapat dihilangkan. Teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik lesap dan teknik
ganti.
unsur yang dilesapkan. Jika hasil dari pelesapan itu tidak gramatikal maka berarti unsur
yang bersangkutan memiliki kadar keintian yang tinggi atau bersifat inti: artinya, sebagai
Metode distribusional dengan teknik dasar BUL dan teknik lanjutan berupa
teknik lesap dan teknik ganti untuk menganalisis bentuk GTBJ, teknik ganti digunakan
untuk mengatahui kadar keintian suatu unsur yang diganti. Contoh penerapannya sebagai
berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Untuk mengatahui kadar keintian salah satu unsur, salah satu unsur yang
‘Ø bayi dipuji’
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa unsur aja ‘jangan’ dan ora ilok
‘tidak pantas’ merupakan unsur inti yang tidak dapat dihilangkan maupun dilesapkan.
Karena jika dihilangkan atau dilesapkan, maka kalimat itu menjadi tidak gramatikal dan
Sedangkan jika menggunakan teknik ganti, hasilnya akan menjadi seperti ini:
(1b) ndeloki
ngopeni
melihat
memelihara
(2b) digendhong
*dilem
digendong
*dipuji
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Hasil analisis kalimat (1b) dan (2b) di atas dengan teknik ganti menunjukka
bahwa kalimat tersebut masih berterima namun tidak menunjukkan GT yang dimaksud.
2. Metode Padan
Metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji untuk menentukan
identitasa satuan lingual tertentu dengan alat penentu di luar bahasa (Sudaryanto, 1993:
(1) Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane.
Fungsi dari GT ini adalah pelajaran dari dua segi, yaitu pendidikan
etika/moral dan pendidikan kesehatan. Dari segi moral, menurut konsepsi Jawa,
meletakkan anak lebih tinggi dari orang tua atau membiarkan anak memegang
kepala orang tuanya secara tidak langsung mengajarkan anak bahwa kedudukan
anak lebih tinggi daripada orang tua, maka ketika dewasa si anak akan kurang ajar
Makna gramatikal : tidak pantas bayi digendong di pundak, nanti berani dengan
orang tuanya.
Makna kultural : orang tua pasti ingin menyenangkan hati anaknya, salah satu
akan senang. Tetapi ternyata hal ini tidak diperbolehkan karena menurut nasihat
orang tua Jawa, si bayi kelak akan berani melawan orang tuanya jika sudah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
tetapi mungkin ada benarnya juga orang tua memberi nasehat, karena anak kecil
yang banyak bergerak secara tiba-tiba itu mungkin saja terlepas dari pegangan
orang tuanya ketika sedang digendong diatas bahu. Secara logika hal ini
dikarenakan ketika berada di atas bahu, pengamanan dan kecekatan tangan orang
tua berkurang, dan tidak berada dalam jangkauan mata si penggendong, terlebih si
bayi berada di ketinggian jauh diatas tanah, ketika jatuh hal ini bisa berakibat
fatal. Oleh karena itu menggendong diatas bahu tidak diperbolehkan karena dari
tali batin antara ibu-anak. Maka memang seharusnya seorang ibu menjaga
anaknya dengan sepenuh hati, selalu mendekatkan kepada anaknya agar kelak
ketika si anak dewasa, hubungan antara ibu dan anak tetap erat terjaga.
Sedangkan dari segi kesehatan, hal ini akan menjaga si bayi yang banyak
Makna kultural dalam GT tersebut adalah bahwa kita harus selalu menggendong
karena:
1) Bayi akan terlepas dan jatuh dengan mudah jika tidak diikat ke badan kita.
mengikat erat batin si bayi dengan batin kita, sehingga akan selalu ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kontak batin yang kuat antara ibu denagn si anak sampai si anak dewasa
kelak.
waktu.
Fungsi dari GT ini adalah sebagai pendidikan kesehatan. Jika kita sedang
melakukan pekerjaan yang kotor, maka sebaiknya tidak mengajak serta si bayi
karena tentu saja si bayi dapat terkena kotoran yang ditimbulkan. Dalam hal ini
masih rentan. hal ini dapat membuat bayi menjadi asma atau flu, maupun masalah
pencernaan.
menyapu).
Makna kultural dalam GT ini adalah bahwa kita jangan pernah menggendong si
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan pada
fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup pada penutur-
Metode informal yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan
kata-kata sederhana sebagai pembantu dalam memahami hasil analisis data tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Bentuk
Subbab ini akan menganalisis bentuk GT untuk mengetahui kadar keintian suatu
Larangan.
GT yang menggunakan pewatas aja „jangan‟ antara lain: (1) Aja ngombe es
„jangan minum es‟, (2) Aja mateni utawa nyiksa kewan „jangan membunuh atau
menyiksa hewan‟, (3) Aja ngethok rambut „jangan memotong rambut‟, (4) Aja mangan
sing panas-panas „jangan makan yang panas-panas‟, (5) Aja njitheti utawa ndondomi
Data (1) sampai (5) akan dianalisis menggunakan teknik ganti untuk mengetahui
Ampun Jangan
Ampun
Jangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Ampun Jangan
Ampun Jangan
(5a) *Aja njitheti utawa ndondomi kathok.‟ *Jangan menisik atau menjahit celana.‟
Ampun Jangan
Dari analisis diatas kata aja „jangan‟ tidak dapat diganti dengan kata ampun
„jangan‟ walaupun bermakna sama. Karena jika diganti maka kalimat tersebut menjadi
Selanjutnya data (1b) sampai (5b) akan dengan teknik ganti. Adapun yang akan
banyu air
(2b) Aja mateni utawa nyiksa *kewan „Jangan membunuh atau menyiksa *hewan „
kebo kerbau
kain kain
kecut-kecut asam-asam
sarung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sarung
Analisis data (1b) sampai (5b) menunjukkan hasil yang gramatikal namun tidak
berterima serta tidak menunjukkan GT walaupun kata yang digunakan mempunyai arti
Kalimat (1c) sampai (5c) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu pewatas aja
„jangan‟ jika digantikan dengan frasa ora ilok „tidak pantas‟ dan ora becik „tidak baik‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Hasil analisis data (1c) samapi dengan (5c) menunjukkan bahwa setelah
pewatas aja „jangan‟ diganti dengan frasa ora ilok „tidak pantas‟ dan ora becik „tidak
baik‟ hasilnya tetap berterima, gramatikal dan menunjukkan GT. Dengan begitu frasa ora
ilok „tidak pantas‟ dan ora becik „tidak baik‟ dapat menggantikan fungsi pewatas aja
„jangan‟.
Selanjutnya teknik lesap akan digunakan untuk menganalisis data (1d) sampai
Setelah dinalisis dengan teknik lesap, data (1d) sampai (5d) tetap menunjukkan
kalimat yang gramatikal dan berterima, tetapi bukan merupakan GT. Oleh karena itu
pewatas aja „jangan‟ adalah penenda yang wajib hadir dalam kalimat larangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Hasil analisis data (1e) sampai (5e) dengan menggunakan teknik lesap hasilnya
dalah tidak berterima dan tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Namun untuk
„nanti‟ sebagai kalimat yang akan menjelaskan suatu akibat yang akan terjadi dari suatu
sebab. Kata „nanti‟ di sini bukan menunjukkan kata ganti waktu, namun menunjukkan
akibat dari suatu perbuatan. GT yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: (6) Aja
menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti bayinya lahir sungsang (kakinya keluar
terlebih dahulu)‟ (7) Aja mangan godhong kates, mundhak ari-arine remuk „jangan
makan daun pepaya, nanti ari-arinya hancur‟ (8) Aja turu yen bar nglairke, mundhak
kelindheh „jangan tidur sehabis melahirkan, nanti trans (keadaan tidak sadar hingga dapat
menjadi gila atau meninggal)‟ (9) Aja mangan pedhes, mundhak bayine ana wiji
lomboke, yen ora lodhoken „jangan makan yang pedas, nanti anaknya ada biji cabainya,
Dalam analisis kalimat sebelumnya, pewatas aja „jangan‟ tidak dapat diganti
ataupun dihilangkan karena itu adalah esensi dari kalimat larangan. Maka pada subbab ini
yang akan dianalisis adalah kata mundhak „nanti‟ yang menandakan sebab akibat dari
suatu kalimat. Data (6a) sampi (9a) akan dinalisis menggunakan teknik ganti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(6a) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, *mundhak bayine lair sungsang.
mengko
nanti
mengko
nanti
mengko
nanti
(9a) Aja mangan pedhes, *mundhak bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken.
mengko
„Jangan makan pedas *nanti anaknya ada biji cabainya, atau matanya
Dari hasil analisis diatas, data (6a) sampai (9a) kalimatnya tetap gramatikal dan
berterima, namun kata mundhak „nanti‟ tidak dapat diganti dengan kata mengko „nanti‟
walaupun artinya sama. Maka jika kata mundhak „nanti‟ diganti, kalimat tersebut tidak
Selanjutnya data (6b) sampai (9b) akan dianalisis objek di belakang kata mundhak.
(6b) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak *bayine lair sungsang.
bocahe
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
anaknya
ususe
ususnya
keturon
ketiduran
(9b) Aja mangan pedhes, mundhak *bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken.
bocahe
„Jangan makan yang pedas, nanti *bayinya ada biji cabainya, atau matanya
Dari analisis data (6b) sampai (9b) diatas, menunjukkan bahwa data (6b), (7b),
(9b) tersebut masih gramatikal dan berterima, namun tidak menunjukkan GT yang
dimaksudkan. Sedangkan data (8b) tidak gramatikal, tidak berterima, serta tidak
menunjukkan GT.
Selanjutnya kata mundhak „nanti‟ pada data (6c) sampai (9c) akan dianalisis
dengan menggunakan teknik lesap untuk mengetahui kadar keintian kata tersebut.
(6c) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, Ø bayine lair sungsang „jangan
menyingkirkan apapun memakai kaki, Ø bayinya lahir sungsang (kakinya keluar terlebih
dahulu)‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(7c) Aja mangan godhong kates, Ø ari-arine remuk „jangan makan daun pepaya, Ø ari-
arinya hancur‟.
(8c) Aja turu yen bar nglairke, Ø kelindheh „jangan tidur sehabis melahirkan, Ø trans
(9c) Aja mangan pedhes, Ø bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken „jangan makan
yang pedas, Ø anaknya ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran‟.
Dari hasil analisis diatas dapat dilihat bahwa kata mundhak „nanti‟ jika
dilesapkan menjadi tidak berterima, tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Oleh
karena itu dapat disimpulkan kata mundhak „nanti‟ adalah kata yang wajib ada dalam
Selanjutnya verba atau nomina yang berada di belakang kata mundhak „nanti‟
yang akan dianalisis dengan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut:
(6d) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak Ø lair sungsang „jangan
menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti Ø lahir sungsang (kakinya keluar terlebih
dahulu)‟.
(7d) Aja mangan godhong kates, mundhak Ø remuk „jangan makan daun pepaya, nanti Ø
hancur‟.
(8d) Aja turu yen bar nglairke, mundhak Ø „jangan tidur sehabis melahirkan, nanti Ø‟
(9d) Aja mangan pedhes, mundhak Ø ana wiji lomboke, yen ora lodhoken „jangan makan
yang pedas, nanti Ø ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran‟.
Dari data (6d) sampai (9d) setelah dinalisis ternyata hasilnya menunjukkan
bahwa data (7d) dan (9d) berterima namun tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT.
Pada data (6d) menunjukkan hasil yang berterima, namun tidak gramatikal tetapi tetap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
menunjukkan GT. Sedangkan pada data (8d) verba setelah kata mundhak „nanti‟ tidak
dapat dihilangkan atau dilesapkan. Karena jika dilesapkan, maka kalimat tersebut
3. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam
satu kalimat.
GT dalam penyampaiannya ada juga yang menggunaka kata aja „jangan‟ pada
awal kalimat dan frasa ora ilok „tidak pantas‟ pada akhir kalimat dalam satu kalimat.
Tetapi kata dan frasa ini tidak dapat dipertukarkan letaknya karena kalimatnya akan
Data (10a) sampai (12a) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu kata aja
(10a) Aja *mincuk godhong bekas, ora ilok. „Jangan *memincuk daun bekas,
(11a) Aja *mbunteti leng tikus, ora ilok. „Jangan *menutup lubang tikus,
Dari analisis diatas dapat dilihat bahwa data (10a) – (12a) setelah dianalisis
hasilnya tetap gramatikal dan berterima namun tidak menunjukkan kalimat GT.
Lalu data (10b) – (12b) akan dianalisis objek atau adverbia di belakang verba.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(10b) Aja mincuk *godhong bekas , ora ilok. „Jangan memincuk *daun bekas , tidak
(11b) Aja mbunteti *leng tikus ora ilok. „Jangan *lubang tikus , tidak pantas.‟
(12b) Aja adhus *wengi-wengi , ora ilok. „Jangan *malam-malam , tidak pantas‟
esuk-esuk pagi-pagi
diganti, maka kalimat tersebut masih gramatikal dan berterima, namun tidak
menunjukkan GT.
Selanjutnya data (10b) – (12b) diatas akan dilesapkan penanda negasinya untuk
(10b) Ø mincuk godhong bekas, ora ilok. „Ø memincuk daun bekas, tidak pantas‟.
(11b) Ø mbunteti leng tikus, ora ilok. „Ø menutup lubang tikus, tidak pantas‟.
Analisis diatas menunjukkan bahwa pewatas aja „jangan‟ jika dihilangkan maka
kalimatnya masih tetap gramatikal, tetapi tidak berterima. Namun begitu masih tetap
menunjukkan kalimat GT. Dengan kata lain tanpa pewatas aja „jangan‟ pun masih tetap
dapat diucapkan dan mitra tutur mengerti bahwa itu termasuk dalam salah satu GT.
menggunakan frasa ora ilok sebagai penandanya. Biasanya frasa tersebut digunakan di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
depan kalimat. Kalimat-kalimat yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain: (13)
Ora ilok nggendhong anak disambi nyapu „tidak pantas menggendong bayi sambil
menyapu‟ (14) Ora ilok bayi dijak ngaca „tidak pantas bayi diajak berkaca‟ (15) Ora ilok
Yang akan dianalisis pertama kali adalah frasa ora ilok „tidak pantas‟ untuk
menentukan kadar keintian penanda negasi tersebut. Data (13a) sampai (15a) akan
(13a) *ora ilok nggendhong anak disambi nyapu. „*tidak pantas menggendong anak
(14a) * ora ilok bayi dijak ngaca. „ *tidak pantas bayi diajak berkaca‟
Hasil analisis data diatas menunjukkan bahwa jika frasa ora ilok diganti dengan
ora becik atau ora oleh, maka kalimatnya tetap gramatikal dan berterima. Jika diganti
dengan ora oleh, menjadi tidak termasuk dalam GT. Namun ora becik dapat
menggantikan ora ilok dan tetap menjadi GT karena dua frasa tersebut sejajar dan hampir
sama artinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Data (13b) sampai (15b) akan dianalisis verba dalam kalimat tersebut dengan
teknik ganti.
nyangking
membawa
(14a) Ora ilok bayi dijak *ngaca „Tidak pantas bayi diajak *berkaca „
dandan bersolek
dilokne dikatai
Setelah data (13b) – (15b) dianalisis, hasilnya data (13b) dan (14b) tidak
gramatikal dan tidak berterima. Tetapi pada data (15b) kalimatnya gramatikal, berterima
Selanjutnya data (13c) – (15c) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu frasa
Setelah dianalisis, ternyata data (13c) – (15c) tetap berterima dan gramatikal
serta menunjukkan GT. Dengan kata lain frasa ora ilok tidak wajib hadir dalam tuturan
langsung untuk menangkap maksud si penutur bahwa kalimat tersebut adalah piwulang
untuk dilaksanakan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Kemudian data (13d) – (15d) akan dianalisis objeknya dengan teknik lesap.
(13) Ora ilok nggendhong Ø disambi nyapu „tidak pantas menggendong Ø sambil
menyapu‟.
Setelah dilesapkan objeknya, ternyata data (13d) gramatikal dan berterima serta
masih menunjukkan GT. Sedangkan (14d) dan (15d) tidak gramatikal, tidak berterima
5. GT yang Menggunakan kata yen ‘kalau’ yang berada di depan kalimat sebagai
Dalam GT yang diucapkan secara langsung dari penutur kepada mitra tutur
biasanya ada juga kalimat yang diucapkan dengan kata yen „kalau‟. Tuturan yang
menggunakan kalimat perumpamaan ini antara lain: (16) Yen lelungan aja lali nggawa
dlingo bengle karo gunting „kalau bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan
gunting‟, (17) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora
katutan sawan manten „kalau mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga
pengantin, biar tidak diikuti sawan pengantin‟, (18) Yen tilik bayi kudu dijalukne bedhak
bayi „kalau menjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi‟, (19) Yen nduwe anak,
apameneh yen lanang, mesti rambute brodhol „kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki,
pasti rambutnya rontok‟, (20) Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka
omah „kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Data (16a) – (20a) akan dinalisis kata penanda kalimat perumpamaannya, yaitu
(16a) *Yen lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting.
* Nek
Umpami
*Kalau
Kalau
(17a) *Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora
Umpami
Kalau
*Nek
Umpami
*Kalau
Kalau
(19a) *Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute brodhol.
