Makalah Teori Legitimasi Kekuasaan
Makalah Teori Legitimasi Kekuasaan
TEORI KEDAULATAN
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
UNIVERSITAS HALUOLEO
FAKULTAS HUKUM
KENDARI
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Terhadap wewenang itu timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi dasarnya. Itulah
pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan. Terhadap setiap wewenang dapat
dipersoalkan apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah mempunyai dasar atau tidak.
Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata
legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara
sederhana legitimasi adalah kesesuaian suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku,
atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum
kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.
• Teori Legitimasi Kekuasaan
Kekuasaan Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dan organisasi itu merupakan
tatakerja daripada alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tatakerja
mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing-masing alat
perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu negara pasti dipimpin
oleh pemegang kekuasaan.
Suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara keseluruhan mendapatkan
dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi
diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur sistem politik yang
ada. Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga unsur-unsur lain
dalam sistem politik. Jadi legitimasi dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap
sistem politik sedangkan dalam arti sempit legitimasi merupakan dukungan masyarakat
terhadap pemerintah yang berwenang.
Menurut Easton dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:93), terdapat tiga objek
dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya
berlangsung secara terus menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi
kebijakan umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik, rezim dan
pemerintahan.
Sementara Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi
agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Kelima obyek legitimasi itu meliputi:
masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan.
Menurut Zippelius dalam Franz Magnis—Suseno (Etika Politik, 1994:54) bentuk legitimasi dilihat
dari segi obyek dapat dibagi atas dua bentuk yakni :
Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya: untuk tujuan apa
wewenang dapat dipergunakan dengan sah? Wewenang tertinggi dalam dimensi politis
kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi
hakiki kekuasaan politik: yakni dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang
normatif dan dalam kekuasaan (eksekutif) negara sebagai lembaga penataan efektif dalam arti
mampu mengambil tindakan.
2. Legitimasi subyek kekuasaan
Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekompok
orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang
kekuasaan negara. Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan:
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan
pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khususnya penguasa.
Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan
untuk memerintah. Paham legitimasi ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah
masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Legitimasi
eliter dibagi menjadi empat macam yakni:
(1) legitimasi aristoktratis : secara tradisional satu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat
dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga
dalam kepandaian untuk berperang. Maka golongan itu dengan sendirinya dianggap berhak
untuk memimpin rakyat secara politis.
(2) legtimasi ideologis modern : legitimasi ini mengandaikan adanya suatu idiologis negara yang
mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengembangan idiologi itu memiliki
privilese kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat
diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk
menentukkannya.
(3) legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli: berdasarkan argumentasi bahwa
materi pemerintahan masyarakat dizaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks
sehingga hanya dapat dijalankan secara bertanggungjawab oleh mereka yang betul-betul ahli.
(4) legitimasi pragmatis: orang, golongan atau kelas yang de facto menganggap dirinya paling
cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menanganinya
inilah yang dianggap berhak untuk berkuasa. Calah satu contoh adalah pemerintahan militer
yang pada umumnya berdasarkan argumen bahwa tidak ada pihak lain yang dapat menjaga
kestabilan nasional dan kelanjutan pemerintahan segara secara teratur.
Menurut Andrain dalam Ramlan Subakti (Memahami Ilmu Politik, 1999:97) berdasarkan
prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi
dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu :
1. Legitimasi tradisional; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin
”berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
3. Legitimasi kualitas pribadi; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik maupun
penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.
• Sumber Kekuasaan
Ada beberapa cara mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan,
yaitu : (Inu Kencana, 200:54)
1. Legitimate Power
Legitimate berarti penangkatan, jadi legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui
pengangkatan.
2. Coersive Power
Perolehan kekuasaan melalui kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan
bersenjata yang sudah tentu diluar jalur konstitusional atau biasa disebut dengan kudeta.
3. Expert Power
Perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan
memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut.
4. Reward Power
Perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena karena berbagai pemberian.
Sebagai contoh bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk
bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena
mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).
5. Reverent Power
Perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor
utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala kemudian menguasai keadaan, namun
daya tarik seperti postur tubuh, wajah, penampilan dan pakaian yang parlente dalam
mementukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.
6. Information Power
Kekuasaan yang dipeorleh karena seseorang yang begitu bayak memiliki keteranga sehingga
orang lain membutuhkan dirinya untuk bertanya, untuk itu yang bersangkutan membatasi
keterangannnya agar terus menerus dibutuhkan.
7. Connetion Power
Mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan banyak akan memperoleh kekuasaan yang
besar pula, baik dilapangan politik maupun perekonomian. Yang biasa disebut dengan ”relasi”.
Atau kekuasaan seseorang memiliki hubungan keterkaitan dengan seseorang yang memang
sedang berkuasa, hal ini biasanya disebut denga hubunga kekerabatan atau kekekeluargaan.
Menurut beberapa ahli yang dikutip Muchtar Pakpahan (Ilmu Negara dan Politik,2006:68 , ada
tiga teori sumber kekuasaan yakni:
1. Teori Teokrasi.
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu datangnya dari tuhan. Tuhanlah yang mengangkat
orang untuk mewakili tuhan mengatur pemerintahan.
2. Teori Hukum Alam.
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu ada karena diperjanjikan oleh masyarakat.
Selanjutnya masyarakat membuat perjanjian untuk mengangkat siapa yang memegang
kekuasaan.
3. Teori Kekuatan.
Teori ini menyatakan siapa yang kuat dari antara masyarakat itu, dialah yang muncuk sebagai
pemegang kekuasaan.
