Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati akut
dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat. Manifestasi tersebut
mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan
di otak yang mendasarinya.
Dehidrasi.
Infeksi.
Gangguan ginjal.
Kekurangan oksigen.
Obat-obatan penenang yang dapat menekan saraf sentral.
Kelainan yang merusak hati dan menyebabkan gagal hati dapat mengakibatkan ensefalopati hepatik.
Beberapa kelainan ini adalah hepatitis karena virus (seperti hepatitis B dan hepatitis C), infeksi parah,
penyakit autoimun, kanker, dan sindrom Reye.
Ensefalopati juga bisa disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, seperti obat anti-radang nonsteroid
(NSAID) dan konsumsi alkohol yang berlebihan. Pengidap sirosis hati juga dapat terkena ensefalopati dari
penggunaan analgesik dan sedatif.
Mengantuk.
Pada dasarnya, tidak ada pemeriksaan yang dapat dijadikan gold standard dalam mendiagnosis
ensefalopati hepatik. Pada ensefalopati hepatik, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
lengkap dan detail. Hal ini disebabkan karena banyaknya penyakit yang bisa menjadi diagnosis banding
dari ensefalopati hepatik, baik gangguan vaskular, gangguan metabolik, gangguan intrakranial, maupun
gangguan neuropsikiatri. Selain itu, gejala klinis yang ditemukan pada ensefalopati hepatik tidak ada
yang bersifat spesifik untuk penyakit ini. Dalam anamnesis, perlu diketahui ada tidaknya riwayat maupun
gejala klinis dari gangguan hati. Selain itu, perlu diketahui juga faktor-faktor lain menjadi pencetus pada
ensefalopati hepatik.
Jika dinilai membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, dokter biasanya akan menganjurkan serangkaian tes
yang berupa:
Pemeriksaan darah lengkap yang bertujuan untuk memeriksa ada atau tidaknya potensi penyebab
dasarnya, misalnya anemia, kekurangan vitamin, fungsi hati, kadar gula, serta infeksi.
X-ray.
Edema otak.
Gagal ginjal.
Kelainan asam-basa.
Hipoksia.
Gangguan sirkulasi.
Sumber protein yang diberikan pada ensefalopati hepatik adalah asam amino rantai cabang dengan
harapan neurotransmiter asli dan palsu akan berimbang. Dengan ini, metabolisme amonia di otot dapat
bertambah. Pemberian laktulosa dengan dosis 10-30 mililiter, 3 kali/hari juga dilakukan dengan harapan
penyerapan amonia akan terhambat oleh pH asam pada usus. Selain itu, pemberian neomisin 4x1-2
gram/hari per oral juga harus dilakukan. Hal ini bertujuan agar sterilisasi usus bisa dilakukan.
Ensefalopati bisa dihindari dengan menerapkan pola makan yang sehat dan seimbang, berhenti
mengonsumsi minuman beralkohol, teratur berolahraga, serta menjalani pemeriksaan kesehatan secara
rutin.