*Nek
Umpami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
*Kalau
Kalau
(20a) *Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah.
*Nek
Umpami
„ *Kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah‟
*Kalau
Kalau
Dilihat dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa kata nek „kalau‟
dapat menggantikan kata yen „kalau‟ Karena mempunyai arti yang sama dan sejajar.
Sedangkan jika diganti dengan kata umpami „kalau‟, maka kalimat tersebut menjadi tidak
gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT karena kedua kata tersebut
Selanjutnya objek nomina pada data (16b) –(20b) akan dianalisis menggunakan
teknik ganti.
(16b) Yen lelungan aja lali nggawa *dlingo bengle karo gunting.
kunir asem
beras kencur
kuyit asam
beras kencur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(17b) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne *kembang manten , ben ora katutan
kembar mayang
„Kalau mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan *bunga pengantin , biar tidak
keris pengantin
kembar mayang
minyak telon
minyak telon
(19b) Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti *rambute brodol.
idepe
bulu matanya
(20b) Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka *omah „
kamar
latar
„Kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari *rumah „
kamar
halaman
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Hasil analisis data (16b) – (20b) diatas menunjukkan hasil yang gramatikal dan
berterima, namun tidak menunjukkan GT walaupun kata yang diganti memiliki arti yang
sejajar.
Selanjutnya kata yen „kalau‟ pada data (16c) – (20c) akan dianalisis
(17) Ø ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan sawan
manten.
(20) Ø durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah.
Analisis diatas menunjukkan bahwa jika kata yen „kalau‟ dilesapkan, maka
Data (16d) – (20d) akan dianalisis verbanya juga menggunkana teknik lesap. Dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(17) Yen ngejak bayi nyumbang kudu Ø kembang manten, ben ora katutan sawan
manten.
„Kalau mengajak bayi ke kondangan harus Ø bunga pengantin, biar tidak diikuti
sawan pengantin.‟
(20) Yen durung selapan anake ora oleh Ø metu saka omah.
Hasil analisis data diatas menunjukkan data (17d), (18d), dan (19d) tidak
gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT. Namun data (16d) dan (20d)
6. GT yang Menggunakan Kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang Berada di
Selain GT yang menggunakan kata yen „kalau‟ atau nek „kalau‟ saja, ada juga
yang menggunakan kata mundhak „nanti‟ untuk memberi tahu akibatnya. Kalimat-
kalimat tersebut antara lain: (21) Nek mangan aja neng ngarep lawang, mundhak
nglairne angel „kalau makan jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit‟, (22) Yen
mangan aja nganggo pincuk, mundhak ari-arine kelet „kalau makan jangan memakai
takir, nanti ari-arinya lengket‟, (23) Yen mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ngomong sing ala-ala, mundhak nyawani „kalau datang ke rumah orang yang sedang
hamil tidak boleh berbicara yang buruk-buruk, nanti membawa hal buruk‟, (24) Yen
bayine durung rong taun abrakane aja dibakari, mundhak suleden „kalau bayinya belum
Karena pada subbab 5 di atas telah dinalisis bahwa kata yen „kalau‟ dan nek
„kalau‟ adalah sejajar dan dapat saling menggantikan, maka pada subbab ini tidak akan
dianalisis lagi. Pada data (21a) – (24a) di bawah akan dianalisis verbanya untuk
(21a) Nek *mangan aja neng ngarep lawang, mundhak nglairne angel.
dhahar
makan
ngombe
minum
(23a) Yen *mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala,
„Kalau *datang ke rumah orang yang sedang hamil tidak boleh berbicara yang
(24a) Yen bayine *durung rong taun abrakane aja dibakari, mundhak suleden.
dereng
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Setelah dianalisis ternyata menunjukkan data (21a) dan (24a) tidak gramatikal
dan tidak berterima karena merupakan ragam bahasa yang berbeda, serta tidak
menunjukkan GT. Sedangkan data (22a) gramatikal dan berterima namun tidak
menunjukkan GT. Pada data (23a) hasil menunjukkan gramatikal dan berterima serta
(21b) Nek mangan aja neng ngarep *lawang , mundhak nglairne angel.
omah
rumah
piring
piring
(23b) Yen mara neng ngomahe *wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(24b) Yen bayine durung rong taun *abrakane aja dibakari, mundhak suleden.
bandhane
Setelah dianalisis, data (21b) – (24b) ternyata hasilnya data (22b) dan (24b)
tidak garamatikal, tidak berterima serta tidak menunjukkan GT. Sedangkan data (21b )
dan (23b) gramatikal, berterima serta tetap menunjukkan GT karena ada GT yang
menyatakan demikian.
Lalu data (21c) – (24c) akan dianalisis penanda kalimat perumpamaannya, yaitu
kata nek „kalau‟ dan yen „kalau‟ menggunakan teknik lesap. Hasilnya dalah sebagai
berikut:
(23c) Ø mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala, mundhak
nyawani.
„Ø datang ke rumah orang yang sedang hamil tidak boleh berbicara yang buruk-
(24c) Ø bayine durung rong taun abrakane aja dibakari, mundhak suleden.
terbakar‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Dilihat dari analisis data (21c) – (24c) diatas, dapat disimpulkan jika kata yen
„kalau‟ atau nek „kalau‟ dilesapkan, maka kalimatnya tetap berterima namun tidak
gramatikal, tetapi tetap menunjukkan GT yang dimaksud. Sedangkan data (24c) hasilnya
tidak gramatikal, tidak berterima serta tidak menunjukkan GT, karena jika kata yen
„kalau‟ dihilangkan maka kalimatnya akan diawali dengan nomina dan bukan verba.
Selanjutnya data (21d ) – (24d) akan dianalisis objeknya dengan teknik lesap.
(23) Yen mara neng ngomahe Ø ora oleh ngomong sing ala-ala, mundhak nyawani.
„Kalau datang ke rumah Ø tidak boleh berbicara yang buruk-buruk, nanti membawa
hal buruk.‟
(24) Yen bayine durung rong taun Ø aja dibakari, mundhak suleden.
„Kalau bayinya belum dua tahun Ø jangan dibakar, nanti kulitnya terbakar‟.
Hasil analisis data (21d) – (24d) diatas menunjukkan bahwa jika objeknya
dilesapkan maka kalimatnya menjadi tidak gramatikal, tidak berterima serta tidak
B. Fungsi
sesuatu yang dimaksud secara eksplisit. Ada beberapa factor yang melatar belakanginya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
yaitu ucapan orang tua yang netesi, dan pendidikan agar anaknya bisa menggunakan
akalnya untuk mencerna perkataan orang tuanya, membuat sastra lisan ini menjadi
bersifat kiasan. Adapun fungsi-fungsi GT akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab ini.
1. Pendidikan Kepercayaan.
mempercayai adanya roh-roh dan nyawa dalam sebuah batu, pohon, hewan dan
dalam banyak kesempatan melalui sesuatu yang simbolis. Cara itu dilakukan agar
Tuhan tidak melaknat, roh-roh tidak merasa terganggu lalu marah karena mereka
melakukan kesalahan. Selain itu ada juga yang disebut slametan yaitu pengucapan
syukur kepada Tuhan dan roh-roh halus atas apa yang telah mereka beri untuk
roh-roh yang menguntungkan ini, roh-roh tersebut bias juga berubah merugikan
karena menurut mereka manusia telah melakukan kesalahan pada mereka. Oleh
karena itu terkadang masyarakat Jawa juga memberikan sesajen atau ritual
(1) Pas meteng sangang sasi, yen meh wayahe nglairake kudu diselameti jenang
dapat berjalan dengan cepat, lancar dan selamat. Dengan maksud bersyukur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kepada Tuhan, berbagi dengan sesama, serta memohonkan doa untuk bayi
Jenang prucut sendiri yaitu berupa tepung beras yang diberi santan dan
gula Jawa (disebut jenang abang), lalu di tengahnya diberi pisang Raja yang
piring yang berissi jenang prucut ini untuk kemudian diterima si calon ayah
dengan lancar dan mudah, dan saat keluar akan diterima oleh sang ayah
dengan suka cita. Acara ini sebaiknya diadakan pada hari Setu Wage, dengan
(2) Wiwit bayine lahir, aja lali sandhikke didokoki dlingo bengle, kaca pangilon,
Jawa, roh-roh halus ini ada juga yang merugikan bagi kehidupan mereka.
makhluk halus ini merasa diganggu oleh manusia. Yang sering melihat
penampakan makhluk halus ini sudah tentu bayi yang mana penglihatannya
masih awas dibandingkan orang dewasa. Oleh karena itu bayi diberi „senjata‟
agar ia tidak diganggu oleh roh-roh yang jahat ini. Maka setelah ia lahir, di
samping tempat tidurnya diletakkan dlingo bengle, cermin, sisir, gunting dan
sapu ijuk (sebagai pembersih kasur). Menurut orang Jawa dlingo bengle dapat
para makhluk halus tidak suka akan baunya. Jika hal ini tidak bekerja, masih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ada cermin yang akan membuat setan-setan itu takut sendiri jika melihat
wajahnya. Namun kalau masih tidak mempan, sisir dan gunting akan melukai
mereka jika berani mendekat. Sapu ijuk menyimbolkan kakek nenek buyut si
bayi yang sudah meninggal yang akan terus menjaga si bayi dari gangguan
halus. Begitulah kepercayaan masyarakat Jawa jika ada roh-roh halus yang
akan mengganggu.
(3) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora kena
sawan manten.
perayaan yang diampunya berjalan dengan lancar. Roh-roh halus yang berada
dalam acara ini bisa saja terlihat oleh bayi yang masih awas atau bahkan dapat
mengikuti si bayi. Oleh karena itu si bayi harus dimintakan bunga yang biasa
dipakai oleh si pengantin yang biasanya berupa bunga Melati untuk kemudian
dilumatkan dan dioleskan di ubun-ubun si bayi. Hal ini dilakukan agar roh-roh
perbuatannya.
(4) Yen lunga adoh, aja lali nggawa lemah saka batir ben bayine betah.
Jika si bayi akan dibawa pergi jauh dalam waktu yang lama atau dibawa
pindah, disarankan untuk membawa tanah dari tempat dikuburnya tali plasenta
bawah tempat tidur si bayi di perantauan. Hal ini dilakukan agar si bayi betah,
tidak rewel di manapun dia berada. Menurut orang Jawa, tanah tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
simbol dari adik spiritual si bayi yang akan terus menjaga kakaknya dari
gangguan halus di manapun dia berada. Selain itu mungkin maksudnya jika
kelak si bayi sudah besar diharapkan agar si anak tidak lupa akan asalnya,
2. Pendidikan Etika/Moral.
Dalam budaya Jawa yang luhur, terselip berbagai pendidikan yang dapat
nasihat/petuah yang diajarkan kepada anak keturunannya. Perilaku Jawa yang halus,
perasa dan sensitif tercermin dari GT sekaligus ajaran yang terkandung di dalamnya
yang dismpaikan dengan sangat halus. Si anakpun akan menangkap maksud orang
tuanya. Apalagi ajaran ini disampaikan agar kualitas keturunannya tidak bobrok dan
tetap mempunyai jiwa Jawa. Etika ini disampaikan dalam banyak aspek kehidupan
yang diselipkan pada etika makan, sopan santun, kemanusiaan dan lain-lain.
(1) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang.
untuk melakukan tugas yang bersih dan dapat dilakukan dengan sempurna
adalah bagian tubuh yang digunakan untuk berjalan, maka dari itu berada di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dilakukan pun terkadang tidak sempurna. Oleh karena itu mengapa untuk
lebih sopan dan pasti pekerjaannya akan selesai dengan baik. Terlebih lagi
jika wanita mengangkat kaki di depan umum, bisa dibayangkan ada bagian
tubuh yang tidak seharusnya dilihat umum. Dan tentunya bagi ibu hamil, jika
bertumpu hanya dengan satu kaki karena kaki yang lain sedang bekerja, hal
kemungkinan cacat jika ia lahir kelak. Oleh karena banyak hal tersebut diatas,
maka orang tua tidak memperbolehkan anaknya yang sedang hamil untuk
Seperti banyak dijabarkan pada penelitian ini bahwa kehidupan Jawa yang
lekat dengan harmoni kehidupan alam semesta selalu diajarkan agar anak
cucunya tidak pernah lupa akan hal tersebut. Nasihat tersebut dituangkan ke
walaupun itu hanya tikus, karena tikus juga makhluk bernyawa ciptaan Tuhan.
Oleh karena itu orang tua kira mengajarkan untuk menghargai nyawa makhluk
atau tidak, wanita hamil atau suaminya yang menutup lubang rumah tikus
dengan maksud agar si tikus tidak dapat keluar, biasanya persalinannya akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sulit dan si jabang bayi tidak segera keluar. Namun setelah lubang tikus
Terlepas dari contoh peristiwa diatas, secara logis mungkin hanya karena
menurut kejiwaan si ibu yang tertekan karena tahu jika mempersulit makhluk
lain adalah kesalahan, hal ini memberikan kita pelajaran bahwa apapun
hidup kita ini secara tidak langsung dibantu oleh makhluk-makhluk lain yang
(3) Ora ilok bayi dipunji, ndak wani karo wong tuwane.
stratifikasi, penghormatan kepada orang tua adalah hal yang mutlak. Itulah
dianggap suatu hal yang tidak sopan, apalagi bertanya tentang arti dari gugon
tuhon yang disampaikan oleh orang tuanya. Walaupun ini menjadi salah satu
kekurangan dari pendidikan Jawa kuno, tetapi dengan belajar dari kesalahan
masa lalu kita dapat mendidik anak cucu kita dalam pelajaran Jawa modern.
Salah satu nasihat yang menyiratkan agar anak tidak kurang ajar dengan
memanggul (bahasa Jawa: dipunji). Menurut orang tua Jawa, jika semasa kecil
ia terbiasa dipunji, nanti ketika dewasa ia akan berani dengan orang tuanya.
Namun jika ditelaah lebih lanjut, hal ini dapat dijelaskan secara psikologis.
Sudah menjadi sifat anak kecil, ia suka permainan yang menantang. Jika ia
sudah menemukan kesenangan dalam permainan itu, maka lain kali ia akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
meminta untuk bermain lagi. Sudah menjadi sifat manusia pula, mereka akan
halnya mahkota bagi seorang raja. Munji ialah menggendong diatas bahu
mengalahkan ego orang tuanya, dengan tangisan dan rengekan. Dengan selalu
menuruti keinginan anak, karena hal itu akan menjadi sifat perilakunya hingga
bisa jatuh karena pada saat itu posisi badan kita tidak siaga. Dengan
disarankan. Itulah mengapa banyak nasihat dalam merawat anak, karena apa
yang dia lihat, pelajari sewaktu kecil akan terus terbawa dan turut menentukan
banyak hal.
3. Pendidikan Kesehatan.
Kehamilan dan merawat bayi sangatlah dekat dengan kesehatan. Semua yang
diajarkan dan dinasehatkan oleh orang tua tidak akan ada artinya jika si bayi dan ibu
tidak sehat, karena kesehatan adalah nyawa dari semua yang akan kita jalani di dunia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ini. Kalau badan kita tidak sehat, pasti pikiran dan harta kita terkuras untuk
merasakan sakitnya. Itulah mengapa ada pepatah mengatakan „kesehatan adalah harta
jika ibunya sehat maka bayinya pun akan sehat. Setelah si bayi lahirpun, kesehatan
ibu dan bayi harus selalu dijaga karena berpengaruh pada masa depan mereka.
Menjaga kesehatan ini salah satunya adalah dengan menjaga asupan gizi, mengontrol
konsumsi, dan menjaga kebersihan. Berikut ini akan dijabarkan nasihat apa saja yang
mempersiapkan diri lahir dan batin. Secara lahir ia sudah harus mengkonsumsi
makanan bergizi dan menjaga tubuh dari segala penyakit. Menjaga kebersihan
wajib hukumnya, agar ia terhindar dari kuman penyakit akibat dari kejorokannya
yang akan mendatangkan sakit untuknya. Tidak heran jika orang tua
tangannya. Jangan sampai kuman malah masuk ke dalam tubuhnya. Dari segi
sosial, jika ia membuang kotoran yang ia temui di jalan, maka ia telah menolong
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Menurut orang Jawa kuna, hali ini dapat mengakibatkan kembar banyu
(volume ketuban dalam rahim melebihi normal sehingga dari luar terlihat
perutnya besar tetapi sebetulnya bayi di dalamnya kecil, dan ketika akan lahir
setelah ditelaah, maksud dari nasehat ini adalah lebih ke arah kesehatan.
Orang normal saja, mandi malam tidak disarankan karena konon dapat
menyebabkan rematik. Apalagi untuk ibu hamil yang sedang dalam misi besar
dan harus menjaga kesehatannya sendiri dan bayi di kandungannya. Salain itu
udara malam dapat meyebabkan paru-paru basah. Pada beberapa orang terlalu
dingin dapat mentebabkan alergi. Apalagi malam yang mana cahaya hanya
hamil terpeleset akibatnya bisa fatal, bisa menyebabkan keguguran atau cacat
pada bayi.
b. Merawat bayi.
seharusnya lebih ketat karena sekarang si bayi sudah berusaha dari badannya
sendiri. Maka ibu-ibu harus lebih teliti dalam merawat bayi dan benda-benda yang
digunakan si bayi.
