Oleh:
Shella Wulan Ayu Selina 180413620733
Sheril Zhelsa Risaldi 180413620677
Silkhi Fauziah 180413620528
E. Service Blueprinting
Istilah lain untuk service blueprinting adalah service mapping atau service
flowcharting. Pada prinsipnya, service blueprinting merupakan ancangan grafis
visual yang bisa membantu para manajer jasa untuk mendapatkan gambaran
holistik tentang jasa dan layanannya serta memperoleh wawasan manajerial
mengenai karakteristik pengalaman pelanggan. Dalam merancang sebuah service
blueprinting, organisasi jasa harus menggunakan perspektif pelanggan, sehingga
urutan-urutan proses yang didokumentasikan mencerminkan tahap-tahap yang
didalam pelanggan dalam mendapatkan layanan atau jasa yang dikehendaki.
Setiap tahap mencakup aspek visible dan invisible penyampaian jasa kepada
pelanggan. Secara ringkas terdapat empat langkah dalam menyusun sebuah
service blueprint:
1. Mengidentifikasi secara berurutan semua fungsi-fungsi pokok yang
dibutuhkan untuk menghasilkan dan menyampaikan jasa. Tingkat
divergensi yang ditawarkan pada setiap tahap juga diuraikan pada langkah
ini.
2. Merumuskan zone visibilitas (zone of Visibility atau frontstage) dan zone of
invisibility (backstage). Zone visibilitas adalah proses-proses yang tampak
(visible) bagi pelanggan dan mereka berkemungkinan untuk berpartisipasi
di dalamnya, sedangkan zone of invisibility adalah proses-proses yang tidak
dilihat langsung oleh pelanggan.
3. Menentukan rata-rata waktu untuk pelaksanaan setiap fungsi pokok dan
mengidentifikasi departemen atau staf relevan yang bertanggung jawab atas
fungsi tersebut. Selain itu, langkah ini juga menentukan apakah pelanggan
diharapkan untuk melaksanakan fungsi pokok tersebut.
4. Menetapkan toleransi yang bisa diterima dalam hal timing untuk setiap
fungsi dalam rangka memastikan bahwa persepsi pelanggan terhadap
kualitas jasa tidak akan terpengaruh secara negatif.
Langkah 3 dan 4 bisa diabaikan apabila tujuan utama cetak biru jasa
(service blueprint) lebih difokuskan pada upaya mengkomunikasikan
karakteristik umum jasa dan bukan untuk mendiagnosis dan menyempurnakan
proses penyampaian jasa. Cetak biru jasa tidak hanya bermanfaat untuk
mengevaluasi proses jasa yang sudah ada, namun juga untuk merancang dan
mengembangkan jasa baru atau proses penyampaian jasa baru. lnovasi jasa atau
layanan kerapkali dihasilkan dari perubahan proses penyampaian jasa yang
difasilitasi perkembangan dan pemanfaatan teknologi.
F. Service Encounter
Perpindahan yang dramatis dari paradigma transaksi menjadi paradigma
hubungan relasional (relationship) telah terjadi di pemasaran jasa (Berry dalam
Price et.al., 1995). Masalahnya, walaupun banyak perusahaan mengetahui arti
penting dari pengembangan hubungan-relasional-yang-baik dengan pelanggan,
akan tetapi tidak selalu jelas bagaimana cara untuk mengkreasi dan
melanggengkan hubungan relasional tersebut (Price et. al., 1995; Mohr & Bitner,
1991). Jenis hubungan relasional seperti apa yang harus diimplementasikan oleh
perusahaan serta pola hubungan relasional apa yang diinginkan oleh pelanggan
juga menjadi masalah yang belum mendapatkan jawaban yang tegas (Barnes
dalam Price et. al., 1995).
