Pengaruh Budaya Luar Terhadap Perkembangan Masyara
Pengaruh Budaya Luar Terhadap Perkembangan Masyara
Balai Arkeologi Banjarmasin, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06, Banjarbaru 70711, Kalimantan Selatan;
Telepon (0511) 4781716; Facsimile (0511) 4781716
Artikel masuk pada 26 Agustus 2012 Artikel selesai disunting pada 23 September 2011
Abstrak. Bulungan terletak pada kawasan geografis yang dilalui oleh Sungai Kayan. Sungai tersebut adalah urat
nadi lalu lintas yang sangat penting dalam melancarkan interaksi manusia, budaya, dan perdagangan pada masa
lampau. Intensitas interaksi dengan kebudayaan dari luar dan ekskpansi politiklah yang pada akhirnya mendorong
adanya perubahan-perubahan pada aspek sosial-budaya, ideologi, dan politik. Kajian ini dilakukan melalui studi
pustaka dan pengamatan langsung di lapangan. Hasil kajian menunjukkan kedatangan Islam telah mengubah
perspektif sosial-budaya masyarakat asli Bulungan dan sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam. Di lain
pihak, kedatangan Belanda di Bulungan dilandasi oleh tujuan eksploitasi dan penguasaan tambang minyak bumi,
yang akhirnya melemahkan kekuasaan politik Kaselutanan Bulungan.
Kata kunci: Makulit, Kayan, Kenyah, Tunjung, Tidung, Sungai Kayan, religi asli, Islam, imperialisme, Belanda,
Brunei
Keywords: Makulit, Kayan, Kenyah, Tunjung, Tidung, Kayan River, indigenous religion, Islam, imperialism, Dutch,
Brunei
* Makalah pernah diseminarkan dalam Evaluasi HasilPenelitian Arkeologi di Solo pada tanggal 3-7 September 2012
** Penulis adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Banjarmasin, email: nugi_balarbjm@yahoo.com
1
Jauwiru meninggalkan tiga benda magis yang perlu selalu dipelihara, yaitu (1) dayang; (2) kedabang atau penutup kepala;
dan (3) kerkepan atau alat untuk mengambil padi (ani-ani). Lahai berusaha mendapatkan dan membawanya ke hilir.
Sebelum meninggal Jau Anyi berpesan untuk Bulungan. Raja-raja awal ini kemudian
membawa lungun ke hilir Sungai Payang. Hal bergelar Wira (ksatria), pemerintahan yang
tersebut dicegah oleh saudara-saudaranya. mulai teratur ini dilanjutkan oleh menantu
Namun, karena suatu amanat maka pesan Datuk Mencang, bernama Singa Laut, karena
tetap dilaksanakan. Lahai Bara mengikuti arus perkawinan Datuk Mencang dengan Asung
sungai menuju hilir, atas kesaktiannya muncul Luwang tidak dikaruniai anak laki-laki. Datu
pulau di tengah sungai yang disebut busang Singa Laut konon berasal dari Zulu (Filipina),
manyun (Pulau Hanyut). Tidak jauh dari Pulau memerintah dari tahun 1594-1618. Pengaruh
Hanyut, di sebelah hilir terdapat peninggalan Islam pun dominan dan menguat ke dalam
yang seperti “menhir”, konon peninggalan ini sistem pemerintahan, dan pada akhirnya
adalah makam Lahai Bara2 (Foto 1). penguasa tertinggi bergelar sultan.
Lebih lanjut diceritakan, dari perkawinan
Lahai Bara dan Wan Paren lahirlah Si Barau
dan seorang putri bernama Simun Luwang. B. Situasi Sosial Budaya di Daerah Aliran
Simun Luwanglah yang membawa lungun Sungai Kayan
Lahai Bara, sehingga dimakamkan di Long Perubahan dalam suatu komunitas akan
Pelban. Hal tersebut mendapat tantangan dari terjadi disebabkan oleh dua hal. Pertama,
Si Barau, saudaranya. Oleh karena itu, adanya inovasi yaitu penciptaan, modifikasi
keturunan Simun Luwang (masyarakat atau peningkatan daya cipta, dan kreasi yang
Bulungan) tidak boleh mengujungi Makam terjadi di dalam internal kelompok masyarakat.