(1) Yen wengi klambi bayi kudu dilebokne, ngko ndhak bayine nangis wae.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
bayi, baju-bajunya yang sedang dijemur harus masuk ke dalam rumah, jendela
dan pintu harus ditutup. Sangatlah dimengerti alasan-alasan ini karena udara
malam tidak baik untuk kesehatan. Juga untuk baju bayi yang tidak terlihat di
mana letak bahayanya. Karena jika terus dibiarkan berada di luar, embun akan
Akibatnya si bayi bisa pilek, masuk angin, atau batuk-batuk. Beda dengan
jaman sekarang yang sudah ada teknologi setrika, jaman dahulu setelah kering
baju langsung disimpan. Jadi si bayi menangis bukan karena bajunya dipakai
Seperti telah dijabarkan di atas, asupan makanan dari si ibu sudah tentu
harus dijaga. Selain harus makan makanan yang bergizi, ada beberapa hal yang
harus dihindari seperti tidak boleh makan Durian dan daging kambing karena
akan, menyebabkan kualitas ASI menjadi kurang baik (ASI menjadi panas
pada pencernaan bayi), makan makanan pedas pun harus dihindari karena ASI
yang dihasilkan ikut pedas. ASI yang pedas untuk si bayi seperti halnya juga
orang dewasa makan cabai. Namun pencernaan bayi yang masih halus belum
bisa mencerna rasa pedas. Akibatnya ia akan diare. Diare walaupun tidak
tampak berbahaya namun dapat mengancam jiwa karena diare menguras cairan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makanan panas pun harus dihindari si ibu karena konon katanya ASI-nya
akan ikut menjadi panas. Menurut orang tua jika ASI-nya panas, nanti si bayi
bisa sariawan yang menyebabkan ia tidak mau makan dan terus menangis
karenanya. Oleh karena itu semua makanan yang dikonsumsi ibu sebaiknya
standar, tidak panas, tidak dingin, tidak banyak garam, tidak banyak gula,
tidak asam ataupun tidak pedas, dengan kata lain hambar atau anyep dalam
bahasa Jawa. Karena makanan yang hambar tadi sebenarnya baik untuk tubuh
karena asupan makanan yang berlebihan tadi dapat merusak tubuh. Itulah
Makna leksikal adalah makna dari kata unsur-unsur pembentuknya yang akan
diterjemahkan secara keseluruhan. Sehingga akan membentuk makna yang utuh secara
Indonesia. Sedangkan makna kultural ialah makna yang didasarkan pada pemaknaan
masyarakat yang menjadi sumber data. Dalam skripsi ini, setiap orang dapat memaknai
(1) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna kultural: kata orang tua Jawa, ketika hamil tidak boleh menyingkirkan
sesuatu dengan kaki karena kelak anak yang dilahirkannya akan sungsang, yaitu
keadaan di mana bayi lahir dengan kaki dahulu. Normalnya bayi lahir dengan
kepala dahulu agar memudahkannnya keluar dan tidak membahayakan jiwa ibu
dan bayi. Maka anak lahir sungsang itu sangat dihindari dan tidak diinginkan
orang tua manapu. Seperi informasi dari salah satu nara sumber yang saya tanyai:
Mergone ya anu bayine lancar sing metu. Ya ora sungsang, sing lair sirahe sik.
Yen sungsang nak laire seka sikil sik. „Sebabnya ya agar bayinya lancar yang
keluar. Ya tidak sungsang, yang lahir kepalanya dulu. Kalau sungsang kan yang
lahir kakinya dulu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Maka dari itu, walaupun sedang malas karena perut yang membesar membuat
tidak leluasa bergerak, namun tetap diajurkan untuk memakai tangan jika
1) Kaki tidak mempunyai ibu jari terpisah seperti tangan, yang membuat kaki
kaki sudah pasti tidak sempurna hasilnya. Entah meleset dari sasaran
ataupun tumpah.
2) Dalam keadaan hamil besar, sering kali ibu hamil limbung. Maka
Mengingat kebersihan yang dihasilkan dan bahaya yang dapat terjadi jika si
ibu hamil melakukan aksi tersebut, maka dapat dimengerti mengapa orang tua
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
melarang kita untuk melakukan hal tersebut, dan memang sebaiknya kita
menurutinya.
Makna kultural: menurut orang tua Jawa, dengan membersihkan kotoran yang
kita temui di jalan, itu berarti kita telah membersihkan halangan-halangan yang
akan bersih kulitnya, tidak seperti terkena penyakit kulit. Seorang ibu rumah
tangga yang cukup taat dalam melaksanakan tradisi Jawa ini mengatakan: Ya ben
nak nglairke ki lancar yoan. Resik bayine, ngko nak lair ben selamet, lancar sak
kabehe. „Ya agar kalau melahirkan itu juga lancar. Bersih bayinya, nanti kalau
lahir agar selamat, lancar semuanya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal
5 Januari 2011).
Sebetulnya mungkin hal ini lebih berpengaruh pada kebersihan dan etika
sekalipun bukan di depan rumah kita, hal itu membuat orang lain senang dengan
perbuatan kita yang saling berbuat baik untuk sesama. Dengan begitu, orang lain
pun akan senang untuk membantu kita jika kita menghadapi kesulitan.
Alasan yang kedua adalah jika membersihkan kotoran di jalan atau di sekitar
kita, maka lingkungan kita akan bersih dan secara langsung ataupun tidak akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: jika menemukan takir di jalan harus segera dilepas lidinya.
Makna kultural: menurut orang tua Jawa, jika wanita yang sedang hamil
menemukan daun bekas yang lidinya masih tersemat di jalan, maka ia harus
segera melepaskan lidi tersebut. Hal itu dilakukan agar kelak persalinannya lancar
dan selamat. Seorang informan yang merupakan seorang ibu rumah tangga dan
masih menjalankan tradisi Jawa mengatakan: Kudu nguculi pincuk neng ndalan.
Ben pada karo kowe nguculi… lancar sing nglairke „Harus melepaskan takir di
jalan. Hal itu sama dengan kamu melepaskan … (semua hambatan) lancar yang
Selain itu dengan melepaskan lidi yang tersemat di jalan, berarti kita telah
menghindarkan orang lain dari kecelakaan. Lidi yang masih tersemat di daun jika
terinjak akan menjadi benda tajam yang melukai. Namun jika sudah terlepas,
maka benda itu tidak lagi membahayakan karena tidak akan menusuk kulit.
Makna kultural : wanita hamil tidak boleh menjahit atau menambal celana atau
apapun, karena hal itu diyakini dapat menyebabkan persalinan menjadi sulit dan
banyak halangannya karena ia telah menutup jalan lahirnya sendiri. Maka dari itu
ibu yang sedang hamil dianjurkan untuk „berpuasa‟ dahulu dari kegiatan ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Kemungkinan buruk lain yang mungkin terjadi adalah anak akan lahir dengan
cacat bawaan, biasanya lubang dari tubuh yang seharusnya terbuka malah
tertutup. Entah itu lubang anus yang tetutup, bibir yang sumbing, ataupun cacat
yang lainnya.
aja sok ndondomi apa clana ngene iki ta? Aja ndondomi clana ya clana njaba
clana dalem ki aja sok jitheti-jitheti ngono kuwi. Ning ya tenan hla kuwi si anu
kuwi ya genah silite buntet tenan ora duwe silit kuwi. „Kalau seumpama hamil ya,
kalau hamil itu jangan suka menjahit celana dalam maupun celana luar. Jangan
menisik celana begitu itu. Tetapi ya memang betul begitu, itu si anu memang
betul anusnya tidak ada, tidak punya lubang anus‟ (Wawancara dengan mbah
Karena kemungkinan buruk yang mungkin terjadi jika melanggar inilah, maka
Makna kultural : wanita hamil dan suaminya tidak boleh menutup lubang rumah
tikus karena dapat berakibat buruk pada saat persalinan, yaitu persalinan yang
sulit karena tertutupnya jalan lahir oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Tetapi hal
ini dapat diatasi kembali agar si jabang bayi segera lahir dengan cara membuka
kembali lubang tikus yang ditutup tadi agar tikusnya tidak tersiksa di dalam tanah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Informan saya mengatakan hal demikian : Hla kuwi si Dwi e nggebug tikus ta
saiki keneke anakke galho kaya kecuwik. Hla ya kana mbunteti, Ngatina nyumpeli
leng tikus saya ora metu-metu. Ndang bali lenge tikus dibukaki kabeh ndang
di…teka kana lek lahir. „Lha itu si Dwi nya memukul tikus kan, sekarang sininya
(menunjuk antara kedua mata) anaknya seperti teriris. Lha ya itu menutupi
lubang, Ngatina menutup lubang tikus malah jadi tidak keluar-keluar. Begitu
lubang tikusnya dibuka semua, sampai sana langsung lahir‟ (Wawancara dengan
Bagaimanapun tikus juga makhluk hidup yang butuh udara dan makan. Dan
mengurung tikus di dalam tanah akan menyiksanya. Maka dari itu, ibu hamil dan
suaminya tidak boleh melakukan hal ini. Melakukan hal buruk akan membuat
pikiran ibu hamil terganggu karena merasa bersalah dan terus memikirkannya.
Secara ilmu kesehatan, hal ini akan mempengaruhi kesehatannya yang akan
Makna kultural : wanita hamil dan suaminya (bojo sakloron) tidak diperbolehkan
membunuh ataupun menyiksa hewan, karena hal ini dipercaya dapat membawa
Aku tau kok Nok sing pertama kuwi, mbahmu kene kuwi biyen ngarep
kono kuwi ana ula ning dhuwur. Hla saiki diuthik-uthik mrembet ning
ngisor ngono kuwi digebug kayu pring. Ulane theksek ta? Anakku ya mati
ning jero tenanan kok Nok. Pamane mithes-mithes apa-apa, nek ana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kodhok apa dipenthung apa digebug sikile tugel tangane tugel ngono ora
entuk. Hla ki Tri Nanggulan kuwi ya buktine ya nggone Mbah Tin kuwi
ta? Kuwi pakne ngarit mbabat kodhok sikile prithil kabeh, lha Tri tangane
ya prithil kabeh, jempolane separo-separo.
„Saya pernah kok, nak yang pertama itu, kakekmu sini itu dulu di depan
itu ada ular di atas. Lalu diutak-atik merambat ke bawah begitu lalu
dipukul dengan kayu bambu. Ularnya langsung mati kan? Anakku juga
mati di dalam betulan kok, nak. Seumpama menggilas sesuatu, kalau ada
katak, apakah terpukul lalu kakinya kakai atau tangannya patah begitu
juga tidak boleh. Lha Tri Nanggulan yang punya mbah Tin itu ya
Mbiyen ki nek omong sok netesi. Asline ya, nek meteng tua ki nithili urang
ra entuk, ngonceki urang ra entuk. Ya omongane wong tua ki sok ngono
kae. Sok kala menga ngono lho. Sebabe ben ora ciri. Ora entuk mateni
kewan, sing lanang ra entuk apa meneh sing wedok sak durunge
ngandhek. Umpama nganti midak coro pa piye „i.. ya Allah Gusti jabang
bayi‟ ngono. Nek ra sengaja no ya ra papa.
„Jaman dulu itu kalau berbicara memang sering terjadi. Sebetulny ya,
kalau hamil tua itu mengupas udang tidak boleh. Ya berbicaranya orang
tua itu sering begitu itu. Sering asal keluar begitu lho. Sebabnya agar tidak
cacat. Tidak boleh membunuh hewan, yang laki-laki tidak boleh apalagi
„I ya Allah Gusti jabang bayi,‟ begitu. Kalau tidak sengaja begitu ya tidak
apa-apa.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Seorang bidan yang menjadi informan saya mengatakan kalau secara medis
hal itu tidak akan tidak akan menimbulkan dampak negatif kepada si jabang bayi,
tetapi pada kenyataannya di masyarakat, hal itu dapat menyebabkan si bayi lahir
hamil, wong bobot ki ora pareng mancing, berburu, matik lele, pokoke mateni
kewan. Iki ana, dadi bapake tukang, bakul lele, matile lele. Bayeke, pucukan
antara irung karo mripat dadi dekok. „Oya Jawa itu misalnya pada ibu hamil,
orang hamil itu tidak boleh memancing, berburu, membunuh lele, pokoknya
membunuh hewan. Ini ada, jadi bapaknya penjual lele, membunuh lele. Bayinya,
ujung antara hidung dengan mata jadi seperti teriris‟ (Wawancara dengan ibu
Sedangkan dalam cerita yang lain, Serat Babad Ila-ila 2 menceritakan asal
mula Dewi Hastipraba berbentuk seperti seorang raksasa padahal ibunya adalah
pertempuran dengan gajah Asura. Dalam pertempuran itu, gajah Asura dapat
apapun juga. Sebab kemarahan yang timbul di dalam hati pasti akan terwujud
Pada masyarakat modern, hal ini hanya akan disebut coinsiden, sesuatu yang
kebetulan saja terjadi, atau berpikir ini masalah asupan nutrisi si ibu pada saat
hamil atau karena serangan virus. Pada kenyataannya pada masyarakat kita itulah
yang terjadi.
hidup adalah hal yang tidak benar, maka si ibu akan terus memikirkannya. Seperti
halnya nasihat „jangan terlalu stress karena akan berpengaruh pada kejiwaan si
jabang bayi‟, maka sesuatu yang mengganggu pikiran ibu akan tersalurkan kepada
bayinya. Terlepas dari keadaan fisik yang terjadi pada si bayi, pikiran yang berat
Faktor yang lainnya adalah kepercayaan kepada leluhur atau perkataan orang
tua. Watak masyarakat kita yang tidak berani membantah orang tua dan menerima
apapun yang dikatakan karena takut akan terjadi sesuatu yang buruk jika
melanggar sangan kuat mengakar. Orang tua jaman dahulu kuat tirakatnya, maka
apapun yang dikatakn kemungkinan besar akan terjadi. Itulah mengapa faktor
kepercayaan menjadi salah satu faktor penting dalam tradisi masyarakat Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna kultural : saat hamil tidak boleh memotong rambut, karena pada ora ng
Jawa menghilangkan apapun dari sesuatu yang semestinya harus ada akan
informasi: Ora entuk ngethok rambut ki merga anake iso gundhul ora duwe
rambut. Tidak boleh memotong rambut itu karena anaknya bisa gundul tidak
punya rambut (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
Makna kultural: ila-ila tidak boleh mandi pada malam hari menurut orang tua
Jawa adalah karena katanya nanti bisa kembar banyu, yaitu perut yang terlihat
besar sekali padahal bayinya kecil. Hal itu disebabkan karena volume ketuban di
dalam perut melebihi normal, dan ketika saatnya melahirkan air ketuban akan
keluar. Informasi dara nara sumber yang saya dapatkan: Ndhak kembar banyu.
Kembar banyu kuwi nek nglairke ngetokne kawah. Ngko nek kawahe entek
nglairkene angel. „Nanti kembar banyu. Kembar banyu itu kalau melahirkan
Sebetulnya hal itu tidak dapat dipastikan karena mandi malam. Volume
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
normalnya ketuban harus pecah dahulu untuk melumaskan bayi yang lahir agar
mudah.
Tetapi jika ditelaah lebih lanjut, larangan mandi malam ini dapat
menyebabkan rematik, selain itu angin malam tidak baik, menyebabkan paru-paru
basah. Efek yang lebih ringan dan lebih cepat adalah dapat membuat masuk
angin. Alasan yang lain lagi adalah karena pada malam hari cahaya tidak sebaik
pada siang hari. Apalagi pada jaman dahulu kamar mandi berada di luar atau
bahkan di sungai, sehingga dapat membuat ibu hamil terpeleset. Hal ini tentu
dapat membahayakan si ibu dan janin yang berada di dalam kandungan bisa saja
(9) Pas mbobot sangang sasi, dislameti jenang procot, pasarane Setu Wage.
