Khatib mengajak diri sendiri dan para jamaah sekalian untuk senantiasa
meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala,
mempertajam kesadaran ilahiah, mempertebal sikap berserah diri kepada-
Nya. Shalawat dan salam semoga kepada Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat dan ummatnya.
Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kita untuk meningkatkan iman
dan taqwa karena itu Allah subhanahu wata'ala mengingatkan untuk
senantiasa melakukan muhasabah atau introspeksi terhadap diri kita. Hal
ini seperti diperintahkan Allah SWT dalam firman-Nya :
ت لِ َغ) ۚ ٍد َوا َّتقُ))وا هّٰللا َ ۗاِنَّ هّٰللا َ َخ ِب ْي) ٌر ِۢب َم))ا ُ ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُنوا ا َّتقُوا هّٰللا َ َو ْل َت ْن
ْ ظ))رْ َن ْفسٌ مَّا َق) َّد َم
١٨ َتعْ َملُ ْو َن
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr : 18).
Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dengan panggilan
yang spesifik.
Jika kita cermati, terdapat tiga keterangan waktu pada ayat di atas, sebagai
bentuk introspeksi terhadap diri. Ketiga keterangan waktu tersebut adalah :
Muhasabah adalah meneliti perbuatan kita pada masa lalu dan masa kini,
apakah ia merupakan perbuatan baik atau perbuatan buruk. Dengan
muhasabah diri, perbuatan baik pada masa lalu bisa ditingkatkan pada
masa depan, baik kualitasnya maupun kuantitasnya. Dengan muhasabah,
perbuatan buruk pada masa lalu tidak perlu diulangi pada masa yang akan
datang. Maka dengan muhasabah, hari esok kita akan lebih baik, di dunia
juga di akhirat Insya Allah SWT. Sahabat Umar Ibnul Khaththab r.a.
berkata:
Artinya : “Hendaklah kalian menghisab (mengintrospeksi) diri kalian
sebelum kalian dihisab (oleh Allah subhanahu wata'ala)” (H.R. At-Tirmidzi-
Ahmad).
Bila kita cermati, paling tidak ada 3 (tiga) makna penting yang terkandung
dalam proses muhasabah ini. Pertama, orang yang rajin melakukan
muhasabah sesungguhnya merupakan sosok pembelajar, dan kita dituntut
untuk menjadi pembelajar sejati sepanjang hayat. Banyak kisah dalam Al-
Qur’an yang harus menjadi bahan pelajaran untuk peringatan ke depan,
dan hanya sosok pembelajar yang bernama Ulul Albab yang mampu belajar
dari Kisah-kisah masa lalu tersebut.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur'an Surat Yusuf ayat 111, yang artinya:
"Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang
yang mempunyai akal. (Al-Qur'an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala
sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman".
Sosok pembelajar sejati adalah sosok yang selalu berpikir dan berpikir,
sehingga mampu mengakumulasi ilmu yang didapatkan untuk diamalkan.
Itulah mengapa Allah SWT meningkatkan derajat orang-orang yang
berilmu. Tidak lain karena orang-orang yang berilmu inilah yang diharapkan
bisa terus menebar rahmat di muka bumi. Orang-orang yang berilmu lah
yang bisa merancang arah perubahan sosial di masa depan. Sebagaimana
firman Allah SWT yang artinya: “…Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
(QS. Al-Mujadalah: 11).
Sosok ulul albab yang pembelajar ini semakin diharapkan perannya dalam
transformasi bangsa. Oleh karena itu di era yang serba cepat dan penuh
ketidakpastian ini, maka sosok pembelajar juga harus dimaknai sebagai
sosok yang adaptif dengan pola pikir tumbuh (growth mindset), yang terus
memacu skill dan kompetensi baru dengan learning agility yang tinggi.
Kemampuan kecepatan belajar ini sangat penting agar bisa berperan
menjadi trend setter perubahan.
Kedua, muhasabah mengandung makna perlunya orientasi pada masa
depan. Tujuan evaluasi diri adalah untuk kelebihbaikan di masa depan. Ada
dua dimensi masa depan, yaitu masa depan di dunia dan di akhirat. Ayat
surat al-Hasyr ayat 18 yang tadi saya bacakan merupakan fondasi tentang
visi masa depan. Visi besar seorang mukmin adalah menjadi hamba yang
berbahagia di dunia dan akhirat. Keseimbangan masa depan di dunia dan
akhirat adalah keniscayaan, sebagaimana doa kita sehari-hari yang artinya:
“Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan
kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka.”
Dunia adalah jembatan menuju akhirat. Karena itu kehidupan dunia pun
tidak boleh ditinggalkan. Marilah kita cermati ayat-ayat berikut ini:
ض ) ِل هّٰللا ِ َو ْاذ ُك) رُوا هّٰللا َ َك ِث ْي))رً ا لَّ َعلَّ ُك ْم ِ ْالص ) ٰلوةُ َفا ْن َت ِش )ر ُْوا فِى ااْل َر
ْ ض َوا ْب َت ُغ) ْ)وا مِنْ َف َّ ت ِ َُف ) ِا َذا ق
ِ ض ) َي
١٠ ُت ْفلِح ُْو َن
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya
supaya kamu beruntung” (QS. al-Jumu’ah [62]: 10).
