Disusun untuk memenuhi nilai tugas pada mata kuliah Manajemen Mutu, SDM dan Logistik
Kesehatan
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
1. Seleksi Administrasi
Seleksi administrasi adalah seleksi yang berupa surat-surat yang dimiliki pelamar untuk
menentukan apakah sudah sesuai dengan persyaratan yang diminta organisasi
perusahaan, antara lain :
a. Ijazah
b. Riwayat hidup
c. Domisili / keberadaan status yang bersangkutan
d. Surat lamaran
e. Sertifikat keahlian
f. Pas foto
g. Copy identitas ( KTP, Pasport, SIM, dan lain-lain)
h. Pengalaman kerja
i. Umur
j. Jenis kelamin
k. Status perkawinan
l. Surat keterangan kesehatan dari dokter
m. Akte kelahiran
2. Seleksi Tertulis
Seleksi tertulis terdiri dari :
a. Tes Kecerdasan ( Intellegency Test )
b. Tes Kepribadian ( Personal Test )
c. Tes Bakat ( Aptitude Test )
d. Tes Minat ( Interest Test )
e. Tes Prestasi ( Achievement Test )
3. Seleksi Tidak Tertulis
Seleksi tidak tertulis terdiri dari :
a. Wawancara
b. Praktik
c. Kesehatan/medis
Pada proses seleksi untuk mendapatkan SDM Kesehatan dengan mutu dan kualitas
terbaik maka dilakukan beberapa tes menurut (Ardana, dkk 2012) :
1. Tes Psikolog
Tes ini diadakan dengan maksud untuk mengetahui keadaan diri calon tenaga kerja
terhadap kemungkinan dalam dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang
diserahkan kepadanya. Tes psikologi dapat digolongkan menjadi lima macam.
b. Tes prestasi (Ahievement test), adalah tes yang dilakukan untuk mengukur hasil
kerja para pelamar. Tes demikian menjunjukkan apa yang dapat dikerjakan
sekarang. Dengan mengetahui prestasi pelamar akan dapat ditentukan apakah
mereka sesuai dengan keinginan perusahaan. Misalnya ingin mengukuh hasil
prestasi seorang sekertaris dapat dilihat melalui tugas pokok sekertaris,
kemampuan mengetik surat, mempersiapkan ruang rapat, dan lain sebagainya
c. Tes bakat (Aptitude test), adalah tes untuk mengukur bakat atau kemampuan yang
mungkin telah dikembangkan atau masih terpendam masih belum dipergunakan.
Tujuannya yaitu untuk memprediksi kecakapan bekerja para pelamar di kemudian
hari. Tes yang dilakukan yaitu tes kemampuan menimbang sesuatu bersifat
mekanis, tes kemampuan menimbang yang bersifat abstrak, tes kemampuan
menarik kesimpulan.
d. Tes minat (Interest test), adalah tes yang dilakukan untuk mengetahui minat
seseorang terhadap sesuatu. Seseorang yang mempunyai minat terhadap pekerjaan
tertentu. Berdasarkan tes ini nantinya pelamar dapat diketahui bahwa pelamar
cocok atau tidak cocok dengan pekerjaan tertentu. Biasanya pelamar ditanya
apakah ia suka atau tidak suka atau tidak ada perbedaan dalam kesukaan terhadap
sesuatu hal.
2. Tes Kesehatan
Perusahaan umumnya membutuhkan karyawan yang sehat jasmani dan rohani
untuk dipekerjakan pada bidang pekerjaan tertentu. Dengan alasan ini, perusahaan
akan melakukan pemeriksaan jasmani dan rohani calon karyawanTes kesehatan
dilakukan untuk memastikan kemampuan jasmani pelamar dengan persyaratan
pekerjaan. Termasuk di dalamnya kesehatan fisik, mata, pendengaran dan lain
sebagainya.
Proses ini dimaksudkan untuk mencari individu yang sesuai dengan spesifikasi
jabatan dan merupakan individu yang terbaik diantara pelamar (Budiyanto, 2013).
