Anda di halaman 1dari 49

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan


Jamur mengandung karbohidrat, lemak, natrium dan rendah kalori.
Selain itu, jamur memiliki nutrisi penting, diantaranya selenium, kalium,
riboflavin, niasin, vitamin D dan serat. Berdasarkan berat kering,
kandungan nutrisi 100 g jamur tiram adalah kalori (367 kkal), protein
(10,5-30,4%), karbohidrat (56,6%), lemak (1,7-2,2%), tiamin (0,20 mg),
riboflavin (4,7-4,9 mg), niasin (77,2 mg), dan kalsium (314,0 mg)
(Koesnandar, 2005 dalam Hayyuningsih, 2009). Jamur tiram mengandung
berbagai senyawa bioaktif termasuk terpenoid, steroid, fenol, alkaloid,
lektin dan nukleotida yang telah diisolasi dan diidentifikasi dari tubuh
buah, miselium, dan hasil ekstraksi jamur tiram putih telah dilaporkan
memiliki efek biologis (Krishnamororthy and Mirunalini, 2014).
Sebaliknya jamur mudah mengalami kerusakan, hal ini dikarenakan
jamur memiliki kadar air dan nutrisi yang cukup tinggi sehingga membuat
jamur tiram dapat mengalami kerusakan secara biologis maupun fisik.
Seperti dikemukakan oleh Arianto et al (2009), jamur tiram memiliki umur
simpan yang pendek atau cepat mengalami kerusakan. Kerusakan
produk dapat disebabkan kontaminasi mikroba, pengaruh suhu dan udara
serta kadar air, menjadi kendala utama pemasaran jamur tiram. Kondisi
tersebut memerlukan proses pengawetan salah satunya dengan metode
pengeringan. Proses pengeringan dipilih karena prosesnya yang relatif
mudah diaplikasikan pada berbagai skala industri jamur tiram. Menurut
Widyastuti dkk (2012) melalui penelitiannya, jamur tiram dapat diolah
menjadi tepung yang bertujuan agar dapat memperpanjang daya simpan
jamur tiram. Hasil pengeringan yang dilakukan peneliti dengan suhu 40 0C
selama 24 jam menunjukkan warna tepung yang relatif putih dan halus.
Pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena
perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang
dikeringkan, dalam hal ini kandungan uap air udara lebih sedikit atau
udara mempunyai kelembaban nisbi yang rendah sehingga terjadi
penguapan (Adawyah, 2014). Pengeringan dapat dilakukan secara
konvensional dengan bantuan sinar matahari dan dapat pula dilakukan
2

menggunakan alat pengering (pengering kabinet, microwave, oven dan


fluidized bed drier). Menurut Airlangga (2016), metode pengeringan
buatan lebih praktis, efisien dan menghasilkan mutu yang baik.
Pengeringan buatan dilakukan dengan alat seperti spray dryer, freeze
dryer, rotary dryer dan tray dryer (pengering kabinet). Dalam penelitian ini,
dipilih metode foam mat drying dengan menggunakan tray dryer.
Metode pengeringan busa (foam-mat drying) memiliki kelebihan dari
pada metode pengeringan lain karena relatif sederhana dan prosesnya
tidak mahal dibandingkan dengan spray drying dan freeze drying. Foam-
mat drying berguna untuk memproduksi produk-produk kering dari bahan
cair yang peka terhadap panas atau mengandung kadar gula tinggi
(Purnamasari, 2016). Foam mat drying merupakan pengeringan dengan
membentuk busa stabil. Pengeringan dengan mengunakan metode ini
memiliki kelebihan dalam hal mempertahankan karakteristik fungsional
bahan karena suhu yang digunakan relatif rendah (50-70ºC) dan waktu
pengeringan yang relatif singkat (Kadam et al., 2011).
Keberhasilan foam-mat drying sangat ditentukan oleh foaming
agent yang digunakan. Foaming agent atau pembusa adalah bahan
tambahan pangan yang berfungsi untuk membentuk atau memelihara
homogenitas dispersi fase gas dalam bahan pangan berbentuk cair atau
padat (Purnamasari, 2016). Foaming agent yang akan digunakan adalah
putih telur (albumin), polysorbat 80 (tween 80), soda kue, dan gliserin
(Fauzi, 2016). Foaming agent yang akan digunakan dalam penelitian
adalah putih telur. Waktu pembuihan yang dibutuhkan putih telur relatif
lebih singkat dibandingkan jenis foaming agent yang lain, hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Falade et al. (2003).
Penggunaan putih telur sebagai pembusa dikarenakan harga yang
terjangkau, mudah didapatkan dan bersifat alami. Putih telur mengandung
protein ovomusin yang mampu membentuk lapisan atau film yang tidak
larut dalam air dan dapat menstabilkan busa yang terbentuk (Koswara,
2009).
Proses pembuatan tepung jamur tiram dengan metode foam mat
drying juga diperlukan bahan pengisi (Filler). Bahan pengisi dapat
mencegah lengketnya jamur pada alat pengering cabinet dryer. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah maltodekstrin. Sifat-sifat
3

maltodekstrin antara lain mengalami dispersi cepat, memiliki sifat daya


larut yang tinggi, membentuk sifat higroskopis yang rendah, sifat
browning (kecoklatan) yang rendah, mampu menghambat kristaslisasi
dan memiliki daya ikat yang kuat (Srihari dkk, 2010). Dalam proses
pengeringan suatu bahan perlu dipertimbangkan variabel-variabel proses
yang akan mempengaruhi keberhasilan proses pengeringan. Beberapa
variabel proses yang akan diamati meliputi, konsentrasi putih telur
sebagai foaming agent dan konsentrasi maltodekstrin sebagai bahan
pengisi.
Penelitian terdahulu yang membahas mengenai karakteristik
pengeringan dan kualitas hasil pengeringan pisang menggunakan
teknologi foam mat drying telah dilakukan oleh Thuwapanichayanan et al.
(2008). Simpulan dalam penelitiannya menjelaskan busa pisang dengan
penambahan putih telur 5 % dan 10 % menghasilkan densitas busa yang
rendah yaitu 0.3 g/mL. Oleh karena itu, konsentrasi putih telur yang akan
diuji dalam penelitian ini 6, 8, 10 % (v/vpasta pisang). Berdasarkan
formulasi tersebut, dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Oleh
karena itu pada penelitian ini akan digunakan metode pengeringan foam-
mat drying. Metode ini diharapkan dapat mengetahui formulasi bahan
pengisi dan foaming agent untuk menghasilkan karakteristik tepung jamur
tiram yang baik.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh konsentrasi putih telur dan konsentrasi
maltodekstrin yang tepat untuk menghasilkan tepung jamur tiram putih
dengan karakteristik baik.
2. Mengetahui pengaruh perlakuan terbaik antara konsentrasi putih telur
dan maltodekstrin terhadap karakteristik fisikokimia dari tepung jamur
tiram putih yang dihasilkan.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi cara pembuatan tepung jamur tiram putih
dengan metode foam-mat drying menggunakan cabinet dryer.
4

2. Meningkatkan informasi alternatif pengolahan untuk produk pertanian


jamur tiram putih dengan metode foam-mat drying menggunakan
cabinet dryer.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Jamur Tiram Putih

Jamur merupakan organisme yang tidak berklorofil, sehingga jamur


tidak dapat menyediakan makanan sendiri dengan cara fotosintesis
seperti pada tanaman berklorofil. Oleh karena itu jamur mengambil zat-
zat makanan yang sudah jadi, yang dibuat dan dihasilkan oleh organisme
lain untuk kebutuhan hidupnya, karena ketergantungannya terhadap
organisme lain inilah maka jamur digolongkan sebagai tanaman heterotrof
(Nasim, 2001). Secara umum jamur dikelompokkan menjadi 4 kategori,
yaitu jamur pangan (edible mushroom) yaitu jamur yang berdaging dan
enak dimakan, jamur obat yaitu jamur yang memiliki khasiat obat dan
digunakan untuk pengobatan, jamur beracun, dan jamur yang tidak
tergolong kategori sebelumnya dan umumnya beragam jenisnya. Jamur
tiram dalam bahasa latin dinamakan Pleurotus spp. Nama Pleurotus
berasal dari bahasa Yunani “pleuron” yang berarti sisi dan “ous” yang
berarti telinga.

Gambar 1. Jamur tiram putih (Gunawan, 2001)

Jamur tiram adalah jamur kayu yang tumbuh berderet menyamping


pada batang kayu lapuk. Jamur ini memiliki tubuh buah yang tumbuh
mekar membentuk corong dangkal seperti kulit kerang (tiram). Tubuh
buah jamur ini memiliki tudung (pileus) dan tangkai (stipe atau stalk).
Pileus berbentuk mirip cangkang tiram berukuran 5-15 cm dan
permukaan bagian bawah berlapis-lapis seperti insang berwarna putih
6

dan lunak. Menurut Gunawan (2001), jamur tiram (Pleurotus ostreatus)


memiliki tudung dengan diameter 4-15 cm atau lebih, bentuk seperti
tiram, cembung kemudian menjadi rata atau kadang-kadang membentuk
corong; permukaan licin, agak berminyak ketika lembab, tetapi tidak
lengket; warna bervariasi dari putih sampai abu-abu, cokelat, atau cokelat
tua (kadang-kadang kekuningan pada jamur dewasa), tepi menggulung
ke dalam, pada jamur muda seringkali bergelombang atau bercuping.
Daging tebal, berwarna putih, kokoh, tetapi lunak pada bagian yang
berdekatan dengan tangkai; bau dan rasa tidak merangsang. Bila cukup
berdekatan, lebar, warna putih atau keabuan dan sering kali berubah
menjadi kekuningan ketika dewasa. Tangkai tidak ada atau jika ada
biasanya pendek, kokoh, dan tidak di pusat atau lateral (tetapi kadang-
kadang di pusat), panjang 0.5-4.0 cm, gemuk padat, kuat, kering,
umumnya berambut atau berbulu kapas paling sedikit di dasar. Jejak
spora putih sampai ungu muda atau abu-abu keunguan, berukuran 7-9 X
3-4 mikron, bentuk lonjong sampai jorong, licin, nonamiloid. ). Oleh
karena itu, jamur tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati dan
termasuk dalam tumbuhan Thallopyta.
Secara umum pertumbuhan jamur dibagi menjadi dua fase yaitu
vegetatif dan generatif. Fase vegetatif ditandai dengan pertumbuhan dan
penyebaran miselia jamur dalam media. Miselia ini akan mengeluarkan
enzim yang dapat menguraikan senyawa kompleks seperti lignin menjadi
senyawa yang lebih sederhana yang diperlukan untuk pertumbuhan.
Setelah beberapa waktu, miselium ini akan saling bertemu dan
membentuk titik-titik simpul. Simpul-simpul inilah yang selanjutnya akan
berkembang menjadi buah/fruiting body (fase generatif) (Bekwe et al.,
2008).
Jamur tiram putih dan coklat paling banyak dibudidayakan, karena
mempunyai sifat adaptasi dengan lingkungan yang baik dan tingkat
produktifitasnya cukup tinggi (Achmad 2009).
1. Komposisi Gizi Jamur Tiram Putih
Jamur tiram putih mengandung nutrisi yang sangat bermanfaat
bagi kesehatan tubuh manusia. Komposisi kimia yang terkandung dalam
jamur tiram tergantung jenis dan tempat tumbuhnya. Rata-rata jamur
tiram mengandung 19- 35% protein, lebih tinggi dibandingkan dengan
7