Dalam semua daur hidup manusia, sudah pasti ada selametan yang menyertakan
banyak tata cara untuk menyimbolkan sesuatau. Pada kehamilan yang kesembilan
bulan, saat mendekati hari lahir, biasanya diadakan selametan sebagai ucapan rasa
syukur dan doa untuk kelancaran persalinan nanti. Keterangan yang didapat dari
nara sumber:
Ya nak metu ndang cepet, ndang metu ndang gage. Jenang procode kuwi
jenenge sarana nek wong Jawa mbiyen ki ben nglairke ki paringi lancar,
ora neka-neka ngono lho. Jenang procod kwi bubur baning, saka tepung
beras, dikeki werna abang ya oleh, nek wong kene bubur sum-sum. Dikeki
gedhang raja temen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
„Ya kalau keluar biar cepat, cepat keluar cepat selesai. Bubur procodnya
itu sama dengan sarana untuk orang dahulu agar melahirkannya itu diberi
kelancaran, tidak ada suatu apapun. Jenang procod itu bubur dari tepung
beras, diberi warna merah (dari gula Jawa) juga boleh, kalau orang sini
Dalam slametan ini dibuatkan jenang procod, tepung beras yang diberi warna
merah yaitu tepung beras yang dimasak bersama santan dan gula merah. Lalu
setelah diletakkan dalam piring, di atas bubur tersebut diberi pisang raja yang
telah dikukus. Simbol dari hal ini adalah jenang merah menyimbolkan darah,
sedangkan pisang raja menyimbolkan si jabang bayi. Lalu prosesi yang dilakukan
adalah si calon ibu menumpahkan bubur tersebut yang diterima oleh si calon
bapak dengan piring pula. Hal ini dimaksudkan agar kelahirannya berjalan lancar
tanpa halangan apapun, tanpa operasi, tidak sungsang dan hal-hal buruk lainnya,
dan setelah dilahirkan, sang ayah akan menerima bayi yang lahir dengan suka cita
bayi membesar, seperti yang dikatakan oleh nara sumber: Mergane engko ndak
bayine gedhe. Gegedhen bayi. Dadine angel. ‟Karena nanti bayinya bisa besar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Kebesaran bayinya. Jadinya sulit (kalau keluar nanti)‟ (Wawancara dengan ibu
Hal ini tidak dapat dipastikan secara medis karena menurut para dokter yang
gula atau sirup. Zat gula inilah yang membuat bayi menjadi besar (gemuk) dan
efeknya terjadi persalinan yang sulit. Selain itu seperti halnya menjaga kesehatan
tubuh untuk tidak mengkonsumsi makanan yang terlalu panas, dingin, manis,
asin, asam dan lainnya, maka hal ini pun juga berlaku untuk ibu hamil. Minum es
air mentah. Jika diminum dapat menyebabkan pilek. Itulah sebabnya ibu hamil
Makna kultural: mitos dalam Jawa mengatakan kalau ibu hamil tidak boleh
makan yang pedas karena nanti ketika lahir si bayi akan mempunyai kotoran di
mata. Nara sumber mengatakan: Engko nek bocahe lair ndhak rembes, rembes ki
lodoken matane. Nak wong Jawa ngono kuwi. „Nanti kalau lahir bisa blobokan
(matanya selalu mengeluarkan kotoran) matanya. Kalau orang Jawa begitu itu
(kepercayaan yang dianut)‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari
2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Nara sumber yang lain memberikan informasi jika semasa hamil suka
merasakan panas pada vaginanya. Ia mengatakan: Nek maem pedhes niku kan
panas nek babaran mbak. Nggih, nggen nek vaginanya perih ngoten niku lho.
ngoten niku lho. „Kalau makan pedas itu kan panas kalau melahirkan, mbak. Ya
di vaginanya perih begitu lho. Sepertinya rasanya sudah telanjur sakit sekali
begitu itu‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada tanggal 9 Mei 2010).
Sebetulnya belum pasti karena itu, namun hal ini tidak diperbolehkan karena
akan mempengaruhi kesehatan si ibu. Si ibu bisa saja terkena diare karena makan
makanan yang pedas. Jika diare, sudah tentu si ibu nutrisi yang dimakan oleh si
katanya akan membuat bayi yang dikandung terlahir dengan kulit yang
berkeriput. Informasi yang saya dapatkan: Nggih, nek mimik panas, nek
kekathahen maem panas mangkeh bayine sami kisut-kisut kados kirang sehat
ngoten niku lho mbak. Kados-kados kering ngoten niku lho. Kados teng kriput-
kriput ngoten nika nek maem mimik panas. „Ya kalau meminum sesuatu yang
panas, kalau kebanyakan makan yang panas nanti bayinya keriput-keriput seperti
kurang sehat begitu itu lho, mbak. Seperti kering begitu itu. Ya seperti keriput
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
begitu itu kalau makan dan minum panas‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada
keterangan: Ora entuk mangan sing panas-panas engko mergane bayine ndak
karena nanti kulit bayinya bisa berkeriput-keriput‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi
yang dingin, asam, pedas dan lainnya, mengkonsumsi makanan yang panas akan
mengganggu metabolisme tubuh si ibu. Hal ini tentu saja cepat atau lambat akan
Makna kultural : salah satu nasehat untuk ibu hamil dalam hal mengkonsumsi
makanan adalah tidak boleh memakan nanas. Selain karena keras di lambung
yang mana dapat menyebabkan maag (apalagi ibu hamil sangat mudah terserang
maag karena pada masa ini asam lambung akan selalu tinggi), ternyata hal ini juga
Aja maem nanas mengko bayine ndak gudhig wesi kaya kulit nanas,
padahal sebetulnya karena zat yang ada dalam nanas itu melunakkan janin.
Sehingga kalau orang kalau misale hamil makan nanas muda kan isa
keguguran. Orang jaman dulu nggak mau mengatakan seperti itu katanya
mungkin pamali kalau orang hamil dikatakan mengko ndhak keguguran itu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
pamali, mengko ndhak keguguran tenan, jadi pake sanepa mengko sikile
bayine gudhigen padahal nggak ada hubungane kulit nanas sama kaki.
Aku makan apa-apa nggak berani akhire bayine nggak sehat. Kalau durian
nggak boleh soale mengandung alkohol. (Wawancara dengan ibu Nunik
pada tanggal 12 Mei 2010).
Dalam ilmu cuisine atau masak-memasak, ada tips bahwa untuk melunakkan
daging yang akan diolah adalah dengan merebusnya bersama nanas atau daun
pepaya. Ternyata dalam dua benda tersebut terkandung enzim yang dapat
melunakkan daging (pada tanaman pepaya disebut enzim papain). Itulah sebabnya
mengapa ibu hamil tidak diperbolehkan mengkonsumsi dua benda ini dalam
jumlah yang berlebihan. Terkadang dalam jumlah terbatas pun dapat memicu
penyakit maag pada penderita maag kronik. Selain itu dapat menyebabkan
keguguran karena enzim tersebut membuat janin yang masih muda menjadi lunak.
Makna kultural : tidak boleh memakan daun papaya secara berlebuhan karena
menurut orang tua Jawa, daun papaya dapat meremukkan ari-ari. Seorang
informan yang masih sangat mempercayai gugon tuhon mengatakan kalau daun
pepaya dapat meremukkan ari-ari, dimana ari-ari adalah hal yang penting untuk
mengantarkan zat makanan dari tubuh ibu ke tubuh bayi. Ia mengatakan : Yen
mangan godhong kates ra entuk mergane ngko ari-arine ndhak remuk. „Kalau
makan daun pepaya tidak boleh, nanti tembuninya remuk‟ (Wawancara dengan
belum kuat benar, maka orang tua menyarankan agar tidak mengkonsumsi daun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
pepaya secara berlebihan, karena tanaman pepaya mengandung zat papain yang
menggugurkan janin.
atau metabolisme. Apalagi pada orang hamil dan menyusui karena sari
makanannya terserap oleh bayi. Salah satunya adalah buah durian yang tidak
boleh dikonsumsi dalam jumlah banyak karena buah ini mengandung kadar
alkohol yang tinggi. Selain dapat menyebabkan kadar asam lambung pada ibu
(16) Yen lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting.
Makna gramatikal: jika bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan
gunting.
Makna kultural: orang Jawa mempunyai gaman (senjata) untuk melawan makhluk
halus, yaitu dlingo, bengle dan garam. Maka benda-benda ini akan selalu
diikutsertakan dalam hal menjauhkan sengkala. Juga untuk ibu hamil agar dia dan
janin yang dikandungnya tidak diganggu oleh setan-setan yang berada diluar saat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ia bepergian, maka ia wajib membawa dlingo, bengle dan gunting ini. Dlingo
bengle biasanya dipotong kecil dan ditusukkan pada cemiti untuk digunakan
sebagai bros. Ibu Sarmi memberikan keterangan: Kuwi jenenge kanggo tolak
sawan. Tolak sawan kuwi gen aja kena sengkala. Ngerti sengkala? Kwi cara dene
setan ben aja ngganggu ngono lho. „Itu namanya untuk tolak bala. Tolak bala itu
agar tidak terkena sesuatu yang buruk‟ (Wawancara dengan ibu sarmi pada
Jadi selama masih hamil dan pada masa menyusui, pada ibu maupun si bayi
harus selalu diberi dlingo bengle agar gangguan gaib tidak mendekat karena pada
(17) Yen bojone meteng, sing lenang ora oleh nggembol endhog.
Makna gramatikal: jika istrinya hamil, yang pria tidak boleh mengkantongi telur.
Makna kultural: ada kepercayaan Jawa yang menyebutkan ketika si istri hamil,
maka si suami tidak boleh mengantungi telur. Menurut mereka hal ini bisa
menyebabkan burung si bayi (jika laki-laki) akan menjadi besar. Selain itu agar
menurut mereka, nanti si anak bisa mempunyai penyakit udun. Ibu Ru yang
merupakan penganut kepercayaan Jawa yang cukup taat mengatakan: Trus yen
bojone meteng sing lenang nggembol ndhok ra entuk. Kuwi masalahe ndhak
konthole ndhak gedhe. Ndak nduwe penyakit udun. „Lalu kalau istrinya hamil,
kemaluannya bisa besar. Bisa punya penyakit udunan‟ (Wawancara dengan ibu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Ru pada tanggal 10 Mei 2010). Oleh karena itu si suami, apalagi si istri tidak
Tetapi jika ditelaah lebih lanjut, mungkin ada nasehat yang lebih dalam dari
para orang tua untuk anak mereka dari gugon tuhon ini. Tidak boleh mengantungi
telur maksudnya antara suami istri tidak boleh menyembunyikan sesuatu dari
pasangannya. Semua harus dibicarakan bersama. Apalagi ibu hamil harus selalu
menjaga pikirannya agar tetap bersih dan tidak kacau, maka berbagi dengan suami
(18) Nek mangan aja neng ngarep lawang, mundhak nglairkene angel.
Makna gramatikal: kalau makan jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit.
Makna kultural: gugon tugon Jawa mengatakan jika orang hamil makan di depan
pintu, maka kelak ketika melahirkan ia akan mengalami kesulitan, karena ketika
tanyai memberikan keterangan: Nggeh kula penging nganu nek maem aja neng
nggon ngarep lawang. Nek maem neng ngarep lawang niku nek ajeng babaran
sok mandek niku lho kula. Maksude nek mau lahir niku nggak jadi. Ngoten niku.
„Ya saya beri tahu kalau makan jangan di depan pintu. Kalau makan di depan
pintu itu nanti kalau mau melahirkan suka berhenti begitu lho, mbak. Maksudnya
kalau mau lahir nggak jadi. Begitu itu.‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Selain itu, duduk di depan puntu tentu akan sangat mengganggu orang-orang
yang akan keluar-masuk ruangan. Jika tertendang pun, akan menyakitkan orang
yang tertendang, apalagi jika yang tertendang adalah ibu hamil. Kalau ia terjatuh
kesehatannya.
(19) Yen mangan aja nganggo pincuk, nganggo piring wae, mundhak ari-arine
kelet.
Makna gramatikal: kalau makan jangan memakai takir, memakai piring saja, nanti
tembuninya lengket.
Makna kultural: kepercayaan lain yang berkembang adalah larangan untuk makan
maka ari-arinya bisa lengket, sehingga nanti ari-arinya tidak bisa keluar. Informan
yang ditanyai mengatakan: Terus nek maem pake pincuk, ngertos pincuk nika ta?
Niku mengkih ari-arine, ning niki jaman riyin, ari-arine jadi kelet ngoten niku
lho. Nganu susah. Nggeh, nek maem mboten sah ngagem pincuk, kedah ngangge
piring. „Lalu kalau makan pakai takir, tau takir itu kan? Itu nanti ari-arinya, tapi
ini jaman dahulu, ari-arinya jadi lengket begitu itu lho. Anu susah. Ya kalau
makan tidak usah memakai takir, harus memakai piring‟ (Wawancara dengan ibu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna kultural: selama hamil, si ibu tidak boleh memakan tebu. Menurut orang
tua Jawa, hal itu dapat menyebabkan kokot kidang. Kokot kidang adalah darah
yang keluar pada saat ia akan melahirkan. Dan darah yang keluar itu membuatnya
merasakan sakit yang sangat. Seorang penganut Jawa yang kental memberikan
informasi: Mangan tebu, soale ngko ndhak kokot kidangen. Gula jawa ra entuk.
Ngko ndhak kokot kidangen. Kokot kidang ki ngetokne getih sithik tur lara.
„Makan tebu, soalnya nanti kokot kidangen. Gula jawa juga tidak boleh, nanti
terkena kokot kidang. Kokot kidang itu mengeluarken darah sedikit tapi sakit‟
Sedangkan ibu rumah tangga yang sudah tidak terlalu percaya dengan gugon
tuhon, namun masih cukup mengerti tentang tradisi Jawa ini memberikan
keterangan:
Lha nek kebanyaken manis, misalnya dhahar tebu napa ngeten, nika kokot
kidang. Kokot kidang niku nek mpun bededengen sakit, mboten saget
lahir, sing lahir cuma medalke darah. Ngoten niku. Mangkih nek dharahe
Dadose ngantos dharahe anu mangkih. Sakit nek kokot kidang nek ngoten
niku mbak.
Lha kalau kebanyakan makan manis, misalnya makan tebu atau apa, itu
kokot kidang. Kokot kidang itu kalau kalau sudah telanjur sakit, tidak bisa
lahir, yang lahir Cuma mengeluarkan darah. Begitu itu. Nanti kalau
darahnya habis, keluar darah lagi dan sakit. Jadi sampai darahny. (keluar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
terlalu banyak). Sakit kalau kokot kidang itu, mbak. (Wawancara dengan
dokter pada saat hamil. Karena dapat menyebabkan bayi yang di dalam
yang sulit ini tentu akan membahayakan jiwa si ibu dan bayi yang dilahirkannya.
(21) Yen wis sangang sasi, ngombe minyak blondho saka godhong lumbu terus
Makna gramatikal: kalau sudah sembilan bulan, minum minyak kelapa dari daun
Makna kultural: tata cara ini termasuk dalam rangkaian selametan sembilan bulan
blondho, yaitu minyak kelapa murni. Minyak tersebut ditempatkan dalam daun
talas untuk kemudian diminum ibu yang sudah mendekati masa melahirkan.
pintu. Prosesi tersebut menyimbolkan setelah meminum minyak yang licin dan
diminum dari daun talas yang licin, maka kelahirannya akan mudah. Sedangkan
Ibu Sarmi meberikan keterangan: Jenenge kuwi biasane bubar nggawe bubur
procod ta? Ngombene kaya ngono kuwi. Sak durunge bayinya lair ki kudu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
nggawe kaya ngono. Bayine gen lairane gampang. Lebih lancar. Nek dhong
lumbu ki lunyu, minyak ya lunyu, ben nglairkene mak prucut, gen gampang.
„Namanya itu biasanya setelah membuat bubur procod kan? Minumnya seperti
itu. Sebelum bayinya lahir itu harus membuat seperti itu. Bayinya biar lahirnya
gampang. Lebih lancar. Kalau daunt alas itu licin, minyak juga licin, biar
2011).
(22) Yen mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala,
mundhak nyawani.
Makna gramatikal: kalau datang ke rumah orang hamil tidak boleh berbicara
Makna kultural: kejiwaan ibu hamil haruslah selalu dijaga karena suasana hati ibu
sikap dan perkataannya. Misalnya ketika tadi tamu tersebut bertemu dengan orang
yang cacat atau melihat suatu kecelakaan, maka ia diharapkan untuk menahan
Terus bocah kuwi nek ndelok wong ciri suwing, apa debloh, apa bujel
mripate kuwi amit-amit jabang bayi ki bayine ben ora anu. Engko ndhak
sawanen. Kan sok ana mung dibatin wae. Ndilalah nak mbatin wong
bagus, ayu trus kan ora nular. Neng nak ujug-ujug mbatin uwong kuwi
kok nular? Kuwi turunanku dhewe ana. Turunanku dhewe ana, adhiku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dhewe malah sing nular. Sing wedok gek meteng, sing lanang ki weruh
wong idhiot, “kuwi menungsa apa setan ta?”. Anak‟e wong loro idhiot
kabeh. Loro lanang-lanang. Pancen kudu di … . “Jabang bayi karo
bojoku tangia. Ana wong kok kaya ngono”
„Lalu anak itu kalau melihat orang cacat, atau debloh, atau buta matanya
itu harus mengatakan „amit-amit jabang bayi‟, itu agar bayinya tidak anu
(ikut menjadi cacat). Nanti ikut terkena sialnya. Kan terkadang ada yang
hanya dibatin saja. Ternyata kalau membatin orang ganteng, cantik kan
tidak menular. Tetapi kalau tiba-tiba membatin orang itu kok menular. Itu
saudara saya sendiri ada, adik saya sandii malah yang ketularan. Yang
perempuan baru hamil, suaminya melihat orang idiot, “itu manusia apa
setan sih?”. Anaknya dua orang idiot semua. Dua laki-laki semua.
Memang harus di … “Jabang bayi dan suamiku bangunlah. Ada orang kok
Orang Jawa percaya jika seorang wanita hamil memikirkan sesuatu yang
buruk, maka hal buruk tersebut dapat menular kepada janin yang sedang
dikandungnya. Namun jika hal itu terlanjur terjadi, maka wanita tersebut akan
menangis sambil memohon agar Tuhan tidak memberikan sesuatu yang buruk
kepada bayinya.
Kejiwaan selama hamil sangatlah penting. Maka ketika seorang wanita sedang
hamil, disarankan untuk rileks secara badan dan pikiran. Karena ternyata pikiran
keguguran. Itulah mengapa menjaga suasana hati dan pikiran ketika hamil perlu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sekitarnya.