Padahal pada waktu proses pengadopsian suatu produk (barang/jasa),
terjadi interaksi antara pembeli dengan contact employees (disebut juga sebagai
karyawan front-line; lihat Farrel et. al., 2001). Interaksi tersebut merupakan
sebuah “moment of truth” yang mungkin bisa mempengaruhi persepsi terhadap
kualitas jasa (Carlzon, 1989; Bitner et. al., 1994; Lovelock & Wright, 2002; Yoon
et. al, 2004). Richard Normann (dalam Lovelock & Wright, 2002). Periode waktu
selama interaksi personal – antara pelanggan dan karyawan – dalam terminologi
pemasaran jasa dikenal sebagai service encounter (Solomon et. al, 1985; Lovelock
& Wright, 2002). Spesifik encounter antara pelanggan dengan penyedia jasa bisa
menghasilkan outcome berupa kepuasan atau ketidakpuasan dari
pelanggan/penyedia jasa atau kedua-duanya. Situasi tersebut biasanya diberi label
critical incident (Lovelock & Wright, 2002).
Interaksi personal antara pelanggan dengan karyawan merupakan
“jantung” dari hampir semua service experience (Guiry, 1992). Hal tersebut
terjadi karena ketrampilan, motivasi, dan tools yang digunakan oleh karyawan
serta ekspektasi maupun perilaku pelanggan secara bersama-sama akan meng-
kreasi service delivery process (Lovelock & Wright, 2002). Konsekuensinya,
sikap dan perilaku dari karyawan selama berinteraksi dengan pelanggan bisa
mempengaruhi perceived service quality pelanggan serta kepuasan pelanggan
(Carlzon, 1989; Pfeffer, 1994; Mittal & Lassar, 1996; Sparks & McColl-Kennedy,
1998; Lovelock & Wright, 2002; Yoon et. al, 2004). Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila riset dan praktek-pemasaran-jasa terkini memberi
perhatian yang besar pada peran dari karyawan di service encounter (Yoon et. al,
2004). Karyawan memainkan peran penting di service encounter dalam
meningkatkan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Akibatnya, service
encounter diyakini sebagai sebuah “senjata” untuk membawa organisasi agar
tidak saja tetap survive, tetapi juga bertahan lama (Mittal & Lassar, 1996; Sparks
& McColl-Kennedy, 1998; Laing & McKee, 2001). Terlebih lagi di era
hiperkompetisi (D’Aveni, 1994) yang semakin turbulent, chaotic, dan menantang
(Kanter dalam Hagan 1996). Adapun macam-macam dimensi service encounter
meliputi:
1. Daya adaptasi karyawan
Melayani pelanggan adalah memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka
(Kotler, 2000). Karena pelanggan memiliki latar belakang yang tidak sama,
maka kebutuhan dan keinginan pelanggan juga bervariasi. Tidak seperti di
industri manufaktur, dimana standardisasi relatif lebih mudah
diimplementasikan (Bitner et. al., 1994); di service encounter hal tersebut
tidak mudah dilaksanakan. Oleh karena itu beberapa peneliti dan praktisi
menekankan arti penting dari daya fleksibilitas dan adaptasi karyawan.
Perilaku karyawan yang adaptif dan fleksibel diharapkan mampu
mengantisipasi perubahan kebutuhan dan permintaan pelanggan (Farrel et. al.,
2001). Karyawan memerlukan kemampuan untuk mengenali kebutuhan
pelanggan. Karyawan juga perlu memahami perlakuan yang mana tidak
pantas, yaitu perilaku yang menghasilkan ketidakpuasan pelanggan (Bitner et.
al., 1994; Bitner et. al., 1990).
Meskipun jasa yang diminta pelanggan terlihat sebagai jasa yang bersifat
rutin, akan tetapi kebutuhan khusus pelanggan tetap perlu diperhatikan.
Beradaptasi terhadap kebutuhan khusus pelanggan merupakan situasi yang
kritis (Zeithaml & Bitner, 2000). Menurut Hartline dan Ferrel (1996),
kemampuan beradaptasi dapat dilihat dalam kontinum konformitas total pada
kebijakan perusahaan sampai dengan personalisasi jasa secara paripurna.