beras (7,38%) atau gandum (13,2%). Asam amino esensial yang terdapat
pada jamur tiram ada 9 jenis dari 20 asam amino yang dikenal yaitu
lysine, methionin, tryphtofan, theonin, valin, leusin, isoleusin, histidin, dan
fenilalanin. Asam amino ini menyerupai derivate protein yang dihasilkan
dari daging hewan (Tatang, 2013). Asam lemak yang dikandung jamur
tiram putih ini 86% lemaknya tidak jenuh dan 14% asam lemak jenuh.
Asam lemak yang dikandung jamur tiram putih diantarannya asam oleat,
formiat, malat, asetat dan asam sitrat. Jamur tiram putih juga
mengandung berbagai jenis vitamin, antara lain B1 (thiamine), B2
(riboflavin), niasin, dan biotin. Selain itu, jamur tiram putih juga
mengandung berbagai jenis mineral, antara lain K, P, Ca, Na, Mg dan Cu.
Kandungan serat pada jamur tiram antara 7,4-24,6% ini sangat baik bagi
sistem pencernaan manusia. Jamur tiram putih mempunyai kandungan
kalori yang sangat rendah, yaitu 100 kj setiap 100 g sehingga cocok bagi
pelaku diet (Erie, 2012). Jamur tiram juga mengandung vitamin penting,
terutama vitamin B, C dan D. Vitamin B1 (tiamin) 0,20 mg; B2 (riboflavin)
4,7-4,9 mg; niasin 77,2 mg dan provitamin D2 (ergosterol) dalam jamur
tiram cukup tinggi. Mineral utama tertinggi adalah Kalium, Fosfor,
Natrium, Kalsium dan Magnesium. Mineral utama tertinggi adalah : Zn,
Fe, Mn, Mo, Co, Pb. Konsentrasi K, P, Na, Ca dan Me mencapai 56-70%
dari total abu dengan kadar K mencapai 45%. Mineral mikro elemen yang
bersifat logam dalam jamur tiram kandungannya rendah, sehingga jamur
ini aman dikonsumsi setiap hari. Adanya serat yaitu lignoselulosa baik
untuk pencernaan (Sumarmi, 2006).
Kandungan nilai gizi jamur tiram putih dibandingkan dengan jamur
tiram lainnya dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan untuk melihat
kandungan gizi jamur tiram dalam 100 g bahan segar dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 1. Kandungan gizi jamur tiram putih dibanding jamur lain
Komposisi Jamur Jamur Tiram Jamur Tiram
Shiitake Putih Coklat
Protein (%) 17,50 27,00 26,60
Lemak (%) 8,00 1,60 2,00
Karbohidrat (%) 70,70 58,00 50,70
Serat (%) 8,00 11,50 13,30
Abu (%) 7,00 9,30 6,50
Kalori (Kal) 392,00 265,00 300,00
Sumber: Hendritomo (2010).
8

Kandungan gizi jamur tiram dapat dilihat pada Tabel 2.. Tabel 2.
Kandungan gizi per 100 gram jamur tiram dalam kondisi segar
Kandungan Gizi Jumlah
Serat (%) 1,56
Protein (%) 16
Lemak (%) 1,1
Kalsium (mg) 8,9
Besi (mg) 1,9
Fosfor (%) 17
Vitamin B (mg) 0,15
Vitamin B2 (mg) 0,75
Vitamin C (mg) 12,4
Mineral (mg) 45,65
Sumber: Shifriyah et al.,2012

Jamur tiram memiliki kandungan gizi dan nutrisi lebih tinggi


dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Berikut perbandingan
kandungan nutrisi pada jamur tiram dengan jamur lain dan bahan
makanan lain dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan
Lainnya
Bahan Karbohidrat
Protein (%) Lemak (%)
Makanan (%)
Jamur tiram 27 1,6 58
Jamur merang 1,8 0,3 4
Jamur kuping 8,4 0,5 82,8
Daging sapi 21 5,5 0,5
Bayam - 2,2 1,7
Kentang 2 - 20,9
Kubis 1,5 0,1 4,2
Seledri - 1,3 0,2
Buncis - 2,4 0,2
Sumber: Martawijaya dan Nurjayadi (2010

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kandungan lemak pada jamur


konsumsi lebih rendah daripada lemak daging sehingga jamur lebih sehat
untuk dikonsumsi. Kandungan protein pada jamur tiram ternyata lebih
tinggi dibandingkan dengan daging sapi dan bahan makanan lain yang
juga berasal dari tanaman. Dilihat dari segi harga, harga jamur konsumsi
jauh lebih murah bila dibandingkan dengan daging. Hal tersebut
menunjukkan bahwa jamur dapat dijadikan sebagai alternatif pangan
9

yang mampu memenuhi kebutuhan gizi dan protein untuk berbagai


kalangan masyarakat.
Jamur tiram rendah kolesterol dan kandungan lemaknya merupakan
lemak tidak jenuh sehingga dapat mencegah penyakit darah tinggi dan
aman bagi mereka yang rentan terhadap serangan jantung (Parjimo dan
Andoko 2007). Dari hasil penelitian kedokteran secara klinis, diketahui
bahwa kandungan senyawa kimia khas jamur tiram berkhasiat mengobati
berbagai penyakit manusia seperti tekanan darah tinggi, diabetes,
kelebihan kolesterol, anemia, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
serangan polio, dan influenza, serta kekurangan gizi (Dinas Pertanian
Jatim, 2007).
a. Manfaat Jamur Tiram Putih
Menurut Kalsum (2011), menyebutkan bahwa dalam jamur
tiram memiliki kandungan senyawa kimia yang secara klinis berguna
untuk mengobati berbagai penyakit, seperti tekanan darah tinggi,
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan polio, diabetes,
anemia, ekurangan gizi dan influenza. Jamur tiram memiliki khasiat
bagi kesehatan, seperti memperlancar sistem pencernaan,
menurunkan kolesterol darah, menghentikan pendarahan dan
mepercepat proses pengeringan luka pada permukaan tubuh, serta
mencegah kanker. Kandungan serat dalam jamur tiram yang banyak
mengandung kitin, baik untuk memperbaiki kerja sistem metabolisme
pencernaan dan kandungan lemaknya yang rendah menyebabkan
jamur tiram disukai oleh masyarakat, karena dpaat membantu
mengurangi kadar lemak dalam darah, sehingga mencegah penyakit
jantung koroner dan mencegah diabetes, sehigga cocok untuk bagi
orang yang menjalankan diet, penyakit jantung koroner dan penyakit
darah tinggi.
Jamur tiram putih memiliki asam amino yang cukup lengkap
didalamnya. Asam amino esensial salah satu yang dibutuhkan oleh
tubuh dalam jumlah cukup, tetapi tubuh tidak dapat menghasilkan
asam amino. Terdapat beberapa asam amino esensial beserta jumlah
kandungannya yang terdapat pada jamur tiram putih pada Tabel 4.
10

Tabel 4. Kandungan asam amino esensial jamur tiram putih (mg/ 100
g protein)
No Asam Amino Esensial Kandungan
1. Alanine 7,0 g/100 g
2. Arginine 6,3 g/100 g
3. Cystine 0,6 g/100 g
4. Glycine 5,9 g/100 g
5. Histidine 2,4 g/100 g
6. Leucine 12,6 g/100 g
7. Lysine 6,3 g/100 g
8. Proline 5,4 g/100 g
9. Serine 6,3 g/100 g
10. Aspartic acid 9,3 g/100 g
11. Glutamic acid 17,0 g/100 g
12. Phenylalanine 4,1 g/100 g
13. Tyrosine 2,61 g/100 g
14. Trytophan 0,3 g/100 g
15. Methionine 2,1 g/100 g
16. Valine 6,3 g/100 g
17. Threonine 6,8 g/100 g
18. Isoleusine 0,3 g/100 g
Sumber : Food and Agriculture Organization (FAO), 2008.

Jamur tiram mengandung banyak manfaat, beberapa manfaat


tersebut yang telah diakui oleh para pakar kesehatan yaitu:
mengandung senyawa pleuran yang berkhasiat sebagai anti tumor,
menurunkan kolesterol dan mencegah penyerapan berlebih dari bahan
makanan yang dikonsumsi; kandungan zat besi dan niasin pada jamur
tiram sangat berguna dalam membentuk sel-sel darah merah;
mengandung polisakarida β-glucan, yang berfungsi sebagai anti tumor,
anti kanker, anti virus, ant ijamur, anti bakteri dan dapat meningkatkan
sistem imun; dan mengandung asam folat, dimana asam ini diperlukan
dalam sintesis timidin, yaitu salah satu bagian pembentukan DNA dan
dibutuhkan ibu-ibu pada masa kehamilan, menyusui dan bagi
penderita kanker (Suharyanto, 2010). Jamur tiram putih (Pleurotus
ostreatus) juga dipercaya mengandung senyawa aktif yang
mempunyai khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti
lever, diabetes, anemia, sebagai antiviral dan antikanker serta
menurunkan kadar kolesterol. Penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya menunjukkan bahwa jamur tiram terbukti sangat baik bagi
pencernaan, dan memiliki potensi aktivitas antioksidan (Rhadika et al.,
2008). Menurut Chang dan Buswell (1996), jamur pangan tidak hanya
11

lezat, tetapi juga berkhasiat karena kandungan nutrisi yang tinggi dan
mempunyai khasiat obat seperti antikanker, meningkatkan sistem
kekebalan tubuh, antidiabetes, dan hipolipidemik. Pasaribu et al.
(2002) menyatakan bahwa jamur tiram putih dapat mencegah
timbulnya penyakit darah tinggi dan jantung serta dapat mengurangi
berat badan. Kandungan vitamin B-kompleks yang tinggi dapat
menyembuhkan anemia dan obat anti tumor serta dapat digunakan
untuk mencegah dan menanggulangi kekurangan gizi dan pengobatan
kekurangan zat besi. Jamur tiram putih juga mengandung polisakarida,
khususnya beta-D-glukans yang positif sebagai anti tumor dan anti
virus (termasuk AIDS) (Khatun et al., 2007).

2. Beta-Glukan (β-glukan) pada Jamur Tiram Putih


Senyawa β-glukan merupakan salah satu komponen penyusun
dinding sel jamur. Senyawa β-glukan yang diekstrak dari jamur tiram
disebut pleuran. Senyawa β- glukan jamur terdiri atas β-glukan larut air
dan larut alkali (Rop et al., 2009). Selain itu kandungan nutrisi dalam
jamur tiram juga mengandung lemak, kalsium, kalium, natrium, zat besi
dan mengandung β-glukan yang digunakan untuk menurunkan kadar
kolesterol (Hendritomo, 2010). β-glukan merupakan senyawa metabolit
sekunder yang dapat diisolasi dari tanaman, cendawan/jamur, dan
mikroorganisme. β-glukan merupakan homopolimer glukosa yang diikat
melalui ikatan β-(1,3) dan β-(1,6)-glikosida dan banyak ditemukan pada
dinding sel. β-glukan merupakan komponen utama polisakarida yang
tedapat pada dinding sel. Beberapa mikroorganisme seperti ragi,
cendawan/jamur, dan juga sereal seperti gandum mengandung sejumlah
besar kandungan β-glukan. Zat-zat yang terkandung dapat merangsang
sistem kekebalan tubuh, modulasi imunitas humoral dan selular, dengan
demikian memiliki efek menguntungkan dalam memerangi infeksi bakteri,
virus, jamur, dan parasit. β-glukan juga menunjukan sifat
hipokolesterolemik dan sifat antikoagulan. Akhir-akhir ini telah terbukti
sebagai senyawa antisitotoksik,antimutagenik dan anti tumorgenik
(Ilhamsyah, 2000).
12

Gambar 2. Polimer dari unit β -(1-4)-D-glikopiranosil dengan β-(1-3) –D


glikopiranosil (Sigma,2018)

Gambar 3. Polimer dari β -(1-3)-D-glikopiranosil dengan β-(1-6) -D-


glikopiranosil (Sigma, 2018)

