id
Sesungguhnya, tauhid adalah tujuan Allah Taʼala ketika menciptakan kita, sebagaimana firman Allah
Taʼala,
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-
Dzariyat [51] : 56)
Tauhid juga merupakan poros dakwah para nabi dan rasul, sebagaimana firman Allah Taʼala,
ُاﻟﻄ﮲
َ ﺎﻋ
ﻮت َّ ﮳ُﻮا ْﺪوا اﻟﻠََّﻪ َو ﮳
اﺣﺘَﻨِٮ ﻮﻻ أَن ِ ا ْﻋٮ
ُُ﮳ ً ﺳ ﮲ِ ﮵
ِّ ُﻰ ﻛ
ُ َﻞ أَُّﻣ ٍﺔ ر ﮳َﻌﺜْﻨ
َﺎ ڡ َََوﻟ
َ﮴ڡ ْﺪ ٮ
“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul kepada setiap umat untuk (menyerukan), “Sembahlah Allah
saja dan jauhilah thaghut.“ (QS. An-Nahl [16]: 36)
Tauhid adalah kewajiban pertama yang harus dilaksanakan manusia agar masuk ke dalam agama
Islam. Demikian pula, tauhid adalah materi pertama yang wajib diajarkan oleh para juru dakwah. Hal
ini sebagaimana kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muʼadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu
ketika mengutusnya ke negeri Yaman,
َﺎﻟَﻰَﺪوا اﻟﻠََّﻪ ٮ
﮴ﻌ ُﺣِّ ﻫ ْﻢ إِﻟَﻰ أَ ْن ٮُ﮵َﻮ َل َﻣﺎ ٮ
ُ ﮴ ْﺪﻋُﻮ ْ ُ﮲َڡﻠْٮَ﮵ﻜ،َﺎب
َ ﻦ أََّو ْ َِﻦ أ
ِ ﻫﻞ ِاﻟ ِﻜﺘ َﲆ َڡ
ْ ﮴ ْﻮٍم ﻣ َ﮴ڡَﺪُم ﻋ
ْ﮴ َ َّ﮲
َﻚ ٮ إِٮ
“Sesungguhnya Engkau akan berdakwah kepada sebuah kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah
perkara pertama kali yang Engkau serukan adalah agar mereka menauhidkan Allah Taʼala.” (HR.
Bukhari no. 7372)
Dan sungguh Allah Taʼala telah mengancam orang-orang yang tidak menyucikan jiwanya dengan
tauhid dan iman bahwa mereka akan diadzab dengan pedih pada hari kiamat. Allah Taʼala berfirman,
َ ُﰷ﮲ڡِﺮ
ون ُ ﺣﺮَ ِة
َ ﻫ ْﻢ ِ﮲ْ ِ﮳
ﺎﻵ ُ َّﰷَة َو
ﻫ ْﻢ ٮ َﻮن اﻟﺰ
َ﮴ُ﮵ﻦ َﻻ ٮُ﮵ْﺆٮ
َ ﮵ﻦ ؛ اﻟَّﺬِٮ ْ ْﻞ ﻟِﻠْﻤ
َ ُﺸﺮِﻛ ِٮ ٌَوَوٮ﮵
“Dan celakalah orang-orang musyrik. (Yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan az-zakat dan
mereka ingkar (kafir) akan adanya (kehidupan) akhirat.“ (QS. Fushshilat [41]: 6-7)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Taʼala berkata menjelaskan tafsir ayat tersebut,
﮴ڡﻠﺐ﮲ﻰ اﻟ
﮳ﺎت إﻟﻬٮ﮵ﺔ اﻟﺤﻖ ڡ ﮵
﮶ٮ
﮴ڡﻠﺐ وإٮ
ﻰ إﻟﻬٮ﮵ﺔ ﻣﺎ ﺳﻮى اﻟﺤﻖ ﻣﻦ اﻟ
﮲﮲ڡ ﮵
﮲ﻪ ٮ﮵ﺘﻀﻤﻦ ٮ
﮲ﺈٮ
﮴ڡﻠﺐ ڡ
﮳ﻪ ٮ﮵ﺰﻛﻮ اﻟ
وﻫﻰ اﻟﺘﻮﺣٮ﮵ﺪ واﻹٮ﮵ﻤﺎن اﻟﺬي ٮ
﮵
﮴ڡﻠﻮب ﮳ﻪ اﻟ﮴ﺰﻛﻮ ٮ ﮴ڡٮ﮵
وﻫﺬا أﺻﻞ ﻣﺎ ٮ. ﮴ڡﺔ ﻻ إﻟﻪ إﻻ ﷲ وﻫﻮ ﺣ
“Az-Zakah pada ayat di atas adalah tauhid dan iman, yang dengannya, jiwa menjadi bersih. Tauhid
mengandung makna menafikan hak uluhiyyah dari selain Al-Haq (Allah Taʼala) dari dalam hati, dan
menetapkan hak uluhiyyah bagi Al-Haq (Allah Taʼala) di dalam hati. Inilah hakikat dari kalimat tauhid,
laa ilaaha illallah. Dan inilah pokok yang dapat menyucikan jiwa.” (Majmuuʼ Al-Fataawa, 10: 97)
“Mayoritas ahli tafsir dari kalangan salaf dan setelahnya berkata, “Az-Zakah pada ayat tersebut
berarti tauhid, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan iman, yang dengannya hati menjadi bersih …
