Anda di halaman 1dari 32

MERANCANG SISTEM PENYAMPAIAN JASA

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH


Manajemen Bisnis Jasa
Yang diampu oleh Ibu Dr. Sopiah, M.Pd. MM.

Oleh:
Shella Wulan Ayu Selina 180413620733
Sheril Zhelsa Risaldi 180413620677
Silkhi Fauziah 180413620528

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN
A. Konsep Indikator dalam Sistem Penyampaian Jasa
Menurut Lovelock dan Wright (2002:60), bisnis baik jasa maupun non jasa
dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari sistem operasi jasa (service
operation system) dan sistem penyampaian jasa (service delivery system). Sistem
operasi jasa merupakan komponen yang terdapat dalam sistem bisnis jasa
keseluruhan, dimana input diproses dan elemen-elemen produk jasa diciptakan
melalui komponen sumber daya manusia dan komponen fisik. Pada sistem
penyampaian jasa ini berhubungan dengan bilamana, dimana, dan bagaimana
sesuatu disampaikan kepada pelanggan, meliputi unsur-unsur sistem dalam
operasi jasa dan hal-hal lain yang disajikan pada konsumen.
Sebagai suatu sistem, bisnis terdiri dari sistem operasi dan sistem
penyampaian jasa yang merupakan bagian-bagian yang dapat dilihat oleh
konsumen (front stage) yaitu physical support dan contact personnel yang saling
berhubungan satu sama lainnya, dan bagian yang tidak terlihat oleh konsumen
(back stage), dimana konsumen menganggapnya sebagai kegiatan teknis inti.
Sementara itu, Heskett et al menyatakan bahwa sistem penyampaian jasa dibentuk
oleh (1) dukungan sistem informasi, (2) lokasi perusahaan, (3) suasana tempat
pelayanan, (4) tata ruang, (5) manajemen penanganan pelanggan dan (6) peralatan
perusahaan.
Goncalves (1998:80) mengatakan bahwa ada 3 komponen utama dalam
service delivery system yaitu:
1. People (karyawan)
Orang dan cara mereka menggunakan pengetahuannya merupakan jasa itu
sendiri, hal ini berlaku pada semua sektor jasa dan non jasa. Oleh karena itu,
kualitas dari orang atau karyawan harus memiliki kehandalan, kredibilitas
dan kinerja yang baik diharapkan karyawan mampu menghadapi konsumen
dengan baik, jujur, percaya diri, dan sopan.
2. Physical evidence (bukti fisik)
Bukti fisik merupakan penunjang dari proses penyampaian jasa. Bukti fisik
dapat berupa image yang terbentuk melalui gedung, lay out atau bahkan
standarisasi pelayanan yang dapat menyediakan image yang konkrit, logo,
warna, seragam pegawai, alat komunikasi dan informasi,
3. Process (proses)
Suatu upaya perusahaan dalam menjalankan aktifitas perusahaan untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan, merupakan elemen proses.
Pelanggan sering merasakan proses distribusi jasa merupakan bagian dari
jasa itu sendiri, untuk itu diperlukan kerjasama yang erat dari bagian
pemasaran dengan operasional untuk menjamin bahwa proses yang benar
telah dilakukan dan service delivery dijalankan secara konsisten.
Menurut Nguyen dan Lablance (2002:245) lingkungan fisik diukur dengan
ambient condition, atmosfir, rancangan eksterior, interior, fasilitas parkir,
penampilan gedung serta lokasi. Ambient condition terdiri dari bermacam elemen
seperti warna, penerangan, temperatur, kebisingan dan suara. Hal ini diperkuat
oleh Heskett, bahwa salah satu faktor service delivery adalah lokasi. Fasilitas fisik
merupakan benda-benda tidak bergerak, nyata dan dapat dirasakan oleh pengguna
jasa seperti peralatan yang representative, perlengkapan administrasi, fasilitas
parkir, alat komunikasi, kendaraan, dan jaminan keamanan. Lokasi merupakan
kestrategisan letak tempat itu berada dan mudah mencapainya oleh fasilitas
umum.
Nguyen dan Leblanc (2002:245) menyatakan contact personnel tersusun
dari seluruh pegawai yang berada pada lini depan organisasi dan mempunyai
kontak langsung dengan pengguna jasa dan diukur dengan tiga item indikator
yaitu penampilan (appreance), kompetensi (competence) dan profesionalisme
(professionalism). Hal ini sesuai dengan penelitian James Frank (2005) yang
menjadi indikator penilaian adalah kecepatan, profesionailsme dan ketanggapan
dalam menerima pengaduan serta keberadaan polisi ketika dibutuhkan.
Penampilan biasanya sesuatu yang melekat pada orang seperti gaya
berpakaian, kebersihan badan. Kompetensi karyawan diukur dari keterampilan
dan keahlian dan pengalaman. Dalam jasa yang memiliki high contact unsur
manusia sangat penting, namun dalam bisnis non jasa, high contact kecil namun
sangat mendukung service delivery. (Lovelock, 2002:197).
Ponsignon et al (tanpa tahun) mengutip dari Hesket (1987) menyatakan
brahwa service delivery system terdiri dari sikap dan perilaku orang (contact
personel), teknologi, fasilitas, peralatan, layout (physical support) dan proses
yang dilakukan sampai jasa tersebut dirasakan (proses). Pernyataan Hesket
sejalan dengan penelitian Nguyen dan Leblanc (2002) yang termasuk dalam
pengukuran physical support adalah ambient condition, atmosfir, layout interior
dan eksterior, penampilan gedung, dan lokasi.

B. Desain Sistem Penyampaian Jasa


Proses perancangan sistem penyampaian jasa merupakan proses kreatif
yang diawali dengan menetapkan tujuan jasa. Tujuan ini akan menjadi pemandu
utama dalam mengidentifikasi dan menganalisis semua alternatif yang bisa
digunakan untuk mewujudkannya. Setelah itu, baru dilakukan penyeleksian dan
pemilihan alternatif yang dinilai paling sesuai. Pada umumnya, desain sistem
penyampaian jasa meliputi aspek lokasi fasilitas, tata letak fasilitas, desain
pekerjaan, keterlibatan pelanggan, pemilihan peralatan, dan manajemen kapasitas
jasa. Pada prinsipnya, proses desain jasa merupakan sebuah proses yang
berlangsung terus-menerus. Apabila sudah mulai diimplemetasikan, segala
macam modifikasi dapat saja dilakukan dalam rangka menyesuaikan diri dengan
setiap perkembangan dan perubahan yang tejadi.
Dalam keputusan desain jasa perlu mempertimbangkan sejumlah faktor
utama, diantaranya (Mudie & Pirrie, 2006):
1. Kontak Pelanggan
- Seberapa sering pelanggan akan melakukan kontak dengan perusahaan
(penyedia jasa)?
- Bagaimana karakteristik kontak tersebut?
2. Bauran Jasa (Service Mix)
- Jenis jasa apa saja yang disediakan dalam hal width dan leght? Width
mengacu pada seberapa banyak lini jasa yang ditawarkan, contohnya jasa
fasilitas olahraga bisa tediri atas olahraga dalam ruangan, olahraga luar
ruangan, dan olahraga petualangan. Sedangkan legth adalah jumlah item
yang terdapat dalam setiap lini jasa yang ditawarkan, misalnya lini jasa
olahraga dalam ruangan (indoor sports) terdiri atas lapangan bulutangkis,
senam, kolam renang, karate, bola volley, tenis, dan sebagainya.
3. Lokasi Konsumsi Jasa
- Apakah pelanggan datang ke lokasi fasilitas jasa (seperti salon, dokter gigi,
hotel, sekolah) atau penyedia jasa yang mendatangi pelanggan (contohnya,
kateing, jasa pertamanan, cleaning service, jasa reparasi instalasi listrik)?
4. Desain Fasilitas dan Aksesoris Jasa
- Bagaimana keadaan aspek-aspek fasilitas jasa, seperti tata letak, warna,
perabotan, dan sebagainya?
- Apa saja yang harus dilakukan berkaitan dengan karyawan (seragamnya),
kendaraan (warna dan logo), dan komunikasi non-personal (kop surat,
brosur, dan sebagainya)?
5. Teknologi
- Bagaimana mewujudkan keseimbangan antara komposisi teknologi dan
sumber daya manusia dalam pelaksanaan pekerjaan karyawan dan
pemanfaatan jasa oleh pelanggan?
6. Karyawan
- Berapa jumlah karyawan yang dibutuhkan?
- Berapa rasio antara karyawan tetap dan karyawan paruh-waktu?
- Berapa rasio antara karyawan back-office dan karyawan front-office?
Karyawan back-office adalah karyawan yang tidak berhubungan atau
berinteraksi langsung dengan pelanggan jasa, misalnya karyawan bagian
dapur sebuah hotel, petugas kebersihan, staf departemen akuntansi dan
keuangan, dan lain-lain. Sedangkan karyawan front-office adalah mereka
yang secara langsung berhadapan dan berinteraksi dengan para pelanggan
jasa, misalnya resepsionis, kasir, bagian registrasi, dan wiraniaga.
7. Struktur Organisasi
- Berapa lapis/jenjang manajemen yang dibutuhkan?
- Bagaimana mengorganisaikan fungsi-fungsi keuangan, operasi,
sumberdaya manusia, dan pemasaran?
8. Informasi
- Informasi apa saja yang diperlukan demi pelaksanaan kerja perusahaan dan
bagaimana cara memperolehnya?
- Bagaimana perusahaan menyimpan informasi yang diperoleh?
- Seberapa besar aksebilitas informasi yang ada dan siapa saja yang akan
mengaksesnya?
9. Manajemen Permintaan dan Penawaran
- Sejauh mana perusahaan memahami pola dan tingkat permintaan
pelanggan?
- Strategi apa saja yang bisa diterapkan untuk mempengaruhi permintaan?
- Seberapa fleksibel kapasitas perusahaan untuk memenuhi fluktuasi
permintaan, misalnya menyangkut jadwal kerja dan sistem reservasi?
10. Prosedur
- Apakah sebagian besar jasa akan dibakukan atau justru di-customized?
- Seberapa kompleks jasa yang dihasilkan?
11. Pengendalian
- Sistem dan teknik apa yang akan digunakan untuk menjamin kelancaran
operasi dan kualitas jasa?