Makna gramatikal: jangan menyimpan air bekas mencuci piring, tidak pantas.
Makna kultural: dalam nasehat Jawa, menampung air bekas mencuci piring atau
baju tidak diperbolehkan karena hal itu dapat membuat bayi yang dilahirkannya
akan mempunyai kulit yang tidak bersih (berpenyakitan) dan telinganya selalu
Banyu asah-asahan ditandu ora entuk. Mengko anake ndak carane kopoken. Sakit
kuping kuwi lho. „Air bekas mencuci piring tidak boleh ditampung (dan
disimpan). Nanti anaknya bisa kopokan. Sakit telinga itu lho‟ (Wawancara dengan
Selain itu wanita hamil dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan dirinya
dan lingkungannya. Hal ini dilakukan agar kelak ketika melahirkan ia diberi
bersih. Ila-ila untuk tidak menyimpan air bekas mencuci piring adalah agar anak
yang dilahirkannya kelak bersih, tidak keruh seperti air bekas mencuci tersebut,
dan juga agar kelahirannya berjalan lancar karena ia sudah membersihkan segala
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: jangan tidur setelah melahirkan, agar tidak trans (keadaan
tidak sadar).
Makna kultural: pada umumnya menjaga orang yang lelah teramat sangat sehabis
a. Tidak terlanjur menjadi gila. Karena pada saat melahirkan, tenaga sudah
terkuras dan merasakan sakit yang hebat, sudah pasti si ibu akan merasa
sangat lelah dan hanya ingin tidur. Nah, pada saat tidur ini dikhawatirkan jika
b. Kekhawatiran kedua adalah karena kelelahan dan sakit yang hebat itu, pada
saat tertidur, si ibu akan keterusan (bablas : bhs Jawa) meninggal karena
O niku masalahe nganu, nek jaman biyen, jarene widadari sekethi ki jek
ngendhangi nek wong sing bar dhuwe anak turu. Ora kena turu ki merga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
nek keblabasen dituntun karo widadari kuwi. Trus ana ta bar dhuwe anak
nek turu keblabasan sok mati. Mulane nek wong nek bar dhuwe anak
anyar aja turu sek, ya ndedonga saisa-isane, ngono tha Wuk?
langsung tidur. Tidak bioleh tidur itu karena kalau kebablasan nanti
dituntun oleh bidadari itu. Lalu ada kan yang sehabis melahirkan lalu tidur
Sedangkan informan yang lain memberikan cerita : O, nak kelindheh ki nganu ya,
mas? Nak kelindheh ki piye kaya ibumu kae? Kuwi sok-sok pikirane pas kosong,
ngalamun pa piye. Ngono nek kelindeh ki bablas setres, ibu e iki mbiyen ya
ngono. „O, kalau kelindeh itu anu ya, mas? Kalau kelindeh itu bagaimana ibu
kamu dulu? Itu terkadang pikirannya sedang kosong, ngalamun atau bagaimana.
Kalau kelindeh itu keterusan gila, ibunya ini dulu juga begitu‟ (Wawancara
kerabatnya agar ia tidak tertidur. Karena biasanya setelah merasakan sakit dan
kehabisan tenaga, ibu yang baru melahirkan rasanya ingin tidur saja. Oleh karena
alasan-alasan diatas, sebaiknya ibu hamil terjaga dahulu dan berdoa atas
Makna gramatikal: tidak pantas bayi bermain kaki, nanti besarnya malas.
Makna kultural: kalau seorang bayi sewaktu belum bisa berjalan suka bermain
kaki, dengan mengulum jempol kaki atau memegangi kaki dengan tanggannya,
maka kelak saatnya berjalan akan lebih lama dari waktu normalnya. Jika bayi lain
rata-rata umur setahun sudah berjalan, maka bayi ini setahun lebih baru bisa
berjalan. Seperti kata seorang nara sumber: Bocah ki nek sikile dimut, bocah
mlakune suwe, kesed. Kan sok ana bayi sing dolanan sikil, dimut, kuwi kesed. Ya
wes cara dene ki males. Anak kalau kakinya dikulum itu nanti jalannya lama,
malas. Kan kadang ada bayi yang mainan kaki, dikulum, itu nanti malas. Ya
memang malas. (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Mungkin pada saat ia bermain dengan kakinya, hal ini membuat ia lebih asyik
bermain daripada bergerak dan mencoba berjalan seperti kebanyakan anak yang
penasaran dengan dunianya. Maka lebih baik orang tua mengalihkannya dengan
(3) Yen bayine durung rong taun, abrakane aja dibakari, mundhak suleden.
seperti popok, kain yang dipakai sebagai alas, selimut, dan sebagainya tidak boleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Masyarakat sekarang yang sudah mengenal popok sekali pakai (pampers) namun
masih ada masyarakat yang melakukan hal ini. Hal ini masih mereka lakukan
karena jika barang-barang tersebut dibakar, nanti kulit pada bayinya akan
terjangkit suatu penyakit yang penampakannya sepintas seperti luka bakar, orang
paramedis, ternyata menurut mereka penyakit kulit ini adalah dompo, atau lazim
disebut herpes.
Seorang nara sumber mengatakan: Bocah ben aja kena suleden. Suleden kwi
awake kaya bentuk koreng-koreng ana banyune. Nek pama basa Indonesia kuwi
cangkrangen. „Agar anak tidak terkena penyakit suleden. Suleden itu badannya
Namun jika ditelaah lebih lanjut, mengapa ada larangan membakar baju-baju
bayi yang belum berumur dua tahun, mungkin hal ini disebabkan jika ketika
dapat terganggu pernapasannya, atau jika terkena mata si bayi, maka akan
(4) Yen mlebu omah ana bayine, utawa tilik bayi, kudu langsung njujug mburi, gen
Makna gramatikal: kalau masuk rumah yang ada bayinya, atau menjenguk bayi,
Makna kultural: ada beberapa tata cara adat bertamu untuk menjenguk bayi pada
masyarakat Jawa. Yang pertama-tama saat ia masuk ke dalam rumah yang ada
bayinya, maka mereka harus langsung menuju dapur, tidak boleh berhenti dulu
untuk berbicara dengan bayinya, apalagi menyentuhnya. Pada jaman dahulu orang
yang memasuki rumah ini diharuskan langsung menuju ke dapur untuk lalu
sikil neng pawon). Namun pada masyarakat desa Nanggulan sudah tidak ada yang
melakukan tradisi ini. Pun ketika saya tanyai mengapa dahulu hal ini diterapkan,
mereka tidak tahu karena mereka tidak pernah bertanya kepada orang tuanya.
Mereka hanya ingat tradisi ini masih dijalankan pada jaman ayah ibu atau kakek
O ya, nek kuwi eneng, tapi yen saiki kan ora eneng pawon enenge kompor,
kuwi wong cara wong tilik bayi kuwi bablas neng pawon sek, neng kamar
mandi wisuh sek. Ngono ki nek ana apa-apa ka njaba mau ben ilang. Ora,
rasah dipanas-panasi sing penting bablas neng kamar mandhi. Ora ana
pawon, neng kamar mandhi wisuh terus neng nggone bayine. Ki ora papa.
„O ya, kalau itu ada, tapi kalau sekarang kan tidak ada tungku, adanya
kompor, itu kalau orang menjenguk bayi itu langsung ke dapu dulu, ke
kamar mandi mencuci kaki tangan dahulu. Begitu itu kalau ada apa-apa
dari luar tadi biar hilang dahulu. Tidak, tidak usah memanaskan kaki yang
keluarga yang datang dari bepergian selalu diharuskan tidak boleh berbicara
dengan si bayi, langsung menuju ke belakang yang merupakan dapur dan kamar
mandi, untuk lalu mencuci tangan, kaki dan muka. Setelah itu baru mereka boleh
Jelas. Nek seka bepergian adoh apa tamu teka, fungsine dheknen kon mau
kuwi karepe mungkin wijik. Wijik ki kan untuk membersihkan kuman, nek
ngko nek meh demok bayike ki ben ora tertular. Bayi kan rentan terhadap
kuman. Tapi nek ngilangi sawan ya sebenere ora. Cuma mungkin menjaga
kebersihane. Cuman nak uwong kan muk ngubengi pawon thok uwis
mbalik niliki bayi, itu tidak ngefek. Mungkin karepe wong ndhisik
mungkin nek mlebu pawon, pawon kan dadi siji mbek kamar mandi.
Karepe kon wijik ngono hlo mesthine. Dijupuk gampange thok, mlebu
pawon ngono thok.
„Jelas. Kalau dari bepergian jauh atau tamu datang, fungsinya mereka
kan untuk membersihkan kuman, agar nanti kalau mau memegang bayinya
biar bayinya tidak tertular (virus, kuman penyakit). Bayi kan rentan
mengelilingi dapur saja lalu kembali menjenguk bayinya, itu tidak ngefek.
Mungkin maksudnya orang dulu kalau masuk ke dapur, dapur kan menjadi
saja‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
diri dari kuman yang menempel dulu agar jika ada kuman, penyakit atau virus
tidak tertular pada si bayi yang masih sangat rentan terhadap penyakit.
(5) Yen ngejak bayi nyumbang, kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan
sawan manten.
Makna kultural: ada gugon tuhon yang mengatakan bahwa kalau membawa bayi
biasanya bunga tersebut berupa bunga melati. Lalu bunga tersebut dilumatkan dan
dioleskan (bahasa Jawa: dipupukke) pada ubun-ubun bayi. Hal ini dilakukan agar
si bayi tidak diikuti oleh sawan yang dipakai oleh si dukun pengantin. Biasanya
dalam acara mantenan Jawa, dukun manten yang mengampu acara melakukan
ritual-ritual untuk meminta bantuan roh-roh agar acara selametan pengantin ini
berjalan lancar.
mbun-mbunan barang. Jenenge nggo nolak sawan, ben ora kena sawan manten.
„Ya bunga atau bedaknya. Bunga boleh, bedak juga boleh. Bedakknya ya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sawan, agar tidak terkena sawan manten‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada
Makna kultural: setelah bayi lahir, biasanya para sanak saudara dan tetangga
jika datang menjenguk bayi yang baru lahir, kalau yang datang menjenguk
membawa bayi atau anak kecil, maka mereka harus dimintakan bedak dari bayi
yang baru lahir tersebut. Bedak itu dioleskan ke muka, telinga, ubun-ubun, tangan
dan kaki „penjenguk kecil‟ tersebut. Hal ini dilakukan dengan harapan mereka
yang mendapat bedak ini dijauhkan dari sawan dan tidak menangis terus seperti
Informasi yang diberikan oleh seorang nara sumber: Bocahe ben ora rewel
wae. Ora rewel kaya bayine mau terus ngko nek njalukke wedhake, diwedhakke
raine, mbun-mbunane, nggon awake. O ya, gen ketularan nduwe bayi. „Anaknya
agar tidak rewel terus. Tidak rewel seperti bayi tadi terus kalau dimintakan
„ketularan‟ punya bayi (jika ibu yang belum pernah punya anak yang meminta
bedak tersebut).‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Sedangkan untuk para ibu yang belum hamil, meminta bedak bayi ini
Makna kultural: menurut orang Jawa, bayi tidak boleh diberi kaca atau diajak
mengaca atau melihat bayangannya di kaca, karena dikhawatirkan jika melihat air
ia akan mengikuti bayangannya itu. Orang Jawa mempercayai hal ini karena pada
jaman dahulu tidak ada kamar mandi di dalam rumah, biasanya mereka mandi di
sungai. Untuk anak kecil, sungai bisa serupa lautan karena ia tidak punya daya
jika terhanyut.
Seorang informan memberi pendapat : Dijak ngaca. Bocah kuwi nek dijak
ngaca, weruh bayangane dhewe to Nok? Hla ngko nek weruh banyu kempyar-
kempyar ngono bocah ngaca kuwi arep nututi bayangane nyemplung nyang
nggon banyu, mulane cah cilik ora entuk sok diajak ngaca. „Diajak mengaca.
Anak itu kalau diajak mengaca, lihat bayangannya sendiri kan, nak? Lha nanti
kalau melihat air yang memantulkan bayangan begitu anak mengaca itu mau
mengikuti bayangannya masuk ke dalam air, makanya anak kecil tidak boleh
diajak mengaca‟ (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
Masyarakat lain memberi pendapat jika bayi tidak boleh diajak berkaca agar
„pengasuh‟ si bayi, yaitu ‟saudara‟ yang menjaganya tidak takut ketika melihat
bayine kuwi mau, kan jabang bayi ki ana sing momong, carane ki ana sing njaga.
Sing wedi ki sing njaga. „Tidak pantas, nanti bisa takut bayangannya sendiri.
Takut itu terkadang terkejut-kejut karena yang mengasuh bayinya tadi, kan bayi
ada yang „mengasuh‟, istilahnya ada yang „menjaga‟. Yang takut itu yang
Makna kultural: seorang bayi tidak boleh dipuji karena dikhawatirkan nanti kelak
ketika ia besar, maka ia akan sombong dan tinggi hati karena semasa kecil ia
terbiasa tahu bahwa dia mempunyai segalanya. Maka biasanya orang tua Jawa
melakukan hal yang sebaliknya, mereka mengatakan “elek elek dhewe bayine”
„bayinya paling jelek‟, hal itu dilakukan agar si anak selalu merasa bahwa ia tidak
Informasi yang didapatkan dari seorang nara sumber: Ki memang nek wong
mbiyen kuwi ora entuk bayi dilem-lem. Ngko nek dilem-lem ki kadhang sok bocah
ngko nek gedhene dadi kaya bombongan. Kaya wes bagus-bagus dhewe, kaya wes
apik-apik dhewe ngono kuwi. „Itu memang kalau orang jaman dahulu itu tidak
boleh dipuji-puji. Nanti kalau dipuji-puji itu terkadang anak nanti kalau sudah
besar seperti terbentuk menjadi sombong. Seperti sudah paling ganteng, paling
baik begitu lho.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Gugon tuhon ini menjadi salah satu pendidikan etika pengasuhan anak, untuk
membentuk kepribadian yang baik. Caranya dalah dengan tidak meninggikan hati
anak tersebut dari semenjak dia bayi. Sesuai dengan kepribadia Jawa yang tidak
suka memamerkan apa yang dipunyainya, maka orang tua Jawa pun mendidik
memiliki sesuatu.
(9) Tangan bayi aja diambungi, ora ilok, mundhak gedhene njalukan.
Makna gramatikal: tangan bayi jangan diciumi, tidak pantas, nanti besarnya suka
meminta.
Makna kultural: masyarakat Jawa percaya jika semasa kecil si bayi sering diciumi
tangannya oleh orang tuanya, maka ketika besar ia akan menjadi delap, yaitu suka
meminta barang yang dimiliki oleh orang lain, padahal ia sendiri telah
memilikinya. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Delap. Tangan
bocah diambungi ngono kuwi ngko suk nek gedhe delap. Delap ki njalukkan,
mlilikan. Bena neng ngomah panganan turah sembarang ana ki, ning iri karo
kancane. „Delap. Tangan anak sering diciumi itu nantinya kalau sudah besar suka
meminta. Delap itu suka meminta, iri hati. Biarpun di rumah makanan tersisa,
semua ada itu, tetapi iri dengan teman-temannya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi
Maka biasanya jika ada yang menciumi seorang bayi, orang tua si bayi akan
melarang orang tersebut untuk melakukan hal itu, dengan dalih gugon tuhon
tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: baju bayi jangan dikibaskan, nanti bayinya mudah terkejut.
Makna kultural: dalam hal merawat pakaian bayi, selain harus dimasukkan ketika
malam tiba, baju-baju bayi juga tidak boleh dikibaskan. Hal ini tidak boleh
dilakukan karena nanti si bayi bisa sering terkejut ketika mendengar suara yang
dikatakan oleh seorang nara sumber: Ngko ndhak kagetan, girapen jarene. Apa
sithik ndhak girapen jenenge. Nek wong mbiyen ki ana loro, klambi dikebutne
karo bar lahir digebrak. Ning nek saiki klambi bayi ora oleh dikebutne. Nek
terkejut. Kalau orang dahulu itu ada dua, baju dikibaskan dan digebrak setelah
melahirkan. Tapi kalau sekarang baju bayi tidak boleh dikibaskan. Kalau digebrak
dengan tangan. Mengibaskan baju bayi tidak diperbolehkan mungkin jika kita
mengibaskan kain dan si bayi berada di dekat kita, maka si bayi akan terkejut
(11) Yen bayine nangis kena sawan, mbun-mbunane dipupuki dlingo bengle.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna kultural: jika seorang bayi menangis terus menerus dan bukan disebabkan
oleh lapar, haus atau sakit dan menurut orang Jawa menangisnya sambil menutup
mata serta tidak mengeluarkan air mata, maka hal itu adalah indikasi bahwa ia
sedang diganggu oleh roh halus yang membuatnya tidak berani melihat, sehingga
matanya selalu dipejamkan. Seperti halnya pengobatan dalam hal yang berkaitan
dengan hal gaib, maka dlingo bengle selalu digunakan dalam pengobatan ini.
Ya kuwi carane kuwi lelembut sing arep ngganggu bocahe kwi lunga.