Lahai Bara di Long Pelban. Hal tersebut masih Jenis faktor perubahan ini dimungkinkan
dipercaya hingga saat ini (Anonim 1976). akibat dari hasil olah budi, pemikiran, dan
Simun Luang yang dianggap telah perilaku yang berulang-ulang, baik secara
meninggalkan komunitasnya, terus menuju ke individu, maupun secara komunal. Proses ini
arah hilir hingga sampai di Baratan. Ia pun terjadi di dalam kelompok mereka sendiri.
menikah dengan Sadang. Dari perkawinan ini, Kedua, proses difusi atau penyebaran
lahirlah tokoh Asung Luwang. Pada saat Asung kebudayaan, yaitu perubahan yang terjadi
Luwang beranjak dewasa, ada seorang akibat pengaruh eksternal, yang kemungkinan
bangsawan Brunei bernama Datuk Mencang, disebabkan oleh kedatangan atau pergaulan
yang saat itu sedang menyusuri Sungai Kayan dengan komunitas lain. Pengaruh ini dapat
dan berlabuh. Datuk Mancang berhasil terjadi baik secara individu atau kelompok.
memperistri Asung Luwang. Di komunitas itu, Perubahan dapat secara sepihak ataupun
Datuk Mencang membangun sistem terjadi secara timbal balik antarmasyarakat
pemerintahan yang teratur dan maju. Oleh dengan budaya atau komunitas lain. Hal ini
karena itu, Datuk Mencang (1555-1594) dapat terjadi dengan cara damai atau pun
dianggap sebagai peletak dasar Kesultanan akibat invasi. Penaklukan atau perebutan
2
Di Long Pelban, wilayah Kecamatan Peso, di tepian aliran Sungai Kayan, Tim Balai Arkeologi Banjarmasin pada tahun
2012 masih dapat menemukan batu tegak dua buah, tetapi dalam keadaan terpenggal. Menurut narasumber, pada 1990-
an di depan batu tegak ini terdapat dua buah patung. Pada saatsurvei dilakukan, kedua patung tersebut telah hilang karena
dicuri.
suatu daerah kekuasaan sering terjadi di perladangan mendominasi cara hidup dan
masyarakat pada zaman dahulu dan menjadi mata pencaharian masyarakatnya. Namun
salah satu bentuk interaksi. demikian, hingga saat ini belum ada data
Hasil dari proses inovasi dan difusi ini ertanggalan yang menguatkan kapan terjadi
berpengaruh dalam berbagai aspek budaya perubahan pola konsumsi makanan pokok,
dan cara hidup. Perubahan itu misalnya dari sagu gunung ke makanan pokok beras di
dalam hal tingkah laku kehidupan sehari-hari, DAS Kayan. Namun demikian, cerita-cerita
kebiasaan pola konsumsi, dan dalam rakyat dapat dihubungkan dengan perkenalan
berpakaian, hingga pada hal yang lebih awal domestifikasi padi melalui alat-alat
kompleks. Pengaruh budaya luar telah pertanian, misalnya tugal, ani-ani, dan lesung,
mengubah jenis makanan pokok masyarakat serta lumbung padi. Pada saat Lahai Bara
yang semula sagu hutan menjadi beras meninggalkan saudara-saudaranya, ada tiga
gunung. Dulu, masih banyak tanaman sagu benda penting yang dibawa, yaitu ani-ani,
hutan, umbut tanaman tertentu yang biasa dayung, dan topi pandan, selain lungun orang
dikonsumsi, ikan air tawar, dan binatang tuanya3. Benda-benda demikian umumnya
buruan. Berbeda dengan sekarang, sagu sarat dengan cerita mistik, serta dihormati.
hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil Adapun perubahan juga dirasakan
masyarakat, misalnya komunitas Dayak terhadap jenis bahan pakaian mereka, yang
Berusu, di daerah Sekatak. Pada saat ini, sagu semula berbahan serat kulit kayu menjadi
tidak lagi menjadi makanan pokok, tetapi bahan sejenis kain. Hal ini masih dapat dirunut
hanya sebagai makanan tambahan saja. Hal dari laporan-laporan perjalanan orang
yang lebih kompleks terlihat pada perubahan Belanda dan orang Inggris sekitar abad 18
tradisi dan agama, yaitu perubahan yang Masehi (Carl Box dan Wallace). Pada acara
dibawa oleh para penyiar agama Islam dan adat, mereka kadang masih menggunakan
kedatangan bangsa Barat yang membawa pakaian berbahan serat kayu hingga
ajaran agama Nasrani. sekarang. Dahulu, kebutuhan akan papan
Sosial budaya masyarakat DAS (daerah atau perumahan biasanya dipenuhi dalam
aliran sungai) Kayan banyak mengandalkan bentuk bangunan komunal berupa rumah
hasil bumi dan kondisi kekayaan alamnya. lamin, sebutan masyarakat adat di Kalimantan
Dalam perdagangan tentu membutuhkan Timur, atau rumah betang, sebutan rumah
lokasi tempat untuk bertemu, antara pedagang panjang pada masyarakat adat di Kalimantan
dan pembeli atau dua pihak yang tukar- Tengah atau rumah panjang untuk sebutan
menukar komoditas (barter), sedangkan rumah komunal bagi masyarakat adat di
sarana transportasi yang memadai sulit Kalimantan Barat. Bentuk bangunan rumah
dipenuhi. Dengan kondisi sungai yang tidak tersebut terkait dengan faktor keamanan,
mendukung ini, sektor pertanian dan kebersamaan, dan jiwa gotong royong dalam
3
Ani-ani merupakan alat memotong padi, walau kurang efisien dibandingkan sabit, tetapi sangat popular di Asia Tenggara.
Berdasarkan cerita rakyat, alat ini lebih berkenan bagi Dewi Sri (Dewi Padi). Di samping itu, ani-ani memiliki fungsi
praktis, khususnya untuk padi di perbukitan. Petani dapat menuai batang-batang padi yang telah masak dan membiarkannya,
hingga waktu tertentu sesuai keinginan (Reid 2011, 32-33)
batu, 5 situs terdapat batu berukir. Pada tahun 2006 Gunadi dkk dari Balai
Berdasarkan informasi dari Bernard Sellato, Arkeologi Banjarmasin mengadakan survei
sebagian situs ini telah dikunjungi oleh untuk menemukenali kembali situs yang
Siereverd pada 1929, Tilema pada 1938, disebutkan Sellato, antara lain, mengunjungi
Harison pada tahun1959, dan Baier pada Lidung Payau, situs Batu Tukung di hulu
tahun 1992. Sellato sendiri mengadakan Sungai Kayan4, situs di Long Uro’ dan Juman
kunjungan pada 1992 sampai 1999 (Sellato Lawang di Long Nawang (Gunadi 2006, 2-9).
1999, 403). Pada survei di Desa Long Ampung, pinggir
Foto 1. Makam Lahai Bara di hulu Long Pelban, Foto 2. Erang Dau di Desa Long Ampung (dok.
Kecamatan Peso (dok. Balai Arkeologi Balai Arkeologi Banjarmasin 2006)
Banjarmasin 2012)
Foto 3. Salung Ipui di Desa Long Lejuh, Foto 4. Situasi di dalam Gua Pejangan, Desa
Kecamatan Peso (dok. Balai Arkeologi Mara, Kecamatan Tanjung Palas Barat (dok.