C. Tipe Operasi Jasa


Secara garis besar, terdapat empat tipe operasi yang sering dijumpai dalam
sistem penyampaian jasa, yaitu:
1. Proyek
Dalam tipe ini, ada sejumlah aktivitas yang saling tekait dan dirumuskan
dengan jelas, serta diselesaikan dalam tahap-tahap tertentu. Umumnya
aktivitas-aktivitas tersebut dikerjakan dalam jangka waktu relative lama dan
volumeya kecil/sedikit. Apabila semua aktivitas tersebut telah selesai, maka
dengan sendirinya proyek bersangkutan juga rampung. Beberapa jasa
professional yang menangani banyak proyek, diantaranya arsitek,
konsultan, pengacara, akuntan, dan dokter.
2. Batch (Job Shop)
Dalam operasi job shop, jasa disesuaikan dengan spesifikasi dan kebutuhan
pelanggan. Oleh karena itu, faktor terpenting dalam tipe ini adalah
kemampuan untuk melaksanakan berbagai kombinasi dan
tahapan/rangkaian aktivitas yang berbeda bagi setiap konsumen. Dengan
kata lain, fleksibilitas merupakan faktor yang dominan. Contohnya, jasa
catering, jasa medis (kesehatan), dan bengkel.
3. Lini (Flow Shop)
Tipe ini berhubungan dengan penyampaian jasa yang telah dibakukan
sehingga rangkaian operasi yang dilakukan relatif sama (seperti aliran lini
perakitan atau assembling). Aliran proses yang dilakukan mirip dengan
sebuah garis lurus sehingga disebut tipe lini/garis. Contoh jasa yang
termasuk dalam kategori ini antara lain jasa pencucian sepeda motor dan
mobil, registrasi atau pendaftaran ulang di berbagai perguruan tinggi,
pemeriksaan kesehatan (tes laboratorium), dan perpanjangan SIM dan
STNK.
4. Proses Berkesinambungan (On-Going Process)
Kepolisian, barisan pemadam kebakaran, dan Unit Gawat Darurat (UGD)
merupakan contoh jasa yang tergolong dalam tipe proses berkesinambungan
(beroperasi 24 jam sehari dan 7 hari seminggu). Selain menyediakan jasa
seperti mencegah, menangani dan mengatasi tingkat kriminalitas, bahaya
kebakaran, dan situasi gawat darurat (seperti akibat kecelakaan), ketiga
contoh ini juga memberikan jasa melalui keberadaannya (availability).
Kebanyakan orang akan merasa lebih aman apabila mereka yakin bahwa
polisi, petugas pemadam kebakaran, dokter dan juru rawat segera akan
bertindak sigap kapanpun bantuannya dibutuhkan.