• Pembagian Kekuasaan
Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:60) mengutip pendapat para ahli pemerintah
mengusulkan pendapat untuk membagi atau memisahkan kekuasaan, walaupun pada
prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan diikuti oleh para birokrat. Pendapat-pendapat
tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :
§ Eka Praja
Kekuasaan dipegang oleh satu badan. Bentuk ini sudah tentu diktator (authokrasi) karena tidak
ada balance (tandingan) dalam era pemerintahan. Jadi yang ada hanya pihak eksekutif saja dan
bisa muncul pada suatu kerajaan absolut dan pemerintahan fasisme.
§ Dwi Praja
Kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh Frank J. Goodnow dan Wodrow Wilson
dikategorikan sebagai lembaga administratif (unsur penyelenggara pemerintahan) dan
lembaga politik (unsur pengatur undang-undang).
§ Tri Praja
Kekuasaan dipegang tiga badan. Bentuk ini banyak diusulkan oleh para pakar yang
menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan pemisahan atas lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Tokohnya, montesquieu dan John Locke.
§ Catur Praja
Kekuasaan dipegang empat badan. Bentuk ini baik apabila benar-benar dijalankan dengan
konsekuen, bila tidak akan tampak kemubaziran. Van Vollenhoven Mengkategorikan bentuk ini
yakni :
1. Regeling (Kekuasaan membuat undang-undang)
2. Bestuur (Kekuasaan pemerintah)
3. Politie (Kekuasaan kepolisian)
4. Rechtsspraak (kekuasaan mengadili)
§ Panca Praja
Kekuasaan dipegang lima lembaga. Bentuk ini sekarang dianut Indonesia, karena walaupun
dalam hitungan tampak ada enam badan yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif,
inspektif, dan legislatif, namun dalam kenyataannya konsultatif (MPR) anggota-anggotanya
terdiri dari anggota legislatif.
Inu Kencana (Ilmu Politik, 2000:61-63), dengan mengutip pendapat beberapa ahli mengatakan
pemisahan tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut:
Menurut Gabriel Almond
1. Rule Making Function
2. Rule Application Function
3. Rule Adjudication Function
Menurut Montesquieu (1689-1755)
1. Kekuasaan Legislatif, yaitu pembuat undang-undang
2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu pelaksana undang-undang
3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu yang mengadili (badan peradilan)
Menurut John Locke (1632-1704)
1. Kekuasaan Legislatif
2. Kekuasaan Eksekutif
3. Kekuasaan Federatif (untuk memimpin perserikatan)
Menurut Lemaire
1. Wetgeving: Kewenaga membuat undang-undang
2. Bestuur : Kewenangan pemerintahan
3. Politie: Kewenangan Penertiban
4. Rechtsspraak: Kewenangan peradilan
5. Bestuur Zorg : Kewenangan untuk mensejahterakan masyarakat.
• Bentuk-Bentuk Legitimasi
Pendobrakan legitimasi kekuasaan religious melahirkan etika politik. Ada dua
perkembangan dalam pengertian manusia yang secara terpisah. Yang pertama, kesadaran
bahwa hanya ada satu Allah dan segala dimensi yang lain adalah ciptaan belaka. Yang kedua,
lahir bersama dengan filsafat paham modern di Yunani. Kenegaraan merupakan sesuatu yang
biasa bagi mereka dan kekuasaan nampak sebagaimana adanya. Dua perkembangan
penduniawian bidang kekuasaan politik itu secara mendalam mempengaruhi dua
lingkungan budaya dan agama besar di dunia ini. Pertama di dunia Kristen dan kedua didunia
Islam.
1. Paham Umum Legitimasi
Menurut Max Weber ³kekuasaan adalah kemampuan untul, dalam suatu hubungan sosial,
melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawaanan, dan apa pun dasar
kemampuan ini´. Setiap kekuasaan Negara memiliki otoritas dan wewenang. Otoritas adalah
kekuasaan yang dilembagakan, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai,
melainkan juga berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah.
Wewenang memiliki keabsahan apabila sesuai dengan norma-norma yang ada.
2. Obyek LegitimasiAda dua pertanyaan legitimasi
a. Legitimasi materi
Wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsi. Wewenang tertinggi dalam dimensi
politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua
dimensi hakiki kekuasaan politik. Dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang
normatif, dan dalam kekuasaan negara sebagai lembaga penataan efektif.
b. Legitimasi subyek kekuasaan
Mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang.
Ada 3 macam legitimasi subyek kekuasaan, yaitu legitimasi religius, legitimasieliter, legitimasi
demokratis.
a. Legitimasi religious
Mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang diduniawi. Ada dua paham
legitimasi religius, yaitu penguasadipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan-
kekuatanadiduniawi dan wewenang penguasa pada penetapan oleh Allah. Perbedaan antara
dua paham tersebut ialah bahwa paham gaib tidak memungkinkan tuntutan legitimasi moral,
sedangkan paham penetepan oleh Allah Yang Esa malah mempertajam tuntutan itu.
b. Legitimasi eliter
Mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk
memerintah. Untuk memerintah rakyat dibutuhkan kualifikasi khusus. Kita dapat membedakan
antara sekurang-kurangnya empat macam legitimasi eliter. Yang tertua adalah legitimasi
arsitokratis (suatu golongan dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan
memimpin), legitimasi pragmatis (golongan yang de facto menganggap diri paling cocok untuk
memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menangani), legitimasi ideologis
(mengandaikan ada suatu ideology yang mengikat seluruh masyarakat), legitimasi teknokratis
( dizaman yang modern ini hanya mereka yang bertanggung jawab yang dapat menjalankan
pemerintahan)
c. Legitimasi demokratis
Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang akan merupakan salahsatu pokok pembahasan
dalam buku ini.