Banjarmasin 2012) Balai Arkeologi Banjarmasin 2012)
4
Di Lidung Payau, sekarang terkumpul batu pahat dari berbagai situs di sekitarnya, yaitu dari Long Sungan (Gambar
manusia dipahat pada batu), dan dari situs Sawah Angen (batu tegak). Hal ini dilakukan untuk mempermudah
pengamanan. Batu –batu ini sempat dicuri hingga dibawa ke Tarakan dengan menumpang pesawat terbang, beruntung
masih ada petugas yang menyelamatkannya. Dan dikembalikan di Lidung Payau, hulu Sungai Kayan.
Sungai Kayan, tim menemukan situs yang satu media penyalurannya tergambar dalam
luput dari pengamatan peneliti terdahulu, yaitu sistem religi, yang diaktualisasikan dengan
batu Erang Dau. Situs ini oleh masyarakat, tradisi megalitik. Dengan demikian, tidak
sengaja dirahasiakan, karena tidak sejalan mengherankan jika tradisi megalitik yang
dengan iman agama Kristen (dogma gereja), hampir tersebar di seluruh dunia
dan dianggap sebuah kepercayaan menggambarkan sistem religi dan menjawab
paganisme. Batu Erang Dau adalah batu pertanyaan tersebut. Premis dasar dari setiap
tegak, mirip profil manusia, terbuat dari batu religi adalah kepercayaan akan adanya jiwa,
monolit, berukuran tinggi 70-an cm (sebagai sesuatu yang bersifat supranatural, dan
induk), dan disertai tiga batu bulat, seperti telur kekuatan supernatural. Lebih lanjut, religi
(sebagai anaknya) dengan diameter bervariasi mempunyai fungsi di antaranya mengurangi
antara 7-12 cm (Foto 2). kegelisahan dan menjawab atas hal-hal di luar
Pada kegiatan eksplorasi peninggalan di jangkauan pikirannya, seperti bencana,
DAS Kayan tahun 2012 ini ditemukan dua jenis penyakit, dan kematian (Thomas 1979 vide
penguburan di tiga wilayah yang berbeda. Prasetyo 2004, 1-3). Komunitas etnis di
Jenis penguburan pertama, menggunakan pedalaman Kalimantan, khususnya daerah
lungun yang dikumpulkan dalam sebuah aliran Sungai Kayan menggambarkan tradisi
rumah-rumahan yang khas, disebut sebagai religi, antara lain dalam hal pemujaan dan
salung. Sistem penguburan ini ditemukan di penguburan yang merupakan salah satu
Long Gelo dan di Long Lejuh (Foto 3), yaitu di aspek upacara daur hidup dan mati. Sellato
daerah hilir dari Long Pelban, hulu dari Long telah mendeskripsikan berbagai peninggalan
Bia di wilayah Kecamatan Peso. Lokasi kedua dan komunitas yang mendiami daerah utara,
salung tersebut berada di pinggir Sungai antara lain Long Brini, Kayan Mentarang, dan
Kayan. Menurut informasi penduduk, sistem sekitar Long Bahau. Wujud dari gagasan
penguburan ini milik masyarakat adat Dayak dalam religi diaktualisasikan dalam benda,
Makulit. Bangunan salung ditopang oleh tiang misalnya dalam bentuk tinggalan megalitik.
yang berjumlah sembilan buah dan dilengkapi Sebagai objek yang dipuja, seperti erang dau
gong sebagai alat penanda. Jenis penguburan dan wadah kubur materialisasi dari upacara
yang kedua ditemukan di seberang Desa penguburan.