D. Ancangan Desain Sistem Jasa


Ada lima ancangan yang dapat diterapkan untuk merancang sebuah sistem
jasa (Fitzsimmons & Sullivan, 1982; Fitzsimmons & Fitzsimmon, 1994). Masing-
masing ancangan yang ada tidak harus bersifat mutually exclusive. Jadi, sebuah
perusahaan bisa saja menggunakan kombinasi dari beberapa ancangan. Adapun
kelima ancangan tersebut meliputi:
1. Jasa personal (personalized service)
Ancangan didasari keyakinan bahwa jasa merupakan sesuatu yang sifatnya
personal. Artinya, dilakukan oleh individu tertentu dan diajukan kepada
individu lainnya.
2. Ancangan lini produksi
Dalam ancangan ini jasa rutin disediakan dalam lingkungan yang terkendali
untukmenjamin konsistensi kualitas dan efisiensi operasi. Ada beberapa
karakteristik yang menunjang keberhasilan ancangan ini, diantaranya:
a. Adanya keterbatasan karyawan dalam hal kebebasan bertindak
b. Adanya pembagian kerja (division of labor) yang jelas
c. Menggantikan sumber daya manusia dengan teknologi tertentu
d. Standarisasi jasa
3. Memisahkan operasi kontak tinggi dan operasi tanpa kontak langsung
dengan pelanggan
Faktor keberhasilan metode ini tergantung kepada:
a. Tingkat kontak dengan pelanggan
Kontak dengan pelanggan berhubungan dengan kehadiran pelanggan
secara fisik dalam sistem jasa, Kehadiran dan partisipasi pelanggan
sangat menentukan timing permintaan,sifat jasa dan kualitas jasa.
Sistem jasa yang memiliki kontak rendah, Dimana pelanggan tidak
hadir sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap penyampaian jasa.
b. Pemisahan operasi kontak tinggi dan operasi tanpa kontak langsung
Pemisahan ini mempengaruhi desain jasa yang dibutuhkan, menyangkut
lokasi fasilitas, tata letak fasilitas, desain proses, penjadwalan,
perencanaan produksi/operasi, keterampilan karyawan, pengendalian
kualitas, standar waktu, kompensasi, perencanaan kapasitas dan
peramalan.
4. Partisipasi Pelanggan
Secara umum ada dua macam kontribusi yang dapat diberikan pelanggan
dalam sistem penyampaian jasa, yaitu:
a. Menggantikan provider labor dengan customer labor
Hal ini tidak dapat terlepas dari kemajuan teknologi dan tuntutan
efisiensi. Banyak aktivitas yang dapat dilakukan sendiri oleh pelanggan,
seperti penumpang pesawat dan kapal laut yang membawa barang
bawaannya sendiri (carry-on luggage); pelanggan toserba yang
membawa barang belanjaan sendiri dan membayar di self-dieckout-
counter, nasabah bank memanfaatkan fasilitas internet banking atau
phone banking; pelanggan IKEA mengangkut sendiri barang
belanjaannya dan menyusun sendiri mebel yang dibelinya; dan
sebagainya. Dengan demikian, pelanggan dapat bertindak atau berperan
sebagai co-producer, sehingga jasa yang dibelinya menjadi relatif lebih
murah.
b. Memperhalus atau mengurangi variasi permintaan jasa
Salah satu karakteristik utama jasa adalah tidak tahan lama atau tidak
dapat disimpan (perishability). Karakteristik ini berimplikasi pada
sulitnya mengelola permintaan pelanggan, khususnya apabila
permintaan bersifat fluktuatif. Beberapa jenis jasa yang permintaannya
fluktuatif adalah restoran (variasinya menurut jam per hari dan hari per
minggu), bioskop (menurut jam dan hari), bus kota (menurut jam), jasa
pemakaian telepon (berdasarkan jam dan hari), obyek wisata (menurut
hari), hotel (berdasarkan hari), dan seterusnya. Apabila masalah variasi
permintaan ini dapat teratasi (dengan kata lain dapat dikurangi), maka
kapasitas jasa yang dibutuhkan dapat ditekan, sehingga pemanfaatan
kapasitasnya dapat lebih optimal dan pada gilirannya berdampak pada
peningkatan produktivitas jasa. Dalam rangka menerapkan strategi
memperhalus variasi permintaan jasa, partisipasi pelanggan sangat
dibutuhkan. Mereka perlu menyesuaikan saat permintaannya agar dapat
selaras dengan ketersediaan jasa. Metode yang sering dipergunakan
meliputi:
(i) Sistem reservasi dan appointment
Dengan melakukan reservasi atau pemesanan terlebih dahulu,
pelanggan akan terhindar dari antrean panjang. Selain itu, ada
kepastian mengenai waktu dilayani. Metode ini banyak diterapkan
oleh para dokter. hotel, jasa pertunjukan masuk dan event olahraga,
dan perusahaan penerbangan.
(ii) Metode penetapan harga diferensial
Cara ini dilakukan untuk mendorong agar para pelanggan
memanfaatkan jasa pada waktu-waktu di luar jam sibuk. Dengan
kata lain, penyedia jasa berusaha memindahkan sebagian
permintaan dari periode permintaan puncak (sibuk) ke periode
tidak sibuk. Sebagai contoh, tarif interlokal dan sambungan
internasionai di malam hari dan pada hari libur lebih murah
daripada jam-jam sibuk. Demikian pula halnya tiket pesawat dan
tarif hotel selama musim liburan cenderung lebih mahal daripada
hari-hari biasa.
(iii) Mengelola atau memperkuat permintaan pada periode tidak sibuk
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan permintaan pada
periode permintaan tidak sibuk, sehingga nantinya perbedaan
permintaannya dengan periode puncak tidak terlalu menyolok.
Contoh penyedia jasa yang menerapkan strategi ini adalah
McDonald's yang menawarkan beraneka menu khusus untuk
sarapan; sejumlah hotel menawarkan minivacation weekends;
universitas menawarkan semester pendek dan kursus-kursus
singkat pada musim liburan antara semester genap dan semester
gasal; dan lain-lain.
(iv) Mengembangkan jasa komplementer selama jam sibuk
Penyedia jasa mencoba menawarkan alternatif tertentu kepada para
pelanggan yang sedang menunggu untuk dilayani, misalnya bank
menawarkan fasilitas ATM. Internet banking, dan phone banking
agar tidak semua nasabah mengantri di teller. Sejumlah pasar
swalayan dan toserba mulai menawarkan fasilitas self-checkout-
counters bagi para pelanggan. khususnya bagi pelanggan yang
hanya membeli barang dalam jumlah item terbatas (misalnya di
bawah l2 item).
5. Swalayan (Self-Service)
Dalam ancangan ini, tingkat keterlibatan pelanggan sangat tinggi.
Pelanggan berperan aktif dalam proses penyampaian jasa. Misalnya, di
pasar swalayan mereka membawa sendiri keranjang belanjaan atau kereta
dorong, yang kemudian diisi sendiri dengan barang belanjaan yang dipilih
dari rak-rak pajangan. Kemudian pelanggan membawanya ke kasir untuk
membayar transaksi yang dilakukan. Contoh lainnya adalah pasien-pasien
tertentu yang mengisi sendiri catatan medisnya di rumah sakit; pelanggan
yang mengisi sendiri bensin yang dibeli di pom bensin swalayan; dan di
sejumlah kafe pelanggan membuat sendiri sandwich sesuai dengan yang
dikehendakinya. kemudian membayarnya di kasir.

E. Service Blueprinting
Istilah lain untuk service blueprinting adalah service mapping atau service
flowcharting. Pada prinsipnya, service blueprinting merupakan ancangan grafis
visual yang bisa membantu para manajer jasa untuk mendapatkan gambaran
holistik tentang jasa dan layanannya serta memperoleh wawasan manajerial
mengenai karakteristik pengalaman pelanggan. Dalam merancang sebuah service
blueprinting, organisasi jasa harus menggunakan perspektif pelanggan, sehingga
urutan-urutan proses yang didokumentasikan mencerminkan tahap-tahap yang
didalam pelanggan dalam mendapatkan layanan atau jasa yang dikehendaki.
Setiap tahap mencakup aspek visible dan invisible penyampaian jasa kepada
pelanggan. Secara ringkas terdapat empat langkah dalam menyusun sebuah
service blueprint:
1. Mengidentifikasi secara berurutan semua fungsi-fungsi pokok yang
dibutuhkan untuk menghasilkan dan menyampaikan jasa. Tingkat
divergensi yang ditawarkan pada setiap tahap juga diuraikan pada langkah
ini.
2. Merumuskan zone visibilitas (zone of Visibility atau frontstage) dan zone of
invisibility (backstage). Zone visibilitas adalah proses-proses yang tampak
(visible) bagi pelanggan dan mereka berkemungkinan untuk berpartisipasi
di dalamnya, sedangkan zone of invisibility adalah proses-proses yang tidak
dilihat langsung oleh pelanggan.
3. Menentukan rata-rata waktu untuk pelaksanaan setiap fungsi pokok dan
mengidentifikasi departemen atau staf relevan yang bertanggung jawab atas
fungsi tersebut. Selain itu, langkah ini juga menentukan apakah pelanggan
diharapkan untuk melaksanakan fungsi pokok tersebut.
4. Menetapkan toleransi yang bisa diterima dalam hal timing untuk setiap
fungsi dalam rangka memastikan bahwa persepsi pelanggan terhadap
kualitas jasa tidak akan terpengaruh secara negatif.
Langkah 3 dan 4 bisa diabaikan apabila tujuan utama cetak biru jasa
(service blueprint) lebih difokuskan pada upaya mengkomunikasikan
karakteristik umum jasa dan bukan untuk mendiagnosis dan menyempurnakan
proses penyampaian jasa. Cetak biru jasa tidak hanya bermanfaat untuk
mengevaluasi proses jasa yang sudah ada, namun juga untuk merancang dan
mengembangkan jasa baru atau proses penyampaian jasa baru. lnovasi jasa atau
layanan kerapkali dihasilkan dari perubahan proses penyampaian jasa yang
difasilitasi perkembangan dan pemanfaatan teknologi.