• Kriteria Legitimasi
Pada prinsipnya ada 3 kemungkinan kriteria legitimasi, yaitu :
a. Legitimasi Sosiologis
Legitimasi sosiologis yaitu mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata
memmbuat masyarakat mau menerimawewenang penguasa. Sejauh sosiologis membatasi diri
pada penggambaran fungsi-fungsi yang terdapat dalam masyarakat, sosiologis mengajukan
pertanyaan apakah, dan karena motivasi manakah, suatu tatanan kenegaraan diterima dan
disetujui oleh masyarakat. Max Weber merumuskan tiga motivasi penerimaan kekuasaan
klasik :
· Legitimasi Tradisional Adalah keyakinan masyarakat tradisional, bahwa pihak
yangmenurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk berkuasa (ex :
bangsawan atau keluarga raja)
· Legitimasi Karismatik Adalah rasa hormat, kagum atau cinta masyarakat kepada seorang
pribadi sehingga dengan sendirinya bersedia untuk taatkepadanya (ex : seseorang yang
dianggap memiliki kesaktian)
· Legitimasi Rasional-Legal Adalah kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang
melandasi kedudukan seorang pemimpin
b. Legalitas
Kata “legal”berarti “sesuai dengan hukum”. Legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang
berlaku. Legalitas adalah salah satu kemungkinan bagi keabsahan wewenang dan menuntut
agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Adalah cukup jelas bahwa
legalitas tidak mungkin merupakan tolak ukur paling fundamental bagikeabsahan wewenang
politis, karena legalitas hanya dapat memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang
berlaku, maka selalu sudah diandaikan keabsahan hukum. Pendasaran wewenang politik pada
legalitas akhirnya merupakan regressus ad infinitum (mundur tanpa akhir) karena hukum positif
yang mendasari legalitas selalu harus berdasarkan suatu hukum positif lagi.Dengan kata lain,
legitimasi paling fundamental tidak dapat didasarkan pada penetapan hukum positif.
c. Legitimasi Etis
Mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari seginorma-norma moral. Setiap
tindakan negara (eksekutif atau legislatif) dapat harus dipertanyakan dari segi norma-norma
moral. Legitimasietis yang menjadi pokok bahasan etika politik tidak menyangkut masing-
masing kebijaksanaan dari kekuasaan politik, melainkan dasar kekuatan politis itu sendiri.
d. Kekhasan Legitimasi Etisa.
Legitimasi etis dan legalitasLegitimasi etis dimaksud pembenaran atau pengabsahan wewenang
negara berdasarkan prinsip-prinsip moral, maka legalitas menyangkut fungsi-fungsi kekuasaan
negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum yang
berlaku. Namun legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi etis.
Dikarenakan,legalitas hanya memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin berasal dari
rakyat berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat antara pemimpin dengan rakyat yang
dinamakan dengan kontrak sosial. Menurut Hobbes, manusia sebelum adanya negara dalam
keadaan anarkis, mementingkan diri sendiri, penuh dendam kesumat, bertindak ganas dan
sewenang-wenang. Manusia digambarkan memiliki hak alamiah (natural right) tanpa batas.
Kepemilikan hak tanpa batas ini mengakibatkan perselisihan tanpa kesudahan. Tegasnya
manusia digambarkan bukan hanya pra sosial akan tetapi juga mengalami pra politik. Jika hal ini
dibiarkan berkepanjangan akan mengakibatkan punahnya kehidupan manusia. oleh karena itu
mereka bersepakat untuk menyerahkan segala hak mereka kepada individu atau lembaga
tertentu yang dinamakan dengan sovereign body untuk mengatur mereka. Sovereign body tidak
membuat perjanjian apapun dengan masyarakat bahkan sebaliknya masyarakatlah yang
mengakui dan menjustifikasi serta mengikat janji taat setia kepadanya.
Teori ini berkembang selangkah lagi dengan munculnya John Locke yang beranggapan
bahwa manusia pra negara hanyalah manusia pra politik bukannya pra sosial sebagaimana
digambarkan Hobbes. Walaupun tanpa institusi politik, manusia dikatakan hidup dibawah
peraturan undang-undang alamiah (law of nature). Permasalahan muncul ketika tidak ada
lembaga yang menafsirkan undang-undang tersebut, sehingga masing-masing individu
menafsirkan sesuai dengan kehendak masing-masing. Keadaan kacaupun terjadi apabila
kepentingan saling bertentangan. Berdasarkan hal ini, maka diperlukan suatu lembaga yang
dapat menafsirkan dan mengimplimentasikan undang-undang yang dapat diterima oleh semua
kalangan. Dengan demikian maka sebuah masyarakat sipil dirasakan perlu untuk diwujudkan.
Teori kontrak sosial berkembang lebih jauh dengan kehadiran pemikir politik Perancis
Jean Jaques Rosseuau yang berpandangan bahwa manusia sebelum adanya Negara berada
dalam keadaan tenteram dan aman. Bagaimanapun keadaan ini berubah dengan bertambah
banyak jumlah masyarakat sehingga terjadi pergesekan yang mengakibatkan huru-hara dan
pertumpahan darah akibat mempertahankan kepemilikan pribadi (private property).