Mara, di Bukit Pejangan, yaitu penguburan Pada saat ini, kemudahan transportasi
dengan lungun yang diletakkan di dalam gua dan keinginan menjelajah ke luar daerah
(Foto 4). Di Gua Pejangan inilah komunitas menyebabkan telah terjadi polarisasi
Dayak Kayan menempatkan lungun- penduduk. Selain Dayak Makulit dan Dayak
lungunnya, tradisi ini masih dilaksanakan Kayan di sepanjang DAS Kayan, banyak pula
hingga 1960-an. komunitas lain, seperti Dayak Kenyah, Dayak
Tidak diragukan lagi bahwa manusia Tunjung, dan Tidung. Meskipun demikian,
selalu ingin mencari hakekat kehidupan. Hal aspek religi di daerah hulu Sungai Kayan relatif
yang termasuk hakekat dan selalu aktual untuk kuat dan dipertahankan dari generasi ke
dipertanyakan adalaha apa tujuan hidup, generasi sehingga sulit berubah. Pergeseran
untuk apa ia hidup, dan atas pertolongan terjadi sedikit demi sedikit, yaitu dari
siapa untuk keluar dari kesulitan hidup. Salah kepercayaan agama tradisi ke agama
monotheistik, pada sekitar 1970-an semenjak kembali kepercayaan lama ini, karena
datangnya para misionaris agama Kristen. dianggap mencemari keimanan.
Di Long Ampung, wilayah Malinau untuk
misi agama mengandalkan transportasi
udara, yaitu melalui penerbangan D. Interaksi dengan Pendatang
MAF(Mission Aviation Fellowship). Daerah Komunitas di daerah jalur perdagangan
hulu Kayan terdapat banyak jeram, sehingga internasional atau kota pantai, misalnya di
tidak memungkinkan dikembangkan Sumatera atau Jawa pada abad 15 Masehi,
transportasi sungai, sedangkan transportasi sudah begitu maju. Perkenalan dan interaksi
darat sulit dilakukan karena menembus hutan perdagangan dengan bangsa lain sudah
rimba. Wilayah Kecamatan Long Peso’, yaitu berjalan intensif dan lancar. Berita para
wilayah di perbatasan antara Kabupaten musafir dunia pun sering mengabarkan
Malinau dengan Bulungan misi penyebaran tentang pengalaman mereka dan
agamanya masih memungkinkan mendeskripsikan semua yang dilihat. Akan
menggunakan transportasi sungai. Melalui tetapi, lain halnya dengan daerah pedalaman
Gereja Kemah Injil di Long Bia, kepercayaan yang hanya dapat ditembus oleh sungai, tidak
lama lambat laun digantikan oleh begitu ramai, berarus deras, dan hampir tidak
kepercayaan agama Kristen. Peran sungai mempunyai komoditas yang penting, seperti
sebagai jalur transportasi penyebaran halnya Sungai Kayan.
kepercayaan baru, rupanya juga dilakukan Reid menyebutkan bahwa periode antara
oleh penyebar agama Islam. Adanya tinggalan tahun 1450 hingga 1680 adalah kurun
batu tegak di Long Pelban, hulu Long Peso’ perniagaan. Di kawasan Asia Tenggara,
menimbulkan pertanyaan adakah hubungan interaksi dagang berjalan dengan relatif
atau kaitan dengan nisan seperti tradisi Islam? damai walaupun tidak berarti tanpa
Hal tersebut perlu penelitian lebih lanjut. peperangan, dan berjalan dengan intensif
Dahulu, Lokasi gereja di Long Ampung dalam pemenuhan kebutuhan. Kebudayaan
merupakan bekas tempat penguburan mengalami perkembangan dengan
masyarakat Kayan, mungkin seperti salung, munculnya kota-kota niaga. Akan tetapi,
yang didasarkan pada ciri fisik yang ‘revolusi niaga’ pada pertengahan abad ke-
disebutkan oleh tetua adat pada saat proses 17 Masehi secara radikal merosot,
wawancara (Gunadi 2006). Bangunan ini perniagaan internasional kalah dengan
kemudian dihilangkan dan diratakan dengan monopoli dagang Belanda dan atau Inggris
tanah. Sebagai simbol kemenangan agama (Reid 2011, 264-278).