Proses seleksi juga harus dijalankan dengan prinsip impersonal dalam arti tidak
pandang bulu siapa yang diseleksi, materi yang diujikan dan kriteria kelulusan harus
sama.
1. Pertumbuhan Perusahaan
Pertumbuhan bisnis perusahaan akan menciptakan posisi pekerjaan baru yang
menyebabkan terjadinya pengisian posisi pekerjaan baru, baik melalui promosi
karyawan yang sudah ada atau promosi karyawan baru.
3. Usia
Faktor usia tenaga kerja yang lulus seleksi perlu dipertimbangkan dalam
penempatan tenaga kerja. Penempatan tenaga kerja berdasarkan usia perlu dilakukan
untuk menghindari rendahnya produktivitas yang dihasilkan oleh karyawan yang
bersangkutan.
4. Keterampilan Kerja
Kecakapan atau keahlian untuk melakukan suatu pekerjaan yang harus di peroleh
dalam praktek, keterampilan kerja ini dapat di kelompokan menjadi 3 kategori yaitu:
a. Keterampilan mental, seperti menganalisis data, membuat keputusan dll.
b. Keterampilan fisik, seperti membetulkan listrik, mekanik, dll.
c. Keterampilan sosial, seperti mempengaruhi orang lain, menawarkan barang atau
jasa dll.
5. Pengalaman Kerja
Pengalaman bekerja pada pekerjaan sejenis perlu mendapatkan pertimbangan
dalam penempatan kerja karyawan. Kenyataan menunjukkan makin lama karyawan
bekerja, makin banyak pengalaman yang dimiliki karyawan yang bersangkutan,
sebaliknya semakin singkat masa kerja, semakin sedikit pengalaman yang diperoleh.
Pengalaman bekerja benyak memberikan keahlian dan keterampilan kerja.
Pengalaman bekerja yang dimiliki seseorang kadang-kadang lebih dihargai
daripada tingkat pendidikan yang menjulang tinggi. Karyawan yang berpengalaman
dapat langsung menyelesaikan tugas dan pekerjaanya. Karyawan hanya memerlukan
pelatihan dan petunjuk yang relatif singkat. Sebaliknya karyawan yang hanya
mengandalkan latar belakang pendidikan dan gelar yang disandangnya, belum tentu
mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan cepat.
1. Pengertian
Sumber Daya Manusia Kesehatan adalah tenaga kesehatan profesi termasuk
tenaga kesehatan strategis dan tenaga kesehatan non profesi serta tenaga
pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat dan bekerja serta mengabdikan dirinya
seperti dalam upaya dan manajemen kesehatan.
Subsistem sumber daya manusia kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan
tenaga kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang mencukupi, terdistribusi secara adil,
serta termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, sehingga upaya kesehatan
dapat diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Komponen
Sumber Daya Manusia Kesehatan yaitu pengembangan dan pemberdayaan sumber daya
manusia kesehatan yang meliputi upaya perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, serta
pembinaan dan pengawasan mutu sumber daya manusia kesehatan untuk mendukung
penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Model 1
Suatu situasi yang sangat umum dimana seorang "Petugas Pelatihan"
menempatkan dirinya di manapun juga dalam organisasi atau lembaga dan
memulai melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan. Dalam model ini pihak
manajemen seringkali bersifat pasif atau keterlibatannya sangat terbatas.
Langkah-langkah yang ditempuh, sebagaimana tertuang dalam diagram
tersebut di atas adalah sebagai berikut :
a) Langkah pertama antara lain mencari dan menemukenali berbagai gejala
atau tandatanda adanya masalah dan indikator-indikator suatu masalah.
b) Langkah kedua adalah identifikasi permasalahan riil atau nyata yang
dihadapi dan hal ini kemungkinan tergantung pada sumberdaya yang
tersedia.