F. Service Encounter
Perpindahan yang dramatis dari paradigma transaksi menjadi paradigma
hubungan relasional (relationship) telah terjadi di pemasaran jasa (Berry dalam
Price et.al., 1995). Masalahnya, walaupun banyak perusahaan mengetahui arti
penting dari pengembangan hubungan-relasional-yang-baik dengan pelanggan,
akan tetapi tidak selalu jelas bagaimana cara untuk mengkreasi dan
melanggengkan hubungan relasional tersebut (Price et. al., 1995; Mohr & Bitner,
1991). Jenis hubungan relasional seperti apa yang harus diimplementasikan oleh
perusahaan serta pola hubungan relasional apa yang diinginkan oleh pelanggan
juga menjadi masalah yang belum mendapatkan jawaban yang tegas (Barnes
dalam Price et. al., 1995).
Padahal pada waktu proses pengadopsian suatu produk (barang/jasa),
terjadi interaksi antara pembeli dengan contact employees (disebut juga sebagai
karyawan front-line; lihat Farrel et. al., 2001). Interaksi tersebut merupakan
sebuah “moment of truth” yang mungkin bisa mempengaruhi persepsi terhadap
kualitas jasa (Carlzon, 1989; Bitner et. al., 1994; Lovelock & Wright, 2002; Yoon
et. al, 2004). Richard Normann (dalam Lovelock & Wright, 2002). Periode waktu
selama interaksi personal – antara pelanggan dan karyawan – dalam terminologi
pemasaran jasa dikenal sebagai service encounter (Solomon et. al, 1985; Lovelock
& Wright, 2002). Spesifik encounter antara pelanggan dengan penyedia jasa bisa
menghasilkan outcome berupa kepuasan atau ketidakpuasan dari
pelanggan/penyedia jasa atau kedua-duanya. Situasi tersebut biasanya diberi label
critical incident (Lovelock & Wright, 2002).
Interaksi personal antara pelanggan dengan karyawan merupakan
“jantung” dari hampir semua service experience (Guiry, 1992). Hal tersebut
terjadi karena ketrampilan, motivasi, dan tools yang digunakan oleh karyawan
serta ekspektasi maupun perilaku pelanggan secara bersama-sama akan meng-
kreasi service delivery process (Lovelock & Wright, 2002). Konsekuensinya,
sikap dan perilaku dari karyawan selama berinteraksi dengan pelanggan bisa
mempengaruhi perceived service quality pelanggan serta kepuasan pelanggan
(Carlzon, 1989; Pfeffer, 1994; Mittal & Lassar, 1996; Sparks & McColl-Kennedy,
1998; Lovelock & Wright, 2002; Yoon et. al, 2004). Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila riset dan praktek-pemasaran-jasa terkini memberi
perhatian yang besar pada peran dari karyawan di service encounter (Yoon et. al,
2004). Karyawan memainkan peran penting di service encounter dalam
meningkatkan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Akibatnya, service
encounter diyakini sebagai sebuah “senjata” untuk membawa organisasi agar
tidak saja tetap survive, tetapi juga bertahan lama (Mittal & Lassar, 1996; Sparks
& McColl-Kennedy, 1998; Laing & McKee, 2001). Terlebih lagi di era
hiperkompetisi (D’Aveni, 1994) yang semakin turbulent, chaotic, dan menantang
(Kanter dalam Hagan 1996). Adapun macam-macam dimensi service encounter
meliputi:
1. Daya adaptasi karyawan
Melayani pelanggan adalah memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka
(Kotler, 2000). Karena pelanggan memiliki latar belakang yang tidak sama,
maka kebutuhan dan keinginan pelanggan juga bervariasi. Tidak seperti di
industri manufaktur, dimana standardisasi relatif lebih mudah
diimplementasikan (Bitner et. al., 1994); di service encounter hal tersebut
tidak mudah dilaksanakan. Oleh karena itu beberapa peneliti dan praktisi
menekankan arti penting dari daya fleksibilitas dan adaptasi karyawan.
Perilaku karyawan yang adaptif dan fleksibel diharapkan mampu
mengantisipasi perubahan kebutuhan dan permintaan pelanggan (Farrel et. al.,
2001). Karyawan memerlukan kemampuan untuk mengenali kebutuhan
pelanggan. Karyawan juga perlu memahami perlakuan yang mana tidak
pantas, yaitu perilaku yang menghasilkan ketidakpuasan pelanggan (Bitner et.
al., 1994; Bitner et. al., 1990).
Meskipun jasa yang diminta pelanggan terlihat sebagai jasa yang bersifat
rutin, akan tetapi kebutuhan khusus pelanggan tetap perlu diperhatikan.
Beradaptasi terhadap kebutuhan khusus pelanggan merupakan situasi yang
kritis (Zeithaml & Bitner, 2000). Menurut Hartline dan Ferrel (1996),
kemampuan beradaptasi dapat dilihat dalam kontinum konformitas total pada
kebijakan perusahaan sampai dengan personalisasi jasa secara paripurna.
Hasil penelitian membuktikan bahwa personalisasi mampu menghasilkan
pelanggan yang benar-benar puas/delight (Kotler, 2000; Burns, et. al., 2000;
Schneider, 1999; Bhote, 1996). Selanjutnya, seorang karyawan bisa
menunjukkan tingkatan variasi dari daya adaptasi, tergantung pada situasi jasa
yang diinginkan oleh pelanggan. Bagaimanapun juga, secara umum pelanggan
menyukai hadirnya konformitas terhadap jasa yang mereka inginkan, bukan
konformitas terhadap spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan. Apabila
karyawan mampu menghadirkan layanan yang adaptif, maka pelanggan akan
menyukai situasi tersebut. Hasilnya, evaluasi terhadap service delivery
menjadi semakin baik (Bitner et. al., 1994; Bitner et. al., 1990; Hartline &
Ferrell, 1996; Zeithaml & Bitner, 2000).
2. Assurance
Zero defects di industri manufaktur pada dasarnya adalah sebuah usaha untuk
memberikan jaminan kepada pelanggan bahwa mereka dijamin akan
mendapat produk yang standar dari waktu ke waktu (Bitner et. al., 1994).
Sebab, pelangan tidak mau mengambil resiko bahwa produk yang mereka beli
tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Pelanggan membutuhkan
kepastian. Maka, tidak mengherankan apabila banyak penelitian dan praktek
bisnis yang ditujukan untuk meningkatkan persepsi pelanggan terhadap
kualitas jasa melalui pengembangan dimensi assurance (Cronin et. al., 2000;
Parasuraman et. al., 1988). Akan tetapi, perspektif tersebut hanya
memperhitungkan perasaan dari pelanggan saja, meniadakan perspektif
perilaku dari service employees (Farrel et. al., 2001). Umumnya, pelanggan
lebih suka menyimpan informasi selama proses layanan diberikan
(Parasuraman et. al., 1985), jika hal tersebut akan memberikan rasa percaya
diri (Parasuraman et. al., 1988). Karyawan yang tingkah lakunya memberikan
rasa keterjaminan (misal: pelanggan dipastikan akan mendapatkan rice-cooker
yang awet dan berdaya listrik rendah) akan meningkatkan perasaan aman
(security) dari pelanggan dan meningkatkan persepsi pelanggan terhadap
integritas dan kompetensi dari karyawan tersebut (Johnston, 1995). Jika
pelanggan merasa dijamin dan tingkah laku karyawan terlihat reassuring,
maka situasi tersebut akan meningkatkan favourable evaluations pelanggan
terhadap kualitas jasa.
3. Civility
Riset konsumen memberikan bukti empiris bahwa perilaku yang sopan (civil
behaviour) karyawan akan menghasilkan kualitas jasa yang semakin
favourable dan peningkatan persepsi kepuasan pelanggan (Guiry, 1992;
Johnston, 1995; Dabholkar et. al., 2000). Ketika perilaku karyawan: penuh
perhatian, sopan, kooperatif, dan terlihat ingin sekali mendengarkan apa yang
diucapkan pelanggan, maka situasi tersebut akan mengakibatkan peningkatan
persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Sebaliknya, apabila karyawan
terlihat tidak tertarik (disinterested), maka persepsi pelanggan terhadap
kualitas jasa akan menurun (Guiry, 1992).
4. Customer orientation
Untuk meningkatkan kinerja organisasi, orientasi pelanggan merupakan salah
satu cara yang banyak dipraktekkan. Paradigma ini menyoroti kebutuhan
organisasi untuk mendukung karyawan agar menghilangkan semua tindakan
yang bersifat mengorbankan (sacrifice) kebutuhan dan keinginan pelanggan
(Saxe & Weitz, 1982). Dalam bahasa awam, hal tersebut dideskripsikan dalam
terminologi “pelanggan adalah raja”. Dilihat dari perspektif resiprositas,
apabila karyawan memberi dukungan pada kesejahteraan pelanggan maka
pelanggan merasa memiliki obiligasi/hutang untuk membalas tindakan
tersebut (Yoon et. al., 2004). Tindakan balasan pelanggan diwujudkan pada
persepsi yang semakin tinggi terhadap kualitas jasa yang diberikan perusahaan
(Kelley & Hoffman, 1997).
5. Recovery
Keluhan merupakan sebuah pertanda adanya ketidakpuasan. Apabila hal
tersebut tidak ditindaklanjuti, pelanggan akan pindah ke pemasok dan/atau
merek produk atau jasa yang lain, berpartisipasi dalam word of mouth (WoM)
negatif, atau melakukan keluhan ke organisasi/pihak ketiga (Lam & Dale,
1999; Davidow, 2000). Akan tetapi yang paling berbahaya adalah: pelanggan
tidak melakukan tindakan apapun kepada organisasi. Secara diam-diam
mereka menghukum organisasi dengan cara “pindah” ke organisasi yang lain,
yaitu: organisasi yang mereka yakini akan memberikan kepuasan kepada
mereka. Adanya perilaku “switching” secara diam-diam ini menyebabkan
organisasi tidak memiliki kesempatan untuk mempertahankan pelanggannya.
Organisasi tidak memiliki informasi apapun mengenai mengapa mereka tidak
puas (Kotler, 2000).