Hasil penelitian membuktikan bahwa personalisasi mampu menghasilkan
pelanggan yang benar-benar puas/delight (Kotler, 2000; Burns, et. al., 2000;
Schneider, 1999; Bhote, 1996). Selanjutnya, seorang karyawan bisa
menunjukkan tingkatan variasi dari daya adaptasi, tergantung pada situasi jasa
yang diinginkan oleh pelanggan. Bagaimanapun juga, secara umum pelanggan
menyukai hadirnya konformitas terhadap jasa yang mereka inginkan, bukan
konformitas terhadap spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan. Apabila
karyawan mampu menghadirkan layanan yang adaptif, maka pelanggan akan
menyukai situasi tersebut. Hasilnya, evaluasi terhadap service delivery
menjadi semakin baik (Bitner et. al., 1994; Bitner et. al., 1990; Hartline &
Ferrell, 1996; Zeithaml & Bitner, 2000).
2. Assurance
Zero defects di industri manufaktur pada dasarnya adalah sebuah usaha untuk
memberikan jaminan kepada pelanggan bahwa mereka dijamin akan
mendapat produk yang standar dari waktu ke waktu (Bitner et. al., 1994).
Sebab, pelangan tidak mau mengambil resiko bahwa produk yang mereka beli
tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Pelanggan membutuhkan
kepastian. Maka, tidak mengherankan apabila banyak penelitian dan praktek
bisnis yang ditujukan untuk meningkatkan persepsi pelanggan terhadap
kualitas jasa melalui pengembangan dimensi assurance (Cronin et. al., 2000;
Parasuraman et. al., 1988). Akan tetapi, perspektif tersebut hanya
memperhitungkan perasaan dari pelanggan saja, meniadakan perspektif
perilaku dari service employees (Farrel et. al., 2001). Umumnya, pelanggan
lebih suka menyimpan informasi selama proses layanan diberikan
(Parasuraman et. al., 1985), jika hal tersebut akan memberikan rasa percaya
diri (Parasuraman et. al., 1988). Karyawan yang tingkah lakunya memberikan
rasa keterjaminan (misal: pelanggan dipastikan akan mendapatkan rice-cooker
yang awet dan berdaya listrik rendah) akan meningkatkan perasaan aman
(security) dari pelanggan dan meningkatkan persepsi pelanggan terhadap
integritas dan kompetensi dari karyawan tersebut (Johnston, 1995). Jika
pelanggan merasa dijamin dan tingkah laku karyawan terlihat reassuring,
maka situasi tersebut akan meningkatkan favourable evaluations pelanggan
terhadap kualitas jasa.
3. Civility
Riset konsumen memberikan bukti empiris bahwa perilaku yang sopan (civil
behaviour) karyawan akan menghasilkan kualitas jasa yang semakin
favourable dan peningkatan persepsi kepuasan pelanggan (Guiry, 1992;
Johnston, 1995; Dabholkar et. al., 2000). Ketika perilaku karyawan: penuh
perhatian, sopan, kooperatif, dan terlihat ingin sekali mendengarkan apa yang
diucapkan pelanggan, maka situasi tersebut akan mengakibatkan peningkatan
persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Sebaliknya, apabila karyawan
terlihat tidak tertarik (disinterested), maka persepsi pelanggan terhadap
kualitas jasa akan menurun (Guiry, 1992).