Gambar 2. dan Gambar 3. menunjukkan β-glukan yang berasal


dari khamir dan mikroorganisme memiliki struktur dengan ikatan 1,3 dan
1,6 glukan, sedangkan pada serealia mengandung ikatan β-1,3 dan 1,4
glukan. β-glukan yang diperoleh dari serealia dapat menurunkan kolestrol
dan gula darah dan glukan yang didapat dari mikroorganisme dapat
meningkatkan sistem imun dan anti tumor (Zhu et al., 2016). Beberapa
sifat β-glukan antara lain adalah tidak beracun, tidak memiliki efek
samping yang merugikan, membantu regenerasi dan memperbaiki
jaringan, mengaktivasi dan memperkuat sistem kekebalan, serta
mempertinggi keefektifan obat antibiotik dan antiviral (Yenti, 2005). Dalam
industri farmasi, β-glukan dapat berfungsi untuk anti infeksi, mengobati
13

luka luar, anti tumor, anti oksidan, dan menurunkan kadar gula darah
karena meningkatkan produksi insulin (Hendra, 2005).
Menurut Synytsya et al (2009), jamur tiram atau dikenal dengan
genus Pleurotus merupakan sumber glukan biologis aktif. Secara parsial,
β-glukan dari Pleurotus sp. (pleuran) telah digunakan sebagai suplemen
karena aktivitas imunosupresifnya. Seperti komponen serat makanan,
polisakarida jamur tiram dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme
usus (probiotik), yakni sebagai prebiotik. Glukan biasanya diisolasi dari
bagian batang Pleurotus ostreatus dan Pleurotus eryngii dengan air
mendidih yakni ekstraksi alkali. Kandungan chitin ditemukan dalam
jumlah kecil sebagai komponen dinding sel kompleks kitin-glukan.
Surenjava (2005), menyampaikan hasil penelitiannnya bahwa beta glukan
yang berasal dari jamur shiitake (Lentinus edodes) mempunyai efek anti
tumor. Disebutkan oleh FDA, bahwa beta glukan termasuk kategori
Generally recogniced as safe serta tidak memiliki toksisitas atau efek
samping. β- Glukan memiliki berbagai aktivitas biologis sebagai
antitumor, antioksidan, antikolesterol, anti penuaan dini dan peningkat
sistem imun atau peningkat sistem kekebalan tubuh yang dikenal sebagai
imunomodulator. Selain itu, senyawa ini juga dapat dimanfaatkan sebagai
zat aditif dalam industri makanan.
Tabel 5. Perkiraan kandungan beta-glukan dari tubuh buah dari berbagai
jamur yang diukur dengan metode flurometric (Molleken et al., 2011).
Kandungan total beta-glukan g/100g berat kering
Jenis jamur
KOH- HCl- NaOH- Total
(badan buah)
fraction fraction fraction
Agaricus 1,46 0,72 0,42 2,60
bisporus
Flammulina 4,64 0,87 3,47 8,98
velutipes
Hypsizygus 4,59 0,89 3,62 9,10
tessulatus
Lentinula 4,53 0,56 4,47 9,57
edodes
Pleurotus 2,26 0,78 6,01 9,05
ostreatus
Pleurotus 3,07 0,55 9,84 13,45
eryngii

β -glukan merupakan komponen utama polisakarida yang terdapat


pada dinding sel. Beberapa mikroorganisme, seperti ragi dan
14

jamur/cendawan dan juga sereal seperti gandum dan jelai, mempunyai


nilai ekonomi tinggi karena mengandung sejumlah besar β-glukan. Zat-
zat yang terkandung dapat merangsang sistem kekebalan tubuh,
modulasi imunitas humoral dan selular, dengan demikian memiliki efek
menguntungkan dalam memerangi infeksi bakteri, virus, jamur dan
parasit. β-glukan juga menunjukkan sifat hipokolesterolemik dan sifat
antikoagulan. Akhir–akhir ini telah terbukti sebagai senyawa antisitotoksik,
antimutagenik dan anti-tumorogenic, sehingga dapat diharapkan sebagai
promotor farmakologis kesehatan (Mantovani, 2007). Kelompok
cendawan yang menghasilkan ekstrak beta glukan diantaranya adalah
jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dan jamur shiitake (Lentinus edodes).
Kedua cendawan sudah cukup dikenal luas di masyarakat Indonesia,
harganya terjangkau, dan waktu budidayapun relatif tidak terlalu lama
(Widyastuti, 2009).

B. Tepung Jamur Tiram Putih


1. Proses pembuatan tepung jamur tiram putih
Pembuatan tepung jamur tiram putih pada penelitian ini mengacu
pada metode Widyastuti dan Istini (2004). Jamur tiram putih segar
bagian badan jamur ditimbang sebanyak 300 g dan cuci hingga bersih
yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel
pada jamur tiram putih. Bagian badan jamur lalu dipotong memanjang
dengan ukuran lebar 2-3 cm. Pemotongan bertujuan untuk
mempercepat proses pengeringan. Potongan badan jamur tiram
selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu pengeringan 450C
dengan berbagai taraf lama pengeringan yaitu 20 jam, 24 jam, 28 jam,
dan 32 jam, kemudian pada suhu 500C dengan berbagai taraf lama
pengeringan, selanjutnya pada suhu 550C dengan berbagai taraf lama
pengeringan. Hasil yang diperoleh sebanyak 12 sampel jamur tiram
kering merupakan ulangan pertama, selanjutnya dengan tahap yang
sama dilakukan ulangan kedua dan ketiga. Serbuk badan jamur tiram
putih kering yang diperoleh kemudian digiling sampai halus dengan
blender dan diayak menggunakan ayakan ukuran 80 mesh. Tepung
jamur tiram putih yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat kimia dan
15

fisik. Diagram alir proses pembuatan tepung jamur tiram dapat dilihat
pada Gambar 4.

Tepung Jamur Tiram


Putih

Sortasi (diambil bagian badan


jamur)

Penimbangan 300 g

Pencucian

Pemotongan dengan lebar 2-3 cm

Pengeringan oven (T 450C dan 550C)


T 20 jam, 24 am, 28 jam dan 32 jam)

Pendinginan

Penggilingan (blender) Pengamatan:


Rendemen

Pengayakan (80 mesh) Pengamatan:


Kadar air, protein,
abu, lemak,
Tepung Jamur Tiram
karbohidrat, warna
Putih

Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung jamur tiram (Widyastuti


dan Istini, 2004) yang dimodifikasi.

2. Analisis Kimia Tepung Jamur Tiram Putih


Tepung jamur tiram putih merupakan salah satu bentuk olahan
jamur yang dibuat melalui proses pengeringan dan penggilingan,
dengan tujuan untuk mempertahankan masa simpan jamur. Hasil
analisis tepung jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 6.
16

Tabel 6. Hasil Uji Proksimat Tepung Jamur Tiram Putih


Komponen Hasil Uji Hasil Uji Proksimat
Gizi Proksimat Beberapa Penelitian
Kadar air 8,40% 7,29%*
Kadar abu 6,62% 8,26%*
Kadar protein 19,28% 17,75%*
Kadar lemak 6,23% 1,97%*
Kadar
59,47% 56,6%*
karbohidrat
Kadar serat
16,25% 13,98%***
kasar
Keterangan = * (Ardiansyah, dkk., 2014)
** (Sumarmi, 2006)
*** (Fanggidae, 2008)

Kadar air tepung jamur tiram putih yang diperoleh pada Tabel 6
adalah sebesar 8,40 % sedangkan kadar air tepung yang diperoleh
dari penelitian Ardiansyah dkk. (2014), yaitu sebesar 7,29 %. Kadar
abu tepung jamur tiram yang telah dibuat adalah sebesar 6,62 %
sedangkan menurut penelitian Ardiansyah dkk. (2014), kadar abu
tepung jamur tiram putih yang diperoleh adalah sebesar 8,26 %. Kadar
protein tepung jamur tiram putih yang didapat berdasarkan Tabel 6
adalah sebesar 19,28 %, sedangkan pada penelitian Ardiansyah dkk.
(2014), yaitu sebesar 17,75 %. Kadar lemak tepung jamur yang
diperoleh dalam penelitian adalah 6,23 % sedangkan pada penelitian
Ardiansyah dkk. (2014), yaitu sebesar 1,97 %. Menurut Riansyah dkk.
(2013), semakin tinggi suhu yang digunakan selama proses
pengeringan bahan pangan menyebabkan kadar air menurun namun
kadar lemak semakin meningkat.
Kadar karbohidrat tepung jamur tiram putih berdasarkan Tabel 6
sebesar 59,47 % sedangkan kadar karbohidrat jamur tiram putih segar
menurut Sumarmi (2006), yaitu 56,6 %. Komposisi gizi lain yang
terkandung dalam tepung jamur tiram putih adalah serat pangan. Serat
kasar tepung jamur tiram putih yang diperoleh sebesar 16,25 %
sedangkan menurut Fanggidae (2008), kadar serat kasar jamur tiram
putih segar adalah sebesar 13,98 %.
3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mutu tepung jamur
Daya simpan jamur tiram putih terbilang mudah sekali rusak
setelah dipanen jamur tiram menjadi mudah berubah warna dan keriput.
17

Seperti dikemukakan oleh Arianto dkk. (2009), jamur tiram memiliki umur
simpan yang pendek atau cepat mengalami kerusakan. Produk
hortikultura seperti buah dan sayur adalah produk yang masih melakukan
aktivitas metabolisme setelah dipanen. Kerusakan produk dapat
disebabkan kontaminasi mikroba, pengaruh suhu dan udara, serta kadar
air. Menurut Widyastuti dkk (2012) melalui penelitiannya, jamur tiram
dapat diolah menjadi tepung yang bertujuan agar dapat memperpanjang
daya simpan jamur tiram. Hasil pengeringan yang dilakukan peneliti
dengan suhu 400C selama 24 jam menunjukkan warna tepung yang relatif
putih dan halus. Rata-rata bobot kering tepung jamur tiram putih sekitar
11% dari bobot basah dan cukup mudah untuk dimasukkan ke dalam
kapsul. Proses pengeringan jamur tiram ini memerlukan kombinasi suhu
dan lama pengeringan yang tepat agar menghasilkan output berupa
tepung yang halus dan hasil yang baik. Tepung jamur tiram ini nantinya
dapat diaplikasikan untuk olahan daging tiruan, nugget, sosis, dan flake.
Pada olahan daging tiruan dengan substitusi tepung jamur tiram, daging
tiruan yang dihasilkan tidak mengandung lemak hewani dan tidak
mengandung kolesterol sehingga baik untuk kesehatan (Widyastuti dkk ,
2012).

C. Proses Pengeringan Tepung Jamur Tiram Putih


Pengeringan adalah proses perpindahan atau pengeluaran
kandungan air bahan hingga mencapai kandungan air tertentu.
Pengeringan makanan memiliki dua tujuan utama yaitu sebagai sarana
memperpanjang umur simpan dengan cara mengurangi kadar air
makanan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan
meminimalkan biaa distribusi bahan makanan karena berat dan ukuran
makanan menjadi lebih rendah (Natipulu, dkk.2012; Wicaksono, 2012).
Tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai
batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat
menyebabkan pembusukan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali.
Dengan demikian, bahan yang dikeringkan mempunyai waktu simpan
lebih lama (Adawyah, 2014).
1. Metode Pengeringan
a. Penjemuran
18

Pengeringan dengan sinar matahari langsung sebagai energi


panas. Keuntungannya yaitu biaya murah, sedangkan kelemahan
yang dimiliki yaitu tergantung cuaca, sukar dikontrol, memerlukan
tempat penjemuran, lama dan mudah terkontaminasi
b. Pengeringan Buatan
Pengeringan dengan menggunakan alat pengering dimana suhu,
kelembaban udara, kecepatan udara dan waktu dapat diatur dan
diawasi. Keuntungannya yaitu tidak tergantung cuaca, kapasitas
pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak
memerlukan tempat yang luas, kondisi pengeringan dapat
dikontrol, panen dapat dilakukan lebih awal, masa simpan menjadi
lama, pekerjaan menjadi lebih mudah, dapat meningkatkan nilai
ekonomis bahan. Selain itu, keuntungan pengeringan secara
mekanis adalah :
1. Memungkinkan pengeringan dilakukan di sembarang waktu
tanpa terikat musim tertentu, walaupun hari mendung/hujan,
pengeringan masih dapat dilakukan.
2. Luas areal yang dibutuhkan untuk pengeringan dapat dikurangi,
misalnya dengan memperbanyak rak-rak pengering.
3.Pengaturan suhu dapat lebih mudah sehingga dapat disesuaikan
dengan karakteristik bahan yang dikeringkan. (Rohanah, A.,
2006).
Tabel 7. Jenis-jenis alat pengering, yaitu (Anonim, 2011) :
No Jenis Alat Pengertian
.
1. Spray Dryer Jenis pengering yang digunakan untuk
menguapkan dan mengeringkan larutan
dan bubur (slurry) sampai kering dengan
cara termal, sehingga didapatkan hasil
berupa zat padat yang kering dan dapat
menggabungkan fungsi evaporasi,
kristalisator, pengering, unit penghalus dan
unit klasifikasi.
2. Freeze Suatu alat pengeringan yang termasuk ke
Dryer dalam Conduction Dryer / Indirect Dryer
karena proses perpindahan terjadi secara
tidak langsung yaitu antara bahan yang
akan dikeringkan (bahan basah) dan media
pemanas terdapat dinding pembatas
sehingga air dalam bahan basah/lembab
yang menguap tidak terbawa bersama
19

media pemanas.
3. Rotary dryer Alat pengering yang berbentuk sebuah
drum dan berputar secara kontinyu yang
dipanaskan dengan tungku atau gasifier.
4. Tray Dryer Pengeringan jenis kabinet atau rak adalah
(Pengering dengan meletakkan material yang akan
Kabinet) dikeringkan pada baki yang lansung
berhubungan dengan media pengering.