G. Servicecapes
Jasa bersifat intangible, karenya pelanggan kerapkali mengandalkan
tangible cause atau physical evidence dalam mengevaluasi sebuah jasa sebelum
membelinya dan menilai kepuasannya selama dan setelah konsumsi. Sejumlah
riset menunjukan bahwa servicescapes bisa mempengaruhi pilihan pelanggan dan
perilaku lainnya. Intangible yang artinya tidak berwujud. Disini dijelaskan bahwa
jasa tidak dapat dilihat, dirasakan, diraba, didengar, atau dibaui sebelum jasa itu
dibeli, artinya bahwa kesan pertama yang akan dirasakan oleh konsumen ketika
datang untuk membeli jasa adalah bukti fisik yang ada di lingkungan tempat
dimana jasa dihantarkan. Menurut Bilbao dan organisasi lainnya dalam Lovelock,
Wirtz dan Mussry (2010:4), terdapat 4 tujuan utama dari servicescape yaitu:
1. Membentuk pengalaman dari perilaku konsumen
2. Sebagai pencitraan, positioning, dan diferensiasi
3. Menjadi bagian dari proposisi nilai
4. Memfasilitasi penghantaran jasa, dan memperkuat sekaligus produktivitas
jasa.
Servicescape merupakan gaya dan wujud dari lingkungan fisik dan
elemen-elemen eksperiental lainnya yang ditemukan oleh pelanggan di tempat
jasa tersebut disampaikan Lovelock,Wirtz dan Mussry (2011:277). Ada beberapa
faktor yang berhubungan dengan servicescape, antara lain pencahayaan, warna,
simbol, tekstur, pengaturan, dekor dan sebagainya. Namun Bitner dalam Lilani. A
(2008:87) meringkaskan bahwa layanan servicescape terdiri dari tiga dimensi
yaitu :
a. Kondisi ambient yaitu suasana non-visual, kondisi latar belakang di
lingkungan pelayanan.
b. Pengaturan spasial dan fungsional serta tanda-tanda yaitu cara yang
peralatan dan perabotan hotel disusun, dan kemampuan barang-barang
untuk memfasilitasi kenikmatan konsumen.
c. Simbol-simbol dan artefak yaitu dekorasi yang digunakan untuk
berkomunikasi dan meningkatkan citra tertentu atau suasana hati, atau
untuk mengarahkan pelanggan untuk tujuan yang diinginkan.

H. LOKASI FASILITAS JASA


Jasa tidak dipasarkan melalui saluran distribusi tradisional seperti
halnyabarang fisik., misalnya dari pabrik ke pedagang grosir, kemudian ke
pengecer untuk selanjutnya diteruskan kepada konsumen akhir. Dalam beberapa
tahun terakhir, waralaba (franchising) mengalami perkembangan pesat. Menurut
Asosiasi Franschise Indonesia (dikutip dalam Djatmiko, 2009), hingga juni 2009
tercatat ada sekitar 1.010 usaha waralaba di Indonesia, dengan jumlah gerai
mencapai 42.900 buah dan menyerap 819.200 tenaga kerja.
Secara sederhana waralaba bias diartikan sebagai system pemasaran atau
distribusi barang dan jasa, dimana sebuah perusahaan induk (franchisor)
memberikan kepada individu atau perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil
atau menengah, hak-hak istimewa untuk melakukan sistem usaha tertentu dengan
cara yang sudah di tentukan, selama waktu tertentu dan di tempat tertentu pula.
Secara garis besar terdapat tiga bentuk sistem waralaba. Pertama, product
franschise atau product distribution franschising, di mana franschisor memberikan
kekeluasaan bagi para franchisee untuk memproduksi dan mendistribusikan lini
produk tertentu dengan menggunakan nama merek dan sistem pemasaran yang di
kembangkan oleh franschisor.
Akan tetapi, lokasi fasilitas jasa acapkali tetap merupakan faktor krusial
yang berpengaruh terhadap kesuksesan suatu jasa, karena lokasi erat kaitannya
dengan pasar potensial penyedia jasa. Secara garis besar, ada dua kemungkinan
pertimbangan dalam hal lokasi fasilitas jasa. Pertama, pelanggan mendatangi
fasilitas jasa, misalnya pasien dating ke tempat praktek dokter, puskesmas atau
rumah sakit. Kemungkinan kedua adalah penyedia jasa yang mendatangi
pelanggan.
Lokasi berpengaruh terhadap dimensi-dimensi pemasaran strategik, seperti
fleksibilitas, competitive positioning, manajemen permintaan, dan fokus strategik
(Fitzsimmons & Fitzsimmons, 1994). Pemilihan tempat atau lokasi memerlukan
pertimbangan cermat terhadap beberapa faktor berikut:
1. Akses, misalnya lokasi yang dilalui atau mudah dijangkau sarana
transportasi umum.
2. Vasibilitas, yaitu lokasi atau tempat yang dapat dilihat dengan jelas dari
jarak pandang normal.
3. Lalu-lintas (traffic), menyangkut dua pertimbangan utama :
a. Banyaknya orang yang lalu lalang bisa memberikan peluang besar
terhadap terjadinya impulse buying.
b. Kepadatan dan kemacetanlau-lintas bisa pula menjadi hambatan.
4. Tempat parker yang luas, nyaman, dan aman, baik untuk kendaraan roda
dua maupun roda empat.
5. Ekspansi, yaitu tersedia tempat yang cukup luas untuk perluasan usaha di
kemudian hari.
6. Lingkungan, yaitu daerah sekitar yang mendukung jasa yang di tawarkan.
7. Kompetisi, yaitu lokasi pesaing.
8. Peraturan pemerintah, misalnya ketentuan yang melarang bengkel
kendaraan bermotor terlalu berdekatan dengan pemukiman penduduk.