Dadi tolak bala carane ki. Lha memang kuwi kan (dlingo bengle) gamane
wong mbiyen kan dlingo bengle tandurane. Jaman nenek moyange awak
dhewe. Dlingo bengle kan tidak untuk dimakan. Nek lempuyang, kunir
ngono kan untuk dimakan. Pembawaan dari jaman dahulu kala ki untuk
menolak bala.
„Ya istilahnya roh halus yang akan mengganggu si anak itu pergi. Jadi
istilahnya untuk tolak bala. Ya memang dlingo bengle itu kan senjatanya
ornga jaman dahulu. Jaman nenek moyang kita. Dlingo bengle kan tidak
(12) Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: tidak pantas bayi dipanggul, nanti berani dengan orang
tuanya.
Makna kultural: bayi tidak boleh dipanggul karena ketika dewasa kelak ia akan
berani melawan orang tuanya. Menurut masyarakat Jawa ketika seorang anak
„ditinggikan‟ (dengan dipanggul), maka berarti orang tua telah meninggikan status
seorang anak lebih dari dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh seorang
informan: Ora entuk dipunjui-punji, dekekne ndhuwure wong tuwa, dipunji ngono
kae ora entuk ngko ndak gedhene ra ngajeni wani karo wong tuwa. Nek cah cilik
atas orang tua. Dipanggul begitu tidak boleh nanti besarnya berani dengan orang
tua. Kalau anak kecil tidak boleh dipanggul-panggul begitu‟ (Wawancara dengan
Seorang anak yang sedang suka bermain hanya mengerti bahwa dipanggul
ia akan terus meminta tanpa dilarang. Orang tua hanya ingin membuat anaknya
senang, maka tanpa sadar orang tua terus menuruti keinginan anaknya daripada
melihat anaknya menangis. Hal inilah yang tanpa disadari telah mendidik anak
untuk menjadi manja dan berani dengan orang tuanya karena merasa ia selalu
Tetapi memang memanggul seorang bayi sangat lemah dari segi keamanan.
badannya sendiri, dan kita sedang tidak dalam posisi cekatan, ditambah lagi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
terlalu tinggi dari tanah, maka hal itu membahayakan jiwa si bayi. Badan bayi
yang masih „empuk‟ dan ringkih akan menanggung luka yang sangat berat jika
terjatuh dari tempat setinggi itu dibandingkan dengan orang dewasa yang jatuh
dari jarak yang sama. Oleh karena itu biasanya jika kita memanggul bayi kita,
(13) Yen wis wengi, klambi bayi kudu dilebokne, mundhak bayine nangis.
Makna gramatikal: jika sudah malam, baju bayi harus dimasukkan, nanti bayinya
menangis.
Makna kultural: ketika sudah beranjak malam, maka baju-baju bayi yang masih
berada di luar rumah harus segera dimasukkan ke dalam rumah. Kalau tidak
keterangan mengatakan sebab bayinya rewel adalah karena bajunya yang berada
mereka masuk angin karena semalaman bajunya terkena embun yang merasuk ke
dalam baju mereka hingga keesokan harinya. Embun ini membuat mereka masuk
angin karena merasa baju mereka anyep. Seperti yang dikatakan oleh seorang
informan: Cepet masuk anginan. Pakaian bayi ki ora entuk diisiske neng njaba
bengi bocah ndhak kerep masuk angin, kena pilek, watuk pilek ngono kwi. Kwi
marai ora apik. „Sering masuk angin. Pakaian bayi itu tidak boleh diangin-
anginkan di luar rumah saat malam, nanti anak sering masuk angin, kena pilek,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
batuk pilek begitu. Itu membuat tidak baik.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada
dalam rumah agar si bayi merasa nyaman memakai baju mereka ketika kering
nanti.
Makna kultural : seperti halnya orang tua yang perlu menjaga metabolisme
tubuhnya agar tetap baik, ibu menyusui yang mana semua yang dimakannya akan
dimakan juga oleh si bayi juga harus menjaga asupan makannya karena
metabolisme bayi masih belum sempurna. Maka ibu menyusui tidak boleh makan
Informan saya yang merupakan seorang bidan mengatakan : Terus, mimik es.
Ora entuk mimik es yen nyusoni ya memang iya, otomatis kan aire dingin bisa
nyebabkan pilek. „Lalu minum es. Tidak boleh minum es kalau menyusui ya
memang iya, otomatis kan airnya (ASI) dingin bisa menyebabkan pilek.‟
Sama dengan ibu hamil, biasanya es yang dibeli di warung terbuat dari air
mentah yang dapat membuat ibu menyusui menjadi pilek. Jika si ibu pilek,
otomatis si bayi yang daya tahan tubuhnya masih rentan pun akan ikut pilek.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Padahal jika si bayi yang pilek tentu akan sangat menyusahkan karena masih sulit
untuk mengatasi pernapasannya. Oleh karena itu sebaiknya ibu menyusui menjaga
(15) Aja mangan pedhes, mundhak bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken.
Makna gramatikal: jangan makan yang pedas-pedas, nanti bayinya kalau buang
air besar ada biji cabainya, atau kalau tidak matanya akan ada kotorannya.
Makna kultural : kepercayaan orang Jawa, jika si ibu memakan sesuatu yang
pedas, maka si bayi akan merasa kepedasan dan dalam kotorannya akan ada biji
cabainya. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Nek lagi menthili
maem pedhes ki kadhang ngko iso metu neng penthile, wiji lomboke ki mau. Dadi
marakke bocah rembesan. Dadi pancen kwi mau ra dientukke wong tuwa-tuwa
mbiyen. „Kalau sedang menyusui lalu makan makanan pedas itu kadang bisa
keluar lewat ASInya, biji cabainya itu tadi. Jadi membuat anak selalu
mengeluarkan kotoran mata (bahasa Jawa: lodokan). Jadi memang hal itu tadi
tidak diperbolehkan orang tua-orang tua jaman dahulu.‟ (Wawancara dengan ibu
Sebetulnya biji cabai yang dimaksud adalah kotoran pada umumnya yang
sekilas berbentuk seperti cabai. Tetapi secara medis jika si ibu memakan sesuatu
yang pedas apalagi yang sangat pedas, maka pencernaan si ibu akan terganggu.
Jika kesehatan ibu terganggu, maka sedikit banyak hal ini akan mempengaruhi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
mengatakan:
Menurut ahli medis, sebetulnya memakan sesuatu itu tidak dilarang, namun
dalam jumlah yang semestinya. Tidak boleh berlebih-lebihan karena hal itu pasti
Makna kultural: salah satu gugon tuhon orang tua Jawa jaman dahulu adalah tidak
si bayi sakit pada mulutnya, seperti sariawan. Seorang informan mengatakan: Nek
nyusoni ngombe panas-panas ki kan ngko banyune susu otomatis dadi panas,
ngko neng pencernaane bayi dadi ora apik. Sering sariawan juga bisa. „Kalau
menyusui minum (atau makan) sesuatu yang panas-panas itu kan nanti ASInya
otomatis jadi panas, nanti pada pencernaan bayi tidak baik. Sering sariawan juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Ibu menyusui tidak diperkenankan memakan sesuatu yang masih panas karena
Jika ditelaah lebih lanjut, kalau kita memakan sesuatu yang masih panaspun
tidak baik bagi kesehatan kita. Selain mengganggu metabolisme ibu, meminum
seseuatu yang terlalu panas akan membuat lidah si ibu sariawan (bahasa Jawa:
kecanthang). Jika kesehatan ibu terganggu, maka dalam menjaga asupan gizinya
Makna kultural: gebyur wuwung adalah mengguyur matanya langsung dengan air
dengan keadaan mata terbuka lebar. Menurut mereka ada bahnyak manfaat dari
cara mandi ini seperti yang diungkapkan oleh ibu Sarmi: Nek bar nglairke kudu
gebyur wuwung. Gen padhang mripate. Gen geteh putihe gen aja munggah neng
mripat awak dhewe ben ora cepet lamur. ‟ Kalau setelah melahirkan harus gebyur
wuwung. Agar terang matanya. Biar darah putihnya tidak naik ke mata kita, agar
tidak cepat lamur matanya.‟ (Wawanvcara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5
Januari 2011).
Hal ini dianjurkan oleh orang tua Jawa karena dipercaya dapat membuat darah
putih (yang biasanya naik ke mata setelah seorang wanita melahirkan) tidak jadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
naik ke mata. Darah putih ini akan membuat ibu yang habis melahirkan selalu
awas matanya sampai tua. Selain itu hal ini dilakukan agar wanita yang lelah
sehabis melahirkan selalu segar dan tidak mengantuk ketika saatnya mengasuh
bayi.
(18) Yen mbanjeli sasi, bayi mundhak akale. Biasane lara karo mencret, ngentheng-
enthengi.
Makna gramatikal: jika bulan ganjil, bayi meningkat akalnya. Biasanya sakit dan
diare, meringankan.
Makna kultural: ada kepercayaan yang mengatakan jika seorang bayi akan
bertambah akalnya pada saat berumur bulan ganjil hal ini ditandai dengan si bayi
yang sakit tetapi tidak lama. Keterangan dari seorang informan mengatakan:
Mbanjeli ki ya telung sasi sangang sasi kan ganjil, kuwi arep mundhak akale.
Nek arep mundhak akale ki mesti bocahe mencret tur mambune arum ngono lho,
tapi nek masuk angin ambune amis. Nek mbanjeli sasi ambune biasa tapi
mencret. „Mbanjeli (mengganjili bulan) itu ya tiga bulan sembilan bulan itu kan
ganjil, itu mau bertambah akalnya. Kalau mau bertambah akal itu pasti anaknya
daire tetapi baunya harum begitu lho, tapi kalau masuk angin baunya amis. Kalau
mbanjeli sasi baunya biasa tetapi diare.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada
Secara logis hal ini tidak memungkinkan untuk terjadi, mengapa penambahan
daya nalar bayi terjadi setiap bulan ganjil dan disertai bayi menjadi diare dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sakit. Namun masyarakat Jawa mempercayai hal ini dan menurut mereka memang
betul setiap bulan ganjil bayi mereka sakit yang bukan disebakan oleh suatu
penyakit. Cara mereka mendeteksi sakit yang disebabkan oleh kuman atau karena
mereka akan bertambah akal, adalah jika diare si bayi tidak berbau busuk. Baunya
khas bayi. Jika hal ini tetjadi maka biasanya sakitnya tidak akan lama dan setelah
si bayi sembuh, ia akan bisa melakukan suatu hal yang baru. Entah itu tengkurap,
(19) Yen nginep neng panggon adoh, aja lali nggawa lemah saka batire. Didokokne
Makna gramatikal: jika menginap di tempat jauh, jangan lupa membawa tanah
kerasan.
Makna kultural: ketika seorang bayi akan diajak bepergian yang jauh dari
rumahnya dan dalam kurun waktu yang lama. Biasanya orang tua Jawa akan
dimasukkan ke dalam plastik dan ketika sudah sampai di tempat tujuan, plastik
berisi tanah tersebut akan diletakkan di bawah tempat tidur si bayi di bagian
gen kerasan. Ora nangis wae, dadi bocahe nek diejak neng ndi-ndi ra
kemrungsung ngejak bali, nek nggo lemah batir neng ndi-ndi. Ya ra ketung sithik
kuwi nggawa. Lha bocah kan padha wae tanahe digawa, lemah klahirane, sing
momong ya digawa. „Ya kalau bepergian ya biar kerasan. Tidak nangis terus, jadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Anak kan sama saja tanahnya dibawa, tanah kelahirannya, yang „mengasuh‟ juga
Hal ini dipercaya dapat membuat si bayi betah berada di tempat yang jauh dari
Selain itu mengajarkan kelak ketika ia dewasa ia akan terus mengenang tanah
kelahirannya, tanah Jawa yang memberinya kehidupan seperti sekrang. Tradisi ini
(20) Pupak puser disimpen, mengko yen gedhe isa dinggo obat yen bayine lara.
Makna gramatikal: tali pusar yang sudah lepas disimpan, nanti kalau besar bisa
dirinya sendiri. Ketika ia sedang sakit maka ia bisa mengandalkan dirinya sendiri
pusarnya sendiri yang telah terlepas ketika masih bayi. Pupak puser ini direndam
diprimpenke, misale nek meh arep mbok kanggokke ngompres, kuwi dikumke
pusere kuwi mau, dikeki godhong dhadhap serep dinggo ngompres, umpama
panas ora sida panas. Ngurangi ngono lho. „Kalau disimpan dengan baik,
misalnya kalau mau dipakai mengompres, itu direndamkan pisarnya itu tadi,
diberi daun dadap serep dipakai mengompres, seumpama panas tidak jadi panas.
Mengurangi begitu lho.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari
2011).
Kethokane puser ta? Kuwi disimpen kena, mbok untal kena. Mbok pangan
nil karo gedhang. Kuwi ngko nek bocahe panas apa nganu ki carane kowe
ngidoni bocahmu, bocahmu wis anyep. Nek disimpen, kan sok-sok ya lali,
ilang. Kuwi umpamane garing. Ngko nek bocahe panas, misale ya laralah,
kuwi dikum. Dikum trus dikompresake. Dikompresake, ngge ngompres.
Ning aku mbiyen tak kon mangan pakne. Ya aku ra tegel. Sok-sok ndhisik
nek panas pa wetenge lara gur diidoni pakne, diklaras alhamdulilah
paringane mari. Tekan sak yahene dadi jaka kuwi. Kuwi ya aja sampek
ilang. Umpamane kon mangan bapake ra papa ibue ra papa. Ya kena
ngge conto tenan, Wahid ki mbiyen ya. Nggur nek lara sitik ngono lara
weteng, apa apa ngono ki diparak mbek pakne, diidoni.
„Potongan ari-ari kan? Itu disipan boleh, kamu telan juga boleh. Kamu
telan dengan pisang. Itu nanti kalau anaknya panas atau apa, caranya nanti
terkadang hilang, lupa. Itu kalau kering. Nanti kalau anaknya panas,
Kalau saya dulu saya suruh makan bapaknya, saya tidak berani. Terkadang
dahulu kalau panas atau sakit perutnya hanya diludahi bapaknya, diusap,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ibunya juga tidak apa-apa. Ya betul-betul bisa jadi contoh, Wahid itu dulu
juga begitu. Kalau cuma sakit sedikit, sakit perut atau apa begitu datang
Mei 2010).
Itulah sebabnya orang tua Jawa selalu menyimpan pupak puser ini agar tidak
dikeringkan, pupak puser disimpan didalam plastik atau dibungkus di dalam kain
dan disertakan dlingo bengle di dalamnya. Pupak puser ini dijaga jangan sampai
Ada lagi cara masyarakat menggunakan pupak puser ini sebagai sarana untuk
penyembuhan, yaitu dengan menelankan sendiri benda ini kepada si bayi, agar
ketika dewasa ia bisa mengoleskan liurnya untuk mengobati sakit atau lukanya.
(21) Wiwit bayi lair ceprot, aja lali neng kasure didokoki dlingo, bengle, sisir, kaca,
Makna gramatikal: dari bayi lahir, jangan lupa di ranjang ditaruh dlingo, bengle,
Makna kultural: selepas melahirkan, disamping tempat tidur bayi harus diletakkan
keterangan berbeda. Pun tentang maknanya, ada beberapa perbedaan malah ada
yang tidak mengetahui maknanya. Namun sebagian besar menjawab benda wajib
yang harus ada adalah dlingo bengle. Rempah sejenis kunyit dan kencur ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
menjadi salah satu senjata para ibu untuk tolak bala yang berhubungan dengan
bayi. Menurut mereka, bau dlingo dan bengle yang sangit tidak akan disukai para
sebagai senjata jika alat-alat tadi tidak mempan, maka kedua benda ini akan
menyakiti mereka. Sedangkan seblak (kelud bahasa Jawa, atau sapu lidi yang
menyimbolkan bahwa kakek nenek buyut si bayi yang sudah meninggal akan
memberikan keterangan:
Kuwi mergo demi keamanan ya kuwi mau, bocah gen ra di ganggu gawe
karo barang sing ora ketok. Goi peso, ngilon, jongkat ngono ki ya ngono
mau, barang lelembut sing arep nggodha, carane bocahe ngko isa muring
isa apa ki wis dijaga karo kuwi mau. Ngilon kuwi carane bayangane
ketok, carane lelembut wis wedi sek. Wis ketok bayangane sik jarene, trus
ketok. Umpamane awak dhewe ora weruh, neng kaca kan ketok ya. Kono
arep nganu wae carane neng super market goi kaca, goi emas nek wong
arep nyolong kan ketok sek. Carane ngono nganggo tolak bala. Lha ya
kuwi gunting ya cara peso, gunting ya eneng peso ki wedi cara lelembut
ki wedi. Nek cara wong mantu wae, wong mantu kae nggon dhuit kae ta
kan dokoki jongkat, dokoki kaca, doko‟i bawang lanang ki kanggo tolak
bala, carane tuyul, setan kae mara njupuk dhit wis ra wani. Jarene.