Produk pangan bubuk biasanya diolah dengan alat yang canggih


seperti freeze dryer dan spray dryer, namun alat ini cukup mahal.
Salah satu teknologi yang dapat menggantikan spray drying dan
freeze drying adalah teknologi foam mat drying atau metode
pengeringan busa (Adawyah, 2014).
2. Pengeringan Busa (Foam-Mat Drying)
Foam-mat drying merupakan metode pengeringan yang
digunakan dalam bidang makanan. Metode ini dapat diaplikasikan di
bidang industri buah dan sayur karena memungkinkan dehidrasi
makanan sensitif panas atau yang sulit kering, lengket tanpa merubah
kualitas bahan. Teknologi ini dapat meningkatkan aplikasi dalam skala
komersial pada bahan cair yang konsentratnya lembut seperti susu ,
buah, jus , larutan kopi dan lainnya (Mujumdar et al, 2010). Foam mat
drying merupakan pengeringan dengan membentuk busa stabil.
Pengeringan dengan mengunakan metode ini memiliki kelebihan
dalam hal mempertahankan karakteristik fungsional bahan karena
suhu yang digunakan relatif rendah (50 - 70ºC) dan waktu pengeringan
yang relatif singkat (Kadam et al., 2011). Metode pengeringan foam
mat drying dapat dipengaruhi oleh bahan pembusa dan waktu
pengeringan. Konsentrasi buih yang semakin banyak akan
meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur berpori pada
bahan sehingga akan meningkatkan kecepatan pengeringan (Fauzi,
2016).
Daya buih dipengaruhi oleh beberapa protein dalam putih telur
yang memiliki kemampuan berbeda-beda. Volume dan kestabilan buih
juga dapat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH maka volume dan
kestabilan buih yang terbentuk akan semakin menurun (Sa’adah,
2007). Menurut Purnamasari (2015), konsentrasi buih yang semakin
banyak akan meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur
20

berpori pada bahan sehingga akan meningkatkan kecepatan


pengeringan.
Teknologi ini dikembangkan pada industri industri pengolahan
tepung karena memiliki kelebihan mampu menjaga bahan dari
kerusakan saat proses pengeringan. Tujuan dari foam-mat drying
adalah memperluas permukaan, menurunkan tegangan permukaan,
meningkatkan rongga, mengembangkan bahan dan mempercepat
penguapan air (Jangam et al. Eds.,2010: 113).
Langkah-langkah penting dalam foam mat drying adalah sebagai
berikut (Mujumdar, 2010):
(a)Pre-treatment dari bahan baku dan persiapan konsentrat cair.
Pre-treatment yang dapat dilakukan yaitu blansing. Blansing
merupakan suatu proses pendahuluan dengan cara pemanasan
atau pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan menggunakan air
panas ataupun uap dengan suhu dibawah 1000C selama beberapa
menit (Estiasih dan Ahmadi, 2009). Tujuan dilakukan blansing
adalah untuk menginaktivasi enzim, membersihkan residu pada
bahan mentah, mengurangi kadar bakteri, memperbaiki tekstur,
terutama untuk bahan yang akan dikeringkan, serta menghilangkan
bau dan cita rasa yang tidak dikehendaki. Selain itu, menurut
Tjahjadi dan Herlina (2011) menyebutkan bahwa tujuan blansing itu
juga untuk melenturkan jaringan bahan, sehingga memudahkan
proses pengisian bahan ke dalam kemasan dan mencegah reaksi
oksidasi yang disebabkan oleh keluarnya udara dalam jaringan
ahan, mengeluarkan gas haisl respirasi, mencegah tekanan pada
kemasan ketika proses sterilisasi agar tidak terlalu tinggi dan
mempermudah proses sortasi berdasar pada berat jenis, serta
membuat bahan yang berwarna hijau akan terlihat lebih cerah.
(b) Konversi dari konsentrat menjadi busa yang stabil dengan foaming
agent yang cocok.
(c) Mengekspos busa dalam bentuk lembaran tipis untuk dehidrasi
atau dengan metode konduksi air panas.
(d) Conditioning dan grinding pada bahan pori yang kering
Makanan yang dikeringkan dengan metode foam-mat drying
mempunyai ciri khas, yaitu struktur remah, mudah menyerap air dan
21

mudah larut dalam air. Keuntungan pengeringan menggunakan


metode foam-mat drying antara lain (Kumalaningsih et al, 2005) :
1. Dengan bentuk busa maka penyerapan air lebih mudah dalam
proses pengocokan dan pencampuran sebelum dikeringkan.
2. Suhu pengeringan tidak terlalu tinggi berkisar antara 50 – 80oC.
3. Bubuk sari buah instan mempunyai kualitas warna dan rasa cukup
bagus, karena dipengaruhi suhu penguapan yang tidak terlalu tinggi
sehingga warna produk tidak rusak, zat aroma dan rasa tidak
banyak yang hilang.
4. Biaya proses pengeringan lebih murah karena energi yang
dibutuhkan untuk pengeringan lebih kecil.
5. Produk lebih stabil selama proses penyimpanan sehingga umur
produk akan lebih tahan lama.
6. Bubuk yang dihasilkan mempunyai kepadatan yang rendah dan
kadar air bubuk berkisar antara 2 -4%.
Menurut Ramadhia et al. (2012) dengan adanya busa maka akan
mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu
tinggi, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 50-
70ºC dapat menghasilkan kadar air 2-3%. Bubuk dari hasil metode
foam-mat drying mempunyai densitas atau kepadatan yang rendah
(ringan) dan bersifat remah. Dalam metode pengeringan busa (foam-
mat drying) digunakan tween 80 digunakan sebagai bahan pembusa
dan gum arabik sebagai bahan pengisi (Iswari, 2016). Menurut
Ramadhia et al. (2012) konsentrasi busa yang semakin banyak akan
meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur berpori pada
bahan sehingga akan meningkatkan kecepatan pengeringan, karena
sistem transportasi dipercepat dalam mengeluarkan air yang terdapat
dalam bahan pada proses penguapan. Nurhasanah (2016)
menyatakan bahwa lapisan pada pengeringan busa lebih cepat kering
dari pada lapisan tanpa busa pada kondisi yang sama. Hal ini
disebabkan cairan lebih mudah bergerak melalui struktur busa dari
pada melalui lapisan padat pada bahan yang sama, keuntungan lain
dari metode pengeringan foam-mat drying adalah menurunkan waktu
pengeringan 1/3 dari waktu yang digunakan.
22

Pengeringan foam-mat drying menggunakan alat berupa oven


yang dapat diatur suhunya. Pengeringan dengan busa ini digunakan
untuk mengeringkan cairan yang sebelumnya telah dijadikan busa
terlebih dahulu dengan jalan dikocok dan memberikan zat pembuih
dalam jumlah kecil ke dalam cairan (Kadam dan Balasubramanian.,
2011). Pembentukan busa suatu cairan menciptakan permukaan yang
lebih luas, sehingga pengeluaran air menjadi lebih cepat, selain itu
juga memungkinkan penggunaan suhu pengeringan yang lebih
rendah. Keuntungan pengeringan menggunakan metode foam-mat
drying menurut Falade dan Onyeoziri (2012) adalah penyerapan air
lebih mudah dalam proses pengocokan dan pencampuran sebelum
dikeringkan, suhu pengeringan tidak terlalu tinggi (50ºC-70ºC ), bubuk
mempunyai kualitas warna dan rasa yang bagus, bubuk yang
dihasilkan mempunyai densitas yang rendah (ringan) dan dengan
adanya gelembung gas yang terkandung pada produk kering
memudahkan untuk dilarutkan dalam air, biaya pembuatan bubuk
dengan menggunakan metode foam mat drying lebih murah
dibandingkan dengan metode vakum atau freeze drying.
a. Pembentukan Foam
Pembentukan busa tergantung pada banyak parameter seperti
sifat cairan yang berbusa, metode berbusa dan kondisi berbusa (Pugh,
2001). Dalam pembentukan busa tiga tahap yang terlibat (Kinsella,
1981). Pertama, protein larut berdifusi ke antarmuka air atau udara,
untuk mengurangi tegangan permukaan. Kedua, protein pada
antarmuka dengan orientasi gugus polar terhadap air, ada orientasi
kelompok hidrofilik dan hidrofobik pada fase berair dan tidak berair.
Ketiga, polipeptida berinteraksi untuk membentuk lapisan dengan
kemungkinan denaturasi parsial dan koagulasi. Protein cepat
menyerap di antarmuka dan membentuk sebuah lapisan untuk
menstabilkan sekitar gelembung yang menaikan pembentukan busa.
Fungsi dasar protein dalam busa adalah untuk menurunkan tegangan
antar muka, untuk meningkatkan sifat kental dan elastis dari fase cair
dan membentuk lapisan yang kuat. Protein memiliki kemampuan untuk
menyerap di antarmuka dan mengurangi tegangan permukaan.
Tegangan permukaan pada antarmuka gascair dipengaruhi oleh suhu;
23

semakin tinggi suhu, semakin rendah tegangan permukaan akibat


perubahan bentuk protein (Purdon, 1980).
Perubahan mulai terjadi ketika terbentuk gelembung udara
(Walstra, 1989):
1. Gelembung kecil akan larut, sementara yang lebih besar dapat
membentuk gelembung yang lebih besar pula, dengan difusi gas
melalui fase kontinyu. Ini disebut disproporsionasi. Disproporsionasi
terjadi sebagai akibat dari perpindahan gas dari kecil ke gelembung
yang lebih besar. Ini hasil dari tekanan gas yang lebih tinggi dalam
gelembung kecil karena perbedaan tekanan Laplace yang lebih
tinggi (Dp) di atas permukaan gelembung. Sebagai akibat dari
peningkatan tekanan di dalam gelembung kecil, kelarutan gas juga
meningkat (Walstra, 2003).
2. Pembentukan gelembung secara cepat, sehingga menyebabkan
pemisahan menjadi lapisan busa di atas bulk liquid.
3. Gelembung bertumbukan satu sama lain, yang mengarah ke busa
polyhedral.
4. Pengeringan cairan dari busa ke bulk.
5. Dinding gelembung antara busa gelembung pecah, menyebabkan
perpaduan gelembung antara satu dengan yang lain.
Peristiwa ini digambarkan pada Gambar 5.

Foam Bubble Thin Film Interface

5 cm 1 mm 500 nm 5 nm

Gambar 5. Struktur foam di berbagai skala panjang, mulai dari sebelah kiri
pada maskroskopik dan penurunan secara bertahap ke nanometric (Anne-
Laure et al, 2014).
Struktur busa tergantung pada ukuran gelembung dan fraksi cair.
Struktur ini mulai dari skala panjang pada skala molekul (nm) dan naik
ke skala makroskopis (Gambar 5). Mulai skala panjang yang paling
kecil, pada skala nanometer, ada antarmuka gas-cair dimana stabilisator
teradsorpsi. Dimana dua antarmuka berada di dekat ada lapisan-lapisan
24

tipis yang memisahkan gelembung. Jika diperbesar, pada ukuran


mikrokopis, pada lapisan-lapisan tipis bergabung membentuk Plateau
Borders (PBs), yang membentuk cairan utama yang saling berhubungan
(Anne-Laure et al, 2014).