Persengketaan dalam mempertahankan hak peribadi dan konflik antara golongan kaya dengan
miskin membuat manusia mencari jalan keluar dengan mengikat suatu perjanjian bersama.
Dalam perjanjian tersebut semua hak individu diserahkan kepada masyarakat. Penyerahan ini
membuat masyarakat berdaulat dan berkuasa, disinilah masyarakat sipil (civil Society) lahir.
Rosseuau memperkenalkan suatu konsep baru dalam kontrak sosial yang berbeda
dengan konsep Hobbes dan Locke yang berupa konsep “kehendak umum” (general Will).
Berasaskan konsep ini maka segala bentuk undang-undang yang dibuat harus sesuai dengan
kehendak umum, dan pemimpin Negara hanya pelaksana keputusan rakyat. Dengan demikian
Rosseuau dapat dikatakan cenderung menyokong sistem demokrasi langsung, dimana jika perlu
semua orang turut dilibatkan dalam mengamil keputusan sebelum dilaksanakan oleh kepala
Negara.
Konsep yang dikemukakan oleh Rosseuau jelas menjadi penguat konsep demokrasi dan
asas kedaulatan rakyat. Dengan demikian kehendak rakyat merupakan penentu dalam setiap
apa yang dilakukan oleh kepala Negara, bukannya kekerasan. Penekanan kepada konsep
kehendak umum memperlihatkan betapa Rosseuau mendukung ciri-ciri demokrasi langsung
yang berupa pemilihan umum dan jajak pendapat (referendum) sebagai unsur penting dalam
membuat keputusan. Besarnya kekuasaan yang dimiliki rakyat juga memberikan justifikasi
kebolehan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang.
Sungguhpun konsep perjanjian masyarakat tersusun dengan begitu rapi, namun pada
hakikatnya konsep ini adalah bersifat andaian dan hipotetikal yang belum dapat dibuktikan
secara nyata dalam tataran praktis. Sedangkan konsep bai’ah dalam perspektif Islam bukan
hanya andaian dan angan-angan, akan tetapi telah dibuktikan dalam sejarah dan benar-benar
berlaku secara nyata semenjak khalifah pertama dilantik oleh rakyat.
2. Teori Kedaulatan
• Pengertian Keadulatan
Menurut J.H.A. Logemann, Pengertian Kedaulatan Negara adalah kekuasaan mutlak
atau kekuasaaan tertinggi atas penduduk dan wilayah bumi beserta isinya yang dipunyai oleh
suatu sistem negara nasional yang berdaulat.
Pengertian Kedaulatan Negara dalam Arti kenegaraan adalah kekuasaan penuh dan
tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa campur tangan dari
pemerintah negara lain.
Kedaulatan merupakan salah satu syarat beridirinya suatu negara. Salah satu unsur dari
negara ialah pemerintah yang berkedaulatan. Pemerintah dalam suatu negara harus memiliki
kewibawaan (authority) yang tertinggi (supreme) dan tidak terbatas.
Adanya kewibawaan yang tertinggi dan tidak terbatas dapat dilihat pada kekuasaan
negara yang dapat memaksa itu. Dengan demikian istilah "yang tertinggi (supreme)"
menimbulkan adanya pemerintahan yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi dan tidak
terbatas, kekuasaan negara yang mempunyai monopoli dalam menggunakan kekuasaan fisik.
• Teori Kedaulatan
Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak pernah terlepas kaitannya dengan
pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara tersebut dan darimana kekuasaan
tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara bukanlah benda mati yang dapat bergerak
sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan oleh sekelompok orang atas
masyarakat dengan tujuan tertentu. Pendapat tersebut juga dapat dipahami bahwa di dalam
setiap negara terdapat kekuasaan yang dimiliki negara untuk memaksakan kehendak pada
warga negaranya. Oleh karena itu, pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakan negara
dan dari mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan dengan pembahasan teori kekuasaan
negara, sehingga dapat memberikan jawaban apakah yang menjadi dasar adanya kekuasaan
negara tersebut.
Pembahasan teori kekuasaan negara merupakan bagian dari teori negara karena teori
kekuasaan negara merupakan turunan dari teori negara. Maka dari itu, didalam pembahasan
teori kekuasaan negara pasti juga berbicara teori negara. Pemikiran tantang teori negara pun
sudah dimulai sejak zaman romawi kuno sampai zaman moderen sekarang ini. Perkembangan
ekonomi, budaya dan politik juga menyebabkan teori negara mengalami perkembangan yang
signifikan. Hakekat negara secara sederhana dapat diartikan sebuah organisasi masyarakat,
organisasi yang dibentuk karena adanya keinginan hidup besama di dalam pemenuhan
kebutuhannya.
Aristoteles yang merupakan seorang ahli filsafat dari yunani mengatakan bahwa pada
hakekatnya menusia merupakan mahluk sosial (zoon politikon).Oleh sebab itu, pada manusia
terdapat suatu keinginana untuk hidup bersama yang pada akhirnya membentuk suatu negara
yang bersifat totaliter. Negara menurut Aristoteles merupakan bentuk tertinggi dari kehidupan
bermasyarakat, negara terbentuk secara alamiah. Dalam negara tersebut terdapat kekuasaan
terhadap orang lain yang memiliki kewenangan membuat undang-undang. Plato mengidealkan
yang memiliki kekuasaan atas negara tersebut adalah seorang filsuf karena hanya filsuf yang
dapat melihat persoalan yang sebenarnya di dalam kehidupan dan membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk.