baru atas kepercayaan setempat, maka lokasi Pada kurun niaga tersebut, di Pulau
tersebut yang merupakan puncak sebuah Borneo atau Kalimantan, telah mucul kota-
bukit, kemudian diperuntukkan sebagai lokasi kota niaga terpenting, yang berkonotasi
gereja. Tidak jauh dari lokasi gereja ini, dengan institusi kekuasaan, antara lain
masyarakat masih menyimpan Erang Dao. Brunei, Banjarmasin, Sukadana, dan Kutai
Pihak gereja melarang memunculkan (Reid 2011, 12). Kota niaga tetangga yang
5
Pada abad 14 Masehi institusi kekuasaan di Brunei telah terorganisasi, yaitu dimulai oleh Sultan Muhammad Shah yang
memerintah dari tahun 1363 - 1402. Semula ia bernama Alalak Betatar. Berturut-turut digantikan Sultan Abdul Majid Hasan
(1402 - 1408), Sultan Ahmad (1408 - 1425), Sultan Sharif Ali (1425 - 1432), Sultan Sulaiman (1432 - 1485), Sultan Bolkiah
(1485 - 1524). Sultan Abdul Kahar (1524 - 1530), dan Sultan Saiful Rizal (1533 - 1581). Pada tahun 1578, Brunei diserang
oleh Spanyol di Manila (Sumber: kakniam.wordpres.com/2011/07/28/sejarah-brunei-darusalam). Sedangkan Kesultanan
Sulu juga lebih awal muncul, memiliki pemerintahan teratur dan telah mengenal Islam, yaitu sejak abad 13 Masehi.
Perkembangan awal agama Islam di Filipina memiliki sejarah panjang, sebagaimana kedatangan Islam ke kawasan Asia
Tenggara secara umum, hampir bersamaan di Sumatera dan Jawa. Menurut cendekiawan Muslim Filipina, Ahmed
Alonto, berdasarkan bukti-bukti sejarah, Islam datang ke Filipina pada tahun 1280. Muslim pertama yang datang adalah
Sherif Macdum (Sharif Karim al-Makhdum) yang merupakan seorang ahli fikih. Kedatangannya kemudian diikuti oleh
para pedagang Arab dan pendakwah. Pada mulanya dia tinggal di kota Bwansa, di mana rakyat setempat dengan
sukarela membangun masjid dan banyak yang ikut meramaikan masjid. Secara bertahap beberapa kepala suku setempat
menjadi Muslim. Kemudian dia juga mengunjungi beberapa pulau lain. Makamnya dipercaya terdapat di Pulau Sibutu.
Selain orang Arab, umat Islam India, Iran, dan Melayu datang ke Filipina, menikah dengan penduduk lokal dan mendirikan
pemerintahan di kepulauan Filipina. Salah seorang pendiri pemerintahan itu adalah Sherif Abu Bakar, yang berasal dari
Hadramaut yang datang ke kepulauan Sulu melalui Palembang dan Brunei. Dia menikah dengan putri Pangeran Bwansa,
Raja Baginda, yang sudah beragama Islam. Ayah mertuanya menunjuknya sebagai pewaris. Setelah menggantikan
mertuanya, dia menjalankan pemerintahan dengan hukum Islam serta dengan memperhatikan adat istiadat setempat.