3. Zat Pengembang (Foaming Agent)


Zat pengembang memiliki tujuan untuk memperbesar pori-pori dari
bubur yang dibuat sehingga volumenya dapat bertambah kurang lebih
tiga kali dari volume semula. Zat pengembang menyebabkan bahan
menjadi lebih peka terhadap panas yang berlebih. Selain itu dengan
menambahkan sedikit zat pengembang mempercepat dalam proses
pengeringan. Zat pengembang memiliki kesamaan dengan foaming
agent yaitu sebagai emulsifier, tujuannya untuk memperbesar pori-pori
dari bubur yang dibuat sehingga volumenya dapat bertambah kurang
lebih tiga kali dari volume semula. Menurut Jangam et al.,
(Eds.,2010:117) salah satu jenis foaming agent yang digunakan untuk
metode foam mat drying adalah monogliserida, metil selulosa dan
glycerol monostearat (GMS). Terdapat bermacam-macam foaming
agent yang digunakan dalam metode foam-mat drying, diantaranya
pada penelitian tentang pengeringan jambu biji dengan metode foam
mat drying, foaming agent yang digunakan adalah putih telur, gliserin
dan soda kue. Foaming agent paling baik adalah putih telur karena
nilai laju pengeringan paling cepat dan penambahan putih telur 10-
20% (Endah et al., 2006).
Putih Telur (Albumin)
Albumin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kesegala
jenis protein monomer yang larut dalam air atau garam dan mengalami
koagulasi saat terpapar panas. Substansi yang mengandung albumin,
seperti putih telur disebut albuminoid. Dimana albumin  berfungsi untuk
mengikat sari buah sehingga dapat mempercepat proses pengikatan
antara partikel sari  buah dan membentuk busa. Sedangkan Tween 80
adalah ester asam lemak polioksi etilen sorbitan, dengan nama kimia
polioksi etilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah
C64H124O26 (Maulida, 2017).
25

Putih telur merupakan salah satu jenis bahan yang dapat


berperan sebagai agen pembusa. Buih putih telur merupakan bagian
dari telur yang mengandung 5 protein, yaitu ovalbumin 54%,
konalbumin 13%, ovomukoid 11%, lisozim 3,5 %, ovumucin 1,5% dan
protein lain 17%. Busa dibentuk oleh beberapa protein dalam putih
telur yang mempunyai kemampuan dan fungsi yang berbeda-beda.
Pertama, ovomucin mampu membentuk lapisan atau film yang tidak
larut dalam air dan dapat menstabilkan busa yang terbentuk.
Ovomucin adalah protein yang bersifat menstabilkan buih. Kedua,
globulin mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kekentalan dan
menurunkan kecenderungan pemisahan cairan dari gelembung
udara. Ketiga, ovalbumin adalah salah satu jenis protein dalam putih
telur yang terbanyak , mempunyai kemampuan membentuk buih
(Alleoni dan Antunes, 2004).
Egg Albumen (EA) adalah foaming agent alami dan mudah
didapatkan yang mempunyai sifat berbusa baik. Egg Albumin sebagai
foaming agent membantu dalam pembentukan pori yang dapat
meningkatkan luas permukaan untuk pengeringan (Kudra dan Ratti
2006). Pada Tabel 8. menunjukkan kandungan nutrisi telur. Pada
Tabel 9. dapat dilihat bahwa busa putih telur kaya albumen (putih
telur protein), yang memainkan peran utama dalam memberikan busa
yang relatif stabil. Protein adalah salah satu alasan utama untuk busa
relatif stabil dan produktif, seperti protein yang akan diserap di
antarmuka udara-cair (Alleoni dan Antunes, 2004; Foegeding et al.
2006).Foaming agent yang baik harus ditandai dengan fleksibilitas
yang baik dari molekul bahannya (Miquelim et al., 2010).
Tabel 8. Egg white protein (Li-Chan et al, 1995; Froning, 1998)
Protein % of albumen Caracteristic
proteins
Ovalbumin 54 Phosphoglycoprotein
Ovotranferrin 12 Binds metallic ions
(Conalbumin)
Ovomucoid 11 Inhibits trypsin
Ovomucin 3,5 Sialoprotein, viscous
Lysozyme 3,4 Lyzes proteins
Globulins 8,0 ---
Ovoinhibitor 1,5 Inhibits serine proteases
Ovoglycoprotein 1,0 Sialoprotein
Ovoflavoprotein 0,8 Binds riboflavin
26

Ovomacroglobuli 0,5 Strongly antigenic


n
Cystatin 0,005 Inhibits thiol proteases
Avidin 0,005 Binds biotin

Tabel 9. Nutrient Composition of egg (per 100 g) (Britannica, 2007)


Whole egg Egg white Egg yolk
Energy, kcal 149 50 358
Water, g 75,33 87,81 48,81
Protein, g 12,49 10,52 16,76
Fat, g 10,02 0 30,87
Cholesterol, mg 425 - 1,281
Carbohydrate, g 1,22 1,03 1,78
Vitamin A, IU 635 - 1,945
Riboflavin, mg 0,508 0,452 0,639
Calcium, mg 49 6 137
Phosphorus 178 13 488

4. Bahan Pengisi dalam Pengolahan Foam Mat Drying


Bahan pengisi yang digunakan adalah dekstrin dan Tween 80
sebagai bahan pembusa. Dekstrin memiliki sifat-sifat antara lain
mengalami proses dispersi yang cepat, memiliki daya larut yang tinggi,
mampu membentuk film, memiliki sifat higroskopis yang rendah,
mampu membentuk body, sifat browning rendah, mampu menghambat
kristalisasi dan memiliki daya ikat yang kuat (Hui, 1992). Tween 80
berfungsi untuk memperbanyak terbentuknya busa serta menurunkan
tegangan permukaan antara dua fasa (Prasetyo dan Vincentius, 2005).
Busa yang terbentuk tersebar sebagai lembaran tipis dan terkena
aliran udara panas sampai dikeringkan ke tingkat kelembaban yang
dibutuhkan (Rajkumar, 2007). Dalam pengolahan tepung jamur tiram
putih dibutuhkan adanya bahan pengisi (filler) yaitu maltodekstrin.
Maltodekstrin
Bahan pengisi yang digunakan yaitu maltodekstrin adalah
golongan karbohidrat dengan  berat molekul tinggi yang merupakan
modifikasi pati dengan asam maltodekstrin mudah larut dalam air, lebih
cepat terdispersi, tidak kental, serta lebih stabil dari  pada pati.
Pemanfaatan maltodekstrin dalam industri antara lain sebagai bahan
pengisi pada produk–produk tepung karena dapat meningkatkan berat
produk dalam  bentuk bubuk, dapat menahan air, menambah
27

viskositas dan tekstur, tanpa menambah kemanisan pada produk.


(Isnaeni, 2016).
Maltodekstrin mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi, tidak
kental, serta lebih stabil dari pada pati. Fungsi maltodekstrin adalah
sebagai pembawa bahan pangan yang aktif seperti bahan flavour dan
perwarna yang memerlukan sifat mudah larut air dan bahan pengisi
(filler) karena dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk
(Ribut dan Kumalaningsih, 2004). Sifat-sifat yang dimiliki
maltodekstrin antara lain mengalami proses dispersi yang cepat,
memiliki daya larut yang tinggi, mampu membentuk film, memiliki sifat
higroskopis yang rendah, mampu membentuk body, sifat browning
rendah, mampu menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat yang
kuat (Srihari, 2010). Kestabilan busa pada metode foam-mat drying
adalah pada suhu pengeringan antara 50-80oC serta penambahan
maltodekstrin (5,0-15%) untuk memberikan pengaruh yang paling baik
terhadap produk yang dihasilkan (Febrianto et al., 2012).
Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang
mengandung unit α-D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui
ikatan 1,4 glikosidik. Maltodekstrin pada dasarnya merupakan
senyawa hidrolisis pati yang tidak sempurna, terdiri dari campuran
gula-gula dalam bentuk sederhana (mono dan disakarida) dalam
jumlah kecil, oligosakarida dengan rantai pendek dalam jumlah relatif
tinggi serta sejumlah kecil oligosakarida berantai panjang (Derosya
dan Kasim 2017). Rumus umum maltodekstrin adalah
[(C6H10O5)nH2O)] (Marta et al. 2017). Maltodekstrin dengan DE
yang rendah (kurang dari 10) bersifat non-higroskopis dan mempunyai
sifat gel yang dapat lumer serta bersifat thermoreversible, sehingga
dapat diaplikasikan sebagai pengganti lemak dalam produk pangan
(Husniati 2010). Maltodekstrin merupakan salah satu turunan pati
yang dihasilkan dari proses hidrolisis parsial oleh enzim α-amilase
yang memiliki nilai Dextrose Equivalent (DE) kurang dari 20.
Maltodekstrin memiliki mouthfeel yang lembut dan mudah dicerna.
Harga DE (Dextrose Euquivalent) hanya memberi gambaran tentang
kandungan gula pereduksi. Pada hidrolisis sempurna (pati seluruhnya
dikonversikan menjadi dekstrosa) nilai DE-nya 100 sedangkan pati
28

yang sama sekali tidak terhidolisis DE-nya 0. Nilai DE maltodekstrin


berkisar antara 3-20. Maltodekstrin dengan DE yang rendah bersifat
non-higroskopis, DE yang rendah menunjukkan kecenderungan
rendahnya penyerapan uap air. Maltodekstrin dengan DE tinggi
cenderung menyerap air (higroskopis) (Luthana, 2008). Struktur
maltodekstrin tergantung dari sumber botaninya, karena masing-
masing mempunyai sifat fisika dan kimia yang berbeda (Marta et al.
2017). Salah satunya adalah produk dari modifikasi pati singkong
(tapioka).
Struktur kimia maltodekstrin ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Struktur Maltodekstrin (Rowe et al. 2009).

Definisi lain tentang Dextrose Equivalent (DE) adalah besaran


yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati
dalam satuan persen. DE berhubungan dengan derajat polimerisasi
(DP). DP menyatakan jumlah unit monomer dalam satu molekul. Unit
monomer dalam pati adalah 18 glukosa sehingga maltose memiliki DP
2 dan DE 50 (Wurzburg, 1989 disitasi oleh Subekti, 2008).
Maltodekstrin harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan yaitu
susut pengeringan < 6%, sisa pemijaran < 0,5% dan pH antara 4-7.
Maltodekstrin sangat banyak aplikasinya, seperti halnya pati,
maltodekstrin merupakan bahan pengental sekaligus dapat sebagai
emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah bahan tersebut dapat
dengan mudah melarut pada air dingin, kelebihan lainnya adalah
maltodekstrin merupakan oligosakarida yang tergolong dalam
prebiotik. Aplikasinya penggunaan maltodekstrin contohnya pada
29

minuman susu bubuk, minunan berenergi (energen) dan minuman


prebiotik. Sifat-sifat yang dimiliki maltodekstrin antara lain mengalami
memiliki sifat daya larut yang tinggi, memiliki sifat membentuk film,
membentuk sifat higroskopis yang rendah, memiliki sifat browning
yang rendah, dapat menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat
kuat (Luthana, 2008).
Produk hasil hidrolisis enzimatis pati mempunyai karakteristik
yaitu tidak higroskopis, meningkatkan viskositas produk, mempunyai
daya rekat, dan ada yang dapat larut dalam air seperti laktosa
(Anonim, 2006). Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa
hasil hidrolisis pati yang tidak sempurna atau disebut hidrolisis parsial,
yang terdiri dari campuran gula-gula dalam bentuk sederhana (mono-
dan disakarida) dalam jumlah kecil, oligosakarida dengan rantai
pendek dalam jumlah relatif tinggi serta sejumlah kecil oligosakarida
berantai panjang (Luthana, 2008). Maltodekstrin juga salah satu jenis
bahan pengganti lemak berbasis karbohidrat yang dapat diaplikasikan
pada produk frozen dessert seperti es krim, yang berfungsi
membentuk padatan, meningkatkan viskositas, meningkatkan tekstur,
dan meningkatkan kekentalan (Chakraborty, 2017). Adapun
spesifikasi maltodekstrin dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 10. Spesifikasi maltodekstrin (Gibson, 2004)
Kriteria Spesifikasi
Kenampakan Bubuk putih agak kekuningan
Bau Bau seperti malt-dekstrin
Rasa Kurang manis, hambar
Kadar air 6%
DE (Dextrose Euquivalent) 10-20%
Ph 4,5-6,5
Sulfated ash 0,6% (maksimum)
Total Plate Count (TPC) 1500/g