c) Langkah ketiga adalah menguji dan mengkaji serta mempertimbangkan
berbagai kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi. Ada dua
kemungkinan timbul, yaitu; Pemecahan masalah melalui upaya pelatihan
dan pemecahan masalah melalui 8/27 pendekatan atau upaya lain (non
training). Hal ini tidak berarti bahwa Petugas Pelatihan harus melupakan
pemecahan masalah non training dan mengatakan bukan "tugas dan
tanggung jawabnya". Petugas Pelatihan tetap harus terlibat secara aktif
untuk membahasnya dengan pihak manajemen dan seluruh pihak terkait.
d) Langkah selanjutnya adalah adanya komitmen manajemen terhadap
langkah- langkah yang diperlukan dalam memecahkan masalah. Secara
teoritis tentu saja tidaklah mungkin melakukan identifikasi kebutuhan
pelatihan tanpa keterlibatan manajemen mengingat bahwa kebutuhan
pelatihan selalu berkaitan erat dengan tujuan lembaga atau tujuan
organisasi.
Model 2
Model kedua ini mempunyai asumsi bahwa kondisi manajemen lembaga
dalam keadaan baik, dimana pihak manajemen menyadari adanya suatu masalah
dan salah satu alternatif pemecahan masalah yang berharga adalah melalui
pelatihan, maka pihak manajemen "memanggil atau melibatkan" ahli pelatihan
untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Sifat bantuan atau bimbingan
teknis ahli pelatihan disini mungkin hanya dalam beberapa kegiatan penting saja.
yaitu bahwa peranan Ahli Pelatihan adalah memberikan saran atau advis atau
masukan-masukan kepada manajemen dalam upaya pemecahan masalah yang
dihadapi.
Dilain pihak "pendampingan atau pembinaan" mungkin akan lebih berarti
bila dibandingkan dengan "pemberian advis" dalam memberikan bantuan yang
diberikan Dalam hal ini Ahli Pelatihan tidak hanya sekedar memberikan bantuan
untuk memecahkan masalah manajemen tetapi lebih dari itu yaitu membimbing
dan membantu pimpinan (manajemen) sehingga mampu memecahkan masalah
secara mandiri. Tentu saja, hal ini membutuhkan suatu pendekatan dan hubungan
antara Ahli Pelatihan dengan pihak manajemen yang sangat berbeda. Walaupun
disadari hal ini sangat sulit untuk kepentingan jangka waktu pendek, namun
dalam jangka panjang bentuk bantuan yang bersifat "Pendampingan dan
Pembinaan" akan memberikan suatu kontribusi yang sangat berharga. Di sinilah
letak keterlibatan semua pihak sangat penting di dalam proses identifikasi
kebutuhan pelatihan.
Model 3
Pada dasarnya dalam proses identifikasi kebutuhan pelatihan Model 3 ini
secara khusus lebih menitik beratkan pada kebutuhan pelatihan di masa yang akan
datang. Sedangkan pada Model 1 dan 2 lebih memperhatikan pada identifikasi
kebutuhan pelatihan saat ini dan saat akan datang. Pada Model 3 ini lebih banyak
digunakan untuk mengantisipasi adanya dan perlunya berbagai perubahan
lembaga yang telah direncanakan karena adanya berbagai tuntutan.
Dalam hal ini, tentu saja Ahli Pelatihan dan pihak manajemen harus dan
mutlak melakukan kerjasama yang erat Perubahan kelembagaan tersebut mungkin
saja terjadi pada berbagai jenjang; mulai dari suatu perubahan yang sifatnya
strategis atau hanya perubahan yang bersifat "teknis". Perubahan strategis disini
diartikan sebagai suatu perubahan yang sifatnya mendasar, mulai dari Perubahan
Visi, Misi, Strategi dan lain sebagainya.
Perubahan yang bersifat strategis akan menghadapi permasalahan yang lebih
kompleks dan pada umumnya hal ini terdorong karena adanya perubahan
eksternal antara lain perubahan politik, undang-undang dan lain sebagainya.