Dasar pemikiran tersebut yang kemudian diadopsi oleh para kaum pemikir gereja yang
melahirkan teori hukum kodrat. Menurut teori ini maka kekuasaan tertinggi pada hakekatnya
berasal dari Tuhan. Sebagaimana dikatakan Thomas Aquinas, teori hukum kodrat adalah teori
etis dan hukum kodrat apa yang disebut sebagai kewajiban moral. Thomas berpendapat bahwa
monarchi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, yang dipimpin oleh seorang raja. Raja
memperoleh kekuasaan dari Tuhan, dalam menjalankan pemerintahanya raja mengharapkan
anugrah dari Tuhan dan ia selain sebagai penguasa rakyat ia juga merupakan hamba Tuhan.
Pada abad ke-17 dan ke-18, dasar pemikiran kekuasaan-kekuasaan raja mulai
mengalami perubahan, dari yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat duniawi. Dasar pemikiran
ini salah satunya dikemukakan oleh Thomas Hobbes. Thomas Hobbes menjelasakan bahwa di
dalam keadaan alamiahnya manusia hidup didalam keadaan yang kacau balau. Thomas Hobbes
menggambarkan keadaan ini bahwa manusia yang satu merupakan srigala bagi manusia yang
lainnya (homo homini lupus). Jadi dalam keadaan alamiahnya manusia tidak ada ketentraman
hidup, rasa takut menghantui lapisan masyarakat oleh karena itu manusia membuat perjanjian
untuk membentuk negara. Pembentukan negara tersebut bertujuan melindungi kehidupan
manusia tersebut.Ketika perjajian itu dilakukan semua hak-hak alamiah mereka diserahkan
pada negara, sedangkan negara tidak dibebani kewajiban apapun termasuk untuk dapat
dituntut oleh individu. Jadi negara bukanlah patner dalam perjajian itu, melainkan hasil
buahnya.
Berbeda dengan Thomas Hobbes, Jhon Locke menjelaskan bahwa di dalam keadaan
alamiah (state of nature), manusia memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan
mereka manusia secara alamiah dalam keadaan yang baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah
tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”.
Akan tetapi, kondisi tersebut menjadi berubah manusia mengenal uang. Dengan adanya
uang ini, tidak ada lagi batas alamiah yang sanggup menghindari terjadinya akumulasi kekayaan
oleh sedikit orang. Akumulasi kekayaan oleh sedikit orang ini kemudian menimbulkan keadaan
perang (state of war). Dalam situasi yang dikuasai oleh ekonomi uang ini, masyarakat tidak
dapat bertahan tanpa pembentukan negara yang menjamin milik pribadi
Dengan demikian, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik
pribadi.Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol
pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan
milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini
tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties).
Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan
adanya negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut. Jadi segala
kekuasaan yang dimiliki negara dimilikinya karena, dan sejauh, didelegasikan oleh para warga
negaranya.
Kata daulat dan kedaulatan berasal dari bahasa Arab, yakni daulah yang berarti
kekuasaan. Kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dan tertinggi yang berada
dalam suatu negara. Prof. Soehino, mengartikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi, yakni
kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi yang wewenang membuat keputusan.
Kedaulatan juga dapat bermakna teknis operasional, yaitu merupakan konsep mengenai
kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaran negara, maksudnya adalah apa dan siapa yang
membuat keputusan akhir dalam kegiatan bernegara. Dalam kajian ilmu hukum dan ilmu politik
dikenal adanya lima teori kedaulatan, yaitu teori kedaulatan negara, teori kedaualatan Tuhan,
teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Rakyat, dan teori kedaulatan Hukum.
Teori ini dianggap sebagai teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah. Teori ini
mengajarkan bahwanegara dan pemerintah mendapatkan kekuasaan tertinggi dari Tuhan
sebagai asal segalasesuatu (Causa Prima).1[1]
Menurut teori ini, kekuasaan berasal dari Tuhan yang diberikan kepada tokoh-tokoh
negara terpilih, yang secara kodrati ditetapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan
selaku wakil Tuhan di dunia. Teori ini umumnya dianut oleh raja-raja yang mengaku sebagai
keturunan dewa, misalnya dalam sejarah para raja Mesir Kuno, Kaisar Jepang, Kaisar China, Raja
Belanda ( Bidde Gratec Gods, kehendak Tuhan), Raja Ethiopia (Haile Selas, Singa penakluk dari
suku Yuda pilihan Tuhan). Demikian pula dianut oleh para raja Jawa zaman Hindu yang
menganggap diri mereka sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Ken Arok bahkan menganggap
dirinya sebagai titisan Brahmana, Wisnu, dan Syiwa sekaligus. Pelopor teori kedaulatan Tuhan
antara lain: Augustinus (354-430), Thomas Aquino (1215-1274), juga F. Hegel (1770-1831) dan
F.J. Stahl (1802-1861). Karena berasal dari Tuhan, maka kedaulatan negara bersifat mutlak dan
suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada raja yang melaksanakan kekuasaan atas
nama dan untuk kemuliaan Tuhan. Menurut Hegel, raja adalah manifestasi keberadaan Tuhan.
Maka, raja/ pemerintah selalu benar, tidak mungkin salah.
Pada abad pertengahan teori kedaulatan Tuhan berkembang menjadi teori kedaulatan
Raja. Teori ini menganggap bahwa pada dasarnya kedaulatan Tuhan dijelmakan dalam
kekuasaan seorang raja maupun ratu yang berkuasa secara turun temurun, mereka
menganggap bahwa legitimasi atas kekuasaannya merupakan perintah Tuhan yang mutlak.