D. Parameter Kualitas Tepung Jamur Tiram Putih


1. Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam
bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu
karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air
dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan
pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran
30

dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi
mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk
berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan
pangan. Pada metode foam mat drying hal yang sangat berpengaruh
terhadap kadar air adalah penambahan bahan pembusa, suhu
pengeringan, dan lama pengeringan. Kadar air yang rendah akan
menghasilkan produk bubuk yang remah dan lebih tahan lama.
Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang
menunjukan banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar
air biasanya dinyatakan dengan persentase berat air terhadap bahan
basah atau dalam gram air untuk setiap 100 gram bahan yang
disebut dengan kadar air basis basah (bb). Berat bahan kering atau
padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan
beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap atau konstan
(Safrizal, 2010).
Pengertian kandungan air meliputi : (Suyitno, hal.69)
1. Kandungan air, jumlah air yang terdapat dalam bahan dan
dinyatakan dalam persen basis basah (wet basis) atau basis
kering (dry basis). Kadar air dala wet basis maksimum teoritis
adalah < 100%. Sedang kadar air dry basis dapat >100%.
2. Kandungan air keseimbangan, yaitu kandungan air didalam bahan
yang berada dalam keseimbangan termodinamik dengan kondisi
udara sekeliling dan dinyatakan dalam persen basis basah dan
basis kering.
Kandungan air keseimbangan suatu bahan merupakan fungsi
dari temperatur dan kelembaban relatif udara sekitarnya. Pengukuran
kandungan air keseimbangan sama dengan pengukuran kandungan
air, perbedaannya yaitu bahan yang akan diukur harus sudah berada
dalam keseimbangan. Dengan keadaan udara disekitarnya dengan
cara mengalirkan udara sampai dicapai keseimbangan termodinamik.
Bila jenis bahan basah dikeringkan, berarti terjadi penguapan air dari
bahan itu melewati permukaannya. Penguapan air ini terhenti bila
tingkat kebasahan permukaan samadengan kebasahan udara
sekitarnya. Tidak ada lagi sejumlah energi yang bisa berpindah dari
luar kedalam ataupun sebaliknya. Namun walau sudah dikeringkan
31

hingga bahan mencapai kadar air yang minimum, kadar airnya pun
akhirnya bisa meningkat lagi bila kontak dengan udara yang
kebasahannya tinggi untuk menjadi seimbang. Keadaan inilah yang
disebut kadar air keseimbangan. Berbagai cara diketahui untuk
menentukan kandungan air secara kuantitatif.
Pemilihan cara untuk menentukan kandungan air dari suatu
bahan tergantung dari beberapa faktor:
a. Bentuk dari air yang terkandung pada bahan (cair atau uap)
b. Hakekat dari bahan (mudah dioksidasi atau mudah hancur)
c. Kandungan relatif pada bahan
d. Kecepatan penentuan yang diinginkan
e. Ketelitian yang diinginkan.
Penambahan partikel padatan seperti maltodekstrin didalam
adonan dapat mempercepat waktu pencapaian kadar air
kesetimbangan (konstan), karena peningkatan konsentrasi
maltodekstrin mengakibatkan penurunan kadar air (Ramadhia et al.,
(2012).
2. Daya Serap Air
Daya serap air atau indeks penyerapan air adalah sifat suatu
bahan untuk dapat berinteraksi dengan air. Makin besar daya serap
air suatu bahan, makin sempurna pula proses pengolahan yang
dilakukan terhadap bahan tersebut. Hal ini dicirikan dengan
konsistensi serbuk halus, bebas dari gumpalan-gumpalan, serta
mudah disendok (Mayasari dan Zakaria, 2001). Menurut Endriyani
(2012) yang mneyatakan bahwa kemampuan menyerap air pada
produk berhubungan dengan kemampuan mengikat air bahan
pengikat yang digunakan.
Menurut Taruna et al., (2014), daya serap air suatu bahan
umumnya tergantung pada sifat fisikokimia dan komposisi dari bahan
tersebut. Daya serap air suatu bahan dipengaruhi oleh komponen-
komponen penyusunnya seperti protein dan karbohidrat (Mirdhawati,
2004). Selain itu, Astawan dan Hazmi (2016) juga menyatakan bahwa
kandungan asam glutamat, asam aspartat dan lisin dapat
meningkatkan kemampuan daya serap air.
3. Densitas Kamba (bulk density)
32

Densitas kamba (bulk density) adalah massa partikel yang


menempati suatu unit volume tertentu (Gilang et al., 2013). Densitas
kamba ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan
merupakan hasil pembagian dari berat bubuk dengan volume wadah
(Kuswandari et al., 2013). Densitas kamba merupakan salah satu
indikator keberhasilan dari produk makanan bubuk atau padatan
(Handayani et al., 2014). Densitas kamba merupakan salah satu
parameter mutu fisik untuk melihat banyaknya massa yang dapat
dikemas dalam volume tertentu. Semakin kecil nilai densitas kamba,
artinya semakin besar volume serbuk dibandingkan massa serbuk.
Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk
mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu proses produk atau
bahan. Perhitungan rendemen berdasarkan presentase perbandingan
antara berat akhir dengan berat awal proses. Semakin besar
rendemennya maka semakin tinggi pula nilai ekonomis produk
tersebut, begitu pula nilai efektivitas dari produk tersebut (Cucikodana
et al., 2012).
4. Warna
Warna merupakan salah satu faktor sensori yang mempengaruhi
penerimaan produk pangan. Penentuan mutu bahan makanan pada
umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor di antaranya cita
rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya, disamping itu ada faktor lain,
misalnya sifat mikrobiologis. Sebelum faktor-faktor lain
dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan
kadang-kadang sangat menentukan (Rochmawati, 2016). Warna
bahan pangan secara alami disebabkan oleh senyawa organik yang
disebut pigmen. Pengukuran warna secara visual atau kualitatif sulit
dilakukan karena indera penglihatan manusia sulit untuk
membedakan perbedaan warna yang sedikit. Pengukuran warna
produk pertanian dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang
bernama colour meter. LAB merupakan model warna yang dirancang
untuk menyerupai persepsi penglihatan manusia dengan
menggunakan tiga komponen yaitu L* sebagai luminance
(pencahayaan) dan a* dan b* sebagai dimensi warna yang
berlawanan. Perancangan sistem aplikasi ini menggunakan model
33

warna LAB pada proses segmentasi dan proses color moments. LAB
dapat memberikan pandangan serta makna dari setiap dimensi yang
dibentuk, yaitu besaran L* untuk mendeskripsikan kecerahan warna, 0
untuk hitam dan 100 untuk putih. Dimensi a* mendeskripsikan jenis
warna hijau-merah, dimana angka negatif a* mengindikasikan warna
hijau dan sebaliknya a* positif mengindikasi warna merah. Dimensi b*
untuk jenis warna biru-kuning, dimana angka negatif b* 14
mengindikasikan warna biru dan sebaliknya b* positif
mengindikasikan warna kuning (Carvalho et al., 2015).
Menurut Widyastuti dkk (2012) melalui penelitiannya, jamur tiram
dapat diolah menjadi tepung yang bertujuan agar dapat
memperpanjang daya simpan jamur tiram. Hasil pengeringan yang
dilakukan peneliti dengan suhu 400C selama 24 menunjukkan warna
tepung yang relatif putih dan halus. Menurut penelitian Ardiansyah et
al., (2014) menunjukkan bahwa warna tepung jamur tiram paling putih
terdapat pada perlakuan kontrol dengan karakteristik warna putih 7
(4.34). Penyerapan air yang besar pada proses pengeringan tepung
jamur tiram akan mengakibatkan penyusutan volume yang lebih besar
dan menyebabkan intensitas peningkatan warna coklat pada tepung
jamur tiram yang dihasilkan.
5. Aktivitas Air (Aw)
Menurut Taib et al. (1988 : 9) aktivitas air atau water activity (aw)
adalah jumlah air bebas bahan yang dapat digunakan mikroba untuk
pertumbuhannya. Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan,
maka sebagian air pada bahan dihilangkan sehingga mencapai kadar
air tertentu. Daya tahan bahan dipengaruhi oleh jumlah kandungan
air pada bahan sehingga tidak ada mikroba yang bisa hidup pada
bahan.
Aktivitas air disebut juga perbandingan antara tekanan uap air
suatu larutan dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama.
Untuk memperpanjang daya tahan bahan suatu bahan, sebagian air
dalam bahan harus dihilangkan dengan beberapa cara tergantung
dari jenis bahan. Untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
6. Kadar Protein
34

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldhal. Prinsip


pengujian kadar protein ini, yaitu oksidasi bahan-bahan berkarbon
dan konversi nitrogen menjadi ammonia oleh asam sulfat, kemudian
amonia akan bereaksi dengan kelebihan asam yang membentuk
ammonium sulfat. Amonium yang diuapkan akan diikat dengan asam
borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan ditentukan jumlahnya
dengan titrasi menggunakan larutan baku asam.
7. Kadar protein Terlarut (Metode Lowry: Sudarmadji dkk., 1997)
Uji kadar protein terlaurt pada tepung jamur tiram menggunakan
metode Lowry. Prinsip dari metode ini yaitu adanya reaksi antara
Cu2+ dengan ikatan peptide dan reduksi asam fosmolibdat dan asam
fosfotungsat oleh tirosin dan triptofan yang merupakan residu protein
yang akan menghasilkan warna biru. Kadar protein terlarut ditentukan
menggunakan kurva standar.

E. Analisis Keputusan
Keputusan merupakan tindakan untuk memilih satu alternatif pilihan
atau solusi untuk mewujudkan keinginan. Pengambilan keputusan
meliputi tujuan (objective) yang akan diraih, keterbatasan atau
kelangkaan (constraints/ scarcity) yang menjadi hambatan utama
pencapaian tujuan, faktor ketidakpastian dan resiko (uncertanty and risk),
tingkat preferensi atas masalah dan tujuan (optimalisation or satisfaction),
keharusan untuk menentukan alternatif tindakan atau pilihan solusi
(alternative solutions), keberadaan konsekuensi atas setiap alternatif
solusi (consequences), kriteria penentuan alternatif yang sesuai antara
hal yang diharapkan dengan kenyataan (Dermawan, 2005).
Analisis keputusan adalah dasar untuk memilih penentuan alternatif
terbaik. Setiap alternatif yang diperkirakan ditetapkan untuk memiliki hasil
yang diperkirakan. Keputusan yang dilakukan adalah dengan evaluasi
nilai numeris, evaluasi ini umumnya diekspresikan melalui nilai financial,
maka yang dilakukan adalah dengan membandingkan aspek kualitas,
kuantitas, dan aspek finansial (Dermawan, 2005).