Tauhid adalah sumber dari segala pertambahan dan peningkatan kebaikan… “ (Ighaatstaul Lahfaan,
1: 79)
Sebagaimana tauhid adalah pokok penyucian dan pembersihan jiwa, maka kesyirikan adalah perkara
yang paling mengotori dan merusak jiwa manusia. Bahkan, kesyirikan akan menghapus seluruh
amalan kita, sebagaimana firman Allah Taʼala,
﮵ﻦ َ﮲
َ ﺤﺎﺳِ ﺮِٮِْﻦ اﻟ ﻚ َوﻟَﺘَﻜُﻮٮ
ََّ﮲
َﻦ ﻣ َ َُﻤﻠ َّ ﮳ََﻄ
َﻦ ﻋ ْ ﺖ ﻟَٮَ﮵
ﺤٮ ْ َِﻚ ﻟَﺌ ِْﻦ أ
َ ْﺷﺮَﻛ َ ﮳ﻠ ِﻦ َڡ
ْ﮴ٮ َ ﻚ َوإِﻟَﻰ اﻟَّﺬِٮ
ْ ﮵ﻦ ﻣ َﻰ إِﻟَٮْ﮵
َوﺣ ﮵ َََوﻟ
ِ ُ﮴ڡ ْﺪ أ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ʼJika
kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi.ʼ” (QS. Az-Zumar [39]: 65)
Kesyirikan adalah dosa yang apabila dibawa mati, Allah Taʼala tidak akan mengampuni dosa itu
selama-lamanya, sebagaimana firman Allah Taʼala,
﮵ﻤﺎ ِ﮲
ً َﻄٮ ْﺪ ا﮲ْڡﺘَﺮَى إِٮ
﮶ ًﻤﺎ ﻋ َ﮳ِﺎﻟﻠَّ ِﻪ﮲َڡ
ِ ﮴ڡ ْ ُﺸﺮ
ِك ٮ ْ ﻦ ٮ﮵ َ ﻦ ٮَ﮵
ْ ﺸﺎُء َوَﻣ َ ون َذﻟ
ْ ِﻚ ﻟَِﻤ ْ﮳ِ ِﻪ َوٮ﮵﮲
َ َﻌ﮲ ِڡﺮُ َﻣﺎ ُد كٮ ْ َﻌ﮲ ِڡﺮُأَ ْن ٮ﮵
َ َُﺸﺮ ْإَِّن اﻟﻠََّﻪ َﻻ ٮ﮵﮲
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaʼ [4]:
48)
Baca Juga: Solusi Masalah Negeri Adalah Mengaji Tauhid? Masak Sih?
Allah Taʼala mengharamkan surga bagi setiap orang yang mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya,
sebagaimana firman Allah Taʼala,
Jika seorang hamba memurnikan tauhid, maka akan terwujudlah kesucian (jiwa) yang sempurna, dia
akan mendapatkan hidayah dan rasa aman yang sempurna di dunia dan di akhirat, sebagaimana
firman Allah Taʼala,
ون
َ ﺪُ َﻫ ْﻢ ُﻣ ْﻬﺘ ُ اﻷَْﻣ
ُ ﻦ َو ُ ِﻚ ﻟَﻬ
ْ ُﻢ َ ﮲ُﻄﻠْ ٍﻢ أُوﻟَﺌ
ِ﮳ ْ ﮲َﻬ
ُﻢ ٮ ﮵ﻤﺎٮ آﻣﻨُﻮا َوﻟَ ْﻢ ٮَ﮵ﻠْٮ
ُ ِ﮳
َﺴﻮا إِٮ َ اﻟَّﺬِٮ
َ ﮵ﻦ
Ketika seorang hamba mengikhlaskan penghambaan diri dan rasa cinta (mahabbah) kepada Allah
Taʼala, maka amalnya pun menjadi ikhlas dan tepat, jiwanya pun menjadi bersih (suci) dan baik. Dan
ketika masuk hal-hal yang merusaknya, berupa kotoran syirik, maka masuklah noda dan kotoran ke
dalam jiwa sesuai dengan kadarnya.
Oleh karena itu, jiwa tak akan suci kecuali dengan memurnikan tauhid dan mengesakan Allah Taʼala
dalam ibadah, serta mengikhlaskan amal hanya untuk-Nya. Sebagaimana firman Allah Taʼala,
ِﺺ َ﮲
ُ ﺤﺎﻟْ﮵ﻦ اﻟ ِّ أََﻻ ﻟِﻠَّ ِﻪ
ُ اﻟﺪٮ
“Ingatlah, hanya milik Allah-lah agama yang murni (dari syirik).” (QS. Az-Zumar [39]: 3)
Dan begitu pula jiwa tak akan suci kecuali dengan membersihkan jiwa dari segala bentuk
kesyirikan,dan segala sesuatu yang membatalkan dan melemahkan tauhid.
Baca Juga:
[Bersambung]
***
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Diterjemahkan dari kitab ‘Asyru qawaaida fi tazkiyatin nafsi, hal. 9-12, karya Syaikh ‘Abdurrazaq bin
‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Taʼala.
Sahabat muslim, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini.
Jazakallahu khaira