Dengan demikian, dia bisa disebut sebagai pendiri kesultanan Sulu (Sumber: Suku Moro.wikipedia-bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas; diunduh 23 Januari 2013)
Kalimantan ini diperkirakan ada hubungan Tidung. Keturunan Sultan Alimuddin dengan
erat dengan penyiar agama Islam dari Brunei putri dari Berau yang bernama Pengian Intan
dan Sulu, yang lebih awal menerima Islam. adalah Sultan Muhammad Kaharuddin, yang
Adapun pemindahan pusat kekuasaan memerintah tahun 1817-1861, dan
dari Salim Batu ke Tanjung Palas terjadi pada pemerintahan kedua 1866-1873. Hasil
masa pemerintahan Sultan Kaharuddin, perkawinan Sultan Alimuddin dengan putri dari
setelah mengalahkan lanun-lunun dari Sulu. Tidung yang bernama Aji Aisyah adalah Sul-
Lambat laun, pengaruh Belanda di Tanjung tan Khalifatul Alam Muhammad Adil, yang
Selor semakin menguat. Sultan Alimuddin memerintah pada 1873-1875. Periode
mempunyai dua istri, yang pertama berasal pemerintahan antara tahun 1862 hingga 1866
dari putri bangsawan Berau, dan isteri kedua dipegang oleh Sultan Jalaluddin yang
adalah keturunan orang terpandang dari merupakan anak dari Sultan Muhammad
Kaharuddin.
Menurut informasi masyarakat Kenyah salah satu cara dalam pengayaan identitas.
yang sekarang mendiami daerah Sungai Adapun pengaruh yang datang kemudian,
Bahau dan Long Pujungan, bangunan kubur mengusung kolonialisme, yaitu interaksi yang
tempayan dolmen (megalitik) yang banyak tidak dilandasi oleh semangat kesetaraan dan
ditemukan di daerah ini dibuat oleh etnis persamaan hak. Kepincangan interaksi ini
Ngorek. Dari sejarah yang direkonstruksi oleh terjadi karena satu pihak berkedudukan
Sellato, diduga masyarakat awal ini berasal sebagai penjajah yang bersifat menguasai,
dari Sungai Baram di Serawak. Peperangan pihak yang lain sebagai bangsa terjajah, yang
dengan etnis Kelabit menyebabkan sebagian dikuasi. Masa tersebut disebut pula sebagai
masyarakat Ngorek berpindah ke Kalimantan era imperialisme, yang diperankan oleh
bagian timur sekitar tahun 1700-1750an. Belanda dan perusahaan Inggris terhadap
Masyarakat Ngrorek mendiami daerah hulu Kesultanan Bulungan. Jenis interaksi ini tidak
Sungai Lurah dan Sungai Bahau. Pada lepas dari eksploitasi kekayaan alam,
pertengahan abad ke-18 Masehi, persekutuan sebagaimana penguasaan tambang minyak
etnis Modang, Kayan, dan Kenyah menyerang bumi atas Pulau Tarakan dan Pulau Bunyu,
masyarakat Ngorek. Mereka kalah dan yang diawali dengan melemahkan kekuasaan
bangunan kubur tersebut diperkirakan berasal politik dan legitimasi Kesultanan Bulungan.