F. Landasan Teori
Mekanisme Putih Telur sebagai Foaming Agent
35

Agen pembusa adalah bahan surfaktan yang dapat mengurangi


tegangan permukaan antara dua cairan atau antara cairan dan padatan
dan memfasilitasi untuk pembentukan busa. Agen pembusa yang baik
harus mampu mengadsorpsi dengan mudah di antar permukaan air
dengan air, mengurangi ketegangan permukaan, dapat berinteraksi
secara timbal balik di antara protein yang ada pada permukaan dan
membentuk film kohesif yang kuat. Protein dapat membentuk busa yang
baik dan stabilitas busa tinggi melalui hidrofobisitasnya yang
memungkinkan adsorpsi cepat antar permukaaan air-udara yang
mengarah pada pembentukan lapisan teradsorpsi elastis yang koheren
(Sangamithra et al., 2014). Agen pembusa protein yang paling banyak
digunakan adalah putih telur, gelatin, protein susu seperti kasein, protein
whey dan protein kedelai. Menurut Sangamithra et al., (2014), protein
yang dapat digunakan sebagai agen pembusa harus memiliki sifat-sifat
berikut ini :
a. Menstabilkan busa secara efektif dan cepat pada konsentrasi rendah
b. Dapat diaplikasikan secara efektif pada rentang pH yang ada di
berbagai makanan.
c. Dapat diaplikasikan dengan efisien dalam suatu medium dengan
penghambat busa seperti lemak, alkohol atau zat perasa.
Mekanisme terbentuknya buih diawali dengan terbukanya ikatan-
ikatan molekul protein sehingga rantainya menjadi lebih panjang. Tahap
selanjutnya adalah proses adsorpsi yaitu pembentukan monolayer atau
film dari protein yang terdenaturasi. Udara ditangkap dan dikelilingi oleh
film dan membentuk gelembung. Pembentukan lapisan monolayer kedua
dilanjutkan di sekitar gelembung untuk mengganti bagian film yang
terkoagulasi. Film protein dari gelembung yang berdekatan akan
berhubungan dan mencegah keluarnya cairan. Putih telur yang terlalu
lama dikocok atau direnggangkan seluas mungkin akan menyebabkan
hilangnya elastisitas (Stadelman dan Cotterill, 1995 dalam Djaeni dkk.,
2016). Berikut merupakan gambaran mekanisme terbentuknya buih atau
busa pada putih telur yang dapat dilihat pada Gambar 9.
36

PROTEIN

IKATAN PROTEIN MEMANJANG


DAN TERBUKA
PEMBENTUKAN
LAPISAN TIPIS

MENANGKAP UDARA

PERBAIKAN
BUIH

TIRISAN
GEL. BUIH
PECAH
Gambar 9. Mekanisme pembentukan busa putih telur (Stadelman dan
Cotterill, 1995 dalam Djaeni dkk., 2016

Mengetahui reologi dan struktur busa dapat membantu


memahami mekanisme perpindahan panas dan massa selama proses
foam mat drying. Dengan demikian, aspek-aspek karakterisasi busa dapat
dikaji secara mendalam untuk mengoptimalkan proses (Narindra et al,
2006).
Mekanisme Maltodekstrin sebagai Bahan Pengisi
Mekanisme kerja penstabil yaitu ketika buih telah terbentuk,
dekstrin yang bersifat hidrofilik akan mengikat air yang terdapat dalam
bahan juga air terdispersi dalam gas pada telur. Akibat berkurangnya
kadar air, buih akan menjadi kental sehingga proses  penguapan akan
lebih cepat. Dekstrin juga berfungsi untuk mengcoat atau melapisi buih
sehingga menjadi lebih stabil, pada saat proses pemanasan uap air akan
teruapkan tetapi warna, dan aroma tidak mengalami retensi akibat adanya
lapisan dekstrin yang menahan dinding permukaan buih. (Isnaeni, 2016).

G. Hipotesis
Diduga tepung jamur tiram putih dengan menggunakan konsentrasi
putih telur dan maltodekstrin memberikan karakteristik fisikokimia dan
hasil tepung terbaik.
37

BAB III
BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penyediaan


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan,
Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, dan Laboratorium
Mikrobiologi Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Penelitian ini dimulai pada
bulan Januari hingga Mei 2020.
B. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung jamur adalah jamur
tiram putih segar (Pleuorutus ostreatus) yang diperoleh dari pasar
Soponyono, Kota Surabaya. Bahan untuk analisis tepung jamur tiram
putih, yaitu aquades, K2SO4, CuSo4, H2SO4, NaOH 40%, H3BO3, HCl,
Na2CO3, follin,Na K-Tartrat, BSA (Bovine Serum Albumine), heksan,
methyl blue, dan kertas saring.
C. Alat Penelitian
Alat–alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat untuk
pengolahan dan alat untuk analisis. Alat untuk proses pengolahan
meliputi oven, ayakan 60 mesh, loyang, mixer, pisau stainless steel,
blender dan sendok. Alat untuk analisis meliputi neraca analitik, tanur,
labu lemak, loyang, cabinet dryer, pipet mikro, spektrofotometer UV-VIS,
labu Kjeldhal, colour reader, sentrifuse, penangas air, desikator, cawan
porselen, nampan, pipet volume, dan alat-alat gelas.
D. Metodologi Penelitian
1. Rancangan Percobaan
Penelitian utama dilakukan dalam Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktorial dengan dua faktor dan dua ulangan. Faktor pertama
adalah lama pengeringan yang terdiri dari tiga taraf yaitu 5,5 jam, 6
jam dan 6,5 jam. Faktor kedua adalah pencampuran antara putih telur
(P) dan maltodekstrin (M) yang terdiri dari 3 taraf yaitu PM1 (10%:10%
b/vpasta jamur ), PM2 (12,5%:15% b/vpasta jamur ) dan PM3 (15%:20% b/vpasta
jamur ). Kesamaan ragam antar perlakuan diuji dengan uji Bartlet dan
kenambahan data diuji dengan uji Tuckey. Data yang diperoleh
dianalisis dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. Tepung
38

jamur dengan enam taraf perlakuan diamati karakteristik kimia dan


organoleptiknya.
Metode linear dari Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
digunakan adalah:
Yij = µ + Pi + Eij
Keterangan:
Yij = Pengaruh perlakuan yang terletak pada ulangan ke (1,2)
µ = Nilai rata-rata umum
Pi = Pengaruh perlakuan ke-i
Eij = Pengaruh sisa pada percobaan yang mendapat perlakuan ke-i
yang terletak pada ulangan ke-j
i = Banyak perlakuan
j = Banyaknya ulangan (1,2)
2. Peubah Penelitian
a. Peubah Berubah
1) Faktor I : Perbedaan konsentrasi maltodekstrin (bahan filler)
A1 = 10%
A2 = 15%
A3 = 20%
2) Faktor II : Formulasi bahan pengisi dari putih telur (foaming agent)
B1 = 6%
B2 = 8%
B3 = 10%
Kombinasi dari kedua peubah berubah di atas menghasilkan 15
kombinasi perlakuan, sebagai berikut:

Formulasi bahan Formulasi bahan pengisi


filler B1 B2 B3
A1 A1B1 A1B2 A1B3
A2 A2B1 A2B2 A2B3
A3 A3B1 A3B2 A3B3

Keterangan :
A1B1 = Jamur tiram putih dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak
10% dan putih telur sebanyak 6%.
39

A1B2 = Jamur tiram putih dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak


10% dan putih telur sebanyak 8%.
A1B3 = Jamur tiram putih dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak
10% dan putih telur sebanyak 10%.
A2B1 = Jamur tiram putih dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak
15% dan putih telur sebanyak 6%.
A2B2 = Jamur tiram putih dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak
15% dan putih telur sebanyak 8%.
A2B3 = Jamur tiram putih dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak
15% dan putih telur sebanyak 10%.
A3B1 = Jamur tiram putih dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak
20% dan putih telur sebanyak 6%.
A3B2 = Jamur tiram putih dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak
20% dan putih telur sebanyak 8%.
A3B3 = Jamur tiram putih dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak
20% dan putih telur sebanyak 10%.
b. Peubah Tetap
1. Proses pengeringan jamur tiram putih dengan suhu 65ºC selama 5,5
jam.
2. Berat jamur tiram putih 100 gr
3. Blansing dengan penambahan air bersuhu 700C selama 3 menit.
4. Penghancuran jamur tiram putih dengan blender selama 1 menit.
3. Parameter yang Diamati
a. Jamur Tiram Putih
1. Kadar Betaglukan (Kusmiati et al., 2011)
2. Kadar Karbohidrat (Andarwulan dkk., 2011)
3. Kadar Protein (Sudarmadji dkk., 1997)
4. Kadar Lemak (AOAC, 2005)
b. Tepung Jamur Tiram Putih
1. Kadar Protein Terlarut (Sudarmadji, 1997)
2. Kadar Protein (Sudarmadji dkk., 1997)
3. Aktivitas Air
4. Warna dan Derajat Putih (Saitu et al., 2004; Gaurav, 2003)
5. Densitas Kamba
6. Kadar Betaglukan (Kusmiati et al., 2011)
40

7. Kadar Abu (AOAC, 2005)


8. Kadar Lemak (AOAC, 2005)
4. Prosedur atau Cara Penelitian
a. Pembuatan Tepung Jamur Tiram Putih
Teknologi pembuatan tepung jamur dibuat menggunakan metode
seperti yang digunakan oleh Lisa et al ( 2015) dengan modifikasi yaitu
diawali dengan memilih jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) yang segar
dan dilakukan sortasi untuk menghilangkan bagian yang tidak diinginkan,
seperti batang yang sudah tua, maupun batangnya yang sudah berwarna
kecoklatan. Jamur dilakukan tahap penimbangan dengan masing-masing
jamur sebanyak 100 g. Jamur kemudian dicuci dengan air yang mengalir
sampai bersih untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada jamur.
Proses pencucian jamur dilakukan sebanyak dua kali dan jamur ditiriskan
selama 10 menit, untuk mengurangi air yang ada di dalam jamur. Jamur
tiram yang sudah ditiriskan dilakukan penyeragaman ukuran dengan
ketebalan 3 mm untuk mempercepat proses pengeringan. Irisan jamur
selanjutnya diblansing dengan suhu 700C selama 3 menit sebelum
dikeringkan, untuk menghindari reaksi pencoklatan yang dapat
mempengaruhi warna dari tepung jamur tiram yang dihasilkan. Proses
berikutnya adalah penghancuran jamur tiram putih selama 1 menit
menggunakan food processor sampai terbentuk tekstur yang halus serta
pengenceran pure jamur tiram putih dengan perbandingan jamur dan air
1:1. Pembusaan jamur tiram dilakukan dengan pencampuran antara putih
telur (6, 8, dan 10 % v/vpasta jamur tiram putih) sebagai faktor I, dan
konsentrasi maltodekstrin (10, 15 dan 20 % b/vpasta jamur tiram putih)
sebagai faktor II. Kemudian dikocok menggunakan hand mixer (selama 15
dan 20 menit) dengan kecepatan maksimum agar terbentuk busa. Busa
jamur tiram yang telah terbentuk dituang ke dalam loyang anti lengket (food
grade) dengan ketebalan 5 mm dan ditempatkan dalam cabinet dryer untuk
proses pengeringan. Pengeringan dilakukan pada suhu 650C dan
perbandingan lama pengeringan yang menjadi faktor pertama dalam
penelitian ini yaitu 5,5 jam hingga terbentuk lapisan busa kering yang
ditandai dengan pecahnya lapisan busa saat diberi tekanan. Penggunaan
suhu dan waktu pengeringan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Wilson et al (2012). Selanjutnya adalah penghancuran produk kering
41

menggunakan blender selama 5 menit dan diayak menggunakan ayakan


60 mesh, sehingga diperoleh tepung jamur tiram yang lolos ayakan 60
mesh.. Bubuk yang terbentuk ditempatkan dalam kemasan tertutup untuk
kemudian dianalisis. Uji fisik meliputi rendemen, warna dan derajat putih
menggunakan colour reader dan densitas kamba. Uji kimia meliputi kadar
air, kadar abu, kadar protein total (metode Kjeldhal), kadar lemak, kadar
karbohidrat dan protein terlarut. Tahapan penelitian akan dilakukan seperti
diagram alir pada Gambar 10.