Sedangkan perubahan "teknis" merupakan perubahan yang sifatnya lebih
operasional dan lebih banyak karena faktor internal. Dengan adanya perubahan-
perubahan tersebut sangatlah diharapkan keterlibatan Ahli 9/27 Pelatihan sejak
dari awal untuk memperhitungkan berbagai implikasi dan konsekuensi serta
persyaratan "profesionalisme" yang dibutuhkan karena adanya perubahan
tersebut.
1) Karir
Para pakar lebih sering mendefinisikan karir sebagai proses suatu konsep
yang tidak statis dan final. Mereka cenderung mendefinisikan karir sebagai
“perjalanan pekerjaan seorang pegawai di dalam organisasi”. Perjalanan ini
dimulai sejak ia diterima sebagai pegawai baru, dan berakhir pada saat ia tidak
bekerja lagi dalam organisasi tersebut.
Haneman et al. (1983) mengatakan bahwa “Perjalanan karir seorang
pegawai dimulai pada saat ia menerima pekerjaan di suatu organisasi. Perjalanan
karir ini mungkin akan berlangsung beberapa jam saja atau beberapa hari, atau
mungkin berlanjut sampai 30 atau 40 tahun kemudian. Perjalanan karir ini
mungkin berlangsung di satu pekerjaan di satu lokasi, atau melibatkan serentetan
pekerjaan yang tersebar di seluruh negeri atau bahkan di seluruh dunia”.
Konsep karir adalah konsep yang netral (tidak berkonotasi positif atau
negatif). Karena itu karir ada yang baik, ada pula karir yang buruk. Ada
perjalanan karir yang lambat, ada pula yang cepat. Tetapi, tentu saja semua orang
mendambakan memiliki karir yang baik dan bila mungkin bergulir dengan cepat.
Karir dapat diletakkan dalam konteks organisasi secara formal, tetapi karir
dapat pula diletakkan dalam konteks yang lebih longgar dan tidak formal. Dalam
kaitan arti yang terakhir ini, kita biasa mengatakan, misalnya, “karir si A sebagai
pelukis cukup baik” dan si B mengakhiri karirnya di bidang politik secara baik”,
dan sebagainya.
Apapun artinya, karir amatlah penting bagi pegawai maupun bagi
organisasi. Menurut Walker (1980), bagi pegawai, karir bahkan dianggap lebih
penting dari pada pekerjaan itu sendiri. Seorang pegawai bisa meninggalkan
pekerjaannya jika merasa prospek keriernya buruk. Sebaliknya, pegawai mungkin
akan tetap rela bekerja di pekerjaan yang tidak disukainya asal ia tahu ia
mempunyai prospek cerah dalam karirnya.
Sebaliknya, bagi organisasi, kejelasan perencanaan dan pengembangan karir
pegawai akan membawa manfaat langsung terhadap efisiensi manajemen.
Dikemukakan oleh Walker (1980) bahwa turn over pegawai cenderung lebih kecil
di perusahaan-perusahaan yang sangat memperhatikan pengembangan karir
pegawainya. Di samping itu, penanganan karir yang baik oleh organisasi akan
mengurangi tingkah frustasi yang dialami oleh pegawai serta meningkatkan
motivasi kerja mereka. Oleh karena itu, manajemen karir bukan hanya menjadi
kewajiban bagi organisasi, tetapi juga merupakan kebutuhan yang sama
pentingnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
2) Jalur Karir
Jalur karir adalah pola urutan pekerjaan (Pattern of Work Sequence) yang
harus dilalui pegawai untuk mencapai suatu tujuan karir. Tersirat di sini, jalur
karir selalu bersifat formal, dan ditentukan oleh organisasi (bukan oleh pegawai).
Jalur karir selalu bersifat ideal dan normatif. Artinya dengan asumsi setiap
pegawai mempunyai kesempatan yang sama dengan pegawai lain, maka setiap
pegawai mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai tujuan karir tertentu.
Meskipun demikian, kenyataan sehari-hari tidak selalu ideal seperti ini. Ada
pegawai yang bagus karirnya, ada pula pegawai yang mempunyai karir buruk
meskipun prestasi kerja yang ditunjukkannya bagus.