Akibatnya kekuasaan raaja atau ratu menjadi mutlak yang kemudian melahirkan pula ajaran
tentang kedaulatan raja. Ia bahkan dianggap tidak perlu menaati hukum moral agama, bahkan
kekuasaannya berada di atas konstitusi, karena status-nya sebagai representasi/ wakil Tuhan di
dunia. Dalam konteks penerapan kedaulatan raja, kerena sifatnya yang sangat absolut, maka
kekuasaan raja menjadi tirani bagi rakyatnya. Adapun peletak dasar teori ini adalah Niccolo
Machiavelli (1467-1527) melalui karyanya, Il Principe. Ia mengajarkan bahwa negara harus
1
dipimpin oleh seorang raja yang berkekuasaan mutlak. Sedikit berbeda dengan Machavelli, Jean
Bodin menyatakan bahwa meskpiun kedaulatan negara dipersonifikasikan dalam pribadi
seorang raja, namun raja tetap harus menghormati hukum kodrat, hukum antar-bangsa, dan
konstitusi kerajaan ( leges imperii). Di Inggris teori ini dikembangkan oleh Thomas Hobbes
(1588-1679) yang mengajarkan bahwa kekuasaan mutlak seorang raja justru diperlukan untuk
mengatur negara dan menghindari homo homini lupus.
Teori ini menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, karena pada
dasarnya dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah harus berpijak pada kehendak
rakyat. Inti ajaran dari teori kedaulatan rakyat adalah pertama, kedaulatan tertinggi berada di
tangan rakyat (teori ajaran demokrasi) dan kedua, adanya jaminan konstitusi terhadap hak
asasi manusia. Teori ini juga memandang dan memaknai bahwa kekuasaan itu berasal dari
rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak
rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi. Rakyatlah penentu akhir penyelenggaraan
kekuasaan dalam suatu negara.
Menurut Jimly teori kedaulatan rakyat inilah yang akan menderivasikan diri menjadi
teori demokrasi , karena demokrasi merupakan praksis dari teori kedaulatan rakyat dalam
suatu sistem politik , oleh karenanya kedua istilah (kedaulatab rakyat dan demokrasi) dapat
disamakan. Teori ini juga menyebutkan bahwa kedaulatan rakyat diwujudkan dalam pernyataan
rakyat untuk menyampaikan kehendaknya. Menurut teori ini negara memperoleh kekuasaan
dari rakyatnya bukan dari Tuhan atan dari Raja. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara
pmerintahan diselenggarakan dak rakyat pulalah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai
oleh negara dalam pemerintahannya itu.
Ajaran kedaulatan rakyat lahir dari pemikiran J.J. Rousseau yang menyatakan bahwa
kedaulatan tidak bisa lepas dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Johanes
Althuisiss juga berpendapat bahwa setiap susunan pergaulan hidup manusia terjadi dari
perjanjian masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan, dan pemegang kekuasaan itu dipilih
oleh rakyat. Pendapat ini didukukung John Locke yang menyatakan bahwa kekuasaan negara
berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurut dia, perjanjian masyarakat menghasilkan
penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan
kewajiban asasi tersebut kepada rakyatnya, melalui peraturan perundang-undangan.
Kemunculan teori ini dianggap sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan rakyat. Ajaran
ini pertama kali muncul di Jerman. Kemunculan teori ini terkonsepsikan dalam rangka
mempertahankan kedudukan raja yang pada saat itu mendapatkan dukungan dari tiga lapisan
masyarakat yang cukup besar, baik dari golongan bangsawan (junkertum), golongan militer,
maupun alat-alat pemerintah atau birokrasi. Pada saat itu sebenarnya ajaran kedaulatan rakyat
sudah dikenal di Jerman, hanya saja ajaran ini dianggap berbahaya, karena melalui kedualatan
yang dimiliki rakyatnya, rakyat dapat saja melakukan pemberontakan terhadap raja, maka atas
alasan inilah raja membuat konsepsi ajaran baru untuk menandingi ajaran kedaulatan rakyat.
Konsepsi yang dibangun raja adalah bahwa sejatinya rakyat membentuk dirinya menjadi
negara, oleh karenanya rakyat identik dengan negara. Jika rakyat berdaulat, maka negara juga
berdaulat. Namun demikian karena entitas negara merupakan hal yang abstrak, maka timbul
pertanyaan siapakah yang dapat memegang kekuasaan negara. Disinilah posisi raja sebagai
wujud yang konkrit yang dianggap sebagai representasi dari sebuah negara, maka rajalah yang
memegang kekuasaan negara. Peletak dasar teori ini antara lain: Jean Bodin (1530-1596), F.
Hegel (1770-1831), G. Jellinek (1851-1911), Paul Laband (1879-1958).
Teori kedaulatan negara mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada negara.
Sumber kedaulatan adalah negara, yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa.
Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Demikian juga hukum dan
konstitusi, juga merupakan kehendak negara, diperlukan negara, dan diabdikan kepada
kepentingan negara. Menurut Jimly teori kedaualatan negara biasanya dibicarakan dalam
konteks hukum internasional karena teori kedaulatan ini bisa dipandang sebagai konsep
kekuasaan negara yang bersifat eksternal yaitu hubungan antar negara, sementara ajaran
kedaulatan lainnya dipandang sebagai konsep kekuasaan yang besifat internal dan dianggap
penting untuk dibahas dalam kajian Hukum Tata Negara. Dalam pengertian ini, Boer Mauna
berpendapat bahwa kedaulatan negara diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki
suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya,
selama tidak bertentangan dengan hukum internasional.