b. Prosedur Analisa
1. Rendemen
Jamur tiram segar dibersihkan dari kotoran-kotorannya, ditimbang 100
g, dipotong-potong, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40
o C selama 24 dan 48 jam lalu digiling sampai halus dengan grinder.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin,
kemudian ditimbang.
Bobot kering
Rendemen = x 100 %.
Bobot basah
2. Warna dan Derajat Putih (Colour reader: Saito et al, 2004;
Gaurav, 2003)
Pengukuran warna dan derajat putih pada tepung jamur tiram
dilakukan dengan colour reader (Minolta CR-10). Sebelumnya colour
reader dilakukan dengan standarisasi dengan porselen putih. Nilai
standart porselen putih, yaitu L=94,35 ; a=-5,75 dan b=6,5. Ujung
colour reader ditempelkan pada permukaan bahan yang diukur.
Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali pada bagian yang berbeda
agar data yang diperoleh lebih akurat. Nilai yang tertera pada colour
reader ditulis dan dilakukan pengolahan data menggunakan rumus
sebagai berikut:
L = Standar L + dL
a = Standar a + da
b = Standar b +db
W = 100-{ ( 100−l ) 2+(a 2+b 2) } 0,5
dimana:
L = Kecerahan warna, menunjukkan warna hitam hingga putih, nilai
0100
42

a = Menunjukkan warna hijau (-0)-(-120) hingga merah dengan nilai 0-


120
b = Menunjukkan warna biru (-0)-(-120) hingga kuning dengan nilai
120
W = Menunjukkan derajat putih
3. Aktivitas Air (aw)
Menurut Taib et al. (1988 : 9) aktivitas air atau water activity (aw)
adalah jumlah air bebas bahan yang dapat digunakan mikroba untuk
pertumbuhannya. Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan,
maka sebagian air pada bahan dihilangkan sehingga mencapai kadar
air tertentu. Daya tahan bahan dipengaruhi oleh jumlah kandungan
air pada bahan sehingga tidak ada mikroba yang bisa hidup pada
bahan.
Aktivitas air dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
ERH
aw =
100
Keterangan:
aw = Aktivitas air
ERH = Kelembaban relatif seimbang
4. Kadar Air Bahan (AOAC, 2005)
Analisis kadar air dilakukan menggunakan metode oven.
Prinsipnya adalah molekul air (H20) bebas dalam sampel diuapkan.
Sampel ditimbang sampai beratnya konstan yang diasumsikan
semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih
berat sebelum dan sesudah pengeringan merupakan banyaknya air
yang diuapkan. Prosedur analisis kadar air yaitu cawan yang akan
digunakan dikeringkan terlebih dauhulu dengan suhu 100-1050C
selama 30 menit. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator
untuk menghilangkan uap air dan ditimbang sbeagai (A). Sampel
ditimbang sebanyak 1 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B)
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100-1050C selama 6
jam dan didinginkan kembali dalam desikator selama 30 menit
selanjutnya ditimbang sebagai (C). Tahap ini diulangi hingga
mencapai berat sampel yang konstan. Kadar air dihitung dengan
rumus:
43

B−C
Kadar air ( % )= X 100 %
B−A
Keterangan:
A = Berat cawan kosong (g)
B = Berat cawan + sampel awal (g)
C = Berat cawan + sampel kering (g)
5. Kadar Abu (AOAC, 2005)
Analisa kadar abu dilakukan menggunakan metode pengabuan
kering. Prinsip analisis ini yaitu membakar bahan atau mengabukan
pada suhu tinggi (sekitar 3500C), dan menimbang zat yang tertinggal
setelah pengabuan tersebut. Cawan yang akan digunakan
dikeringkan dengan oven pada suhu 100-1050C, selama 30 menit
atau sampai diperoleh berat cawan yang tetap. Cawan didinginkan
dalam desikator selama 30 menit dan timbang sebagai (A). Timbang
sampel sebanyak 1 gram dan dimasukkan dalam cawan yang telah
dikeringkan sebagai (B). Cawan yang berisi sampel dimasukkan
dalam tanur pengabuan dan dibakar pada suhu 4000C, sehingga
diperoleh abu yang berwarna abu-abu atau diperoleh berat kosntan.
Suhu tanur dinaikkan menjadi 5500C dan dipertahankan selama 12-
24 jam. Sampel yang telah diabukan , didinginkan dalam desikator
selama 30 menit dan ditimbang sebagai (C). Perhitungan kadar abu,
yaitu sebagai berikut:
C− A
Kadar abu ( % )= X 100 %
B−A
Keterangan:
A = Berat cawan kosong (g)
B = Berat cawan + sampel awal (g)
C = Berat cawan + sampel kering (g)
6. Kadar Protein (Sudarmadji dkk., 1997)
Prosedur analisis kadar protein yaitu sebanyak 0,1 g tepung
jamur dimasukkan dalam labu Kjedhal 100 ml. Tambahkan 2 ml
H2SO4 dan 0,9 g selenium sebagai katalisator dan destruksi selama
60 menit. Sampel yang telah dilakukan dekstruksi akan dilakukan
destilasi. Hasil distilat yang diperoleh dimasukkan dalam erlenmeyer
yang telah berisi 15 ml larutan asam borat 4 % dan telah diberi
indicator campuran (2-3 tetes methyl red dan methyl blue). Distilat
44

yang sudah tercampur dilakukan titrasi dengan larutan standar


berupa HCL 0,02 N, hingga diperoleh warna ungu muda. Dilakukan
perlakuan yang sama menggunakan larutan blanko dengan bahan
berupa aquadest. Perhitungan % protein, yaitu sebagai berikut:
( ml HCl sampel−ml HCL blanko ) xN HClx 14,008
%N = X 100 %
Berat sampel x 1000
% Protein kasar = % N X factor konversi (6,25)
7. Kadar Lemak (AOAC, 2005)
Analisis kadar lemak tepung jamur tiram dilakukan dengan
metode soxhlet. Metode soxhlet ini akan mengestrak lemak
menggunakan pelarut hexan, setelah selesai pelarut akan diuapkan
dan lemak akan ditimbang serta dihitung persentasenya. Labu lemak
dikeringkan dengan oven apad suhu 1050C selama 30 menit,
selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan
ditimbang sebagai (A). Timbang sampel sebagai (S) sebanyak 2 g
kemudian dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan dalam
selongsong lemak. Selongsong lemak akan ditutup dengan kapas
bebas lemak dan dimasukkan dalam ruang desikator tabung soxhlet
dan ditambahkan pelarut hexan. Tabung kemudain dipasangkan
pada alat destilasi soxhlet dan dipanaskan dengan pemanas listrik
dengan suhu 800C. Refluks selama 5 jam sampai pelarut turun
kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang masih ada
dalam labu lemak di destilasi, kemudian labu lemak dipanaskan
dalam oven selama 60 menit dengan suhu 1050C selama 1 jam dan
didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang
sebagai (B). Perhitungan % lemak, yaitu sebagai berikut:
( B−A )
Kadar lemak ( %)= X 100 %
S
Keterangan:
A = Berat labu lemak (g)
B = Berat labu lemak + lemak (g)
S = Berat sampel (g)
8. Kadar Karbohidrat (Andarwulan dkk., 2011)
Karbohidrat merupakan komponen utama bahan pangan yang
memiliki sifat fungsional yang penting dalam proses pengolahan
bahan pangan. Analisis kadar karbohidrat dalam tepung jamur tiram
45

dilakukan menggunakan metode by different dalam analisis proksimat


dihitung berdasarkan = 100%- (kadar air + kadar abu + kadar lemak +
kadar protein), sehingga diperoleh kadar karbohidrat bahan.
9. Kadar Protein Terlarut (Metode Lowry: Sudarmadji dkk., 1997)
Sampel tepung jamur sebanyak 0,1 g diekstrak dengan 10 ml
aquadest dan diaduk, hingga diperoleh susupensi yang homogen.
Sampel yang telah homogen dipisahkan dengan sentifuse selama 15
menit dan filtrate yang diperoleh akan digunakan untuk analisis
protein terlarut. Filtrat sebanyak 0,125 ml ditambah dengan reagen
Mix-Lowry sebanyak 2,5 ml dan didiamkan selama 10 menit.
Tambahkan 0,25 ml follin dan didiamkan selama 30 menit dan
ditambah aquadest sampai volume 5 ml. Sampel diukur
adsorbansinya dengan spektrofometer UV-Vis dengan panjang
gelombang 750 nm, menggunakan standar larutan Bovine Serum
Albumine (BSA). Data adsorbansi diplotkan dengan kurva standar
Bovine Serum Albumine (BSA).
10. Kadar Beta-Glukan
Penetapan kandungan beta-glukan pada jamur mengikuti
metode yang digunakan oleh Kusmiati et al. (2007). Pengujian
dilakukan dengan mengambil 1 g sampel jamur yang telah
ditepungkan kemudian ditambahkan NaOH 0,7 N 30 ml. Selanjutnya,
dihidrolisis selama 6 jam dengan suhu 75 °C. Selanjutnya didapat
larutan keruh dan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm pada
suhu 25 °C selama 30 menit. Selanjutnya, supernatan dibuang, dan
didapat residu yang kemudian dicuci dengan 30 ml larutan asam
asetat 0,5 M dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 10000 rpm
pada suhu 25 °C selama 30 menit kemudian supernatan dibuang.
Pencucian dengan asam asetat tersebut dilakukan sebayak tiga kali..
Kemudian residu dicuci dengan 20 ml akuades dan disentrifugasi
dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit. Pencucian dengan
akuades dilakukan sebanyak dua kali. Residu yang didapat
ditambahkan dengan 20 ml etanol lalu disentrifugasi dengan
kecepatan 5000 rpm selama 10 menit, sehingga menghasilkan beta-
glukan (crud) basah. Biomassa tersebut dioven pada suhu 45°C
selama 1 hari dan ditimbang sebagai berat beta-glukan (crud)
46

kering/bobot betaglukan kasar. Residu kering tersebut ditambahkan


NaOH 1M 4 ml dan dibiarkan selama 1 jam. Larutan tersebut
diencerkan dengan menggunakan akuades dan diaduk dengan
shaker. Kemudian ditambahkan Pb Asetat 2 ml dan didiamkan
selama ± 30 menit. Selanjutnya, larutan tersebut ditambahkan
natrium oksalat 1 g sehingga didapat larutan yang jernih, kemudian
larutan tersebut diambil 2 ml dan ditambahkan fenol dan asam sulfat.
kemudian diuji menggunakan spektrofoto-meter sugar free containt
dengan panjang gelombang 490 A.

11.
47

KUISONER UJI ORGANOLEPTIK


(Uji Hedonik)
Nama :  
Hari/tanggal :  
Tepung Jamur Tiram
Nama Produk : Putih  
Instruksi : Berilah penilaian terhadap warna, aroma, dan tekstur dari sampel ini
sesuai dengan kesukaan anda.  
1. Sangat suka 4. Tidak suka
2. Suka 5, Sangat tidak suka  
3. Biasa  
Kode Sampel Warna Aroma Tekstur  
124        
271        
342        
561
48

DAFTAR PUSTAKA

Alleoni, A. C. C. dan Antunes A. J. 2004. Albumen  Foam Stability and S-


Ovalbumin Contents in Eggs Coated with Whey Protein Concentrate.
Universidade do Norte do Paraná, UNOPAR, Londrina 2.
 
Isnaeni, M.F. 2016. Pembuatan Serbuk Nanas.
www.repository.unpas.ac.id. Diakses: 30 Januari 2020.

Maulida, Kurnia Eka. 2017.Mekanisme Na2S2O5. www.scribd.com. Diakses: 30


Januari 2020.

 Winarno, F. G., dan S. Koswara. 2002. Telur:  Komposisi, Penanganan dan


Pengolahannnya. M-Brio Press: Bogor
49

Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Jamur Tiram Putih

Jamur tiram putih Pembusaan dengan putih telur (10,12,5 dan


15%) sebagai Faktor 1 dan maltodekstrin (10,
15 dan 20%) sebagai Faktor 2

Sortasi
Peletakan foam pada loyang

Penimbangan 100 g Penghancuran jamur kering dengan blender

Pengayakan dengan ukuran 60 mesh

Pencucian
Tepung jamur tiram
Pengamatan:
1. Kadar protein Analisa
2. Warna dan
Pengecilan ukuran (3 mm)
derajat putih
3. Kadar karbohidrat
Jamur tiram dan air Penghancuran dengan hand mixer 4. Kadar lemak
(1:1) 5. Kadar protein
Blansing rebus suhu 700Cselama 3 menit terlarut
6. Kadar aktivitas air
7. Kadar air bahan
8. Kadar betaglukan
9. Kadar abu
Gambar 10. Diagram Alir Proses Pembuatan10.
Tepung
Daya Jamur Tiram Putih
serap air
11. Densitas kamba

Anda mungkin juga menyukai