Dalam organisasi yang baik dan mapan, jalur karir pegawai selalu jelas dan
eksplisit, baik titik-titik karir yang dilalui maupun persyaratan yang harus
dipenuhi untuk mencapai tujuan karir tertentu. Di lingkungan pegawai negeri,
misalnya, dikenal jalur karir sruktural dan fungsional. Seorang dosen di perguruan
tinggi, sebagai ilustrasi, boleh meniti karir di bidang struktural, boleh juga di
bidang fungsional. Secara struktural, ia boleh menjadikan ketua jurusan, ketua
program, pembantu dekan, dekan, pembantu rektor, dan bahkan rektor.
Namun, kalaupun ia tidak menuduki jabatan struktural tertentu, dosen
tersebut masih mempunyai kesempatan untuk meniti karir di jalur fungsional, dari
Asisten Ahli sampai ke tingkat tertinggi yaitu Guru Besar. Dalam hal ini,
persyaratan untuk naik ke jabatan struktural tertentu atau ke jenjang fungsional
tertentu telah ditentukan dengan jelas dan bahkan dilengkapi dengan ukuran-
ukuran kuantitatif (cumulativ credit point, CCP).
3) Tujuan Karir
Tujuan atau sasaran karir adalah posisi atau jabatan tertentu yang dapat
dicapai oleh seorang pegawai bila yang bersangkutan memenuhi semua syarat dan
kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan jabatan tersebut.
Yang penting dicatat, tujuan atau sasaran karir tidak otomatis tercapai bila
seorang pegawai memenuhi semua syarat yang harus dipenuhi. Misalnya seorang
kepala subagian tidak otomatis menjadi kepala bagian meskipun ia telah
memenuhi syarat untuk menjadi kepala bagian. Untuk menjadi kepala bagian, ia
harus memenuhi syarat-syarat yang seringkali di luar kekuasaannya, misalnya ada
tidaknya lowongan jabatan kepala bagian, keputusan dan preferensi pimpinan,
adanya kandidat lain yang sama kualitasnya, dan sebagainya.
4) Perencanaan Karir
Perencanaan karir adalah salah satu fungsi manajemen karir. Perencanaan
karir adalah perencanaan yang dilakukan baik oleh individu pegawai maupun oleh
organisasi berkenaan dengan karir pegawai, terutama mengenai persiapan yang
harus dipenuhi seorang pegawai untuk mencapai tujuan karir tertentu.
Yang perlu digarisbawahi, perencanaan karir pegawai harus dilakukan oleh
kedua belah pihak yaitu pegawai yang bersangkutan dan organisasi. Jika tidak,
maka perencanaan karir pegawai tidak akan menghasilkan rencana yang baik dan
realistis. Perencanaan karir ini akan dibahas lebih rinci di bab ini.
5) Pengembangan Karir
Pengembangan karir adalah salah satu fungsi manajemen karir.
Pengembangan karir adalah proses mengidentifikasi potensi karir pegawai, dan
materi serta menerapkan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan potensi
tersebut.
Secara umum, proses pengembangan karir dimulai dengan mengevaluasi
kinerja pegawai. Proses ini lazim disebut sebagai penilaian kinerja (performance
appraisal). Dari hasil penelitian kinerja ini kita mendapatkan masukan yang
menggambarkan profil kemampuan pegawai (baik potensinya maupun kinerja
aktualnya). Dari masukan inilah kita mengidentifikasi berbagai metode untuk
mengembangkan potensi yang bersangkutan.
6) Manajemen Karir
Manajemen karir adalah proses pengelolaan karir pegawai yang meliputi
tahapan kegiatan perencanaan karir, pengembangan dan konseling karir, serta
pengambilan keputusan karir.