Kedaulatan hukum adalah sebuah teori kedaulatan yang diungkapkan oleh Krabbe
sebagai bentuk penyangkalannya terhadap teori kedaulatan negara yang terutama diajarkan
oleh mazhab Deutsche Publizisten. Teori kedaulatan hukum menunjukkan bahwa kekuasaan
yang tertinggi tidak terletak di tangan raja dan bukan juga berada di tangan negara, melainkan
berada ditangan hukum yang bersumber pada kesadaran hukum tiap-tiap orang sebagai
anggota masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa hukum merupakan pernyataan penilaian
yang muncul atau bersumber pada kesadaran hukum manusia itu sendiri.
Secara literal, demokrasi berarti kekuasaan oleh rakyat. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani “demos” (rakyat) yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratos” atau
“cratein”” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, “demos-cratein” atau “demos-cratos”
(demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam
keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan berasal dari rakyat dan kekuasaan oleh
rakyat.
Sedangkan menurut Philippe C Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi merupakan
suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-
tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung
melalui kompetisi dan kerjasama dari para wakil mereka yang terpilih.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, suatu negara disebut demokratis manakala negara
menjamin hak asasi manusia (seperti kebebasan berkumpul, menyatakan pendapat, berserikat
dan beragama), bagi kelompok minoritas sekalipun. Paham dan sistem politik demokrasi adalah
sistem yang menolak diktatorianisme, feodalisme, dan totalitarianisme. Dalam demokrasi pola
hubungan antara penguasa dan rakyat, termasuk didalamnya kaum minoritas, bukanlah pola
hubungan kekuasaan, tetapi berdasarkan hukum yang menjunjung tinggi HAM. Sedangkan
secara praktis demokrasi adalah cara untuk menetapkan otoritas dimana rakyat memilih
pemimpin-pemimpin mereka. Jika dalam sistem politik lainnya, orang-orang tertentu dapat
menjadi penguasa karena didasarkan pada keturunan, kekayaan, penunjukan, maupun paksaan
dengan cara kekerasan. Didalam demokrasi ada dua kemungkinan yaitu :
1. penguasa dan rakyat identik, sebagaimana demokrasi yang berlangsung ala Yunani
Kuno.
2. para penguasa dipilih oleh rakyat dengan memberikan suaranya.
Menurut Syukron Kamil negara bangsa modern dapat disebut mempunyai sistem politik
yang demokratis, manakala para pembuat kebijakan yang paling berpengaruh ditentukan
melalui pemilihan umum yang jujur dan adil, yang daiadakan secara berkala. Melalui
mekanisme ini para kandidat secara bebas dapat bersaing untuk memperoleh dukungan suara
terbanyak, dan praktis semua penduduk yang memenuhi syarat dapat menyatakan pilihannya.
Adanya pemilihan umum dalam, dalam pandangan Schumpeter merupakan esensi dari
sebuah demokrasi. Pemelihan umum yang dimaksud adalah pemilihan umum yang jujur, adil
dan kompetitif yang merupakan prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang
didalamnya individu (yang terorganisir dalam bentuk partai) memperoleh kekuasaan untuk
membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.
Secara sederhana Schumpeter menyimpulkan bahwa demokrasi baginya merupakan seuatu
mekanisme pasar, dimana para pemilih adalah konsumen, sedangkan para politisinya (partai-
partai) adalah wiraswastawan yang memburu laba (suara terbanyak). Mereka seperti pedagang
yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakinnya akan akan memberikan
keuntungan tertinggi, sehingga mereka melakukan pengiklanan agar produknya dapat dibeli
konsumen.
1. empirisme rasional, Konsep ini merujuk pada keyakinan bahwa akal sehat, akal budi
(reason) atau nalar manusia sangat penting dijadikan dasar demokrasi.
2. kepentingan individu sangat diutamakan, ini merupakan kriteria terpenting. Kriteria
inilah yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan demokratis tidaknya suatu sistem
pemerintahan.
3. teori instrumental tentang negara, menurut Ebenstein negara pada dasarnya bersifat
instrumental. Negara, seperti yang dirumuskan Plato dan Aristoteles hingga Marx, tidak
lebih dari sekedar alat politik untuk mencapai tujuan bersama manusia.
4. prinsip volunteerism atau prinsip kesukarelaan. Dalam sebuah negara demokratis, aksi-
aksi atau kegiatan sosial politik haruslah didasarkan pada prinsip ini. Pada dasaranya
negara demokrasi tidak mengenal mobilisasi paksa.
5. konsep hukum di balik hukum, hubungan antara negara dan masyarakat diatur oleh
hukum dan kedudukannya lebih tinggi dari negara.
6. pementingan cara atau prosedur dalam kehidupan demokratis didasarkan pada
kesadaran bahwa tujuan tidak dapat dipisahkan dari cara atau alat yang digunakan.
7. musyawarah dan mufakat, dan
8. persamaan hak asasi manusia.
Larry Diamond juga menggambarkan lebih rinci kriteria demokrasi dalam sistem
pemerintahan yaitu :
1. adanya kompetisi antar-individu dan kelompok (terutama partai-partai politik) yang
meluas dan bermakna serta tidak menggunakan daya paksa untuk memperebutkan
jabatan-jabatan pemerintahan regular.
2. adanya partisipasi politik yang tinggi dalam memilih pemimpin dan kebijakan-kebijakan
minimal melalui pemilihan yang fair dan berkala serta tidak ada kelompok tertentu yang
dikucilkan atau dikecualikan.