I. Desain dan Tata Letak Fasilitas Jasa


Desain dan tata letak fasilitas jasa erat kaitannya dengan pembentukan
persepsi pelanggan. Pada sejumlah tipe jasa, persepsi yang terbentuk dari interaksi
antara pelanggan dengan fasilitas jasa berpengaruh terhadap kualitas jasa tersebut
di mata pelanggan. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap keputusan
desain fasilitas jasa meliputi :
1. Sifat dan tujuan organisasi jasa
2. Ketersediaan tanah dan kebutuhan akan ruang dan tempat
3. Fleksibilitas
4. Faktor estetsis
5. Masyarakat dan lingkungan sekitar
6. Biaya kontruksi dan oprasi

Tata letak fasilitas jasa


Lingkungan dan setting tempat penyampaian jasa merupakan aspek yang
tidak kalah penting dan tidak boleh diabaikan dalam desain jasa. Masih banyak
penyedia jasa tidak menyadari bahwa tata letak jasa berpengaruh signifikan
terhadap mood dan respon pelanggan, setidaknya ada enam faktor yang harus
dipertimbangkan secara cermat menyangkut tata letak fasilitas jasa :
a. Perencanaan spasial
b. Perencanaan ruangan
c. Perlengkapan/perabotan
d. Tata cahaya
e. Warna
Warna mempengaruhi perasaan dan tindakan setiap orang ( Craig-Lee, es
al., 1995 ) tidak semua warna bedampak sama pada semua orang. Sebagian
besar warna justru menghasilkan respon berbeda-beda. Mengungkap
sejumlah wawasan penting mengenai psikologi warna di antaranya:
a) Merah
Merupakan warna api dan gairah. Warna merah menggambarkan
aktivitas energy dan kegembiraan
b) Oranye
Warna yang biasa semarak perilaku social, membangkitkan semangat
dan mengurangi rasa permusuhan dan kemarahan.
c) Kuning
Dipandang warna yang biasa menimbulkan dua dampak kontradiktif
d) Hijau
Melambangkan kealamiahan atau keasrian dan diyakini membawa
kesan tenang
e) Biru
Melambangkan wibawa dan secara tidak langsung menyiratkan
kearifan, kebijaksanaan dan kebenaran.
f. Pesan-pesan yang disampaikan secara grafis
Aspek penting yang saling terkait dalam faktor ini adalah penampilan
visual, penempatan, pemilihan bentuk fisik, pemilihan warna, pencahayaan
dan pemilihan bentuk perwajahaan lambang yang dipergunakan untuk
maksud tertentu.

J. Service Redesign
Service redesign dapat diartikan sebagai rekonstitusi, pengaturan ulang,
atan penggantian proses-proses yang membentuk jasa. Agar bias efektif,
perancangan ulang jasa membutuhkan 2 elemen: (1) menilai desain jasa saat ini,
terutama menyangkut cara penyampaian dan penerimaan jasa atau layanan; serta
(2) menciptakan cara-cara alternative yang lebih efektif untuk melayani
pelanggan. Berry & Lampo (2000) mengidentifikasi lima ancangan service
redesign, yaitu self-service, direct service, pre-service, bundled service,dan
physical service (Berry & Lampo,2000)
1. Self-service, yaitu mengalihkan pelanggan dari yang semula hanya berperan
sebagai penerima layanan menjadi produsen jasa. Dalam hal ini, pelanggan
berperan sebagai 'partial employees'yang berperan aktif dalam interaksi dan
penyediaan layanan. Contohnya, pembelian saham online, reservasi tiket
pesawat on-line, atau pompa ben- sin swalayan. Karakteristik jasa yang
sesuai dengan alternatif redesain ini adalah:
a. Pelanggan membutuhkan akses layanan dengan frekuensi dan
fleksibilitas tinggi, seperti pengiriman dan pelacakan paket kiriman
semalam.
b. Kecepatan penyampaian layanan merupakan faktor terpenting bagi
pelanggan, misalnya pengisian bensin di pom bensin.
c. Penyampaian layanan tidak membutuhkan keterampilan khusus dan
cenderung mudah ditransfer ke pelanggan, contohnya dispenser
swalayan minuman ringan di restoran cepat saji.
d. Tersedia teknologi yang memudahkan pelanggan untuk melaksanakan
jasa atau layanan yang dibutuhkan, seperti mesin anjungan tunai mandiri
(ATM).
e. Pelanggan mungkin khawatir dan enggan mengungkapkan informasi
pribadinya kepada personil atau staf layanan, misalnya dalam hal
transaksi keuangan secara online.
f. Margin laba relatif kecil, sehingga alternatif penghematan biaya patut
dipertimbangkan, misalnya menjual bensin.
2. Direct service, yakni membawa jasa/layanan ke tempat pelanggan (rumah
atau kantor). Melalui cara ini, pelanggan bisa menghemat biaya dan waktu,
serta tidak perlu repot-repot mendatangi lokasi penyedia jasa. Pelanggan
tidak perlu mengkhawatirkan kemacetan lalu lintas, cuaca, maupun
kesulitan mendapatkan parkir. Pada alternatif self-service, peran pelanggan
bertambah, sedangkan di direct service.justru peran pelanggan dikurangi.
Situasi yang cocok untuk menerapkan direct service antara lain:
a. Pelanggan harus mengorbankan rutinitas kerjanya agar dapat menerima
layanan atau jasa, misalnya membawa mobil atau sepeda motornya ke
bengkel reparasi.
b. Ketidaknyamanan pelanggan dalam mengunjungi fasilitas jasa lebih
besar daripada manfaat jasa, contohnya mendatangi tempat rental DVD
untuk menyewa DVD dan kemudian mengembalikannya.
c. Pelanggan tidak suka berinteraksi secara pribadi dengan penyedia jasa,
misalnya mendatangi dealer mobil dan 'bernegosiasi' harga.
d. Teknologi memungkinkan penyediaan jasa jarak jauh, contohnya
pembelajaran jarak jauh (distance leaming
3. Pre-service, yaitu merampingkan proses aktivasi jasa. Fokus pre-service
adalah proses-proses front-end yang bisa disederhanakan agar pelanggan
bisa segera mendapatkan layanan inti (core services). Bukankah pelanggan
yang bermaksud menyewa mobil tidak membeli peluang untuk mengisi
berbagai formulir? Yang ia beli adalah jasa transportasi. Berbagai
kemungkinan cara bisa dilakukan untuk merancang ulang pre service. Ada
supermarket di Amerika yang menyediakan in-store display berupa Food
Idea Centers. Pajangan tersebut menampilkan resep menu tertentu, sampel
masakan, dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuatnya. Pelanggan
yang bermaksud menyiapkan hidangan bersangkutan tidak perlu berkeliling
supermarket untuk mencari setiap bahan, karena semua tersaji di Food Idea
Centers. Banyak maskapai penerbangan yang menyediakan fasilitas online
bagi para calon penumpangrıya untuk melakukan berbagai front-end tasks,
seperti reservasi, pembayaran, penyampaian preferensi menu dan tempat
duduk, dan seterusnya. Marriott Hotel memanfaatkan desain pre-service
dalam sistem check-in para tamunya untuk merancang paket layanan
individualized. Para tamu hotel tidak perlu menunjukkaun lagi karu
kreditnya atau mengisi formulir registrasi ketika mereka tiba di Marriott
Hotel. Informasi menyangkut nomor kartu kredit, preferensi kamar, dan
estimasi waktu kedatangan telah dikumpulkan sewaktu reservasi dilakukan.
Tamu yang datang akan menerima informasi hotel, prosedur checkout, dan
kunci kamar, sehingga mereka bisa langsung menuju kamar yang dipesan.
Sistem seperti ini mengurangi jumlah karyawan yarg dibutuhkan di front
desk Karyawan yang bertugas di front door bisa menyambut para tamu
secara personal (buhkan menyapa sesuai nama setiap tamu) dan
menyerahkan customized packet ke masing-masing tamu. Jasa yang cocok
untuk aplikasi desain seperti ini adalah jasa yang bercirikan:
a. Pelanggan harus menyampaikan informasi rinci dalam rangka
menerima jasa atau layanan, misalnya pengecer online.
b. Pelanggan biasanya terburu-buru sewaktu menerima jasa atau layanan
contohnya menyewa mobil di bandara
c. Pelanggan merencanakan konsumsi jasa jauh-jauh hari contohnya
penerbangan udara dan paket wisata
d. Pelanggan sering menggunakan jasa bersangkutan misalnya belanja
barang kebutuhan sehari-hari
4. Bundled service, yaitu menggabungkan berhagai jasa (core services dan
complimentary services) ke dalam satu paket produk. Biasanya bundled
service ditawarkan dalam format yang sifatnya fixed, artinya pelanggan
tidak bisa menambah atau mengurangi layanan tertentu. Pilihannya adalah
membeli semua layanan dalam paket tersebut atau tidak satupun layanan
individual dalam paket itu. Hotel seringkali menawarkan paket jasa yang
terdiri atas jasa kamar, fasilitas kolam renang, gym, sarapan, koran, antar-
jemput ke bandara. dan seterusnya. Jasa yang memiliki karakteristik berikut
ini cocok menerapakan bundled service design.
a. Pelanggan bisa di segmentasi berdasarkan pengugunaan jasa atau
kebutuhan spesifik, misalnya kartu kredit platinum atau gold
b. Konsumsi jasa secara efisien membuthkan pengetahuan teknis,
contohnya jasa pemeliharaan kendaraan bermotor
c. Pelanggan mengasosiasikan core service dengan layanan terkait
lainnya, misalnya pusat kebugaran dengan sauna dan private lockers
d. Pelanggaran mengutamakan kenyamanan layanan, contohnya pembeli
bensin yang ingin mencuci mobilnya, membeli kudapan, atau pun
menggunakan fasilitas ATM di tempat yang sama.
5. Physical service, yakni mengubah pengalaman pelanggan dengan cara
merancang ulang elemen tangible pengalaman jasa, seperti fasilitas jasa,
peralatan penampilan karyawan, materi komunikasi pemsaran, dan lain-
lain. Sebagai contoh, ruang praktik dokter anak bisa didesain ulang dengan
menampilkan suasana dan karakter favorit anak-anak supaya mereka
merasa nyaman dan tidak takut. Physical service redesign patut dipilih
apabila jasa yang ditawarkan bercirikan:
a. Konsumsi jasa membutuhkan kehadiran pelanggan di fasilitas jasa,
contohnya bandara
b. Pelanggan sulit mengevaluasi jasa sebelum membelinya, contohnya jasa
restoran dan dokter gigi
c. Kenyamanan fisikn merupakan faktor penentu kepuasan pelanggan
dan/atau karyawan, contohnya jasa penerbangan, kereta api, dan bis
antar kota.
d. Kinerja oprasional berbagai penyedia jaas mirip satu sama lain,
misalnya jasa warnet dan online game counters.