Manajemen karir melibatkan semua pihak termasuk pegawai yang
bersangkutan dengan unit tempat si pegawai bekerja, dan organisasi secara
keseluruhan. Oleh karena itu manajemen karir mencakup area kegiatan yang
sangat luas. Manajemen karir ini akan kita bahas secara leih rinci dalam bab ini.
7) Konseling Karir
Konseling karir adalah proses mengidentifikasi masalah-masalah yang
berhubungan dengan karir seorang pegawai serta mencari alternatif jalan keluar
dari berbagai masalah tersebut.
Dalam organisasi, terdapat berbagai masalah yang berhubungan dengan
karir pegawai. Ada yang tidak terlampau serius sehingga dapat dipecahkan dalam
tempo relatif cepat. Ada pula yang sangat serius sehingga mengganggu pekerjaan
si pegawai sendiri maupun pekerjaan rekan sekerja lainnya. Dalam keadaan
seperti ini, konseling karir sangat diperlukan, baik oleh pegawai maupun oleh
organisasi. Bahkan organisasi yang cukup besar seringkali merasa perlu
mempekerjakan seorang pakar (konselor) yang khusus menangani masalah-
masalah karir ini.
2. Ruang Lingkup
Secara luas, manajemen karir meliputi seluruh kegiatan yang berkenaan dengan
pekerjaan pegawai. Kegiatan ini di mulai dari proses penarikan (rekrutmen) pegawai,
penempatan pegawai, pengembangan pegawai, dan berakhir pada pemberhentian
pegawai. Walker (1980) misalnya, membuat sederetan issue dalam manajemen karir. Ia
mengkaitkannya dengan berbagai kegiatan perencanaan ketenagakerjaan. Berikut
adalah tabel Walker (sesuai penyesuaian seperlunya oleh penulis).
Kita lihat dari tabel tersebut bahwa manajemen karir dapat meliputi segala urusan
yang bersangkutan dengan pegawai dan tugas yang diberikan kepadanya. Lebih jauh
lagi, manajemen karir sesungguhnya juga menjangkau hal-hal yang bersifat kualitatif
dan sukar diukur seperti keinginan dan harapan pegawai dalam hidup dan
pekerjaannya.
Organisasi mempunyai rencana dan tujuan yang harus dicapai. Untuk mecapai
tujuan ini diperlukan sumber daya manusia (disamping sumber daya lain). Di pihak
lain, pegawai juga mempunyai rencana dan tujuan (karir) yang ingin dicapainya. Untuk
itu diperlukan suatu sistem pengembangan karir pegawai.
Untuk menyatukan kebutuhan organisasi dam kebutuhan pegawai ini, diperlukan
suatu manajemen yang menguntungkan kedua belah pihak. Manajemen yang baik dan
saling mengungtungkan ini terangkum dalam suatu sistem SDM yang terdiri dari
banyak komponen (subsistem).
A, Sihotang. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Pertama, Jakarta: PT Pradnya
Paramitha.
Ambar, Teguh dan Rosidah. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan, Vol.17, No. 2.
Ardana, Komang dkk. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Bambang Wahyudi. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi, Bandung: Sulita
Bandung.
Budiyanto, Eko. (2013). Sistem Informasi Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
D. Anggraini. (2015). Hubungan Self-Efficacy dan Work Family Conflict dengan Pengembangan Karir
pada Pegawai Wanita.
Faustino, Cardoso, Gomes. (1995). Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi Yogyakarta.
Hasibuan, Malayu. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia: Dasar dan Kunci Keberhasilan.
Edisi Revisi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ike Kusdaya, Rachmawati. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia, Andy Yogyakarta.
Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta. Penerbit: CV. Andi Offset Ghozali, Imam
(2008).
Manajemen Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta. Jurnal Ilmu Manajemen,
Revitalisasi, Vol.2 No 3 Desember 2010.
Marihot, Tua, Efendi, Hariandja. (2009). Manajemen Sumber Daya manusia, Grasindo.
Rivai, Veithzal dan Sagala, Ella Jauvani. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk
Perusahaan dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Simmamora, Henry. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Ed. 3, cetakan ke-2.
Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.