4. Customer orientation
Untuk meningkatkan kinerja organisasi, orientasi pelanggan merupakan salah
satu cara yang banyak dipraktekkan. Paradigma ini menyoroti kebutuhan
organisasi untuk mendukung karyawan agar menghilangkan semua tindakan
yang bersifat mengorbankan (sacrifice) kebutuhan dan keinginan pelanggan
(Saxe & Weitz, 1982). Dalam bahasa awam, hal tersebut dideskripsikan dalam
terminologi “pelanggan adalah raja”. Dilihat dari perspektif resiprositas,
apabila karyawan memberi dukungan pada kesejahteraan pelanggan maka
pelanggan merasa memiliki obiligasi/hutang untuk membalas tindakan
tersebut (Yoon et. al., 2004). Tindakan balasan pelanggan diwujudkan pada
persepsi yang semakin tinggi terhadap kualitas jasa yang diberikan perusahaan
(Kelley & Hoffman, 1997).
5. Recovery
Keluhan merupakan sebuah pertanda adanya ketidakpuasan. Apabila hal
tersebut tidak ditindaklanjuti, pelanggan akan pindah ke pemasok dan/atau
merek produk atau jasa yang lain, berpartisipasi dalam word of mouth (WoM)
negatif, atau melakukan keluhan ke organisasi/pihak ketiga (Lam & Dale,
1999; Davidow, 2000). Akan tetapi yang paling berbahaya adalah: pelanggan
tidak melakukan tindakan apapun kepada organisasi. Secara diam-diam
mereka menghukum organisasi dengan cara “pindah” ke organisasi yang lain,
yaitu: organisasi yang mereka yakini akan memberikan kepuasan kepada
mereka. Adanya perilaku “switching” secara diam-diam ini menyebabkan
organisasi tidak memiliki kesempatan untuk mempertahankan pelanggannya.
Organisasi tidak memiliki informasi apapun mengenai mengapa mereka tidak
puas (Kotler, 2000).
G. Servicecapes
Jasa bersifat intangible, karenya pelanggan kerapkali mengandalkan
tangible cause atau physical evidence dalam mengevaluasi sebuah jasa sebelum
membelinya dan menilai kepuasannya selama dan setelah konsumsi. Sejumlah
riset menunjukan bahwa servicescapes bisa mempengaruhi pilihan pelanggan dan
perilaku lainnya. Intangible yang artinya tidak berwujud. Disini dijelaskan bahwa
jasa tidak dapat dilihat, dirasakan, diraba, didengar, atau dibaui sebelum jasa itu
dibeli, artinya bahwa kesan pertama yang akan dirasakan oleh konsumen ketika
datang untuk membeli jasa adalah bukti fisik yang ada di lingkungan tempat
dimana jasa dihantarkan. Menurut Bilbao dan organisasi lainnya dalam Lovelock,
Wirtz dan Mussry (2010:4), terdapat 4 tujuan utama dari servicescape yaitu:
1. Membentuk pengalaman dari perilaku konsumen
2. Sebagai pencitraan, positioning, dan diferensiasi
3. Menjadi bagian dari proposisi nilai
4. Memfasilitasi penghantaran jasa, dan memperkuat sekaligus produktivitas
jasa.
Servicescape merupakan gaya dan wujud dari lingkungan fisik dan
elemen-elemen eksperiental lainnya yang ditemukan oleh pelanggan di tempat
jasa tersebut disampaikan Lovelock,Wirtz dan Mussry (2011:277). Ada beberapa
faktor yang berhubungan dengan servicescape, antara lain pencahayaan, warna,
simbol, tekstur, pengaturan, dekor dan sebagainya. Namun Bitner dalam Lilani. A
(2008:87) meringkaskan bahwa layanan servicescape terdiri dari tiga dimensi
yaitu :
a. Kondisi ambient yaitu suasana non-visual, kondisi latar belakang di
lingkungan pelayanan.
b. Pengaturan spasial dan fungsional serta tanda-tanda yaitu cara yang
peralatan dan perabotan hotel disusun, dan kemampuan barang-barang
untuk memfasilitasi kenikmatan konsumen.
c. Simbol-simbol dan artefak yaitu dekorasi yang digunakan untuk
berkomunikasi dan meningkatkan citra tertentu atau suasana hati, atau
untuk mengarahkan pelanggan untuk tujuan yang diinginkan.