K. Manajemen Permintaan dan Penawaran Jasa


Salah satu tantangan besar dalam pemasaran jasa adalah menyelaraskan
kapasitas (penawaran) dan permintaan. Sejumlah faktor berkontribusi pada hal ini,
di antaranya karakteristik jasa yang tidak tahan lama (perishable), variabilitas
dalam kapasitas jasa, dan partisipasi pelanggan dalam sistem penyampaian jasa.
Dalam setiap momen tertentu, jasa berkapasitas (fixed capacity) akan menghadapi
salah satu dari empat kondisi yaitu:
1. Permintaan berlebihan (excess demand)
Dalam kondisi ini, tingkat permintaan jauh melampaui kapasitas maksimum
yang tersedia. Sebagai akibatnya, ada sebagian pelanggan yang tidak dapat
dilayani dan perusahaan kehilangan mereka, baik untuk sementara waktu
maupun secara permanen (karena beralih ke perusahaan lain)
2. Permintaan melampaui kapasitas optimum
Dalam kondisi ini, tidak ada satupun pelanggan yang ditolak atau tidak
dilayani. Akan tetapi, kondisinya sangat ramai atau penuh sesak sehingga
hampir semua pelanggan kemungkinan besar mempersepsikan adanya
penurunan kualitas jasa yang diberikan perusahaan.
3. Permintaan dan penawaran seimbang pada tingkat kapasitas optimum
Personil dan fasilitas perusahaan sibuk tanpa harus memiliki beban kerja
berlebihan, dan para pelanggan menerima jasa tanpa ada penundaan
4. Kapasitas berlebihan
Permintaan dibawah tingkat kapasitas optimum, sehingga ada sebagian
sumber daya yang terbuang percuma (ada kapasitas menganggur). Dalam
berbagai situasi, kondisi semacam ini bisa jadi membuat sebagian
konsumen meresa kecewa dengan pengakamannnya atau meragukan
kelangsungan hidup jasa bersangkutan.

Strategi Mengelola Permintaan


Berikut ini alternative strategi menajemen berdasarkan situasi kapasitas:
1. Tidak melakukan apapun
Dalam ancangan ini, perusahaan jasa membiarkan tingkat permintaan
seperti apa adanya, tanpa melakukan pengurangan ataupun penambahan.
Jika dikaitkan dengan situasi kapasitas terhadap permintaan, ada tiga
kemungkinan yang bisa terjadi:
a) Situasi kapasitas tidak memadai (permintaan berlebih). Pada keadaan
ini akan terjadi antrean yang tidak teratur, sehingga bisa
mengecewakan sebagian pelanggan dan membuat mereka ridak akan
memanfaatkan jasa perusahaan lagi di masa dating.
b) Kapasitas memadai (permintaan memuaskan), yaitu kapasitas
dimanfaatkan secara penuh.
c) Kapasitas berlebih (permintaan kurang), sehingga sebagian kapasitas
terbuang percuma
2. Mengurangi permintaan
Ancangan ini dilakukan dengan cara mengurangi permintaan pada periode
permintaan puncak. Dalam kondisi permintaan melampaui kapasitas,
penetapan harga yang lebih mahal dapat meningkatkan laba. Kendati
demikian, perusahaan jasa harus mempertimbangkan secara cermat
elastisitas harga terhadap perubahaan volume permintaan pelanggan atas
jasa perusahaan. Setiap tipe pelanggan memiliki tingkat sensitifitas harga
yang berbeda. Misalnya, eksekutif cenderung lebih mampu bersedia
membayar mahal untuk layanan ekstra pada jsa penerbangan atau kereta api
dibandingkan wisatawan local atau segmen mahasiswa.
3. Meningkatkan permintaan
Ancangan ini bertujuan meningkatkan permintaan pada saat terjadi
kapasitas berlebihan. Harga dapat di turunkan secara selektif agar semua
biaya relevan tertutupi. Disamping itu perusahaan juga perlu memanfaatkan
komunikasi pemasaran dan distribusi(lokasi dan timing penyampaian jasa).
Serta menciptakan varian jasa (yang memberi nilai tambah) agar dapat
menaikkan tingkat penggunaan jasa oleh pelanggan. sebagai contohnya
untuk meningkatkan tingkat hunian resort hotel selama periode sepi, para
manager hotel bersangkutan kerap kali menawarkan pula fasilitas khusus
untuk memanfaatkan hotel tersebut sebagai tempat seminar, symposium
pelatihan, atau sejenisnya
4. Menyimpan permintaan dengan sistem reservasi dan appointment
Ancangan ini bertujuan untuk menyimpan permintaan sampai tersedia
kapasitas yang memadai. Cara yang bisa ditempuh adalah menerapkan
sistem reservasi, booking atau appointment, dimana pelanggan dijanjikan
akan dilayani pada waktu tertentu yang disepakati. Dengan demikian,
pelanggan tidak perlu mengantri lama dan penyedia jasa bisa
mengoptimalkan kapasitas jasanya. Sistem ini sering diterapkan dalam
industry penerbangan, restoran, hotel, persewaan mobil, dokter, psikolog,
konsultan, dan lain-lain.
5. Menyimpan permintaan dengan antrean formal
Ancangan ini bertujuan untuk menyimpan permintaan dengan cara
mengembangkan sistem antrean formal. Perusahaan jasa perlu menjaga
kenyamanan selama pelanggan menanti gilirannya dilayani. Untuk
menjamin kenyamanan nasabahnya sebagian besar bank membedakan
antrean untuk nasabah bisnis dan nasabah biasa.
6. Mengembangkan jasa atau layanan komplementer selama waktu sibuk
Jasa komplementer disediakan untuk memberikan alternative kepada para
pelanggan yang sedang menunggu. Misalnya penggunaan ATM, telephone
banking dan internet banking di bank-bank, penambahan bar pada sebuah
restoran, dan lain sebgainya
Strategi Mengelola Penawaran
1. Menggunakan karyawan paruh waktu
Karyawan paruh waktu banyak di manfaatkan selama periode sibuk.
Strategi ini lazim diterapkan pada jasa yang terstandarisasi dan untuk tugas
yang tidak terlalu banyak membutuhkan keterampilan khusus. Contohnya
MCDonald’s dan KFC memperkerjakan pelajar dan mahasiswa sebagai
karyawan paruh waktu, terutama di luar jam sekolah dan akhir pekan.
2. Menyewa atau berbagi fasilitas dan peralatan tambahan
Guna menghindari investasi tambahan yang cukup mahal dan kemungkinan
tidak bakal dimanfaatkan secara optimal, perusahaan jasa bisa saja
menyewa fasilitas atau peralatan tambahan yang dipergunakan selama
periode puncak/sibuk. Contohnya perusahaan penerbangan memanfaatkan
peralatan penanganan bagasi, pintu masuk, dan berbagai fasilitas lainnya
secara bersama-sama.
3. Menjadwalkan aktivitas downtime selama periode permintaan rendah
Untuk memastikan seluruh kapasitas produktif perusahaan jasa dapat
tersedia selama periode puncak, aktivitas-aktivitas seperti renovasi
bangunanan, reparaasi, pemeliharaan, liburan karyawan, dan pelatihan
harus dijadwalkan selama periode permintaan diramalkan rendah.
Penjadwalan ini sangat penting bagi perusahaan jasa yang menghadapi
permintaan siklikal seperti bank, rumah sakit, restoran dan lain-lain.
4. Melakukan pelatihan silang (cross-training) terhadap karyawan
Para karyawan dilatih untuk melakukan berbagai macam tugas, supaya
mereka dapat saling membantu dan menunjang satu sama lain. Misalnya
disaat bagian karyawan bagian sediaan sedang santai, mereka akan di
perbantukan pada bagian kasir apabila amtran sedang membludak.
Sebaliknya selama periode sepi, para kasir dapat membantu staf bagian
sediaan dalam menata produk dan rak pajangan.
5. Meningkatkan partisipasi pelanggan
Perusahaan jasa dapat mengupayakan pelanggan sebagai co-producer dalam
tugas-tugas tertentu. Misalnya pelanggan mengisi bensin sendiri di pom
bensin, dan pelanggan mengambil sendiri makanan dan minuman yang di
beli di restoran makanan siap saji.