dari abad ke-17 Masehi, dan termuda dari Sungai Kayan memiliki peran penting
awal abad ke-19 Masehi (Sellato 1996, 397). sebagai alur transportasi sekaligus modal
Menurut Sellato, di Long Pujungan perubahan. Sungai ini telah membawa
kuburan umumnya berbentuk tempayan semangat penaklukan alam dan menjadi
dolmen dari batu, dengan variasi temuan lambang etos menuju kemajuan dan
menhir. Di Kerayan dikenal batu terupun dan peningkatan harkat budayanya. Perubahan
sejenis kubur tempayan dolmen dan hanya dapat terjadi oleh keinginan yang kuat
wadahnya berupa guci keramik serta menhir. dari individu atau sebagian komunitas, yang
Di Malinau, sejauh ini belum ditemukan kubur tak ingin terkungkung oleh tradisinya. Di sisi
batu, terdapat kubur dari kayu/lungun, serta lain, ada individu atau sebagian komunitas
keramik. Di Kayan hulu, wadah kubur batu dari luar yang ingin mengobati rasa
yang paling sering ditemukan berbentuk keingintahuan dan keinginan meluaskan
palung, persegi empat memanjang (Sellato pengaruhnya ke masyarakat lain. Datuk
1995, 412 ). Mencang, seorang bangsawan Brunei dan
Proses Islamisasi di Bulungan Singa Laut menggambarkan tokoh-tokoh
menyimpan kisah yang mendasar dalam tersebut. Hal ini sesuai dengan pengetahuan
mengubah sistem pemerintahan. Hal tersebut Bangsa Eropa yang melihat Brunei sebagai
menggambarkan bagaimana terjadinya kerajaan di Kalimantan pada awal abad ke-
hubungan antarkomunitas, di mana 16 Masehi, di samping kerajaan lainnya, yaitu
masyarakat Dayak menerima atau Banjarmasin, Pontianak, Sukadana, dan
mengadopsi pengaruh baru. Melalui proses Sambas. Bahkan nama Borneo diduga dari
difusi, unsur kebudayaan berubah dan kata Brune, Berunai/Brunei yang dahulu
berkembang. Hal tersebut juga merupakan merupakan suatu desa di sebelah utara Pulau
Kalimantan dan sekarang menjadi nama sekali informasi sejarah ini belum didukung
negara tetangga Indonesia. Kesultanan Brunei data arkeologi.
dan Kesultanan Sulu, Filipina kemungkinan Penelian eksploratif di atas belum
telah mendapat pengaruh lebih awal Islam menjangkau seluruh permasalahan arkeologi
dari wilayah utara, dan kemudian Islam di bagian utara Kalimantan. Usaha tersebut
dibawa masuk melalui lintas sungai. Beratnya perlu dilanjutkan ke dalam penelitian yang
medan rupanya telah menghambatnya, lebih intensif, sehingga dapat menjawab
sehingga tidak sampai ke pedalaman. Sayang permasalahan migrasi, keragaman budaya
serta etnoarkeologi.
Referensi
Anonim. 1976. Monografi daerah tingkat II Eghenter, Ed dan Bernard Sellato. 1999.
Bulungan. Jakarta: Proyek Kebudayaan dan pelestarian
Pengembangan Kebudayaan. alam, penelitian interdisipliner
___________. 2010. Bulungan dalam angka di pedalaman Kalimantan.
Bulungan: Badan Pusat Statistik Jakarta: The Ford Foundation.
Kabupaten Bulungan. Gunadi. 2006. Penelitian arkeologi prasejarah
Arianto, Sugeng. 2003. Kerajaan Bulungan di Kabupaten Malinau,
1555-1959. Skripsi. Malang: Kalimantan Timur. Banjarbaru:
Fakultas Sastra Universitas Balai Arkeologi Banjarmasin.
Negeri Malang. Prasetyo, Bagyo dkk. 2004. Religi pada
Atmojo, Bambang Sakti Wiku. 2000. Penelitian masyarakat prasejarah di
arsitektur makam raja-raja di Indonesia. Jakarta: Asisten
Kesultanan Bulungan dan Deputi Urusan Arkeologi
Berau, Kalimantan Timur. Nasional.
Laporan Penelitian Arkeologi. Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam
Banjarbaru: Balai Arkeologi kurun niaga 1450-1680. Jakarta:
Banjarmasin. Yayasan Obor.
Arifin, Karina dan Bernard Sellato. 1999. Survai Susanto, Nugroho Nur. 2012. Penelitian
dan penyelidikan arkeologi di eksplorasi di Kabupaten
empat kecamatan Long Bulungan, Kalimantan Timur.
Pujungan, Kerayan, Long Laporan Penelitian Arkeologi.
Mentarang, Malinau, dan Kayan Banjarbaru: Balai Arkeologi
Hulu. Jakarta: Ford Foundation. Banjarmasin. Belum diterbitkan.