J. Service Redesign
Service redesign dapat diartikan sebagai rekonstitusi, pengaturan ulang,
atan penggantian proses-proses yang membentuk jasa. Agar bias efektif,
perancangan ulang jasa membutuhkan 2 elemen: (1) menilai desain jasa saat ini,
terutama menyangkut cara penyampaian dan penerimaan jasa atau layanan; serta
(2) menciptakan cara-cara alternative yang lebih efektif untuk melayani
pelanggan. Berry & Lampo (2000) mengidentifikasi lima ancangan service
redesign, yaitu self-service, direct service, pre-service, bundled service,dan
physical service (Berry & Lampo,2000)
1. Self-service, yaitu mengalihkan pelanggan dari yang semula hanya berperan
sebagai penerima layanan menjadi produsen jasa. Dalam hal ini, pelanggan
berperan sebagai 'partial employees'yang berperan aktif dalam interaksi dan
penyediaan layanan. Contohnya, pembelian saham online, reservasi tiket
pesawat on-line, atau pompa ben- sin swalayan. Karakteristik jasa yang
sesuai dengan alternatif redesain ini adalah:
a. Pelanggan membutuhkan akses layanan dengan frekuensi dan
fleksibilitas tinggi, seperti pengiriman dan pelacakan paket kiriman
semalam.
b. Kecepatan penyampaian layanan merupakan faktor terpenting bagi
pelanggan, misalnya pengisian bensin di pom bensin.
c. Penyampaian layanan tidak membutuhkan keterampilan khusus dan
cenderung mudah ditransfer ke pelanggan, contohnya dispenser
swalayan minuman ringan di restoran cepat saji.
d. Tersedia teknologi yang memudahkan pelanggan untuk melaksanakan
jasa atau layanan yang dibutuhkan, seperti mesin anjungan tunai mandiri
(ATM).
e. Pelanggan mungkin khawatir dan enggan mengungkapkan informasi
pribadinya kepada personil atau staf layanan, misalnya dalam hal
transaksi keuangan secara online.
f. Margin laba relatif kecil, sehingga alternatif penghematan biaya patut
dipertimbangkan, misalnya menjual bensin.
2. Direct service, yakni membawa jasa/layanan ke tempat pelanggan (rumah
atau kantor). Melalui cara ini, pelanggan bisa menghemat biaya dan waktu,
serta tidak perlu repot-repot mendatangi lokasi penyedia jasa. Pelanggan
tidak perlu mengkhawatirkan kemacetan lalu lintas, cuaca, maupun
kesulitan mendapatkan parkir. Pada alternatif self-service, peran pelanggan
bertambah, sedangkan di direct service.justru peran pelanggan dikurangi.
Situasi yang cocok untuk menerapkan direct service antara lain:
a. Pelanggan harus mengorbankan rutinitas kerjanya agar dapat menerima
layanan atau jasa, misalnya membawa mobil atau sepeda motornya ke
bengkel reparasi.
b. Ketidaknyamanan pelanggan dalam mengunjungi fasilitas jasa lebih
besar daripada manfaat jasa, contohnya mendatangi tempat rental DVD
untuk menyewa DVD dan kemudian mengembalikannya.
c. Pelanggan tidak suka berinteraksi secara pribadi dengan penyedia jasa,
misalnya mendatangi dealer mobil dan 'bernegosiasi' harga.