Manjamen Antrean
Pada prinsipnya, de Chernatony & McDonald (2003) menyatakan bahwa
kalaupun antrean tak terhindarkan toleransi konsumen terhadap antrean bisa
dinaikan dengan cara membuat waktu menunggu lebih menyenangkan atau
setidaknya lebih bisa ditolerir, melalui tindakan-tindakan berikut :
1. Menghibur pelanggan (entertaining constumers)
Misalnya dengan menyediakan televisi, koran, tabloid, majalah, atau akses
internet di ruang tunggu.
2. Memulai proses (starting the proses)
Misalnya mengisi fomulir medis dia ruang praktik dokter dipersilahkan
sebagai aktivitas yang merupakan bagian dari jasa atau layanan bukan
waktu menunggu.
3. Menentramkan hati pelanggan (reassuring constumers)
Misalnya di bandara diberikan tanda atau petunjuk yang
menginformasikan tempat antrean untuk check-in setiap penerbangan.
4. Menginformasikan pelanggan (informing constumers)
Misalnya dalam suatu pengiriman barang penyedia jasa
menginformasikan posisi keadaan barang tersebut agar pelanggan dapat
mengetahui barangnya sudah sampai dimana.
5. Memberikan penjelasan (explaining)
Misalnya alasan keterlambatan dapat di sampaikan secara otomatis lewat
layar monitor kedatangan dan keberangkatan di bandara atau stasiun kereta
api.
6. Menerapkan prinsip first-come first-served
Misalnya pemberian nomor antrean agar dapat dilayani sesuai dengan
kedatangan pelanggan tersebut.
L. Peranan Karyawan dan Pelanggan dalam Sistem Penyampaian Jasa
Karyawan dan pelanggan memainkan peran penting dalam sistem
penyampaian jasa, terutama dalam industri jasa yang bercirikan tingkat interaksi
dan kontak pelanggan yang tinggi. Kepuasan karyawan didapatkan dari desain
pekerjaan dan tempat kerja yang memfasilitasi kualitas jasa internal. Rekrutmen,
pelatihan, dan kompensasi karyawan juga merupakan contributor utama bagi
terciptanya kualitas jasa internal. Karyawan yang puas berpeluang loyal pada
perusahaan dan meningkatkanproduktifitas individualnya.
Partispasi pelanggan sebagai “patial emplloyees” dalam berbagai situasi
sangat dibutuhkan. Partisipasi pelanggan bisa berupa penyampaian informasi
kepada penyedia jasa, produksi bersama (joint production) dengan bantuan dari
pekerja jasa dan pelanggan sebagai produsen tunggal (swalayan) yang
mengerjakan semua service encounter spesifik . bagi perusahaan, partisipasi
pelanggan bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas, menekan biaya
produksi dan penyampaian jasa, meningkatkan kepuasan pelanggan dan
meningkatkan persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Bagi pelanggan,
keterlibatannya dalam produksi jasa berpotensi meningkatkan perceived control
terhadap service encounter, meningkatkan aksetabilitas, ketersediaan dan
kenyamanan jasa, mengurangi perceived waiting time, mendapatkan bonus
tertentu (seperti diskon atau loyality points) dan memfasilitasi service
customization.
STUDI KASUS

Kantor Imigrasi Kelas 1 Malang merupakan salah satu unit pelaksanaan


teknis kemigrasian yang berada di Kementrian Hukum dan HAM. Kantor Imigrasi
ini melayani suatu WNI dan WNA untuk suatu layanan kemigrasian. Kantor ini
tidak lepas dari kendala proses antrian pengguna jasa yang tidak teratur sehingga
menyebabkan terjadinya desak-desakan antar pengguna jasa, kerap kali
menimbulkan situasi yang tidak terkendali dan banyaknya pengguna jasa yang tidak
mengerti alur dan prosedur yang harus dilewati yang membuat karyawan merasa
kewalahan.
Kendala lainnya adalah terkait dengan layout kantor imigrasi adalah tidak
tepatnya penempatan area parker yang berada didalam kantor membuat membuat
pengguna jasa merasa kesulitan untuk memasukkan kendarannya karena harus
melewati kerumunan pengguna jasa yang antri ataupun menunggu nomer antrian.
DAFTAR PUSTAKA
Kusmayadi, T. (2012). Sistem Penyampaian Jasa (Service Delivery) sebagai Salah
Satu Faktor Pembentuk Citra Perusahaan atau Organisasi. Jurnal Sains
Manajemen & Akuntansi, Vol. IV No.1.
Muarifah, V. (2017). Pengaruh Servicescape terhadap Kepuasan Pengguna Jasa.
Jurnal Manajemen Bisnis, Vol. 7 No. 2.
Ponsignon, F., Smart, P. A., & Maull, R. (2011). Service Delivey System Design:
Characteristics and Contingencies. International Journal of Operations &
Production Management, Vol. 31 No. 3, pp 324-349.
doi:10.1108/01443571111111946
Rahab, & Nawarini, A. T. (2012). Peningkatan Citra dan Kepercayaan Masyarakat
pada Rumah Sakit Milik Pemerintah Melalui Perbaikan Sistem
Penyampaian Jasa. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, Vol. 5 No. 1.
Tjiptono, F. (2014). Pemasaran Jasa - Prinsip, Penerapan, dan Penelitian.
Yogyakarta: ANDI.
Zomerdijk, L. G., & Vries, J. d. (2007). Structuring front office and back office
work in service delivery systems: An empirical study of three design
decisions. International Journal of Operations & Production Management,
Vol. 27 No. 1, pp. 108-131. doi:10.1108/01443570710714565

Anda mungkin juga menyukai