Itu karena demi keamanan ya itu tadi, agar anaknya tidak diganggu
makhluk halus. Diberi pisau, cermin, sisir begitu itu ya itu tadi, makhluk
halus yang mau menggoda, istilahnya anak menjadi rewel, itu tadi sudah
sudah takut dulu. Sudah terlihat bayangannya dulu katanya, trus terlihat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Seumpamanya kita tidak bisa melihat, di kaca kan kelihatan. Dia mau
juga, kalau orang mau mencuri kan terlihat duluan. Cara begitu itu untuk
tolak bala. Lha ya itu gunting, pisau itu membuat lelembut takut. Kalau
kan diberi sisir, kaca, bawang, itu untuk menolak bala, tuyul setan itu
Dalam buku Serat Babad Ila-ila yang mengisahkan tentang sejarah ila-ila
(nasihat) Dewi Sri untuk orang yang mempunyai bayi adalah untuk selalu
menyediakan sesaji untuk tolak bala. Sesaji yang disebut beberapakali itu antara
lain sirih, kaca, kemucing, sapu, dlingo, bengle, tempat sirih, kapur, dan kelud.
Selain itu pelita dalam kamar si bayi tidak boleh padam jika malam, dan ayah si
(22) Bocah yen wis jeblok pisan ora bakal mandhek nganti ping pitu.
Makna gramatikal: anak kalau sudah jatuh sekali tidak akan berhenti sampai tujuh
kali.
Makna kultural: adalah suatu keharusan untuk mengasuh anak dengan hati-hati.
Namun terkadang ada kalanya kita lalai. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa,
ketika si bayi sudah pernah jatuh sekali, maka ia tidak akan berhenti terjatuh
hingga tujuh kali. Seperti yang dikatakan oleh nara sumber: Tuman. Nek
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
keglundhung ya keglundhung terus. Nek durung ping pitu durung mandhek. Nek
wong mbiyen keglundhung pisan langsung gebyur banyu nggone le tiba kuwi
mau. Nek wong mbiyen. Ya ben aja tiba meneh karepe. „Kebiasaan. Kalau jatuh
ya jatuh terus. Kalau belum tujuh kali belum berhenti. Kalau orang jaman dahulu
jatuh sekali langsung diguyur air tempatnya jatuh tadi. Kalau orang jaman dulu.
Ya biar tidak jatuh lagi maksudnya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal
5 Januari 2011).
Biasanya yang dimaksud dengan „jatuh‟ pada konteks ini adalah jatuh ketika
tertidur atau berada di sutu tempat yang agak tinggi (dari kursi, meja, mainan,
kasur atau dalam gendongan), tetapi bukan ketika ia sedang belajar berjalan.
Untuk mengatasi agar si anak tidak terjatuh lagi dan lagi, biasanya tempat di mana
si anak terjatuh akan disiram dengan air. Cara ini dilakukan karena menurut
(23) Kuku karo rambut bayi ora oleh dikethok sak durunge bayi umur 40 dina.
Makna gramatikal: kuku dan rambut bayi tidak boleh dipotong sebelum bayi
Makna kultural: setelah bayi lahir, biasanya ia akan dikenakan sarung tangan dan
sarung kaki berbentuk bulat. Hal ini dilakukan selain untuk menghangatkan
tangan dan kaki bayi, juga agar kuku bayi tidak melukai kulitnya sendiri jika
tanpa sadar tercakar. Karena sebelum empat puluh hari kuku dan rambut bayi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
selapanan, barulah rambut bayi dicukur oleh si dukun bayi. Rambut ini kemudian
dikubur di batir, atau jika menggunakan cara Islam boleh juga ditimbang untuk
mudin ya sok sapa. Bocah kan isih empuk. Lantarane kuku kan ya durung wani,
ijeh mesakake. Iku ra eneng apa-apane. Ra eneng efeke apa-apa, carane ngene-
ngene ora eneng. Ya mung kuku kan carane wis atos, dadine wis wani. „Ya itu
harusnya yang memotong pak modin atau siapa. Bayi kan masih empuk. Karena
kuku kan belum berani, kasian. Itu tidak ada apa-apanya. Tidak ada efek apa-apa,
caranya begini-begini tidak ada. Ya cuma kalau kuku nanti sudah keras, jadinya
(24) Kethokan kuku karo rambut bayi ora oleh dibuwang sak enggon-nggon.
Makna gramatikal: potongan kuku dan rambut bayi tidak boleh dibuang di
sembarang tempat.
Makna kultural: setelah berumur empat puluh hari, barulah kuku dan rambut bayi
boleh dipotong. Namun potongan kuku dan rambut ini tidak boleh dibuang di
dikubur. Hal ini dilakukan agar apapun yang terlepas dari si bayi dapat menyatu
Nggon batire kuwi mau. Carane nek ana apa-apa ben menyatu karo batire kuwi
mau. Rambut karo kuku kuwi mau. „Ditaruh di tempat mengubur ari-ari. Istilahnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kalau ada apa-apa biar menyatu dengan tempat mengubur ari-arinya tadi. Rambut
dan kukunya tadi‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Sedangkan masyarakat lain mengatakan: Kuwi ya ben dadi siji, bocah paringi
tentrem, ayem, lerep, dadi bocah sing soleh solehah. „Itu ya agar menjadi satu,
Makna kultural: pada sebagian ibu yang produksi ASInya baik, biasanya setelah
melahirkan, ASI sampai mengucur deras dan tidak sempat diminum oleh si bayi.
Agar payudara tidak bengkak, ASI harus dipompa keluar. Sisa ASI yang tidak
terminum oleh si bayi ini tidak boleh dibuang sembarangan. Sisa ASI ini harus
dibuang di tempat di mana tembuni bayi dikubur. Hal ini dilakukan agar ASI ibu
tidak terminum oleh hewan-hewan seperti tikus atau anjing yang tidak sengaja
menemukan sisa ASI ini. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Ya
ben anu, ben ra ngelak terus. Bocahe dadine ben ayem tentrem. Banyu susu mau
misale kaya asu, kaya kirik ngono kuwi ta. „Ya biar tidak haus terus. Anaknya
jadinya biar tenang tenteram. Air susu tadi kan, dibuang di tempat mengubur ari-
seperti anjing begitu itu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari
2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(26) Bayi gek ntes lair kudu digebrak ping telu supayane ora kagetan.
Makna gramatikal: bayi baru lahir harus diberi suara gebrak agar tidak kagetan.
Makna kultural: dalam tradisi Jawa, sesaat setelah bayi lahir ia harus diberi
„kejutan‟ agar sesudahnya ia terbiasa dan tidak mudah terkejut oleh suara yang
pelan. Maka sesaat setelah lahir orang tuanya biasanya membuat suara agak keras
dengan menggebrak tempat tidur di sebelah telinga si bayi sebanyak tiga kali.
Kagetan ki misale nek ana apa-apa sitik langsung teng gregap. Glagepan terus.
„Agar tidak mudah terkejut memang harus diberi suara agak keras. Mudah
(27) Aja disusoni penthil kopong, ora ilok. Mundhak gedhene sombong.
Makna gramatikal: jangan disusui payudara yang tidak ada ASI nya, tidak pantas.
Makna kultural: terkadang ibu si bayi tidak bisa menjaga si bayi sendirian
dikarenakan ada kepentingan. Lalu biasanya si bayi ditipkan oleh neneknya atau
sanak saudaranya yang lain. Dan ketika ditinggal ini tidak jarang si bayi menangis
saudaranya menyusui si bayi dengan payudara yang tidak ada ASInya karena
memang mereka tidak habis melahirkan. Inilah yang dinamakan penthil kopong,
yaitu payudara yang tidak berisi ASI. Hal ini tidak ilok dilakukan karena akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
membuat bayi tumbuh menjadi anak yang sombong karena diberi sesuatu yang
kopong (bahasa Jawa: digabuk). Seperti yang dikatakan oleh seorang nara
sumber:
Bocah ngko nek gede ndak sombong. Sombong ki tidak ada kenyataan ki
tapi dibilange kaya wis nduwe ngono lho. Kan jenenge penthil kosong,
botol kosong ki ya ndak boleh diminumke. Ngko ndak bocahe gede ndak
sombong. Jenenge digabuk. Nek wong Jawa jenenge digabug. Digabug ki
carane ra ono buktine tapi diomongke sak nyatane „aku nduwe mobil‟ tapi
nyatane kan ora.
„Anak itu nanti besarnya sombong. Sombong itu tidak ada kenyataannya
tetapi dikatakan sudah punya. Kan namanya penthil kopong, botol kosong
itu juga tidak boleh diminumkan. Nanti kalau besar anaknya sombong.
Namanya digabuk. Kalau orang Jawa disebut digabuk. Digabuk itu tidak
Januari 2011).
yang sebetulnya tidak ada hal itu akan membuat ia menjadi anak yang
berkepribadian merasa mempunyai sesuatu padahal ia tahu hal itu tidak ia miliki.
Maka anak harus dididik untuk menerima sesuatu apa adanya sedari dini.
(28) Sak umpamane lagi nggendong bayi banjur bayine jeblok, jarik sing dinggo
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
keburukan.
Makna kultural: biasanya kita menggendong anak kita dengan selendang agar
tidak mudah terlepas. Namun adakalanya orang lalai hingga membuat si bayi
terjatuh. Menurut salah seorang informan, jika hal ini terjadi maka si anak tidak
akan selamat dalam artian akan meninggal entah dalam waktu singkat atau
enggan menceritakan hal ini karena ia khawatir hal ini akan nyawani, membawa
pengaruh buruk).
Jika hal ini terjadi, salah seorang informan memberitahukan agar si ibu
membuang sial yang ditimbulkan oleh selendang tersebut. Karena jika tidak
itu diberi keselamatan, itu seperti itu kalau ketahuan. Tetapi kalau tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5 Januari 2011).
Menurut kepercayaan orang Jawa, jika seorang anak terjatuh dari gendongan
ketika menggunakan selendang, maka biasnya akibatnya akan fatal. Secara logis
hal itu masuk akal karena ketika terjatuh dari selendang, biasanya posisi bayi
sedang duduk. Padahal tulang belakang merupakan pusat saraf dari seluruh tubuh.
Sedangkan masyarakat lain yang mematuhi cara Jawa mengatakan: “Aku wes
tau ya, nggendong adhiku. Ya aku ra ngerti ning aja kuwi. Bocah midun saka
gendongan kuwi sok okeh-okeh ora keno ditututi. Akhire ki lara, mboh sesasi apa
menggendong adik saya. Ya saya tidak tau tetapi jangan itu. Anak turun (ia
menghaluskan kata „jatuh‟) dari gendongan itu kebanyakan tidak dapat diikuti
Mei 2010).
Hal ini menandakan bahwa pada orang yang percaya dan pernah
mengasuh bayi yang masih sangat aktif dan pergerakannya sulit diprediksikan
orang tua harus sangat hati-hati dan selalu menyediakan pengamanan cadangan
(29) Yen kena kaya dhompo kuwi sabenere kena sawan, mula kudu langsung diluluri
Makna gramatikal: kalu terkena dompo itu sebetulnya terkena sawan, maka harus
Makna kultural: dalam bahasa Jawa, dhompo diistilahkan sebagai suleden, suatu
penyakit kulit seperti terbakar dan berisi air yang disebabkan oleh gangguan
makhluk halus. Karena hal ini ditimbulkan oleh makhluk halus, maka orang tua
dengan dlingo bengle. Tanaman sejenis umbi-umbian ini akan dihaluskan, boleh
dengan cara diparut atau ditumbuk, untuk kemudian dioleskan ke kulit bayi yang
sakit tersebut. Setelah itu, diharapkan sawan yang mengganggu si bayi segera
pergi dan si bayi lekas sembuh. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang
informan: Ya nek wong mbiyen ngono ya ditambani kuwi, dlingo karo bengle.
nggo dlingo bengle. „Ya kalau orang jaman dahulu itu ya diobati dengan itu,
dlingo dan bengle. Iya, ditempel-tempelkan begitu itu. Kalau orang dulu
diobatinya ya dengan itu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari
2011).
mempunyai bayi, maka seseorang yang sedang mempunyai bayi dianjurkan untuk
selalu menyimpan dlingo dan bengle ini untuk persediaan saat-saat darurat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna kultural: debu, bagaimanapun adalah hal yang tidak baik untuk kesehatan
adalah karena jika kelak ia dewasa, maka si anak akan terjatuh jika memanjat
pohon. Seorang ibu rumah tangga mengatakan: Ya kan ngono kuwi werna-
werna. Digendhong barangi ngono kuwi karo disambi nyapu ya ra entuk. Ora
entuk, aja sambi nek cah lanang. Jare nek wong mbiyen kuwi, jare nek menek
apa-apa ngko ndhak tiba. Lha.. Haa, ngko ndak tiba. Dadi ora entuk” Ya kan
Tidak boleh disambi kalau anak laki-laki. Kata orang dulu itu, katanya nanti
kalau memanjat atau apa bisa jatuh. Lha… iya, nanti jatuh. Jadi tidak boleh.
2) Secara medis, semua organ bayi masih halus, bahkan bayi baru lahir sistem
terganggunya system pernapasan bayi yang masih halus itu. Maka memang
benar jika ada petuah tidak boleh menggendong bayi sambil menyapu.
Makna kultural: menggendong anak dengan tangan saja tanpa ditali dengan
selendang (bahasa Jawa: disawung) tidak diperbolehkan oleh orang tua Jawa
karena beberapa alasan selain alasan keselamatan, yaitu mengikat batin antara ibu
1) Jika menggendong tanpa selendang, menurut orang jaman dahulu, maka jika
si anak diambil, diminta atau ditarik ke atas oleh Yang Maha Kuasa, maka
akan secara mudah terlepas, beda jika ia terikat dengan hati kita, akan ada
ikatan kuat yang menahannya ketika akan terlepas. Ibu Sarmi mengatakan:
Wong nek disawung wae kuwi wae ora entuk. Ceritane wong mbiyen kuwi,
disawung kuwi, umpama awak dhewe ki digendhong. Nek digendhong
kuwi kan carane dikekep, ditaleni gen kenceng neng atine awake dhewe.
Nek disawung kuwi, sak wayah-wayah carane kuwi dijaluk, diangkat,
ditarik neng ndhuwur kuwi cepet gampange. Tapi nek mbok taleni karo
atimu beda. Nek wong mbiyen ki ngono kuwi. Neng ya salong reti salong
ora aku ki. Kok ya merga apa ngono mbiyen ya tekok salong. Neng
kadhang yo wis ilang, lali.
Ceritanya orang jaman dahulu, disawung itu kalau kita digendong. Kalau
digendong itu kan artinya didekap, ditali biar kencang di hati kita. Kalau
ke atas itu cepat dan gampang. Tapi kalau kamu tali dengan hati beda.
Kalau orang dulu itu begitu itu. Tapi ya sebagian tau sebagian tidak saya
ini. Karena apa begitu dulu juga hanya sebagian yang ditanyakan. Tapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kadang juga sudah hilang, lupa‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi tanggal 18
Pebruari 2010).
2) Secara logis, jika kita menggendong bayi yang banyak geraknya tanpa
(32) Yen nduwe anak, apa meneh yen lanang, mesti rambute brodhol.
Makna gramatikal: jika memiliki anak, apalagi laki-laki, pasti rambutnya rontok.
Makna kultural: sepertinya sudah menjadi suatu hal yag lumrah jika bayi bermain
bagi orang tua Jawa hal ini menjadi semacam pertanda. Biasanya orang tua Jawa
mengatakan kalau setelah melahirkan seorang bayi, maka rambut kita akan
rontok, seperti yang dikatakan oleh seorang informan: Ora lanang ora wedok
asalkan angger dolanan idu mesti brodhol rambute mbokne. Nek wong mbiyen
napa ta ngono kuwi, aku ya ra patia mudheng. Dolanan idu, lek nyembur-
nyembur ngono kuwi. Aku kuwi telu, dolanan idu lek rambutku entek. „Tidak laki-
laki, tidak perempuan asalkan kalau bermain ludah pasti rambut ibunya rontok.
Kalau orang dulu begitu itu kenapa saya juga tidak begitu mengerti. Bermain
ludah lalu disembur-sembur begitu itu. Saya itu tiga, bermain ludah semua lalu
rambut saya habis‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 17 Pebruari
2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
melahirkan apalagi jika menyusui, nutrisi kita akan banyak terserap untuk
pembentukan ASI, secara tidak langsung nutrisi kita ditransfer untuk si bayi.
Apalagi jika anaknya laki-laki, karena anak laki-laki meminum ASI lebih banyak,
sehingga membutuhkan nutrisi lebih banyak dari ibunya, karena ia belum makan
sendiri. Itulah mengapa setelah melahirkan dan saat menyusui kulit kita akan
sedikit kusam, rambut kita rontok, dan kepadatan tulang berkurang walaupun
tidak signifikan.
Makna kultural: senja dipercaya masyarakat Jawa adalah saat di mana para roh
halus keluar untuk mencari mangsa. Walaupun manusia tidak dapat melihat
mereka pun ingin dihormati. Jika pada saat senja kita membersihkan debu di
dalam rumah, dikhawartirkan debu-debu itu akan mengenai mereka tanpa sengaja.
Oleh sebab itulah mereka akan marah. Karena orang tua sudah agak tidak
mempan dengan gangguan makhluk halus, maka mereka akan menyasar anak
kecil yang masih sangat rentan. Akibatnya si bayi akan rewel, terkena penyakit
Saat senja adalah saat berkumpul keluarga. Biasanya saat ini bayi sedang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dalm rumah akan sangat mengganggu penghuni rumah yang sedang beristirahat,
bersantap, maupun berkumpul bersama. Akan lebih baik jika rumah dibersihkan
pada sore hari saat anggota keluarga belum terasa capai betul dan ingin
beristirahat.