d. Teknologi memungkinkan penyediaan jasa jarak jauh, contohnya
pembelajaran jarak jauh (distance leaming
3. Pre-service, yaitu merampingkan proses aktivasi jasa. Fokus pre-service
adalah proses-proses front-end yang bisa disederhanakan agar pelanggan
bisa segera mendapatkan layanan inti (core services). Bukankah pelanggan
yang bermaksud menyewa mobil tidak membeli peluang untuk mengisi
berbagai formulir? Yang ia beli adalah jasa transportasi. Berbagai
kemungkinan cara bisa dilakukan untuk merancang ulang pre service. Ada
supermarket di Amerika yang menyediakan in-store display berupa Food
Idea Centers. Pajangan tersebut menampilkan resep menu tertentu, sampel
masakan, dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuatnya. Pelanggan
yang bermaksud menyiapkan hidangan bersangkutan tidak perlu berkeliling
supermarket untuk mencari setiap bahan, karena semua tersaji di Food Idea
Centers. Banyak maskapai penerbangan yang menyediakan fasilitas online
bagi para calon penumpangrıya untuk melakukan berbagai front-end tasks,
seperti reservasi, pembayaran, penyampaian preferensi menu dan tempat
duduk, dan seterusnya. Marriott Hotel memanfaatkan desain pre-service
dalam sistem check-in para tamunya untuk merancang paket layanan
individualized. Para tamu hotel tidak perlu menunjukkaun lagi karu
kreditnya atau mengisi formulir registrasi ketika mereka tiba di Marriott
Hotel. Informasi menyangkut nomor kartu kredit, preferensi kamar, dan
estimasi waktu kedatangan telah dikumpulkan sewaktu reservasi dilakukan.
Tamu yang datang akan menerima informasi hotel, prosedur checkout, dan
kunci kamar, sehingga mereka bisa langsung menuju kamar yang dipesan.
Sistem seperti ini mengurangi jumlah karyawan yarg dibutuhkan di front
desk Karyawan yang bertugas di front door bisa menyambut para tamu
secara personal (buhkan menyapa sesuai nama setiap tamu) dan
menyerahkan customized packet ke masing-masing tamu. Jasa yang cocok
untuk aplikasi desain seperti ini adalah jasa yang bercirikan:
a. Pelanggan harus menyampaikan informasi rinci dalam rangka
menerima jasa atau layanan, misalnya pengecer online.
b. Pelanggan biasanya terburu-buru sewaktu menerima jasa atau layanan
contohnya menyewa mobil di bandara
c. Pelanggan merencanakan konsumsi jasa jauh-jauh hari contohnya
penerbangan udara dan paket wisata
d. Pelanggan sering menggunakan jasa bersangkutan misalnya belanja
barang kebutuhan sehari-hari
4. Bundled service, yaitu menggabungkan berhagai jasa (core services dan
complimentary services) ke dalam satu paket produk. Biasanya bundled
service ditawarkan dalam format yang sifatnya fixed, artinya pelanggan
tidak bisa menambah atau mengurangi layanan tertentu. Pilihannya adalah
membeli semua layanan dalam paket tersebut atau tidak satupun layanan
individual dalam paket itu. Hotel seringkali menawarkan paket jasa yang
terdiri atas jasa kamar, fasilitas kolam renang, gym, sarapan, koran, antar-
jemput ke bandara. dan seterusnya. Jasa yang memiliki karakteristik berikut
ini cocok menerapakan bundled service design.
a. Pelanggan bisa di segmentasi berdasarkan pengugunaan jasa atau
kebutuhan spesifik, misalnya kartu kredit platinum atau gold
b. Konsumsi jasa secara efisien membuthkan pengetahuan teknis,
contohnya jasa pemeliharaan kendaraan bermotor
c. Pelanggan mengasosiasikan core service dengan layanan terkait
lainnya, misalnya pusat kebugaran dengan sauna dan private lockers
d. Pelanggaran mengutamakan kenyamanan layanan, contohnya pembeli
bensin yang ingin mencuci mobilnya, membeli kudapan, atau pun
menggunakan fasilitas ATM di tempat yang sama.