ِا َّن َم))ا َتعْ ُب) ُد ْو َن مِنْ ُد ْو ِن هّٰللا ِ اَ ْو َثا ًن))ا َّو َت ْخلُقُ) ْ)و َن ِا ْف ًك))ا ۗاِنَّ الَّ ِذي َْن َتعْ ُب) ُد ْو َن مِنْ ُد ْو ِن هّٰللا ِ اَل َيمْ لِ ُك) ْ)و َن لَ ُك ْم
١٧ ِر ْز ًقا) َفا ْب َت ُغ ْوا عِ ْندَ هّٰللا ِ الرِّ ْز َق َواعْ ُب ُد ْوهُ َوا ْش ُكر ُْوا) لَ ٗه ۗ ِالَ ْي ِه ُترْ َجع ُْو َن
Artinya : “Maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan
bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan”
(QS. al-Ankabut [29]: 17).
Oleh karena itu di dunia ini kita dituntut untuk mampu menciptakan masa
depan. Dengan mampu menciptakan masa depan berarti kita ini akan
menjadi penentu kecenderungan perubahan di dunia. Bukankah misi
rahmatan lil alamin sesungguhnya adalah sebuah misi mulia untuk
menciptakan tatanan perubahan menuju kelebihbaikan dan kemajuan?
٨ ࣖ ٗ َو َمنْ يَّعْ َم ْل م ِْث َقا َل َذرَّ ٍة َش ًّرا ي ََّره٧ َۚٗف َمنْ يَّعْ َم ْل م ِْث َقا َل َذرَّ ٍة َخيْرً ا ي ََّره
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya pula” (QS. al-Zalzalah: 7 - 8).
Orang yang berprestasi adalah orang yang ingin terus bergerak ke depan
dan berada dalam rel kemajuan. Orientasi untuk bergerak maju tersebut
didasari pada dua hal. Pertama, menjalankan fungsi manusia sebagai
khalifah di muka bumi yang harus memakmurkan dan sekaligus menjaga
kehidupan dunia dari kerusakan (QS. Hud: 61; QS. al-Anbiya: 107; QS. al-
Baqarah: 30; QS. al-Baqarah:11)
Orientasi maju adalah konsekuensi dari tanggung jawab manusia yang
memang diciptakan untuk menjaga bumi, karena manusia adalah makhluk
yang paling sempurna yang dikaruniai kelebihan daripada makhluk lainnya
(QS. at-Tiin:4; QS. al-Isra’: 70).
Kedua, sebagai bentuk syukur kita atas nikmat yang tak terhingga dari Allah
subhanahu wata'ala (QS. an-Nahl : 4), baik nikmat kehidupan, nikmat
kemerdekaan, dan nikmat iman. Nikmat Allah SWT kepada kita akan
secara akumulatif membesar dan membesar manakala kita selalu
mensyukurinya dengan jiwa dan tindakan nyata yang impactful. Apabila kita
bersyukur akan bertambah nikmatnya, sebagaimana al-Qur'an Surat
Ibrahim ayat 7:
٧ َوا ِْذ َتا َ َّذ َن َر ُّب ُك ْم لَ ِٕىنْ َش َكرْ ُت ْ)م اَل َ ِزيْدَ َّن ُك ْم َولَ ِٕىنْ َك َفرْ ُت ْم اِنَّ َع َذ ِابيْ لَ َش ِد ْي ٌد
Artinya : (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi
jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar
sangat keras.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Orang yang berprestasi adalah tanda orang yang pandai bersyukur. Oleh
karena itu orang yang berprestasi pada akhirnya adalah orang yang
memperoleh nikmat lebih. Apalagi kalau kita juga ingat kata-kata mutiara
yang artinya: “Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada
kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang
harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi.
Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin
maka dia terlaknat”.
Orang yang beruntung adalah orang yang memperoleh nikmat lebih. Dan
sebenarnya disinilah kita semakin memahami bahwa barang siapa yang
bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.
Namun demikian, yang kini harus kita pikirkan juga adalah bagaimana
mentransformasi muhasabah personal menjadi muhasabah kolektif.
Sehingga, kita tidak saja memikirkan kelebihbaikan diri kita pasca evaluasi
diri, namun juga memikirkan kelebihbaikan umat dan bangsa ini secara
institusional. Dengan demikian, marilah kita juga melakukan muhasabah
kolektif untuk mengantarkan kita sebagai umat Islam dan bangsa Indonesia
yang maju, adil dan makmur yang diridhai Allah subhanahu wata'ala di
masa mendatang.
Jamaah shalat Jumat yang senantiasa diberkahi oleh Allah ta’ala.