3. adanya kebebasan sipil dan politik, antara lain: kebebasan berpendapat, kebebasan
pers, dan kebebasan berserikat yang cukup menjamin integrasi kompetisi dan partisipasi
politik.
Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab konsep ini memiliki
banyak konotasi makna yang bervariatif, evolutif dan dinamis. Demokrasi bermakna variatif,
karena sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya
sebagai demokratis, meskipun nilai yang dianut atau praktik politik kekuasaannya sebenarnya
jauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif itu, kita mengenal
berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar,
demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi parlementer dan
lain-lain. Disamping demokrasi meletakan pemilu yang jujur, adil, dan kompetetif sebagai
esensinya, demokrasi juga secara prosedural berjalan diatas prinsip mayoritas. Menurut Jhon
Stuart Mill, prinsip ini didasarkan bahwa pendapat mayoritas sekalipun mungkin saja salah,
namun lebih sering benarnya.
Menurut Peter Jhones, demokrasi bukanlah mayoritasisme, demokrasi menjunjung
tinggi prinsip mayoritas yang didalamnya tercakup kompromi yang adil, yang tidak menganggu
kepentingan kelompok minoritas yang paling fundamental. Oleh karenanya demokrasi adalah
“majority rule and minority right.
Hal yang perlu diingat dari konsep demokrasi adalah ia tidak bersifat statis; ia merupakan hasil
dari power sharing yang mencerminkan tingkat keseimbangan antara dua pihak yang
melakukan tarik-menarik, yakni rakyat dengan kesadaran partisipasi dan penguasa dengan
kesadaran otoritasnya. Bagian tengah (moderasi) dari power sharing itulah letak di mana
demokrasi berada. Apabila kesadaran peran-serta rakyat terlalu dominan, maka yang terjadi
adalah anarki. Sebaliknya, apabila penguasa berada pada posisi dominan, maka yang terjadi
adalah otoritarian. Demokrasi yang diiringi dengan destabilisasi anarki tak jarang akan
menimbulkan sikap brutal bahkan pembunuhan, atau jatuh bangunnya pemerintahan akibat
mosi tidak percaya atau kudeta konstitusional.
Dari bebagai kerangka pemikiran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bahwa
demokrasi merupakan seuatu pemerintahan mayoritas yang menerapkan sistem perwakilan
yang mengakui hak-hak individu dan mayoritas, yang terikat dengan hukum dan mengakui
konsep check and balances. Dari pengertian disebut, maka terdapat beberapa ukuran yang
dapat diacu dalam menilai suatu negara, apakah negara tersebut dapat dikatakan demokratis
atau tidak. Menurut Kongres Amerika pada tahun 1989 menentukan standar negara yang layak
diberikan bantuan, dengan parameter negara demokratis yang mencakup :
Sementara parameter lain yang memilki kesamaan prinsip juga dikemukakan oleh Franz
Magnis Suseno dan Afan Ghafar sebagaimana dikutip Syukoron Kamil. Ciri dari kondisi
demokratis menurut Franz Maginis Suseno terangkum dalam lima gugus:
1. negara hukum
2. pemrintahan yang berada dibawah kontrol masyarakat
3. ada pemilihan umum berkala yang bebas
4. prinsip mayoritas; dan
5. adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis dasar.
Sementara Afan Ghafar, tidak menyebut tentang prinsip negara hukum. Ia lebih menitik
beratkan pada pertanggungjawaban. Beberapa parameter demokrasi menurut Affan Ghafar
diantaranya : Akuntabilitas (pertanggungjawaban), Rotasi kekuasaan tertaur dan damai,
rekrutmen politik yang terbuka, pemilu yang luber dan jurdil, dan rakyat dapat menikmati hak-
hak dasarnya.
Demokrasi begai paham yang dilahirkan dari prinsip kedaulatan rakyat, kini makin
digandrungi. Hal tersebut disebabkan karena dengan demokrasi telah dihasilkan kebijakan yang
bijak, suatu masyarakat yang adil, bebas, keputusan yang memajukan kepentingan bersama,
pengakuan terhadap hak-hak individu. Dalam sistem demokrasi, masyarakat tidak dipaksa untu
melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak mesti dilakukan, termasuk kaum minoritas
sekalipun, karena hak-hak mereka terlindungi. Hal tersebut terwujud mengingat
Demokrasi dengan prosedur dan kelembagaannya yang membatasi kekuasaan dapat mencegah
kewenang-wenangan, sehingga menghasilkan pemerintahan yang bertanggung jawab.
BAB III
PENUTUP
3.4. Kesimpulan
Bdk. F. Budi Hardiman, 2007, ”Machiavelli dan Seni Berkuasa” dalam Filsafat Politik
(diktat), Jakarta : STF Driyarkara, hlm. 26.
Hardiman, F. Budi. 2001. “’Politik’ dan ’Antipolitik’: Hannah Arendt Tentang Krisis
Negara” dalam Atma nan Jaya, Tahun XV, No. 3. Jakarta : Lembaga Penelitian Atmajaya.
Hardiman, F. Budi. 2002. ”Membaca ’Teks Negatif’ Hannah Arendt” dalam
Rapar, J.H. Filsafat Politik:Plato, Aristoteles, Agustinus, Marchiavelli. Op Cit. Hlm. 441.
Sularto, ST. Niccolo Machiavelli: Penguasa Arsitek Masyarakat. Jakarta: Kompas. 2003.
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia.
Yang Menerbitkan PT Rineka Cipta : Jakarta.