5. Physical service, yakni mengubah pengalaman pelanggan dengan cara
merancang ulang elemen tangible pengalaman jasa, seperti fasilitas jasa,
peralatan penampilan karyawan, materi komunikasi pemsaran, dan lain-
lain. Sebagai contoh, ruang praktik dokter anak bisa didesain ulang dengan
menampilkan suasana dan karakter favorit anak-anak supaya mereka
merasa nyaman dan tidak takut. Physical service redesign patut dipilih
apabila jasa yang ditawarkan bercirikan:
a. Konsumsi jasa membutuhkan kehadiran pelanggan di fasilitas jasa,
contohnya bandara
b. Pelanggan sulit mengevaluasi jasa sebelum membelinya, contohnya jasa
restoran dan dokter gigi
c. Kenyamanan fisikn merupakan faktor penentu kepuasan pelanggan
dan/atau karyawan, contohnya jasa penerbangan, kereta api, dan bis
antar kota.
d. Kinerja oprasional berbagai penyedia jaas mirip satu sama lain,
misalnya jasa warnet dan online game counters.
Manjamen Antrean
Pada prinsipnya, de Chernatony & McDonald (2003) menyatakan bahwa
kalaupun antrean tak terhindarkan toleransi konsumen terhadap antrean bisa
dinaikan dengan cara membuat waktu menunggu lebih menyenangkan atau
setidaknya lebih bisa ditolerir, melalui tindakan-tindakan berikut :
1. Menghibur pelanggan (entertaining constumers)
Misalnya dengan menyediakan televisi, koran, tabloid, majalah, atau akses
internet di ruang tunggu.
2. Memulai proses (starting the proses)
Misalnya mengisi fomulir medis dia ruang praktik dokter dipersilahkan
sebagai aktivitas yang merupakan bagian dari jasa atau layanan bukan
waktu menunggu.
3. Menentramkan hati pelanggan (reassuring constumers)
Misalnya di bandara diberikan tanda atau petunjuk yang
menginformasikan tempat antrean untuk check-in setiap penerbangan.
4. Menginformasikan pelanggan (informing constumers)
Misalnya dalam suatu pengiriman barang penyedia jasa
menginformasikan posisi keadaan barang tersebut agar pelanggan dapat
mengetahui barangnya sudah sampai dimana.
5. Memberikan penjelasan (explaining)
Misalnya alasan keterlambatan dapat di sampaikan secara otomatis lewat
layar monitor kedatangan dan keberangkatan di bandara atau stasiun kereta
api.
6. Menerapkan prinsip first-come first-served
Misalnya pemberian nomor antrean agar dapat dilayani sesuai dengan
kedatangan pelanggan tersebut.
L. Peranan Karyawan dan Pelanggan dalam Sistem Penyampaian Jasa
Karyawan dan pelanggan memainkan peran penting dalam sistem
penyampaian jasa, terutama dalam industri jasa yang bercirikan tingkat interaksi
dan kontak pelanggan yang tinggi. Kepuasan karyawan didapatkan dari desain
pekerjaan dan tempat kerja yang memfasilitasi kualitas jasa internal. Rekrutmen,
pelatihan, dan kompensasi karyawan juga merupakan contributor utama bagi
terciptanya kualitas jasa internal. Karyawan yang puas berpeluang loyal pada
perusahaan dan meningkatkanproduktifitas individualnya.
Partispasi pelanggan sebagai “patial emplloyees” dalam berbagai situasi
sangat dibutuhkan. Partisipasi pelanggan bisa berupa penyampaian informasi
kepada penyedia jasa, produksi bersama (joint production) dengan bantuan dari
pekerja jasa dan pelanggan sebagai produsen tunggal (swalayan) yang
mengerjakan semua service encounter spesifik . bagi perusahaan, partisipasi
pelanggan bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas, menekan biaya
produksi dan penyampaian jasa, meningkatkan kepuasan pelanggan dan
meningkatkan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Bagi pelanggan,
keterlibatannya dalam produksi jasa berpotensi meningkatkan perceived control
terhadap service encounter, meningkatkan aksetabilitas, ketersediaan dan
kenyamanan jasa, mengurangi perceived waiting time, mendapatkan bonus
tertentu (seperti diskon atau loyality points) dan memfasilitasi service
customization.
STUDI KASUS