(34) Yen durung selapan, anake ora oleh digawa metu saka omah.
Makna gramatikal: kalau belum 35 hari, anaknya tidak boleh dibawa keluar dari
rumah.
Makna kultural: sejak setelah lahir hingga si bayi berumur tiga puluh lima hari
(selapan), ia tidak boleh dibawa ke luar rumah, harus selalu berada di dalam
masyarakat Jawa setelah lahir bayi-bayi masih diiringi oleh widadari seketi
(seratus ribu bidadari), jika bayi-bayi ini berada di luar di mana para setan
mengganggu mereka, dikhawatirkan para bidadari yang menjaga si bayi ini akan
banyak berkurang. Dan setelah itu si bayi akan rewel dan sebagainya karena
diikuti sawan. Maka dari itu saat bayi belum kuat betul untuk menghadapi
O.. nek durung selapan, ya kaya bue kae. Kan carane anakmu kan sing
ngisi kan kebak ijeahan. Carane didhampingi bidhadhari-bidhadhari.
Masih banyak selama empat puluh hari. Ra beda kaya wong muggah kaji.
Nak wong bali munggah kaji kan didhampingi malaikat patang puluh.
Ngko nek umpama malaikat patang puluh itu tadi umpama wong mbayi
saiki sedina, saiki wis kurang siji. Sesuk rong dina, sesuk wis kurang siji
meneh. Ijeh pendampingane ijeh nganu, lha nak seandainya jenenge wong
ki, ngko nak wong liwat ki kan werna-werna. Neng ndalan ngono kae ana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sing kuwi, ana sing kuwi, kuwi, kuwi, kan werna-werna. Lha kadhang kan
nggawa setan, nggawa apa.
„O.. kalau belum selapan, ya seperti ibu dulu. Kan istilahnya anakmu
banyak selama empat puluh hari. Tidak beda dengan orang naik haji.
Kalau orang pulang naik haji kan didampingi malaikat empat puluh. Nanti
kalau umpama malaikat empat puluh itu kalau bayi sekarang lahir sehari,
sekarang kurang satu. Besuk dua hari, besuk sudah berkurang satu lagi.
itu kan bermacam-macam. Di jalan begitu itu ada yang begini, begini,
Oleh karena itu biasanya seorang bayi baru akan dibawa keluar dari rumah
Dari segi medis, bayi yang baru lahir masih rentan dari segala aspek tubuhnya.
Seperti pada rumah sakit bayi dimasukkan ke dalm incubator, maka di rumahpun
bayi hendaknya dilindungi dari udara luar yang terkena polusi. System
pernapasan bayi yang masih halus masih belum dapat menerima udara yang
tercemar asap kendaraan, asap rokok dan lain sebagainya yang mungkin saja
kematian tiba-tiba karena gangguan udara. Belum lagi kuman dan virus yang
menyebar lewat udara dari orang-orang yang berlalu-lalang di depan rumah kita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Maka, sebaiknya sebelum si bayi terbiasa benar dengan udara di luar perut
menyesuaikan.
rumah.
Makna kultural mengapa bayi harus „diamankan‟ saat magrib adalah karena
alasan mistis, menurut orang Jawa, yaitu agar bayinya tidak rewel karena
„melihat‟ sesuatu yang tak kasat mata atau malah bisa kesurupan. Orang Jawa
mempunyai waktu „sangat‟ atau dianggap sebagai waktu untuk para roh-roh
berkeliaran pada jam 12 siang, 12 malam dan saat magrib atau „surup‟ (saat
Jenis pertama yang disebut oleh orang tua itu adalah kesurupan, yang akar
katanya berarti “masuk”, “memasuki sesuatu” tetapi juga mengandung arti
kedua, yakni “waktu matahari terbenam”. Barangkali ini mencerminkan
kepercayaan bahwa saat matahari terbenam adalah waktu yang istimewa
berbahayanya, dalam hubungannya dengan roh-roh, karena, seperti halnya
orang Jawa, roh-roh itu berkeliaran dan mengunjungi teman-temannya
pada saat ini, dan mungkin sekali akan merasuki seseorang di jalan.
(Tetapi pukul dua belas siang dan tengah malam juga luar biasa
bahayanya). (Geertz, 1989 : 24)
dua belas itu, waktu adzan dan magrib. Kalau malam jam dua belas
malam. (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 26 Maret 2010).
Maka dari itu biasanya menjelang magrib para ibu yang mengasuh anak-
anaknya di luar saling memberi tahu bahwa senja telah tiba dan segera membawa
Secara ilmu kesehatan, udara malam tidak baik tidak baik bagi kita karena
akan menyebabkan penyakit paru-paru basah. Apalagi jika bayi yang terkena
penyakit ini, sudah tentu akan sangat membahayakan bagi si bayi dan merepotkan
orang tuanya. Maka ketika malam beranjak, sebaiknya bayi dibawa masuk ke
Tetapi secara logis, magrib atau saat matahari tenggelam adalah saaat dimana
jaman dahulu, belum ada lampu dan listrik seperti saaat ini. Hal itu menyebabkan
kita tidak bisa melihat sesuatu dengan jelas, sehingga kita akan mudah
tersandung, menabrak sesuatu dan lain sebagainya. Itulah mengapa pada saat
pergantian malam lebih baik kita berada di dalam rumah, juga saat itu adalah saat
(36) Yen bayine rewel, ngobong bathok klapa disawuri uyah utawa cemiti kanggo
tolak bala.
Makna gramatikal: jika si bayi rewel, membakar bathok kelapa diberi garam atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna kultural : menurut orang Jawa, makluk halus sama seperti manusia takut
akan sesuatu yang perih, menyakitkan atau dapat melukai. Oleh karena itu dalam
tradisi pengobatan Jawa hampir selalu melibatkan garam, api, ataupun bau-bauan
yang menyengat. Dalam pengobatan bayi yang diyakini diganggu makluk halus,
biasanya para ibu atau orang tua si bayi akan membakar bathok kelapa yang di
dalamnya ditaburi garam atau cemiti. Membakarnya di luar atau di bagian depan
rumah.
Uyah ki gamane wong biyen. Bocah rewel bengi ngono kowe ngobong
uyah ning ngarep lawang. Sok-sok bocah nangis sewengi ora meneng,
ngobong uyah diwadhahi apa, disoki lenga apa pa diobong, plethek-
plethek. Disawurke yen ora ning gendheng ya ning padon omah.
„Garam itu senjatanya orang dulu. Anak rewel kalau malam begitu
diam, mambakar garam ditemaptkan di apa, diberi minyak atau apa lalu
di depan rumah.‟
Makna kultural : dari sekian banyak alat sebagai sarana untuk tolak bala dalam
tradisi Jawa, salah satunya adalah tumbak sewu ini. Tumbak sewu adalah sapu lidi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
yang sudah pendek karena lama dipakai, kemudian pada ujung-ujungnya diberi
bawang merah, bawang putih, cabai dsb. Ditemaptkan dengan cara diberdirikan
pada sisi tempat tidur si bayi. Cara ini dipercaya dapat menolak bala setan yang
Nek bayi ki ya mung nek cara wong biyen digawekke tumbak sewu.
Tumbak sewu kuwi sapu gerang, sapu sing wes cendhak. Sapu sada sing
wis gerang disundhuki brambang, bawang, lombok, dlingo bengkle,
empon-empon sawernane, kuwi jenenge tumbak sewu. Ning nek saiki ya
dho ora laku. Diselehke pojokan ngene ki nggone leh bobok. Dadi sapu
siji saunting. Men tulak balak ora eneng sanding bayi sok ana sing
nggoda ta. Bayi kan luwih awas.
Kalau bayi itu kalau caranya orang dulu dibuatkan tumbak sewu. Tumbak
sewu itu sapu gerangi, yaitu sapu yang sudah pendek karena sering
dipakai. Sapu lidi itu ditusuki bawang merah, bawang putih, cabai, dlingo,
pojokan begini ini di sebelah tempat tidur. Jadi sapu satu ikat. Untuk
menolak roh halus di samping bayi. Bayi kan lebih awas (penglihatannya).
harus bergadang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
berjaga semalaman dan baru diperbolehkan tidur ketika pagi hari. Menurut
masyarakat yang ditanyai, katanya hal ini dilakukan untuk menjaga agar ketika
tertidur ibu si bayi tidak menindihi badan si bayi. Biasanya karena terlalu letih
setelah melahirkan dan belum terbiasa, bisa saja si ibu secara tidak sadar akan
menindih badan si bayi. Atau dari pengalaman masyarakat, ketika menyusui si ibu
secara tidak sadar menutupi hidung si bayi yang masih mungil, sehingga
Lha kuwi masalahe carane wong turu isa kebablasen tindihen. Ya ibune
ya bayine. Ibue terutama, nek bayine ki ra papa. Ning nek wong nduwe
anak kadang ngko netek ta lola laline ngko tangane kadhang temumpang
neng nggon bayine. Hee, dadi perhatian wong tuwa ki ya ana. Menurut
wong kuna wong ndesa. Ngko neteki kadhang karo turu lali. Jeh kudu
diperhatekke wong tuwa. Ngko kadhang neteki terus nindhehi mbumpeti
irunge bocahe. Ngko kan bocahe mesakake.
Lha itu masalahnya caranya orang tidur itu kan bisa keterusan tidak sadar.
Ya ibunya, bayinya juga. Ibunya terutama, kalau bayinya itu tidak apa-
apa. Tapi kalau orang punya anak nanti kalau manyusui terkadang lupa,
tangannya bisa diatas si bayi. Iya, jadi perhatian orang tua itu juga ada.
Menurut orang kuna, orang desa. Nanti kalau menyusui kadang sambil
tidur terus lupa. Masih harus diperhatikan orang tua. Nanti terkadang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Sedangkan dalam literatur Serat Babad Ila-ila 1 yang menceritakan asal mula
legenda dalam tanah Jawa menceritakan bahwa Dewi Sri memberi petuah kepada
Kyai Prigu dan istrinya Ken Sangki, agar Kyai Prigu berjaga semalaman karena
anak yang baru saja dilahirkan istrinya akan digoda sarap sawan. Dewi Sri
memberikan wangsit:
… Hai Kyai Prigu, janganlah aku diberi makan katak. Kalau kalian akan
memberikan sesaji kepadaku, baiklah kalian sajikan sirih ayu, bunga yang
harum dan wangi-wangian,. Jangan lupa sertakan pula dupa, dan pelita
yang terus-menerus menyala.
Kyai, jika kalian sajikan apa yang kukehendaki tadi, pasti kalian akan
mendapat banyak rejeki, lagipula selama satu minggu janganlah Kyai
tidur. Istirhatlah dan tidurlah jika pagi hari, itu kumaksudkan untuk
menjaga anakmu. Kehendakku supaya ia terhindar dari bahaya dan
selamat. (Serat babad ila-ila 1 hal:66).
Dari cukilan literatur di atas dapat disimpulkan bahwa suami dan istri harus
bekerja sama dalam mengasuh si bayi. Jika malam si ayah yang menjaga,
sedangkan jika pagi si ibu yang menjaganya. Hal ini dikarenakan beratnya
mengasuh seorang bayi apalagi bagi orang yang belum terbiasa. Maka kerja sama
dari ayah dan ibu perlu dilakukan agar bayi yang dimiliki sehat dan nantinya
Makna kultural: setelah melahirkan hingga beberapa hari setelahnya si ibu tidak
boleh melipat lututnya. Hal ini dilarang karena jika ia melipat lututnya, maka
biasanya kakinya akan timbul varises berupa guratan-guratan urat berwarna biru.
Varises ini muncul karena tekanan menahan berat perut yang di luar biasanya, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
setelah si bayi lahir dengan cepatnya berat badan berkurang. Maka aliran darah
akan sedikit tidak lancar karena perubahan ini. Untuk mengatasinya, perlu
Seorang nara sumber mengatakan: Ngko ndhak nganu.. varises. Ben suk nak
nduwe anak siji apa telu kuwi ben lancar, varisese ora gedhi-gedhi. Dadine
peredaran dharahe lancar. Dadine kudune slonjor terus. „Nanti bikin varises.
Biar nanti walaupun punya anak satu atau tiga itu lancar, varisesnya tidak besar-
besar. Jadinya peredaran darahnya lancar. Jadi harusnya meluruskan kaki terus.‟
yang telah diisi abu hangat. Karena energi panas ini, peredaran darah akan
Makna kultural : ada banyak macam versi dari tata cara penguburan ari-ari ini.
tetapi secara garis besar semuanya sama, yaitu mengubur ari-ari di halaman depan
atau belakang rumah, lalu diberi penerangan dan bunga selama 40 hari. Seorang
ibu yang berprofesi sebagai guru dan mengaku tidak terlalu mempercayai gugon
Nek ari-ari sing di anu memang masih dikasih pensil, biar anaknya pinter.
Pas habis melahirkan kan ari-arinya dicuci bersih, setelah dicuci bersih
dimasukkan kuwali. Nah di dalam kuwali itu diisi hal-hal yang baik.
Pensil supaya anake pinter, buku ben anake gemar membaca, terus bunga
mungkin biar harum, maksudnya nama. Dulu kok dikasih bunga, tapi
ndak tanya itu dikasih kayak gitu. Harapannya supaya anaknya cerdas,
kasih buku kasih pensil, kalu bunga mungkin supaya namanya harum.
Maksudnya dia membawa nama yang baik bagi keluarga, mungkin
harapannya gitu hanya dulu ndak dijelaskan kok nganggo kembang
macem-macem gitu. (Wawancara dengan ibu Nik pada tanggal 12 Mei
2010).
Dari keterangan ibu Nik, dapat disimpulkan bahwa ritual penguburan ari-ari
adalah sesuatu yang dasar dalam rangkaian tradisi mempunyai anak dalam
mengaku sudah tidak begitu percaya dengan tradisi gugon tuhon ini.
(41) Pupak puser anak-anake disimpen, didadeake siji supaya anak-anake rukun.
Makna kultural: tali pusar yang anak yang sudah terlepas dan sudah dikeringkan
Mungkin hal ini dapat mengingatkan kita bahwa kita harus selalu menjaga anak-
anak kita dan menyatukan mereka apapun yang terjadi serta memperlakukan
dapat tetap rukun seperti tali pusar yang disimpan menjadi satu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: setiap anak itu memiliki watak sendiri-sendiri tergantung hari
kelahirannya.
Makna kultural : seperti halnya bangsa barat dan China, orang Jawa memiliki
seseorang dapat dilihat dari tanggal, hari dan pasaran di mana ia dilahirkan dan
demikian.
Seorang informan mengatakan : Cah lahir Wage kuwi konyolan, kaku ati
sokan, ora kena tersinggung perasaan. Nek lahir Selasa Kliwon Jumat Kliwon ki
aris kembang angger wong seneng. „Anak lahir (pada pasaran) Wage itu mudah
tersinggung, sulit untuk ramah, tidak boleh tersinggung perasaannya. Kalau lahir
hari selasa kliwon itu aris kembang, semua orang senang padanya‟ (Wawancara
Hari kelahiran adalah hal yang penting untuk diingat dalam urusan ramal-
meramal dalam budaya Jawa, karena dari hari itu dapat dilihat watak dan
saja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disajikan pada bab sebelumnya,
1. Bentuk gugon tuhon bahasa Jawa terdiri dari: 1) GT yang menggunakan pewatas aja
menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat, 4)
GT yang menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’, 5) GT yang menggunakan kata
yen ‘kalau’ yang berada di depan kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan, 6)
GT yang menggunakan kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang berada di depan
kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan serta kata mundhak ‘nanti’ sebagai
penanda akibat. GTBJ yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’ saja, dan kalimat
dengan pewatas aja ‘jangan’ dan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ yang terletak dalam satu
menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ saja letaknya dapat dipermutasi. Pewatas
aja ‘jangan’ tidak dapat diletakkan di belakang nomina. GTBJ yang menggunakan
kaya yen ‘kalau’, nek ‘kalau’, dan mundhak ‘nanti’ letaknya tidak dapat dipermutasi
2. Fungsi gugon tuhon bahasa Jawa memiliki fungsi 1) Pendidikan religi, 2) Pendidikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3. Makna yang terdapat dalam gugon tuhon bahasa Jawa ini adalah makna leksikal dan
makna kultural. Makna leksikal dalam GTBJ ini tidak hanya terbatas pada kata saja,
namun juga mencakup frasa, klausa, dan kalimat. Sedangkan makna kultural didapat
B. Saran
Penelitian ini hanya meneliti tentang GT pada ibu hamil dan merawat balita
saja, namun sebetulnya kebudayaan Jawa menyimpan banyak nasihat dalam aspek
kehidupan yang lainnya, seperti contohnya dalam hal jodoh, kematian, dan yang lainnya.
Agar dapat melengkapi tujuan dari penelitian ini, yaitu agar para penerus kebudayaan
Jawa dapat mengerti dan memahami budayanya, maka alangkah baiknya jika penelitian-
penelitian selanjutnya mengkaji hal tersebut sebagai dokumen tertulis dari dan untuk
masyarakat Jawa sendiri, sehingga nantinya kebudayaan Jawa tidak hilang tergerus
jaman.
commit to user